Anda di halaman 1dari 17

1

BAB 1 PENDAHULUAN

Serangan jantung masih menjadi pembunuh nomor satu dengan prosentase 29% kematian global setiap tahun. Demikian halnya di Indonesia, berdasarkan Survei Kesehatan Nasional tahun 1986 dan 1991, penyakit jantung koroner bersama dengan penyakit infeksi merupakan penyebab kematian utama di Indonesia. Kematian jantung mendadak atau cardiac arrest adalah berhentinya fungsi jantung secara tiba-tiba pada seseorang yang telah atau belum diketahui menderita penyakit jantung. Waktu dan kejadiannya tidak diduga-duga, yakni segera setelah timbul keluhan. Kematian otak dan kematian permanen terjadi dalam jangka waktu 8 sampai 10 menit setelah seseorang mengalami cardiac arrest. Cardiac arrest dapat dipulihkan jika tertangani segera dengan cardiopulmonary resuscitation (CPR) dan defibrilasi untuk mengembalikan denyut jantung normal. Kesempatan pasien untuk bisa bertahan hidup berkurang 7% sampai 10% pada tiap menit yang berjalan tanpa cardiopulmonary resuscitation (CPR) dan defibrilasi (American Heart Assosiacion, 2010). Berdasarkan hasil penelitian dari American Heart Association pada bulan Juni 1999 didapatkan data bahwa 64% pasien dengan cardiac arrest yang mendapatkan penanganan segera dapat bertahan hidup tanpa kerusakan otak. Resusitasi jantung paru otak merupakan suatu usaha untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan atau fungsi jantung serta menangani akibat-akibat berhentinya fungsi-fungsi tersebut seperti kerusakan otak akibat hipoksia yang disebabkan karena henti sirkulasi.

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Definisi Resusitasi Jantung Paru Otak Resusitasi Jantung Paru Otak (RJPO) adalah tindakan untuk menghidupkan kembali kesadaran seseorang yang tampaknya mati sebagai akibat berhentinya fungsi jantung dan paru yang berorientasi pada otak. RJPO merupakan suatu usaha untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan atau fungsi jantung serta menangani akibat-akibat berhentinya fungsi-fungsi tersebut seperti kerusakan otak akibat hipoksia yang disebabkan karena henti sirkulasi. Dan juga usaha untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi yang kemudian memungkinkan untuk hidup normal kembali setelah fungsi pernafasan dan atau sirkulasi gagal. Resusitasi jantung paru otak terdiri atas tiga komponen, yaitu bantuan hidup dasar (BHD), bantuan hidup lanjut (BHL), serta bantuan hidup jangka lama (BHJL). Bantuan hidup dasar adalah usaha yang dilakukan untuk menjaga jalan nafas (airway) tetap terbuka, menunjang pernafasan dan sirkulasi darah. Usaha ini harus dimulai dengan mengenali secara tepat keadaan henti jantung atau henti nafas dan segera memberikan bantuan ventilasi dan sirkulasi. Usaha BHD ini bertujuan dengan cepat mempertahankan pasokan oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital lainnya sambil menunggu pengobatan lanjutan (Bantuan Hidup Lanjut). Tujuan utama resusitasi jantung paru otak (RJPO) yaitu melindungi otak secara manual dari kekurangan oksigen. Sirkulasi untuk menjamin oksigenasi yang adekuat sangat diperlukan dengan segera karena sel-sel otak menjadi lumpuh apabila oksigen terhenti selama 8 20 detik dan akan mati apabila oksigen terhenti selama 3 5 menit. Kerusakan sel otak akan menimbulkan dampak negative berupa kecacatan atau bahkan kematian.

Mati klinis merupakan periode dini suatu kematian yang ditandai dengan henti nafas dan henti jantung atau sirkulasi serta terhentinya aktivitas otak yang bersifat sementara (reversible). Mati biologismengikuti mati klinis bila tidak dilakukan RJPO atau bila RJPO tidak berhasil. Pada mati biologis terjadi proses nekrotisasi semua jaringan. Proses ini dimulai dari neuron-neuron serebral yang seluruhnya akan rusak dalam waktu kurang lebih satu jam dan diikuti organ-organ lain seperti jantung, ginjal, dan hati yang akan rusak dalam waktu kurang lebih dua jam. 2.2 Fase Resusitasi Jantung Paru Otak Resusitasi jantung paru otak dibagi dalam 3 fase, yaitu fase I (Bantuan Hidup Dasar), fase II (Bantuan Hidup Lanjut), dan fase III (Bantuan Hidup Jangka Lama) dan dalam 9 langkah menggunakan abjad dari (A) sampai (I) seperti di bawah ini : 1. Fase I (BHD) : untuk oksigenasi darurat (A) Airway control (B) Breathing support darurat (C) Circulation support : pengenalan tidak adanya denyut nadi dan : penguasaan jalan nafas agar tetap terbuka : ventilasi buatan dan oksigenase paru

pengadaan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung, penghentian perdarahan dan posisi untuk syok. 2. Fase II (BHL) : untuk memulai lagi sirkulasi spontan (D) Drugs and fluid intravenous infusion : pemberian obat dan cairan tanpa menunggu EKG. (E) Electrocardiography (F) Fibrilation treatment : tindakan untuk mengatasi fibrilasi

ventrikel, biasanya dengan syok listrik (defibrilasi) 3. Fase III (BHJL) : pengelolaan intensif pasca resusitasi (G) Gauging (H) Human mentation resusitasi otak yang baru. : menentukan dan memberikan terapi

penyebab kematian dan menilai sampai mana pasien bisa diselamatkan : SSP diharapkan pulih dengan tindakan

(I) Intensive care

: resusitasi jangka panjang.

2.3 Indikasi Resusitasi Jantung Paru Otak 1. Henti Nafas (apneu) Henti nafas dapat disebabkan oleh sumbatan jalan nafas atau akibat depresi pernafasan, baik sentral maupun perifer. Bila terjadi henti nafas primer, jantung dapat terus memompa darah selama beberapa menit selama ada sisa oksigen di dalam paru yang beredar ke otak dan organ vital lain. Penanganan dini pada pasien dengan henti nafas atau sumbatan jalan nafas dapat mencegah henti jantung. Sumbatan jalan nafas dapat dikenali dengan cara : a. Sumbatan jalan nafas lokal Aliran udara di mulut atau hidung tidak dapat didengar atau dirasakan. Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supraklavikula dan sela iga serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi Ada kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan ventilasi buatan. Pada bayi, sering ditemukan nafas paradoksal

b. Sumbatan jalan nafas parsial Terdengar suara nafas tambahan, yaitu bunyi dengkur (snoring) yang menandakan sumbatan parsial hipofaring karena jaringan lunak, misalnya jatuhnya dasar lidah, hipertrofi tonsil, dsb). Bunyi lengking (crowing) yang menandakan laringospasme; bunyi kumur (gargling) yang menandakan adanya benda asing berupa cairan; dan bunyi bengek (wheezing) yang menandakan sumbatan jalan nafas bawah setelah bronkiolus respiratorius. Dapat juga disertai retraksi

Gejala akibat sumbatan jalan nafas yang segera dapat diketahui dari keadaan klinis:

- Hiperkapnia : yaitu penurunan kesadaran. Dipastikan dengan peninggian PCO2 arteri. - Hipoksemia : yaitu takikardi, gelisah, berkeringat atau sianosis. Pada hipoksemia, terjadinya sianosis tergantung Hb reduksi >5g% akan terjadi sianosis. Keadaan hipoksemia dipastikan dengan penurunan PO2 arteri. 2. Henti Jantung (cardiac arrest) Bila terjadi henti jantung primer, oksigen tidak beredar dan oksigen yang tersisa dalam organ vital akan habis dalam beberapa detik. Penyebab utama henti jantung adalah aritmia. Empat macam ritme yang menyebabkan pulseless cardiac arrest yaitu ventricular fibrillation, rapid ventricular tachycardia, pulseless electrical activity dan asistol. Terdapat tiga fase perubahan selama terjadi proses henti jantung, yaitu : a. Fase elektrik (0-5 menit) Fase 5 menit awal saat mulai terjadinya impuls elektrik tidak normal dan menyebabkan aritmia dari kontraksi otot jantung b. Fase sirkulasi (5-10 menit) Fase dimana mulai terlihat akibat dari ketidakcukupan jantung dalam memenuhi kebutuhan darah seluruh tubuh (hipoksia) c. Fase metabolic (> 10 menit) Fase dimana mulai diproduksi toksin akibat sel-sel yang mengalami hipoksia dan toksin tersebut beredar mengikuti aliran darah Patofisiologi : Henti jantung Kematian

Aliran darah ke otak berkurang

Penurunan Kesadaran

Hipoksia Otak

Henti nafas

Berikut ini tanda-tanda henti jantung: - Hilang kesadaran dalam waktu 15-20 detik setelah henti jantung - Henti nafas (apneu) atau megap-megap (grasping) yang muncul 15-30 detik setelah henti jantung - Terlihat seperti mati (death like appearance) dengan warna kulit pucat sampai kelabu - Dilatasi pupil dalam waktu 45 detik setelah henti jantung - Tidak teraba arteri besar (A. Femoralis dan A. Karotis pada orang dewasa atau A. brakialis pada bayi dan anak kecil) yang segera muncul setelah henti jantung 2.4 Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support) Bantuan hidup dasar bertujuan melakukan oksigenasi darurat. Pada awal langkah ABC RJPO dilakukan penilaian kesadaran dengan memberikan guncangan dan teriakan. Bila tidak ada tanggapan, korban/pasien diletakkan dalam posisi telentang dan bantuan hidup dasar segera diberikan. Sementara itu penolong dapat meminta pertolongan dan bila mungkin mengaktifkan sistem pelayanan medis darurat. Langkah-langkah bantuan dasar hidup: 1. Pastikan keamanan Sebelum melakukan pertolongan hal yang paling diutamakan adalah keamanan bagi si penolong. 2. Periksa kesadaran Lihat tingkat kesadaran penderita misalnya dengan cara seperti mengguncangkan bahu dengan lembut lalu menanyakan : apakah anda baik-baik saja? Jika ada respons maka : Jangan ubah posisi korban. Cari hal yang tidak beres. Ulangi pemeriksaan berkala. 3. Panggil bantuan / telpon ambulan

4. Buka jalan nafas & nilai pernafasan (Airway Control) Pada pasien yang tidak sadar, umumnya terjadi sumbatan jalan nafas oleh lidah yang menutupi dinding posterior faring karena terjadi penurunan tonus. Hal ini dapat diatasi dengan triple airway maneuver dari Safar, yaitu: a. Head tilt : Penolong mengekstensikan kepala korban dan dengan satu tangan sementara tangan yang lain menyangga bagian atas leher korban. b. Chin lift : Kepala diekstensikan dan dagu diangkat ke atas. Metode ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan penolong mendorong dahi ke bawah supaya kepala tengadah, tangan lain mendorong dagu dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap ke atas dan epiglotis terbuka. c. Jaw Trust : Kepala diekstensikan dan mandibula didorong maju dengan memegang sudut mandibula korban pada kedua sisi dan mendorongnya ke depan. Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangkat didorong ke depan pada sendinya tanpa

menggerakkan kepala-leher. Pendorongan mandibula saja tanpa ekstensi kepala juga merupakan metode paling aman untuk memelihara jalan nafas atas tetap terbuka, pada pasien dengan dugaan patah tulang leher.

Gambar 2.1 Jaw trust

Gambar 2.2 Head tilt and chin lift

5. Breathing Support Setelah jalan nafas terbuka, segera nilai : apakah korban dapat bernafas spontan dengan merasakan aliran udara pada daun telinga atau punggung tangan penolong mendengarkan bunyi nafas dari hidung dan mulut korban memperhatikan gerak nafas dadanya. Bila pernafasan spontan tidak timbul, diperlukan ventilasi buatan. Nafas buatan tanpa alat dapat dilakukan dengan cara mulut ke mulut (mouth-to-mouth), mulut ke hidung (mouth-to-nose), mulut ke stoma trakeostomi atau mulut ke mulut via sungkup muka. Untuk melakukan ventilasi mulut-kemulut penolong hendaknya mempertahankan kepala dan leher korban dalam salah satu sikap yang telah disebutkan di atas dan memencet hidung korban dengan satu tangan atau menutup lubang hidung pasien dengan pipi penolong. Selanjutnya diberikan 2 kali ventilasi dalam dalam (1 kali ventilasi = 1-1 detik). Kemudian segera raba denyut nadi karotis atau femoralis. Bila ia tetap henti nafas tetapi masih mempunyai denyut nadi diberikan ventilasi dalam (800-1200 ml) setiap 5 detik. Bila denyut nadi karotis tak teraba, 2 kali ventilasi dalam harus diberikan sesudah tiap 30 kompresi dada.

Gambar 2.3 Mouth to mouth 6. Kompresi jantung + nafas buatan (30 : 2)

Kompresi dada terdiri dari pemberian tekanan yang ritmis dan bertenaga pada setengah bawah sternum. Kompresi ini akan menciptakan aliran darah dengan cara meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan jantung. Hal ini menimbulkan aliran darah dan oksigen menuju miokardium dan otak. Kompresi dada yang efektif penting untuk menyediakan aliran darah selama RJP. Karena alasan ini semua penderita henti jantung harus mendapatkan kompresi dada

. Gambar 2.4 Kompresi Dada

Gambar 2.5 Kedalaman Kompresi Dada Kompresi dada yang adekuat memerlukan kompresi dengan kedalaman dan kecepatan yang sesuai, dengan pengembangan dada yang komplit setelah setiap kompresi dan penekanan dalam meminimalkan penghentian kompresi dan menghindari ventilasi yang berlebihan. Penolong harus memastikan bahwa kompresi dada dilakukan dengan benar. Kedalaman

10

kompresi yang direkomendasikan pada korban dewasa meningkat dari kedalaman 1,5-2 inci menjadi setidaknya 2 inci (5 cm). Langkah dalam melakukan kompresi dada luar yakni korban hendaknya terlentang pada permukaan yang keras bila kompresi dada luar dilakukan. Penolong berlutut di samping korban dan meletakkan pangkal sebelah tangannya di atas tengah pertengahan bawah sternum korban sepanjang sumbu panjangnya dengan jarak 2 jari sefalad dari persambungan sifisternum. Tangan penolong yang lain diletakkan di atas tangan pertama. Dengan jari-jari terkunci, lengan lurus dan kedua bahu tepat di atas sternum korban, penolong memberikan tekanan vertikal ke bawah yang cukup untuk menekan sternum 4-5 cm. Setelah kompresi harus ada relaksasi. Penderita dewasa baik terdiri dari satu atau dua penolong, dilakukan 30 kompresi dada luar (laju : 80-100 kali/menit = 912 detik) harus diikuti dengan pemberian 2 kali ventilasi dalam (2-3 detik). Bila penderita anak-anak dan bayi, bila terdiri dari satu penolong diberikan 30 kompresi dada luar dan 2 ventilasi dalam. Sedangkan bila terdapat dua penolong , dilakukan 15 kompresi dada luar dan 2 ventilasi dalam. Menurut Guideline American Heart Asosiation (AHA) 2010 terjadi perbedaan dengan tahun 2005, teknik RJP dimulai dengan mengkompresi dada sebelum memberikan bantuan nafas (C-A-B daripada A-B-C). Kompresi dada dapat dimulai sesegera mungkin, sedangkan tindakan mengatur posisi kepala, mendapatkan lapisan penutup untuk bantuan nafas dari mulut ke mulut atau memasang masker akan memakan waktu. Dengan memulai kompresi dada 30 kali dibandingkan ventilasi 2 kali akan mempersingkat perlambatan kompresi pertama. 7. Evaluasi setiap 2 menit Setiap 2 menit setelah dilakukan kompresi jantung + nafas buatan lakukan penilaian terhadap penderita. Periksa apakah ada tanda-tanda sirkulasi seperti bergerak, bernafas atau batuk

11

8. Indikasi stop BHD adalah : Kembalinya sirkulasi dan ventilasi spontan Pasien dialihrawatkan kepada yang lebih berwenang Baru diketahui telah ada tanda-tanda kematian yang irreversibel Penolong lelah atau keselamatannya terancam Jika 30 setelah ACLS yang adekuat tidak didapatkan tanda-tanda kembalinya sirkulasi spontan (asistole yang menetap), bukan intoksikasi obat atau hipotermia

2.5 Bantuan Hidup Lanjut Bantuan hidup lanjut berhubungan dengan teknik untuk memperbaiki ventilasi dan oksigenasi korban dan pada diagnosis serta terapi gangguan irama utama selama henti jantung. Setelah dilakukan BHD dan belum timbul denyut jantung spontan, maka resusitasi diteruskan seperti langkah berikut : 1. Disability Menjelang akhir primary survey, dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Satu cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran adalah metode AVPU. A : Alert (sadar) V : Respon terhadap rangsangan vokal (suara) P : Respon terhadap rangsangan nyeri (pain) U : Unresponsive (tidak ada respon) Cara lain yang digunakan sebagai pengganti AVPU yaitu GCS (Glasgow Coma Scale) yang merupakan sistem scoring yang sederhana yang dapat meramal kesudahan atau outcome penderita. Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi dan atau penurunan perfusi ke otak atau disebabkan trauma langsung pada otak. Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan oksigenasi ventilasi dan perfusi. 2. Exposure (kontrol lingkungan)

12

Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya untuk memeriksa dan evaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka, mencegah pasien kedinginan atau hipotermi, harus dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan intravena yang sudah dihangatkan.

2.6 Bantuan Hidup Jangka Lama Bantuan hidup jangka lama merupakan pengelolaan pasca resusitasi yang terdiri dari: 1. Gauging Gauging merupakan cara untuk menentukan dan memberi terapi penyebab kematian dan menilai sampai sejauh mana pasien dapat diselamatkan. 2. Human Mentation Sistem saraf pusat diharapkan pulih dengan tindakan resusitasi otak yang baru. 3. Intensive care Intensive care merupakan resusitasi jangka panjang. Jenis pengelolaan yang diperlukan pasien yang telah mendapat resusitasi bergantung kepada hasil resusitasi. Pasien yang tidak mempunyai defisit neurologis dan tekanan darah terpelihara normal tanpa aritmia hanya memerlukan pantauan intensif dan observasi terus-menerus terhadap sirkulasi, pernafasan, fungsi otak, ginjal dan hati. Pasien yang mempunyai kegagalan satu atau lebih dari satu sistem, memerlukan bantuan ventilasi atau sirkulasi, terapi aritmia, dialisis dan resusitasi otak. Organ yang paling terpengaruh oleh kerusakan hipoksemia dan iskemik selama henti jantung adalah otak. Bila pasien tetap tidak sadar hendaknya dilakukan upaya untuk memelihara perfusi dan oksigenasi otak. Tindakantindakan ini meliputi penggunaan agen vasoaktif untuk memelihara tekanan darah sistemik yang normal, penggunaan steroid untuk mengurangi sebab otak dan penggunaan diuretik untuk menurunkan tekanan intra kranial. Oksigen tambahan hendaknya diberikan dan hiperventilasi derajat sedang juga membantu (Pa CO2 = 25-30 mmHg).

13

2.7

Perbedaan RJPO Menurut AHA 2005 dan AHA 2010 2005 Recommendation Pada fase I (BHD) menggunakan A-B-C (Airway, Breathing, Chest compressions) Keterangan Hal ini untuk menghindari penghambatan pada pemberian kompresi dada yang cepat dan efektif. Mengamankan jalan nafas sebagai prioritas utama merupakan sesuatu yang memakan waktu dan mungkin tidak berhasil 100%, terutama oleh penolong yang seorang diri Look, Feel, Listen termasuk di BLS alogaritm Look, Feel, Listen dinilai bisa memakan waktu

2010 Recommendation Perubahan pada fase I (BHD) yaitu dari A-BC (Airway, Breathing, Chest compressions) ke C-AB (Chest compressions, Airway, Breathing) untuk pasien dewasa dan anak-anak (children and infants, excluding newborns). Look. Feel, Listen dihilangkan dari BLS alogaritm

Kompresi dada minimal 100 kali/menit

Kompresi dada kurang lebih 100 kali/menit

Jumlah kompresi dada yang dilakukan per menit selama RJP sangat penting untuk menentukan kembalinya sirkulasi spontan dan fungsi neurologis yang baik.

Kedalaman kompresi dada 2 inchi (5 cm)

Kedalaman kompresi dada 1,5 2 inchi

Kompresi yang efektif (menekan dengan kuat dan cepat) menghasilkan aliran darah dan oksigen dan memberikan energy pada jantung dan otak

Untuk penolong yang

Tidak ada yang

Hands only CPR lebih

14

belum terlatih diharapkan melakukan kompresi dada tanpa ventilasi (Hands Only CPR) pada korban dewasa yang pingsan di depan mereka. Penggunaan rutin penekanan krikoid (Pemberian tekanan pada kartilago krikoid untuk menekan trachea ke arah posterior dan menekan esophagus ke vertebrae servical) tidak direkomendasikan untuk henti jantung

membedakan antara penolong yang belum terlatih dengan penolong yang terlatih

mudah dilakukan oleh penolong yang belum pernah terlatih dan lebih mudah dituntun oleh penolong ahli lewat telpon

Penekanan krikoid dilakukan hanya kepada korban yang tidak sadar

Penekanan krikoid dapat menghambat kemajuan airway dan aspirasi meskipun dengan aplikasi yang tepat

Tabel Bantuan Hidup Dasar Menurut AHA 2010

15

16

BAB 3 KESIMPULAN Resusitasi Jantung Paru Otak (RJPO) adalah tindakan untuk menghidupkan kembali kesadaran seseorang yang tampaknya mati sebagai akibat berhentinya fungsi jantung dan paru yang berorientasi pada otak. Indikasi dilakukan RJPO adalah bila pasien henti nafas dan henti jantung. Terdapat 3 fase di dalam RJPO yaitu fase 1 (Bantuan Hidup Dasar), fase 2 (Bantuan Hidup Lanjut) dan fase 3 (Bantuan Hidup Jangka Lama). Menurut Guideline American Heart Asosiation (AHA) 2010 terjadi perbedaan dengan tahun 2005, teknik RJP dimulai dengan mengkompresi dada sebelum memberikan bantuan nafas (C-A-B daripada A-B-C). Kompresi dada dapat dimulai sesegera mungkin, sedangkan tindakan mengatur posisi kepala, mendapatkan lapisan penutup untuk bantuan nafas dari mulut ke mulut atau memasang masker akan memakan waktu. RJPO dilakukan dengan 30 kompresi dada luar (laju : 80-100 kali/menit = 9-12 detik) harus diikuti dengan pemberian 2 kali ventilasi dalam (2-3 detik). Bila penderita anak-anak dan bayi, bila terdiri dari satu penolong diberikan 30 kompresi dada luar dan 2 ventilasi dalam. Sedangkan bila terdapat dua penolong , dilakukan 15 kompresi dada luar dan 2 ventilasi dalam. Dengan kedalamannya paling sedikit 2 inchi (5cm) pada dewasa dan anak-anak, serta 1,5 inchi (4cm) pada bayi.

17

DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association, 2005, Highlights of the 2005 American Heart Association Guidelines for CPR and ECC. American Heart Association, 2010, American Heart Association Guidelines for CPR and Emergency Cardiovascular Care Comparison Chart of Key Changes American Heart Association, 2010, Highlights of the 2010 American Heart Association Guidelines for CPR and ECC. International First Aid and Resuscitation Guideline, 2011, International Federation of Red Cross and Red Cressent Societies. Bon, Catharine A, dkk., 2013, Cardiopulmonary Resuscitation (CPR), diakses di http://emedicine.medscape.com/article/1344081 November 2013. pada tanggal 26

Anda mungkin juga menyukai