Anda di halaman 1dari 35

BAB II

LANDASAN TEORI
A. HIV/AIDS
1. Definisi HIVAIDS
HIV adalah singkatan Human Immunodefisiency Virus yaitu virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sehingga membuat tubuh rentan terhadap
berbagai penyakit.
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit
retrovirus yang disebabkan oleh HIV dan ditandai dengan imunosupresi berat yang
menimbulkan infeksi oportunistik, neoplasma sekunder dan manifestasi neurologis.
(Vinay Kumar, 2007). HIV telah ditetapkan sebagai agens penyebab acquired Immune
Deficiency Syndrom (AIDS). AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang
merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV. (Sylvia Anderson Price, 2006). Definisi
AIDS yang ditetapkan oleh pusat pengendalian penyakit, telah berubah beberapa waktu
sejak gejala pertama ditemukan pada tahun 1981. Secara umum definisi ini menyusun
suatu titik dalam kontinum penyimpangan HIV dimana penjamu telah menunjukan
secara klinis disfungsi imun. Jumlah besar infeksi oportunistik dan neoplasma
merupakan tanda supresi imun berat sejak tahun 1993. Definisi AIDS telah meliputi
jumlah CD4 kurang dari 200 sebagai criteria ambang batas. Sel CD4 adalah bagian dari
limposit dan satu target sel dari infeksi HIV.
2. Etiologi HIV AIDS
14
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh
Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada
tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun
1986 nama virus dirubah menjadi HIV.
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam
bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau
melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T,
karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel
Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup
lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh
pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat
ditularkan selama hidup penderita tersebut.
Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan
bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian
RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis protein.
Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120
berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus
(lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif
terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah
dimatikan dengan berbagai desinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit
dan sebagainya, tetapi relatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet.
Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar
tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan
otak (Siregar,2008).
3. Cara Penularan HIV AIDS
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu
penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan,
tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (portd entre).
Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel otak
sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh.
Sebagai vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan
kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan
diantaranya semen, cairan vagina atau servik dan darah penderita.
Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini
cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui :
a. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun
Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi.
Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina . Infeksi dapat
ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko
penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan
jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive
untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan
pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti
pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.
1) Homoseksual
Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas
homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan
usia.
Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan
resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif
menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan
dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami perlukaan
pada saat berhubungan secara anogenital.
2) Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan
heteroseksual pada promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur
seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan
berganti-ganti.
b. Transmisi Non Seksual
1) Transmisi Parenteral
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik)
yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang
menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping
dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan
tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini
kurang dari 1%.
2) Produk Darah
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara
barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di
negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum
ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari
90%.
c. Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko
sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu
menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah
(Siregar, 2008).
4. Patogenesis HIV AIDS
Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limposit T helper/induser
yang mengandung marker CD 4 (sel T 4). Limfosit T 4 merupakan pusat dan sel utama
yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi-fungsi
imunologik. Menurun atau hilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena HIV secara
selektif menginfeksi sel yang berperan membentuk zat antibodi pada sistem kekebalan
tersebut, yaitu sel lymfosit T4. Setelah HIV mengikat diri pada molekul CD 4, virus
masuk kedalam target dan ia melepas bungkusnya kemudian dengan enzym reverse
transcryptase ia merubah bentuk RNA agar dapat bergabung dengan DNA sel target.
Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengundang bahan genetik virus. Infeksi
HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup.
Pada awal infeksi, HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang di
infeksinya tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi (penggandaan), sehingga ada
kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut, yang lambat laun akan
menghabiskan atau merusak sampai jumlah tertentu dari sel lymfosit T4. setelah
beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian, barulah pada penderita akan terlihat
gejala klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Masa antara terinfeksinya HIV
dengan timbulnya gejala-gejala penyakit (masa inkubasi) adalah 6 bulan sampai lebih
dari 10 tahun, rata-rata 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan pada orang dewasa. Masa
inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV sampai
dengan menunjukan gejala gejala AIDS. Pada fase ini terdapat masa dimana virus
HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak
tertular virus HIV yang dikenal dengan masa window period .
Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak yang
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya mudah terkena
penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, protozoa,
dan jamur dan juga mudah terkena penyakit kanker seperti sarkoma kaposi. HIV
mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel syaraf, menyebabkan kerusakan
neurologis (Faizah A. Siregar, 2008)..
5. Patofisiologi HIV AIDS
HIV tergolong ke dalam kelompok virus yang dikenal sebagai retrovirus yang
menunjukan bahwa virus tersebut membawa materi genetiknya dalam asam ribonukleat
(RNA) dan bukan dalam deoksiribonukleat (DNA). Virion HIV (partikel virus yang
lengkap dibungkus oleh selubung pelindung) mengandung RNA dalam inti berbentuk
peluru yang terpancung di mana p24 merupakan komponen structural yang utama.
Tombol (knob) yang menonjol lewat dinding virus terdiri atas protein gp120 yang
terkait pada protein gp41. Bagian yang secara selektif berikatan dengan sel sel CD4
positif adalah gp120 dari HIV.
Sel CD4 positif mencakup monosit, makropag dan limposit T4 helper (
dinamakan sel sel CD4 + kalau dikaitkan dengan infeksi HIV ). Limposit T4 helper ini
merupakan sel yang paling banyak diantara ketiga sel di atas. Sesudah terikat dengan
membran sel T4 helper HIV akan menginjeksikan dua utas benang RNA yang identik
ke dalam sel T4 helper, dengan menggunakan enzim yang dikenal sebagai reverse
transcriptase HIV akan melakukan pemrograman ulang materi genetic dari sel T4 yang
terinfeksi untuk membuat double stranded DNA (DNA utau ganda). DNA ini akan
disatukan ke dalam nucleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian infeksi yang
permanen.
Siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini sampai sel yang terinfeksi
diaktifkan. Aktivitas sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen, mitogen,
sitogen ( TNF alfa atau interleukin I ) atau produk gen virus seperti :
CMV(cytomegalovirus), virus Epstein Barr, herpes simplek dan hepatitis. Sebagai
akibatnya pada sel T4 yang terifeksi diaktifkan, replikasi serta pembentukan tunas HIV
akan terjadi dan sel T4 dihancurkan. HIV yang baru ini kemudian dilepas ke dalam
plasma darah dan menginfeksi CD4+ lainnya. Kalau fungsi limfosit T4 terganggu
mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki kesempatan
untuk menginvasi dan menyebabkan sakit yang serius. Infeksi dan malignansi yang
timbul sebagai akibat dari gangguan sistem imun dinamakan infeksi oportunistik. ( Brunner
& Suddart2002).Infeksi monosit dan makrofag berlangsung secara persisten dan tidak
mengakibatkan kematian sel yang bermakna, tetapi sel sel ini menjadi reservoir bagi
HIV sehingga virus tersebut dapat tersembunyi dari sistem imun dan terangkut ke
seluruh tubuh lewat sistem ini untuk menginfeksi pelbagai jaringan tubuh.
Tabel 2.1
Klasifikasi klinis infeksi HIV pada orang dewasa menurut WHO
Stadium Gambaran Klinis Skala Aktivitas
I 1. Asimptomatik
2. Limfadenopati generalisata
Asimptomatik ,
aktifitas normal
II 1. Berat badan menurun < 10 %
2. Kelainan kulit dan mukosa
yang ringan seperti , dermatitis
seboroik, prurigo, onikomikosis
,ulkus oral yang rekuren
,kheilitis angularis
3. Herpes zoster dalam 5 tahun
terakhir
4. Infeksi saluran napas bagian
atas seperti ,sinusitis bakterialis
Simptomatik , aktifitas
normal
III 1. Berat badan menurun < 10%
2. Diare kronis yang berlangsung
lebih dari 1 bulan
3. Demam berkepanjangan lebih
dari 1 bulan
4. Kandidiasis orofaringeal
5. Oral hairy leukoplakia
6. TB paru dalam tahun terakhir
7. Infeksi bacterial yang berat
seperti pneumonia, piomiositis
Pada umumnya lemah ,
aktivitas ditempat tidur
kurang dari 50%
6. Manifestasi klinis HIV AIDS
IV 1. HIV wasting syndrome seperti
yang didefinisikan oleh CDC
2. Pnemonia Pneumocystis carinii
3. Toksoplasmosis otak
4. Diare kriptosporidiosis lebih
dari 1 bulan
5. Kriptokokosis ekstrapulmonal
6. Retinitis virus situmegalo
7. Herpes simpleks mukokutan >
1 bulan
8. Leukoensefalopati multifocal
progresif
9. Mikosis diseminata seperti
histoplasmosis
10. Kandidiasis di esophagus ,
trakea , bronkus , dan paru
11. Mikobakterisosis atipikal
diseminata
12. Septisemia salmonelosis non
tifoid
13. Tuberkulosis diluar paru
14. Limfoma
15. Sarkoma Kaposi
16. Ensefalopati HIV**
Pada umumnya sangat
lemah , aktivitas
ditempat tidur lebih
dari 50%
Tanda-tanda gejala-gejala (symptom) secara klinis pada seseorang penderita
AIDS adalah diidentifikasi sulit karena symptomasi yang ditunjukan pada umumnya
adalah bermula dari gejala-gejala umum yang lazim didapati pada berbagai Penderita
penyakit lain, namun secara umum dapat kiranya dikemukakan sebagai berikut :
a. Rasa lelah dan lesu
b. Berat badan menurun secara drastis
c. Demam yang sering dan berkeringat diwaktu malam
d. Mencret dan kurang nafsu makan
e. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
f. Pembengkakan leher dan lipatan paha
g. Radang paru
h. Kanker kulit
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara
lain tumor dan infeksi oportunistik :
a. Manifestadi tumor diantaranya;
1) Sarkoma kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi
kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual, dan jarang
terjadi pada heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian primer.
2) Limfoma ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan
bertahan kurang lebih 1 tahun.
b. Manifestasi Oportunistik diantaranya
1) Manifestasi pada Paru
a) Pneumonia Pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi
paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan
demam.
b) Cytomegalo Virus (CMV)
Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru
tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab
kematian pada 30% penderita AIDS.
c) Mycobacterium Avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit
disembuhkan.
d) Mycobacterium Tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat
menyebar ke organ lain diluar paru.
2) Manifestasi pada Gastroitestinal
Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan turun lebih 10% per
bulan.
c. Manifestasi Neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi Neurologis, yang
biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah
ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati dan neuropari perifer (Siregar, 2008).
7. Pemeriksaan Laboratorium HIV AIDS
Human Immunodefeciency Virus dapat di isolasi dari cairan-cairan yang
berperan dalam penularan AIDS seperti darah, semen dan cairan serviks atau vagina.
Diagnosa adanya infeksi dengan HIV ditegakkan di laboratoruim dengan
ditemukannya antibodi yang khusus terhadap virus tersebut.
a. Untuk pemeriksaan pertama biasanya digunakan Rapid tes untuk melakukan uji
tapis. Saat ini tes yang cukup sensitif dan juga memiliki spesifitas yang tinggi. Hasil
yang positif akan diperiksa ulang dengan menggunakan tes yang memiliki prinsip
dasar tes yang berbeda untuk meminimalkan adanya hasil positif palsu yaitu ELISA.
Rapid Tes hasilnya bisa dilihat dalam waktu kurang lebih 20 menit.
b. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA), bereaksi terhadap adanya antibodi
dalam serum dengan memperlihatkan warna yang lebih jelas apabila terdeteksi
jumlah virus yang lebih besar. Biasanya hasil uji ELISA mungkin masih akan
negatif 6 sampai 12 minggu setela pasien terinfeksi. Karena hasil positif palsu dapat
menimbulkan dampak psikologis yang besar, maka hasil uji ELISA yang positif
diulang dan apabila keduanya positif maka dilakukan uji yang lebih spesifik yaitu
Western Blot.
c. Western Blot merupakan elektroporesis gel poliakrilamid yang digunakan untuk
mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika tidak ada rantai protein
yang ditemukan berarti tes negatif. Sedangkan bila hampir atau semua rantai protein
ditemukan berarti western blot positif. Tes ini harus diulangi lagi setelah 2 minggu
dengan sampel yang sama. Jika western blot tetap tidak bisa disimpulkan maka tes
western blot harus diulangi lagi setelah 6 bulan. Jika tes tetap negatif maka pasien
dianggap HIV negatif.
d. PCR (Polymerase Chain Reaction) Untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif
dan spesifik untuk infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila tes yang lain tidak
jelas. (Nursalam, 2007).
8. Kebijakan dan upaya penanggulangan
Infeksi HIV/AIDS merupakan suatu penyakit dengan perjalanan yang panjang.
Sistem imunitas menurun secara progresif sehingga muncul infeksi infeksi
opportunistik yang dapat muncul secara bersamaan pula dan berakhir pada kematian.
Sementara itu hingga saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang efektif.
Pengobatan HIV/AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu :
a. Pengobatan suportif
Yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum penderita. Pengobatan ini
terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat sintomatik, vitamin dan dukungan
psikososial agar penderita dapat melakukan aktivitas seperti semula/seoptimal
mungkin.
b. Pengobatan infeksi oportunistik
Yaitu pengobatan yang ditujukan untuk infeksi oportunistik dan dilakukan secara
empiris.
c. Pengobatan antiretroviral
Saat ini telah ditemukan beberapa obat antiretroviral (ARV) yang dapat
menghambat perkembangan HIV. ARV bekerja langsung menghambat enzim
reverse transcriptase atau penghambat kerja enzim protease. Pengobatan ARV
terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi oportinistik
menjadi lebih jarang ditemukan dan lebih mudah diatasi sehingga menekan
morbiditas dan mortalitas dini, tetapi ARV belum dapat menyembuhkan atau
membunuh virus. Kendala dalam pemberian ARV antara lain kesukaran Odha untuk
minum obat secara teratur, adanya efek samping obat, harga yang relative mahal dan
timbulnya resistensi HIV terhadap obat ARV.
Karena belum ditemukan obat yang efektif maka pencegahan penularan menjadi
sangat penting. Dalam hal ini pendidikan kesehatan dan peningkatan pengetahuan yang
benar mengenal patofisiologi HIV dan cara penularannya menjadi sangat penting untuk
diketahui oleh setiap orang terutama mengenal fakta penyebaran penyakit pada
kelompok risiko rendah ( bukan hanya pada kelompok yang berisiko tinggi ) dan prilaku
yang dapat membantu mencegah penyebaran HIV.

B. THERAPI ANTIRETROVIRAL ( ARV )
1. Definisi
Terapi antiretroviral berarti mengobati infeksi HIV dengan obat-obatan. Obat
tersebut disebut obat Anti Retro Viral (ARV) tetapi tidak dapat membunuh virus itu.
Meskipun demikian, obat tersebut dapat memperlambat pertumbuhan virus. Waktu
pertumbuhan virus diperlambat, begitu juga HIV. Karena HIV adalah retrovirus, obat-
obatan ini biasa disebut sebagai terapi antiretroviral (ART). Setiap jenis atau golongan
ARV menyerang HIV dengan cara yang berbeda.
PENYAKIT yang disebabkan Human Immunodeficiency Virus/Acquired
Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) sampai sekarang masih ditakuti karena
sangat mematikan. Yang sekarang banyak diupayakan adalah pengobatan suportif,
pengobatan infeksi oportunistik, dan antiretroviral.
Pengobatan suportif dimaksudkan untuk meningkatkan kondisi umum orang
dengan HIV/AIDS (Odha). Cara yang ditempuh adalah pemberian gizi, obat, vitamin,
dan kondisi psikososial yang baik. Dengan cara ini, Odha dapat melakukan aktivitas
layaknya manusia sehat. Pengobatan suportif sangat perlu dan dapat dilaksanakan di
rumah atau tempat pelayanan kesehatan yang sederhana.
Pengobatan terhadap infeksi oportunistik dilakukan karena kekebalan tubuh
Odha sangat menurun. Pola infeksi oportunistik berbeda-beda bergantung pada pola
mikroba dalam tubuh Odha dan kondisi lingkungannya.
Pengobatan antiretroviral dimaksudkan untuk mengurangi jumlah virus di dalam
tubuh. Biasanya obat antiretroviral dipakai dalam dua atau tiga kombinasi untuk
mencegah resistensi.
Antiretroviral terdiri dari kombinasi golongan Nukleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor (NRTI), Non-Nukleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI) dan
Protease Inhibitor (PI).
NRTI dan NNRTI dipakai secara bersama-sama agar tubuh semakin kuat
menghambat perkembangan (replikasi) virus. Kedua golongan obat ini bekerja pada
tahap awal perkembangan virus, saat proses perubahan Deoxyribo Nucleic Acid (DNA)
menjadi Ribo Nucleic Acid (RNA). NRTI dan NNRTI menghambat terbentuknya RNA.
Sedangkan antiretroviral golongan PI berfungsi menghambat terbentuknya protein baru
yang bakal menjadi virus baru.
Sesuai anjuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bagi negara dengan
kemampuan dana terbatas, kombinasi ARV yang dianjurkan yaitu 2 NRTI dan 1 NNRTI
atau PI. Menurut dr Samsuridjal SpPD, terapi ARV yang diterapkan sekarang yaitu
kombinasi tiga obat, yakni Zidovudine, Lamivudine dan Nevirapine. Ketiga obat itu
digabung dalam satu tablet Zidovex-LN. Dr Samsuridjal adalah Koordinator Program
Akses Diagnosis dan Terapi Kelompok Studi Khusus AIDS (Pokdisus) Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)/RSCM.
Obat itu diimpor dari perusahaan farmasi India, Aurobindo Pharma Ltd. Selain
itu, ada kombinasi ZidovexL, berisi Lamivudine dan Zidovudine, serta obat tunggal
Zidovudine dan Fluconazole (obat jamur) yang diimpor dari Thailand.
Sejak November lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memberi
izin perusahaan farmasi PT Indofarma Tbk mengimpor obat antiretroviral dari India.
Jumlah yang diimpor perusahaan itu lebih banyak ketimbang yang diimpor Pokdisus
FKUI/RSCM. Impor dalam jumlah besar itu membuat harga obat tersebut cenderung
semakin murah. Paket antiretroviral kombinasi tiga jenis obat yang semula harganya Rp
700.000 untuk keperluan sebulan, turun menjadi Rp 650.000. Kombinasi dua turun Rp
500.000 menjadi Rp 465.000. Sedangkan obat tunggal (Zidovudine) turun dari Rp
300.000 menjadi Rp 280.000.
Impor dalam besar itu juga memudahkan distribusi obat itu ke berbagai rumah
sakit, sehingga tidak terpusat di Pokdisus FKUI/RSCM. Meskipun demikian, penyaluran
ke rumah sakit lain tetap harus melalui Pokdisus FKUI/RSCM. Dengan demikian, harga
obat antiretroviral di berbagai rumah sakit sama dengan di Pokdisus FKUI/RSCM. Obat-
obatan itu akan disebar ke rumah sakit di 21 kota di Indonesia. Di Jakarta dan Bandung
terdapat masing-masing 20 dan 26 rumah sakit yang menerima pembagian.
"Untuk menggunakan obat antiretroviral perlu dipertimbangkan gejala klinis,
jumlah limfosit, jumlah virus, dan kemampuan pasien menggunakan obat dalam jangka
panjang," kata Samsuridjal.
Menambahi keterangan tersebut, dr Zubairi Djoerban SpPD KHOM,
menyatakan, seorang Odha memerlukan terapi antiretroviral bila mengalami sindrom
HIV akut dan berada dalam tahap AIDS. Dr Zubairi adalah Ketua Pelaksana Harian
Pokdisus AIDS FKUI/RSCM. Terhadap pasien tanpa gejala, biasanya diperiksa daya
tahan tubuhnya (limfosit/CD4). Jika jumlah limfosit/CD4-nya kurang dari 350 sel/mm3,
sementara jumlah virus (viral load) lebih dari 55.000 kopi/ml, maka yang bersangkutan
sudah harus mendapat obat antiretroviral.
Obat antiretroviral bukanlah sembarang obat yang bisa dipakai kapan saja.
Dampaknya harus selalu dipantau oleh dokter yang meresepkannya. Evaluasi dapat
dilakukan dengan menghitung kadar RNA dalam plasma darah, CD4, kadar enzim hati
SGPT/SGOT.
Menurut Zubairi, setelah pasien memakai antiretroviral, selama empat sampai
enam bulan tidak terdeteksi lagi virus HIV ditubuhnya. Saat ini ada 111 Odha yang tidak
terdeteksi lagi virus di dalam darahnya setelah mendapat terapi anti retroviral. Meskipun
demikian, pemantauan terus dilakukan karena sampai sekarang HIV belum bisa
dihilangkan seratus persen.
Obat antiretroviral memiliki efek samping yang bisa ditoleransi. Menurut dr
Samsuridjal, jika muncul efek samping yang berat, maka perlu penggantian obat.
Efek samping yang sering dijumpai adalah anemia karena pemakaian AZT,
gangguan saraf pusat karena penggunaan Efapirenz (EFZ), merusak hati, diare, dan
kemerahan pada kulit karena pemakaian Nevirapine (NVP). Efek lain yaitu gangguan
pertukaran zat yang meliputi pembentukan dan penguraian zat organik dalam tubuh
(metabolisme) yang disebabkan oleh PI. Kemungkinan lainnya, yaitu rusaknya janin
karena pemakaian EFZ.
Samsuridjal menegaskan bahwa antiretroviral bukan barang dagangan. Peresepan
harus dilakukan dokter yang terlatih. Sebelum terapi ARV dilakukan, perlu ada
penyuluhan, pembimbingan dan tes, diagnosis yang tepat. Terapi antiretroviral harus
merupakan pilihan Odha. Yang juga harus diperhatikan adalah pembimbingan dalam hal
finansial, karena antiretroviral dipakai dalam jangka waktu yang lama.
Untuk itu seorang ODHA harus memiliki pengetahuan tentang pengobatan
AIDS, bagaimana terapi itu bekerja, apa manfaat ART, siapa saja yang membutuhkan
ART, apa indikasi untuk memulai ART dan efek samping obat antiretrovirus. ( Chris,
2009 ).
2. Tujuan Terapi ARV
a. Menurunkan angka kematian dan angka perawatan di rumah sakit
b. Menurunkan viral load
c. Meningkatkan CD4 (pemulihan respons imun)
d. Mengurangi resiko penularan
e. Meningkatkan kualitas hidup
3. Kriteria untuk memberikan terapi antiretrovirus sebagai berikut :
a. Tes HIV secara sukarela disertai konseling yang mudah dijangkau untuk
mendiagnosis HIV secara dini.
b. Tersedia dana yang cukup untuk membiayai Anti Retrovirus Terapi (ART) selama
sedikitnya 1 tahun
c. Konseling bagi pasien dan pendamping untuk memberikan pengertian tentang ART,
pentingnya kepatuhan pada terapi, efek samping yang mungkin terjadi, dll.
d. Konseling lanjutan untuk memberi dukungan psikososial dan mendorong kepatuhan
serta untuk menghadapi masalah nutrisi yang dapat timbul akibat ART
e. Laboratorium untuk memantau efek samping obat termasuk Hb, tes fungsi hati, dll.
f. Kemampuan untuk mengenal dan menangani penyakit umum dan infeksi
oportunistik akibat HIV
g. Tersedianya obat yang bermutu dengan jumlah yang cukup, termasuk obat untuk
infeksi oportunistik dan penyakit yang berhubungan dengan HIV.
h. Tersedianya tim kesehatan termasuk dokter, perawat, konselor, pekerja sosial,
dukungan sebaya. Tim ini seharusnya membantu pembentukan kelompok dukungan
Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dan pendampinya.
i. Adanya pelatihan, pendidikan berkelanjutan, pemantauan dan umpan balik tentang
penatalaksanaan penyakit HIV yang efektif termasuk sistem untuk menyebar luaskan
informasi dan pedoman baru.
Dapat disimpulkan bahwa ODHA menghadapi berbagai masalah, baik masalah
kesehatan, masalah psikologis maupun masalah sosial. Khususnya ODHA pengguna
narkotika sering mengalami masalah beberapa masalah kesehatan sekaligus, TBC,
Toksoplasma, Sifilis, Pneumonia, Jamur dan Koinfeksi Hepatitis C. Koinfeksi dengan
hepatitis C memerlukan penatalaksanaan yang lebih khusus dan komprehensif. Jenis
kombinasi ARV juga perlu dipantau lebih ketat terhadap gangguan faal hati, anemia,
leukopenia dan penurunan CD4.
Waktu HIV menggandakan diri, sebagian bibit HIV baru menjadi sedikit berbeda
dengan aslinya. Jenis berbeda ini disebut mutasi. Sebagian besar mutasi langsung mati,
tetapi sebagian lainnya terus menggandakan diri. Walaupun memakai ARV, ternyata
mutasi tersebut kebal terhadap obat. Jika terjadi hal tersebut, ini berarti bahwa obat yang
dikonsumsi sudah tidak bekerja lagi dan mengembangkan resistensi. Jika hanya satu
jenis obat yang dipakai virus mudah mengembangkan resistensi terhadapnya. Tetapi, jika
dua jenis obat dipakai sekaligus, virus bermutasi harus unggul terhadap dua jenis obat. Jika
tiga jenis obat yang dipakai, kemungkinan mutasi dapat sekaligus unggul terhadap
semuanya sangat kecil.
Pemakaian kombinasi tiga jenis obat berarti pengembangan resistensi memakan
jauh lebih banyak waktu. Oleh karena itu, penggunaan satu jenis obat (yang disebut
monoterapi) sangat tidak dianjurkan. Satu hal yang harus diingat adalah bahwa obat ini tidak
dapat menyembuhkan HIV/AIDS, tetapi obat ini dapat meningkatkan kemungkinan Odha
untuk hidup lebih lama dengan cara menekan jumlah virus yang ada di dalam darah.
(Lembaran Informasi tentang HIV/AIDS Orang dengan HIV/AIDS, 2008).
4. Efek Samping Obat Anti Retroviral
TABEL 2.2 Efek Samping Obat Anti Retroviral
No Nama Obat Efek samping
1. Stavudin
(D4T )
Mual
Nyeri perut hebat
Kelelahan
Sesak napas
2. Lamivudin ( 3TC) Mual
3. Nevirapin (NVP) Mual
Mata Kuning
Ruam Kulit
Kelelahan
Sesak Napas
Demam
4. Zidovudin (ZDV/AZT) Mual
Sakit Kepala
Kelelahan
Nyeri otot
Pucat (anemia)
5. Efavirenz (EFV) Mual
Mimpi aneh
Sulit tidur
Masalah pengingatan
Sakit Kepala
Pusing
Mata kuning
Psikosis
Ruam Kulit
5. Sumber- sumber dukungan
Dengan semakin banyaknya ODHA di kalangan masyarakat maka tempat
layanan dan dukungan untuk mereka perlu dikembangkan. Banyak Rumah Sakit /
fasilitas kesehatan belum siap secara mental melayani ODHA. Layanan dan dukungan
yang perlu dikembangkan antara lain adalah klinik yang bersahabat dan dapat
merupakan one stop clinik dan memiliki fasilitas Voluntary counseling and testing
(VCT). Salah satu tujuan konseling adalah meningkatkan kepatuhan pada terapi
Antiretroviral agar virus tidak menjadi resisten dan efektifitas obat dapat dipertahankan.
( Juknis teknis penanggulangan HIV/AIDS di lingkungan TNI ).
a. Dukungan pemerintah
Di Indonesia pengadaan obat ARV termasuk cepat. Indonesia merupakan
negara kedua di ASEAN yang memproduksi obat ARV. Kemampuan memproduksi
sendiri ini dapat dicapai berkat kerjasama yang baik antara aktivis AIDS, pemerintah
, DPR dan industri farmasi (PT Kimia Farma). Kemampuan memproduski sendiri
obat ARV penting sehingga kita tak bergantung pada obat impor . Dengan demikian
kesinambungan obat ARV dan juga harganya dapat dikendalikan. Sejarah pengadaan
obat ARV dinegara yang sedang berkembang merupakan cerita yang penuh
perjuangan . Di Indonesia gagasan pengadaan obat ARV produksi di dalam negeri
timbul seteleh salah seorang pengurus kelompok Studi Khusus AIDS FKUI/RSCM
berkunjung ke India dan berhasil mendapat komitmen produsen obat ARV generik
India untuk menyediakan obat bagi Odha di Indonesia. Pokdisus mendapat izin dari
Badan POM dan Depkes untuk melaksanakan layanan akses khusus obat ARV.
Ternyata kebutuhan obat ARV generik cukup tingi sehingga Pokdisus tak mampu
lagi menalangi pembelian obat ARV generik ini dan mendorong perusahaan obat
milik pemerintah untuk memproduksi obat ini di Indonesia. PT Kimia Farma
beresedia memproduksi obat ARV ini . Sudah tentu perusahaan obat multi nasional
yang mempunyai paten obat ini tidak tinggal diam. Untunglah masalah ini dapat
diatasi melalui keputusan presiden yang menyatakan bahwa obat ARV merupakan
kebutuhan masyarakat dan merupakan salah satu upaya dalam penanggulangan
AIDS di Indonesia .Produsen obat paten diberi kompensasi sebesar 0,5 % dari
penjualan ARV generik.
Sampai saat ini biaya yang terbesar untuk pengadaan obat ARV ini berasal
dari anggaran pemerintah. Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen yang
tinggi pada program WHO untuk menyediakan obat ARV.
Sejak tahun 2004, pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan telah
memberikan jatah ARV generik gratis bagi 25 rumah sakit di seluruh Indonesia.
b. Dukungan keluarga
ODHA yang selesai dirawat dan diijinkan pulang maka keluarga harus siap
menerima dan merawatnya di rumah. Perawatan di rumah merupakan
kesinambungan dari perawatan di rumah sakit. Bantuan keluarga hanya diberikan
bila ODHA tidak sanggup melakukannya dan jika hal itu diperlukan maka tenaga
kesehatan dapat membantu dan membimbingnya.
Orang Dengan HIV/AIDS (Odha) tidak selalu harus dirawat di rumah sakit
karena salah satu tempat terbaik untuk merawat Odha adalah di rumah/tempat tinggal
Odha itu sendiri dengan dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya. Banyak
Odha dapat hidup aktif dalam jangka waktu yang lama, tidak perlu dirawat di rumah
sakit. Perawatan di rumah biasanya lebih murah, lebih menyenangkan, lebih akrab
dan membuatnya bisa mengatur dirinya sendiri. Penyakit yang berhubungan dengan
Odha biasanya akan cepat membaik dengan kenyamanan yang dirasakan di rumah,
dukungan dari teman, keluarga dan orang-orang yang dicintainya.
Informasi yang diperlukan keluarga dalam merawat ODHA di rumah dapat
diperoleh melalui Lembaga Sosial Masyarakat peduli AIDS sehingga keluarga dapat
memberikan dukungan secara moral dan materi agar mereka tidak lagi jatuh ke
dalam stress yang lebih berat. Informasi itu meliputi pencegahan, pengobatan,
perawatan ODHA dan perawatan jenazah. (Depkes, 2003)
6. Konseling
Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan
psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV,
mempromosikan perubahan prilaku yang bertanggung jawab pada pengobatan ARV dan
memastikan pemecahan berbagai masalah terkait HIV.(Pedoman pelayanan konseling dan
testing HIV/AIDS).
VCT harus dikerjakan secara professional dan konsisten untuk memperoleh
intervensi efektif dimana memungkinkan klien dengan bantuan konselor terlatih menggali
dan memahami diri akan resiko infeksi HIV, mendapatkan informasi HIV/AIDS,
mempelajari status dirinya dan mengerti tanggung jawab untuk menurunkan prilaku
beresiko dan mencegah penyebaran infeksi kepada orang lain guna mempertahankan dan
meningkatkan prilaku sehat.
C. PENGETAHUAN
1. Definisi Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil Tahu dan ini terjadi setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu yang mana penginderaan
ini terjadi melalui panca i ndera manusi a yakni indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba yang sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003).
2. Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003:3) membagi 6 tingkat pengetahuan. Ada 6 tingkat
pengetahuan yang dicapai dalam domain kognitif yaitu:
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap suatu yang
spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh
sebab itu, ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Untuk mengukur
bahwa seseorang, tabu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan,
menguraikan, mendefenisikan. menyatakan dan sebagainya.
b. Memahami (Comprehention)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut
secara benar, orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya
terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi sebenamya, aplikasi ini diartikan dapat sebagai
aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus metode, prinsip dan sebagainya
dalam konteks atau situasi yang lain.
d. Analisis (Analysys)
Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut
dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisa ini dapat dilihat dari
penggunaan kata kerja dapat menggambarkan, membedakan, mengelompokkan dan
seperti sebagainya. Analisis merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi,
memisahkan dan sebagainya.
e. Sintesa (Syntesis)
Adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menggabungkan
bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang, baru dengan kata lain
sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formasi baru dari
informasi-informasi yang ada misalnya dapat menyusun, dapat
menggunakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan terhadap suatu
teori atau rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian itu berdasarkan suatu kriteria
yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang telah ada. Pengukuran
pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan
tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responder kedalaman
pengetahuan yang ingin kita ketahui dapat kita lihat sesuai dengan tingkatan-
tingkatan diatas.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Pengetahuan
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan yaitu :
a. Umur
Umur adalah lamanya hidup yang dihitung sejak lahir sampai saat ini. Umur
merupakan periode terhadap pola-pola kehidupan yang baru, semakin bertambahnya
umur akan mencapai usia reproduksi. (Notoadmodjo, 2003).
Selain itu Abu Ahmadi (2001), juga mengemukakan bahwa memang daya
ingat seseorang itu salah satunya dipengaruhi oleh umur. Dari uraian ini maka dapat
kita simpulkan bahwa bertambahnya umur seseorang dapat berpengaruh pada
pertambahan pengetahuan yang diperolehnya, akan tetapi pada umur-umur tertentu
atau menjelang usia lanjut kemampuan penerimaan atau mengingat suatu
pengetahuan akan berkurang.
b. Jenis kelamin
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti jenis kelamin.Dalam
Websters New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak
antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
Di dalam Womens Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah
suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal
peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang dalam masyarakat
c. Intelegensi
Intelegensi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk belajar dan berfikir
abstrak guna menyesuaikan diri secara mental dalam situasi baru.Intelegensi
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil dari proses belajar.
Intelegensi bagi seseorang merupakan salah satu modal untuk berfikir dan mengolah
berbagai informasi secara terarah sehingga ia mampu menguasai lingkungan
(Khayan, 1997 : 34). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan
intelegensi dari seseorang akan berpengaruh pula terhadap tingkat pengetahuan.
d. Lingkungan
Lingkungan adalah komponen dalam paradigma keperawatan yang
mempunyai implikasi sangat luas bagi kelangsungan hidup manusia, khususnya
menyangkut status kesehatan seseorang. Lingkungan yang dimaksud dapat berupa
lingkungan internal dan lingkungan eksternal yang berpengaruh baik secara langsung
maupun tidak langsung pada individu, kelompok atau masyarakat seperti lingkungan
yang bersifat biologis, psikologis, sosial, cultural, spiritual, iklim, sistem
perekonomian, politik dll. ( Wahid Iqbal Mubarak, 2009).
e. Sosial budaya
Sosial budaya mempunyai pengaruh pada pengetahuan seseorang. Seseorang
memperoleh suatu kebudayaan dalam hubunganya dengan orang lain, karena
hubungan ini seseorang mengalami suatu proses belajar dan memperoleh suatu
pengetahuan.
f. Pendidikan
Menurut Notoadmojo (1997) pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses
pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan kemampuan tertentu
sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri. Menurut Wied Hary A.(1996),
menyebutkan bahwa tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya
seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh, pada
umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang makin semakin baik pula
pengetahuanya.
g. Pekerjaan.
Menurut Thomas yang dikutip oleh Nursalam (2003), pekerjaan adalah
keburukan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan
kehidupan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak
merupakan cara mencari nafkah yang membosankan, berulang dan banyak tantangan.
Sedangkan bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi
ibu-ibu akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga.
h. Sumber informasi
Informasi yang diperoleh dari berbagai sumber akan mempengaruhi tingkat
pengetahuan seseorang. Bila seseorang benyak memperoleh informasi maka ia
cenderung mempunyai pengetahuan yang lebih luas (Notoadmodjo, 2003)
Menurut Hary A (1996) informasi akan memberikan pengaruh pada
pengetahuan seseorang. Meskipun seseorang memiliki pendidikan yang rendah
tetapi jika ia mendapatkan informasi yang baik dari berbagai media misalnya TV,
radio atau surat kabar maka hal itu akan dapat meningkatkan pengetahuan
seseorang.
i. Pengalaman
Pengalaman merupakan guru yang terbaik. Pepatah tersebut dapat diartikan
bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu suatu cara
untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu pengalaman pribadi pun
dapat digunakan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan
dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan
permasalahan yang dihadapi pada masa lalu.(Notoadmojo 1997: 13)
j. Pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau
secara bersama sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan
perseorangan, keluarga dan kelompok masyarakat.( Wahid Iqbal,2009).
Menjalin layanan di Rumah Sakit, Puskesmas dan masyarakat agar terjadi
perawatan dan pelayanan yang berkesinambungan dan memenuhi kebutuhan ODHA
merupakan hal yang rumit. Hal terpenting adalah memusatkan upaya pada kerjasama
yang saling mendukung bagi rekan yang lain. Dengan demikian kelompok lain yang
memiliki keterampilan lebih spesifik dapat membantu memberikan pelatihan kepada
kelompok lainya. Salah satu kelompok hanya memusatkan pada layanan tertentu
yang merupakan sebagian dari perawatan lengkap diikuti dengan sistem rujukan yang
efektif kepada kelompok lain yang memiliki kemampuan untuk memberikan layanan
di bidang lainya. (Depkes,2003).
4. Kategori pengetahuan
Menurut (Arikunto, 1998) mengemukakan bahwa untuk mengetahui secara
kualitas tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang dapat dibagi menjadi empat
tingkat yaitu :
a. Tingkat pengetahuan baik bila skor atau nilai 76-100 %
b. Tingkat pengetahuan cukup bila skor atau nilai 56-75 %
c. Tingkat pengetahuan kurang bila skor atau nilai 40-55 %
d. Tingkat pengetahuan buruk bila skor atau nilai < 40 %
5. Pengukuran Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang
menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subjek penelitian atau responden.
Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan
dengan tingkatan-tingkatan di atas. (Notoatmodjo, 2003).
D. PENELITIAN TERKAIT
Sejauh penelusuran peneliti, penelitian ini belum ada tetapi ada penelitian yang hampir
serupa yaitu yang dilakukan oleh :
1. Ida Ayu Mas Ari Astuti Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Veteran Jakarta yaitu
Gambaran Pengetahuan Remaja Tentang HIV/AIDS Di SMP Negri 85 Jakarta tahun
2008 dengan jumlah sampel 114 responden. Hasil penelitian menunjukan bahwa
karakteristik responden meliputi umur responden yang paling banyak adalah kelompok
umur remaja awal yaitu 11-14 tahun. Responden yang memiliki pengetahuan baik
tentang HIV/AIDS lebih banyak dari pada responden yang memiliki pengetahuan kurang
baik tentang hal tersebut.
2. Penelitian lain juga yaitu skripsi stikes tahun 2008 dengan judul Faktor- faktor yang
berhubungan dengan pengetahuan pasien dalam melakukan tindakan cabut gigi
dipuskesmas salaman I Kabupaten Mangelang, Jawa tengah tahun 2008.Penelitian
deskriptif analitik pendekatan observasi dengan rancangan cross sectional untuk
mengetahui gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan pasien dalam
melakukan tindakan cabut gigi,Data didapat dengan menggunakan kuesioner dan
dianalisis dengan uji Corelassion Linier. Jumlah responden 69 orang.Hasil penelitian,
umur (p=0.083), pekerjaan (p=0.228), dan penghasilan (p=0.152) tidak berpengaruh
terhadap pengetahuan responden dalam melakukan tindakan cabut gigi, Sedangkan
pendidikan(p=0.027) mempengaruhi responden dalam melakukan tindakan cabut gigi,
dimana pengaruhinya sebesar 20.80%.
3. Penelitian I Ketut Mahena tahun 2008 mengenai Hubungan pengetahuan , sikap dengan
prakttik berisiko HIV/AIDS pada mahasiswa Universitas Pembangunan Veteran Jakarta.
Hasil penelitian menunjukan bahwa usia responden memiliki hubungan praktik beresiko
HIV/AIDS. Mahasiswa UPN Veteran Jakarta dengan P. value 0,016, variable lain yang
memiliki hubungan dengan praktik beresiko HIV/AIDS adalah jurusan. Dari hasil
variable jurusan diperoleh P. value 0,042 dengan nilai 2,092 yang berarti mahasiswa dari
jurusan non kesehatan melalui praktik berisiko tinggi HIV/AIDS 2,092 kali lebih besar
dari non juusan kesehatan. Variabel lain yang memiliki hubungan dengan praktik
beresiko HIV/AIDS adalah sikap tentang HIV/AIDS. Dari uji chi square P. value 0,037
dan OR 0,476 . Melihat hasil dari penelitian ini perlu diperhatikan bahwa usia , jurusan
dan sikap memiliki hubungan praktik beresiko HIV/AIDS di masyarakat yang dalam hal
ini menggunakan sampel mahasiswa. Selain itu pengetahuan merupakan factor penting
yang mempengaruhi terbentuknya prilaku dalam hal ini tentang HIV/AIDS.
4. Penelitian Ni Wayan Utari mengenai Hubungan pengetahuan masyarakat tentang asam
urat dengan praktik pencegahan dan perencanaan perawatan asam urat di RW 02
kelurahan pangkalan jati kecamatan limo Depok, 2009. Desain penelitian menggunakan
metode crossectional, metode sampling yang digunakan adalah accidental sampling.
Hasil penelitian didapatkan proporsi terbesar responden berumur kurang dari 40 tahun
sebesar 61,2%, jenis kelamin perempuan sebesar 51,3%, tingkat pendidikan tinggi
sebesar 54,9%, status pekerjaan bekerja sebesar 56,5%, pengetahuan dengan katagori
baik sebesar 53,1%. Ada hubungan yang bermakna antara umur, tingkat pendidikan,
status pekerjaan dengan praktik pencegahan dan perencanaan perawatan asam urat
P>0,05. Sedang jenis kelamin tidak mempunyai hubungan yang bermakna. Ada
hubungan yang bermakna antara pengetahuan masyarakat tentang asam urat dengan baik
7,298 kali lebih besar dari pada responden yang berpengetahuan kurang baik.
E. KERANGKA TEORI
Faktor Predisposisi
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Sosial budaya
Jenis Kelamin
Faktor Pendukung
Pengalaman
Sumber Informasi
Konseling
Pelayanan kesehatan
Intelegensi
Faktor Penguat
Dukungan keluarga
Lingkungan
Dukungan
Pemerintah
Tingkat Pengetahuan Pasien
HIV AIDS Tentang Terapi ARV

Anda mungkin juga menyukai