Anda di halaman 1dari 9

Kelompok 5 Endah Nurviana Safitri 12.06.000 Rila Nurul Komariah 12.06.0011 Baiq Halimatussadiah 12.06.0012 Lita Yuliati 12.06.

0020 Luh Justisia Padmiyati 12.06.0023 Iro Pendi Latifullah S 12.06.0030 Husnaini Hawari 12.06.0041 M.Thoni Arthawijaya 12.06.0040 Made Widhi Kerta Purwani SS 12.06.0046

DISPEPSIA FUNGSIONAL

A. Batasan Dan Epidemiologi Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys- (buruk) dan -peptein (pencernaan). Berdasarkan konsensus International Panel of Clinical Investigators, dispepsia didefinisikan sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman yang terutama dirasakan di daerah perut bagian atas, sedangkan menurut Kriteria Roma III terbaru, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai sindrom yang mencakup satu atau lebih dari gejalagejala berikut: perasaan perut penuh setelah makan, cepat kenyang, atau rasa terbakar di ulu hati, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis. Dispepsia merupakan keluhan klinis yang sering dijumpai dalam praktik klinis sehari-hari. Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan peningkatan prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi 3,3% pada tahun 2003. Istilah dispepsia sendiri mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 1980-an, yang menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, tentunya termasuk juga di dalamnya penyakit yang mengenai lambung, atau yang lebih dikenal sebagai penyakit maag.

Dispepsia fungsional, pada tahun 2010, dilaporkan memiliki tingkat prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan primer. Bahkan, sebuah studi tahun 2011 di Denmark mengungkapkan bahwa 1 dari 5 pasien yang datang dengan dispepsia ternyata telah terinfeksi H. Pylori yang terdeteksi setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan.

B. Klasifikasi Dispepsia terbagi atas dua subklasifikasi, yakni dispepsia organik dan dispepsia fungsional, jika kemungkinan penyakit organik telah berhasil dieksklusi. Dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 kelompok, yakni postprandial distress syndrome dan epigastric pain syndrome. Postprandial distress syndrome mewakili kelompok dengan perasaan begah setelah makan dan perasaan cepat kenyang, sedangkan epigastric pain syndrome merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu terkait dengan makan seperti halnya postprandial distress syndrome. El-Serag dan Talley (2004) melaporkan bahwa sebagian besar pasien dengan uninvestigated dyspepsia, setelah diperiksa lebih lanjut, ternyata memiliki diagnosis dispepsia fungsional. Talley secara khusus melaporkan sebuah sistem klasifi kasi

dispepsia, yaitu Nepean Dyspepsia Index, yang hingga kini banyak divalidasi dan digunakan dalam penelitian di berbagai negara, termasuk baru-baru ini di China.

C. Pendekatan Diagnostik Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila kelainan organik ditemukan, dipikirkan kemungkinan diagnosis banding dispepsia organik, sedangkan bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia fungsional. Penting diingat bahwa dispepsia fungsional merupakan diagnosis by exclusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus benar-benar dipastikan tidak ada kelainan yang bersifat organik. Dalam salah satu sistem penggolongan, dispepsia fungsional diklasifi kasikan ke dalam ulcer-like dyspepsia dan dysmotility-like dyspepsia; apabila tidak dapat masuk ke dalam 2 subklasifi kasi di atas, didiagnosis sebagai dispepsia nonspesifik. Esofagogastroduodenoskopi dapat dilakukan bila sulit membedakan antara dispepsia fungsional dan organik, terutama bila gejala yang timbul tidak khas, dan

menjadi indikasi mutlak bila pasien berusia lebih dari 55 tahun dan didapatkan tandatanda bahaya. Kriteria Roma III pada tahun 2010, dalam American Journal of Gastroenterology, menegaskan kriteria diagnostik dispepsia fungsional seperti tertera pada boks 1.

Diagnosis dispepsia dapat bertumpang tindih dengan IBS. Pasien IBS, khususnya dengan predominan konstipasi, mengalami keterlambatan pengosongan lambung sehingga akhirnya disertai pula dengan gejala-gejala saluran pencernaan bagian atas yang

menyerupai gejala dispepsia. Sebaliknya, pada pasien dispepsia, sering kali juga disertai dengan gejala-gejala saluran pencernaan bawah yang menyerupai IBS. Untuk membedakannya, beberapa ahli mengemukakan sebuah cara, yakni dengan meminta pasien menunjuk lokasi di perut yang terasa paling nyeri; dengan lokalisasi ini, kedua entitas tersebut dapat didiferensiasi. Quigley et al. Mengemukakan sebuah pendekatan baru, yaitu dengan menyatakan IBS dan dispepsia fungsional sebagai bagian dari spektrum penyakit fungsional saluran cerna.

D. Diagnosis Banding Diagnosis dispepsia fungsional ditegakkan setelah penyebab lain dispepsia berhasil dieksklusi. Karena itu, upaya diagnosis ditekankan pada upaya mengeksklusi penyakitpenyakit serius atau penyebab spesifik organik yang mungkin, bukan menggali karakteristik detail dan mendalam dari gejala-gejala dispepsia yang dikeluhkan pasien.

E. Faktor Risiko Individu dengan karakteristik berikut ini lebih berisiko mengalami dispepsia: konsumsi kafein berlebihan, minum minuman beralkohol, merokok, konsumsi steroid dan OAINS, serta berdomisili di daerah dengan prevalensi H. pylori tinggi.

F. Mekanisme Patologis Dari sudut pandang patofi siologis, proses yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung, infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral.5

Ferri et al. (2012) menegaskan bahwa patofi siologi dispepsia hingga kini masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-penelitian masih terus dilakukan terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki peranan bermakna, seperti di bawah ini: 1. Abnormalitas fungsi motorik lambung, khususnya keterlambatan pengosongan lambung, hipomotilitas antrum, hubungan antara volume lambung saat puasa yang rendah dengan pengosongan lambung yang lebih cepat, serta gastric compliance yang lebih rendah. 2. Infeksi Helicobacter pylori 3. Faktor-faktor psikososial, khususnya terkait dengan gangguan cemas dan depresi.

Sekresi asam lambung Kasus dispepsia fungsional umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata normal. Diduga terdapat peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.

Helicobacter pylori Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H. pylori pada dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan angka kekerapan infeksi H. pylori pada kelompok orang sehat. Mulai ada kecenderungan untuk melakukan eradikasi H. pylori pada dispepsia fungsional dengan H. pylori positif yang gagal dengan pengobatan konservatif baku.

Dismotilitas Selama beberapa waktu, dismotilitas telah menjadi fokus perhatian dan beragam abnormalitas motorik telah dilaporkan, di antaranya keterlambatan pengosongan lambung, akomodasi fundus terganggu, distensi antrum, kontraktilitas fundus postprandial, dan dismotilitas duodenal. Beragam studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional, terjadi perlambatan pengosongan lambung dan hipomotilitas antrum (hingga 50% kasus), tetapi harus dimengerti bahwa proses motilitas gastrointestinal merupakan proses yang sangat kompleks, sehingga gangguan pengosongan lambung saja tidak dapat mutlak menjadi penyebab tunggal adanya gangguan motilitas.

Ambang rangsang persepsi

Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptors. Berdasarkan studi, pasien dispepsia dicurigai mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap distensi balon di gaster atau duodenum, meskipun mekanisme pastinya masih belum dipahami. Hipersensitivitas viseral juga disebut-sebut memainkan peranan penting pada semua gangguan fungsional dan dilaporkan terjadi pada 30-40% pasien dengan dispepsia fungsional. Mekanisme hipersensitivitas ini dibuktikan melalui uji klinis pada tahun 2012. Dalam penelitian tersebut, sejumlah asam dimasukkan ke dalam lambung pasien dispepsia fungsional dan orang sehat. Didapatkan hasil tingkat keparahan gejala dispeptik lebih tinggi pada individu dispepsia fungsional. Hal ini membuktikan peranan penting hipersensitivitas dalam patofisiologi dispepsia. Disfungsi autonom Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang. Aktivitas mioelektrik lambung Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi terdeteksi pada beberapa kasus dispepsia fungsional, tetapi peranannya masih perlu dibuktikan lebih lanjut. Peranan hormonal Peranan hormon masih belum jelas diketahui dalam patogenesis dispepsia fungsional. Dilaporkan adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin memengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal. Diet dan faktor lingkungan Intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia fungsional dibanding kasus kontrol. Psikologis Adanya stres akut dapat memengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah pemberian stimulus berupa stres. Kontroversi masih

banyak ditemukan pada upaya menghubungkan faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom, dan motilitas. Tidak didapatkan kepribadian yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini, walaupun dalam sebuah studi dipaparkan adanya kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia, pelecehan seksual, atau gangguan jiwa pada kasus dispepsia fungsional. Faktor genetik Potensi kontribusi faktor genetik juga mulai dipertimbangkan, seiring dengan terdapatnya bukti-bukti penelitian yang menemukan adanya interaksi antara polimorfi sme gengen terkait respons imun dengan infeksi Helicobacter pylori pada pasien dengan dispepsia fungsional.

G. Penatalaksanaan Pedoman terbaru pengelolaan uninvestigated dyspepsia merekomendasikan pemeriksaan Helicobacter pylori dilakukan terlebih dahulu sebelum dilakukan pengobatan terhadap infeksi tersebut. American College of Gastroenterology Guidelines for the Management of Dyspepsia (2005), mengemukakan pentingnya mendeteksi tandatanda bahaya (alarming features) pada pasien dengan keluhan dispepsia. Apabila didapatkan tanda-tanda bahaya (seperti gejala dispepsia yang baru muncul pada usia lebih dari 55 tahun, penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, anoreksia, rasa cepat kenyang, muntah, disfagia progresif, odinofagia, perdarahan, anemia, ikterus, massa abdomen, pembesaran kelenjar limfe, riwayat keluarga dengan kanker saluran cerna atas, ulkus peptikum, pembedahan lambung, dan keganasan), tindakan esofagogastroduodenoskopi untuk keperluan diagnostik sangat dianjurkan. Namun, bila tidak didapatkan kondisi di atas, terdapat 2 tindakan yang dapat dilakukan: (1) Test-and-treat: untuk mendeteksi ada tidaknya infeksi Helicobacter pylori dengan uji noninvasif yang tervalidasi disertai pemberian obat penekan asam bila eradikasi berhasil, tetapi gejala masih tetap ada. (2) Pengobatan empiris menggunakan proton-pump inhibitor (PPI) untuk 4-8 minggu.11 American College of Physicians menyatakan bahwa pengobatan empiris menggunakan obat antisekresi ini merupakan tulang punggung utama pengobatan dispepsia dan masih dipraktikkan secara luas hingga saat ini. Alternatif (1) dianjurkan untuk mengobati populasi dengan prevalensi infeksi H. pylori tingkat sedang sampai tinggi (>10%), sedangkan alternatif (2) disarankan pada populasi dengan prevalensi infeksi H. pylori rendah.

Sebuah studi di Denmark (2011) telah berhasil menerapkan test-and-treat secara massal dengan cara melakukan urea breath test (UBT) di rumah-rumah.9 Namun, dalam upaya eradikasi H. Pylori, perlu diwaspadai adanya resistensi tehadap pengobatan antibiotik yang diberikan; dalam studi di Spanyol (2012), ditemukan peningkatan resistensi terhadap levofl oksasin yang hampir menyamai tingkat resistensi terhadap klaritromisin. Selanjutnya, langkah yang perlu dilakukan adalah menyingkirkan kemungkinan penyebab organik. Apabila kemungkinan tersebut telah disingkirkan, untuk makin mengoptimalkan pengelolaan pasien dispepsia fungsional, perlu diketahui subklasifikasi dispepsia fungsional tersebut. Apabila ditemukan ulcer-like dyspepsia, pengobatan antasida, antagonis reseptor H2, dan PPI sangat dianjurkan. Apabila didapatkan dysmotility-like dyspepsia, pengobatan dengan agen prokinetik merupakan pilihan yang lebih baik. Mengingat adanya hubungan dengan faktor psikosomatis pada pasien dispepsia fungsional, patut dipertimbangkan pemberian obat-obat psikotropik dan intervensi secara psikologis, sekalipun bukti keuntungan terapi ini belum secara ekstensif didapatkan. Terapi terbaru, seperti ekstrak herbal STW, masih memerlukan penelitianpenelitian preklinis yang intensif sebelum dapat digunakan. Guo (2011) melaporkan efektivitas akupunktur dalam meningkatkan motilin plasma, frekuensi

elektrogastrografik, pengosongan lambung, dan meredakan gejala-gejala dispepsia fungsional, terlebih bila dikombinasikan dengan obat-obat yang sudah ada.

H. Prognosis Mahadeva et al. (2011) menemukan bahwa pasien dispepsia fungsional memiliki prognosis kualitas hidup lebih rendah dibandingkan dengan individu dengan dispepsia organik. Tingkat kecemasan sedang hingga berat juga lebih sering dialami oleh individu dispepsia fungsional. Lebih jauh diteliti, terungkap bahwa pasien dispepsia fungsional, terutama yang refrakter terhadap pengobatan, memiliki kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi dan gangguan psikiatris. Pasien dispepsia harus dirujuk ke dokter spesialis terkait jika ditemukan tanda dan gejala di bawah ini: (1) Jika pasien mengalami gejala dan tanda bahaya (alarming features) seperti berikut: perdarahan saluran cerna, sulit menelan, nyeri saat menelan, anemia yang tidak bisa dijelaskan sebabnya, perubahan nafsu makan, dan penurunan

berat badan, atau ada indikasi endoskopi. Segera rujuk pasien ke spesialis gastroenterologi atau rumah sakit dengan fasilitas endoskopi. (2) Bila gejala dan tanda lebih mengarah pada kelainan jantung, segera rujuk ke spesialis jantung.

Abdullah, Murdani & Gunawan, Jeffri. 2012. Dispepsia. Diunduh dari: http://www.kalbemed.com/Portals/6/197_CME-Dispepsia.pdf, pada tanggal 27 Januari 2014, pukul 17.00 WITA.

Anda mungkin juga menyukai