Anda di halaman 1dari 2

DRAMA politik yang menyedot perhatian publik itu beruntung tak berujung sendu (s ad end).

Dengan jurus diplomasi kekeluargaan, Ketua Umum Partai Demokrasi Indone sia Perjuangan Megawati Soekarnoputri, disertai bintang pendampingnya, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, berhasil meyakinkan Superwali Tri Rismaharini untuk tetap bertahan memenuhi harapan publik. Peristiwa ini mengisyaratkan banyak hal. Sumber pesimisme dan apatisme publik te rhadap politik tidaklah terletak pada sisi permintaan (demand side), seperti serin g didalihkan para politisi: rendahnya tingkat pendidikan rakyat, pragmatisme pem ilih, dan kurangnya kesadaran politik. Sumber itu sebaliknya terletak pada kelem ahan sisi penawaran (supply side) dari ketidakmampuan aktor-aktor politik untuk me mbangkitkan kepercayaan rakyat. Sekali ada aktor politik yang dapat dipercaya, s eperti Tri Rismaharini, kegairahan warga untuk terlibat secara politik kembali m enguat. Menurut Donna Zajonc dalam The Politics of Hope, untuk membangkitkan politik har apan, suatu bangsa harus keluar dari tahap anarki, tradisionalisme, dan apatisme menuju penciptaan pemimpin publik yang sadar. Pada tahap pertama, seluruh tinda kan politik diabsahkan menurut logika pemenuhan kepentingan pribadi yang menghan curkan sensibilitas pelayanan publik. Pada tahap kedua, untuk mencapai sesuatu, pemimpin mendominasi dan memarjinalkan orang lain. Pada tahap ketiga, peluang-peluang yang dimungkinkan demokrasi tida k membuat rakyat berdaya justru membuatnya apatis. Pada tahap keempat, tahap politik harapan, para pemimpin menyadari pentingnya me rawat harapan dan optimisme dalam situasi krisis, dengan cara memahami kesalingt ergantungan realitas serta kesediaan melayani kepentingan publik dengan menerobo s batas-batas politik lama. Kekuasaan digunakan untuk memotivasi dan memberikan inspirasi keteladanan yang m emungkinkan orang lain mewujudkan keagungannya. Warga menyadari pentingnya keter libatan dalam politik dan aktivisme sosial untuk bergotong royong merealisasikan kebajikan bersama. Masalah terbesar demokrasi di negeri ini adalah mismatch antara ledakan pemburu jabatan politik di satu sisi dan merosotnya kepercayaan rakyat kepada pemimpin p olitik di sisi yang lain. Situasi ini bisa membuat demokrasi bersifat korosif dan koruptif. Seperti dikatakan Montesquieu, Prinsip dem okrasi dikorup bukan saja ketika spirit kesetaraan hilang, melainkan juga ketika spirit kesetaraan yang ekstrem berlangsung manakala setiap orang merasa pantas me mimpin. Orang-orang eksentrik Untuk memulihkan kepercayaan rakyat pada politik, yang diperlukan bukan sekadar pemimpin yang baik, melainkan pemimpin dengan kekhasan eksentrisitas, yang mengi ndikasikan kekuatan karakter, kebesaran jiwa, dan keliaran visi perubahan. Pemim pin yang tidak memedulikan bagaimana bisa dipilih ulang, tetapi memedulikan baga imana keterpilihannya dijadikan pintu masuk bagi dekonstruksi dan rekonstruksi t ata kelola pemerintahan secara sistemik. Kreativitas sosial dan transformasi masyarakat memerlukan tumbuhnya eksentrisita s. Dalam hal ini, John Stuart Mill menengarai, Jumlah eksentrisitas dalam masyara kat pada umumnya proporsional dengan jumlah genius, kekuatan mental, dan keberan ian moral yang dikandung masyarakat tersebut. Defisit orang-orang eksentrik berka rakter, yang memiliki kekuatan mental, kebernasan gagasan dan keberanian moral u ntuk mengambil pilihan, menimbulkan rintangan besar dalam transformasi bangsa. Desain institusi politik yang menekankan pada sumber daya alokatif (kekuatan fin

ansial) ketimbang sumber daya otoritatif (kapasitas-karakter) menyempitkan kesem patan orang-orang eksentrik untuk memainkan peran politik. Padahal, terdapat sej umlah pengalaman empiris. Begitu partai politik memberikan kesempatan kepada fig ur-figur eksentrik untuk diusung menjadi pemimpin politik, prestasi kepemimpinan menggembirakan dan kepercayaan rakyat pada politik pulih kembali. Superwali Risma adalah contoh persenyawaan yang baik antara eksentrisitas tokoh dan kesediaan partai untuk mengusungnya tanpa pertimbangan uang. Eksentrisitas I bu Wali terlihat dari paradoks antara keluguan perangai dan keberanian bertindak ; kesantunan berbusana muslimah dan keliaran visi; kesederhanaan penampilan dan ekselensi pelayanan serta kerapian tata kota; kemungilan tubuh dan kebesaran jiw a; antara keurakan ala bonek dan kelembutan welas asih. Menjadi wali kota tanpa kobaran ambisi dan modal membuatnya tidak mengalami konf lik kepentingan dan berani bertindak; nothing to lose. Dalam waktu singkat, Sura baya yang dalam istilah Lewis Mumford bisa dilukiskan sebagai kota heterogenik (pe nuh ambiguitas, kekumuhan, kekerasan, kemiskinan, disintegrasi, dan anarki) bisa disulap menjadi kota ortogenetik (mengekspresikan tatanan keindahan, keadaban, da n keadilan). Pada akhirnya, Sang Superwali benar-benar membuktikan keagungan politik seperti yang disebutkan oleh Harry Truman, Politik politik luhur adalah pelayanan publik. Tak ada kehidupan atau pekerjaan tempat manusia menemukan peluang yang lebih besar untuk melayani komunitas atau negaranya selain dalam politik yang baik. Kita harus mengkloning Sang Superwali ke kota-kota lain di negeri ini agar keper cayaan warga pada politik bisa dipulihkan dan negeri sebesar serta seluas Indone sia bisa meraih marwah dan kejayaan yang sepadan.

Anda mungkin juga menyukai