Anda di halaman 1dari 218

RELASI POLITIK OMS PARTAI POLITIK

Sebuah Dinamika & Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Chairul Fahmi Aryos Nivada Cut Famelia T.M.Jafar

The Aceh Institute & The Asia Foundation Februari 2014 ISBN: 978-602-14847-0-8 RELASI POLITIK OMS dengan PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh Penulis Chairul Fahmi Aryos Nivada Cut Famelia T.M. Jafar Tim Peneliti Baiquni Hasbi, Nur Azizah, Kholilullah & Zulkarnaen Konsultan Ahli Editor Design Cover : Sutoro Eko : Afrizal Tjoetra : Arif Abdul Ghafur

The Aceh Institute Jl.Lingkar Kampus Kav.11-12 Pertokoan Limpok, Limpok Squere Darussalam, Banda Aceh 23111 INDONESIA Email: info@acehinstitute.org Homepage: http://www.acehinstitute.org Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

ii

KATA PENGANTAR

MIGRASI politik aktivis Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) ke partai politik bukanlah fenomena yang baru terjadi, baik di Aceh maupun daerah lain di Indonesia. Sudah lama hal ini berlangsung, dari waktu waktu. Di awal kemerdekaan Indonesia, misalnya, banyak pendiri republik yang awalnya bergiat dalam wadah ormas bergabung ke dalam atau bahkan mendirikan-- partai politik. Sementara itu, jauh sebelum reformasi, migrasi aktivis OMS ke partai politik ibarat peta jalan untuk menapaki langkah selanjutnya bekerja untuk melayani kepentingan publik. Tengoklah beberapa aktivis mahasiswa -- dari kelompok Cipayung maupun bukan-yang kemudian menjadi fungsionaris partai politik di jaman orde baru. Setelah reformasi, tidak sedikit pula aktivis OMS yang awalnya sangat militan beraktivitas di dunia LSM beralih menjadi aktivis partai politik, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Dan, sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran, jumlah aktivis OMS yang bermigrasi ke partai politik makin membengkak menjelang pelaksanaan Pemilu. Inilah yang kita saksikan menjelang Pemilu 2014 ini. Meskipun sudah berlangsung lama, perdebatan atas isu migrasi aktivis OMS ke partai politik selalu terjadi, dan tentunya semakin menjadi perhatian
iii

menjelang Pemilu. Ada yang setuju dengan alasan untuk memperkuat peran-peran OMS di dalam sistem pengambilan keputusan secara formal, tetapi ada pula yang menyayangkannya karena dianggap sebagai penyebab dari terkurasnya sumberdaya OMS, atau bahkan menghujatnya dengan alasan telah melemahkan posisi OMS untuk melakukan koreksi terhadap kiprah partai politik. Di tengah maraknya perdebatan yang setuju dan tidak setuju itu, Aceh Institute melakukan penelitian secara mendalam mengenai hal ini di Aceh. Apakah aktivis OMS yang bermigrasi ke partai politik memiliki dua kaki di ranah yang berbeda; menjadi pendukung partai sambil tetap mengklaim sebagai aktivis OMS? Apakah aktivis OMS yang masuk partai berhasil melakukan perubahan? Apakah OMS yang aktivisnya masuk partai tetap independen atau menjadi kepanjangan tangan partai? Itulah beberapa contoh pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian Aceh Institute ini, untuk kemudian dipetakan dalam kerangka yang lebih sistematis. Tentu saja, memetakan OMS tidaklah mudah mengingat tingginya keragaman OMS yang ada di Aceh, baik dari segi bentuk organisasi maupun orientasi programnya. Jika salah langkah di awal, hasil penelitian ini beresiko dipersepsikan secara keliru, atau malah ditentang oleh kalangan OMS sendiri. Namun, melalui konsultasi yang intensif dengan berbagai kalangan OMS, Aceh Institute mampu melakukan penggalian data yang
iv

dibutuhkan dan menghasilkan sebuah laporan penelitian yang termuat dalam buku ini. Setidaknya ada tiga hal menarik dari hasil penelitian Aceh Institute ini yang patut menjadi catatan. Pertama, penelitian ini telah merangkum dinamika peranperan OMS dalam beberapa situasi di Aceh, baik dalam situasi konflik Aceh, situasi paska bencana tsunami, hingga situasi terkini dimana hampir semua lembaga internasional yang memberi bantuan mengatasi bencana tsunami telah meninggalkan Aceh. Kedua, penelitian ini berhasil memetakan realitas pola relasi yang terbangun antara beragam jenis OMS dengan partai politik di Aceh ke dalam kategorisasi yang umum dibahas dalam literatur dan berbagai kajian akademik, yakni relasi yang bersifat partisipatoris, klientalistik, korporatis maupun konfrontatif. Ketiga, penelitian ini berhasil mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi minat aktivis OMS di Aceh untuk bermigrasi ke partai politik, mulai dari pemenuhan kebutuhan finansial, meningkatkan eksistensi diri, memperkuat kapasitas personal dalam bidang politik praktis, membangun jaringan politik yang lebih luas, hingga upaya untuk melakukan perubahan kebijakan. Temuan penelitian Aceh Institute ini dapat memberi sumbangan yang berarti dalam memahami relasi antara OMS dengan partai politik. Meskipun penelitian dilakukan di Aceh, ia dapat bermanfaat juga bagi kalangan OMS di berbagai daerah lain di Indonesia, mengingat
v

fenomena yang mirip terjadi juga di luar Aceh. Selain bagi OMS, buku ini juga bermanfaat bagi partai politik, kalangan perguruan tinggi dan pihak-pihak lain yang memiliki kepedulian dan atau berinteraksi dengan OMS. The Asia Foundation merasa bangga telah dilibatkan oleh Aceh Institute dalam penelitian yang sangat bermanfaat ini.

Jakarta, 20 Februari 2014 The Asia Foundation

Sandra Hamid, PhD Country Representative

vi

SAMBUTAN & UCAPAN TERIMAKASIH


GERAKAN masyarakat sipil yang terorganisir atau dikenal dengan istilah organisasi masyarakat sipil merupakan bagian penting dalam proses pengembangan sistem negara yang lebih demokratis, transparant, akuntabel dan responsible. Meskipun sebagian OMS telah ada sebelum adanya negara Republik Indonesia, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Perti, dll namun dalam perkembangan kemudian, berbagai OMS lainnya tumbuh dan berkembang seiring prinsip-prinsip konstitusi negara diaplikasi dengan baik. Salah satu prinsip konstitusi itu adalah kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan membentuk perkumpulan-perkumpulan dalam sebuah masyarakat Indonesia. Perkembangan gerakan sipil juga terjadi di Aceh, khususnya setelah terjadinya gerakan reformasi di Indonesia, dan bencana tsunami yang menimpa Aceh pada 26 Desember 2004. Peran OMS pada awal reformasi di Indonesia secara khusus mendorong agar pemerintah Indonesia menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh, membuka ruang demokrasi dan kebebasan berekspresi bagi elemen sipil serta mendorong penyelesaian konflik Aceh secara damai.

vii

Sementara saat bencana gempa 8.9 sr dan gelombang tsunami yang menewaskan lebih dari 200.000 orang, 78.000 lainnya hilang, serta lebih dari 700.000 orang kehilangan tempat tinggal dan kerugian ekonomi lainnya, sejumlah OMS tumbuh di Aceh. Menurut Teuku Ardiansyah, lebih dari 600 OMS berbasis lokal tumbuh setelah bencana gempa dan tsunami. Umumnya OMS ini tumbuh dan berkembang karena banyaknya dukungan financial dari berbagai negara asing, donor, dan lembagalembaga NGO internasional yang berkerja untuk membangun kembali Aceh yang telah hancur. Seiring dengan itu, proses perdamaian di Aceh juga diwujudkan. Pertemuan antara perwakilan pemerintah Republik Indonesia dan utusan petinggi GAM di Helsinki Finladia yang difasilitasi oleh CMI telah melahirkan satu perjanjian perdamaian dan mengakhiri konflik politik di Aceh yang telah berjalan selama lebih dari 30 tahun. Proses perdamaian ini sangat didukung oleh masyarakat sipil. Rasa suka cita yang diperlihatkan oleh seluruh rakyat Aceh menyambut perjanjian damai ini menunjukkan kerinduan rakyat terhadap perdamaian di Aceh segera terwujud. Peran OMS yang dipelopori oleh berbagai LSM kemanusian di Aceh juga menjadi front line untuk mendukung terciptakan perjanjian tersebut. Hasil perjanjian ini kemudian melahirkan kewajiban bagi pemerintah RI untuk menindaklanjuti butir-butir MoU Helsinki ke dalam regulasi Indonesia, dimana regulasi ini menjadi legal standing bagi pelaksanaan
viii

otonomi khusus di Aceh. Maka untuk mengawal proses ini berbagai elemen sipil bekerja untuk mengawal proses pengesahan draft UU pemerintahan Aceh yang sesuai dengan MoU dan juga aspirasi rakyat Aceh. Salah satu butir-butir dalam MoU yaitu adanya kewenangan pembentukan partai lokal, yang merupakan satu-satunya bentuk partai politik berbasis lokal yang ada di Indonesia. Setelah UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh disahkan oleh DPR RI pada juli 2006, sejumlah aktivis OMS ikut dalam pembentukan partai berbasis lokal untuk dapat mengikuti pemilu pada tahun 2009. Pada saat itu, setidaknya ada tiga parlok yang lulus verifikasi yang didirikan secara murni oleh para aktivis OMS, antara lain; partai SIRA, PRA dan PDA. Sebaliknya PAAS didirikan oleh mantan anggota MPR/DPR RI yaitu Ghazali Abbas Adan, dan anggota MPR/DPR RI yaitu Dr.Ahmad Farhan Hamid yang mendirikan PBA. Selain itu terdapat satu partai yang dirikan oleh mantan GAM yaitu Partai Aceh. Namun secara umum transformasi dari gerakan sipil ke gerakan politik ini memberikan warna baru dan orientasi baru dalam gerakan sipil di Aceh, yaitu dari gerakan jalanan ke gerakan parlemen. Proses transformasi aktivis sipil ke gerakan politik ini tidak sedikit yang tidak sepakat terhadap perubahan gerakan tersebut. Sejumlah aktivis yang tetap menyakini bahwa masyarakat sipil harus terpisah dari political society, karena political society sarat dengan kepentingan
ix

kelompok tertentu dan cenderung menganut aliran pragmatisme dan marchivilinisme. Ketika pembentukan partai lokal, sejumlah aktivis terpecah karena mempunyai persepsi yang berbeda. Ketika itu ada yang berpendapat bahwa UU No.11 tahun 2006 yang memberikan kewenangan terbentuknya partai lokal di Aceh sebaiknya hanya dibentuk satu partai saja, yaitu partai yang diusulkan oleh aktivis GAM. Salah satu aktivisi sipil yang berpendapat seperti itu adalah Kausar, salah satu tokoh gerakan mahasiswa tahun 1998-2004. Namun usulan dari Kausar tidak diterima oleh aktivis sipil lainnya, yang berpendapat bahwa UUPA memberikan kesempatan bagi siapa saja warga Aceh untuk membentuk partai yang berbasis lokal, jadi tidak saja menjadi hak mantan kombatan GAM untuk mendirikan partai lokal. Pemilu legislatif pada tahun 2009 menunjukkan bahwa peran aktivis OMS yang mencalonkan diri sebagai calon legislatif tidak terbukti dipilih oleh warga. Sebaliknya warga lebih memilih calon yang diusulkan oleh partai lokal yang dibentuk oleh mantan pejuang GAM yaitu dari Partai Aceh. Hal ini terbukti dengan terpilihnya 33 kursi untuk Partai Aceh dari 56 kursi yang ada di DPRA. Demikian juga di sejumlah kabupaten/kota, partai aceh menjadi partai pemenang pemilu legislatif tahun 2009, kecuali untuk beberapa kabupaten di bagian tengah Aceh, seperti di kabupaten Bener Meriah, Aceh
x

Tengah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara yang masih didominasi oleh partai golkar. Sebaliknya gerakan sipil menjadi melemah, seiring dengan telah berakhirnya program tsunami di Aceh. Berbagai lembaga internasional yang selama ini mendukung kerja-kerja OMS. Disisi lain, beberapa aktivis OMS yang memutuskan bergabung dengan partai tertentu juga mempengaruhi posisi dan peran OMS sejak tahun 2009 sampai sekarang. Pemilu 2014 juga membuktikan sejumlah aktivis OMS yang bergabung dengan sejumlah partai politik, baik partai yang berbasis lokal maupun yang berbasis nasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur pengaruh relasi yang dibangun oleh sejumlah aktivisi OMS dengan partai politik, baik secar langsung maupun tidak langsung, serta posisi dari OMS dalam relasi tersebut. Menggunakan pendekatan purpusive sampling, dimana sampel penelitian ini ditentukan berdasarkan karakteristik wilayah, maka terdapat tiga wilayah yang dijadikan sebagai sampel penelitian ini yaitu (1) kota Banda Aceh, (2) Kota Lhokseumawe, dan (3) kabupaten Aceh Tengah. Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan akan menemukan satu konsep ralasi yang ideal antara OMS dengan partai politik, sekaligus untuk memetakan sejumlah OMS yang mempunyai relasi dan atau yang tidak mempunyai relasi dengan partai politik di Aceh. Terimakah banyak kepada seluruh tim yang telah terlibat dalam penelitian ini, baik terlibat secara langsung
xi

maupun tidak langsung. Terimakasih kepada Nur Azizah, Baiquhi Hasbi, Kholilullah, dan Zulkarnaen yang telah bekerja keras untuk mengumpulkan berbagai data di lapangan, baik di Banda Aceh, Lhokseumawe maupun di Takengon Aceh Tengah. Terimakasih juga kepada tim pendukung, Marlina, Yusriana, Era, Ijal dan Zakwan serta Kiffah yang juga ikut serta dalam proses penelitian ini. Kepada Sutoro Eko yang telah membantu dalam proses penyusunan kerangka penelitian dan review akhir penelitian ini dan Afrizal Tjoetra atas bantuan review tulisan ini. Terimakasih yang tak terhingga kepada tim penulis yang telah bekerja siang malam dalam menyelesaikan laporan akhir penelitian ini, Aryos Nivada dan Teuku Muhammad Jafar Sulaiman, atas kerja kerasnya dalam menyempurnakan penulisan buku ini dapat diselesaikan dengan baik dan sempurna. Terakhir, ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada The Asia Foundation, khususnya kepada ibu Sandra Hamid, PhD, mas Lili Hasanuddin, mbak Natalia Warat, mbak Yassinta, dan mas Ade dan seluruh personil The Asia Foundation yang telah mendukung secara penuh dalam penelitian ini. Banda Aceh, 28 Februari 2014 The Aceh Institute

Chairul Fahmi, M.A Direktur Eksekutif


xii

DAFTAR ISTILAH

APBA APBK APF ACSTF AI AJMI AM ADF AMM AMIR BRR BRA CSO CDI CCDE CoHA CIDA Caleg DPRA DPRK DOM

: Anggaran Pendapatan Belanja Aceh : Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten/Kota : Aceh People Forum : Aceh Masyarakat sipil Task Force : The Aceh Institute : Aceh Justice Monitoring Institute : Aceh Merdeka : Aceh Development Fund : Aceh Monitoring Mission : Aksi Mahasiswa Islam untuk Reformasi : Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi : Badan Re-Intergrasi Aceh : Masyarakat sipil Organization : Citra Desa Indonesia : Center for Community Development and Education : Cession of Hostalities Aceh : Canadian International Development Agency : Calon Legislatif : Dewan Perwakilan Rakyat Aceh : Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota : Daerah Operasi Militer
xiii

FoRMEDIA : Forum Reformasi Mahasiswa Daerah Istimewa Aceh Forkoet : Forum Koetaradja Fokusgampi : Forum Komunikasi Gerakan Mahasiswa Pemuda Pidie FoPKRA : Forum Perjuangan Keadilan Rakyat Aceh GAM : Gerakan Aceh Merdeka GerAK : Gerakan Anti Korupsi HMI : Himpunan Mahasiswa Islam HUDA : Himpunan Ulama Dayah Aceh HDC : Henry Dunart Center HAM : Hak Asasi Manusia JDA : Jaringan Demokrasi Aceh Kanwilhukam : Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM KMPAN : Komite Mahasiswa Pemuda Aceh Nusantara KAMAUT : Kesatuan Aksi Mahasiswa Aceh Utara KMPA : Komite Mahasiswa Pemuda Aceh KAGEMPAR : Koalisi Gerakan Mahasiswa Pemuda Aceh Barat KNPI : Komite Nasional Pemuda Indonesia KARMA : Komite Aksi Reformasi Mahasiswa Aceh KoMPAS : Kongres Mahasiswa Pemuda Aceh Serantau KAMMI : Komite Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
xiv

MoU MaTA NGO NAD NU OMS Ormas PNS PA PDA PAAS PRA PNA PAN PBA Pilkada RTA RUU RPUK RI SMUR SIRA SIRA UUPA

: Memorandum of Understanding : Masyarakat Transparansi Aceh : Non-Goverment Organization : Nanggroe Aceh Darussalam : Nahdlatul Ulama : Organisasi Masyarakat Sipil : Organisasi Masyarakat : Pegawai Negeri Sipil : Partai Aceh : Partai Damai Aceh : Partai Aceh Aman Sejahtera : Partai Rakyat Aceh : Partai Nasional Aceh : Partai Amanat Nasional : Partai Bersatu Aceh : Pemilihan Kepala Dearah : Rabithah Thaliban Aceh : Rancangan Undang Undang : Relawan Perempuan Untuk Kemanusian : Republik Indonesia : Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat : Sentral Informasi Referendum Aceh : Suara Independen Rakyat Aceh : Undang Undang Pemerintahan Aceh

xv

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7 Gambar 8 Gambar 9 : Tipologi Relasi Politik ---- 27 : Jumlah OMS dan Partai Politik ---- 40 : Tipologi OMS ---- 51 : Pola Relasi OMS Terhadap Partai Politik ---- 128 : Pola orientasi politik aktivis sipil terhadap partai politik ---- 133 : Model Relasi LSM&Partai Politik ---- 137 : Peran OMS Mempengaruhi Kebijakan Partai Politik ---- 164 : Posisi OMS dalam Pemilu-

2014 ---- 171


: Contoh Surat Dukungan OMS Terhadap Partai Politik Tertentu ---- 173

xvi

DAFTAR TABEL
Tabel 1 Tabel 2 Table 3 Tabel 4 Tabel 5 : Persepsi masyarakat terhadap lembaga yang berwajah korup di Aceh ---- 70 : On Budget (APBN) Dana Yang di Kelola oleh BRR NAD-Nias ---- 80 : Off Budget (Bantuan NGO) Tahun Anggaran 2005-2006 ---- 82 : Contoh Aktivis Yang bergabung dengan Partai Politik dan DPD ---- 118 : Contoh Peran OMS Terhadap kebijakan pemerintah dan partai politik di Aceh---- 159

xvii

DAFTAR ISI
Kata Pengantar ---- iii Sambutan & Ucapan Terimakasih ---- vii Daftar Istilah ---- xiii Daftar Gambar ---- xvi Daftar Tabel ---- xvii Daftar Isi ---- xviii Ringkasan Eksekutif ---- xxi

1. Pendahuluan ---- 1 1.1. Latar Belakang ---- 1 1.2. Penjelasan Istilah ---- 8 1.2.1. Organisasi Masyarakat Sipil ---- 8 1.2.2. Pemetaan ---- 9 1.2.3. Relasi Politik ---- 10 1.2.4. Partai Politik ---- 11 2. OMS dan Relasi Politik ---- 13 2.1. Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) ---- 13 2.2. Relasi OMS dengan Partai Politik ---- 18 3. Perkembangan Organisasi Masyarakat Sipil

(OMS) di Aceh ---- 28


3.1. Sejarah Pembentukan OMS ---- 29 3.1.1. Fase Paska Gempa Tsunami ---- 38 3.1.2. Paska MoU & UUPA ---- 42 3.2. Bentuk-Bentuk OMS ---- 46 3.3. Peran dan Fungsi OMS ---- 57
xviii

3.3.1. Advokasi DRAFT UUPA --- 59 3.3.2. Advokasi Qanun KKR ---- 64 3.3.3. Advokasi Qanun Lainnya ---- 67 3.3.4. Dukungan terhadap Good Governance ---- 68 4. Tranformasi Gerakan Organisasi Masyarakat

Sipil di Aceh ---- 72


4.1. Gerakan OMS Paska Reformasi ---- 73 4.2. Gerakan OMS Paska Gempa & Tsunami ---- 77 4.3. Gerakan OMS Paska MoU Helsinki dan UU Pemerintahan Aceh ---- 84 5. Dinamika Relasi Politik OMS dengan Partai

Politik ---- 89
5.1. Gerakan OMS di Indonesia ---- 90 5.2. Perkembangan Politik di Aceh Paska MoU Helsinki dan UUPA ---- 94 5.3. Relasi Politik OMS dengan Partai Politik ---- 104 5.3.1. Dinamika Relasi Politik OMS dalam Pemilu ---- 115 5.3.2. Persepsi Aktivis Terhadap Relasi Politik OMS dengan Partai Politik ---- 122 5.3.3. Pola Relasi Yang Berkembang ---- 134 5.3.4. Analisis Terhadap Relasi Politik OMS di Aceh ---- 140 5.4. Faktor yang Mempengaruhi Relasi Politik OMS di Aceh ---- 144 5.5. Dampak Relasi Politik dengan Partai Politik terhadap Indepedensi OMS ---- 148

xix

6. Posisi OMS Terhadap Dinamika

Demokrasi dan Pemerintahan ---- 154


6.1. Pengaruh OMS terhadap Kebijakan Partai Politik ---- 155 6.2. Pengaruh OMS terhadap Pembangunan Demokrasi ---- 165 6.3. Posisi OMS dalam Dinamika Pemilu 2014 ---- 168 7. Penutup ---- 178 7.1. Kesimpulan ---- 178 7.2. Rekomendasi ---- 181

DAFTAR PUSTAKA

xx

RINGKASAN EKSEKUTIF

TRANSFORMASI gerakan sipil ke dalam partai politik setelah penandatanganan MoU damai antara GAM dan Pemerintah Republik Indonesia menjadi satu fenomena yang fenomal dalam sistem perpolitikan di Aceh. Sebagaimana diketahui bahwa sejak reformasi pada tahun 1998, sekaligus dicabutnya DOM oleh Panglima ABRI Jenderal Wiranto perkembangan kebencian terhadap simbol-simbol republik Indonesia kiat memuncak. Proses ini juga dipengaruhi oleh terbongkarnya pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh ABRI saat penerapan DOM sejak tahun 1989 sampai tahun 1998. Euforia terhadap perpolitikan praktis di Aceh dimulai sejak disahkannya UU No.11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, dimana pasal 229 memberikan kewenangan kepada rakyat Aceh untuk membentuk partai lokal. Dari sejumlah usulan yang masuk ke kementerian Hukum dan HAM Kantor wilayah Aceh, setidak ada 6 partai lokal yang lolos untuk mengikuti pemilu legislatif tahun 2009, yaitu: PA, PAAS, PBA, PDA, PRA dan SIRA. Sementara pada tahun 2012, yang lolus verifikasi oleh Kemenhukam hanya terdapat tiga partai lokal yang PA, PNA dan PDA. Sebaliknya yang lain tidak lulus verfikasi dari Kanwilhukham Aceh. Sejak tahun 2009
xxi

sampai sekarang, imigrasi para aktivisi gerakan sipil ke gerakan politik menjadi pamandangan yang lazim. Beberapa tokoh OMS kemudian menjadi pengurus teras dari partai politik tertentu. Meskipun ini juga terjadi di seluruh Indonesia, namun di Aceh menjadi menarik karena pengalaman satu dekade sebelumnya sangat elergi dengan simbol-simbok NKRI, termasuk partai politik. Disisi lain, sejumlah OMS secara tidak langsung juga menggantung harapan kepada dana-dana pemerintah setelah sejumlah lembaga donor dan LSM internasional menutup programnya di Aceh. Maka relasi dengan partai politik dijadikan sebagai milestone untuk membangun relasi yang lebih dekat dengan pemerintahan lokal di Aceh, khususnya pihak eksekutif. Penelitian ini mencoba memetakan sejumlah OMS di Aceh yang mempunyai relasi dan atau yang tidak mempunyai relasi dengan partai politik, serta menemukan bentuk relasi yang dibangun. Terakhir diharapkan akan ditemukan satu konsep ideal tentang relasi yang dapat dijadikan sebagai lesson learned bagi OMS lain di Indonesia dalam melihat posisi OMS dengan partai politik itu sendiri. Penelitian ini disusun dalam 7 (tujuh) bab, yang terdiri dari bab satu yang membahas tentang latar belakang masalah, tujuan dan ruang lingkup penelitian, dimana terdapat 4 tujuan dan ruang lingkup penelitian ini yaitu: (1) Untuk memetakan pola relasi politik yang dibangun oleh OMS terhadap partai politik, apakah pola
xxii

relasi partisipatory, relasi oposisi, relasi korporatis, atau relasi klientelistik? (2) Untuk mengidentifikasi bentuk dan faktor transformasi OMS baik secara individu fungsional maupun secara struktural terhadap partai politik di Aceh. (3) Untuk mengevaluasi model relasi yang efektif antara OMS dengan partai politik dalam upaya membangun proses demokrasi yang lebih baik. (4) Untuk menjadi baseline dalam melihat peta relasi politik OMS dengan partai politik dan model relasi yang dibangun. Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan istilah, yaitu istilah organisasi masyarakat sipil, pemetaan, relasi politik dan partai politik. Setelah itu dilanjutkan dengan metodologi penelitian, mencakup; jenis dan sumber data, sampling, metode pengumpulan data, analisa data, serta terakhir tentang lokasi penelitian. Penelitian ini bersifat kualitatif, dimana data-data didapatkan melalui interview secara mendalam dengan sejumlah pengurus OMS serta partai politik di Aceh, kemudian melalui diskusi kelompok terfokus, kajian dokumen (desk study), serta mengkaji kasus-kasus yang pernah ada (case study). Sementara informan dari penelitian ini ditentukan melalui mekanisme purposive samping, yaitu wilayah studi ditentukan berdasarkan karakteristik tertentu yang mencakup kota Banda Aceh, kot Lhokseumawe dan kabupaten Aceh Besar. Bab dua, akan membahas tentang pemahaman mengenai relasi politik, yang dibagi dalam beberapa sub bab, antara lain: tentang definisi relasi, dimana relasi itu
xxiii

dapat dipahami sebagai hubungan interaksi antara satu dengan yang lainnya yang mempunyai kepentingan bersama. Kemudian dilanjutkan dengan komponen ralasi politik, dan tipologi relasi. Secara umum ada 8 tipologi relasi yaitu: 1) participatory linkage. Dalam tipelogi ini OMS ataupun partai politik memainkan peran sebagai arena atau agen yang memfasilitasi langsung dalam kepentingan publik. 2) electoral linkage dimana pemimpin-pemimpin partai mengontrol seluruh element dalam prosesproses elektoral. 3) policy responsive linkages ketika partai berperan sebagai agen yang memastikan pemerintah akan responsif terhadap pemilihnya atau mewakili suara rakyat dalam urusan publik. 4) representative linkages ketikan pola hubungan yang ada berhasil memastikan keterwakilan baik dalam konteks elektoral maupun kebijakan secara lebih luas. 5) clientelistic linkages ketika partai bertindak sebagai saluran berbagai keuntungan dengan imbal balik loyalitas dan dukungan suara. 6) directive linkages berlangsung jikalau pengurus partai selalu berusaha untuk memastikan dan mengontrol perilaku warga dengan cara koersif & dominatif.
xxiv

7) organ sational linkages atau adanya pertukaran antara elit partai dengan organisasi yang memobilisasi atau memastikan dukungan organisasi mereka terhadap partai politik, dan 8) integrative linkage adalah pola yang sama dengan directive linkages melalui sosialisasi, pendidikan, dan kaderisasi politik. Terakhir pada bab ini akan diuraikan secara konkrit tentang konsep relasi politik OMS terhadap partai politik berdasarkan pengalaman yang ada di Indonesia, serta direlevansikan dengan konsep dan teori mengenai relasi itu sendiri. Selanjutnya bab tiga, yaitu bab yang membahas tentang perkembangan OMS di Aceh yang terdiri dari beberap sub bab antara lain: Sejarah perkembangan OMS di Aceh, sejak tahun 1970an, ketika konflik di Aceh yang meletus pada tahun 1976 sampai dicabutnya DOM karena adanya gerakan reformasi di Indonesia. Kemudian dilanjutkan dengan OMS pada masa tsunami menimpa Aceh, dimana pertama kali Aceh bersentuhan dengan dunia internasional setelah tiga puluh tahun lamanya terisolasi dalam konflik yang berkepanjangan. Selanjutkan perkembangan OMS paska MoU Helsinki dan pengesahan UU No.11 tahun 2006 tentang Pemeritahan Aceh. Pada sub bab lainnya akan dibahas mengenai bentuk bentuk OMS yang umumnya berkembang di Aceh dan terakhir mengenai peran dan fungsi OMS.
xxv

Bab empat adalah bab yang menarik untuk dibahas, karena pada bab ini akan dikaji tentang transformasi gerakan masyarakat sipil di Aceh. Isi pada bab ini akan menjelaskan gerakan organisasi masyarakat sipil di Aceh yang terbagi menjadi empat (4) ranah terdiri dari : gerakan OMS paska reformasi, gerakan OMS paska gempa dan tsunami, gerakan OMS paska MoU Helsinki, dan gerakan OMS paska disahkan UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Keseluruhan isi akan dijelaskan satu persatu guna mendapatkan gambaran mendalam akan kondisi disetiap ranah tersebut. Dilanjutkan dengan bab lima, yang merupakan bab inti dari studi ini. Bab ini dibagi dalam beberapa sub pembahasan, antara lain: perkembangan partai politik di Aceh paska MoU Helsinki dan UUPA, pola relasi OMS terhadap partai politik, faktor yang mempengaruhi relasi politik OMS, dan paradigman OMS terhadap relasi politik dengan partai politik. Sebagaimana diketahui bahwa setelah MoU Helsinki ditanda tangani, dan proses selanjutnya adalah dibentuknya UU otonomi khusus bagi Aceh, dan salah satu poin nya adalah pembentukan partai lokal. Saat itu setidaknya ada 14 partai lokal yang diusulkan oleh masyarakat dan hanya 6 yang lulus verifikasi oleh kementerian hukum dan HAM RI. Dinamika politik juga secara dramatis berubah, dimana Aceh dikenal sebagai basis bagi PPP yang berbasis Islam Nasionalis, dikalahkan secara telak oleh Partai Aceh yang dibentuk oleh eksxxvi

GAM yang mempunyai ideologi pancasila berbasis etnonasionalis ke-achehan. Sementara pola relasi yang dibangun pada umumnya adalah pola participatory, khususnya relasi yang dibangun oleh LSM, sebaliknya baberapa organisasi massa membangun pola klientalistik dengan partai politik tertentu. Sedangkan faktor yang mendorong relasi itu juga beraneka ragam, ada yang didorong untuk mempengaruhi kebijakan dari dalam, ada karena faktor relasi dengan ketokohan dari gerakan sipil yang sudah bergabung dengan sejumlah partai politik yang ada. Disisi lain, faktor ekonomi secara programatik juga menjadi faktor terbentuknya relasi dengan partai politik. Relasi secara ekonomi programatik ini umumnya terbentuk melalui instrumen dana-dana aspirasi yang dimiliki oleh sejumlah anggota legislatif dari partai politik. Sementara relasi klientelistik, terbentuk karena OMS tersebut umumnya dibentuk oleh fungsionaris-fungsionari partai politik yang tujuannya adalah untuk menjadi mesin-mesin bagi partai politik atau calon legislatif untuk bekerja ditingkat komunitas, seperti LeS MoU dan KMPA yang menjadi salah satu underbow Partai Aceh, menerima uang dari Partai Aceh dan bekerja untuk kepentingan-kepentingan partai. Secara umum perspektif para aktivis OMS di Aceh terhadap relasi dengan partai politik umumnya menyatakan harus dibangun dan hal itu bukanlah sesuatu yang tabu. Meskipun relasi yang dibangun adalah
xxvii

participatory, namun tetap dalam kekritisan terhadap berbagai kebijakan pemerintah melalui parlemen. Bab selanjutnya yaitu bab enam mengkaji pengaruh OMS terhadap berbagai kebijakan partai politik terhadap negara dan rakyat, kontrol OMS terhadap fungsi partai politik, termasuk fungsi pendidikan politik bagi bagi warga serta terakhir mengkaji tentang pengaruh OMS terhadap pembangunan demokrasi di Aceh secara khusus dan indonesia pada umumnya. Hasil kajian ini kemudian mengambil satu kesimpulan tentang konsep relasi yang dibangun oleh sejumlah OMS yang ada di Aceh, serta tergambar sejumlah OMS yang mempunyai relasi dan atau yang tidak mempunyai relasi dengan partai politik, pola relasi yang dibangun, serta faktor yang mempengaruhi relasi itu tersebut. Beberapa rekomendasi dari penelitian ini, antara lain: 1) Perlunya konsolidasi kembali gerakan OMS yang didasarkan kepada prinsip-prinsip demokratis, independensi, mandiri, kritis, dan partisipatif serta komitmen terhadap agenda-agenda perubahan negara ke arah yang lebih baik 2) Perlunya penguatan kapasitas OMS dari berbagi segi, baik secara managerial, financial maupun pengkaderan bagi kerja-kerja kerelawanan dan keswasembadaan.
xxviii

3) Perlunya satu konsensus untuk menentukan garis relasi yang jelas antara OMS dengan partai politik secara menyeluruh, sehingga tidak terjebak dalam kepentingan pragmatisme-mutualistik antara OMS dengan partai politik, sebaliknya harus dibangun prinsip-prinsip participatory yang kritis dan idealis.

xxix

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Paska perjanjian damai/Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 15 Agustus 2005, secara tidak langsung telah terjadi perubahan arah pergerakan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Aceh. Perubahan ini terlihat dari pola perjuangan OMS. Sebelum masa perdamaian, OMS pada umumnya mengambil sikap oposisi terhadap pemerintah dan partai politik. Sementara, paska perdamaian OMS telah menjadi bagian dari sistem demokrasi itu sendiri melaluipendirian partai politik, khususnya partai lokal (parlok). Landasan yang dijadikan rujukan adalah amanat poin 1.21 MoU Helsinki dan pasal 75 UU No.11 tahun 2006 tentang

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Pemerintahan Aceh yang mengatur pembentukan partai politik lokal. Kewenangan membentuk partai lokal ini kemudian melahirkan banyak partai politik yang didirikan oleh aktivis OMS, diantaranya Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Bersatu Aceh (PBA), Partai Daulat Aceh (PDA), dan Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS). Semua partai politik yang lulus verifikasi Depkumham pada Pemilu 2009 tersebut lahir dari aktivis OMS kecuali Partai Aceh (PA), yang dibentuk oleh aktivis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Misalnya, PRA didirikan oleh beberapa aktivis OMS seperti Wiratmadinata, yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Forum LSM Aceh, dan Thamren Ananda, aktivis Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR). Sementara, SIRA adalah partai lokal yang berasal dari organisasi yang dibentuk oleh sejumlah mahasiswa Aceh pada tahun 1998 yang mendorong lahirnya referendum di Aceh, salah satunya ialah Teuku Banta Syahrizal, yang juga pernah terlibat aktif di Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF). Demikian pula halnya dengan PBA, yang didominasi oleh aktivis 98 di Aceh seperti Tgk.Muhammad Saleh, yang pernah duduk dalam Presidium SIRA. Sementara itu, PDA didirikan oleh para santri yang sebelumnya tergabung dalam berbagai organisasi santri dan ulama seperti Rabithah Thaliban 2

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Aceh (RTA) dan Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), di antaranya ialah Tgk. Harmen Nuriqman dan Waled Husaini. Lain halnya dengan PAAS, partai lokal ini lahir dari aktivis dakwah yang beraliansi pada gerakan neo-Masyumi yang berbasis di Aceh di bawah pimpinan Ghazali Abas Adan. Transformasi gerakan sipil menjadi gerakan politik ini menjadi catatan penting dalam upaya membangun demokrasi di Aceh, khususnya paska konflik berkepanjangan sejak tahun 1976, meskipun kemudian hasil pemilu legislatif 2009 di Aceh menunjukkan bahwa satu-satunya partai lokal yang mendapatkan kursi terbanyak adalah Partai Aceh, sementara partai lokal lainnya tidak memperoleh kursi sama sekali di DPRAceh kecuali PDA, yang hanya meraih satu kursi. Partai lokal lainnya pada akhirnya membubarkan diri, seperti PRA, PBA, PAAS dan SIRA, yang tidak lolos verifikasi Komisi Independen Pemilihan (KIP) pada tahun 2012. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa tidak sedikit politisi dari kalangan aktivis yang tidak terpilih kemudian kembali membangun gerakan sosial melalui OMS. Reposisi dari politisi menjadi aktivis nonpartisan ini menimbulkan berbagai pertanyaan terkait dimana posisi OMS terhadap partai politik; apakah harus terpisah dari aktivitas politik praktis atau menjadi bagian

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

yang tak terpisahkan dari gerakan politik secara struktural. Disisi lain, berbagai pemikiran muncul terkait konsep ideal posisi dan relasi antara OMS dengan partai politik dalam konteks pembangunan demokrasi. Budi Setyono menyatakan bahwa OMS merupakan lembaga/organisasi non partisan yang berbasis pada gerakan moral (moral force) yang berperan dalam mengawal penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan politik sesuai dengan aspirasi rakyat.1 Fungsi moral force ini bertujuan untuk membangun proses demokrasi agar tetap berada pada jalurnya dimana kebijakan penguasa harus mewakili kepentingan rakyat. Oleh karena itu, OMS harus berdiri secara independen tanpa pengaruh dari kepentingan politik partai politik tertentu, atau sebaliknya, menjadi mitra kritis terhadap penyelengaraan pemerintahan oleh pemerintah maupun partai politik di badan legislatif. Otho H.Hadi mengatakan bahwa pemisahan antara partai politik dengan OMS merupakan upaya OMS sebagai narcissism, yaitu OMS harus mempunyai karakter anti perilaku politisi dimana politik adalah sesuatu yang kotor, atau sebaliknya, bekerja di

Budi Setyono, Pengawasan Pemilu oleh LSM, Suara Merdeka, 15 Oktober 2003, diunduh 12 November 2013

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

OMS merupakan sesuatu yang bersih. 2 Aliran ini menganggap bahwa politisi dan kekuasaan cenderung korup. Seperti yang ditegaskan oleh Nodia, bahwa posisi OMS seharusnya sebagai oposisi dan cenderung melawan partai politik jika kondisi partai politik yang menguasai negara secara mayoritas cenderung otoriter dan diktator.3 Kondisi ini seperti yang terjadi pada rezim komunis Rusia atau ketika masa Orde Lama dan Orde Baru di Indonesia. Konsep posisi OMS terhadap partai politik (political society) ini juga dianggap sebagai relasi anti-negara (relasi negatif) yang dikembangkan oleh Karl Marx. Seperti yang dikutip Canterbury, Marx menuliskan bahwa partai politik adalah instrumen dalam meraih kekuasaan dan kemudian menjadi penguasa adalah kelas borjuis yang merupakan bagian dari kaum kapitalistik. Penguasa yang diperoleh melalui instrumen ini menjadi kelompok dominan dalam pengambilan sebuah keputusan dan kebijakan atau dikenal sebagai superstucture. 4
Otho H.Hadi, Peran Masyarakat Sipil Dalam Proses Demokratisasi, Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 14. No.2, Desember 2010, hlm. 117-129 3 Gia Nodia, Civil Society Development in Georgia, (Georgia: Caucacus Institute for Peace, Democracy and Development, 2005), hlm 56. 4 Dennis Compton Canterbury, Neo-Liberal Democratization and New Authoritarianism, England: Ashgate Publishing Limited, 2005, hlm. 62
2

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Model relasi yang lain adalah transformatif. Carl Gershman menyatakan jika negara atau partai politik penguasa yang diktator telah berakhir maka peran OMS harus melakukan transformasi. Upaya transformasi ini dilakukan dengan mendorong demokratisasi, reformasi, toleransi, serta mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Proses membangun sistem ini dilakukan dengan menempatkan aktivis OMS di lembaga pemerintahan atau menjadi penguasa negara dan pengambil kebijakan, baik melalui instrumen partai politik maupun instrumen lainnya yang diatur oleh hukum. 5 Mengamati situasi terkini menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 9 April 2014, banyak aktor OMS yang berafiliasi dengan berbagai partai politik lokal maupun nasional. Salah satu faktor yang mempengaruhi transformasi gerakan ini ialah tidak adanya dukungan finansial terhadap OMS lokal khususnya, setelah berakhirnya program rehabilitasi dan rekonstruksi paska tsunami dan konflik di Aceh, baik yang didanai oleh pemerintah maupun LSM nasional dan internasional. Disisi lain, independensi secara ekonomi institusi OMS di Aceh relatif tidak terwujud. Oleh karena itu, konsepsi Marx
Carl Gershman, The Relationship of Political Parties and Civil Society, Washington: National Endowment for Democracy, Supporting Freedom Around the World, 17 Maret 2004, diunduh 12 Desember 2013
5

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

yang menyatakan bahwa masyarakat sipil harus mapan secara ekonomi dan kebijakan dalam melawan political society tidak sepenuhnya terwujud dalam pergerakan OMS di Aceh saat ini. Disamping itu, kecenderungan dan ketergantungan OMS secara ekonomi terhadap donor juga melahirkan disorientasi independensi gerakan OMS. Hal ini ditandai dengan adanya sejumlah OMS yang membangun relasi dengan partai politik untuk mendapatkan dana aspirasi dan bantuan pemerintah melalui relasi dengan aktor tertentu dari lembagapemerintahan. Krisis ketokohan dan ekonomi yang dihadapi oleh berbagai OMS di Aceh juga menyebabkan posisi beberapa OMS terlihat lebih prakmatis dalam menjaga eksistensinya. Buku ini merupakan hasil dari penelitian pemetaan relasi politik OMS dengan partai politik di Aceh. Secara khusus, buku ini akan menggambarkan tentang; (1) pola relasi politik yang dibangun oleh OMS terhadap partai politik, (2) bentuk dan faktor transformasi OMS baik secara individu fungsional maupun secara struktural terhadap partai politik di Aceh, (3) model relasi yang efektif antara OMS dengan partai politik dalam upaya membangun proses demokrasi yang lebih baik, dan (4) menjadi baseline dalam melihat peta model relasi politik OMS dengan partai politik.

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

1.2. Penjelasan Istilah 1.2.1. Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Secara umum OMS didefinisikan sebagai organisasi kemasyarakatan yang terbagi menjadi organisasi massa, organisasi rakyat, organisasi profesi, organisasi komunitas, dan organisasi Non-Government Organisation (NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Istilah OMS, yang serupa dengan Civil Soceity Organization (CSO), dan dianggap sebagai institusi third sector yang berbeda dengan institusi pemerintahan dan institusi wirausaha (business). Collin English Dictionary mendefinisikan OMS, pertama, sebagai institusi yang melakukan manifestasi gerakan untuk mewujudkan kepentingan rakyat secara umum,kedua, para fungsionaris dan institusi OMS bersifat independen dari pengaruh pemerintah. Perspektif lain dikemukakan oleh Gramsci (1971) yang mendefinisikan masyarakat sipil sebagai kumpulan organisme privat, berbeda dengan negara, yang disebutnya sebagai masyarakat politik (political society). Secara konkret, Gramsci memaknai masyarakat sipil sebagai suatu wilayah institusi privat mencakup gereja, serikat-serikat dagang/pekerja, dan lembaga pendidikan, sementara negara adalah institusi-institusi publik seperti pemerintah, pengadilan, polisi dan tentara. Gramsci, seperti dikutip oleh Luiz Carlos Bresser-Pereira dalam

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

State, Civil Society and Democracy Ligitimacy, mendefinisikan negara sebagai masyarakat politik ditambah masyarakat sipil;the state should be understood not only as the apparatus of the government, but also ths private apparatus of Civil Society (negara tidak harus dipahami hanya sebagai lembaga pemerintahan, tetapi juga sebagai lembaga masyarakat sipil).6 Secara umum, OMS terbagi ke dalam 5 bentuk, yaitu (1) organisasi rakyat, seperti kelompok buruh atau kelompok petani, (2) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), (3) organisasi profesi, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dll., (4) organisasi massa, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dll., dan (5) organisasi berbasis komunitas, seperti serikat mukim, dll. 1.2.2. Pemetaan Pemetaan adalah proses penggambaran yang sistematik serta melibatkan pengumpulan data dan informasi termasuk di dalamnya profil dan masalah yang ada. Sementara, pemetaan yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah gambaran tentang hubungan antara
6

Luiz Carlos Bresser-Pereira, State, Civil Society and Democracy Ligitimacy, http://webcache.googleusercontent.com/, diunduh 12 Desember 2014

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

satu variabel dengan variabel lainnya, yaitu OMS dengan partai politik (Parpol). 1.2.3. Relasi Politik Relasi adalah hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya yang berbeda. Dalam konteks ini, relasi diartikan sebagai hubungan antara satu individu dengan individu lainnya atau satu organisasi dengan organisasi lainnya yang berbeda.7 Sedangkan politik, sebagaimana dikemukakan oleh Roger F. Soltau di dalam bukunya yang berjudul Introduction to Politics, seperti dikutip oleh Prof. Mariam Budiarjo mengartikan politik sebagai suatu praktek atau teori yang mempengaruhi orang lain baik dalam bentuk individu maupun kelompok atau lebih khusus sebagai bentuk mencapai posisi dalam pemerintahandan mengontrol serta mengatur kehidupan kemanusiaan, khususnya negara.8 Berdasarkan definisi di atas, makna relasi politik dalam konteks penelitian ini adalah hubungan antara OMS baik secara individu maupun institusi dengan penyelengara negara, khususnya partai politik baik secara individu maupun institusi.
Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008, hlm. 165 8 Prof. Mariam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007, hlm. 17
7

10

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

1.2.4. Partai Politik (Parpol) Secara umum, partai politik diartikan sebagai organisasi yang dibentuk oleh sekelompok orang (warga negara) yang bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan kelompoknya dan masyarakat secara umum yang didasarkan pada perundang-undangan. Sementara, Carl J. Friedrich mengartikan partai politik sebagai sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan pemerintah bagi pemimpin partainya, dan penguasaan ini memberikan anggota partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupul material.9 Di sisi lain, Prof. Mariam Budiardjo mendefinisikan partai politik sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.10
Carl J. Friedrich, Definisi Partai Politik, http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_politik, diunduh 15 Desember 2013 10 Prof. Mariam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007, hlm. 34
9

11

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Jika merujuk pada UU No.2 Tahun 2011, yang merupakan perubahan terhadap UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, definisi partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

12

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

OMS DAN RELASI POLITIK

2.1.

Organisasi Masyarakat Sipil

Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) adalah fenomena yang kompleks. Menurut Nanna Thue, kompleksitas OMS muncul karena adanya perbedaan yang signifikan terhadap konsep dan komposisi OMS di berbagai negara yang berbeda akibat dari situasi politik, budaya dan kenyakinan masyarakat dinegara setempat.11 Oleh karena itu, tidak mungkin membangun definisi standar terhadap masyarakat sipil yang dapat menyamakan perbedaan kondisi yang dihadapi oleh masyarakat sipil secara keseluruhan. Kendati demikian, untuk membangun metodologi dan penilaian empiris, maka diperlukan pendefinisian yang jelas. Helmut
Nanna Thue, dkk., Report of A Study on Civil Society in Uganda, NORAD, 2002
11

13

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

mendefinisikan masyarakat sipil sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari suatu institusi, organisasi, dan individu yang berada diantara keluarga, negara dan pasar, dimana masyarakat berasosiasi secara sukarela untuk memperjuangkan kepentingan yang sama. 12 Helmut menyiratkan bahwa secara esensi tidak ada perbedaan antara masyarakat sipil dengan OMS, karena antara satu dan lainnya merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan. Dengan kata lain, masyarakat sipil adalah OMS yang memperjuangkan kepentingan yang sama, begitupun sebaliknya. Helmut hanya menambahkan arahan terhadap terminologi organisasi kepada sebuah asosiasi sukarela, non-pemerintah atau nirlaba, pergerakan sosial, jejaring dan group informal. Organisasi seperti ini merupakan susunan bangunan suatu masyarakat sipil; bahwa mereka adalah kendaraan dan forum untuk partisipasi sosial, proses aspirasi, ekspresi nilai dan paham, dan pemberian layanan. Sahya Anggara mengelaborasi OMS menjadi beberapa karakter, bahwa Masyarakat sipil terepresentasi oleh berbagai jenis yang luas, baik melalui sistem membership ataupun sistem dari orientasi OMS tersebut, seperti: (i) ekonomi: asosiasi dan jaringan yang produktif dan komersial, (ii) budaya: agama, etnik, kelompok
Anheir, Helmut K., How To Measure Civil Society, London: Economic and Political Science Journal, 2005
12

14

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

komunal, dan institusi dan asosiasi lain yang mempertahankan hak kolektif, nilai, kepercayaan publik, (iii) kepentingan: kelompok yang bertujuan memajukan atau melindungi kepentingan anggotanya seperti perserikatan buruh, asosiasi pensiunan, dan kelompok professional, (iv) pembangunan: organisasi yang mengumpulkan sumber daya dan bakat individual untuk memajukan infrastuktur, institusi dan kualitas kehidupan masyarakat, (v) perlindungan lingkungan, perlindungan konsumen, hak perempuan, dll., (vi) civic: kelompok non-partisan yang bertujuan memajukan sistem politik dan menjadikannya demokratis (pengawas pemilu, pembela HAM, dll.).13 Dalam proses demokrasi, OMS idealnya berperan sebagai sekolah demokrasi dimana masyarakat belajar berpikir dan bertindak demokratis, toleransi terhadap keberagaman dan pluralisme, saling menerima dan berkompromi, serta membangun sikap saling percaya dan kerjasama. OMS sebagai lembaga advokasi dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk menaikkan posisi tawar masyarakat dan menggunakan jalur-jalur resmi dalam mendorong debat atau keputusan politik secara terbuka, bebas dan fair. Dengan demikian, membangun organisasi yang dapat bertindak secara
Sahya Anggara, Ruang Politik Hubungan Aktivisme Civil Society dan Pemerintah dalam Mengembangkan Tata Pemerintahan Demokratis, https://www.academia.edu, diunduh 2 November 2013
13

15

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

independen dan siap untuk berhadapan dengan pihak pemerintahan, baik dalam mendukung atau mempengaruhi kebijakan, adalah salah satu instrumen dalam proses demokratisasi. 14 Rohman mengatakan ada beberapa persyaratan yang lebih khusus bagi masyarakat sipil untuk dapat dikatakan mengusung demokrasi. Pertama, bagaimana masyarakat sipil mengelola dirinya sendiri? Jika mereka mempraktekkan pengelolaan internal lembaga yang transparan, akuntabel terhadap konstituennya, maka merekalah yang mungkin memainkan peranan penting dalam upaya demokratisasi masyarakat. Kedua, apakah masyarakat sipil menghormati nilai-nilai demokrasi seperti halnya mengejar tujuan organisasi? Prospek demokrasi menurun jika masyarakat sipil menolak aturan hukum atau merongrong negara dengan merusak metode demokrasi. Ketiga, apa yang mendasari kekuatan masyarakat sipil? Jika kekuatan bertumpu pada kepemimpinan kharismatik, bukan dari proses demokrasi yang memberi kesempatan kepada siapapun, maka organisasi itu akan lemah dan kurang efektif dalam hal membangun demokrasi itu sendiri. Keempat, bagaimana masyarakat sipil mendefinisikan hubungan mereka dengan negara? Jika organisasi mencoba untuk
Saiful Mahdi, dkk., Ruang Demokrasi di Aceh Selatan, Banda Aceh: The Aceh Institute, 2011, hlm. 87
14

16

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

mengubah kebijakan dengan mengumpulkan kekuatan yang lebih besar dari negara, mereka hanya akan menjadi partai politik. Masyarakat sipil melindungi kepentingan publik dengan menghormati pilihan anggotanya untuk memperjuangkan kepentingannya masing-masing, berbeda dengan partai politik yang mencoba untuk mengarahkan anggotanya untuk mencapai tujuan partai. Jika keempat karakter ini dimiliki, maka masyarakat sipil tersebut dapat dikatakan kuat, baik dalam hal struktur atau prosesnya. Kondisi inilah yang menjadi pondasi dalam membangun pembangunan sebuah negara demokratis. 15 Pandangan terhadap biasnya definisi masyarakat sipil masih cukup kuat. Oleh karena itu, Salamon dan Anheier mencoba mendefinisikan masyarakat sipil ke dalam tiga karakter. Pertama, masyarakat sipil bergerak di bawah aturan hukum yang berlaku, namun bukan hukum alam. Kedua, masyarakat sipil berada diantara negara dan pasar, dimana terjadi kontestasi antara kepentingan negara dengan kepentingan pasar. Dengan demikian, masyarakat sipil berdiri sebagai oposisi terhadap pasar dan negara, dan masyarakat sipil juga dipengaruhi oleh tekanan dari keduanya. Munculnya gerakan masyarakat sipil dapat mengganggu pasar,
Ahmad Ainur Rohman, Politik, Partisipasi, dan Demokrasi dalam Pembangunan, Jakarta: Program Sekolah Demokrasi, 2009, hlm. 98
15

17

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

seperti asosiasi bisnis dan organisasi pengusaha, dan juga negara. Lebih jauh lagi, Salamon dan Anheirer mengistilahkan ruang ini, antara negara dan pasar, sebagai sektor ketiga. Terakhir, hubungan asosiasi kerelawanan mendominasi masyarakat sipil. Sebagai konsekuensi, masyarakat sipil menjadi ruang bagi debat publik yang bebas. Masyarakat sipil yang demikian lebih dari sebuah asosiasi, karena asosiasi biasanya dipengaruhi oleh pasar atau negara. Akibatnya, anggota masyarakat sipil memiliki kepentingan yang beragam, yang pada akhirnya dapat dipertahankan.16

2.2.

Relasi OMS dengan Partai Politik

Istilah relasi (linkage) adalah serangkaian hubungan atau koneksi yang biasanya berkonotasi dengan istilah interaksi antar elemen yang berhubungan atau berkorelasi satu sama lain. Proses hubungan ini diindikasikan dengan pola yang beragam seperti saling ketergantungan (interdependency), penetrasi, intervensi, integrasi, dan sebagainya. Bila merujuk lebih jauh, banyak studi politik yang menggunakan istilah linkage untuk menggambarkan inter-koneksi warga dengan proses pembuatan keputusan
Lester M. Salamon & Helmut K. Anheier, Social Origins for Civil Society Explaining The Non-Profit Sector Cross Nationality, Working Paper, The John Hopkins University, Institute for Policy Studies, 1996
16

18

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dalam proses kebijakan publik; hubungan antar warga negara yang aktif secara politik dengan para politisinya atau pejabat publiknya. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, istilah linkage juga banyak digunakan oleh studi politik yang berusaha menggambarkan peran aktor inter-mediari, terutama partai politik dalam mengembangkan linkage.17 Meskipun studi-studi political linkage tidak memiliki pemahaman tunggal dan jelas tentang apa sebenarnya yang mereka maksud dengan linkage, Robert Teigrob berusaha memberikan kesimpulan tentang apa yang dimaksud dengan linkage, yaitu:18 suatu bentuk hubungan/ikatan/koneksi yang terjadi diantara warga negara secara individual, organisasi sosial, dan sistem politik. Hubungan/ikatan/koneksi tersebut, utamanya bersifat organisasional sebagaimana baik secara formal maupun informal diantara organisasiorganisasi sosial dan organisasi politik. Istilah linkage juga mengacu pada perasaan keterikatan individu yang bersifat lebih subyektif dengan organisasi-organisasi yang ada di sistem politik..
Kay Lawson & David Clark, Political Parties and Linkage: A Comparative Perspective, Oxford: Oxford Universities, 2009, hlm. 129 18 Robert Teigrob, The Politics of Linkage: Power, Interdependence, and Ideas in Canada-US Relations, Canadian Public Policy Volume 37 Number 1, Maret 2011
17

19

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Di sisi lain, terdapat tiga pemikiran tentang konsep relasi OMS dengan partai politik; pertama, harus ada garis tegas antara OMS dengan pemerintah, kedua, posisi OMS adalah oposisi abadi terhadap pemerintah dan atau partai politik, dan ketiga, relasi antara OMS dan pemerintahan atau partai politik adalah sebuah kebutuhan. Pakar politik memahami komponen relasi dalam empat garis pembatas yang terdiri dari tumpang tindih kepengurusan, posisi keberadaan OMS, kepentingan atau manfaat, dan pengaruh. Maksud dari tumpang tindih kepengurusan dalam hal ini ialah keterlibatan individu OMS di dua ranah yang berbeda; OMS dan partai politik. Hal ini menunjukan masih lemahnya aturan baku atau kode etik yang berlaku di internal OMS itu sendiri. Selain itu, relasi politik dapat dilihat dari struktur serta visi dan misi OMS, dan juga asal usul terbentuknya OMS. Jika sebuah OMS didirikan oleh partai politik tertentu, maka ia akan menjadi bagian dari partai politik tersebutsehingga kerja-kerja OMS tersebut bertujuan untuk kepentingan partai politiknya. Dengan demikian, segala kebutuhan operasional OMS ini akan didukung oleh partai politik tersebut. Sementara itu, relasi politik juga dapat terbangun karena keaktifan pengurus partai politik di OMS secara kelembagaan. Relasi personal ini dapat terbentuk secara 20

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

langsung, dimana pengurus partai politik merangkap sebagai pengurus OMS. Hal ini tentunya akan menjadi faktor yang dapat mempengaruh iindependensi OMS. Sebagaimana disampaikan oleh Fuad Mardhatillah bahwa semakin besar pengaruh seseorang maka semakin kuat tingkat keberhasilan meraih kepentingan yang menjadi target dari pengaruhnya.19 Sementara Kay Lawson, seperti dikutip oleh Alistair Clark, menegaskan bahwa terdapat beberapa bentuk atau tipologi political linkages yang ada dalam praktik relasi dengan politik. Pertama participatory linkage, di mana posisi OMS ataupun partai politik berperan sebagai arena atau agen yang bekerja secara bersama-sama untuk kepentingan publik di bawah kerangka independensi dan profesionalitasnya masingmasing. Kedua electoral linkage, yaitu bentuk relasi dimana para pemimpin partai politik mengontrol seluruh elemen dalam proses elektoral dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh OMS. Ketiga policy responsive linkage, yaitu ketika partai politik berperan sebagai agen yang memastikan pemerintah responsif terhadap pemilihnya atau mewakili suara rakyat dalam urusan publik. Keempat representative linkage, yaitu ketika pola hubungan yang ada berhasil memastikan
Wawancara dengan Fuad Mardhatillah, Akademisi UIN Ar-Raniry, 10 September 2013
19

21

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

keterwakilan baik dalam konteks electoral maupun kebijakan secara lebih luas. Kelima clientelistic linkage,di mana partai politik bertindak sebagai saluran berbagai keuntungan dengan imbal balik loyalitas dan dukungan suara. Keenam directive linkage, yang terbangun jika pengurus partai politik selalu berusaha memastikan dan mengontrol perilaku warga dengan cara koersif dan dominatif. Ketujuh organisational linkage,di mana terjadi pertukaran antara elit partai politik dengan organisasi yang memobilisasi atau memastikan dukungan organisasi mereka terhadap partai politik. Kedelapan directive linkage melalui sosialisasi, pendidikan, dan kaderisasi politik.20 Sementara itu, Sutoro Eko membagi relasi OMS dengan partai politik menjadi tujuh bentuk, yaitu:21 1) Relasi Partisipatif Relasi partisipatif dianggap sebagai relasi yang paling ideal, dimana partai politik merupakan representasi dari berbagai organisasi masyarakat, dan masyarakat dilibatkan dalam proses politik yang diusung oleh partai politik. Di sini terdapat
Dr. Alistair Clark, Political Parties in the UK, United Kingdom: Palgrave Macmillan, 2012 20 Sutoro Eko, Pelajaran dari Aceh: Masyarakat Sipil Mendemokrasikan Daerah, Jakarta: Yappika, 2009
20

22

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

koherensi antara gerakan sosial yang dimainkan oleh OMS dengan gerakan politik yang dimainkan oleh partai politik untuk mencapai visi politik kolektif mereka. 2) Relasi Klientalistik Relasi klientalistik merupakan relasi yang terbentuk untuk mendapatkan keuntungan bersama. Dalam relasi ini, OMS menjadi mesin politik yang memperoleh keuntungan ekonomis dari partai politik, misalnya melalui proyek-proyek pemerintah yang dikelola oleh partai politik. 3) Relasi Programatik Relasi programatik adalah relasi dalam bentuk hubungan erat antara OMS dengan partai diikat dengan kesamaan dan komitmen ideologi maupun program. Dalam konteks ini relasi terbangun karena adanya kesamaan program yang dilakukan oleh partai politik dengan program yang dimiliki oleh sebuah organisasi sipil. 4) Relasi Personal Relasi personal adalah relasi antara tokoh partai politik tertentu yang mempunyai pengaruh terhadap personal dari organisasi sipil, yang kemudian menyebabkan dukungan organisasi sipil kepada organisasi politik. Di sini OMS hadir sebagai pendukung setia partai politik karena diikat dengan tali kharismatik dari tokoh partai politik. 23

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Begitupun sebaliknya, relasi partai politik dengan organisasi sipil terbentuk karena adanya tokoh kharismatik pada organisasi sipil yang kemudian membuat personal dipartai politik mendukung organisasi sipil tersebut. 5) Relasi Pasar Relasi ini merupakan relasi jangka pendek antara OMS dengan partai politik yang terbangun karena kecocokan isu yang diusung oleh partai politik dengan isu yang diperjuangkan oleh OMS. Di sini terjadi pertemuan antara permintaan dan penawaran antara partai politik dan OMS. 6) Relasi Parokhial Bentuk ini hampir sama dengan relasi personal. Dalam hal ini, hubungan antara OMS dengan partai politik terjalin dengan erat karena kesamaan agama, suku, daerah, golongan, aliran, dll. 7) Relasi Oposisional Relasi operasional ini sama dengan relasi yang diperkenalkan oleh Karl Marx, yaitu relasi negatif. Dalam kontek ini OMS tidak percaya pada partai politik dan cenderung menjadi anti terhadap partai politik. Sehingga relasi yang terbentuk adalah relasi yang bertentangan atau berseberangan. Istilah lain yang digunakan adalah menjadi oposan terhadap partai politik. Ini salah satu bentuk broken linkage antara OMS dengan partai politik. OMS sangat 24

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

independen dan bekerja di ranah gerakan sosial, tetapi terputus dengan ranah gerakan politik yang dibawa oleh partai politik. Dalam bahasa DEMOS, OMS hanya bergerak di ranah tradisional sehingga hadir sebagai demokrat mengambang, yang tidak punya akar kuat di grass roots dan tidak punya kaitan ke atas (cantolan) yang kuat. Sutoro kemudian merumuskan kategori/tipe relasi OMS dengan partai politik yang lebih spesifik, yaitu: 1) Integrasi/korporatis Integrasi atau korporasi yaitu OMS menjadi partisan, menjadi alat/basis/mesin partai politik untuk dimanfaatkan atau dibentuk oleh partai politik. OMS digunakan untuk kaderisasi maupun untuk menjalankan program/ideologi partai politik, termasuk program pemberdayaan masyarakat dan pendidikan politik. Di Amerika Serikat misalnya, (National Democratic Institute (NDI) merupakan LSM sayap Partai Demokrat, sementara International Republican Institute (IRI) bekerja untuk Partai Republik. Di Jerman, KonradAdenauer (KAS) adalah sayap Partai Christian, Friedrich Ebert Stiftung (FES) adalah sayap Partai Sosialis, dan Friedrich Nauman FNS sayap Partai Liberal. 2) Kolaborasi/aliansi/partisipatoris 25

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

3)

4)

Relasi kolaborasi atau aliansi alias partisipatory adalah relasi yang dibangun oleh OMS bersifat nonpartisan dan independen. Bentuk relasi ini menjadikan posisi organisasi sipil sebagai intrumen gerakan sosial untuk melakukan berbagai advokasi kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Klientelistik Klientalistik disini dimaksudkan posisi antara OMS dan partai politik terjalin dengan erat dan dekat. Relasi ini juga terbentuk karena hubungan personal maupun parokhial dan terjadi pertukaran ekonomi-politik yang saling menguntungkan, dimana OMS memperoleh keuntungan secara nilai ekonomis, sementara partai politik meraih keuntungan dukungan secara politik. Contohnya, OMS menggunakan dana aspirasi untuk bekerja bagi kepentingan partai politik yang memberikan dana aspirasi tersebut. Oposisi/Konfrontasi. Relasi oposisi atau disebut juga relasi konfrontasi adalah relasi antara OMS dengan partai politik yang saling bertentangan satu sama lain. OMS mengambil sikap non-partisan dan independen secara organisasi serta cenderung menunjukkan perlawanan terhadap partai politik. Sikap ini didasarkan kepada kenyakinan bahwa partai politik

26

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dianggap cenderung korup, tidak amanah, melakukan kejahatan terhadap rakyat, dsb. Gambar 1: Tipologi Relasi Politik

DEPENDEN

KLIENTELISTIK

KORPORATIS

OPOSISI

PARTICIPATORY

INDEPENDEN

Status quo Dominasi Kartel Oligarki

Perubahan Demokrasi Reformasi Kesejahteraan

Gambar di atas menunjukkan teori spektrum yang menggambarkan relasi politik antara OMS dengan partai politik. Lebih jauh gambar ini memperlihatkan bahwa semakin ke kanan posisi OMS maka semakin positif posisi OMS tersebut. Nilai positif ini ditunjukkan dengan semakin independen, dan berorientasi kepada perubahan, penegakan demokrasi, reformasi dan membangun kesejahteraan. Sebaliknya, semakin ke kiri maka posisi OMS semakin negatif dan bersifat dependen atau ketergantungan terhadap elemen lain. Selain itu dengan ketergantungannya itu akan melahirkan sikap-sikap negatif lainnya seperti status quo, dominasi, kartel dan cenderung oligarkhi.

27

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

PERKEMBANGAN ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL (OMS) DI ACEH

Perkembangan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Aceh tidak terlepas dari dinamika politik yang berkembang. Sejak tahun 1976 sampai 1998 perkembangan OMS dalam bentuk LSM relatif tidak berkembang, kecuali dalam bentuk organisasi perkumpulan maupun organisasi massa seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Perkembangan yang sangat progresif terjadi ketika adanya transformasi politik di Indonesia dari orde lama ke orde reformasi, di mana sejumlah organisasi massa tumbuh dengan perlahan. Meskipun demikian, OMS tersebut lebih fokus 28

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

pada isu-isu demokrasi, penegakan HAM, keadilan dan kebebasan. Sejak tsunami menimpa Aceh pada tanggal 26 Desember 2004, LSM berkembang dengan pesat. Ratusan OMS tumbuh dan bekerja untuk isu-isu rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh paska tsunami. Namun, eksistensi OMS merosot tajam setelah berakhirnya masa pembangunan paska tsunami pada tahun 2009, sehingga banyak aktivis OMS yang kemudian terjun ke dalam partai politik dan menjadi calon legislatif (Caleg).

3.1.

Sejarah Pembentukan OMS

Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) atau dikenal juga dengan Organisasi Non Pemerintah (ORNOP) sebenarnya sudah ada sebelum adanya negara Republik Indonesia (RI). OMS ini dibentuk untuk membangun konsolidasi gerakan dalam melawan penjajahan Belanda dan Jepang. Namun demikian, saat itu belum ada klasifikasi OMS seperti yang berkembang saat ini berdasarkan bentuk dan variannya. Sementara, di Aceh sendiri sejarah pembentukan OMS sudah ada sejak berdirinya Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pada tanggal 5 Mei 1939 yang diinisiasi oleh Teungku Daud Beureueh dan para ulama Aceh lainnya.

29

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Gerakan OMS dalam perspektif negara modern di Aceh dibentuk pada tahun 1974 dengan didirikannya satu ORNOP yang merupakan cabang dari Jakarta, yaitu Yayasan Badan Koordinasi Pengembangan Sosial Masyarakat (YAPSM), kemudian ditandai juga dengan hadirnya Save The Children pada tahun 1976 yang fokus pada kegiatan pengembangan masyarakat, khususnya pendidikan bagi anak-anak. Pada tahun 1980-an perkembangan OMS mulai menggeliat, khususnya OMS dalam bentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Salah satu LSM yang berdiri saat itu adalah Yadesa dan Citra Desa Indonesia (CDI) yang bergerak dibidang lingkungan. Lalu tumbuh LSM yang mengusung isu-isu perempuan, yaitu Yayasan Flower Aceh. Terbentuknya Forum LSM Aceh pada tahun 1990 juga menjadi inspirasi terhadap lahirnya berbagai OMS lainnya di Aceh. Beberapa OMS yang dibentuk saat itu lahir atas inisiasi dari beberapa kalangan yang memahami betapa pentingnya peran OMS dalam membangun demokrasi, social dan kesejahteraan bagi rakyat. Data dari Forum LSM Aceh menunjukkan bahwa 68 LSM telah bergabung dalam Forum LSM Aceh. Selain itu, berbagai yayasan yang juga terbentuk sejak tahun 1990-an merupakan bagian dari pertumbuhan

30

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

OMS di Aceh.22 Tahun 2000 - 2005 menjadi puncak pertumbuhan OMS di Aceh, yang umumnya bekerja untuk agenda bersama yaitu melawan operasi militer di Aceh, serta mendorong terbukanya ruang demokrasi. Di samping itu yang paling dominan adalah keinginan untuk terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh paska tsunami 2004. Pertumbuhan OMS di Aceh juga dipelopori oleh berbagai elemen masyarakat, baik dari kalangan akademisi, pemuda, masyarakat paguyuban, kelompok agama, maupun kelompok perempuan. Selain terbentuknya Forum LSM Aceh, beberapa komunitas juga membentuk aliansi baru, seperti Walhi, The Aceh Institute, Kelompok Kerja Transformasi Gender Aceh (KKTGA), Sulh: Jaringan Informasi dan Pemberdayaan Rakyat, Koalisi NGO HAM, Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF), Gerakan Anti Korupsi (Gerak) Aceh, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Cordova, Katahati Institute, (Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Aceh, KontraS Aceh, Center for Community Development and Education (CCDE), Yayasan Pengembangan Wanita, Lembaga Ikatan Pemuda Gayo Antara, dan lain-lain.

22

Forum LSM Aceh, Database Anggota Forum LSM Aceh,

2013

31

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Lembaga-lembaga tersebut tumbuh seiring dengan dicabutnya status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada tahun 1998 oleh Pemerintah RI. Penghentian operasi militer secara massif ini juga membuka ruang bagi organisasi sipil untuk menggugat terhadap kejahatan kemanusiaan yang terjadi selama 30 tahun lamanya di Aceh. Berbagai LSM dan organisasi buffer aksi pada saat itu pada umumnya bekerja untuk isu-isu penegakan HAM, demokrasi dan hak-hak sipil khususnya hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Salah satu organisasi buffer aksi yang sangat kritis saat itu adalah Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR). Sebagaimana disampaikan oleh Tarmizi23, paska lengsernya Soeharto, gerakan reformasi menjalar sampai ke Aceh hingga tumbuh berbagai gerakan sipil yang kritis terhadap kebijakan pemerintah yang menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, salah satunya adalah praktek pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan Aceh oleh pihak militer selama DOM diberlakukan di Aceh. Selain SMUR juga muncul beberapa buffer aksi mahasiswa lainnya, seperti Koalisai Aksi Reformasi Mahasiswa Aceh (KARMA) yang merupakan perkumpulan gerakan senat mahasiswa se-Aceh, dan
Tarmizi adalah aktivisi SMUR dan pendiri LSM Aceh People Forum (APF) dan sekarang menjadi salah satu Caleg DPRA dari Partai Nasional Aceh (PNA) untuk Pemilu Legislatif 2014
23

32

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

juga Farmi-DIA (Forum Aksi Reformasi Mahasiswa Islam Daerah Istimewa Aceh) yaitu kelompok mahasiswa yang mendorong lahirnya ruang demokrasi di Aceh serta mendukung pencabutan dwi fungsi ABRI di Indonesia. Selain itu terdapat kelompok mahasiswa lainnya yang tergabung dalam Aksi Mahasiswa Islam untuk Reformasi (AMIR), Forum Koetaradja (Forkoet) (Forum Komunikasi Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Pidie (FOKUSGAMPI), Koalisi Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Aceh Barat (KAGEMPAR), Kesatuan Aksi Mahasiswa Aceh Utara (KAMAUT), Ikatan Mahasiswa, Pemuda dan Pelajar Aceh Timur (IPPAT), Wahana Komunikasi Mahasiswa Aceh Selatan (WAKAMPAS), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pelajar Islam Indonesia (PII), Rabithah Thaliban Aceh (RTA), Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Forum Perjuangan Keadilan Rakyat Aceh (FoPKRA), Komite Mahasiswa Pemuda Aceh Nusantara (KMPAN), dan juga ormas yang relatif status qou seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Secara umum, organisasi di atas menjadi frontline dalam menyuarakan penegakan HAM, pembentukkan ruang demokrasi, pencabutan operasi militer, dan mewujudkan keadilan di Aceh. Menurut Fazloen Hasan, artikulasi dari gerakan mahasiswa ini mempunyai peran yang sangat strategis dalam mempengaruhi konstalasi sosial, politik, stabilitas keamanan dan juga pembangunan di Aceh. Secara lebih 33

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

khusus, gerakan progresif mahasiswa ini tidak hanya mendukung gerakan reformasi di Indonesia, namun juga menuntut agar Aceh dibebaskan dari berbagai bentuk operasi militer lainnya.24 Disisi lain, berbagai kampanye di dunia internasional oleh para mahasiswa dan LSM yang concern terhadap isu-isu pelanggaran HAM di Aceh dianggap sebagai ancaman oleh pihak keamanan dan pemerintah Jakarta. Berbagai dinamika muncul untuk menentukan sikap saat itu, termasuk Gubernur Aceh Prof.Dr.Syamsuddin Mahmud yang mengusulkan agar Aceh menjadi negara bagian RI dalam bentuk federal. 25 Namun pada akhirnya diputuskan bahwa harus ada mekanisme penentuan status Aceh yaitu melalui mekanisme referendum. Tuntutan refendum ini mengemuka pada saat dilakukannya Kongres Mahasiswa Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS) pada tanggal 31 Januari - 4 Februari 1999 yang telah melahirkan satu rekomendasi yaitu persoalan ini harus ditempuh melalui jalur referendum di mana rakyat diberi kebebasan untuk memilih apakah tetap bergabung atau pisah dari NKRI.
Fazloen Hasan, Gerakan Mahasiswa 1998 dan Penyelamatan MoU Helsinki untuk Damai Aceh, The Globe Journal, 22 Agustus 2013 25 M. Alkaf, Pasang Surut Gerakan Politik di Aceh (Studi Kasus Power Movement Referendum Aceh 1998-1999), Tesis (tidak dipublikasi), 2012
24

34

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Untuk menggalang dukungan nasional dan internasional terhadap ide referendum ini dibentuklah Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA). Disisi lain, gerakan aktivis GAM semakin kuat, dimana pemuda-pemuda desa banyak yang bergabung dengan GAM dan ikut berbagai latihan di pengunungan Aceh. Kondisi ini kemudian direspon oleh Pemerintah Indonesia dengan melakukan berbagai operasi-operasi terbatas, seperti operasi rencong, operasi Ahmad Kandang, dll. Namun disisi lain, Gusdur juga meletakkan dasar-dasar perdamaian melalui jalur diplomasi. Salah satunya melalui peran HDC (Hendry Dunart Centre), salah satu LSM Internasional yang berbasis di Genewa Swiss. Peran HDC sebagai mediator antara pemerintah Indonesia dan GAM menjadi cikal bakal lahirnya proses perdamaian di Aceh. Meskipun HDC kemudian gagal mewujudkan perdamaian, karena pada pertengah Mei 2003 pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa penyelesaian Aceh harus diselesai melalui jalur operasi militer, bukan dialog. Sehingga seluruh perunding GAM ditangkap serta diberlakukannya status Darurat Militer di Aceh. Namun demikian, setidaknya sejak tahun 2001 sampai 2002 sudah pernah diwujudkan jeda damai dan genjatan senjata (Cessation of Hostalities) diantara kedua pihak. Operasi militer di bawah keppres presiden No.28 tahun 2003 tentang Penetapan Darurat Militer di Aceh 35

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

yang ditanda tangani oleh Presiden Megawati telah memberikan legitimasi kepada militer untuk melakukan penumpasan terhadap aktivis GAM. Militer juga diberi kewenangan untuk mengontrol fungsi administrasi sipil serta membatasi gerakan organisasi sipil. Seluruh rapat baik terbuka maupun tertutup yang dilakukan oleh OMS harus mendapatkan izin dari penguasa militer, begitu juga dengan segal program-program yang dilakukan oleh masyarakat sipil harus mendapat izin serta melaporkan hasil rapatnya kepada militer. Penerapan darurat militer ini juga mempunyai dampak langsung terhadap gerakan sipil saat itu. Beberapa aktivis gerakan sipil ditangkap oleh militer, dan sebagian lainnya hilang tak diketahui sampai sekarang. Sementara itu SIRA di bawah kepemimpinan Muhammad Nazar, S.Ag menyatakan bahwa seluruh aktivis mahasiswa dan pemuda, khususnya yang bergabung dalam SIRA bergabung dengan GAM. Hal ini seperti dikatakan oleh Faisal Ridha, salah satu presedium SIRA saat itu yang dikutip oleh M.Alkaf bahwa SIRA dan GAM merasa mempunyai kesamaan visi dalam gerakan yaitu memerdekakan Aceh dari penindasan, ketidakadilan dan juga karena alasan historis

36

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

bahwa Aceh pernah menjadi negara kerajaan yang berdaulat.26 Meskipun pada awalnya GAM tidak menerima tuntutan referendum yang diperjuangan oleh masyarakat sipil Aceh saat itu, namun setelah dijelaskan bahwa Aceh akan menjadi Timor Leste kedua yaitu merdeka dari Indonesia, dan pilihan referendum lebih konstitusional serta mendapat dukungan dari internasional, maka kemudian GAM mendukung gerakan referendum yang dilaksanakan oleh gerakan sipil ini. Upaya ini mendapat tantangan yang besar dari TNI/Polri, sehingga sejumlah aktivis sipil di tangkap oleh TNI/Polri termasuk ketua SIRA Muhammad Nazar, S.Ag, dan lainnya menyelamatkan diri dengan naik gunung bersama pasukan GAM, atau keluar dari Aceh seperti ke Jakarta, Bandung, Jogya, Malaysia bahkan sebagian lain ke Amerika dan Eropa untuk mencari suaka politik. Fase ini merupakan fase anti-klimak terhadap gerakan sipil di Aceh, sekaligus masa terbentuknya konsepsi untuk tidak membangun relasi dengan simbolsimbol pemerintahan Indonesia, termasuk partai politik yang ada di Aceh. Tidak sedikit OMS yang melakukan
M. Alkaf, Pasang Surut Gerakan Politik di Aceh, Tesis (tidak dipublikasi), 2012
26

37

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

upaya untuk memboikot pemilu pada Juli 2004 karena dianggap bagian dari upaya memperpanjang identitas demokrasi Indonesia di Aceh. Kondisi ini muncul karena proses politik tersebut membuktikan bahwa demokrasi hanya menjadi legitimasi bagi penguasa untuk terus berkuasa dan melahirkan berbagai kebijakan yang menindas rakyat,27 disamping mereka yakin bahwa proses demokrasi yang dijalankan di bawah bayang-bayang operasi militer tidak akan melahirkan prinsip-prinsip demokrasi yang jujur, aman, bebas dan rahasia. Apalagi kemudian seperti diakui oleh TAF Haikal, penguasa darurat militer Mayjen TNI Endang Suwarya ketika itu menyatakan akan memaksa masyarakat untuk memilih ke TPS agar pemilu di Aceh sukses, dan internasional tidak lagi melihat Aceh bermasalah secara politik. 28

3.1.1. Fase Paska Gempa dan Tsunami


Gempa dan gelombang tsunami yang menimpa provinsi Aceh 2004 telah menyebabkan 150.000 orang dinyatakan meninggal, 37.000 hilang, 700.000 orang

Andi Widjajanto, dkk., Transnasionalisasi Masyarakat Sipil, Jogjakarta: LkiS, 2007, hlm. 132 28 Wawancara dengan TAF Haikal, mantan Sekjen Forum LSM Aceh, November 2013

27

38

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

kehilangan tempat tinggal dan kehancuran ekonomi diperkirakan mencapai 5 milyar US dollar.29 Merespon bencana yang sangat dasyat tersebut, berbagai negara dan LSM internasional memberikan sejumlah bantuan untuk memulihkan kembali korban dan pembangunan di Aceh. Pembangunan kembali Aceh paska tsunami juga tercatat sebagai pembangunan terbesar di dunia pada abad ini. Berbagai negara donor dan ribuan NGO Internasional dan Nasional serta para relawan dari seluruh dunia baha membahu menolong korban tsunami dan membangun kembali berbagai infrastruktur. Hal ini juga mendorong tumbuhnya organisasi masyarakat sipil, khususnya LSM di Aceh yang bekerja untuk isu-isu recovery gempa dan tsunami, dan umumnya organisasi yang bekerja tidak teregistrasi baik di UN OCHA maupun di BRR sebagai lembaga khusus pemerintah RI untuk pemulihan bencana Gempa dan Tsunami Aceh dan Nias.

Azwan Hasan, People to People, An Alternative Way of Delivering Humanitarian Aid, Humanitarian Practice Network, Desember 2005

29

39

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Gambar 2: Jumlah OMS dan Partai Politik

Sumber: Teuku Ardiansyah, 2011

Data di atas menunjukkan perkembangan OMS khususnya LSM sangat pesat ketika Aceh dilanda bencana gempa dan tsunami. Sebelum tsunami hanya berjumlah 189 LSM namun berubah menjadi 600 LSM paska tsunami. Sebaliknya setelah program tsunami berakhir, jumlah LSM mengalami penurunan yang sangat drastis, bahkan lebih dari 100% menyusut dan hanya tinggal 80 LSM. Sementara data di Kesbangpol dan Linmas Provinsi Aceh tahun 2013 menunjukkan bahwa terdapat 67 Ormas, 8 Yayasan, 8 Lembaga Profesi, serta 39 perhimpunan yang sudah terdaftar dan sudah memiliki SKT (Surat Keterangan Terdaftar) di lembaga Kesbanpol

40

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dan Linmas diwilayah hukum masing-masing didomisi oleh lembaga/ yayasan/ perkumpulan tersebut. Namun secara umum direktur ICAIOS Dr.Saiful Mahdi menyatakan bahwa jumlah OMS di Aceh diperkirakan lebih dari 9.870 dan 700 diantaranya adalah Lembaga Swadaya Masyarakat. Sementara jumlah yayasan juga lebih dari 1000 yayasan dalam berbagai bidang kerja30 Sementara menurut Afrizal Tjoetra, pertumbuhan LSM lokal saat itu dapat dipahami karena beberapa LSM internasional membutuhkan mitra lokal yang lebih paham sosial budaya masyarakat lokal. Selain itu juga trend kerja di LSM relatif mempunyai pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan menjadi pengawai 31 pemerintahan(PNS). Lebih jauh ia menjelaskan setelah proses rehabilitasi dan rekonstruksi dinyatakan selesai pada tahun 2009 dan ditandai dengan ditutupnya berbagai kegiatan BRR di Aceh, yang diikuti oleh berbagai NGO internasional dan negara donor lainnya, maka seiring itu pula ratusan LSM lokal harus gulung tikar karena kekurangan dukungan secara financial, ketika dana milyaran dollar US dilimpahkan ke Aceh maka
Saiful Mahdi, LSM di Aceh Dianggap Kurang Professional, dikutip dari Afifuddin Acal, 2012, http://theglobejournal.com/sosial/lsm-di-aceh-dianggap-kurangprofesional/index.php 31 Wawancara dengan Afrizal Tjoetra, 15 November 2013
30

41

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

pertumbuhan LSM lokal juga berbanding lurus dengan banyaknya dana tersebut, sebaliknya ketika pemerintah Indonesia dan juga LSM internasional menutup programnya di Aceh, maka itu juga berimbas pada LSM lokal, hanya beberapa saja yang masih tetap menjalankan aktivitas LSMnya, seperti Forum LSM Aceh, The Aceh Institute, Koalisi NGO HAM, Gerak Aceh, Masyarakat Transparansi Aceh, KontraS Aceh, LBH Aceh, ASCTF dan beberapa yang lainnya. 3.1.2. Paska MoU Helsinki dan UUPA Sejak tahun 2005 sampai 2009, ratusan bahkan ribuan OMS lokal terbentuk di Aceh. Namun seperti disebutkan di atas yaitu bertujuan untuk program tsunami. Pembentukan OMS ini juga tidak terlepas dari banyaknya dana untuk program rebah-rekons Aceh. Beberapa LSM internasional membutuhkan mitra lokal untuk menjalankan programnya, demikian juga pembentukan OMS lokal ini akan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan. Pada fase ini relasi OMS di Aceh dengan negara asing dan LSM asing begitu dekat, dan menjadi mitra dalam merealisasikan berbagai program pembangunan kembali Aceh. Sebaliknya relasi antara OMS lokal sendiri dengan pemerintah relatif kecil, dan cenderung OMS dalam bentuk perkumpulan atau koperasi. 42

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Setelah proses rehab dan rekons berakhir pada tahun 2009 beberapa aktivis OMS melakukan metamorposis orientasi gerakan dari gerakan sipil ke gerakan politik, khususnya politik lokal. Sebagaimana diketahui bahwa pemilu legislatif pertama paska perjanjian damai di Aceh dilakukan pada tahun 2009, dan sejumlah partai lokal mendaftar diri ke kementerian Hukum dan HAM kantor wilayah Aceh. Beberapa partai lokal yang lolos verfifikasi mengikuti pemilu tahun 2009 antara lain: (1) Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), (2) Partai Daulat Aceh (PDA), (3) Partai Suara Independent Rakyat Aceh (SIRA), (4) Partai Rakyat Aceh (PRA), (5) Partai Aceh (PA), dan (6) Partai Bersatu Aceh (PBA). Dari sekian partai lokal tersebut, terdapat beberapa aktivis OMS yang ikut menjadi pelopor dan bagian dari terbentuknya partai politik yang berbasis lokal tersebut, antara lain terdapat Ghazali Abas Adan, yang mendirikan partai Paas dan merangkap sebagai pembina pada ormas DDII (Dewan Dakwan Islam Indonesia), sementara di Partai Daulat Aceh ada Tgk Muhibusabri, Tgk.Ali Imran, Waled Husaini, dan lainnya yang umumnya adalah aktivis dari Rabithah Thaliban Aceh (RTA) dan Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA). Sedangkan di Partai SIRA terdapat sejumlah nama seperti Teuku Banta Syahrizal yang juga pernah menjabat sebagai program manager ACSTF, dan juga Wiratmadinata yang ikut melahirkan PRA. Begitu 43

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

juga halnya dengan beberapa aktivis KontraS Aceh yang mendukung pembentukan Partai Aceh (PA) seperti Kausar, Hendra Fadli, serta tokoh sipil Humam Hamid yang mendirikan PBA. Disamping partai lokal juga terdapat beberapa tokoh OMS yang bergabung dengan partai nasional, seperti TAF Haikal yang bergabung dengan PAN pada pemilu 2009, dan Akhiruddin Mahjuddin bergabung dengan partai demokrat, Hendra Budian dengan Partai Golkar dan beberapa aktivisi gerakan sipil lainnya. Proses transformasi beberapa aktivis OMS ke partai politik juga tidak terlepas dari upaya untuk merebut parlemen dan posisi-posisi strategis dalam upaya mengambil jabatan-jabatan publik. Seperti halnya trend yang berkembang di Indonesia paska reformasi, dimana sejumlah aktivis mahasiswa reformasi menjadi pengurus partai politik dan juga menjadi anggota parlemen. Beberapa contoh aktivis seperti Anas Urbaningrum, Fahri Hamzah, Nasir Djamil, Budiman Sujatmiko, dll. Proses transformasi beberapa tokoh sentral dari OMS ke partai politik juga secara tidak langsung mempengaruhi eksistensi dari OMS tersebut, dimana orientasi OMS tidak terlalu progresif lagi untuk menentang berbagai kebijakan partai politik yang dianggap kebijakannya tidak berorientasi kepada kerakyatan. Setidaknya terdapat dua faktor yang 44

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

mempengaruhi hal ini, yaitu (1) faktor pengkaderan di OMS tidak berjalan dengan baik, tidak reguler dan terstruktur, hanya bersifat natural (alami) saja (2) faktor ikatan emosional masih berdasarkan senioritas dan junioritas, sehingga regenerasi dipersiapkan berdasarkan faktor kedekatan, bukan berdasarkan kapasitas. Realitas ini juga ikut mempengaruhi secara tidak langsung terhadap regenerasi pengurus OMS selanjutnya. Selain itu, perkembangan OMS paska MoU dan UUPA yang terkait dengan program paska konflik, umumnya dibentuk oleh personal yang mempunyai relasi dengan Badan Reintegrasi Aceh.32 Namun OMS yang mendapatkan bantuan atau kerjasama dengan BRA ini cenderung tidak dikenal public, dan keberadaannya hanya temporer. Sehingga sulit untuk menginventarisir jumlahnya secara pasti. Salah satu organisasi sipil yang dekat dengan lembaga ini dalah ASG (Aceh Security Group). Lembaga ini didirikan oleh sejumlah mantan kombatan GAM, dan sering bekerja untuk mendata korban konflik dan dijanjikan akan mendapatkan bantuan rumah.

Badan Reintegrasi Aceh adalah lembaga non dinas yang dibentuk melalui peraturan Gubernur No. 330/032/2006 yang bertujuan untuk melakukan pembangunan terhadap rumah korban konflik, membantu ekonomi eks-kombatan GAM, tahanan politik dan masyarakat sipil yang menjadi korban konflik.

32

45

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

3.2.

Bentuk-Bentuk OMS

Sebagai organisasi sipil, OMS kemudian terbagi dalam beberapa bentuk. Pembentukan model OMS ini didasari kepada karakteristik, fungsi dan sifat organisasi yang berbeda satu sama lainnya. Seperti disebutkan oleh Larry Diamond, yang mengelaborasi OMS menjadi beberapa karakter. Menurutnya masyarakat sipil terepresentasi oleh berbagai jenis organisasi masyarakat sipil (OMS) yang luas, seperti organisasi yang bergerak dibidang isu politik, ekonomi, budaya, agama, etnik, kelompok komunal, dan institusi serta asosiasi lain yang mempertahankan hak kolektif, nilai, kepercayaan publik. Kedua dari segi kepentingan, dimana kelompok yang bertujuan memajukan atau melindungi kepentingan anggotanya seperti perserikatan buruh, asosiasi pensiunan, dan kelompok professional, dan ketiga dari segi relasi dengan pembangunan, yaitu organisasi yang mengumpulkan resource dan bakat individual untuk memajukan infrastuktur, institusi dan kualitas kehidupan masyarakat.33 Untuk konteks Indonesia, UU No.17 tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat (Ormas) membagi organisasi ke dalam dua bentuk, yaitu organisasi
Larry Diamond, Civil Society and Development of Democracy, Working Paper, 2007.
33

46

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

berbadan hukum dan organisasi tidak berbadan hukum. Organisasi berbadan hukum tersebut berupa (1) Yayasan dan (2) Perkumpulan. Sementara organisasi tidak berbadan hukum adalah organisasi yang proses pendiriannya tidak didasarkan kepada keputusan Menteri Hukum dan HAM, namun teregistrasi di Notaris dan Kesbangpol dan Linmas masing-masing kabupaten/kota tempat organisasi tersebut terbentuk. Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) atau dikenal juga dengan sebutan Civil Society Organization (CSO) mempunyai berbagai bentuk dan jenis. Secara umum OMS ini merupakan lembaga non-profit yang digerakkan oleh sejumlah sukarelawan, baik berskala lokal, nasional maupun internasional. Begitu juga bentuk organisasinya, baik dalam bentuk perkumpulan, yayasan, lembaga dan juga perhimpunan massa. OMS juga terlihat dalam berbagai dinamika, dari yang menerapkan sistem demokratis, sampai otokratis. Sementara dari segi isu, mulai dari isu kemanusian, lingkungan, perlindungan satwa, agama sampai isu anti-agama sekalipun.34

Farah Monika,. Bentuk Organisasi Masyarakat Sipil dan Tantangan Global, Resensi Artikel karya Helmut Anhier dan Nuno Themudo, diterbitkan oleh Jurnal CIVIC, Jakarta: Fisip UI, 2003.

34

47

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Lebih lanjut, Helmut & Salamon menyatakan terdapat beberapa bentuk OMS yang ada, antara lain: 35 1) Network form, yaitu OMS yang berbentuk jaringan-jaringan yang muncul ketika afiliasiafiliasi nasional dari International Non-Goverment Organization (INGO) meningkatkan kerjasama dan koordinasi dalam kegiatan kegiatan lintas negara, sekaligus membuka jaringan organisasi yang mengangkat isu tertentu, seperti isu global warming, lingkungan, dst. 2) Special Form, dimana OMS ini mempunyai bentuk khusus dan mempunyai agenda yang khusus pula, seperti bentuk Yayasan, lembaga donor, organisasi keuangan, organisasi pendidikan dan pelatihan, dll. Bentuk OMS ini berada diluar klasifikasi OMS konvensional lainnya, dan jumlah bentuk oms ini berkembang dari masa ke masa. 3) Dependent Bodies, yaitu badan-badan atau organisasi-organisasi yang bergantung pada organisasi lain atau merupakan organisasi yang tergantung kepada organisasi induknya, seperti organisasi-organisasi Caritas Gereja.

Lester M.Salamon & Helmut K.Anheier, The Emerging Non-Profit Sector, Manchester: Mancherter University Press, 1996.

35

48

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

4)

Lembaga non-konvensional yang terlibat dalam berbagai isi baik yang aktif maupun yang tidak aktif.

Selain itu, OMS juga terbentuk karena didasarkan kepada kepentingan isu yang diusung dari terbentuknya OMS tersebut. Ada beberapa faktor yang dianggap sebagai penyebab munculnya berbagai bentuk organisasi baru, yaitu: 1) Berhubungan dengan lingkungan organisasi dimana organisasi itu berada, lingkungan yang lebih luas dimana OMS tersebut beroperasi, dan mendorong OMS untuk memperluas diri. Perluasan OMS dalam bentuk-bentuk baru, yaitu spesial dan non-konvensional yang mencerminkan adanya peningkatan carrying capacity istilah yang merujuk kepada ukuran populasi organisasi yang dapat didukung oleh sebuah lingkungan dengan sumber daya yang ada. 2) Berhubungan dengan ketidakleluasaan dalam bentuk-bentuk organisasi yang telah ada, memberikan fokus pada kendala dan dilema yang dihadapi oleh OMS dalam lingkungannya, dan mendorong OMS untuk melakukan berbagai inovasi. Perluasan OMS dalam kerangka berbagai bentuk untuk menyesuaikan dengan kebutuhan perkembangan zaman 49

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Namun demikian, bentuk-bentuk OMS juga dapat dikategorikan dalam berbagai bentuk sesuai dengan perspektif dan sudut panjang proses klasifikasi OMS tersebut. Hal ini seperti ditulis oleh Sutoro dalam pengantar buku Larry Daymond bahwa ada dua bentuk atau tipologi organisasi, yakni mutualitas dan identitas organisasional.36 Kedua kriteria tersebut dibuat rendah dan ringgi yang kemudian menghasilkan empat model organisasi, yang bisa digunakan sebagai kerangka kerja hubungan antara OMS dengan pemerintah atau antara OMS dengan lembaga lainnya, seperti donor, pemerintah ataupun partai politik. Begitu juga ketika tingkat mutualisme dibangun rendah, sementara identitas organisasi ditonjolkan maka relasi itu disebut dengan relasi model kontrak. Kemudian jika mutualisme rendah dan identitas organisasi juga rendah maka akan terbangun hubungan yang disebut sebagai perpanjangan tangan (extension). Sementara kalau identitas organisasi rendah tetapi mutualisme tinggi disebut sebagai organisasi kooptasi. Kemudian terakhir model relasi kolaborasi atau kemitraan, dimana dalam konsep ini OMS membangun

Larry Daymond, Developing Democracy Consolidation, (Yogyakarta. IRE Press), 2003.

36

Toward

50

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

konsep mutualisme dan identitas organisasi yang samasama tinggi.37 Gambar 3: Tipologi Organisasi Masyarakat Sipil
Mutualitas

Rendah

Tinggi

Tinggi Kontra
Identitas Organisasional Perpanjangan Rendah

Kemitraan/ kolaborasi

Kooptasi

Sumber:

Jennifer Brinkerhoff, Government-Nonprofit Partnership: A Defining Framework, 2002.

Gambar tersebut menjelaskan bahwa tipologi OMS dapat dilihat dari empat indikator (1) kontrak, (2) kepanjangan, (3) kemitraan, dan (4) kooptasi. Hubungan kontrak menggambarkan semakin tinggi relasi
Sutoro, dkk. Masyarakat Sipil Mendemokrasikan Daerah, Pembelajaran Penguatan Kapasitas Organisasi Masyarakat Sipil di Aceh, Jakarta: Yappika, 2009
37

51

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

keuntungan baik secara politik, ekonomi maupun ideologi dengan partai politik, maka semakin jelas hilangnya identitas independensi organisasi. Hal ini disebabkan oleh pengaruh mutualisme. Sedangnya arti indikator dari kepanjangan adalah posisi OMS dibentuk oleh partai politik, sehingga kerja-kerja OMS menjadi perpanjangan dari kerja-kerja partai politik. Istilah ini sering disebut dengan relasi klientalistik. Sementara relasi kemitraan/kelaborasi mencerminkan hubungan timbal baik yang meletakkan relasi pada kepentingan publik. Pola ini juga disebut dengan relasi partisipatory dimana masing-masing organisasi baik OMS maunpun parpol berdiri sesuai dengan core-nya masing-masing. Terakhir pola relasi kooptasi. Pola ini menjadikan posisi OMS sebagai pemanfaat fungsi OMS untuk kepentingan partai politik dan OMS tidak menyadari proses pemanfaatan itu, artinya OMS dikoptasi oleh fungsionaris partai politik tertentu untuk bekerja bagi kepentingan parpol tersebut. Selain itu, bentuk OMS juga dipengaruhi dari definisi OMS itu sendiri. Definisi tentang konsep organisasi masyarakat sipil sangat bervariatif, tergantung cara pandang kita mengartikulasikan dan memahami OMS itu sendiri. Sehingga tidak bisa di ditarik satu definisi tunggal. Ada pandangan yang mengatakan OMS merupakan peristilahan umum yang mengakomodasikan berbagai bentuk organisasi yang tumbuh di tengah 52

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

masyarakat untuk melakukan kegiatan secara mandiri dan terbebas dari intervensi maupun kelompok pengusaha. Dengan demikian, OMS bukanlah sebuah istilah yang hanya diperuntukkan bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) semata saja, tetapi juga mencakup organisasi-organisasi keagamanan, organisasi rakyat, kelompok sosial, organisasi perempuan, organisasi kepemudaan, kelompok tani, organisasi buruh, organisasi profesi, dan lain-lain. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa OMS terpetakan berdasarkan issue; agama, perempuan, hak asasi manusia, buruh, petani, kepemudaan, pemerintahan, dan demokrasi. Ada hal baru pada fokus issue dalam kerja atau peran OMS di Aceh yakni isu perdamaian, rehabilitasi dan rekonstruksi. Menurut Sutoro Eko et. al, dalam literatur kontemporer, perdamaian mempunyai spektrum yang lebih luas, yaitu tidak hanya bicara tentang resolusi konflik dan perdamaian semata, tetapi juga mengaitkan perdamaian dengan berbagai agenda yang kompleks. Sedangkan isu rehabilitasi dan rekonstruksi tercipta dikarenakan karena faktor dalam merespon bencana, khususnya bencana tsunami di Provinsi Aceh. Banyak sekali OMS terbentuk untuk membantu dan mempercepat pengembalian kehidupan masyarakat Aceh ke dalam kondisi normal. Jadi keseluruhan batasan isu terfokuskan kepada kerja sosial yang dipraktekkan dalam merespon 53

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

permasalahan di setiap isu tersebut. Disinilah keberadaan OMS membantu kerja-kerja pemerintah yang belum maksimal memenuhi kebutuhan atau hak masyarakat di setiap isu tersebut. Selanjutnya keberadaan organisasi partai politik tidak dikatagorikan bagian dari OMS, tampaknya ada kesepakatan di kalangan para ahli dan pengamat untuk tidak memasukan organisasi partai politik. Ini tercermin dalam pandangan-pandangan yang dikemukakan dalam pertemuan NAG (National Advisory Group) yang pertama. Organisasi partai politik juga dilihat sebagai organisasi yang berada pada aras masyarakat (infrastruktur) sekaligus pada negara (suprastruktur) yang terlihat dari keberadaan orang-orang yang merupakan representasi partai di parlemen dan kekuasaan pemerintah negara.38 Namun OMS juga didefinisikan sebagai sektor ketiga (setelah negara/pemerintah dan pasar/sektor bisnis/sektor swasta). Dengan demikian sektor swasta memang tidak dimasukan ke dalam katagori masyarakat sipil. OMS didefinisikan juga sebagai sektor nirlaba (profit). Dalam konteks ini, ada para ahli yang memasukan koperasi sebagai sektor nirlaba, karena tujuan koperasi bukanlah mengejar laba apalagi
Lili Hasanuddin, dkk., Indeks Indeks Masyarakat Sipil Indonesia 2006: Jalan (Masih) Panjang Menuju Masyarakat Sipil, Laporan Penelitian, Yappika, Jakarta, 2006
38

54

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

maksimalisasi laba, akan tetapi lebih memberikan pelayanan kepada anggota-anggotanya. Karena itu koperasi dimasukan ke dalam katagori masyarakat sipil. Akan tetapi dikalangan OMS sendiri masih ada yang melihat bahwa koperasi sebagai badan usaha yang mencari keuntungan. Sudut pandang lainnya yang memperkaya definisi organisasi masyarakat sipil adalah seperti dikatakan Djamal bahwa pembentukan organisasiorganisasi masyarakat sipil dilakukan oleh individu masyarakat yang mempunyai sebuah perspektif untuk melakukan suatu perubahan pada diri mereka dan masyarakat secara umum. Konteks pembentukan organisasi adalah untuk mempertemukan para individu tersebut dalam sebuah pemahaman bersama untuk mencapai tujuan, karena perjuangan untuk membangun perubahan harus dikembangkan secara massif menuju sebuah kekuatan besar yang mampu mendobrak kekuatan yang sedang berkuasa.39 Dari berbagai pemikiran akan konsep OMS, kalangan pemerhati sosial mendefinisikan OMS adalah gerakan masyarakat sipil melalui organisasi untuk merespon masalah-masalah sosial masyarakat serta memperjuangkan hak-hak yang melekat di masyarakat
Wawancara dengan Juanda Jamal, ACSTF/Konsorsium Aceh Baru, 2 November 2013
39

Sekjen

55

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

itu sendiri. Keberadaan OMS telah menjadi pilar untuk melakukan kontrol jalannya pemerintahan, dimana kontrol fungsi pelayanan publik serta kebutuhan dasar lainnya harus dipenuhi pemerintah atas nama negara. Memperkuat argumentasi di atas, Kemunculan OMS merupakan reaksi atas melemahnya peran kontrol lembaga-lembaga Negara, termasuk partai politik, dalam menjalankan fungsi pengawasan ditengah dominasi pemerintah terhadap masyarakat. Sehingga pada awal sejarah perkembangan lahirnya OMS, terutama yang bergerak dibidang sosial politik, tujuan utama pembentukan OMS adalah bagaimana mengontrol kekuasaan Negara, tuntutan pers yang bebas, tuntutan kebebasan berorganisasi, advokasi terhadap kekerasan Negara dan kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat. Pada masa orde baru OMS menjadi sebuah kelompok kritis yang memberikan tekanan pada pemerintah. Meuthia Ganie-Rochman menyebut pola hubungan LSM pada masa ini sebagai pola hubungan yang konfliktual, dimana dari sisi pemerintah juga berupaya mencampuri dan mempengaruhi organisasi, cara kerja dan orientasi OMS . Terakhir, kita dapat memahami bahwa OMS adalah organisasi sipil yang terbagi ke dalam berbagai bentuk, diantaranya organisasi kemasyarakatan yang terbagi menjadi organisasi massa, organisasi rakyat, organisasi profesi, organisasi komunitas, dan organisasi 56

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

NGO/Lembaga Swadaya Masyarakat. Fokus kerja organisasi sangat ditentukan berdasarkan visi dan misi serta kemampuan merealisasikan mandat tertuang dalam visi dan misi tersebut.

3.3.

Peran dan Fungsi OMS

Organisasi Masyarakat Sipil merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam sebuah negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi. UU No.17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) menyebutkan bahwa salah satu aspek yang penting dalam membangun demokrasi di Indonesia adalah meningkatkan peran masyarakat sipil secara aktif dalam pembangunan serta mandiri dan otonom. Makna otonom dan mandiri disini dimaksudkan sebagai bentuk yang dapat memajukan diri sendiri, dan dapat membatasi diri dari intervensi negara atau pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif, serta senantiasa memperhatikan sikap kritis dalam kehidupan politik. Hal ini diperkuat oleh Otho H.Hadi yang menyebutkan ada dua aspek yang harus dimiliki oleh gerakan masyarakat sipil yaitu keswadayaan (self supporting), dan keswasembadaan (self generating).40
Otho H. Hadi, Peran Masyarakat Sipil Dalam Proses Demokratisasi, diterbitkan oleh Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol.14. No.2, Desember 2010, hlm.120
40

57

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Masyarakat sipil merupakan sebuah konsep yang sangat luas. Cohen dan Arato (1992) mendefinisikan masyarakat sipil sebagai wilayah interaksi sosial yang di dalamnya mencakup semua kelompok sosial paling akrab seperti keluarga, asosiasi seperti kelompok sukarela, gerakan kemasyarakatan, dan berbagai wadah komunikasi publik lainnya yang diciptakan melalui bentuk-bentuk pengetahuan dan mobilisasi diri. Lebih jauh secara prinsip OMS berperan untuk memperkuat peran kehidupan bermasyarakat. Peran memperkuat itu tentu tak mudah, dimana OMS menghadapi berbagai tantangan, baik dari internal organisasi maupun dari eksternal organisasi. Umumnya kalangan aktivis OMS memberikan penjelasan bahwa peran dan fungsi OMS adalah memperjuangkan kebutuhan dasar atau publik masyarakat yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Caranya melalui advokasi, memfasilitasi dan mediasi agar terpenuhi kebutuhan dasar/publik bagi masyarakat. Pandangan lainnya dari kalangan aktivis menjelaskan peran dan fungsi OMS, dimana kegiatan yang dilaksanakan adalah meliputi aspek-aspek kehidupan sosial masyarakat yang meliputi aspek pribadi dan aspek antar pribadi. Lembaga kemasyarakatan yang merupakan penyatuan dari aspek kehidupan pribadi didasarkan pada upaya pemenuhan atau pencapaian kepentingan pribadi yang dilakukan secara bersama58

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

sama. Bahkan peran dan fungsi OMS bisa diposisikan membantu kerja-kerja pemerintah dalam mendukung keberhasilan pembangunan dan kesejahteraan. Tentunya harus diiringi dengan trust dan partnership yang kuat dari kedua belah pihak. Sehingga menghasilkan sinergisasi dan keselarasan kerja secara bersama-sama demi kepentingan publik atau masyarakat banyak yang memerlukan. 3.3.1. Advokasi Draft UUPA Salah satu bentuk kerja nyata OMS dalam relasinya dengan partai politik setelah ditanda tangani MoU antara Pemerintah RI dan Perwakilan GAM adalah mendorong terbentuknya Undang-Undang Otonomi Khusus untuk Aceh yang partisipatif dan sesuai dengan keinginan rakyat secara umum yaitu Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA). Dalam melakukan advokasi undang-undang ini, OMS Aceh membangun komunikasi intensif dengan partai politik, sebagai sebuah strategi untuk mengontrol dan mengawal proses legislasi UUPA tersebut di Parlemen. Proses advokasi ini dilakukan oleh beberapa LSM yang bergabung dalam Jaringan Demokrasi Aceh atau dikenal dengan JDA. Jaringan ini dibentuk dan diinisiasi oleh beberapa aktivis dan didukung oleh beberapa tokoh sipil lainnya. Beberapa LSM yang tergabung dalam JDA ini antara lain;, ACSTF, AJMI, 59

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Aceh Institute, KMPD, Kontras Aceh, Koalisi NGO HAM, Flower, Mispi, APF, Forum LSM Aceh, SoRAK Aceh, Lappeka, KKP Aceh, PDRM, Forum Akademisi Aceh, Katahati Institute, Yappika, Cetro, ELSAM, Kontras, Imparsial, Perkumpulan Demos, Aceh Kita, HRW, dan Konsorsium Aceh Baru (KAB). Menurut Juanda Djamal gerakan sipil yang tergabung dalam JDA ini adalah berupaya untuk melakukan advokasi terhadap lahirnya UUPA yang sesuai dengan butir-butir MoU Helsinki dan juga keinginan masyarakat Aceh secara umum. Sebagaimana diketahui bahwa draft UUPA dibahas oleh Panja DPR dan pemerintah untuk menurunkan kesepakatan damai dalam bentuk perundang-undangan di Indonesia, dan Aceh merupakan provinsi yang berstatus otonomi khusus. Beberapa point yang didorong oleh JDA kepada pemerintah RI, antara lain: (1) mengesahkan UUPA sesegera mungkin sebelum April 2006, (2) menyiapkan draft UUPA sesuai dengan aspirasi yang berkembang ditingkat masyarakat bawah (grassroots), dan juga disesuaikan dengan butir-butir MoU Helsinki, (3) melakukan upaya-upaya komunikasi dengan lintas partai agar mengesahkan draft UUPA tersebut sesuai dengan aspirasi dan butir-butir MoU Helsinki, (4) melakukan diskusi-diskusi dengan para stakeholders dan lintas komunitas serta elemen yang ada di Aceh, untuk meng60

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

input berbagai informasi tentang keinginan rakyat Aceh terkait dengan pasal-pasal yang diatur dalam UUPA. Diskusi ini juga sebagai bentuk kampanye kepada publik tentang pentingnya pengawalan draft UUPA. Untuk mengkoordinasikan gerakan sipil ini, ditunjuk ACSTF sebagai sekretariat di Aceh, dan Yappika sebagai sekretariat gerakan sipil untuk pusat (Jakarta).41 Dalam gerakan bersama memperjuangkan UUPA, OMS di Aceh menjalin dan membina komunikasi intens dengan partai politik di Parlemen, hal ini seperti diungkapkan oleh Juanda Jamal, selaku Sekretaris Jendral ACSTF. Dalam advokasi UUPA ini, ACSTF sebagai salah satu bagian dari JDA, membentuk Parliament Watch yang bertujuan sebagai media mengontrol parlemen agar parlemen memenuhi aspirasi rakyat Aceh dalam UUPA: ....kita membangun komunikasi intensif dengan partai demokrat, guna mendorong mereka memperjuangkan aspirasi masyarakat Aceh ketingkatan pusat, ini tentu dalam kapasitas konteks kepentingan kita memantau proses penyusunan undang-undang tersebut. Relasi yang dibangun tersebut fokusnya ada yang ke partai lansung, dan ketika diparlemen kita juga berhubungan dengan individu-individu partai
Tim Salemba Tengha, Mengawal Demokrasi: Pengalaman Jaringan Demokrasi Aceh dan RUUPA, Jakarta: Yappika, 2007
41

61

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

politik yang sebenarnya itu juga bagian dari institusi partai politik42

Terbangunnya relasi OMS dengan partai politik dalam advokasi UUPA ini sangat dipengaruhi oleh kedekatan individu anggota DPR Aceh dengan kalangan OMS sehingga memudahkan aktifis OMS membangun komunikasi dengan partai politik, seperti Amir Helmi anggota DPR Aceh dari Partai Demokrat, sehingga OMS mudah menjalin komunikasi dengan partai Demokrat, selain itu juga ada Azhari Basyar (Anggota DPR Aceh dari partai Golkar), Khairul Amal (Anggota DPR Aceh dari PKS) dan Abdullah Saleh (Anggota DPR Aceh dari PPP)43. Parliament Watch yang dibentuk ACSTF, disamping bagian dari pemantauan dan pengawalan proses-proses di parlemen untuk advokasi UUPA dan membangun komunikasi dengan partai politik, juga punya tujuan untuk penguatan perdamaian Aceh. Bentuk-bentuk kerja yang dilakukan ACSTF dengan parliament watch ini diantaranya mendatangi individuindivu partai politik tersebut, untuk menyampaikan
Wawancara dengan Juanda Jamal, 5 November 2013 Pada saat advokasi UUPA, Abdulah Saleh adalah anggota DPRA dari Partai Persatuan Pembangunan, pada pemilu parlemen 2009, Abdulah Saleh mencalonkan diri dari Partai Aceh dan saat ini adalah Anggota DPR Aceh dari Partai Aceh
43 42

62

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

pandangan-pandangan sipil yang dinginkan dalam UUPA, berdiskusi dan meminta kepada individuindividu tersebut untuk memperjuangkan pandanganpandangan dan keinginan masyarakat sipil ini bersama partai mereka Dalam proses advokasi ini, ada beberapa poin dalam draft UUPA yang diperjuangkan antara lain: Pertama, tentang pembagian kewenangan, agar pemerintah Aceh diberi kewenangan dalam semua sektor publik, kecuali dalam hal wewenangan pemerintah pusat seperti politik luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, moneter, fiskal, kehakiman dan sebagian masalah agama. Kedua, masalah ekonomi, khususnya terkait dengan SDA yang ada di Aceh agar diberikan kewenangan yang luas kepada pemerintahan Aceh. Ketiga, terkait dengan keuangan, antara lain hak yang harus dimiliki oleh Aceh yaitu pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dana otsus, dana pembagian hasil migas, pinjaman pemerintahan Aceh, dan lainnya yang sah menurut perundang-undangan. Keempat, terkait dengan masalah calon independen. Kelima terkait dengan partai politik lokal. Keenam masalah pengadilan Hak Asasi Manusia. Ketujuh, masalah pendidikan dan kesehatan. dan kedelapan, terkait dengan kewenangan menjalankan syariat Islam secara kaffah Kegiatan advokasi ini menjadi klimak bagi gerakan sipil di Aceh yang mampu mempengaruhi 63

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

parlemen di Indonesia, dimana draft yang diusulkan oleh sipil menjadi bagian dalam proses finalisasi draft yang kemudian disahkan oleh pemerintah Indonesia dan ini juga dipengaruhi oleh relasi yang dibangun oleh OMS dengan partai politik, karena proses legislasi ada pada parlemen, dan untuk mempengaruhi legislasi tersebut di parlemen maka otomatis sangat diperlukan relasi dengan partai politik. Model relasi yang dibangun oleh OMS dalam upaya untuk mengesahkan UUPA, khususnya draft versi sipil adalah model relasi partisipatif, dimana masyarakat sipil membangun relasi dengan partai politik untuk mencapai visi dan misinya yang didasarkan kepada kepentingan publik secara luas. Disamping itu OMS tetap kritis, kreatif serta pro-aktif secara independen dalam mempengaruhi kebijakan fungsionaris partai politik diparlemen dalam pembahasan dan pengesahan draft UU tersebut. 3.3.2. Advokasi Qanun KKR Selain itu, paska disahkannya UUPA, gerakan sipil tidak berhenti dengan UU itu saja. Melainkan berlanjut dalam memperjuangkan berbagai turunan dari UU tersebut, atau yang lebih dikenal dengan qanun. 44
Qanun adalah bentuk dari peraturan daerah, baik peraturan daerah tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota.
44

64

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Beberapa qanun yang strategis menjadi agenda dari gerakan sipil. Salah satunya adalah mendorong lahirnya Qanun KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) di Aceh. Pembentukan KKR di Aceh merupakan amanah dari pasal 229 UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Proses ini dilakukan dengan membangun komunikasi secara aktif dan progressif dengan berbagai pihak di parlemen Aceh. Kegiatan yang diinisiasi oleh mitra CAFOD, terdiri dari AJMI, ACSTF, KontraS Aceh, The Aceh Institute, dan LBH Banda Aceh mendesak agar qanun tersebut segera disahkan. Namun demikian, upaya ini mendapat tantangan, khususnya oleh Pemerintah Aceh dan juga sebagian DPRA. Pemerintah Aceh beralasan bahwa pembentukan qanun KKR di Aceh tidak dapat ditindaklanjuti karena UU No.27 tahun 2004 tentang KKR nasional telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Pencabutan UU KKR Nasional ini dianggap menghilangkan payung hukum qanun yang merupakan produk hukum yang lebih rendah dari UU. Selain itu, pemerintah Aceh dan legislatif beralasan bahwa pembentukan KKR dengan

65

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dasar hukum qanun juga akan membebankan anggaran daerah.45 Sementara pendapat ini dibantah oleh Mawardi Ismail, pakar hukum tata negara Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, bahwa pembentukan KKR di Aceh sudah disebutkan secara khusus dalam UUPA yang merupakan UU bersifat lex specialist, artinya keberadaan qanun KKR di Aceh bukanlah turunan dari UU No.27 tahun 2004 yang telah di cabut oleh MK, melainkan langsung turunan dari UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Terkait dengan advokasi qanun KKR ini, OMS di Aceh juga melakukan hal yang sama seperti apa yang mereka lakukan ketika mengadvokasi UUPA, yaitu juga membangun relasi dengan partai politik. LBH misalnya, sebagai sebuah lembaga yang punya mandat advokasi dan terlibat secara aktif dalam advokasi qanun KKR Aceh, ketika melakukan upaya-upaya advokasi, tentu sangat perlu membangun relasi terutama dengan partai politik, karena proses perumusan dan legislasi qanun KKR ada diparlemen, oleh karena itu proses parlemen

Chairul Fahmi, (ed), Aceh Pasca MoU, Reformasi Keamanan, Peradilan dan KKR di Aceh, Banda Aceh:The Aceh Institute, 2011

45

66

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

harus dikawal, agar parlemen juga memasukkan aspirasi masyarakat korban kedalam qanun KKR Aceh. 46 Demikian juga KontraS Aceh, OMS lainnya yang berada di garda depan dalam advokasi qanun KKR Aceh, juga membangun relasi dengan partai politik. Kedua lembaga ini bersama-sama dengan komisi A DPR Aceh dari partai Aceh, berkeliling bersama dengan anggota parlemen dari Partai Aceh untuk menjumpai para korban sebagai bagian dari menjalankan mandat advokasi. Tujuannya adalah memfasilitasi anggota parlemen berjumpa dengan masyarakat korban, untuk menjaring masukan-masukan sesuai keinginan korban dan penjaringan itupun, LBH dan KontraS Aceh mengawalnya sampai proses di Parlemen seperti mengadakan diskusi antara masyarakat korban dengan Komisi A DPR Aceh sebelum paripurna qanun tersebut. 3.3.3. Advokasi Qanun lainnya Selain qanun tentang KKR, beberapa kegiatan advokasi lainnya adalah mendorong lahirnya beberapa qanun yang lebih aspiratif, seperti qanun tentang Komisi Informasi Aceh, qanun tentang penerapan syariat Islam di Aceh, baik qanun Jinayat maupun qanun Acara

Mustiqa Saputra, Direktur LBH Aceh, dalam FGD Relasi OMS dan Partai Politik di Kota Banda Aceh, November 2013

46

67

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Jinayat, qanun Perlindungan Anak, qanun Baitul Mal Aceh, dan qanun Pendidikan Aceh. Sementara qanun yang bersifat politis seperti qanun Bendera dan qanun Lembaga Wali Nanggroe tidak perlu diadvokasi oleh OMS, karena kedua produk qanun tersebut cenderung dipaksakan oleh parlemen Aceh, khususnya dari partai Aceh yang merupakan partai mayoritas. Sebaliknya, sikap OMS adalah mempertanyakan kewenangan Wali Nanggroe (WN) yang dicantumkan dalam qanun tersebut, serta efesiensi anggaran untuk belanja lembaga WN tersebut. Kondisi ini juga mendorong beberapa OMS di daerah cenderung menolak terhadap qanun Lembaga Wali Nanggroe karena dianggap tidak demokratis dan lebih bersifat feodalistik serta memboroskan dana publik. Kedua qanun ini juga menimbulkan pro-kontra antara elemen sipil yang didukung oleh partai Aceh dengan elemen sipil yang didukung oleh TNI/Polri seperti kelompok PeTA (Pembela Tanah Air). Dalam konteks ini, posisi OMS dengan partai politik cenderung kritis, mengkritik qanun tersebut, misalnya dari segi anggaran kelembagaan Wali Nanggroe yang dinilai sangat boros dan melukai perasaan masyarakat. 3.3.4. Dukungan terhadap Good Governance Peran lainnya yang dilakukan oleh LSM di Aceh adalah mendorong lahirnya pemerintah yang baik, jujur 68

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dan bersih (good governance). Proses mendorong lahirnya good governance dilakukan dengan berbagai macam kontrol kebijakan pemerintah, salah satunya adalah dengan mengkritik kebijakan pemerintah yang koruptif, kolutif dan nepotis. Salah satu contoh yang dilakukan oleh The Aceh Institute melalui riset Barometer Korupsi di Aceh pada tahun 2010 bekerjasama dengan Transparansi Internasional Indonesia (TII), menunjukkan bahwa tingkat korupsi yang paling tinggi menurut perspektif masyarakat terjadi di lembaga pemerintahan Aceh. Setidaknya ada tiga lembaga yang disurvey yaitu lembaga kepolisian provinsi Aceh, dewan perwakilan rakyat Aceh dan pemerintah provinsi Aceh. Hasil riset ini mendapat tantangan yang keras dari pemerintahan Aceh. Melalui ketua TAKPA (Tim Anti-Korupsi Pemerintahan Aceh) Amrizal J Prang mengatakan bahwa hasil penelitian ini tidak valid dan diragukan. Namun hasil riset The Aceh Institute ini diperkuat oleh laporan Gerak Indonesia pada tahun 2011 yang menyatakan bahwa dugaan korupsi pada masa pemerintahan Irwandi Yusuf kerugian Negara mencapai Rp.1.8 Triliun dengan 170 kasus korupsi. 47
47

Suara Pembaharuan, Gerak Desak KPK Usut Korupsi di Aceh, http://www.suarapembaruan.com/home/gerak-desak-kpkusut-korupsi-di-aceh/7391, diunduh 5 Januari 2014

69

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Tabel 1: Persepsi masyarakat terhadap lembaga yang berwajah korup di Aceh No. Lembaga yang di Survey Jumlah Persepsi Responden 1. Pemerintah Eksekutif 79% 2. Legislatif DPRA 77% 3. Kepolisian 75% 4. Kejaksaan 68% 5. Pengadilan Tinggi 66% 6. Perguruan Tinggi 50%
Sumber: Hasil Survey Barometer Korupsi Aceh, The Aceh Institute &Transparansi Internasional Indonesia, 2010.

Hasil survey ini juga menjadi cemeti terhadap pengelolaan pemerintahan di Aceh, setidaknya setelah transformasi politik di Aceh dari konflik bersenjata ke pembangunan. Dimana hasil survey ini diharapkan akan melahirkan pengelolaan pemerintahan menjadi lebih baik, jujur, amanah dan akuntabel. Dukungan terhadap lahirkan good governance lainnya dilakukan oleh Gerak dalam melaporkan berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh sejumlah pengelola negara di provinsi dan seluruh kabupaten/kota di Aceh. Beberapa kebijakan lain yang dianggap berpotensi kepada pelanggaran penggunaan anggaran seperti kebijakan perjalanan dinas, pengadaan peralatan

70

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

kesehatan di RSUZA yang diidentifikasi praktek korupsi, dll. Sementara MaTA juga bekerja sangat progressif dalam mewujudkan penerapan good governance di Aceh. Proses ini dilakukan dengan melaporkan berbagai indikasi korupsi ke kejaksaan, serta meminta sejumlah data tentang dana kampanye partai politik di Aceh, baik partai lokal maupun partai nasional. Salah satu yang dilakukan oleh Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), adalah mengajukan perkara sengketa keterbukaan informasi publik terkait dengan anggaran partai politik, dan hanya Partai Aceh yang keberatan untuk menyerahkan laporan dana partai tersebut kepada MATA. 48

AJNN, MaTA dituduh sebagai antek-antek asing http://www.ajnn.net/2013/11/diminta-data-anggaran-partai-acehtuding-mata-mata-mata-asing/, diunduh 5 Januari 2014

48

71

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

TRANFORMASI GERAKAN ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL DI ACEH

Bab ini akan menjelaskan gerakan organisasi masyarakat sipil di Aceh yang terbagi menjadi empat sub-bab, terdiri dari: gerakan OMS paska reformasi, gerakan OMS paska gempa dan tsunami, gerakan OMS paska MoU Helsinki, dan gerakan OMS paska disahkan UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Secara umum gerakan organisasi masyarakat sipil di Aceh tumbuh setelah era reformasi di Indonesia, dan dicabutnya status Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1998 oleh Panglima ABRI Wiranto. Gerakan OMS yang pada awalnya menolak penerapan operasi militer 72

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

pada saat ditetapkan darurat militer dan darurat sipil pada tahun 2003, sampai kepada perubahan gerakan dari anti terhadap simbol politik pemerintah Republik Indonesia, menjadi bagian dari pendiri partai politik, khususnya partai lokal. Secara lengkap hal ini akan dibahas pada bab ini.

4.1. Gerakan OMS Paska Reformasi


Tumbangnya orde baru menuju reformasi telah membuka ruang gerakan masyarakat sipil diranah publik. Gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa juga menjadi momentum bangkitnya gerakan masyarakat sipil lebih luas, baik dalam hal politik, ekonomi, sosial-budaya. Selain itu, pembagian kekuasaan dari konsep sentralistik berubah menjadi desentralisasi mendorong lahirnya berbagai gerakan OMS diseluruh daerah di Indonesia, termasuk di Aceh. Namun karena kondisi pemberlakuan operasi militer menyebabkan gerakan OMS masih sangat terbatas. Secara umum, gerakan OMS paska reformasi di Aceh memiliki agenda bersama saat itu. Menurut M. Alkaf49 gerakan masyarakat sipil paska reformasi telah bersepakat membangun agenda bersama, tidak hanya
M.Alkaf,Pasang Surut Gerakan Politik di Aceh (Studi Kasus Power Movement Referendum Aceh 1998-1999), Thesis tidak dipublikasi, 2012, hlm. 1-2.
49

73

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

sebatas agenda bersama akan tetapi dilakukan secara nyata. Agenda bersama terbagi menjadi dua aras di level nasional dan level lokal. Untuk level nasional terdiri dari; tegakkan supremasi hukum, Adili Soeharto, Amandemen UUD 1945, Otonomi daerah seluasluasnya, Berantas KKN dan Perlindungan HAM. Sedangkan pada konteks lokal Aceh, dimana OMS memiliki agenda berbeda dengan nasional. Agendanya adalah tuntuan pencabutan Daerah Operasi Militer (DOM). Setelah itu berturut-turut isu-isu kemanusiaan dan keadilan dijadikan sebagai masalah yang harus diselesaikan pemerintah pusat di Aceh, seperti pengusutan pelanggaran HAM, menarik tentara nonorganik, aksi boikot pemilu dan akhirnya tuntutan referendum untuk Aceh. Seperti dijelaskan di atas, bahwa paska reformasi Aceh dilanda konflik. Ketika itu pembagian peran antar OMS sangat solid, terarah, dan terkoordinasi. Namun tidak semua yang dikatagorikan OMS melakukan upaya gerakan bersama. Faktanya hanya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi masyarakat (buffer aksi) yang berani bersikap untuk melaksanakan agenda bersama yang telah disepakati bersama dengan mahasiswa. Ketika itu OMS yang berbentuk ormas umumnya mengambil posisi menjadi oposisi dengan

74

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

pemerintah dan terdapat juga pihak-pihak yang mendukung kebijakan operasi militer di Aceh50 ....Beberapa OMS, khususnya ormas tidak berani untuk mengambil posisi sebagai oposisi terhadap pemerintah, khususnya ketika Aceh dalam kondisi darurat militer. Hal ini dikarenakan kondisinya sangat tidak aman. Sehingga sikap keabu-abuan terkadang sebagai upaya untuk menyelamatkan diri dari klaim sebagai lawan pemerintah. Inilah yang membuat tekanan dalam gerakan tidak begitu masif dan kuat terhadap berbagai kebijakan pemerintah saat itu.

Selain itu, kondisi di Aceh pada saat itu berbeda dengan gerakan sipil di Indonesia secara umum, dimana gerakan sipil di Aceh masih berjuang mewujudkan perdamaian dan demokrasi. Gerakan sipil pada saat ini bahkan tidak terlalu tertarik dengan partai politik, bahkan sebagian menentang eksistensi partai politik karena dianggap tidak mampu memperjuangan perdamaian di Aceh. Gerakan OMS yang dipelopori oleh LSM dan buffer aksi lebih cenderung bekerja untuk isuisu kemanusian di Aceh. Seperti membantu para pengungsi yang melakukan eksodus dari kampungnya
Wawancara dengan Helmy M Hakim, di Banda Aceh pada tanggal 25 November 2013.
50

75

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

karena menghindari kontak senjata antara TNI/Polri dengan GAM. Data dari PCC (People Crisis Center) menunjukkan bahwa pengungsian di Aceh mencapai 250.000 jiwa yang tersebar di sepanjang jalan Banda Aceh-Medan sejak penerapan Darurat Militer dan Darurat Sipil. Pengungsian terjadi paska kontak senjata antara TNI dengan GAM, masyarakat berupaya untuk mengamankan diri dengan menciptakan rasa keamanan bersama-sama di kamp-kamp pengungsian. Beberapa organisasi mahasiswa membentuk kelompok pendamping kemanusiaan, misalnya SMUR membentuk PCC, KARMA dan SIRA membentuk PEMRAKA. Kegiatan yang dilakukan antara lain: pertama, manajemen pengungsian, pendidikan dan pendidikan keagamaan, sanitasi, dan mengumpulkan bantuan kemanusiaan51. Sementara perkembangan gerakan aktivis melakukan transformasi dengan membentuk berbagai lembaga perkumpulan seperti; Forum LSM Aceh52, Suloh Aceh, Koalisi NGO HAM Aceh dan beberapa
Data People Crisis Center, 2008. Pada Musyawarah II tahun 1992 di Saree Aceh Besar dibentuk lembaga dipermanenkan dengan nama Forum Regional LSM (FR-LSM) Aceh. Selanjutnya dalam perjalanan dan dinamika organisasi pada akhirnya berdasarkan hasil Musyawarah IV tanggal 2 s/d 4 Januari 1997 Forum Regional LSM Aceh berubah menjadi Forum LSM Aceh.
52 51

76

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

yang lain53. Tetapi terdapat juga gerakan aktivis yang tidak tergabung dalam lembaga perkumpulan melainkan berdiri sendiri, seperti; ACSTF, The Aceh Institute, Gerak Aceh, Katahati Institute, dll54. 4.2. Gerakan OMS Paska Gempa &Tsunami Bencana tsunami yang terjadi di Aceh telah mengakibatkan kerusakan yang parah, korban jiwa dan kehancuran di beberapa kawasan Asia Selatan, bahkan hingga Afrika. Kerusakan dan kerugian akibat gempa dan tsunami yang diderita masyarakat di Indonesia sangat besar, melampaui negara-negara lainnya. Korban meninggal dilaporkan sebanyak 128.845 jiwa, dan yang hilang 94.682 jiwa. Sementara itu, jumlah orang yang menjadi pengungsi (IDPs) sebanyak 513.278 jiwa di Aceh dan 19.620 di Sumatera Utara. Pada sisi lain,

Koalisi NGO HAM Aceh didirikan pada 7 Agustus 1998. Sebagai lembaga advokasi hak asasi manusia, Koalisi NGO HAM Aceh bersifat nirlaba, non partisipan dan memiliki mandat membangun aliansi dengan organisasi masyarakat sipil di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional. 54 54 orang yang berasal dari komponen yang berbeda dalam masyarakat sipil Aceh menghadiri Brotherly Dialog among Acehnese for a Just Peace in Aceh di Washington DC, 5 s.d. 8 Oktober 2001 membentuk ACSTF (Acehnese Civil Society Task Force). Konferensi ini diadakan oleh International Forum For Aceh (IFA) dan Global peace Centre of American University.

53

77

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

tsunami telah membuka beberapa peluang bagi kehidupan di Aceh. Perkiraan terakhir total korban jiwa sekitar 230.000 jiwa. Sedangkan Badan Pusat Statistik NAD memperkirakan korban jiwa hampir setengah juta penduduk Aceh. Bencana yang cukup besar ini telah memicu kehadiran bantuan internasional, baik untuk mengatasi kondisi darurat (emegency) maupun program rehabilitasi dan rekonstruksi yang bersifat jangka panjang. Sejak 26 Desember 2004, Aceh menjadi wilayah terbuka untuk dimasuki oleh sekitar 300 organisasi internasional yang memberikan bantuan kemanusiaan dan terlibat dalam proses-proses rekonstruksi. Selain itu, penandatangan MoU antara pemerintah Indonesia dengan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, telah menyebabkan situasi yang lebih kondusif bagi OMS untuk terlibat dalam proses rekonstruksi dan pembangunan di Aceh pada masa-masa mendatang. Kehadiran lembaga internasional, baik negara asing maupun international NGO telah membentuk kesadaran masyarakat sipil dan OMS untuk bekerja mengatasi kondisi darurat (emegency) maupun program rehabilitasi dan rekonstruksi yang bersifat jangka panjang. OMS juga sudah bekerja secara praktis dalam kegiatan rekonstruksi seperti pembangunan perumahan, prasarana jalan dan pasar, serta mengembangkan struktur 78

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

sosial masyarakat. Kondisi ini secara tidak langung memberikan penguatan terhadap organisasi masyarakat sipil di Aceh, baik secara kapasitas personal maupun kapasitas kelembagaan. Selain itu, lahir beberapa kesadaran sekaligus persoalan sosial di Aceh paska bencana tsunami seperti:55: Adanya kesenjangan antara OMS yang ada dengan kemampuan yang mereka miliki untuk memperkuat modal sosial di dalam komunitas (kelemahan dalam analisis sosial dan kapasitas pengorganisasian masyarakat) Kesadaran mengenai pentingnya membangun organisasi rakyat yang solid untuk memperjuangkan kepentingan bersama sudah muncul, tetapi masih ada masalah dalam kapasitas membangun organisasi Masyarakat pada umumnya sadar bahwa tanggungjawab pemerintah menyediakan pelayanan publik yang paling mendasar (seperti kesehatan dan pendidikan) tetapi kurang dorongan untuk menuntut tanggung jawab pemerintah menyangkut kebutuhan mereka

Sutoro Eko, dkk., Masyarakat Sipil Mendemokrasikan Daerah, Program Acehnesse Civil Society Organization Strengthening ANCORS, Jakarta: CIDA dan Yappika, 2009

55

79

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Adanya kesenjangan pengetahuan masyarakat mengenai proses penyusunan kebijakan dan saluran-saluran untuk menyampaikan aspirasi mereka, termasuk tidak mengetahui bagaimana cara berpartisipasi dalam proses penyusunan kebijakan Ada peningkatan jumlah organisasi baru, tetapi tidak memiliki visi yang jelas untuk pemberdayaan masyarakat dan lemah dalam membangun jaringan atau aliansi strategis

Pertumbuhan OMS pada fase ini juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya jumlah dana pembangunan untuk Aceh yang berlimpah baik dari dana APBN maupun dari lembaga dan negara asing. Faktor kedua Aceh sudah sangat terbuka paska bencana gempa dan tsunami, dikarenakan pemerintah pusat membuka seluas-luasnya bagi pihak asing memberikan bantuan bencana. Table 2: On Budget (APBN) Dana yang dikelola oleh BRR NAD-Nias
Bidang Perumahan dan Program Utama Perumahan dan permukiman Dalam Rupiah 2.819.336.906.609

80

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Infrastruktur

Sosial Kemasyarakata n Perekonomian Kelembagaan dan Hukum

Tata Ruang dan pertanahan Perhungunan, ASDP dan ESDM Jalan dan Jembatan Air Bersih, Sampah dan Irigasi Pendidikan Kesehatan Peran Perempuan dan Anak Sosial dan Budaya Pengembangan Ekonomi Kelembagaan dan Pemerintahan Hukum dan Keamanan Biaya Manajemen

883.913.433.837 774.108.505.194 800.032.250.603 781.049.807.678 400.157.959.445 600.491.793294 42.077.362.497 757.660.076.317 968.498.929 686.181.114.269

TOTAL Sumber : http://www.e-aceh-nias.org, Desember 2006

278.726.875.934 642.866.772.394 9.467.571.357.000 dan Gerak Aceh,

Data GeRAK Aceh, mencatat pada tahun 20052006 khususnya alokasi anggaran yang telah dibelanjakan melalui bantuan off budget cukup tinggi, hal ini tercatat berdasarkan penulusuran data-data yang dikeluarkan sehingga perlu untuk diperjelas soal berapa alokasi anggaran yang sudah dibelanjakan sehingga menjadi aset bagi masyarakat Aceh.

81

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Table 3: Off Budget (Bantuan NGO) Tahun Anggaran 2005-2006


Bidang Perumahan dan permukiman Program Utama Perumahan dan permukiman Tata Ruang dan pertanahan Jalan dan Jembatan Listrik Infrastruktur Air Bersih, Sampah dan Irigasi Pendidikan Kesehatan Sosial Peran Perempuan dan Kemasyarakatan Anak Sosial dan Budaya Perekonomian Pengembangan Ekonomi Kelembagaan dan Kelembagaan dan Pemerintahan Hukum Hukum dan Keamanan Biaya Manajemen TOTAL Dalam Rupiah 3.678.832.106.000 255.886.389.600 806.758.515.600 5.807.785.200 1.337.171.525.200 1.783.247.297.600 2.182.454.314.000 266.144.895.600 373.258.306.000 1.823.313.601.200 1.058.604.541.200 275.413.960.000 983.295.632.200 14.830.188.869.400

Sumber : BRR NAD-Nias dan GeRAK Aceh, 2011.

Salah satu dampak negatif dalam gerakan OMS paska program rehab-rekon dampak dari bencana gempa dan tsunami adalah perubahan sebagian maindset di kalangan aktivis, dimana perubahan sifat kerelawanan 82

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

berubah menjadi sifat material. Hal ini dikarenakan fasilitas gaji yang tinggi. Secara tidak langsung kondisi ini melahirkan depedensi (ketergantungan) dari gerakan OMS terhadap dukungan dari lembaga asing. Disamping juga berdampak pada munculnya kesenjangan satu organisasi dengan organisasi lainnya, serta hilangnya agenda bersama karena sudah terfokus pada program masing-masing lembaga.56 Tumbuhnya OMS karena mendapat sokongan dari LSM internasional tidak mengherankan, karena kebutuhan terhadap mitra lokal akan mempermudah kerja-kerja LSM asing di Aceh. Kondisi ini digambarkan oleh Afrizal Tjoetra, bahwa kemunculan LSM pada fase rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh seperti jamur adalah sesuatu yang sifatnya alamiah, yang pada akhirnya juga akan hilang seperti halnya kemarau dimusim hujan.57 Selain itu, menurutnya, saat ini LSM atau OMS yang tersisa di Aceh adalah lembaga-lembaga yang dari awal berkomitmen tinggi melakukan kerja-kerja untuk mendorong perubahan paska gempa dan tsunami bagi Aceh. Jadi fenomena 8 tahun paska tsunami dan

Wawancara dengan Mulyadi Rusman (Peneliti Jaringan Survey Inisiatif), pada 15 November 2013 57 Afrizal Tjoetra, Delapan tahun tsunami dan matinya ratusan LSM di Aceh, http://www.bisnisaceh.com, Rabu, 26 Desember 2012

56

83

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

banyaknya LSM lokal yang tidak lagi aktif adalah seleksi alam. Menurut Gading Hamonangan, bentuk relasi OMS dengan partai politik paska gempa dan tsunami di Aceh sudah mulai terbuka, namun masih terjebak pada kepentingan urusan kepartaiannya sendiri, dimana fokus pemberdayaan hanya terhadap organisasi masyarakat di bawah partai alias underbow partai. Sebaliknya relasi yang dibangun secara kontinue antara OMS nonunderbow dengan partai politik hanya sebatas personal orangnya dengan OMS. Tetapi tidak memiliki relasi dengan OMS melalui agenda bersama merespon dan membantu advokasi hak-hak korban tsunami. 58

4.3. Gerakan OMS Paska MoU Helsinki dan UU Pemerintahan Aceh


Secara umum, paska ditanda-tangani MoU Helsinki dan pengesahan UUPA oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2006, beberapa OMS terlibat langsung dalam pembentukan partai politik berbasis lokal. Sementara aksi-aksi kontra-politik (gerakan jalanan) yang digerakkan oleh aktivis sipil menjadi meredup.

Wawancara dengan Gading Hamonangan, Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, 30 November 2013

58

84

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Proses meredupnya gerakan jalanan yang menjadi ciri khas gerakan OMS juga dipengaruhi oleh faktor pengkaderan yang tidak berjalan. Sementara senior aktivis OMS telah merubah orientasi pergerakan dari jalanan ke parlemen. Disisi lain, pengaruh dari pembangunan paska tsunami yang membuat beberapa OMS bekerja untuk isu-isu tertentu, telah menyebabkan hilangnya isu bersama seperti halnya terjadi sebelum adanya MoU dan tsunami. Perpecahan dikalangan aktivis OMS yang disebabkan oleh perbedaan orientasi politik juga memperparah melemahnya pergerakan sipil di Aceh. Bebarapa aktivis senior OMS terjebak dalam memperjuangkan kepentingan partai politik tertentu. Secara tidak langsung hal ini mempengaruhi pada gerakan OMS dalam menyingkapi dinamika yang berkembang karena relasi senioritas yang sangat kental mempengaruhi indepedensi dari organisasi itu sendiri. Hal ini terlihat dalam sikap OMS di Aceh yang menyingkapi perdebatan terhadap pasal 256 UUPA tentang Calon Independen. Disatu sisi beberapa aktivis yang bergabung dalam Partai Aceh mencoba mempengaruhi beberaba OMS untuk menolak calon independen. Disisi lain, terdapat OMS yang berjuang untuk tetap diberlakukannya Calon Independen pada pemilukada tahun 2012.

85

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Terkait dengan tranformasi aktivisi OMS ke dalam partai politik yang makin terbuka dan menjadi bagian di dalam sistem partai politik menjadi fenomena menarik dalam gerakan sipil di Aceh. Sayangnya masih terdapat personal aktivis yang pasang dua kaki, dimana disatu sisi tetap aktif di LSM dan disisi lain aktif di partai politik atau kegiatan politik lainnya. Sebaiknya hal itu harus dipisahkan. Ini terkait dengan etika dalam dunia gerakan di LSM. Selain itu makin membuat aktivis bertanggung jawab terhadap mandat secara kelembagaan di LSM. Akan tetapi fenomenanya sekarang banyak aktivis hijrah ke partai politik, sehingga membuat kekosongan kader di tingkat gerakan OMS.59 Meskipun demikian, dengan adanya aktivis OMS di partai politik menjadi hal yang juga akan memudahkan kegiatan advokasi kebijakan yang dilakukan OMS sendiri. Hal ini seperti diungkapkan oleh Juanda Djamal salah satu aktivis yang tergabung dalam Jaringan Demokrasi Aceh (JDA) dalam memperjuangakan rancangan UUPA versi masyarakat sipil. Menurutnya, dengan adanya anggota parlemen dari aktivis sipil akan memudahkan komunikasi dengan partai politik dalam memperjuangkan aspirasi OMS.
59

FGD dilakukan di Takengon (31 Oktober 2013), Lhokseumawe (3 November 2013), dan Banda Aceh (25 November 2013)

86

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Hal yang sama juga dikatakan oleh Burhanuddin, yang menulis disatu sisi adanya aktivisi OMS di partai politik akan memberikan akses bagi kita dalam mempengaruhi kebijakan parlemen sesuai dengan kebutuhan publik. Namun disisi lain, OMS harus tetap independen dan tidak terjebak dalam kepentingan pragmatisme politisi tersebut60. Hal ini juga terungkap dalam FGD The Aceh Institute (2013) tentang Pemetaan Relasi Politik OMS dan dampaknya61, dimana kondisi gerakan OMS tidak begitu kuat lagi secara independen keorganisasian, dikarenakan hampir sebagian besar senior telah hijrah ke partai politik, dan disisi lain dukungan dari LSM internasional berkurang. Kondisi ini memerlukan strategi-strategi lain dalam menjalankan visi dan misi OMS di Aceh. Salah satunya adalah membangun stretegi relasi dengan politisi di partai politik untuk menjalankan kebijakan yang sesuai dengan gerakan OMS, seperti: 1. Melakukan advokasi agar terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh dengan mempengaruhi kader OMS yang sudah masuk kepartai penguasa, seperti ke partai Aceh.

Mohamad Burhanudin, Paradoks Demokrasi Aceh dan Problem Rekonsiliasi, http://regional.kompas.com. 28 Oktober 2011 61 Hasil FGD, Pemetaaan Relasi Politik OMS dan Dampaknya, Banda Aceh: The Aceh Institute, 5 November 2013

60

87

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

2. Melakukan advokasi kewenangan turunan UU tentang Pemerintah Aceh yang belum dibuat dan disahkan Pemerintah Pusat melalui dorongan di media massa. 3. Membantu implementasi dari kewenangan UUPA yang telah dimandatkan pada pasalpasalnya. 4. Mengontrol dan mengevaluasi implementasi dari kewenangan UUPA bagi Provinsi Aceh. Kegiatan-kegiatan ini sebagai bentuk strategi dari gerakan OMS untuk menemukan kembali format dan agenda kerja-kerja OMS paska konflik dan pembangunan akibat gempa dan tsunami. Sehingga posisi dan peran OMS tetap terjaga dalam membangun demokrasi dan pembangunan yang berkeberlanjutan.

88

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

DINAMIKA RELASI POLITIK OMS DENGAN PARTAI POLITIK

Bab ini membahas tentang tentang dinamika relasi politik OMS dengan partai politik, dimulai dengan gambaran gerakan OMS di Indonesia, kemudian proses pembentukan gerakan OMS di Aceh. perkembangan partai politik di Aceh pasca MoU dan UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, relasi OMS dengan partai politik, pola relasi yang berkembang serta dampak dari relasi politik yang dibangun OMS dengan partai politik. 89

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

5.1. Gerakan OMS di Indonesia


Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dan partai politik (parpol) merupakan dua dunia yang terpisah. James N. Sater dalam bukunya Civil Society and Political Change in Morocco menggambarkan bahwa Civil Society sebagai organisasi yang bekerja secara horizontal, yaitu organisasi yang membangun hubungan antara masyarakat dengan masyarakat, sebaliknya Partai Politik sebagai organisasi vertikal yang menghubungkan antara negara dengan rakyat.62 Selain itu, OMS dinyakini sebagai organisasi yang memperjuangkan kepentingan masyarakat atau kepentingan publik melalui sebuah gerakan sosial untuk mempengaruhi kekuasaan dan/atau kebijakan. Mereka bersifat independen dan non partisan serta membawa nilai-nilai humanis, partisipasi dan demokrasi. Sementara partai politik adalah organisasi kekuasaan, yang menggalang kekuatan massa untuk merebut dan mengendalikan kekuasaan, guna melaksanakan fungsi dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang. Pelaksanaan dari fungsi kekuasaan itu merupakan titik

James James N., Sater, Civil Society and Political Change in Morocco, USA: New York, 2007, hlm. 40

62

90

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

temu antara fungsi dari OMS dan fungsi dari partai politik, yang berujung pada kesejahteraan rakyat.63 Meskipun antara OMS dan parpol merupakan dunia yang terpisah, tetapi keduanya bukan berarti tidak saling berhubungan. Secara empiris ada tiga pola relasi antara OMS dengan parpol, yakni pola korporatis, partisipatif dan oposisi. Pola relasi korporatis memperlihatkan bahwa OMS merupakan bagian dari partai politik atau disebut juga underbow partai politik. Ormas membentuk partai politik atau dibentuk oleh partai politik, yang menjalankan fungsi untuk mewujudkan kepentingan partai politik seperti pendidikan politik, kaderisasi, pemberdayaan masyarakat, hingga menjadi mesin politik yang memobilisasi massa untuk kepentingan parpol. Sedangkan pola partisipatif yaitu pola saling mempengaruhi namun tetap pada posisi indepedensinya. Sementara relasi oposisional, menunjukkan bahwa posisi OMS menjadi lawan dari partai politik, dimana keduanya tidak saling berhubungan positif satu sama lainnya, bahkan terus-menerus melakukan kontrol dan perlawanan terhadap partai politik. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah bisa menjadi contoh terkemuka tentang relasi korporatis yang
Ketut Suwando, Pluralitas Civil Society dan Upaya Demokratisasi Lokal, Jurnal Analisis Sosial, Vol.7 No.2, 2002, hlm. 23
63

91

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

berkembang secara dinamis dari periode ke periode. NU adalah organisasi sosial yang lahir jauh lebih lama dari pada lahirnya partai politik. Tetapi pada tahun 1950-an NU secara institusional berubah menjadi partai politik. NU menjalankan misi politik dan tetap menjalankan misi sosial, yang mempunyai banyak organisasi underbow. Pada tahun 1970-an, partai NU dibubarkan dan melebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan, dan sekaligus menjadi organisasi underbow di bawah partai Kabah ini. Pada tahun 1984, NU kembali ke khittah, yang secara organisatoris keluar dari ranah politik dan kembali menjadi organisasi sosial. Namun kondisi perpolitikan pada waktu pemilihan umum 1987 menunjukkan bahwa NU membangun hubungan politik klientelistik dengan Soeharto dan Golkar, sehingga mampu menggembosi suara PPP dan memperbesar suara Golkar. Setelah reformasi, NU mengalami perubahan kembali. Secara organisasi NU tetap NU yang independen. Tetapi para petinggi NU dan para pengikutnya masing-masing terbelah ke dalam banyak partai seperti PKB, PKNU maupun PPP. Gus Dur adalah pendiri PKB, yang membawa pendukungnya di NU untuk memberikan dukungan terhadap PKB. Berbeda dengan NU yang pernah menjadi partai politik, Muhammadiyah tidak pernah menjadi partai politik. Pada tahun 1950-an Muhammadiyah tetap Muhammadiyah, tetapi organisasi Islam modernis ini 92

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

membentuk dan mendukung Masyumi. Pada awal Orde Baru Musyumi berubah menjadi Parmusi, yang terlibat dalam pemilihan umum 1971. Namun dalam pemilu 1977 Parmusi melebur ke dalam PPP, bersamaan dengan komponen NU. Semasa Orde Baru Muhammadiyah tetap Muhammadiyah, tidak terlibat dalam partai politik secara kelembagaan, sekaligus juga melarang bahkan memberhentikan anggotanya yang terlibat dalam partai politik. Bahkan pada tahun 1990-an, Muhammadiyah di bawah pimpinan M. Amien Rais, hadir sebagai oposisi yang terus melawan Orde Baru. Setelah Orde Baru tumbang, dan reformasi hadir, sikap Muhammadiyah serupa dengan NU. Pemimpin beserta pengikutnya terbelah ke dalam banyak partai seperti PAN, PKS, PPP maupun PBB. Namun secara organisatoris-institusional, sampai sekarang tidak berhubungan dengan partai politik, bahkan menjadi opisisi terhadap partai politik, meskipun organisasi ini mampu menempatkan orangorang pentingnya ke dalam pemerintahan tanpa jalur partai. Jika ormas mempunyai pengalaman yang panjang menjalin relasi korporatis dengan partai politik, LSM independen di masa lalu umumnya menjadi kekuatan oposisional di hadapan negara dan partai politik. Dengan sikap yang anti politik, mereka mengontrol dan melawan negara maupun partai politik melalui strategi gerakan sosial. Negara, birokrasi, parlemen maupun partai 93

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dianggap sebagai sumber segala sumber masalah bagi rakyat, sehingga harus terus-menerus dilawan. Namun di era reformasi ada perdebatan wacana dan gerakan baru yang mengarah pada reposisi politik LSM di hadapan negara dan partai politik. LSM mulai melakukan perubahan dari gerakan sosial ke gerakan politik, baik dalam bentuk persenyawaan (engagement) dengan partai dan negara maupun merebut posisi-posisi politik (jabatan publik) dalam pemerintahan. Studi Sutoro Eko bersama YAPPIKA (2009) di Aceh juga menunjukkan pergeseran strategi gerakan LSM dari melawan negara (konfrontasi) menuju berkawan (engagement) dengan negara maupun merebut negara (reclaiming the state). Pergeseran ini merupakan bentuk perubahan dari relasi oposisional menjadi relasi partisipatoris.

5.2. Perkembangan Partai Politik di Aceh Paska MoU dan UUPA


Posisi gerakan sipil terhadap partai politik di Aceh mengalami dinamika yang sangat fluktuatif. Sebelum adanya perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, aktivis sipil di Aceh umumnya mengambil posisi anti terhadap partai politik. Gerakan anti terhadap 94

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

partai politik karena partai politik dianggap sebagai perpanjangan tangan pemerintah Jakarta. Partai politik juga dianggap tidak mampu merubah kondisi Aceh yang tertindas oleh operasi militer yang terus berkelanjutan, sebaliknya mendukung proses demokrasi dan eksistensi parpol dianggap hanya akan membuktikan bahwa Aceh menjadi bagian dari sistem Indonesia. Sehingga kesimpulan untuk memboikot boikot pemilu pada tahun 1999 dan tahun 2004 merupakan bentuk perjuangan melawan hegemoni Indonesia dalam perspektif politik.64 Pasca ditanda-tangani MoU Helsinki antara pemerintah RI dan GAM pada 15 Agustus 2005, dan pengesahan UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) terjadi perubahan yang signifikan dalam sistem perpolitikan dan demokrasi di Indonesia secara singnifikan. Salah satu terobosan yang dituangkan dalam UUPA adalah pembentukan partai politik berbasis lokal seperti disebutkan pada Bab XI pasal 75 sampai pasal 95 UUPA. Pembentukan partai lokal ini juga dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal (Parlok). Kehadiran Parlok ini memberikan warna politik berbeda di Aceh jika dibandingkan sebelum adanya partai lokal. Disatu sisi, pembentukan Parlok sebagai
Wawancara dengan Tarmizi, Ketua Aceh People Forum (APF), Banda Aceh, 19 November 2013
64

95

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

bagian dari konsesi politik dari perjanjian damai, dimana Parlok menjadi instrumen perjuangan politik eks-GAM untuk berkuasa di Aceh, dan disisi lain pembentukan Parlok sebagai bentuk re-integrasi arah politik eks-GAM dari gerakan untuk memerdekaan Aceh dari NKRI kepada gerakan penguatan demokrasi dalam NKRI. Proses pembentukan Parlok pertama diinisiasi oleh aktivis sipil yang bergabung dari Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMUR), yang membentuk Partai Rakyat Aceh (PRA). Kemudian, mantan aktivis GAM membentuk Partai GAM yang kemudian berubah nama menjadi Partai Aceh (PA), Politisi senior PAN Dr.Farhan Hamid membentuk Partai Aceh Bersatu (PAB), kemudian ormas Islam membentuk Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS) yang dipelopori oleh Ghazali Abbas Adan yang juga ketua dewan Pembina Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII). Disisi lain, aktivis yang berbasis pesantren dan didukung oleh ulama tradisional membentuk Partai Daulat Aceh (PDA). Terakhir aktivis yang tergabung dari Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) membentuk partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA). Pesta demokrasi pertama setelah perjanjian damai dilakukan pada tahun Juli 2009 menjadi pertarungan politik pertama antara partai lokal (Parlok) dan partai nasional (Parnas). Ada hal yang menarik dimana partai 96

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

lokal yang dibentuk oleh eks-GAM yaitu Partai Aceh membangun koalisi dengan Partai Demokrat yang merupakan partai berbasis nasional. Sebuah kontrak politik dimana untuk calon legislatif tingkat nasional (DPR-RI), Partai Aceh akan mendukung calon yang diusulkan oleh partai Demokrat, sebaliknya untuk calon legislatif provinsi dan kabupaten/kota akan dikuasai oleh Partai Aceh. Hasil pemilu menunjukkan skenario itu berjalan, dimana dari 10 DPR-RI perwakilan Aceh, 7 diantaranya berasal dari partai Demokrat. Hal yang sama juga perolehan kursi ditingkat provinsi dari 53 jumlah kursi, 33 diantaranya dikuasai oleh PA, 1 kursi oleh PDA dan sisanya partai 5 kursi Golkar, 10 partai Demokrat, 6 PAN, 2 PPP, 5 PKS dan 1 PKPI. Sementara Parlok lainnya tidak memperoleh satupun kursi. Salah satu faktor kemenangan Partai Aceh adalah euforia keacehan dan harapan rakyat yang besar terhadap Partai Aceh bentukan GAM itu. Rakyat berharap PA mampu mengubah kondisi Aceh menjadi lebih baik, disisi lain, Partai Aceh juga mendapat sokongan yang besar dari berbagai pengusaha yang mendukung secara financial kampanye partai. Pengaruh Gubernur Irwandi Yusuf dari mantan GAM juga menjadi faktor dukungan pengusaha ke Partai Aceh menjadi lebih dominan dibandingan dengan partai lain, dan terakhir karena pengikut Partai Aceh yang umumnya eks-kombatan

97

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

mempunyai sifat militansi yang kuat dalam memenangkan pemilu legislatif saat itu.65 Konstelasi politik dan demokrasi semakin tajam ketika pelaksanaan pemilukada kedua setelah perdamaian Aceh ditanda tangani. Konstelasi pertama dimulai ketika aksi boikot untuk ikut pemilukada yang dilakukan oleh Partai Aceh (PA) sebagai partai mayoritas di Aceh. Aksi boikot ini dilakukan karena Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia menerima judicial review untuk membatalkan pasal 256 UUPA tentang calon independen yang membatasi hanya untuk sekali saja. Sehingga konsekuensinya setiap orang berhak mencalonkan diri melalui calon independen, disamping yang diajukan oleh partai politik. Keputusan MK yang membatalkan pasal 256 UUPA dianggap oleh PA sebagai bentuk kebijakan Jakarta yang tidak menghargai UUPA sebagai UU khusus bagi Aceh. Disisi lain, secara politis juga memberikan peluang bagi incumbent untuk kembali mencalonkan diri melalui jalur independen pada pemilukada 2011 tersebut. Akibat dari dinamika ini telah menyebabkan pelaksanaan pemilukada ditunda. Karena keputusan MK memberikan konsekuensi terhadap tahapan pelaksanaan
Aryos Nivada, Pemetaan Political Marketing Partai Nasional dan Partai Lokal Pada Pemilu 2009 di Provinsi Aceh, (Jakarta: Universitas Atmajaya dan UNDP), 2013, hlm. 24
65

98

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

pemilukada itu sendiri. Disisi lain, upaya untuk menunda pemiluka sampai masa jabatan Gubernur berakhir juga dilakukan dengan berbagai skenario politik. Salah skenarionya adalah kebijakan Dirjen OTDA Kementerian Dalam Negeri yang membuat nota kesepahaman antara Kemendagri dengan petinggi PA. Salah satu item yang disepakati yaitu PA akan mendaftarkan calonnya pada pemilukada 2012, dan Kemendagri akan mengungat ke MK terkait tahapan pelaksanaan pemilukada yang sedang berlangsung. Dominasi PA dalam setiap perkembangan politik di Aceh sangatlah kental. Proses perubahan jadwal pemilukada sebenarnya hanya dibenarkan oleh UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, yaitu terdapat 4 sebab, diantaranya, (1) calon tunggal, (2) tidak ada dana daerah, (3) keadaan darurat karena bencana alam, (4) gangguan keamanan/konflik. Secara perundang-undangan, penundaan pemilukada tidaklah memenuhi satupun kriteria di atas, namun kebijakan politik dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri RI dan juga keputusan politis MK tentang perpanjangan tahapan pelaksanaan pemiluka, telah menyebabkan pemiluka tertunta sampai 4 kali, yang akhirnya dilaksanakan pada 9 April 2012.66
Kemendagri Daftarkan Perkara ke MK Terkait Tahapan Pemilukada Aceh, Serambi Indonesia, 15 Desember 2011
66

99

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Pemilukada ini akhirnya dimenangkan pasangan yang diusulkan oleh PA yaitu Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf yang ditetapkan sebagai Gubernur dan wakil Gubernur terpilih untuk periode 2012-2017. Dalam pelaksanaan tahapan tersebut, beberapa tindakan kekerasan menjadi potret pelaksanaan pemilukada tersebut, disamping juga kecurangan lainnya seperti money politic. Namun demikian, tidak satupun kekerasan dan temuan politik uang (money politics) tersebut diproses secara hukum dengan delik pidana pemilu. Satu-satunya perbuatan melawan hukum yang diproses adalah kasus pembunuhan etnis jawa yang dilakukan oleh salah satu aktivis PA dengan UU antiterorisme.67 Menjelang pelaksanaan pemilu nasional pada April dan Juli 2014, beberapa partai berbasis lokal yang tidak menempatkan wakilnya di parlemen akhirnya membubarkan diri dan atau tidak lulus verifikasi faktual. Dari 6 Parlok yang ikut pemilu 2009 lalu hanya 1 partai yang lulus parliamentary thresold yaitu Partai Aceh. Namun demikian, terdapat 2 Parlok lainnya yang lolos verifikasi akhir dari Kementarian Hukum dan HAM dan Komisi Independen Pemilu (KIP) provinsi Aceh, yaitu: (1) Partai Damai Aceh, dulu namanya Partai Daulat
Chairul Fahmi dan Sudarman (Ed), Kekerasan dalam Demokrasi, Banda Aceh: The Aceh Institute dan Forum LSM Aceh), 2012
67

100

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Aceh (PDA), dan (2) Partai Nasional Aceh (PNA), yaitu partai yang didirikan oleh mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf bersama dengan mantan eks-komandan GAM seperti Sofwan Dawod, Irwansyah, Muharram, Abu Sanusi, Ligadinsyah, Abrar Muda, dan beberapa mantan kombatan lainnya. Secara umum, perkembangan partai politik di Aceh, khususnya Parlok terdapat 3 partai politik, 2 diantaranya merupakan partai politik yang didirikan oleh mantan eks-kombatan GAM, dan 1 (satu) lagi merupakan partai yang berbasis santri di pesantren. Secara khusus, pemilu Legisatif 2014 di Aceh akan diikuti oeh 13 partai Nasional dan 3 partai lokal Aceh. Beberapa partai yang tidak lolos verifikasi melakukan pembubaran diri dan atau melakukan merger dengan partai politik lainnya, seperti yang dilakukan oleh PRA yang bergabung dengan PNA. Proses pendirian Parlok di Aceh, baik oleh mantan kombatan GAM maupun oleh para aktivis menunjukkan kesadaran berpolitik dalam proses penguatan demokrasi di Aceh menjadi lebih positif, khusus dari perspektif struktur demokrasi itu sendiri. Pemilu pada 9 April 2014 akan menjadi ajang yang menarik untuk melihat kekuatan parpol mana yang akan mendominasi kekuasaan secara politik di Aceh dimasa yang akan datang. Setidaknya ada dua Parlok yang memiliki kekuatan basis karena relasi eks-kombatan 101

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dengan warga dibeberapa wilayah mempunyai kedekatan emosional yaitu PA dan PNA. Namun posisi Parnas juga sudah mulai mengambil hati masyarakat lagi, setelah dua periode pemerintahan di Aceh dipegang oleh mantan kombatan belum menunjukkan arah pembangunan yang merata dan berkelanjutan. Namun meminjam istilah Sidney Jones (2012) pertentangan eks-GAM versus eksGAM akan menjadi bagian yang akan terlibat dalam konstelasi perpolitikan di Aceh pada 9 April 2014. Hal menarik yang akan terlihat dalam pemilu 9 April 2014 mendatang juga terkait dengan koalisi PA dengan partai Gerindra, yang secara langsung menunjukkan proses re-integrasi politik antara mantan eks-kombatan yang merupakan refleksi dari PA, dengan mantan kopassus yang merujuk kepada pribadi Prabowo sebagai pendiri dan ketua pembina partai Gerindra. Lebih dari itu, seperti dikatakan oleh Ruslan bahwa koalisi dengan partai Gerindra karena ada kepentingan partai Aceh yang diperjuangan dan didukung secara penuh oleh partai milik Prabowo tersebut.68 Disisi lain, kehadiran Partai Nasdem yang membawa slogan restorasi juga menjada fenomana baru dalam proses demokrasi khususnya di Aceh. Setidaknya partai ini menjadi pilihan anak muda, dan
Ruslan adalah salah satu aktivis Partai Aceh untuk Kabupaten Pidie, disampaikan pada FGD Potensi Konflik di Aceh pasca MoU dan UUPA, Sigli, 3 Desember 2013
68

102

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

beberapa aktivis OMS yang bergabung dengan partai tersebut. Secara umum struktur kepengurusan umumnya diisi oleh para aktivis muda Aceh, seperti Wiratmadinata yang menjabat sebaga wakil ketua umum DPW Partai Nasdem, Ramadhana Lubis sebagai sekjen, dan sejumlah elit partai ini umumnya merupakan aktivis gerakan sipil baik ditingkat DPW maupun ditingkat DPD kabupaten/kota. Namun melihat kenyataan yang ada, Fuad Mardhatillah melihat dari sisi yang berbeda. Menurutnya, OMS seharusnya berada pada backstage atau dipanggung belakang dari panggung politik praktis. Namun tumbuhnya libido untuk berkuasa, telah mendorong mereka untuk tampil ke frontstage. Namun sayangnya meskipun telah berada di frontstage yang lebih banyak ditonjolkan adalah pencitraan, kemunafikan dan kepalsuan. Salah satu contoh bentuk kepalsuan itu adalah penampilan dibaliho-baliho dengan tanpa ada bukti yang nyata terhadap kata-kata yang 69 diucapkannya. Berdasarkan uraian di atas memperlihatkan bahwa dinamika politik di Aceh paska ditanda-tangani perdamaian pada 15 Agustus 2005 dan disahkannya
Fuad Mardhatillah adalah salah satu pendiri dan pembina The Aceh Institute, aktivis kemanusiaan Aceh serta akademisi di UIN Ar-Raniry, disampaikan pada Seminar Para Stakeholders OMS di Banda Aceh, November 2013
69

103

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

UUPA tahun 2006 menunjukkan keinginan berpartisipasi dalam proses demokrasi sangat tinggi. Bahkan semua elemen yang ada, baik yang berasal dari eks-kombatan GAM, aktivisi sipil dan para politisi lainnya mempunyai libido yang sangat tinggi dalam memperebutkan kekuasan ditingkat lokal Aceh, baik dilevel eksekutif maupun legislatif.

5.3. Relasi Politik OMS dengan Partai Politik


Salah satu hal yang menarik terkait dengan perkembangan perpolitikan dan demokrasi di Aceh paska perdamaian adalah relasi dan sikap gerakan sipil terhadap partai politik. Relasi politik antara OMS dengan partai politik menjadi fenomena menarik untuk dikaji, karena disatu sisi gerakan sipil dianggap berbeda dengan gerakan politik yang didominasi oleh partai politik, sehingga gerakan dianggap harus berdiri secara independen dan tidak boleh membangun relasi dengan partai politik, sebaliknya gerakan sipil harus membangun power position dengan gerakan politik. Disisi lain, gerakan sipil dianggap harus mempunyai relasi dengan partai politik, agar dapat mempengaruhi kebijakan parpol terhadap kepentingan publik itu sendiri. Karena tidak tidak ada relasi apapun dengan partai politik, apalagi partai politik yang berkuasa, maka akan sangat sulit mempengaruhi

104

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

berbagai kebijakan khususnya parlemen yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan publik. Pendapat ini disampaikan oleh Abdullah, aktivis Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) bahwa relasi itu penting agar kebijakan partai dapat dikontrol oleh OMS melalui lobilobi progresif, artinya jika tidak ada relasi akan sulit mempengaruhi para politisi parpol. Pastinya, relasi itu tidak berarti OMS itu sebagai bagian dari parpol, melainkan OMS tetap independen sesuai dengan visi dan misi organisasinya. 70 Perlunya membangun relasi dengan partai politik juga didasarkan kepada kenyakinan bahwa parpol merupakan bagian dari organisasi politik yang bekerja untuk kepentingan rakyat, dan negara. Artinya, kerjakerja parpol perlu disinergikan dan dikontrol dengan gerakan sipil agar tetap on the track. Dimana tujuan akhir dari gerakan sipil dan begitu juga prinsip adanya parpol dalam sistem negara demokrasi yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyat, membangun infrastruktur dan pembangunan yang merata. Kedua, relasi gerakan sipil dengan parpol juga dianggap penting agar membuka ruang dan jalan bagi sipil dalam proses advokasi terhadap berbagai peraturan perundangan-undangan, yang merupakan wilayah kerja
Wawancara dengan Abdullah, Manager Program MaTA, 15 November 2013
70

105

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dari politisi, khususnya yang yang menjadi anggota legislatif. Salah satu contoh dalam konteks Aceh, gerakan advokasi terhadap qanun KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) Aceh, qanun Tata Ruang, qanun komisi informasi Aceh, qanun Syariat Islam, dll. Namun demikian, seperti dikatakan oleh Roy Fahlevi71 dan Juanda Jamal bahwa relasi OMS-parpol tersebut disertai dengan berbagai catatan atau ramburambu diantaranya: 1) Posisi OMS harus tetap independen, netral, tidak ada relasi apapun dengan dunia politik praktis, sesuai dengan aturan yang ada di AD-ART organisasi. 2) Relasi yang dibangun menjadi bagian dari misi kontrol sosial OMS terhadap parpol. 3) Relasi yang dibangun harus dibatasi dengan jelas, karena semua orang memandang bahwa parpol cenderung berjuang untuk kepentingan partainya saja sekalipun itu kepentingannya juga untuk kepentingan kita. 4) Jika ada aktivis OMS bergabung dengan parpol, maka aktivis ini tidak boleh menarik kepentingan
Roys Vahlevi adalah Sekjen Forum LSM Aceh dan Juanda Djamal Sekjen Aceh Civil Society Task Force (ACSTF) juga merangkap sebagai Sekjen Konsorsium Aceh Baru. Ia juga pernah bekerja di Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias 20062009
71

106

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

5)

6)

7) 8)

9)

10) 11) 12)

partainya ke dalam OMS-nya, misalnya untuk berkampanye atau memenangkan partainya. Aktivis OMS yang bergabung dengan parpol tidak menjadikan OMS-nya sebagai organisasi underbow yang bekerja untuk partainya. Ketika aktivis OMS bergaung dengan parpol, maka secara struktur kelembagaan mereka harus terputus. Namun secara personal tetap menjalin hubungan komunikasi, seperti berbagi data penyelewengan yang terjadi di parlemen, maka OMS akan memperjuangkan isu ini. Relasi kerja yang dibangun sesuai dengan visi, misi, dan tupoksi OMS Relasi yang perlu dibangun oleh OMS adalah melalui sharing SDM dalam kegiatan FGD, seminar, dll. Relasi yang perlu dibangun oleh OMS adalah dengan cara memfasilitasi kontrak politik masyarakat dengan parpol Relasi yang dibangun harus yang bersinergi. Menjadi mitra yang menyuarakan ide-ide kerja parpol Relasi yang dibangun harus mempunyai batasan yang tertuang di dalam MOU yang jelas, agar masing-masing pihak tetap pada garis perjuangannya

107

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

13) Ada dua kepentingan yang saling mendukung, satu pihak ingin menang dan pihak yang lain membutuhkan dana untuk menjalankan programnya 14) Relasi yang perlu dibangun adalah relasi monitoring dan evaluation (monev) terhadap kerja-kerja parpol, karena ketika monev dilakukan hingga tuntas maka hasilnya akan berdampak positif pada rakyat. 15) Relasi yang perlu dibangun berbentuk ikatan emosional yang mendorong mereka untuk duduk bersama memikirkan ide-ide untuk membangun bangsa 16) Relasi perlu dibangun sesuai dengan kebutuhan 17) Relasi yang perlu dibangun adalah dalam bentuk penyampaian pendapat atau menjadi struktur di parpol 18) Relasi yang perlu dibangun adalah sebagai jembatan antara masyarakat dan parpol untuk melakukan kontrol sosial, yang didukung oleh kontrak politik yang mempunyai payung hukum. Dalam konteks ini, Forum LSM Aceh sebagai lembaga yang menaungi lebih dari 50 OMS lainnya di Aceh secara kelembagaan tidak melarang anggota atau pengurusnya menjadi pengurus partai politik tertentu. Beberapa mantan pengurus dan atau pembina dari Forum 108

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

LSM bahkan menjadi petinggi partai politik tertentu, seperti Wiratmadinata, TAF Haikal dan juga Ramadhana Lubis, semuanya merupakan mantan sekjen Forum LSM Aceh. Sayangnya mereka tidak mendapatkan dukungan baik secara moril maupun materil dari Forum LSM Aceh khususnya secara kelembagaan terhadap pencalonannya sebagai calon anggota legislatif. Hal ini seperti diakui oleh Wiratmadinata: ....sepertinya ini sulit dipahami, begitu saya menetapkan diri menjadi seorang calon legislatif, saya tiba-tiba seperti menjadi musuh bagi OMS, jangankan ada dukungan secara materil atau moril, diundang menjadi pemateri atau peserta dalam kegiatan-kegiatan organisasi teman-teman OMS tempat saya bekerja dulu tidak pernah lagi, atau sekedar duduk untuk minum kopi, atau bertukar pikiran dll, mereka sepertinya menjauh karena saya sudah jadi Caleg. Berbeda dengan ACSTF, AJMI dan kelompok Konsorsium Aceh Baru (KAB) dimana secara prinsip tidak ada persoalan membangun relasi dengan partai politik dan mendukung kadernya untuk menjadi anggota legislatif, karena hal itu merupakan bagian dari tranformasi gerakan sipil ke gerakan politik, khususnya untuk kerja-kerja advokasi. Seperti dikemukakan oleh

109

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Agusta Mukhtar72 bahwa Jadi tidak ada salahnya jika OMS ber-relasi dengan partai politik untuk memaksimalkan kerja kerja advokasi yang dilakukan oleh masayarakat selama ini. Kalau tidak ada relasi apapun yang kita bangun dengan parpol maka tidak akan ada hasil apapun yang kita peroleh. Lebih jauh, Mukhtar memberi contoh kerja-kerja advokasi dengan adanya relasi akan lebih mudah dibandingkan jika tidak ada relasi. Sebagai contoh advokasi draft UUPA (Undang-Undang Pemerintahan Aceh) versi sipil yang dirancang oleh aktivis OMS pada awal tahun 2006. Hasil lobi politik dengan beberapa petinggi partai yang ada di Aceh atau Jakarta, maka versi sipil dijadikan sebagai salah satu landasan dalam mengkombinasikan baik draft DPRA dan draft dari Kemendagri, serta draft dari sipil Aceh. Sebaliknya, ketika AJMI melakukan aksi demontrasi menuntut pembangunan rumah bagi korban konflik di Aceh Tengah dan Bener Meriah, tidak membuahkan hasil apapun, karena tidak adanya dukungan dari anggota legislatif di DPRA yang juga berfungsi sebagai pengawas kerja-kerja eksekutif.
Agusta Mukhtar, Direktur Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI) dan salah satu anggota Konsorsium Aceh Baru, serta Koordinator Aksi Demontrasi Korban Konflik Aceh Kabupaten Aceh Tengah yang menuntut pembangunan rumah bagi korban konflik tahun 2011
72

110

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Dengan demikian, AJMI dan beberapa komponen KAB lainnya tidak keberatan membangun relasi itu, dalam istilah Sutoro disebut sebagai relasi positif antara OMS dengan partai politik. Demikian juga, tidak menjadi persoalan ketika fungsionaris KAB mendukung salah satu pengagas KAB itu sendiri seperti Iqbal Farabi yang maju sebagai calon legislatif untuk DPRA dari partai Demokrat, dan Teuku Kamaruzzaman untuk DPDRI, serta Hendra Budian untuk DPRA dari partai Golkar. Dukungan terhadap kader ini merupakan bagian dari memperkuat posisi gerakan sipil di parlemen. Pola relasi seperti di atas juga dikemukakan oleh Lilis dari Balai Syura Ureung Inong Aceh, bahwa dukungan terhadap aktivis OMS yang masuk menjadi legislatif melalui parpol apapun itu perlu didukung. Hal ini juga sesuai dengan rekomendasi hasil Duek Pakat Ureung Inong Aceh tahun 2012, yang salah satu hal penting untuk diperjuangkan adalah pembagian peran perempuan di gerekan sipil dan di gerakan politik. Hal ini direspon secara kongkret oleh Balai Syura Ureung Inong Aceh dengan membentuk Rumah Pemilu Perempuan, yang bertujuan untuk memberikan kapasitas (capacity building) untuk Caleg perempuan dari partai apapun itu. Pola relasi ini menurut Adiya Perdana yang

111

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dikutip dari Beavis sebagai bentuk relasi yang mendukung kadernya diberbagai partai politik.73 Konteks ini tidak terlepas dari kondisi demokrasi transisi. Dalam konteks Aceh berkembang adigium pilih orangnya dan jangan pilih partainya. Artinya, gerakan sipil yang mendukung konsep relasi positif adalah relasi yang dibangun dengan personal pengurus tertentu dari partai politik tertentu, dan bukan bentuk dukungan terhadap partai politik tertentu. Begitupun kampanye yang dicetuskan adalah kampanye terhadap kepentingan personal, bukan kepentingan untuk partai secara kolektif dan masif. Fenomena ini membuktikan bahwa OMS tidak percaya atau belum dapat menyakini partai politik secara organisasi ketika melihat prilaku fungsionaris partai politik yang masih korup dan tidak mampu menjadi instrumen dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Sehingga membutuhkan orang-orang yang dianggap bersih dari OMS untuk merebut kursi kepemimpinan di legislatif. Meminjam istilah TAF Haikal Tanda tangan kita aktivis OMS tidak akan pernah berlaku dan dihargai dalam mewujudkan negara menjadi lebih baik sebelum

Aditya Perdana, Civil Society dan Partai Politik dan Demokratisasi di Indonesia, disampaikan pada Seminar Internasional Dinamika Politik Lokal di Indonesia, Salatiga, 28-30 Juli 2009

73

112

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

kita mampu meraih kursi kepemimpinan baik dilegislatif maupun dieksekutif. Kenyakinan kepada personal aktivis OMS yang mencalonkan diri menjadi Caleg dari partai tertentu juga diaktualisasikan oleh Gerak Aceh, dimana terdapat tiga pengurus aktif Gerak Aceh yang mencalonkan diri sebagai Caleg dari partai berbeda, yaitu PKS, PPP dan PNA. Artinya, secara prinsip tidak ada hambatan bagi organisasi sipil seperti Gerak Aceh untuk memberikan akses kepada kadernya untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif dari partai politik tertentu. Karena hal ini menurut Yulinda74 bukanlah bagian dari underbow-nya partai, melainkan bentuk partisipasi aktif dalam proses demokrasi. Selain itu TAF Haikal mengatakan bahwa gerakan sipil di Aceh memang harus mengambil alih posisi-posisi stretegis lembaga negara melalui proses demokrasi yang baik. Perjalanan demokrasi di Aceh harus diisi oleh orang-orang baik, jika tidak ingin negara atau provinsi Aceh menjadi lebih buruk, apalagi ketika masa transisi dari konflik ke damai, maka praktek kartel
Yulindawati adalah pengurus aktif organisasi Gerak Aceh yang mencalonkan diri dari Partai Nasional Aceh. Terdapat dua pengurus aktif lainnya dari Gerak Aceh yaitu Isra Safril yang mencalonkan diri sebagai Caleg DPRK Kabupaten Aceh Jaya dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Udin dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
74

113

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

politik akan berpeluang sangat besar tumbuh, apalagi cost politik dalam sistem demokrasi begitu mahal. Kartel antara pemodal dengan calon penguasa jika tidak sehat akan menyebabkan pengelolaan negara menjadi tidak baik. Oleh karena itu tidak ada yang salah jika aktivis sipil atau organisasi sipil mendukung kadernya masuk ke partai politik. Yang penting adalah adanya komitmen bahwa kita tidak akan mengulangi perbuatan yang pernah kita benci ketika berjuang di OMS, seperti perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme. 75 Trens relasi aktivis sipil dengan partai politik di Aceh mulai berkembang sejak ditanda-tangani perjanjian damai melalui MoU perdamaian Aceh di Helsinki, dan disahkannya UU No.11 tahun 2006 yang memberikan hak bagi Aceh untuk mendirikan partai lokal. Meskipun sebelum adanya UU ini sudah banyak aktivis sipil yang bergabung atau menjadi kader partai, namun tidak terlalu signifikan yang terjadi sekarang. Bahkan setelah diberikannya kewenangan membentuk partai lokal, banyak aktivis sipil yang dulunya anti-partai politik sudah menjadi pendiri partai politik. Transformasi gerakan sipil ke gerakan politik ini menurut Asiah Uzia agar isu-isu yang berkembang di
TAF Haikal, Caleg untuk DPR-RI Dapil 2 Provinsi Aceh dari Partai Nasdem, disampaikan pada Seminar Stakeholders Gerakan Sipil di Aceh dan Relasi dengan Partai Politik, Banda Aceh 16 September 2013
75

114

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

masyarakat dapat langsung direspon oleh legislator yang berasal dari gerakan sipil. Disamping itu, relasi dengan OMS perlu dibangun karena OMS bekerja ditingkat grassroots dan dengan adanya kader OMS di parlemen akan memudahkan proses advokasi serta berbagai kebijakan pembangunan eksekutif akan mudah dikontrol secara politis. Hal ini juga membuktikan bahwa demokrasi di Aceh sudah mulai menarik perhatian sejumlah aktivis OMS yang menyakini bahwa pengaruh kerja-kerja OMS tidak terlalu optimal seperti halnya ketika masa rehab dan rekon Aceh. Disisi lain, terbentuknya libido untuk menguasai parlemen karena melihat fenomena anggota legislatif di Aceh pada pemilu 2009 lalu yang banyak dikuasai oleh lulusan paket C, dan tidak profesional dalam menjalankan fungsinya sebagai anggota dewan, baik fungsi legislasi, budgeting maupun monitoring. 5.3.1. Dinamika Relasi Politik OMS dalam Pemilu Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa fenomena migrasi aktivis gerakan sipil ke partai politik menjadi trens baru terjadi di Aceh paska konflik. Trens ini sudah tumbuh ketika sejak pembentukan partai lokal oleh beberapa aktivisi sipil di Aceh. Disisi lain, perbedaan pendapat dan pilihan juga menjadi hal yang menarik, karena secara tidak langsung pilihan politik terhadap

115

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

partai politik yang berbeda mempengaruhi relasi gerakan sosial pada tataran OMS di Aceh. Perbedaan orientasi pertama aktivis dalam merespon kepentingan partai politik terlihat pada pemilukada tahun 2012, dimana beberapa aktivis mencoba membangun relasi secara terselubung dengan partai politik tertentu. Hal ini terlihat pada sebagian melakukan kampanye penundaan pemilukada, dan disisi lain mendukung pelaksanaan pemilukada tepat waktu, serta pihak yang ambigu antara menuntut penundaan dan tidak. Disisi lain, tidak sedikit aktivis secara personal juga menjadi bagian dari tim pemenangan kandidat tertentu. Baik menjadi tim sukses dari pasangan Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf yang diusung oleh Partai Aceh, pasangan Irwandi Yusuf dan Muhyan Yunan dari jalur independen, pasangan Muhammad Nazar dan Nova Iriansyah dari partai Demokrat, pasangan Prof.Darni Daud yang berpasangan dengan Dr. Ahmad Fauzi serta pasangan pasangan Tgk. Ahmad Tajuddin atau dikenal dengan Abi Lampisang dengan Ir. Suryansyah. Secara umum, relasi yang dibangun dalam pemilukada itu adalah relasi personal bukan atas nama lembaga tempat aktivis tersebut bekerja. Pertentangan orientasi politik yang terjadi pada pemilukada tahun 2012 lalu yang paling kontras adalah antara pasangan dr. Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf 116

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dari partai Aceh dengan pasangan drh. Irwandi Yusuf, MSc dengan Ir. Muhyan Yunan dari jalur perseorangan. Hal ini juga berdampak kepada tim sukses ditingkat grassroots. Pertentangan orientasi dan pandangan politik diantara aktivis sipil yang tergabung dalam pertarungan para kandidat tersebut juga mempengaruhi pada relasi diantara sesama aktivis OMS itu sendiri. Klaim terhadap friksi-friksi dikalangan aktivis juga menghilangkan romantisme diantara para aktivis yang pernah bersama dan bersatu dalam gerakan melawan tirani dan rezim militer di Aceh ketika masa konflik. Pasca pemilukada yang dimenangkan oleh pasangan dr.Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf, terjadi polarisasi pilihan politik aktivis, dimana yang mendukung pasangan Zikir76 umumnya menjadi pengurus partai Aceh, dan sebaliknya yang mendukung drh.Irwandi Yusuf, M.Sc dengan Ir. Muhyan Yunan bergabung dengan Partai Nasional Aceh (PNA) yang juga didirikan oleh drh. Irwandi Yusuf bersama dengan sejumlah mantan komandan eks-kombatan. Disamping terpolarasisasi ke dalam dua Parlok, beberapa aktivis lainnya juga menjadi kader sekaligus
Zikir adalah istilah populer yang ditujukan kepada pasangan dr. Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf. Istilah ini digunakan saat kampanye Pemilukada 2012 dan cukup efektif mempengaruhi pemilih untuk mengingat akronim tersebut pada hari pemilihan
76

117

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Caleg partai yang berbasis nasional, baik partai Golkar, Demokrat, Gerindra, Nasdem, PDIP, PKS, PKB, PPP, dll. Secara umum relasi personal aktivis dengan partai politik tertentu ini terjalin lebih disebabkan kepentingan kontekstual pemilu 2014, dan partai politik dijadikan sebagai kendaraan untuk mencapai kursi legislatif. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya calon dari partai tertentu yang sebelumnya tidak pernah terlibat dipartai tersebut, artinya fenomana loncat dari satu partai ke partai lainnya menjadi hal yang fenomenal terjadi.

Tabel 4: Contoh Beberapa Nama Aktivis Yang bergabung dengan Partai Politik dan DPD
Nama Aktivis Partai Politik Partai Golkar Partai Golkar Partai Golkar Partai Golkar Partai Golkar Partai Nasdem Partai Nasdem Partai Nasdem Status Lembaga Pernah Bekerja Koord. AJMI Aceh Kita

Hendra Budian Risman A.Rachman T.Masduhulsyah Amri Yusuf Sabri Badruddin Yusdarita Fatimahsyam Sri Wahyuni

Caleg DPRA Caleg DPRA Caleg DPRK Caleg DPRK Caleg DPRK Caleg DPRK Caleg DPRK Caleg DPRK

KNPI KNPI LSM Lingkungan LBH Apik CPCRS

118

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

T. Banta Syahrizal Ramadhana Lubis TAF Haikal Wiratmadinata Lukman Age Miswar Fuadi Muhammad Saleh Asiah Uziah Tarmizi Tamrin Ananda Yulindawati Mohd. July Fuady Cici Darmayanti Kautsar Hendra Fadli Kamaruddin Dahlan Cut Meutia (Farah) Erwanto Nurul Kamal Imran Mahmudi

Partai Nasdem Partai Nasdem Partai Nasdem Partai Nasdem PNA PNA PNA PNA PNA PNA PNA PNA PNA PA PA PA PA PA PA PA PDIP

Pengurus Partai Caleg DPRA Caleg DPR RI Caleg DPRA Pengurus Partai Caleg DPRA Caleg DPRA Caleg DPRK Caleg DPRA Caleg DPRA Caleg DPRK Caleg DPRA Caleg DPRK Caleg DPRA Caleg DPRA Pengurus Partai Pengurus Partai Caleg DPRA Pengurus Partai Pengurus Partai Pengurus

ACSTF/SIRA Forum LSM Aceh Forum LSM Aceh Forum LSM Aceh The Aceh Institute Sorak Tabloid Modus KontraS Aceh AFP SMUR/PRA Gerak Aceh LBH Forum LSM Aceh SMUR KontraS LBH Pengacara SMUR SMUR The Aceh Institute Pengacara

119

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Gading Hamonangan Mustawalad Hadi Surya Amri Saldin Riswati Ida Riyani Isra Safril Irwansyah Naimah Hasan

PDIP Partai Gerindra Partai Gerindra Partai Gerindra Partai Gerindra Partai Demokrat PKS PKS Partai Demokrat Partai Demokrat PPP PKB PDA PDA DPD DPD DPD DPD

Partai Pengurus Partai Caleg DPRA Ketua Partai Caleg DPRK Caleg DPRK Caleg DPRK Caleg DPRK Caleg DPRK Caleg DPR RI Caleg DPRA Caleg DPRA Caleg DPR RI Caleg DPRK Caleg DPRA Jubir PA Mantan Ketua PAAS Mantan Juru Runding GAM

Center Politik KontraS Aceh MPK JKMA LSM LSM Gerak Aceh Kammi Balai Syura Ureung Inong Aceh KAB

Iqbal Faraby Ernani Moza Putri Faisal Ridha Tgk. Muhibban Tgk.Khaidir Rijal Fazlon Hasan Fachrulrazi, MIP Ghazali Abas Adan Teuku Kamaruzaman

SIRA RTA RTA KMPA SP3 DDII KAB

120

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Daftar nama di atas hanya refleksi dari beberapa aktivisi OMS yang bergabung dengan partai politik atau menjadi calon DPD pada pemilu 9 April 2014 mendatang. Sebaliknya masih banyak aktivis yang tidak tercantum, khususnya yang bekerja diberbagai ormas atau lembaga penguyuban lainnya yang juga masuk ke dalam bursa pencalonan legislatif. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa secara umum, aktivis menjadikan partai politik sebagai instrumen untuk berkuasa, sehingga berpindah dari satu partai ke partai lain tidak menjadi hal yang aneh. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut, diantaranya adalah ketidaksesuaian antara elit partai dengan kepentingan yang diperjuangkan oleh aktivis tersebut. Selain itu, ideologi prakmatisme masih mendominasi gerakan sipil di parpol, karena tidak ada parpol yang didirikan oleh aktivis selain PRA, SIRA yang sudah tereleminasi dan hanya tinggal PDA saja yang lolos verifikasi KPU untuk pemilu 9 April 2014. Artinya, tujuan utama dari bergabungnya ke partai adalah hanya untuk memperoleh kursi pada pemilu legislatif.

121

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

5.3.2. Persepsi Aktivis terhadap Relasi Politik OMS dengan Partai Politik Hal yang menarik adalah persepsi aktivis yang masih aktif di berbagai OMS yang ada di Aceh, khususnya dalam kategori pekerja LSM. Mereka menyatakan bahwa terdapat banyak pandangan terkait dengan relasi politik aktivisi OMS dengan partai politik. Secara umum, tidak ada persoalan dan hal wajar jika ada aktivis mencalonkan diri sebagai calon legislatif, karena itu adalah suatu hak konstitusional setiap warga. Disamping itu, maju sebagai legislatif sebagai proses pembuktian diri dari kerja-kerja sipil yang lebih konkret dalam konteks pengelolaan negara. Dimana ketika menjadi legislator maka kebijakan pemerintah akan lebih mudah dikontrol sesuai dengan kerja-kerja OMS ditingkat grassroots. 77 Disisi lain, Abdullah78 secara umum juga berpendapat sama. Namun demikian harus ada garis demarkasi antara kerja politik dengan kerja sipil. Artinya, jika seseorang aktivis OMS yang sudah memilih untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif dari
Wawancara dengan Yulinda, aktivis Gerak Aceh yang mencalonkan diri sebagai Caleg Kota Banda Aceh dari Partai Nasional Aceh 78 Abdullah, pekerja Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) yang berprinsip bahwa harus ada pemisahan antara masyarakat sipil dengan masyarakat politik (political society)
77

122

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

partai tertentu, maka ia harus mundur dari kerja OMS. Pengunduran diri dari OMS menjadi penting untuk menghilangkan bias dari kerja-kerja OMS ditingkat komunitas, bahwa kerja OMS haruslah independen, maka ketika aktivis yang sudah menjadi Caleg masih tercatat sebagai pengurus aktif sebuah LSM tertentu secara tidak langsung akan mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap independensi LSM tersebut dari pengaruh kepentingan politik calon legislatif atau partai yang mengampu Caleg tersebut atau sering disebut dengan konflik kepentingan. Hal yang sama juga dikatakan Dahlan Isa, direktur LSM SAHARA, bahwa setiap pengurusnya dibolehkan menjadi aktivis Parpol dan atau mencalonkan diri sebagai Caleg pada pemilu. Namun harus mengikuti kode etik lembaga yaitu setiap aktivis organisasi berhak berpolitik tetapi harus melepaskan poisisinya di dalam organisasi agar tidak menimbulkan konflik kepentingan. Lebih jauh Dahlan menyatakan: ....hampir setiap pemilu pasti ada staf SAHARA yang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif, tapi itu tidak berpengaruh terhadap organisasi. Diinternal Sahara ada kode etik, ini diterapkan khusus kepada staf yang sudah terlibat dalam partai politik ataupun yang mencalon diri sebagai calon bupati dari jalur independen. Secara otomatis mereka tidak bisa dilibatkan lagi

123

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dalam program yang sedang dikerjakan oleh lembaga SAHARA.79 Sementara MaTA berpandangan lebih ekstrem, dimana mereka yang terlibat secara langsung dengan partai politik tidak hanya dieliminasi dari kerja-kerja program keorganisasian, melaikan harus mengundurkan diri secara permanen dari kepengurusan lembaga. Hal ini sesuai dengan statuta lembaga MaTA yang melarang secara keras keanggotaannya atau kepengurusannya terlibat aktif dalam partai politik. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Abdullah bahwa: ...tidak ada pengurus, mantan pengurus MaTA yang menjadi pengurus Parpol. Dalam aturan AD ART MaTA memperketat, tidak dibenarkan bagi pengurus terlibat dalam politik praktis, kalau ada yang memilih untuk bergabung dengan parpol, maka harus mengundurkan diri. MaTA tidak melarang seseorang tentang pilihan hak politik anggota, tetapi lembaga membatasi, agar tidak muncul kepentingan yang lain dalam lembaga, jika seseorang bergabung dengan partai, maka akan ada kepentingan partai.80

Wawancara dengan Dahlan Isa, Direktur LSM SAHARA Lhokseumawe, 4 September 2013 80 Wawancara dengan Abdullah Abdul Muthaleb, Manager Program MaTA pada 12 November 2013

79

124

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Dalam konteks relasi OMS atau LSM sebagai sebuah organisasi dengan partai politik yang juga sebagai sebuah organisasi, maka relasi itu patut dibangun. Relasi yang dibangun itu adalah relasi yang bertujuan untuk sinergisasi program-program stretegis untuk kepentingan publik semata, bukan kepentingan pragmatisme-materialistik dan politis diantara keduanya. Sinergisasi program strategis yang dimaksud disini adalah upaya mempengaruhi peran partai di parlemen untuk mengambil kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan publik. Salah satu contoh adalah yang dilakukan oleh KontraS Aceh dalam mempengaruhi Partai Aceh dalam pengesahan qanun KKR Aceh sejak tahun 2006 sampai disahkan pada tahun 2013 lalu. Begitu juga yang dilakukan oleh Katahati Institute dalam mengadvokasi qanun Komisi Informasi Aceh (KIA), atau relasi yang dibangun oleh Gerak Aceh dalam mengadvokasi penyusunan anggaran daerah yang berbasis gender, atau Sekolah Demokrasi Aceh Utara membangun relasi dengan membangun kapasitas (capacity building) setiap politisi dari berbagai partai politik yang ada melalui sekolah politik bagi para politisi. Berdasarkan hal di atas maka relasi OMS secara organisasi dengan partai politik dibangun atas dasar polas relasi partisipatoris. Relasi partisipatori ini umumnya dibangun atas dasar lobi-lobi personal tokoh 125

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

OMS dengan tokoh Parpol untuk kepentingan agenda organisasi. Secara umum OMS tidak ada yang mengklaim dirinya sebagai organisasi sipil bagian dari organisasi partai politik, meskipun secara program organasasi sipil tersebut berorientasi untuk kepentingan partai politik tertentu, seperti yang dilakukan oleh Komite Mahasiswa dan Pemuda Aceh (KMPA) yang bekerja untuk pemenangan Partai Aceh atau sesuai setidaknya berjuang terhadap isu yang juga diperjuangan oleh partai politik. Namun mereka tidak mau disebut sebagai partisan (klientalistik) dari partai tersebut, seperti halnya NDI (National Democratic Institute) yang merupakan underbow-nya Partai Demokrat di Amerika Serikat, atau IRI (International Republic Institute) sebagai partisannya partai Republik. Begitu juga sebaliknya, tidak ditemukan adanya organisasi yang secara nyata kontras dan anti-terhadap partai politik, selain FPI (Front Pembela Islam) dan Hizbut Tahrir. Kedua organisasi massa ini secara ideologis tidak hanya kontras terhadap partai politik, akan tetapi juga terhadap konsep demokrasi. Konsep anti-terhadap demokrasi merupakan konsekuensi dari ideologi pergerakan yang menganut sistem 81 kekhalifahan.
Ke-khalifah-an merupakan sistem kedaulatan Islam (addaulah islamiyah) yang mengaliminer konsep negara moderen (trias
81

126

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Jadi secara umum relasi yang dibangun oleh OMS di Aceh adalah relasi partisipatory secara organisasi, dan relasi klientalistik secara personal aktivis organisasi dengan tanpa membawa nama organisasi. Meskipun demikian, sulit dipisahkan bahwa antara popularitas aktivis dari organisasi tertentu dengan personalitasnya yang bekerja untuk partai politik tertentu. Ketidakberanian untuk menyeret organisasi sipilnya dari kegiatan partai tertentu juga sebagai upaya untuk menjaga kemurnia organisasi dari keperpihakan kepada partai politik tertentu. Sikap semacam ini menunjukkan apa yang disebut Ghia Nodia sebagai narsisisme masyarakat sipil, yakni sikap yang sangat bangga memandang masyarakat sipil sebagai aktor yang memiliki moralitas tinggi, idealis, bersih, independen, netral dan pro rakyat; sementara mereka memandang politik dan partai politik sebagai dunia yang kotor dan pragmatis. Ini yang melandasi sikap pertama di kalangan OMS: relasi OMSpartai sangat diperlukan dan harus dilakukan, tetapi harus disertai idealisme (narsisisme) masyarakat sipil. 82
politica), dan kembali kepada konsep pemerintahan Islam klasik pada masa kejayaan ke-khalifah-an Usmaniyah dan atau Abbasyiah. Baca: KH. M. Shiddiq al-Jawi, Empat Pilar Negara Khalifah, diunduh dari http://hizbut-tahrir.or.id 82 Ghia Nodia, Civil Society Development in Georgia: Achievements and Challenges, Policy Paper, Tbilisi: Caucasus

127

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Sementara Sutoro menyatakan bahwa itu adalah bentuk relasi malu-malu dan cenderung mengambang (floating relation).83 Relasi malu-malu ini adalah bentuk untuk menyatakan kepada kepada publik bahwa organisasinya bukanlah organisasi yang bekerja untuk kepentingan partai politik. Meskipun publik mengetahui bahwa secara tidak langsung organisasi tersebut bekerja untuk partai politik tertentu. Gambar 4: Pola Relasi OMS Terhadap Partai Politik
Lembaga

OMS

Langsung

Partai Politik Personal

Pola Relasi

Personal OMS
Tidak Langsung

Partai Politik Kegiatan

Grafik di atas menunjukkan bahwa pola relasi yang dibangun ada yang langsung dan ada juga yang
Institute for Peace, Democracy and Development, 2005
83

Sutoro Eko, Konsultan Ahli The Aceh Institute, 2013

128

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

tidak langsung. Secara langsung ada dua pola, yaitu langsung relasi kelembagaan dan relasi personal. Temuan The Aceh Institute menunjukkan bahwa relasi yang dominan dibangun oleh OMS adalah relasi personal dengan partai politik baik langsung maupun tidak langsung. Relasi personal langsung ini artinya, personal yang bersangkutan sebagai pengurus OMS sekaligus pengurus partai politik. Sementara relasi personal tidak langsung, ia bekerja untuk partai politik atas profesionalisme personalnya, serta tidak mengkaitkan dengan lembaga OMS yang dipimpinnya, atau tempat dia bekerja. Sementara lembaga yang mempunyai relasi langsung secara kelembagaan dengan partai politik tidak ada, kecuali hanya beberapa lembaga organisasi sipil yang langsung dibentuk oleh partai politik tersebut, seperti ORMAS Nasdem, AMPI, Kosgoro, dll. Sebaliknya kalau organisasi sipil yang mempunyai relasi dalam bentuk kegiatan atau istilah Sutoro relasi programatik banyak dilakukan oleh berbagai lembaga, seperti ormas Muhammadiyah, NU, dan beberapa yang lain. Relasi programatik yang dimaksud disini adalah organisasi masyarakat tersebut menerima dukungan finansial baik berupa dana pribadi politisi maupun dana aspirasi dari partai politik tertentu dan digunakan untuk kerja-kerja organisasi masyarakat tersebut. 129

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Relasi dengan parpol untuk mendapatkan dana aspirasi ini juga dipengaruhi oleh relasi personal atau relasi ideologi ORMAS tertentu dengan partai politik tertentu. Adapun skema bantuan aspirasi biasanya diambil dari pos dana hibah, yang mana setiap organisasi sipil terlebih dahulu mengusulkan program dan pertanggungjawaban kepada lembaga pemerintah tempat dana hibah dititip oleh anggota legislatif tertentu, dan harus mendapatkan persetujuan pemilik dana aspirasi. Adapun kerja-kerja ORMAS dari dana aspirasi menjadi kewenangan ormas tersebut. Namun demikian, terdapat juga beberapa organisasi yang menerima aspirasi bekerja untuk komunitas pemilik dana aspirasi tersebut. Artinya, ada keuntangan bersama (muatulisme) antara yang memberi aspirasi dan yang menerima aspirasi. Dahlan Isa, direktur SAHARA, menyatakan bahwa fenomena relasi antara OMS dengan partai politik paska program rehab-rekon tsunami umumnya dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Kondisi ekonomi LSM di Aceh saat ini sudah berbeda pada saat Aceh konflik dan tsunami, dimana paska tahun 2009 sudah sedikit sekali sumber pendanaan bagi gerakan LSM di Aceh, sehingga tidak sedikit membangun relasi klientalistik

130

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

atau programatik dengan partai politik tertentu agar mendapat sumber dana dari dana hibah aspirasi dewan. 84 Selain relasi karena faktor ekonomi, faktor karir aktivis OMS yang menyakini bahwa parpol sebagai kelanjutan dari kerja-kerja sipil, sehingga perlu untuk masuk ke partai politik. Hal yang menarik adalah migrasi aktivis menjadi politisi itu cenderung memperlihatkan karir individual ketimbang sebagai gerakan dan politik representasi dari gerakan sipil itu sendiri. Menurut Aditya Perdana bahwa terdapat beberapa faktor yang mendorong aktivis bergabung dengan parpol. Pertama, alasan karir dan regenerasi dalam tubuh OMS. Pilihan terhadap karir ini didorong kepada posisi baru yang ia nyakini akan lebih mempunyai pengaruh terhadap perubahan yang lebih baik, melalui jabatannya sebagai pejabat negara. Lebih jauh Adiyta menulis bahwa pilihan untuk bergabung dengan partai politik lebih disebabkan alasan yang emosional yaitu berdasarkan kedekatan, baik secara etnisitas ataupun secara garis perjuangan. Maka tidaklah heran bila beberapa aktor masyarakat sipil yang dikenal dekat dengan kelompok masyarakat di desa/kampung lebih memilih partai yang juga dikenal memiliki kedekatan tersebut.

84

Wawancara dengan Dahdan Isa, 12 November 2013

131

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Secara nasional misalnya pada Pemilu 2009, para aktivis yang menjadi anggota partai dan tercatat sebagai caleg DPR RI semakin semarak. Diantaranya terdapat nama Ratna Bantara Mukti (aktivis perempuan-PDIP), Apong Herlina (aktivis perempuan-PDIP), Indra Jaya Piliang (akademisi/peneliti-Golkar), Hetifah Sj Sumarto (aktivis planologi-Golkar), ataupun Binny Buchori (aktivis perempuan-Golkar), yang resmi bertarung dalam sebagai caleg di masing-masing daerah pemilihannya. Namun demikian, diantara nama-nama tersebut hanyalah Hetifah SJ Sumarto yang sukses memperoleh kursi di Senayan dalam periode 2009-2014 nanti. Ada pandangan masyarakat (pemilih), munculnya kenyakinan bahwa anggota legislatif yang sudah ada sekarang tidak mampu membawa perubahan yang lebih baik dan signifikan bagi pembangunan dan mewujudkan negara lebih baik. Oleh karena itu dirasa penting untuk mengambil alih kekuasaan pemerintahan baik ditingkat legislatif maupun eksekutif agar pemerintahan dapat diwujudkan sesuai dengan cita-cita konstitusi dan prinsip-prinsip good governance Trens yang terjadi ditingkat nasional pada pemilu tahun 2009 juga berkembang dan menular ditingkat provinsi Aceh, dimana ketiga faktor yaitu faktor ekonomi, kedekatan emosional, kemajuan karir dan terakhir karena faktor ingin merubah pemerintahan dan atau negara kearah yang lebih baik. Apalagi seperti 132

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dikatakan Kausar bahwa gerakan OMS di Aceh paska MoU dan UUPA sudah melemah, dan tidak terlihat agenda politik yang jelas. Sehingga memilih untuk bergabung dengan partai politik menjadi instumen untuk mengaktualisasikan cita-cita politik yang lebih nyata, yaitu mensejahterakan masyarakat melalui berbagai kebijakan secara politis. Lebih jauh Kausar sepakat bahwa gerakan OMS harus menganut aliran Gramsky tentang relasi negara (political society) dan warga (civil soceity), dimana satu sama lain tidak dapat dipisahkan. 85 Gambar 5: Pola orientasi politik aktivis sipil terhadap partai politik Gambar ini menunjukkan bahwa pola orientasi yang paling dominan terjadinya migrasi aktivis OMS ke partai politik adalah untuk meningkatkan karir, dan hanya sedikit diantaranya yang punya konsep dan komitmen awal untuk menjadi pelopor perubahan
Kausar, Relasi Politik OMS dengan Parpol, disampaikan pada Seminar Para stakholders dan OMS di Aceh pada 12 November 2013, di Oasis Hotel, Banda Aceh
85

133

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

(reform) dalam penyelengaraan negara menjadi lebih baik sesuai dengan prinsip-prinsip good governance. Beberapa aktivis yang mempunyai komitmen untuk menjadi agent of change untuk reformasi di birokrasi dan parlemen melalui mekanisme pengambilalihan kekuasaan belum ada kesepakatan bersama diantara aktivis OMS itu sendiri. Artinya, sebagian besar aktivis OMS yang masih berpikir tidak percaya dengan komitmen itu karena melihat fenomena yang ada, bahwa tidak sedikit aktivis sipil yang sudah menjadi anggota legislatif terjebak dalam budaya pragmatisme-materialistik. 5.3.3. Pola Relasi Politik OMS yang Berkembang Secara umum, relasi yang terbentuk antara OMS dengan partai politik di Aceh, secara organisasi adalah relasi partisipatory. Yaitu membangun kemitraan dengan parpol dalam mempengaruhi kebijakan. Salah satu contoh yang dilakukan oleh Gerak Aceh terkait dengan kebijakan pemerintah dalam hal pemerataan guru di Aceh. dalam hal ini Gerak Aceh melakukan konsultasi dengan Komisi D untuk memberi tekanan kepada pemerintah agar benar-benar menata dan meratakan distribusi guru. Komisi D menyampaikan hal ini melalui pandangan umum misalnya, sehingga akan lebih menguatkan misi mempengaruhi kebijakan ini. Tekanan tersebut disampaikan dengan cara mengundang mereka 134

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

untuk berdiskusi atau mengadakan FGD, di mana Gerak Aceh dapat berbagi data kepada mereka, untuk kemudian disampaikan dalam forum pandangan fraksi di awal atau akhir anggaran. Sementara secara personal, aktivis OMS melakukan penyebaran diri kesejumlah partai politik yang ada, baik partai politik berbasis lokal maupun nasional. Proses penyebaran ini, baik sebagai pendiri partai maupun sebagai pengikut partai yang sudah ada. Dari sekian pertai lokal tersebut, terdapat beberapa aktivis OMS yang ikut menjadi pelopor dan bagian dari terbentuknya partai politik yang berbasis lokal tersebut, antara lain terdapat Ghazali Abas Adan, yang mendirikan partai Paas dan merangkap sebagai pembina pada ormas DDII (Dewan Dakwan Islam Indonesia), sementara di Partai Daulat Aceh ada Tgk Muhibutabri, Tgk.Ali Imran, Waled Husaini, dan lainnya yang umumnya adalah aktivis dari Rabithah Thaliban Aceh (RTA) dan Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA). Sedangkan di Partai SIRA terdapat sejumlah nama seperti Teuku Banta Syahrizal yang juga pernah menjabat sebagai program manager ACSTF, dan juga Wiratmadinata yang ikut melahirkan PRA. Begitu juga halnya dengan beberapa aktivis KontraS Aceh yang mendukung pembentukan Partai Aceh (PA) seperti Kautsar, Hendra Fadli, serta tokoh sipil Humam Hamid yang mendirikan PBA. 135

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Disamping partai lokal juga terdapat beberapa tokoh OMS yang bergabung dengan partai nasional, seperti TAF Haikal yang bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PNA) pada pemilu 2009, dan Akhiruddin Mahjuddin bergabung dengan Partai Demokrat, Hendra Budian dengan Partai Golkar dan beberapa aktivisi gerakan sipil lainnya. Hasil temuan ini serupa dengan hasil penelitian Teuku Ardiansyah (2011) yang menunjukkan bahwa relasi yang dibangun oleh OMS mayoritas melalui penyebaran kadernya disuluruh partai politik yang ada, baik parpol berbasis nasional maupun lokal. Kedua, sebagian LSM tidak ada relasi secara khusus dengan partai politik, seperti LSM yang bergerak diisu HAM, Lingkungan dan LSM Anti-Korupsi. Sementara hanya sedikit yang membangun relasi dengan partai tertentu secara pragmatis karena ada unsur ekonomis atau lainnya. Sayangya, penyebaran aktivis OMS dalam berbagai partai politik ini tidak diberangi dengan agenda bersama yang diperjuangkan di berbagai partai politik yang berbeda itu pula. Sebaliknya, yang muncul adalah lahirnya agenda-agenda personal yang disesuaikan dengan agenda partai politik. Dengan kata lain, disatu sisi migrasi aktivis OMS ke dalam partai politik tertentu merupakan agenda pribadi/personal OMS tersebut, dan

136

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

disisi lain, personal tersebut terjebak dalam budaya partai politik yang cenderung prakmatis. Gambar 6: Model Relasi LSM dan Partai Politik

Sumber: Teuku Ardiansyah, 2011

Beberapa LSM lainnya mempunyai agenda secara sadar untuk mendukung kadernya menjadi fungsionaris partai politik tertentu. Hal ini seperti yang dilakukan LBH APIK, dimana organisasi yang bergerak di isu-isu penguatan partisipasi perempuan diruang publik ini, mendukung pengurusnya atau kadernya untuk berpartisipasi aktif dalam politik praktis diberbagai partai politik yang ada. Disamping juga untuk memperjuangkan visi dan platform politik LBH APIK 137

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

yaitu terwujudnya keterwakilan perempuan diparlemen, sekaligus memperjuangkan hak-hak politik perempuan.86 Secara umum, relasi politik yang dibangun oleh LBH Apik dengan anggota parlemen perempuan adalah relasi untuk melakukan advokasi kebijakan, khususnya regulasi dibidang perempuan dan anak. Relasi yang dibangun oleh LBH APIK sama halnya juga dilakukan oleh Jaringan Perempuan untuk Keadilan (JARI). Bagi JARI Aceh87 (Womens Network for Justice Aceh/Jaringan Perempuan untuk Keadilan) pilihan politik ini dilandasi dua hal. Pertama, sebenarnya LSM harus membangun relasi dengan partai politik, karena banyak orang saat ini terlibat dalam partai politik malah tidak mengetahui politik, tidak mengetahui berpolitik dengan benar. Kedua, dimaksudkan untuk memperkuat representasi politik kaum perempuan. Melihat fenomena ini, dapat dikatakan bahwa transformasi aktivis OMS ke partai politik disatu sisi untuk memudahkan kegiatan-kegiatan advokasi yang menjadi core dari gerakan OMS sendiri, dan disisi lain sebagai upaya untuk merebut kekuasaan dan kedudukan strategis dalam pemerintahan. Namun demikian, menurut Rahmat Hidayah dalam artikelnya Dari Jalanan ke Parlemen yang dirilis oleh Republika (15
Wawancara dengan Roslina Rasyid, Direktur LBP APIK, 3 November 2013 87 Direktur JARI Aceh, Khairul Hasni, 2 November 2013
86

138

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Mei 2013) menyatakan bahwa perubahan orientasi gerakan dari sipil ke politik umumnya tidak membawa pengaruh apapun terhadap kebijakan partai politik, sebaliknya terjebak dalam prilaku partai politik yang sangat pragmatisme dan realistis. Beberapa contoh aktivis seperti Anas Urbaningrum, Fahri Hamzah, Nasir Djamil, Budiman Sujatmiko, dll pada akhirnya juga terjebak dalam kebiaasan lazim politisi yang pragamtisme-materialistik. Kesimpulan serupa meskipun tidak sama juga dikatakan oleh Marcus Mietzner (2013), yang menganalisis masuknya (hijrah) para aktivis prodemokrasi ke ranah politik. Jumlah aktivis yang masuk ke DPR (2009-2014) cukup signifikan, yaitu 7%, lebih tinggi dari pensiunan tentara/polisi yang hanya 2%. Mereka tersebar diberbagai partai politik dengan mengusung isu dan kepentingan yang berbeda, dan untuk menyamakan penggunaan istilah, maka kita sebut sebagai aktivis-politisi. Secara umum ada tiga tipe orientasi aktivis-politisi tersebut, yaitu: (1) Aktivispolitisi yang berorientasi pada karir. Karir identik dengan kedudukan dan pencarian nafkah. (2) aktivispolitisi yang berorientasi politik: membangun political capital, memanfaatkan momentum politik untuk memperbesar kekuasaan baik individu maupun organisasinya. (3) aktivis-politisi yang berorientasi pada perubahan (reformasi dan birokrasi). Tipe yang pertama 139

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dan kedua tumbuh menjadi elite baru yang masuk ke lubang oligarkhi dan membangun jaringan patronase ekonomi politik. 5.3.4. Analisis Terhadap Relasi Politik OMS di Aceh Berdasarkan temuan di atas, maka secara umum relasi yang dibangun oleh OMS di Aceh adalah relasi partisipatif (participatory). Dimana beberapa OMS, khususnya LSM membangun relasi dengan partai politik melalui tokoh tertentu dari partai politik dalam kerjakerja advokasi. Disisi lain, relasi secara personal ini tidak sedikit yang kemudian menyebabkan banyaknya aktivis OMS yang melakukan migrasi ke dalam partai politik. Upaya melakukan migrasi, istilah lain infiltrasi secara personal ke dalam partai politik tertentupun belum mampu mempengaruhi terhadap kebijakan partai politik itu sendiri secara internal. Artinya, relasi partisipatoris antara OMS dengan partai politik yang cenderung efektif adalah relasi mempengaruhi kebijakan partai politik untuk kepentingan rakyat secara eksternal, tidak secara internal. Karena pengaruh secara internal, jika tidak dikatakan lemah, maka cenderung bersifat mengambang (floating linkage), dan umumnya terbawa arus kepentingan partai ensich. Kondisi ini seperti dikatakan Sutoro diakibatkan oleh kondisi aktivis OMS di partai 140

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

politik belum mempunyai cantolan ke atas yang kuat dan juga tidak mempunyai basis di bawah yang kuat. Hal ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: Pertama, beberapa aktivisi OMS yang migrasi ke partai politik belum mempunyai modalitas yang memadai untuk mengimbangi apalagi merebut kekuasaan di partai politik di posisi strategis. Sebaliknya beberapa aktivis OMS yang mempunyai posisi strategis tidak mampu mengintegrasikan agenda masyarakat sipil dengan agenda partai politik. Umumnya yang terlihat adalah agenda partai politik semata. Kedua, relasi dan komunikasi antara OMS dengan partai politik secara institusional relatif tidak terbangun dengan baik. Kecuali pada saat menjelang pemilu beberapa partai politik membangun komunikasi untuk kepentingan politis partai, dan komunikasi dibangunpun tidak melalui institusi secara resmi, melainkan secara personal pengurus OMS tersebut. Disamping itu belum tercipta hubungan yang saling mempercayai satu sama lain. OMS dianggap organisasi idealis dan partai politik cenderung lebih pragmatis. Asiah Uzia, Mantan Koordinator Kontras Aceh, pengurus Partai PNA dan Caleg untuk DPRK Banda Aceh mengatakan: ...Relasi yang terbangun itu positif, tapi bisa menjadi negatif, ini ketika ada aktivis yang menjadi caleg, sedikit sekali aktivis OMS yang 141

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

mendukungnya, ketika diawal OMS terlalu banyak menuntut aktivis untuk maju sebagai caleg agar bisa membawa agenda-agenda perubahan seperti yangdiinginkan OMS, tapi kemudian ketika aktivis ini maju, OMS tidak memberikan dukungan real dan konkret, kita melihat banyak teman-teman OMS yang menyuruh aktivis untuk menjadi caleg, tapi ketika DPT keluar, OMS-OMS yang meminta aktivis untuk caleg tadi, tidak memberikan dukungan lagi. Kecenderungan OMS secara institusi menjaga jarak dengan aktivis sipil yang menjadi Caleg dari partai politik tertentu adalah bagian dari menjadi stigma idealisme tentang independensi, integritas dan netralitas dalam berhubungan dengan partai politik. Namun beberapa LSM secara personal membangun relasi dengan fungsionaris partai politik tertentu. Relasi ini terbentuk akibat hubungan emosional, ideologi, modal politik dan juga faktor ekonomi personal dan juga untuk lembaga--. Namun terkait faktor ekonomi untuk kepentingan kelembagaan yang didukung oleh partai politik tertentu, juga umumnya dipengaruhi oleh kedekatan personal, bukan kelembangaan. Lembaga hanya dijadikan untuk proses administrasi dalam mendapatkan dukungan dana tersebut, khususnya dana aspirasi. 142

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Sedangkan relasi personal pengurus OMS dengan personal partai politik tertentu yang disebabkan hubungan emosional atau ideologi lebih ditunjukkan dengan dukungan secara personal pula bagi modal politik Caleg partai tertentu, dan tidak terlihat (samar) adanya pengakuan dukungan secara institusional. Di tengah kondisi yang samar-samar itu Muhammadiyah menunjukkan sikap terbuka dan jujur mengakui relasi yang dibangun dengan partai politik, khususnya relasi programatik. Muhammadiyah sering menerima dana aspirasi dari anggota parlemen yang berasal dari pengikut Muhammadiyah. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Hiqzil Apandi, bahwa: ... Ormas Pemuda Muhammadiyah sering menerima dana aspirasi dewan, hampir setiap tahun menerima dari senior-senior Muhammadiyah di DPR. Tetapi dana itu tidak dipakai untuk kerja-kerja dan kepentingan partai, melainkan digunakan untuk kegiatan organisai, misalnya untuk rehab masjid, membangun sekolah dan lain-lain..., Lebih jauh Hiqzil Apandi mengatakan bahwa meskipun organisasinya menerima dana aspirasi dari kedekatan secara ideologi dengan anggota dewan, namun secara institusional Muhammadiyah tetap melakukan kontrol terhadap partai politik.

143

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Relasi secara ideologi yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat ini adalah bentuk dari visi-misi dari lembaga Muhammadiyah itu sendiri, dan dana aspirasi pun bagian dari dari masyarakat yang dialokasikan oleh anggota legislatif. Disamping itu, dukungan dari partai politik tidak hanya partai tertentu, melainkan dari berbagai partai. Artinya relasi itu terbentuk karena dari ideologi kemuhammadiyahan, bukan kepartaian. Beberapa OMS lain yang membangun relasi secara institusional dan personal dengan partai politik tertentu, dan bekerja untuk partai politik tertentu umumnya organisasi sipil yang dibentuk dan atau terbentuk secara temporer. Beberapa organisasi sipil tersebut cenderung tidak dikenal oleh publik, kecuali organisasi yang berbentuk underbow partai. 5.4. Faktor Yang Mempengaruhi Relasi Politik OMS di Aceh Secara umum, faktor terbentuknya relasi antara OMS dengan partai politik adalah karena relasi personal pengurus OMS dengan pengurus partai politik, atau salah satu kader OMS menjadi anggota legislatif. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Azriana dari RPUK,

144

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

bahwa relasi itu dibangun melalui kontak personal untuk tujuan mencapai tujuan-tujuan kerja lembaga OMS.88 Selain itu, faktor lainnya adalah terkait dengan ide-ide perubahan. Artinya, sejumlah OMS berkenyakinan bahwa perubahan itu harus dilakukan melalui penyelengara negara, baik legislatif maupun eksekutif. Oleh karena, mempengaruhi kebijakan baik langsung maupun tidak langsung merupakan satu keniscayaan dari kerja-kerja OMS. Bahkan lebih radikal berkenyakinan bahwa penyelengara negara harus direbut oleh aktivis OMS. Visi misi dari parpol, juga track record dari orang-orang kunci di parpol, ini salah satu yang bisa mempengaruhi relasi dengan OMS. Visi misi partainya dan sokongan orang-orangnya dan hasil kerja. Misal, ada satu kebijakan yang diskriminatif, lahir dari suatu periode, kalau saya akan lihat partai mana yang mayoritas di legislatif ketika kebijakan itu dilahirkan. Itu juga bisa menjadi faktor yang mempengaruhi adanya relasi. Ada kesadaran di OMS untuk melakukan perubahan, yang terkadang juga membutuhkan keterlibatan mereka di partai politik. namun, kepentingan adalah hal yang paling utama yang memperngaruhi relasi politik OMS dan Parpol. Rata-rata aktivis yang masuk
Wawancara dengan Azriana, Direktur Relawan Perempuan Untuk Kemanusiaan (RPUK), 15 Desember 2013
88

145

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

parpol, tentu tidak datang dengan tanpa kepentingan, aktivis masuk parpol tahu apa yang mau dilakukan, ini berbeda dengan orang-orang biasa yang masuk parpol adalah untuk belajaf berpolitik. Faktor-faktor relasi OMS dan Ormas lainnya seperti di Aceh Utara dan Lhokseumawe dipengaruhi kepentingan kekuasaan dan kesejahteraan (uang). Faktor kekuasaan karena paska konflik telah memberikan ruang partisipasi dalam politik cenderung terbuka, salah satunya adalah adanya partai lokal, dan calon independen. Disamping itu kekuasaan secara politik juga meningkatkan prestise dalam masyarakat. Selain itu faktor kesejahteraan karena donor di Aceh sangat terbatas sehingga membuat OMS dan Ormas membangun hubungan dengan partai politik dan penguasa dari partai politik. Intinya saling membutuhkan finansial dan dukungan politik. Disisin lain, faktor terbentuknya relasi antara OMS dengan partai politik adalah untuk kepentingan advokasi terhadap kepentingan masyarakat yang dilakukan oleh OMS. Hal ini seperti yang dilakukan oleh LSM MATA, GeRAK Aceh, LBH Banda Aceh, RpuK, ACSTF, Forum LSM Aceh, WALHI dan lain-lain. Advokasi melalui partai politik, khususnya politisi yang menjadi anggota dewan, karena anggota dewan dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah eksekutif. Kedua, anggota dewan merupakan orang yang mempunyai peran 146

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dalam menyusun berbagai regulasi. Sehingga kegiatan advokasi tersebut dilakukan agar setiap kebijakan berpihak kepada kepentingan masyarakat secara luas. Faktor lainnya adalah karena bosan menjadi aktivis OMS yang tidak menentu secara pendapatan juga keinginan untuk berbuat lebih banyak bagi kepentingan rakyat dan negara. Setidaknya bahwa lahir keinginan aktivis OMS untuk menjadi anggota partai politik, dengan harapan terpilih menjadi anggota dewan, dan atau menjadi kepala daerah dalam pemilukada. Faktor memperbaharui keberadaannya dari OMS ke Parpol juga menjadi faktor relasi itu tersebut, meskipun relasi ini lebih cenderung bersifat personal. Menurut Juanda Jamal, beberapa aktivis OMS yang membangun relasi dengan partai politik, dan kemudian menjadi pengurus partai politik karena mereka menyakini bahwa agenda perubahan di OMS banyak tidak jelas, sementara mereka menyakini bahwa agenda partai politik jauh lebih jelas dan terdapat anggaran secara pasti dalam melakukan perubahan itu. Sebaliknya agenda-agenda OMS sering kekurangan dana, khususnya setelah program tsunami berakhir di Aceh.89 Faktor lainnya adalah kenyakinan beberapa aktivis OMS yang menyakini bahwa mereka lebih baik dari politisi-politisi tua di partai politik. Kenyakinan
89

Interview, Juanda Jamal, 5 November 2013

147

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

akan lebih baik itu juga sebagai bagian untuk merebut kekuasaan dalam rangka memperjuangkan isu-isu yang diperjuangkan selama ini melalui institusi OMS melalui institusi Negara. Misalnya OMS yang concern pada isu perempuan, beberapa OMS perempuan akhirnya membangun relasi dengan partai politik tertentu khususnya secara personal untuk menjadi pengurus partai dan bersaing memperebutkan kursi parlemen. Terakhir, beberapa aktivis OMS yang membangun relasi secara aktif menjadi bagian dari partai politik karena menggangap kerja-kerja OMS pasca Tsunami dan Konflik telah berakhir, dan orientasi OMS menjadi tidak jelas lagi. Sehingga migrasi ke partai politik menjadi pilihan strategis untuk mendapatkan posisi dan eksistensi diri di publik.

5.5. Dampak Relasi Politik Dengan Partai Politik Terhadap Indepedensi OMS
Secara umum, dampak dari relasi politik dengan partai politik terhadap indepedensi OMS di Aceh dapat dilihat perkembangan perpolitikan di Aceh, peran dan fungsi OMS sebagai agen perubahan sekaligus sebagai salah satu pillar Negara yang demokratis, disamping tiga lembaga Negara (trias politica) dan media.

148

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Melihat temuan yang ada, maka OMS yang membangun hubungan secara korporatis, yaitu OMS yang menjadi bagian dari kepentingan partai politik semata, maka independensi OMS sebagai pillar demokrasi menjadi tidak ada. Hilangnya independensi ini terlihat dari hilangnya agenda-agenda OMS secara visi-misi dan program-program lembaga secara independen. Sebaliknya yang muncul adanya menjadi lembaga pekerja bagi keuntungan partai politik. Sementara OMS yang mengambil keuntungan dari partai politik, baik secara politis maupun ekonomis. Begitu juga partai politik mendapat sokongan secara politis dari OMS tersebut, maka kondisi ini menyebabkan indepedensi OMS tersebut diragukan, khususnya jika keuntungan secara mutualisme tersebut hanya bersifat sektoral, tidak untuk kepentingan dan keuntungan masyarakat secara luas. Beberapa OMS model seperti ini tidak terlalu populis bagi publik, karena umumnya lahir secara temporer pada saat pesta demokrasi, khususnya pada pemilukada. Beberapa OMS yang populis, atau dikenal dengan LSM yang aktif dalam memperjuangkan berbagai agenda kepentingan publik cenderung menjaga independensinya secara institusional sebuah lembaga yang independen. Meskipun secara personal beberapa diantaranya tidak independen, namun secara kelembagaan tetap menjadi netralitas sebagai lembaga 149

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

non-pemerintah. Sehingga relasi yang dibangun secara organisasi dengan partai politik umumnya bersifat relasi partisipatif. Relasi secara partisipatif ini juga memberikan manfaat bagi kerja-kerja OMS yang terkait dengan kebijakan partai politik di parlemen. Beberapa pengalaman KontraS Aceh misalnya menjadi lebih mudah dalam membangun koordinasi dengan politisi di DPRA dalam mengadvokasi berbagai aturan daerah. Namun meskipun mempunyai akses yang mudah karena adanya relasi personal tersebut, namun dalam beberapa kebijakan yang tidak merakyat KontraS tetap kritis. Misalnya dalam pembentukan BP2A (Badan Pembangunan Perdamaian Aceh) yang dianggap mubazir dan tidak ada payung hukumnya. Independensi OMS terhadap partai politik ini juga tetap terjaga ketika posisi OMS baik secara institusional maupun personal tetap mandiri, meskipun saling mempengaruhi (dalam hal positif). Namun ketika terdapat pengurus/personal OMS yang juga menjadi pengurus partai politik tertentu, maka keindependensian OMS menjadi samar, bahkan menjadi hilang karena adanya conflict interest. Hal ini dikarenakan tidak mungkin adanya split personality (personalitas ganda) di OMS dan partai politik, disamping akan menghilangkan daya kritis terhadap kebijakan partai politik yang bertentangan dengan kenyakinan OMS. 150

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Artinya, masyarakat sipil di Aceh percaya bahwa untuk menjadi indepedensi gerakan OMS, maka tidak boleh adanya dualisme kepengurusan seorang aktivis, di partai politik dan di organisasi sipil. Sebaliknya, harus memilih salah satu diantaranya. Hal inilah yang akan menjadi independensi baik independensi OMS maupun partai politik itu sendiri. Namun demikian, irisan saling mempengaruhi tetap dibutuhkan agar mencapai tujuan yang sama (common agenda) antara OMS dengan partai politik. Karena kedua organisasi tersebut, meskipun pada posisi yang berbeda namun mempunyai orientasi yang sama, yaitu mensejahterakan rakyat Indonesia. Sehingga check and balace sangat diperlukan, bahkan harus membangun membangun sinergisasi secara orientasi, bukan secara institusi. Hal ini dikarenakan, ketika aktivis OMS bergabung dengan partai politik, maka harapannya adalah mampu mempengaruhi kebijakan internal dan eksternal partai untuk kepentingan publik, termasuk kebijakan dan prilaku partai politik dan politisinya yang lebih baik. Misalnya bagaimana mereka mampu membangun prilaku yang lebih demokratis, tidak melakukan kekerasan, tidak melakukan money politic, dan lainnya yang sesuai dengan perundang-undangan, moral dan etika.

151

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Kalau model relasi itu menjawab kebutuhan dari perubahan yang diharapkan OMS, relasi itu bisa berkontribusi pada perubahan yang diharapkan OMS, tentu kerja-kerja OMS akan semakin mudah. OMS bekerja membangun daya kritis masyarakat, masyarakat yang cerdas ini ketika masuk ke parpol, maka akan memperkuat parpol, atau kalau tidak bergabung di parpol, masyarakat yang daya kritisnya sudah terbangun, akan jadi pemilih yang cerdas. Kalau relasi berjalan sebagaimana harusnya (dan bukan relasi eksploitatif), maka perubahan di masyarakat akan lebih mudah dicapai. Abdullah dari MATA menyatakan bahwa dampak dari relasi ini yang paling nyata terlihat ialah kelompok masyarakat yang ingin menemui anggota parlemen (politisi) menjadi lebih mudah, jika MATA tidak membangun relasi yang baik dengan parpol maupun person anggota partai, maka susah untuk mengajak mereka turun lansung kemasyarakat untuk melihat permasalahan masyarakat, seperti dalam kasus pembebasan lahan. Meskipun kemudian relasi antara MATA dengan salah satu partai berkuasa di Aceh mengalami keretakan karena terkait dengan permintaan data dana partai tersebut melalui Komisi Informasi Aceh yang ditolak diberikan oleh partai itu ke

152

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

MATA, bahkan mencap lembaga MATA sebagai lembaga antek-antek asing.90 Terakhir, independensinya sebuah institusi baik itu OMS maupun partai politik adalah sejauh mana institusi lembaga tersebut mampu menjalankan visi, misi dan program-programnya sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang ada. Meskipun diantara keduanya mempunyai relasi, namun selam relasi itu bertujuan dan berdampak bagi kepentingan dan kesejahteraan publik maka independensinya tetap terjaga. Namun ketika OMS, dan atau partai politik sekalipun sudah mengadaikan visi, misi dan amanah dari statuta lembaganya, maka disitulah independensi menjadi tiada, yang ada ada dependensi (ketergantungan terhadap lembaga lain, dan bekerja untuk yang mengantungkannya).

90

Abdullah, Program Manager LSM MaTA, 2013

153

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

POSISI OMS TERHADAP DINAMIKA DEMOKRASI DAN PEMERINTAHAN

Bab ini difokuskan untuk mengkaji posisi OMS terhadap dinamika demokrasi dan pemerintahan. Dimana peran dan posisi OMS dalam mewujudkan demokrasi dengan mendorong dan melahirkan kebijakan partai politik secara aktif dan progresif sesuai dengan kebutuhan publik. Kemudian juga melihat peran OMS dalam proses demokrasi melalui pemilihan legislatif dan pemilihan kepala daerah, serta kontribusi OMS dalam mendorong

154

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

kemajuan tata kelola pemerintahan yang baik sesuai dengan prinsip-prinsip good governance.91

6.1. Pengaruh OMS terhadap Kebijakan Partai Politik


Partai politik bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem demokrasi, bahkan menjadi syarat utama mewujudkan dari sistem tersebut. Melalui partai politik kebijakan dibuat dengan mekanisme proses pembuatan produk perundang-undangan. Sehingga keberadaan OMS sangat dibutuhkan guna mengontrol dan mengevaluasi kinerja partai politik yang berada di legislatif, baik secara internal maupun ekstrenal. Pengawasan internal ini dilakukan dengan peran kader OMS yang menjadi politisi partai politik tertentu. Sementara pengawasan eksternal dilakukan dengan kegiatan advokasi melalui public hearing, demontrasi dan kritikan melalui media massa. Secara umum, ada beberapa contoh pengaruh OMS terhadap kebijakan parpol diparlemen, baik ditingkat nasional maupun ditingkat lokal. Setidaknya
91

Prinsip Good Governance antara lain: Akuntabilitas, Pengawasan, Daya Tangkap, Profesionalisme, Efisiensi, Transparansi, Kesetaraan, Wawasan Ke Depan, Partisipasi dan Penegakan Hukum, diunduh dari Komite Nasional Kebijakan Governance, 10 Januari 2014

155

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

ada dua produk hukum yang dilahirkan oleh parlemen dan mempunyai pengaruh advokasi dari gerakan sipil, seperti Undang-undang No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan92 dan UU No.2 tahun 2011 partai politik serta yang terakhir UU Pedesaan93. Sementara di tingkat lokal, OMS berhasil mendorong disahkannya Qanun No.17 tahun 2013 tentang Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh, Qanun No.4 tahun 2010 tentang Tentang Tata Cara Pembentukan Qanun, dan beberapa produk hukum daerah lainnya. Meskipun demikian, gerakan OMS ini belum terbentuk secara masif. Beberapa advokasi kebijakan terhadap partai politik juga lebih mengedepankan relasi personal dibandingkan dengan bergaining position kelembagaan OMS sebagai sebuah komunitas. Seperti halnya advokasi terhadap Qanun KKR, relasi personal aktivis KontraS di parlemen mempunyai pengaruh yang signifikan dalam proses pengesahan qanun tersebut. Hal ini terlepas dari kepentingan Parpol untuk mendapatkan simpati rakyat pada pemilu 2014, namun setidaknya
Wawan Ichwanuddin, Aditya Perdana dan Fransisca Fitri, Masyarakat Sipil dan Kebijakan Publik: Studi Kasus Aktivitas Masyarakat Sipil dalam Mempengaruhi Kebijakan Publik, Jakarta, YAPPIKA, 2006 93 Lihat Siaran Pers Koalisi Penyempurnaan Paket UU Politik tanggal 18 Januari 2008 tentang Pilihan Sistem Pemilu 2009, dapat diakses di www.parlemen.net
92

156

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

peran relasi personal aktivis Kontras dan LBH dengan politisi partai penguasa setidaknya berpengaruh pada pengesahan qanun tersebut. Artinya, peran secara masif keorganisasian belum terbentuk, seperti temuan penelitian ini dimana relasi OMS secra organisasi belum cukup kuat. Meskipun dengan masuknya kalangan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Masyarakat (Ormas) ke partai politik, namun belum mampu mempengaruhi kebijakan partai politik secara masif. Hal ini dikarenakan keberadaan aktivis menjadi kader partai tidak memiliki dukungan dari pihak luar yakni kalangan LSM dan Ormas. Selain itu, beberapa aktivis LSM atau Ormas yang menjadi kader partai politik tidak memback-up ideide gerakan OMS untuk kepentingan publik secara penuh. Disamping juga sikap LSM yang menjaga jarak dengan politisi partai politik secara organisasi, karena khawatir diklaim sebagai underbow partai. Hal ini juga dikatakan oleh Zaini Djalil94, Ketua Partai Nasdem Provinsi Aceh. Menurutnya kebanyakan dari aktivis yang telah menjadi kader partai politik sangat kurang memiliki komitmen melakukan upaya memperjuangkan kebijakan bersumber kepada kebutuhan publik.

94

Tanggal 7 Desember 2013, Pukul 10.20

157

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

...Seharusnya aktivis OMS yang bergabung dalam partai politik mampu menunjukkan ke publik agar publik mengetahui bahwa kader partai berasal dari aktivis serius memperjuangkan aspirasi dari konsistuennya ataupun masyarakat dampingannya. Sebaliknya hal ini tidak terjadi secara penuh, meskipun di Nasdem umumnya berasal dari aktivis OMS Namun pendapat Zaini Djalil ini berbeda dengan pengakuan dari Ketua Umum PNA Irwansyah alias Muksalmina. Ia menyatakan bahwa pengalaman PNA terhadap para aktivis OMS yang menjadi kader di PNA telah banyak berkontribusi dalam merumusakan arah kebijakan partai melalui pemikiran mereka yang jelas, terukur, terarah, dan mereka tetap memiliki konsisten kepedulian terhadap masyarakat.95 Namun demikian, menurut Muksalmina tidak semua ide ataupun pemikiran mantan aktivis yang bertransformasi menjadi kader partai diterima sangat tergantung dari persetujuan forum ketika memutuskan kebijakan di partai tersebut. Dirinya menambahkan, ketika mantan aktivis bergabung menjadi kader partai politik maka bentuk mekanisme partisipasi di internal dengan memberikan kontribusi pemikiran/ide. Bahkan
Wawancara dengan Muksalmina, Ketua Umum Partai Nasional Aceh, 7 Desember 2013
95

158

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

lebih daripada itu, PNA memberikan kesepakatan kepada kader partai berasal dari aktivis menawarkan produk berupa konsep arah kebijakan partai. Dinamika terhadap peran OMS dalam mempengaruhi kebijakan parpol juga terdapat berbagai pandangan. Sebagian menyatakan bahwa untuk mempengaruhi kebijakan parpol tidak harus melakukan tranformasi ke dalam parpol, melainkan cukup diluar partai politik. Hal yang perlu dilakukan hanya membangun komunikasi secara aktif dan progresif dengan partai politik. Dengan demikian kalangan LSM maupun Ormas mampu menunjukan bahwa tidak harus masuk partai pun mampu mendorong perubahan kebijakan di partai politik. Tabel 5: Beberapa contoh peran aktivis OMS terhadap kebijakan pemerintah dan partai politik di Aceh.
Lembaga Achehnese Civil Society Task Force (ACSTF) dan Jaringan Demokrasi Aceh (JDA) Program Pertemuan rutin stakeholder dan komponen masyarakat sipil Menginisiasi perumusan UU Pemerintah Aceh Tujuan 1. Membicarakan terkait permasalahan serta mencari solusi mengatasinya. 2. Mendiskusikan agenda bersama guna mendorong pelayanan publik dan tata kelola

159

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

CARe Aceh

versi Masyarakat Sipil, serta advokasi proses pembentukan RUU sampai ditetapkan menjadi UU No.11 Tahun 2006 (Support Yappika dan DRSP). Pembentukan Forum Komunikasi Partai Politik Dalam Mengatasi Kebutuhan Konstituen (Support International Republican Institute, 2010 dan 2011)

pemerintahan Mengusulkan draf UU No. 11 tahun 2006 versi masyarakat sipil

Forum LSM

1) Advokasi

1. Menjembatani komunikasi intensif antara partai politik dengan konstituennya. 2. Mengidentifikasikan masalah-masalah dan kebutuhan dari konstituennya. 3. Menguat dan meningkatnya akses partisipasi dari berbagai komponen masyarakat sipil dan pihak pihak yang dianggap strategis untuk memenuhi hak dasar rakyat. 1. Memperbaiki kualitas

160

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Aceh

Katahati Institute

Revisi Qanun Pilkada 2) Advokasi Qanun Penyelenggara an Pemerintahan dan Partisipasi Publik 3) Dll. Penguatan Pemilu 2009 Kerja Pelayanan Publik Aceh

demokrasi melalui implementasi pemilu. 2. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak pemilih dalam melaksanakan pemilu.

The Aceh Institute

Penguatan Peran Masyarakat, Bappeda dan DPRK Banda Aceh terhadap pembangunan partisipatif melalui

Program ini mendorong interaksi dan sinergisasi antar kekuatan pemilu, sehingga terpetakannya isu dan kebutuhan dasar masyarakat serta harapannya (masyarakat) kepada partai politik peserta pemilu 2009. Untuk mewujudkan sigernisasi antara kebijakan partisipatif (warga), birokratis (Bappeda) dan politis (partai politik)

161

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Gerak Aceh

program musrenbang Program Penyusunan anggaran APBK yang berbasis gender

Untuk mewujudkan kebijakan partai, khususnya diparlemen dalam pembahasan anggaran yang memperhatikan kebutuhan perempuan diranah social.

Dalam mempengaruhi kebijakan tersebut, OMS akan beririsan (berkorelasi) dengan kepentingan partai politik, dan juga pemerintah. Dengan kondisi seperti itu maka aktivitas LSM dituntut untuk mampu mempengaruhi para politisi diparlemen agar kebijakankebijakan pemerintah harus berorientasi kepada kepentingan publik secara umum. Jika tidak maka peran OMS tidak mampu melahirkansubtansi produk kebijakan sesuai dengan keinginan OMS dan masyarakat sipil secara khusus. Sementara pengaruh secara internal, aktivis OMS yang menjadi pengurus partai politik sangat sulit diwujudkan, khususnya dalam mewujudkan lahirnya prinsip-prinsip good governance secara totalitas. Hal ini dikarenakan posisi aktivis OMS dipartai politik tersandera oleh sistem partai politik yang lebih 162

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

cenderung prakmatis. Salah satu contoh adalah partai Aceh sebagai partai mayoritas di Aceh saat ini, dimana salah satu prinsip good governance, yaitu transparansi dalam hal dana kampanye pemilu tahun 2014 tidak dapat ditunjukkan kepada publik, bahkan permintaan dari LSM MATA melalui proses mediasi ke Komisi Informasi Aceh (KIA) tidak terwujud. Sebaliknya, LSM MATA dituduh sebagai antek-antek asing. Satu-satunya partai politik yang menyerahkan data keuangan secara lengkap dan tepat waktu adalah PKS. Selain itu juga menyerahkan namun tidak selengkap PKS.

163

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Gambar di atas menunjukkan bahwa intervensi OMS terhadap kebijakan partai politik dilakukan melalui posisi di eksternal dan juga diinternal, dimana secara internal para aktivis OMS menjadi bagian dari partai politik. Sementara dari eksternal OMS secara organisasi melakukan proses advokasi-advokasi ke partai politik untuk mempengaruhi kebijakan diparlemen atau dipemerintahan. Dari kedua posisi tersebut, maka posisi ekternal cenderung lebih efektif dalam mempengaruhi kebijakan partai politik di parlemen, dibandingkan dengan intervensi melalui internal partai politik. Kecenderungan posisi eksternal lebih efektif dibandingkan dengan posisi internal karena posisi eksternal posisi OMS lebih independen. Sementara intervensi secara internal, sudah terkontaminasi oleh kepentingan partai politik itu sendiri.

6.2. Pengaruh OMS Demokrasi

terhadap

Pembangunan

Dalam satu dekade (2004-2013) terakhir, Provinsi Aceh sudah berhasil membangun proses politik melalui instrument sistem demokrasi. Mekanisme menjalankannya dengan pemilihan kepala Negara dan daerah serta pemilihan legislatif. Ukuran berhasil tentunya menjadi perdebatan dari kita dan para penggiat demokrasi. Sangat relatif melihat

165

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

kemajuan dan keberhasilan dari upaya OMS membangun nilai-nilai demokrasi di Serambi Mekah. Data Badan Pusat Statistik Indonesia tentang Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2010, menunjukkan skor IDI keseluruhan Indonesia, posisi Provinsi Aceh secara umum memperoleh nilai 65,36. Berdasarkan aspek kebebasan sipil Aceh mendapatkan nilai 69,98, aspek hakhak politik nilainya 62,63, dan aspek lembaga demokrasi nilainya 63,87. Berpedoman pada data tersebut maka posisi Demokrasi di Aceh berada di tengah-tengah (aman). Berkembang demokrasinya tapi tidak terlalu maju. Meskipun demikian data dari KIP tahun 2012 menunjukkan partisipasi pemilih dalam pemilukada mencapai 76% dari total penduduk yang berhak memilih. Artinya kesadaran berdemokrasi di Aceh paska damai cenderung baik. Keberadaan OMS Aceh berkontribusi besar mendorong dan mewujudkan pembangunan demokrasi dibuktikan tersebut, salah satunya adalah pembentukan Jaringan Demokrasi Aceh96. Salah satu tujuannya memperjuangkan Undang-undang Pemerintah Aceh sesuai
Proses ini dilakukan oleh beberapa LSM yang bergabung dalam Jaringan Demokrasi untuk Aceh atau dikenal dengan istilah JDA. Jaringan ini dibentuk dan diinisiasi oleh beberapa aktivis dan didukung oleh beberapa tokoh sipil lainnya. LSM yang tergabung dalam JDA antara lain: The Aceh Institute, ACSTF, KMPD, Kontras Aceh, Koalisi NGO HAM, Flower, Mispi, APF, Forum LSM Aceh, SoRAK Aceh, Lappeka, KKP Aceh, PDRM, Forum Akademisi Aceh, Katahati Institute, Yappika, Cetro, LSAM, KontraS, Imparsial, Perkumpulan Demos, Aceh Kita, HRW, dan Konsorsium Aceh Baru (KAB)
96

166

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

dengan MoU Helsinki dan kepentingan masyarakat Aceh serta menyukseskan pembangunan demokrasi di Aceh. Kesadaran masyarakat sipil dalam membangun dan mengkonsolidasikan demokrasi juga tidak terlepas dari pendidikan demokrasi yang dilakukan oleh berbagai lembaga demokrasi internasional dan nasional. Peran lembaga trans-nasional tersebut secara langsung telah membentuk karakter demokrasi secara lokal di Aceh. Bahkan pembentukan partai lokal di Aceh menjadi contoh proses demokrasi yang lebih maju dan otonom dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Hal ini menjadi peluang bagi publik untuk mengisi instrumen yang sudah terbentuk ini agar lebih terisi lagi dengan nilai-nilai good governance dan humanis. Selain itu kerja-kerja OMS untuk melahirkan system demokrasi yang baik dilakukan sejak Aceh masih dalam kondisi konflik, baik pada masa DOM, Darurat Militer, Darurat Sipil dan pada masa paska perjanjian perdamaian pada 15 Agustus 2005. Program pengawasan pemilu yang dilakukan oleh Forum LSM sejak tahun 1990 sampai sekarang, dan juga oleh beberapa LSM lainnya adalah bukti peran OMS dalam mewujudkan pelaksanaan demokrasi di Indonesia, khususnya di Aceh. Disamping program pemilu legislatif dan pemilu presiden, namun dalam pelaksanaan pemilukada, OMS di Aceh juga turut serta dalam mengawasi proses 167

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

pelaksanaannya, seperti dilakukan oleh The Aceh Institute dalam kegiatan pemantauan pemilukada tahun 2012. Dalam pemantauan tersebut ditemukan berbagai bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh para pendukung kandidat tertentu. Laporan ini kemudian disampaikan kepada Panwaslu, KIP dan media massa sebagai bentuk kontrol dan dukungan bagi penyelengara pemilu. Selain itu, The Aceh Institute juga secara berkelanjutan membangun demokrasi melalui penulisan artikel populer tentang perkembangan politik dan demokrasi di Aceh yang dipublikasikan diwebsitenya. Disamping juga berbagai penelitian terkait dengan pembangunan demokrasi di Aceh, seperti penelitian hasil kerjasama dengan ICLD Sweden dengan topic Ruang Demokrasi di Aceh Selatan. Pembangunan demokrasi di Aceh juga dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan pendidikan politik bagi warga, juga bagi calon legislatif. Salah satu OMS yang aktif melaksanakan pendidikan politik adalah Sekolah Demokrasi Aceh Utara (SDAU), di bawah dukungan Kemitraan AusAID, SDAU secara konsisten melaksanakan program pendidikan politik secara berkelanjutan.

6.3. Posisi OMS dalam Dinamika Pemilu 2014


Pesta demokrasi, pemilihan umum pada 9 April 2014 akan memilih calon legislatif baik untuk DPR-RI, DPRA, DPRK maupun DPD. Setidaknya terdapat 15 partai politik yang akan bertarung, dan 3 diantaranya adalah partai 168

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

lokal, yaitu Partai Aceh, Partai Damai Aceh dan Partai Nasional Aceh. Pelaksanaan pemilu ini sangat menentukan arah pembangunan Indonesia, dan Aceh secara khusus untuk lima tahun berikutnya. Sehingga peran semua pihak, baik pemerintah, penyelengara pemilu, organisasi masyarakat sipil dan juga pemilih sangat menentukan kesuksesan dan keberhasilan pelaksanaan pemilu tersebut. Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah mewujudkan pemilu yang demokratis, bersih, jujur dan damai. Dalam konteks konteks, geo-politik pada pemilu 2014 berbeda dengan kondisi pemilu sebelumnya yaitu pemilu 2009. Hal ini dikarenakan partai politik yang bertarung berbeda, calon anggota legislatif yang ikut serta pun banyak yang baru, serta perubahan kekuatan-kekuatan politik yang terjadi baik secara nasional maupun ditingkat lokal. Selain itu terdapat dinamika baru terkait dengan politik ditingkat lokal. Dimana partai Aceh sebagai pemenang mayoritas pada pemilu 2009, mendapat rival baru yaitu partai Nasional Aceh yang merupakan perpecahan dari partai Aceh. Hal ini secara tidak langsung akan mempengaruhi posisi dan kekuatan partai Aceh ditingkat komunitas, khususnya di daerah basis GAM. Karena PNA juga merupakan partai yang didirikan oleh mantan kombatan GAM. Namun dengan adanya koalisi antara partai Gerindra dengan partai Aceh akan membuat partai Aceh akan 169

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

mendapatkan dukungan baru, khususnya dukungan secara geo-politik nasional dan juga dukungan secara ekonomi. Sebagaimana diindikasikan bahwa Partai Aceh mendapat dukungan dana dari Prabowo pada pemilukada tahun 2012 mencapai 50 milyar.97 Selain itu, dengan jumlah anggota mencapai 33 orang di DPRA dan sejumlah lainnya di berbagai kabupaten/kota, dukungan dana melalui dana aspirasi juga akan memperkuat logistik dana kampanye para calon legislatif incumbent untuk pemilu yang akan datang. Meminjam istilah Sutoro bahwa dana aspirasi ini sering dijadikan sebagai pork barrel (kentong babi) yang menjadi pemancing pemilih agar memilihnya. Istilah lain adalah vote-buying akan menjadi fenomena masif dilakukan melalui mekanisme dana aspirasi ini. Selain itu, dana aspirasi juga seringkali dimanfaatkan oleh organisasi sipil yang menjadi sayap dari partai politik tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung. Dimana sulit sekali mengidentifikasi lembagalembaga yang bekerja secara langsung terhadap kepentingan partai politik tertentu dengan kompensasi dana aspirasi tersebut. Penelitian ini menemukan bahwa relasi OMS terhadap partai politik menjelang pemilu sangat mungkin
Inilah.com, Partai Aceh Dapat Subsidi 50 M dari Prabowo, http://sindikasi.inilah.com/read/detail/1845933/partai-aceh-dapatsubsidi-rp50-m-dari-prabowo
97

170

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

terjadi, baik karena relasi personal dengan calon tertentu ataupun relasi karena mendaptkan kompensasi ekonomi. Namun relasi OMS yang bukan underbow partai secara langsung dengan partai politik sulit dibuktikan. Hal ini dikarenakan jika relasi dibangun secara organisasi, maka akan merugikan kredibilitas OMS sekaligus melahirkan stigma buruk dikalangan OMS itu sendiri. Hal inilah yang menyebabkan beberapa aktivis OMS yang bergabung dengan partai politik tidak mendapat sokongan dan dukungan dari organisasi OMS meskipun tempat ia belajar berorganisasi atau tempat ia pernah menjabat sebagai pemimpin di organisasi sipil tersebut. Meskipun demikian, dukungan secara personal terhadap kandidat tertentu dari partai politik tertentu menjadi fenomena yang terus berkembang dalam proses pemilu. Dukungan secara personal adalah hak konstitusi, selama tidak mengiring institusi dalam dukungan sektoral tersebut. Maka hal demikian tidak berdampak secara langsung terhadap orientasi institusi OMS sendiri, dimana personal tersebut aktif dalam institusi itu. Meskipun demikina, beberapa OMS yang dibentuk secara khusus, sengaja dan atau didukung oleh politisi tertentu, baik langsung maupun tidak langsung. Maka yang mempunyai agenda dukungan secara langsung terhadap politisi tersebut adalah OMS yang menjadi bagian dari underbow partai atau politisi dari partai politik tersebut.

171

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Gambar 8: Posisi OMS dalam Pemilu 2014

Gambar di atas menunjukkan bahwa secara umum posisi OMS yang membangun afiliansi dengan partai politik secara organisatoris hanyalah OMS yang masuk dalam kategori undebow partai, atau organisasi yang dibentuk secara langsung oleh pengurus dan atau partai politik itu sendiri. Beberapa partai politik mempunyai sayap digerakan social, seperti Ormas Nasdem miliknya partai Nasdem, ormas SATRIA (Satuan Relawan Indonesia Raya) yaitu organisasi sayap dari partai Gerindra, atau organisasi Persatuan Masyarakat Indonesia (Perindo) yang bekerja untuk kepentingan partai Hanura, dll. Sementara untuk wilayah Aceh terdapat beberapa organisasi sipil yang secara nyata bekerja untuk 172

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

kepentingan partai politik lokal. PA (Partai Aceh) misalnya didukung oleh KPA (Komite Peralihan Aceh) yang juga merupakan sayap politik dari PA, selain itu juga terdapat juga organisasi yang mempunyai afiliansi secara tidak langsung seperti FoPKRA (Forum Perjuangan Keadilan Rakyat Aceh), KMPA (Komite Mahasiswa Pemuda Aceh), GISA (Gerakan Intelektual Seluruh Aceh), dll. Sementara PNA (Partai Nasional Aceh) juga didukung oleh organisasi underbow dan menjadi sayap politik PNA yang dinamakan dengan TNA (Tameng Nasional Aceh) yang didalamnya merupakan kumpulan dari mantan kombatan GAM. Artinya, TNA adalah replika dari KPA sekaligus menjadi lawan dalam mempertahankan eksistensi partainya masing-masing. Sedangkan partai lokal lainnya yaitu PDA (Partai Damai Aceh) tidak mempunyai organisasi sipil secara khusus yang merupakan sayap politik partainya. Melainkan relasi dibangun karena adanya kesamaan ideologi, seperti dengan HUDA (Himpunan Ulama Dayah Aceh), dan RTA (Rabithah Thaliban Aceh). Relasi ini juga terbentuk karena pengurus teras dari partai ini umumnya berasal dari kedua organisasi tersebut.

173

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Gambar 9: Contoh Surat Dukungan Organisasi Masyarakat Sipil terhadap Kepentingan Partai Politik Tertentu
Pernyataan dukungan koalisi gerakan masyarakat sipil Aceh Jakarta
Written By Partai Aceh on Sabtu, 24 Maret 2012 | 11.45

PERNYATAAN DUKUNGAN KOALISI GERAKAN MASYARAKAT SIPIL ACEH JAKARTA KEPADA Dr. ZAINI ABDULLAH DAN TGK. MUZAKKIR MANAF

Kami segenap jajaran dan jaringan gerakan organisasi sipil, organisasi masyarakat, organisasi mahasiswa, organisasi pemuda dan sosial masyarakat yang ada di Aceh dan Jakarta atas nama FOPKRA (Forum Perjuangan Keadilan Rakyat Aceh), FORKAB (Forum Komunikasi Anak Bangsa), PETA (Pembela Tanah Air), IPTR (Ikatan Pemuda Tanah Rencong) JAWA BARAT, Organisasi Lingkungan Hidup BALE JURONG, KMPA (Komite Mahasiswa Pemuda Aceh), LIRA (Lumbung Informasi Rakyat Aceh), KoLSA (Koalisi Lembaga Sipil Aceh), KMPAN (Komite Mahasiswa Pemuda Aceh Nusantara), ABA (Aliansi Budayawan Aceh), menyatakan sikap sebagai berikut : 1. Mendukung dan memperjuangkan pemenangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur pasangan Dr. Zaini Abdullah dan Tgk. Muzakkir Manaf periode 2012-2017, dimana Dr. Zaini Abdullah adalah sebagai penandatanganan MoU Helsinki, yang merupakan lambang rakyat Aceh di mata masyarakat Nasional dan Internasional. Seterusnya, Tgk. Muzakkir Manaf merupakan simbol pemersatu dan perdamaian rakyat Aceh di masa akan datang.

174

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

2. Mendukung pelaksanaan Pemilukada Aceh 2012 secara damai, adil, sehat, demokratis dan berkualitas. Prinsip-prinsip ini perlu disadari dan menjadi komitmen bersama agar perjuangan dan perdamaian yang diidamkan-idamkan rakyat Aceh dapat dapat terwujud. 3. Meminta kepada seluruh pendukung pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Dr. Zaini Abdullah dan Tgk. Muzakkir Manaf agar menjaga dan menjamin seluruh rangkaian pemilukada berlangsung tertib, aman, mewaspadai aksi curang, tidak mudah diprovokasi bertindak anarkhis dan menjaga ukhuwah islamiyah. 4. Menyerukan kepada seluruh masyarakat Aceh khususnya semua pemilik hak pilih agar secara aktif memperjuangkan dan mempergunakan hak pilihnya untuk memenangkan pasangan Dr. Zaini Abdullah dan Tgk. Muzakkir Manaf baik pada hari H pelaksanaan pemilukada, serta aktif melakukan pengawalan dan pengamanan kotak suara sampai perhitungan suara dinyatakan selesai lengkap di setiap TPS (Tempat Selain itu, posisidan OMS yang paling rentan adalah Pemungutan Suara) 5. Meminta kepada seluruh pendukung pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Dr. Zaini Abdullah dan Tgk. Muzakkir Manaf menjadikan Pemilukada 2012 ini sebagai momentum rekonsiliasi dan penyelamat perdamaian yang abadi. Semua organisasi yang masing-masing memiliki jaringan di setiap dikabupaten/kota se-Aceh ini agar benar-benar siap berada digarda terdepan untuk PERJUANGAN dan PERDAMAIAN ACEH. Demikian dukungan ini kami nyatakan untuk dijalankan dengan jujur, amanah, ikhlas dan penuh tangggungjawab.
Banda Aceh, 17 Maret 2012. Tertanda, Fazloen Hasan (FOPKRA); Sarbini (FORKAB); Syukur Kobar (PETA); Bakhtiar Rusli (IPTR JAWA BARAT); El-Amin (BALE JURONG); Cut Lem (LIRA); Safrijal (KMPA); Sulaiman Daud (KoLSA); Rasyidin (KMPAN); Samsul Bahri (ABA);

175

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

OMS yang tidak mempunyai managemen dan atau tidak mempunyai eksistensi secara kelembagaan dalam kerja-kerja publik yang baik. Lebih konkret, OMS yang eksistensinya sangat tergantung kepada ketua/ direktur/ pimpinan/ sekjen-nya semata. Sebaliknya, tidak ada fungsi kontrol terhadap kepemimpinannya baik oleh manajemen maupun oleh pembina/ pengawasnya atau bahkan tidak ada manajemen sama sekali, sementara organisasi tersebut identik dengan ketuanya. Kondisi ini menyebabkan organisasi yang dipimpinnya sering menjadi bagian dari pilihan politik dari ketuanya. Maka beberapa kategori OMS, seperti yang disebutkan dalam UU No.17 tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat (Ormas) yaitu organisasi berbadan hukum, seperti Yayasan dan Perkumpulan/LSM, serta organisasi tidak berbadan hukum, yaitu organisasi yang proses pendiriannya tidak didasarkan kepada keputusan Menteri Hukum dan HAM, namun teregistrasi di Notaris dan Kesbangpol dan Linmas masing-masing kabupaten/kota tempat organisasi tersebut terbentuk. Dari kedua bentuk tersebut, maka keduanya mempunyai potensi untuk mendukung salah satu atau lebih partai politik tertentu secara klientalistik (saling menguntungkan) dan atau participatory (berpihak kepada kepentingan publik). Namun organisasi yang termasuk kategori organisasi yang tidak berbadan hukum lebih rentan menjadi organisasi yang dieksploitasi oleh partai politik 176

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

untuk kepentingannya, dan atau mengeksploitasi98 partai politik atas dasar saling menguntungkan. Kecenderungan organisasi bukan badan hukum karena proses pendiriannya lebih cepat, praktis dan tidak membutuhkan biaya yang besar seperti halnya mendirikan Yayasan. Bahkan tidak sedikit organisasi tidak berbadan hukum ini didirikan oleh para politisi99 untuk dapat mengambil dana aspirasi melalui skema dana hibah. Organisasi-organisasi seperti ini umumnya tidak masyhur bagi publik, bahkan ada yang tidak diketahui alamatnya. Namun pastinya organisasi ini akan bekerja untuk kepentingan tuannya dalam mempengaruhi pemilih atau setidaknya komunitasnya. Sebaliknya organisasi berbadan hukum, termasuk LSM yang pembentukannya tidak dibentuk oleh politisi dana atau pertai politik tertentu cenderung akan independen dan menjadi bagian dari posisi check and balance terhadap pemerintah, partai politik, dan terhadap proses pelaksanaan pemilu di Aceh, Indonesia.

Mengeksploitasi partai politik yang dimaksud di sini adalah membangun relasi dengan lebih dari satu partai politik untuk mendapatkan keuntungan secara material (double or triple relationship) 99 Para politisi (legislator) membentuk berbagai organisasi tidak berbadan hukum, di mana kepengurusannya terdiri dari tim suksesnya dan atau ralasi politiknya. Organisasi ini mendapat bantuan dana hibah dari sumber dana aspirasi mereka (dewan)

98

177

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

PENUTUP

7.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat disimpulkan dari temuan penelitian ini, yaitu: 1) Secara umum, relasi yang dibangun oleh OMS terhadap partai politik di Aceh adalah berbentuk relasi participatory (partisipatif dan mendorong kepada kebijakan yang didasarkan kepada kepentingan masyarakat) dan beberapa lainnya mempunyai relasi klientalistik (relasi yang dibangun atas dasar saling menguntungkan). Adapun bentuk participatory yang terjadi adalah berupa tindakan advokasi kebijakan pemerintah melalui anggota dewan di parliamen dari berbagai partai politik yang 178

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

ada. Salah satu contohnya adalah advokasi terkait dengan UUPA, Qanun KKR, Qanun Jinayat, Qanun Tata Cara Pembentukan Qanun, Qanun Komisi Informasi Aceh, Qanun Kesehatan, Qanun Pendidikan, Qanun Perlindungan dan lainya. Sedangkan relasi klientelistik yaitu dengan cara menjadi bagian dari kerja-kerja partai politik yang dilakukan secara aktif untuk kepentingan partai en sich. Relasi ini juga terbentuk karena adanya kepentingan kekuasaan dan ekonomi. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa OMS yang menerima bantuan langsung dari partai politik tertentu dan bekerja untuk memperkuat posisi tawar partai politik di tingkat komunitas 2) Beberapa aktivis OMS yang melakukan migrasi dari gerakan sipil ke gerakan politik dipengaruhi oleh beberapa factor, diantaranya faktor relasi personal aktivis sipil dengan fungsionaris partai politik, faktor kebutuhan eksistensi diri dan finansial, faktor untuk memperkuat kapasitas personal dalam hal perpolitikan, dan faktor upaya untuk merubah kebijakan pemerintah melalui pencalonan menjadi anggota legislatif. Dari keseluruhan faktor tersebut di atas, yang paling dominan adalah faktor menjaga eksistensi dan mendapatkan financial serta beberapa lainnya adalah upaya untuk merubah kebijakan menjadi lebih baik. 179

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Namun demikian, melihat fenomena dari performance anggota legislatif di Aceh saat ini yang pernah aktif diberbagai organisasi sipil belum terlihat adanya anggota yang kritis-konstruktif terhadap tata kelola pemerintah yang belum didasarkan kepada prinsip good government secara totalitas. 3) Relasi yang dibangun oleh beberapa LSM aktif, khususnya di kota Banda Aceh dengan partai politik adalah relasi yang berbentuk partisipatory, yaitu mempengaruhi kebijakan pemerintah dan anggota legislative secara kritis-konstruktif, baik dalam perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan. 4) Beberapa organisasi sipil lainnya, khususnya organisasi tidak berbentuk badan hukum dan didirikan oleh kepentingan partai politik tertentu cenderung menjadi organisasi underbow dan bekerja untuk kepentingan partai politik tertentu secara tidak langsung ditingkat komunitas, namun umumnya organisasi ini tidak mengakui secara terbuka sebagai underbownya partai politik tertentu. Relasi ini seperti dikatakan Sutoro adalah bentuk relasi malumalu.

180

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

7.2. Rekomendasi
Ada beberapa rekomendasi yang dapat dijadikan sebagai bahan untuk evaluasi bagi seluruh stakeholders dalam upaya meningkatkan peran OMS sebagai salah satu pillar demokrasi di Indonesia, antara lain: 1) Perlunya konsolidasi kembali gerakan OMS yang didasarkan kepada prinsip-prinsip demokratis, independensi, mandiri, kritis, dan partisipatif serta komitmen terhadap agenda-agenda perubahan negara ke arah yang lebih baik 2) Perlunya pembuatan grand desain gerakan sipil dalam upaya memperkuat demokrasi dan pembangunan di Aceh paska pemilu 2014 yang didasarkan pada visi-misi dan orientasi gerakan sipil secara integratif, baik melalui gerakan organisasi sipil, maupun melalui anggota legislatif yang mempunyai background aktivis sipil. 3) Perlunya penguatan kapasitas OMS dari berbagi segi, baik secara managerial, financial maupun pengkaderan terhadap kerja-kerja yang lebih kritiskonstruktif, partisipatif dan kontinuitif. 4) Perlunya agenda bersama OMS dalam mewujudkan demokrasi yang lebih baik tanpa adanya kecurangan dan kekerasan, serta mendorong terbentuknya pengelolaan pemerintahan yang sesuai dengan prinsip-prinsip good governance.

181

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

5) OMS harus membangun sektor-sektor ekonomi dan orientasi politik yang lebih mandiri untuk melahirkan fungsi check and balance terhadap political society, baik dilegislatif maupun dieksekutif sesuai dengan konteks demokrasi dan perundang-undangan yang berlaku.

182

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

DAFTAR PUSTAKA
Alistair Clark, Political Parties in the UK, (United Kingdom: Palgrave Macmillan), 2012. Azwan Hasan, People to People, an alternative way of delivering humanitarian aid, Humanitarian Practice Network, December 2005. Andi Widjajanto, dkk. Transnasionalisasi Masyarakat Sipil. (Jogjakarta: LkiS), 2007. Ahmad Ainur Rohman, Politik, partisipasi, dan demokrasi dalam pembangunan, (Jakarta: Program Sekolah Demokrasi), 2009. Alkaf, Pasang Surut Gerakan Politik di Aceh (Studi Kasus Power Movement Referendum Aceh 1998-1999), Thesis tidak dipublikasi, 2012. Aditya Perdana, Civil Society dan Partai Politik dan Demokratisasi di Indonesia, disampaikan pada Seminar Internasional Dinamika Politik Lokal di Indonesia, Salatiga, 28-30 Juli 2009. Afrizal Tjoetra, Delapan tahun tsunami dan matinya ratusan LSM di Aceh, http://www.bisnisaceh.com, Rabu, 26 Desember 2012. AJNN, Diminta Dana Anggaran Partai, Partai Aceh Tunding MATA antek-antek Asing, diunduh dari http://www.ajnn.net/2013/11/diminta-data-anggaran-

183

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

partai-aceh-tuding-mata-mata-mata-asing/ Januari 2014.

pada

Aryos Nivada, Pemetaan Political Marketing Partai Nasional dan Partai Lokal Pada Pemilu 2009 di Provinsi Aceh, (Jakarta: Universitas Atmajaya dan UNDP), 2013. Budi Setyono, Pengawasan Pemilu oleh LSM, diterbitkan oleh Suara Merdeka, 15 Oktober 2003, diunduh 12 November 2013 Chairul Fahmi, (ed), Aceh Pasca MoU, Reformasi Keamanan, Peradilan dan KKR di Aceh, (Banda Aceh:The Aceh Institute), 2011. Chairul Fahmi & Sudarman (Ed), Kekerasan dalam Demokrasi, (Banda Aceh:The Aceh Institute & Forum LSM Aceh), 2012. Carl J.Friedrich, Definisi Partai Politik, diunduh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_politik, pada 15 Desember 2013. Carl Gershman, The Relationship of Political Parties and Civil Society,. (Washington: National Endowment for Democracy, Supporting freedom around the world), 2004. Dennis Compton Canterbury, Neo-Liberal Democratization and New Authoritarianism, (England: Ashgate Publishing Limited), 2005.

184

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Fazloen Hasan, Gerakan Mahasiswa 1998 dan Penyelamatan MoU Helsinki untuk Damai Aceh, The Globe Journal, 22 Agustus 2013. Forum LSM Aceh, Database Anggota Forum LSM Aceh, 2013. Farah Monika,. Bentuk Organisasi Masyarakat Sipil dan Tantangan Global, Resensi Artikel karya Helmut Anhier dan Nuno Themudo, diterbitkan oleh Jurnal CIVIC, (Jakarta: Fisip UI), 2003. Ghia Nodia, Civil Society Development in Georgia: Achievements and Challenges, Policy Paper, (Tbilisi: Caucasus Institute for Peace, Democracy and Development), 2005. Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka), 2008. Helmut K Anheir,. How to measure Civil Society, (London: Economic and Political Science Journal), 2005. Inilah.com, Partai Aceh Dapat Subsidi 50 M dari Prabowo, diunduh dari http://sindikasi.inilah.com/read/detail/ 1845933/partai-aceh-dapat-subsidi-rp50-m-dariprabowo James James N. Sater, Civil Society and Political Change in Morocco, (USA: New York), 2007. Kay Lawson & David Clark, Political Parties and Linkage: A Comparative Perspective, (Oxford: Oxford Universities), 2009. 185

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Ketut Suwando, Pluralitas Civil Society dan Upaya Demokratisasi Lokal, dalam Jurnal Analisis Sosial, vol.7 No.2, tahun 2002., hlm.23 Kemendagri daftarkan perkara ke MK terkait Tahapan Pemilukada Aceh, Serambi Indonesia, 15 Desember 2011. Luiz Carlos Bresser-Pereira, State, Civil Society and Democracy Ligitimacy dalam http://webcache. googleusercontent.com/, diunduh pada 12 Desember 2014. Lester M. Salamon & Helmut K.Anheier, Social Origins for Civil Society Explaining The Non-Profit Sector Cross Nationality, Working Paper, (The John Hopkins University, Institute for Policy Studies), 1996. Lester M.Salamon & Helmut K.Anheier, The Emerging Non-Profit Sector, (Manchester: Mancherter University Press), 1996. Larry Diamond, Civil Society and Development of Democracy, Working Paper, 2007. Larry Diamond, Developing Democracy Toward Consolidation, (Yogyakarta. IRE Press), 2003.

Lili Hasanuddin, dkk., Hasi riset Indeks Indeks Masyarakat Sipil Indonesia 2006: Jalan (Masih) Panjang Menuju Masyarakat Sipil, Yappika, Jakarta, 2006

186

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Mohamad Burhanudin, Paradoks Demokrasi Aceh dan Problem Rekonsiliasi, http://regional.kompas.com., 2011. Mariam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama), 2007. Moh.Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Galia Indonesia), 2011. Nanna Thue, dkk, Report of a study on Civil Society in Uganda, NORAD, 2002. Otho H. Hadi, Peran Masyarakat Sipil Dalam Proses Demokratisasi, diterbitkan oleh Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol.14. No.2 Desember 2010. Pasal 1 ayat (1) UU No.2 tahun 2011 tentang Partai Politik Robert Teigrob, The Politics of Linkage: Power, Interdependence, and Ideas in Canada-US Relations, Canadian Public Policy Volume 37, Number 1, March/mars 2011. Sahya Anggara, Ruang Politik Hubungan Aktivisme Civil Society dan Pemerintah dalam Mengembangkan Tata Pemerintahan Demokratis, diunduh dari https://www.academia.edu pada 2 November 2013 Saiful Mahdi, Dkk. Ruang Demokrasi di Aceh Selatan, (Banda Aceh: The Aceh Institute), 2011.. Suara Pembaharuan, Gerak Desak KPK Usut Korupsi di Aceh,http://www.suarapembaruan.com/home/gerakdesak-kpk-usut-korupsi-di-aceh/7391, pada 5 Januari 2014. 187

RELASI OMS DENGAN PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

Sutoro Eko,. Masyarakat Sipil Mendemokrasikan Daerah, Program Acehnesse Civil Society Organization Strengthening ANCORS, (Jakarta:CIDA dan Yappika), 2009. Sutoro Eko, Pelajaran dari Aceh: Masyarakat Sipil Mendemokrasikan Daerah, (Jakarta: Yappika), 2009. Saiful Mahdi, LSM di Aceh dianggap Kurang Professional, http://theglobejournal.comsosial/lsm-diacehdianggap-kurang-profesional/index.php, 2012. Sutoro, dkk. Masyarakat Sipil Mendemokrasikan Daerah, Pembelajaran Penguatan Kapasitas Organisasi Masyarakat Sipil di Aceh, Jakarta: Yappika, 2009 Tim Salemba Tengha, Mengawal Demokrasi: Pengalaman Jaringan Demokrasi Aceh dan RUUPA, (Jakarta:Yappika), 2007 Wawan Ichwanuddin, Aditya Perdana dan Fransisca Fitri, Masyarakat Sipil dan Kebijakan Publik: Studi Kasus Aktivitas Masyarakat Sipil dalam Mempengaruhi Kebijakan Publik, (Jakarta, YAPPIKA), 2006.

188

Anda mungkin juga menyukai