Disusun Oleh: Fahrizal Alaydrus Mia Audiana Liza Syafitri Guido Dwi Admojo Syarif Nasrullah Ayu Arini Ade Supriyatno D14112001 D14112013 D14112015 D14112018 D14112023 D14112027 D14112032
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2013
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt karena atas rahmat dan hidayah-Nya lah makalah mengenai Etnis Tionghoa Dalam Keberagaman Etnis Di Kalimantan Barat ini dapat diselesaikan. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Robby sebagai dosen Mata Kuliah Pengelolaan Lingkungan Biologi, yang telah memberikan arahan dalam penyusunan makalah ini. Dalam makalah ini kami memaparkan beberapa informasi mengenai perkembangan etnis Tionghoa di Kalimantan Barat yang sumbernya kami ambil dari beberapa situs di internet yang cukup terpercaya, beserta berdasarkan hasil pengamatan kami sebagai bagian dari masyarakat Kalimantan Barat. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya. Kami menyadari begitu banyak kekurangan pada makalah yang kami susun ini. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan di waktu yang akan datang.
Penyusun
DAFTAR ISI
ii iii
Tujuan Pembahasan .... 2 Bab II Bab III Kesimpulan Penutup .. Daftar Pustaka
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
membuat
masyarakatnya menjadi amat perlu untuk menanamkan sikap toleransi antar etnis karena masing-masing memiliki budaya dan latar belakang yang berbeda, sehingga sebagai masyarakat yang baik kita perlu untuk menghilangkan atau setidaknya memperkecil gesekan-gesekan yang mungkin timbul. Salah satunya dengan membuka diri dan mengamati, sehingga kita dapat memahami dan tidak bersikap tertutup dengan apa yang terjadi di sekitar kita sehingga dapat membuat kita menjadi lebih bijak dalam hidup bersosial. Masyarakat Etnis Tionghoa adalah salah satu bagian dari keragaman etnis yang ada di Kota Pontianak, yang pada saat ini telah berkembang dengan cukup pesat dari beberapa aspek yang langsung dapat dilihat oleh masyarakat. Sehingga pada makalah ini akan dibahas mengenai Etnis Tionghoa dalam keberagaman Etnis di Kalimantan Barat. 1.2 Rumusan Masalah Apa yang dimagsud dengan etnis ? 1.3 Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Istilah Etnik dan Etnis Pada awalnya istilah etnik hanya digunakan untuk suku-suku tertentu yang
dianggap bukan asli Indonesia, namun telah lama bermukim dan berbaur dalam masyarakat, serta tetap mempertahankan identitas mereka melalui cara-cara khas mereka yang dikerjakan, dan atau karena secara fisik mereka benar-benar khas. Misalnya etnik Cina (Tionghoa), etnik Arab, dan etnik Tamil-India.
Perkembangan belakangan, istilah etnik juga dipakai sebagai sinonim dari kata suku pada suku-suku yang dianggap asli Indonesia. Misalnya etnik Bugis, etnik Minang, etnik Dairi-Pakpak, etnik Dani, etnik Sasak, dan ratusan etnik lainnya. Malahan akhir-akhir ini istilah suku mulai ditinggalkan karena berasosiasi dengan keprimitifan (suku dalam bahasa inggris diterjemahkan sebagai tribe), sedangkan istilah etnik dirasa lebih netral. Istilah etnik sendiri merujuk pada pengertian kelompok orang-orang, sementara etnis merujuk pada orang-orang dalam kelompok. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnik berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi. Menurut FrederichBarth (1988) istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya. Kelompok etnik adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang : Dalam populasi kelompok mereka mampu melestarikan kelangsungan kelompok dengan berkembangbiak. Mempunyai nila-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa
kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain. Definisi etnik diatas menjelaskan pembatasan-pembatasan kelompok etnik yang didasarkan pada populasi tersendiri, terpisah dari kelompok lain, dan menempati lingkungan geografis tersendiri yang berbeda dengan kelompok lain. Seperti misalnya, etnik Minang menempati wilayah geografis pulau Sumatera bagian barat yang menjadi wilayah provinsi Sumatera Barat saat ini dan beberapa daerah pengaruh di provinsi sekitar. Lalu etnik Sunda menempati wilayah pulau jawa bagian barat. Dan etnik Madura menempati pulau madura sebagai wilayah geografis asal. Sebuah kelompok etnik pertama kali diidentifikasi melalui hubungan darah. Apakah seseorang tergabung dalam suatu kelompok etnik tertentu ataukah tidak tergantung apakah orang itu memiliki hubungan darah dengan kelompok etnik itu atau tidak. Meskipun seseorang mengadopsi semua nilai-nilai dan tradisi suatu etnik tertentu tetapi jika ia tidak memiliki hubungan darah dengan anggota kelompok etnik itu, maka ia tidak bisa digolongkan anggota kelompok etnik tersebut. Seorang batak akan tetap menjadi anggota etnik batak meskipun dalam kesehariannya sangat jawa. Orang Jawa memiliki perbendaharaan kata untuk hal ini, yakni durungjawa (belum menjadi orang jawa yang semestinya) untuk orang-orang yang tidak menerapkan nilai-nilai jawa dalam keseharian mereka. Dan menganggap orang dari etnik lain yang menerapkan nilai-nilai jawa sebagai njawani (berlaku seperti orang jawa) (Suseno, 2001). Meskipun demikian orang itu tetap tidak dianggap sebagai orang Jawa. Pada saat anggota kelompok etnik melakukan migrasi, sering terjadi keadaan dimana mereka tercerabut dari akar budaya etniknya karena mengadopsi nilai-nilai baru. Demikian juga dengan bahasa, banyak anak-anak dari anggota kelompok etnik tertentu yang merantau tidak bisa lagi berbahasa etniknya. Akan tetapi mereka tetap menganggap diri sebagai anggota etnik yang sama dengan
orangtuanya dan juga tetap diakui oleh kelompok etnikya. Jadi, keanggotaan seseorang pada suatu etnik terjadi begitu saja apa adanya, dan tidak bisa dirubah. Tidak bisa seorang etnis Sunda meminta dirubah menjadi etnis Bugis, atau sebaliknya. Meskipun orang bisa saja memilih untuk mengadopsi nilai-nilai, entah dari etniknya sendiri, dari etnik lain, ataupun dari gabungan keduanya. 2.2. Etnik Tionghoa di Indonesia Sebutan Tionghoa atau etnik China di Indonesia, bukan sebutan yang aneh bagi pendengarnya, artinya orang Tionghoa atau etnik China sudah menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Orang-orang Tionghoa yang hidup turun temurun di Indonesia hingga saat ini memang bukan generasi dari imigran Tionghoa yang masuk ke Indonesia dalam jumlah besar sekaligus. Mereka berimigrasi ke Indonesia dalam bentuk kelompok-kelompok kecil, yang berasal dari beberapa suku bangsa dari dua provinsi di China. Kedua provinsi itu adalah Fukien dan Kwangtung (M.D La Ode 1997:97). Kedatangan orang Cina di Kalimantan Barat dalam jumlah besar berlangsung sekitar tahun 1750, ketika Sultan Sambas memberi izin kepada mereka untuk menambang emas di Monterado. Menurut Heidhus (M.D La Ode,2012:123) orang Cina mulai mengunjungi dan menetap di Kalimantan Barat pada pertengahan abad ke 18 sebagai penambang emas. Pada saat itu orang Cina di Kalimantan Barat memeluk kepercayaan Konghucu dan Budha. Proses pembauran antara orang Cina dengan etnis lain di Indonesia terjadi cepat karena ada asimilasi secara kultural, yaitu melalui amalgamasi biologis (perkawinan campuran) dan konversi agama ke agama lokal (Fatmawati, 2002:5). Kota Singkawang adalah kota yang mayoritas penduduknya etnik Tionghoa. Berdasarkan data Dinas Sosial Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Singkawang pada tahun 2011, tercatat sebanyak 246.306 jiwa, mayoritas penduduk adalah orang Hakka/Khek sekitar 42% dan selebihnya orang Melayu, Dayak, Tio Ciu, Jawa dan pendatang lainnya. Komunitas Etnis Tionghoa terbanyak terdapat di wilayah kecamatan Singkawang. Umumnya, etnis Tionghoa
di kota Singkawang memeluk agama Budha, Kristen, Katolik, atau Konghucu. Pemeluk Islam dari etnis ini sangatlah kecil. Etnis Tionghoa yang ada di Kecamatan Singkawang secara fisik sangat mudah untuk dibedakan dengan masyarakat etnis lainnya. Mereka pada umumnya berkulit kuning langsat dan bermata sipit agama dan kepercayaan yang mereka anut juga berbeda, sebagian besar mereka beragama Konghucu dan Buddha. Pengamatan peneliti di lapangan perbedaan yang begitu mencolok yang berasal dari faktor genitas menjadikan orang Tionghoa menjadi etnis yang eksklusif. Orang-orang Tionghoa yang tinggal di Kecamatan Singkawang berada pada kelas ekonomi menengah, dan pada umumnya mereka bermata pencaharian sebagai pengusaha dan pedagang. Hal ini dikarenakan orang Tionghoa kurang mendapat akses atau kesempatan untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan walaupun pada saat ini kesempatan itu mulai ada, mereka sepertinya enggan untuk menjadi PNS, mereka tetap menggunakan keahlian mereka dalam berdagang sebagai mata pencaharian utama.Untuk mengamati bagaimana mereka
berinteraksi dan bersosialisasi, lebih khusus lagi bagaimana gaya bahasa dan tindakan ketika mereka berbicara, peneliti memperbanyak melakukan pengamatan dengan cara melihat mereka ketika berinteraksi dengan sesama orang Tionghoa, dan saat mereka berinteraksi dengan masyarakat bukan dari etnis Tionghoa. 1. Cap Go Meh Sebagai sebuah salah satu tradisi, festival Cap Go Meh merupakan suatu adat yang sang/at dikenal pada masyarakat karena banyak menceritakan dan mengangkat sebagian upacara adat Tionghoa. Walaupun demikian, kearifan lokal tersebut mengalami pergeseran makna karena arus globalisasi dan perkembangan teknologi yang membuat masyarakat 'termodernisasi'. Namun, masih menjadi sebuah tradisi yang penting dalam sosialitas masyarakat ditingkat lokal.
Makna upacara Cap Go Meh terbagi menjadi dua, sesuai dengan versinya. Versi petani Cap Go Meh menandakan perayaan Imlek telah berakhir, keesokan harinya sudahkembali ke ladang atau sawah untuk bekerja sehingga berakhirlah perayaan Imlek pada Cap Go Meh itu. Sementara versi intelektual, Cap Go Meh adalah sebuah perayaan yang ada nilai ritualnya di mana para tatung/loya atau dewa membuka kembali stempel para tatungnya yang telah ditutup pada tanggal 23 dan 12 penanggalan imlek atausebelum perayaan Imlek sehingga setelah 15 hari dibuka kembali. Kendati demikian, perkembangan tradisi Cap Go Meh di Singkawang adakaitannya dengan para tatung menjadi tabib menyembuhkan orang sakit. Penyembuhanorang sakit dilakukan dengan pemasangan altar disebut Ta Ciau dengan tujuan mengusir roh jahat dari perkampungan yang dilakukan dengan arak-arakan tatung.
2. Makna Naga Naga atau liong merupakan mahluk sakral dalam agama Konghucu. Bersama barongsai (qilin), naga mempunyai makna dan simbol penting ketika Nabi Konghucu lahir. Naga adalah simbol sebagai binatang yang paling kuat. Untuk itulah naga selalu ada pada setiap tiang vihara, terutama pada tiang tempat sembahyang Dewa Langit. Di setiap kelenteng biasanya selalu ada patung naga di depan pintu gerbang. Di rumah-rumah warga Tionghoa juga banyak tersimpan. Fungsinya mengusir roh jahat. Sementara gambar naga juga selalu ada pada tiang utama di kelenteng, digambarkan seperti melilit tiang tersebut. Karena diyakni liong sebagai mahluk penjaga, pada arsitektur rumah Tiongkok biasanya dijumpai desain kepala naga yang digunakan untuk model ketokan pintu rumah berbentuk seperti kepala naga yang menggigit gelang, biasanya berada di depan gerbanggerbang dan berjumlah sembilan. Naga juga merupakan simbol kekuasaan kekaisaran. Tubuh kaisar disebut tubuh naga. Sedangkan mukanya disebut wajah naga. Ia memakai jubah naga, duduk di atas kursi naga, dan tidur di atas ranjang naga. Keturunannya disebut keturunan naga.
3. Karakteristik Bangunan Etnik Tionghoa Secara garis besar bangunan Cina dapat dibedakan fungsi dan jenis bangunannya: o Fungsi umum dan pribadi, jenis bangunannya (Rumah ibadah= klenteng dan vihara, rumah abu, rumah perkumpulan); o Bangunan hunian dan usaha, jenis bangunannya (perdagangan dan jasa, ruko/hunian campuran, hunian, lain-lain [gudang dan gerbang], hiburan, dan olah raga). (Lilananda 1998: 36). Penggunaan warna bangunan etnis Tionghoa, umumnya warna yang dipakai adalah warna primer seperti kuning, biru, putih, merah dan hitam yang selalu dikaitkan dengan unsur-unsur alam seperti air, kayu, api, logam dan tanah. Warna putih dan biru dipakai untuk teras, merah untuk kolom dan bangunan, biru dan hijau untuk balok, siku penyangga, dan atap. Warna-warna tersebut di antaranya: a. Warna merah yang melambangkan kebahagiaan. b. Warna kuning juge melambangkan kebahagiaan dan warna kemuliaan; c. Warna hijau melambangkan kesejahteraan, kesehatan, dan keharmonisan; d. Warna putih melambangkan kematian dan berduka cita; e. Warna hitam merupakan warna netral dan digunakan dalam kehidupan seharihari; dan f. Warna biru gelap juga merupakan warna berduka cita. 4. Konsep dan Filosofi Arsitektur Tionghoa Filosofi arsitektur Tionghoa sangat dipengaruhi oleh filosofi kepercayaan dan ajaran Konfusianisme, Taoisme dan Budhisme. Terdapat simbol dan lambanglambang dari bentuk ideal dan keharmonisan dalam tatanan masyarakat. Bentuk ideal dan keharmonisan dalam masyarakat dapat dilihat dari filosofi Tien-Yuan Ti-
Fang yang berarti langit bundar dan bumi persegi. Persegi melambangkan keteraturan, intelektualitas manusia sebagai manifestasi penerapan keteraturan atas alam. Bundar melambangkan ketidakteraturan sifat alam. Filosofi Tien-YenChih-Chi, artinya di antara langit dan manusia, menggambarkan peralihan dua alam yang disimbolkan dalam bentuk bundar-segi empat-bundar. Konsep Keseimbangan dalam kehidupan diatur dalam dualitas Yin dan Yang, atau Feng Shui/ Hong Shui . Yang adalah sebagai energi positif, jantan, terang, kuat, buatan manusia. Sementara, Yin digambarkan sebagai energi negatif, betina, gelap, menyerap elemen. Feng Shui atau Hong Shui merupakan kompas kehidupan yang mengaur keseimbangan elemen alam seperti angin, air, tanah dan logam. Kompas merupakan adaptasi metodis karya manusia terhadap struktur alam raya sehingga menjadi pedoman dalam pendayagunaan energi dan sumber alam untuk penyelarasan nafas dunia. Feng Shui membantu manusia memanfaatkan gayagaya alam dari bumi dan menyeimbangkan Yin dan Yang guna memperoleh Qi yang baik, yang menggambarkan kesehatan dan vitalitas.
4.1 Kesimpulan Istilah etnik sendiri merujuk pada pengertian kelompok orang-orang, sementara etnis merujuk pada orang-orang dalam kelompok. Perilaku ekonomi yang cenderung proaktif, berbentuk usaha atau perusahaan keluarga, sudah menjadi ciri etnis Cina (Tionghoa) di kawasan Asia termasuk Indonesia. Etnis Cina mengandalkan integritas suatu hubungan antar etnis Cina di bidang ekonomi dan kekeluargaan. Bentuk kolaborasi perilaku etnis Cina di Indonesia terutama kelas menengah dan atas (yang secara profesi tidak terikat). Yayasan dan Organisasi-organisasi yang didirikan oleh warga keturunan Tionghoa juga telah banyak terdapat di Kota Pontianak, yang baik secara langsung maupun tidak langsung juga memberikan manfaat bagi masyarakat nonTionghoa. Eksistensi etnis Tionghoa di Pontianak juga ditunjukkan dari banyaknya usaha-usaha dan toko-toko yang dimiliki oleh warga keturunan Tionghoa yang juga mempekerjakan warga diluar etnis Tionghoa. Kebudayaan dan perayaan hari besar warga Tionghoa juga menjadi hiburan tersendiri oleh sebagian besar masyarakat Kota Pontianak.
BAB IV PENUTUP
4.1
Kewarganegaraan yang dimana isinya memperjelas bahwa konsep bangsa Indonesia asli yang sesungguhnya yang tidak berdiri sendiri melainkan
berdasarkan atas kesamaan ras, etnik (suku bangsa), bahasa, golongan, maupun agama yang sudah diakui dalam UUD 45 maupun undang-undang
kewarganegaraan bahwa jati diri bangsa Indonesia beranjak dari sejarah, rasa senasib sepenanggungan yang sudah ada sejak lama tumbuh dari masyarakat Indonesia yang plural dan heterogenitas. Saat ini segala manusia dari berbagai etnik telah semakin melebur dalam kehidupan sosial yang satu. Apalagi globalisasi yang begitu deras dan nyaris tak tertahankan bertendensi memunculkan keseragaman budaya, baik dalam pola pikir, sikap, tingkah laku, seni, dan sebagainya. Etnik sebagai identitas tidak berarti harus menunjukkan adanya perbedaan budaya. Mengaku berbeda etnik bukan lantas harus menunjukkan perbedaan dalam perilaku. Namun meski demikian, masyarakat umumnya tetap menganut adanya model-model perilaku dan sifat tertentu yang khas etnik tertentu, dan model tersebut digunakan untuk menjelaskan keberadaan etnik bersangkutan. Semoga pembahasan mengenai eksistensi masyarakat etnis Tionghoa ini dapat bermanfaat dan memberikan pengaruh positif bagi yang membaca. Tiada kesempurnaan dalam pembahasan ini. Untuk itu tambahan dan masukan amat diperlukan untuk perbaikan yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Fatmawati (2000). Solidaritas Sosial Orang Cina Muslim dengan Non Muslim dan Fakktor-Faktor Yang mempngaruhinya (Studi di Kotamadya Pontianak Propinsi Kalimantan Barat), Bandung : Tesis Universitas Padjajaran Bandung. http://beberapa-catatan-mengenai-perkembangan-organisasi-organisasi-tionghoadi-indonesia.html http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/08/etnik-dan-etnisitas.html http://www.pontianakkota.go.id/?q=tentang/suku-bangsa kompas.com M.D. Laode, (1997). Tiga Muka Etnis Cina. PT. Bayu Indra Grafika : Yogyakarta. Perilaku Ekonomi Etnis Cina di Indonesia Sejak Tahun 1930-an F.R. Wulandari _ Indonesian-ChineseCulture Study Group.htm
INI YANG DITAMBAHKAN SEDIKIT : PERBAIKI DAFTAR ISI BUAT TUJUAN (LIAT POIN NYA DI PEMBAHASAN) BUAT RUMUSAN MASALAH (LIAT POIN NYA DI PEMBAHASAN) BUAT KESIMPULAN (MENYESUAIKAN ISI MAKALAH) BUAT PPT NYA (MINTA BANTU JAK SAMA MIA/LIZA)
*TAMBAHKAN JAK YANG MENURUT AYU PERLU* SEMANGAT JANGAN TAK SEMANGAT YE YE YE..........................