Anda di halaman 1dari 6

Epelepsi

Pendahuluan Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai dengan prevalens 500 per 100.000 populasi, namun masih sedikit dokter yang mempunyai spesialisasi pada penyakit ini. Sedangkan sekarang terdapat banyak kemajuan di bidang ini yang dapat membantu penderita epilepsi. Dengan diagnosi dan terapi yang tepat, sebagian penderita epilepsi dapat terkontrol. Epilepsi merupakan penyakit yang memerlukan pengobatan yang lama dan teratur, oleh karna itu penyndang penyakit dan keluarganya harus menjadi mitra dokter dalam pengobatan epilepsi. Kerja sama yang baik antara dokter dan penderita serta keluarganya merupakan faktor yang sangat penting dalam penanganan epilepsi.

DEFENISI Bangkitan epilepsi (seizure) adalah manifestasi klinik dari bangkitan seizure (stereotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked). Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh kebangkitan berulang sebagai akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksimal didasari oleh berbagai faktor etiologi. Defenisi epilepsi menurut WHO adalah suatu kelainan otak kronik dengan berbagia macam penyebab yang ditandai serangan epilepsi berulang yang disebbkan oleh bangkitan neuron otak yang berlebihan, dimana gambaran klinisnya dapat berupa kejang, perubahan tingkah laku, perubahan kesadaran tergantung lokasi klainan di otak.

EPIDEMIOLOGI EPILEPSI Insidens dan prevalensi Epilepsi Secara umum peneliti mendapatkan insidens 20-70 per 100.000 pertahun dan prevalens 400-1000 per 100.000. pada populasi umum, insidens epilepsi berubah-ubah menurut umur tertinggi. Pada usia anak-anak dini, mencapai nadir pada usia dewasa dini dan naik kembali pada usia tua. Resiko berulangnya kejang

Agak sulit membayangkan prognosis pasien dengan riwayat kejang pertama kali. Penderita tersebut dianggap epilepsi bila mengalami kejang tanpa demam berikutnya.

Kejang tanpa demam setelah kejang demam Resiko yang mungkin dihadapi anak paska kejang demam adalah 30-40% akan mengalami kejang demam berikutnya, sedangkan sebagian kecil akan mengalami epilepsi kelak dikemudian hari. Pada penelitian NCPP, hanya 30% anak dengan kejang demam mengalami sekali kejang tanpa demam. Resiko terjdinya epilepsi kelak di kemudian hari tergantung dari riwayat epilepsi dalam keluarga, kelainan dalam perkembangan, atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang demam, kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal. Apabila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut maka resiko mengalami epilepsi adalah 13%, bila terdapat 1 atau tidak sama sekali maka resikonya hanya 2-3% saja.

Berulangnya kejang tanpa demam sesudah kejang tanpa demam pertama Resiko tersebut pernah dilaporkan pada anak-anak dan dewasa sangat bervariasi antara 27-71% dan tergantung pada jenis kelainan kejang serta ada tidaknya kelainan neurologis dan elektro ensefalografi (EEG) di antara bayi yang mengalami kejang neonatal akan terjadi bangkitan tanpa demam dlam 7 tahun pertama sebanyak 25% kasus, 75% diantaranya akan menjadi epilepsi. Annegers dan kawan-kawan meneliti resiko berulangnya kejang pada 424 pasien kejang tanpa demam pertama yang terdiri mulai neonatus sampai dewasa, 220 pasien mengalami kejang berulang. Secara keseluruhan resiko berulangnya kejang adalah, 9%, 21%, 30%, 36%, 48%, 56% berturut-turut pada pemantauan 1, 3, 6 bulan, 1 tahun, 3 tahun, dan 5 tahun. Resiko berulangnya kejang berbeda menurut klasifikasi etiologi kejang pertama. Penderita kejang pertama idiopatik mempunyai resiko rekuren kumulatif 26% pada tahun pertama dan 45% pada pemantauan 5 tahun. Sedangkan pada penderita dengan kejang pertama simtomatik yaitu dengan gangguan susunan saraf pusat paskaneonatal mempunyai resiko rekuren 56% dalam 1 tahun pertama, dan 77% pada pemantauan 5 tahun. Penderita dengan serebral palsi atau retardasi mental berat mempunyai resiko rekuren 92% selama 1 tahun pemantauan.

Prognosis Prognosis tergantung beberapa faktor antara lain medis, sosial, dan psikologis. Secara umum prognosis tergantung dengan beberapa faktor seperti kekerapan kejang, ada tidaknya

defisit neurologis/mental, jenis dan lamanya kejang. Kehidupan pasien akan jauh lebih normal bila bebas serangan kejang sedikitnya 1 tahun atau lebih. Silanpaa dalam penelitiannya mengenai prognosis intelegensi mendapatkan 47,3% dengan intelegensi normal, 13,1% dengan retardasi mental ringan dan sisanya dengan retardasi mental sedang atau berat. Juga terdapat gangguan perkembangan motor halus pada 42,7% pasien, gangguan berbicara pada 40% dan kesulitan hubungan interpersonal 37,8%. Terdapat 60% pasien mengikuti sekolah normal, tetapi hanya 4,7% yang msuk perguruan tinggi. Prevalensi kematian mendadak yang berhubungan dengan kejang adalah 1 per 525 sampai 1 per 2100 pasien epilepsi. Pada umumnya akibat status epilepsi dan kecelakaan akibat trauma atau tenggelam. Secara umum dapat disimpulkan bahwa prognosis epilepsi tergantung pada jenis epilepsinya. Faktor yang berhubungan dengan baiknya prognosis antara lain tidak adanya kelainan neurologis dan mental, kejangnya tidak sering, jenis tonik klonik umum dan kejng cepat dikendalikan, umur onset setelah 2 atau 3 tahun.

ETIOLOGI EPILEPSI 1. Idopatik : penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetik 2. Kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini sindrom west, sindrom lennox-gastaut dan epilepsi mioklonik. Gaambaran klinik sesuai dengan ensefalopati difus. 3. Simtomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat misalnya trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat (SSP), kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neurodegenerative.

PATOFISIOLOGI TERJADINYA EPILEPSI Faal Sakitan Selama dasawarsa terakhir ini tidak banyak kemajuan yang diperoleh dalam mengungkapakan patofisiologi epilepsi. Sampai saat ini belum terungkap dengan baik dan terinci mekanisme yang memulai atau yang mencetuskan sel neuron untuk berlepasan muatan secara sinkron dan berlebihan. Dengan perkataan lain sampai saat ini belum diketahui dengan baik mekanisme terjadinya bangkitan epilepsi. Namun beberapa faktor yang ikut berperan telah terungkap.

Gangguan Pada Membran Sel Neuron Potensial membran sel neuron bergantung pada permeabelitas sel tersebut terhadap ion natrium dan kalium. Membran neuron permeabel sekali terhadap ion kalium dan kurang permeabel terhadap ion natrium, sehingga didapatkan konsentrasi ion kalium yang tinggi dan konsentrasi ion natriun yang rendah di dalam sel dalam keadaan normal. Potensial ini dapat diganggu dan berubah oleh berbagai hal misalnya perubahan konsentrasi ion ekstraseluler, stimulasi kimiawi atau mekanis, perubahan pada membran oleh penyakit atau jejas, atau pengaruh kelainan genetik. Bila keseimbangan terganggu, sifat semi-permeabel berubah, membiarkan ion natrium dan kalium berdifusi melalui membran dan mengakibatkan perubahan kadar ion dan perubahan potensial yang menyertainya. Potensial aksi terbentuk dipermukaan sel, dan menjadi stimulus yang efektif pada bagian membran sel lainnya dan menyebar sepanjang akson. Konsep bahwa permeabelitas ion meningkat pada epilepsi saat ini banyak dianut. Tampaknya semua konvulsi, apapun pencetus atau penyebabnya, disertai berkurangnya ion kalium dan meningkatnya ion natrium di dalam sel.

Gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan pasca-sinaps Sel neuron saling berhubungan sesamanya melalui sinaps-sinaps. Potensial aksi yang terjadi di satu neuron dihantar melalui neuroakson yang kemudian membebaskan zat transmiter pada sinaps, yang mengeksitasi atau menginghibisi membran pascasinaps. Transmiter eksitasi (asetilkolin, glutamid acid) mengakibatkan depolarisasi, zat transmiter inhibisi (GABA atau Gamma Amino Butyric Acid, glisin) menyebabkan hiperpolarisasi neuron penerimanya. Jadi satu impuls dapat mengakibatkan stimulasi atau inhibisi pada transmisi sinaps. Setiap neuron berhubungan dengan sejumlah besar neuron-neuron lainnya melalui sinaps eksitasi atau inhibisi, sehingga otak merupakan struktur yang terdidri dari sel neuron yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi aktivitasnya. Pada keadaan normal didaptkan keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi. Gangguan terhadap keseimbangan ini dapat mengakibatkan terjadinya bangkitan kejang. Efek inhibissi ialah meninggikan tingkat polarisasi membran sel. Kegagalan mekanisme inhibisi mengakibatkan terjadinya lepas muatan listrik yang berlebihan. Zat GABA mencegah terjadinya hipersinkronisasi. Gangguan sintesis GABA mengakibatkan gangguan keseimbangan eksitasi-inhibisi, dan jika eksitasi lebih unggul makan akn mengakibatkan bangkitan epilepsi. Fosfat piridoksal penting untuk sintesi GABA, defisiensi piridoksin metabolik atau nutrisi dapat mengakkibatkan konvulsi pada bayi. Antikonvulsan valproat bekerja dengan melalui pencegahan pemecahan GABA.

Dapat dikemukakan bahwa pada bayi dan anak, bukan saja maturasi dari sistem saraf yang berperanan, tetapi juga variasi antara keseimbangan sistem inhibisi dan eksitasi di otak memainkan peranan penting dalam menentukan ambang kejang. Dengan demikian mempengaruhi tinggi rendahnya ambang kejang. Demikin pula jaringan saraf dapat menjadi hipereksitabel oleh perubahan hemoestasis tubuh. Perubahan tersebut dapat diakibatkan oleh demam, hipoksia, hipokalsemia, hidrasi lebih , dan perubahan keseimbangan asam basa. Faktor eksternal dapat juga menyebabkan hipereksitabilitas, misalnya obat konvulsan, penghentian mendadak obat antikonvulsan terutama barbiturat, dosis lebih berbagai macam obat dan berbagai toksin. Dengan menggunakan elektrode-mikro dapat diselidiki perangai kelistrikan suatu neuron. Telah diidentifikasikan lepas muatan yang berasal dari badan sel, dendrit, dan akson. Dapat ditunjukkan bahwa aktifitas letupan listrik abnormal yang berfrekuensi tinggi didapatkan pada sel neuron di fokus epileptik. Diduga bahwa aktifitas autonom ini disebabkan oleh depolarisasi dendrit, karena adanya perbedaaan potensial antara badan sel dan dendrit. Perubahan patologis di dendrit ini dapat diakibatkan oleh tekanan mekanis, misalnya oleh jaringan parut. Neuron epileptik secara histologis mempunyai sedikit ujung sinaps, dengan demikian rangsang eferen yang diterimanya berkurang. Berkurangnya rangsangan eferen ini dapat mengakibatkan sel neuron menjadi hipersensitif misalnya terhadap zat kimiawi di sekitarnya dengan demikian terjadi lepas muatan listrik yang berlebihan secara spontan.

Sel Glia Sel glia diduga berfungsi untuk mengatur ion kalium ekstra seluler di sekitar neuron dan terminal presinaps. Pada gliosis atau keadaan cedera, fungsi glia yang mengatur konsentrasi ion kalium ekstraseluler dapat terganggu dan mengakibatkan meningkkatnya eksitabilitas sel neuron di sekitarnya. Rasio yang tinggi antar ion kalium ekstraseluler dibanding intraseluler dapat mmendepolarisasi mebran neuron. Telah didapat banyak bukti bahwa astroglia berfungsi membuang ion kalium yang berlebihan sewaktu aktifnya sel neuron. Didapatkan bahwa sewaktu kejang kadar ion kalium meningkat 5 kali atau lebih di cairan intersisial yang mengitari sel neuron. Waktu ion kalium diserap oleh astroglia cairanpun ikut diserap dan sel astroglia menjadi membengkak (edema), hal ini menjadi jawaban yang khas bagi astroglia terhadap meningkatnya kadar kalium ekstraseluler, baik yang disebabkan oleh hiperaktivitas neuronal maupun akibat iskemia serebral. Pada penelitian eksperimental didapatkan bahwa bila kation dimasukkan dalam sel astroglia melalui pipet mikro timbulah letupan kejang (seizure discharge) pada sel neuron di sekitarnya, suatu ilustrasi mengenai peranan sel astroglia dalam mengatur aktivitas neuronal.

Para penyelidik umumnya sependapat bahwa sebagian besar bangkitan epilepsi berasal dari sekelompok sel neuron yang abnormal di otak, yang melepas muatan listrik secara berlebihan dan hipersinkron. Kelompok sel neuron yang abnormal ini, yang disebut juga sebagi fokus epilepsi, mendasari semua jenis epilepsi yang umum maupun yang fokal (parsial). Lepas muatan listrik ini kemudian dapat menyebar melalui jalur-jalur fisiologis-natomis dan melibatkan daerah di sekitarnya atau daerah yang lebh jauh letaknya di otak. Bila sekelompok sel neuron tercetus dalam aktivitas listrik berlebihan maka didapatkan 3 kemungkinan: 1. Aktivitas ini tidak menjalar ke sekitarnya, melainkan terlokalisasi pada kelompok neuron tersebut kemudian berhenti. 2. Aktivitas menjalar sampai jarak tertentu, namun tidak melibatkan seluruh otak, kemudian menjumpai tahanan dan berhenti 3. Aktivitas menjalar ke seluruh otak dan berhenti Pada keadaan 1 dan 2 didapatkan bangkitan epilepsi fokal (parsial), sedangkan pada keadaan 3 didapatkan kejang umum. Jenis bangkitan epilepsi tergantung kepada letak dan fungsi sel neuron yang berlepas muatan listrik berlebihan serta penjalarannya. Kontraksi otot somatik akan terjadi bila lepas muatan melibatkan daerah motorik di lobus frontalis. Berbagai macam gangguan sensoris akan terjadi bila struktur di lobus parietalis dan oksipitalis terlibat. Kesadaran menghilang bila lepas muatan melibatkan batang otak dan thalamus. Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mencetuskan bangkitan epilepsi klinis, walaupun sel tersebut berlepasan muatan listrik berlebihan. Sel neuron di serebelum di bagian bawah batang otak dan di medula spinalis tidak mampu mencetuskan bangkitan epilepsi. Fenomen Todd lebih sering dijumpai pada pasien dengan fokus oleh lesi struktural. Sesekali didapatkan kecacatan akibat bangkitan kejang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit dapat mengakibatkan kerusakan pada sel neuron, dengan akibat cacat menetap. Sebagian besar energi sel saraf digunakan untuk transportasi ion natrium dan kalium yang berhubungan erat dengan kelistrikan dan penjalarannya. Diduga bahwa sel neuron sanggup mengeluarkan ion natrium dari dalam sel. Akibat dari keadaan ini didapatkan konsentrasi ion kalium yang tinggi di ruang intraseluler dan ion natrium yang tinggi di ekstraseluler. Untuk memompa ion natrium ke luar dibutuhkan banyak energi yang diperoleh melalui senyawa fosfat (ATP). Bila terjadi bangkitan kejang, maka aktivitas pemompaan natrium bertambah. Dengan perkataan lain kebutuhan akan oksigen dan glukosa meningkat. Bila kejang berlangsung singkat maka peningkatan kebutuhan ini masih dapat dipenuhi. Namun bila kejang berlangsung lama, ada kemungkinan bahwa kebutuhan akan oksigen dan glukosa tidak terpenuhi, sehingga sel neuron dapat luka atau mati.

Anda mungkin juga menyukai

  • Presentasi Efusi Pleura
    Presentasi Efusi Pleura
    Dokumen30 halaman
    Presentasi Efusi Pleura
    Bruno Adiputra Patut II
    Belum ada peringkat
  • 3 Lapsus Epilepsi
    3 Lapsus Epilepsi
    Dokumen27 halaman
    3 Lapsus Epilepsi
    Bruno Adiputra Patut II
    Belum ada peringkat
  • Referat CA Laring
    Referat CA Laring
    Dokumen19 halaman
    Referat CA Laring
    Syamsul Arifin
    Belum ada peringkat
  • HNP
    HNP
    Dokumen29 halaman
    HNP
    Bruno Adiputra Patut II
    Belum ada peringkat
  • Isi
    Isi
    Dokumen24 halaman
    Isi
    Bruno Adiputra Patut II
    Belum ada peringkat