Anda di halaman 1dari 16

TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS (TEN)

Nadia Maizalius 03010200

Definisi
Toxic epidermal necrolysis (TEN), atau biasa disebut Lyell syndrome,
adalah penyakit berat yang langka serta dapat mengancam jiwa
dengan gejala terpenting epidermolysis generalisata dan dapat
disertai kelainan pada selaput lender di orifisium dan mata.
Epidemiologi
- Di AS, TEN dilaporkan terjadi 0.22-1.23 kasus per 100,000 populasi
tiap tahunnya. Sedangkan pada pasien yang mengidap HIV, insidens
dilaporkan mengalami peningkatan.
- Di dunia, rata-rata kejadian TEN adalah 0.4-1.3 kasus per satu juta
penduduk.
- Untuk alasan yang tidak jelas, TEN nampaknya lebih sering terjadi
pada wanita dengan rasio kejadian wanita : pria = 1,5 : 1.
- TEN bisa terjadi pada semua kelompok umur, namun menurut data
yang ada, TEN biasanya terjadi pada kelompok umur 46-63 tahun
- Menurut buku merah: TEN tergolong cukup jarang, hanya 2-3
kasus per tahun dan umumnya dewasa.
Etiologi
Penyebab utamanya adalah alergi obat (8%%) , tetapi TEN juga
dapat disebabkan oleh obat, infeksi, maupun idiopatik. Obat
tersering yang menyebabkan TEN adalah derivate penisilin (24%),
disusul oleh paracetamol (17%), dan karbamazepin (14%).
Dilaporkan juga bahwa Mycoplasma pneumonia merupakan etiologi
TEN yang berhubungan dengan virus & imunisasi. Begitu juga
dengan herpes virus dan hepatitis A.
Ada juga TEN yang diakibatkan pasca transplantasi sum-sum tulang
sebagai reaksi akut dari graft-versus host.

Drug-induced
HIGH RISK

LOWER RISK

DOUBTFUL
RISK

Allopurinol

Acetic
acid Paracetamol
NSAIDs
(e.g.: (acetaminophe
diclofenac)
n)

Sulfametoksazo Aminopenicillin

Pyrazolone
1

NO EVIDENCE
Aspirin

SFU

analgesics

Sulfadiazine

Cephalosporins

Corticosteroids

Sulfapyridine

Quinolones

Other NSAIDs Furosemid


(except aspirin)

Sulfadoxine

Cyclines

Sertraline

Sulfasalazine

Macrolid

Diuretik tiazid

Aldactone
Ca-channel
blockers

Carbamazepin

Beta blocker

Lamotigrin

ACE inhibtors

Phenobarbital

Angiotensin
receptor
antagonsts

Phenytoin

Statins

Phenylbutazon
e

Hormones

Nebirapine

Vitamins

Oxicam NSAIDs
Thiacetazone

Berdasarkan jenis obatnya:


Antibacterial drugs:
-

Sulfonamides (4.5 cases per million users per week)

Chloramphenicol

Macrolides (eg, erythromycin)

Penicillins

Quinolones (eg, ciprofloxacin,[16] trovafloxacin[17] )

Anticonvulsants:
-

Phenobarbital

Phenytoin[18]

Carbamazepine

Valproic acid

II

Lamotrigine

NSAID:
-

Phenylbutazone and oxybutazone - Implicated most


commonly, although they are no longer available in the United
States

Oxicams (eg, piroxicam, tenoxicam) - Implicated more often


than other NSAIDs

Ibuprofen

Indomethacin

Sulindac

Tolmetin

Patofisiologi
Belum jelas, ada yang menganggap bahwa TEN adalah bentuk berat
dari SSJ. Ada yang mengatakan bahwa TEN berbeda dengan SSJ
dikarenakan perbedaan dari segi histologisnya.
Ada beberapa pendapat yang telah dibuktikan bahwa beberapa
immunopathologic pathways dapat mengarah ke apoptosis keratinosit
pada TEN, yang meliputi:
Immunopathologic pathways:
1. Aktivasi FasL di membrane keratinosit yang mengarah ke
death receptor-mediated apoptosis
2. Pelepasan dari protein destruktif (perforin & granyzme B) dari
CTLs yang berasal dari interaksi dengan sel yang akan
mengekspresikan MHC kelas I
3. Produksi berlebih dari sel T dan/atau macrophage-derived
cytokines (INF-y), tumor necrosis factor-a (TNF-a), dan
bermacam-macam IL.
4. Drug-induced secretion of granulysin from CTLs, NK cells, and
NK T cells.
Patogenesis (buku merah):
TEN adalah pentuk parah dari SJS. Sebagian kasus SJS berkembang
menjadi TEN. Demikian pula pendapat Fritsch dan Maldorado
tentang immunopatogenesis sama dengan SJS yakni merupakan
rekasi hipersensitifitas tipe II (sitolitik) menurut Coomb and Gel. Jadi
gambaran klinisnya bergantung pada sel target. Gejala utama pada
TEN adalah epidermolisis karena sel sasarannya ialah epidermis.

Gejala atau tanda yang lain yang dapat menyertai TEN bergantung
pada sel sasarab tabf dikenal, misalnya akan terjadi leukopenia bila
sel sasarannya leukosit, dan terlihatnya purpura jika trombosit
menjadi sel sasaran

Histopatologi
Menurut dr. Sri Adi Sularsito FKUI (buku merah):
Pada stadium dini tampak vakuolisasi dan neksrosis sel-sel basal
sepanjang perbatasan dermal-epidermal. Sel radang di dermis
hanya sedikit terdiri dari limfohistiosit. Pada lesi yang telah lanjut
didapatkan nekrosis eosinofilik sel epidermis dengan pembentukan
lepuh subepidermal
Manifestasi Klinis
Trias kelainan:
1. Kelainan kulit:
a. Eritema generalisata, vesikel, bula, purpura
2. Kelainan selaput lendir di orificium:
a. Lesi pada bibir & selaput lender mulut: erosi, ekskoriasi,
dan perdaraham sehingga terbentuk krusta berwarna
merah hitam pada bibir, bisa juga terjadi pada orificium
genitalia eksterna.
3. Kelainan mata:
a. Mirip SSJ

Fase akut:
-

Tidak spesifik

Pasien terlihat tampak sakit berat dengan demam tinggi dan


kesadaran yang menurun (soporokomatosa)

Kelainan pada kulit awalnya muncul setelah terdapat geja;agejala di atas selang beberapa hari. Tempat pertama biasanya
adalah regio presternal dari ekstremitas serta muka, tapi bisa
juga pada telapak tangan dan kaki.

Adanya eritema dan erosi dari buccal, genital dan/atau ocular


mukosa terjadi pada >90 % pasien, dan di beberapa kasus RT
& GIT juga terlibat.

Kelainan pada mata di fase akut adalah sering dan biasanya


bervariasi mulai dari acute conjunctivitis, edema pada kelopak
mata, eritema, dan pada kasus berat bisa berlanjut menjadi
lesi sikatriks, simblepharon, serta ulserasi kornea.

Keparahan dari fase akut tidak dapat memprediksi komplikasi


dari late phase.

Morfologi dari lesi awal pada kulit meliputi erythematous &


livid macules, yang bisa ada infiltrasi/tidak, dan bisa
mempunyai potensi untuk menjadi satu.

Dalam fase kedua, terdapat sebagian besar area pada kulit


yang mengalami epidermolisis.

Late phase & sequelae:


-

Terjadinya sequelae adalah hal yang biasa terjadi pada late


phase dari TEN.

Menurut Magina et al, gejala-gejala yang ditemukan adalah


sebagai berikut:
o Terjadinya hiperpigmentasi dan hipopigmentasi pada
kulit (62,5%)
o Distrofi dari kuku (37,5%)
o Komplikasi ocular

Menurut Yip et al.:


o 50% pasien dengan komplikasi ocular:

Severe dry eyes (46%)

Trichiasis (16%)

Symblepharon (14%)

Distichiasis (14%)

Visual loss (5%)

Entropion (5%)

Ankyloblepharon,
ulceration (2%)

Lagophtalmos,

Corneal

Pemeriksaan Diagnostik
Anamnesis: RPS, Riwayat medikasi
Biopsi kulit
Lab biasanya leukositosis, peningkatan enzim transaminase serum,
albuminuria, gangguan fungsi ginjal, ketidakseimbangan elektrolit
Radiologi biasa dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan TBC &
bronkopneumonia.
Diagnosis
Gejala paling penting dari TEN: Epidermolisis generalisata
Diagnosis TEN ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan histologis.
Gejala klinis berupa erythematous & livid macules pada kulit, serta
Nikolsky sign (+)
Nikolsky sign (+)
6

Cara mengetahui tanda tersebut ada dua: 1) Menekan dan


menggeser kulit diantara dua bula dan kulit tersebut akan
terkelupas. 2) Menekan bula maka bula akan meluas karena cairan
yang didalamnya mengalami tekanan (bullae spread phenomenon)

Nikolsky sign (+) ada pada TEN, PV, dan SSS


Diagnosis Banding
1. Steven Johnsons Syndrome (SJS)
2. Pemphigus Vulgaris
3. Combustio
4. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS)
5. Erythema Multiforme (EM)
6. Dermatitis Kontak Iritans

Perbedaan TEN & SJS

SJS

TEN

Usia

Anak - Dewasa

Dewasa > sering

KU

Ringan - Berat

Berat

Kesadaran

Compos mentis

Sering menurun

Nikolskys sign

(-)

(+)

Epidermolisis

(-)

(+)

Nekrosis epidermis

(-)

(+)

Lebih baik

Buruk

<10%

>30%

NET

SSSS

Usia pasien

> tua

Anak < 5 tahun

Lesi target

Sering ditemukan

Tidak ada

Nyeri kulit

Ringan sedang

Sangat nyeri

Umumnya ada

Jarang

Nikolskys sign

(+) hanya di daerah


lesi

(+) pada lesi & kulit

Gambaran
Histopatologik

Subepidermal

Stratum granulosum

Penyembuhan

> lama

10-14 hari

Jaringan parut

Sering ditemukan,
bisa
hiper/hipopigmentasi

Jarang

Tinggi

Rendah, umumnya
sembuh spontan

Prognosis
Luas

Lesi oral

Mortalitas

Terapi & Manajemen

Manajemen terapi pada fase akut menyangkut evaluasi dari


keparahan serta prognosis dari penyakit, identifikasi dari obat
penyebab serta memulainya terapi suportif.
1) Evaluasi cepat untuk prediksi keparahan serta prognosis
-

Selesai

didiagnosis

TEN,

harus

langsung

dievaluasi

kemungkinan prognosis pasien menggunakan SCORTEN. Jika


hasil dari SCORTEN lebih atau sama dengan 3 = ICU.
2) Early withdrawal & early transfer
- Studi di Amerika mengatakan bahwa semakin cepat pasien
TEN dibawa ke RS, kesembuhannya akan semakin baik (7
hari)
- Penarikan obat yang mendasari terjadinya TEN secepat
mungkin
3) Terapi suportif
- Bertujuan untuk mempertahankan kestabilan hemodinamik
dan mencegah komplikasi yang mengancam jiwa

5) Multidisciplinary approach
TEN Kelainan sistemik yang melibatkan banyak organ.
Konsul disiplin ilmu lain: THT, PD, KG, Mata.
6) Pemberian cairan & elektrolit.
- KCl 3 x 500mg per os
- Dextrose 5 %, NaCl 9 %, RL berbanding 1 : 1 : 1 dalam 1 labu
yang diberikan 8 jam sekali
Hal ini dilakukan sedini mungkin terutama pada kasus
hiponatremia, hypokalemia, serta hipofosfatemia yang
biasanya sering terjadi.
- Luka juga harus ditangani secara konservatif tapi tanpa
debridement.

10

7) Nutrisi yang adekuat


- Biasanya pasien akan sulit untuk mendapat asupan gizi,
dikarenakan luka pada upper GIT penting untuk diet dan
modifikasi cairan.
- Perhatikan pemberian makanan yang masuk (makanan yang
panas, dingin serta bersifat asam dapat memperparah nyeri).
Disarankan untuk konsumsi makanan yang bertekstur lembut.
- Pasang NGT jika perlu
- Diet tinggi protein & rendah garam
- Close control untuk glukosa darah! Hiperglikemia
merupakan salah satu dari faktor resiko untuk poor outcome.
8) Skin care
- Proteksi dari dermis yang terpapar langsung
- Erosi & ekskoriasi: Ag sulfadiazine (krim dermazin, silvadene)
9) Pain control: biasanya opioid atau benzodiazepine.
10) Monitor tanda-tanda vital
11) Kontrol suhu ruangan
12) Eye care:
- Artifical tears
- Tetes mata AB
- Vit A tiap 2 jam sekali selama fase akut juga untuk
mencegah synechiae.
13) Genital care: Good hygiene
14) Mouth care:
- Obat kumur antiseptic / antifungal
- Lesi pada mulut dapat diberikan kenalog in orabase dan
betadine gargle.
- Krusta tebal pada bibir: Emolien krim urea 10%
15) Respiratory system: Ventilasi bila perlu
16) Transfusi darah:
Transfusi darah 300cc selama 2 hari berturut-turut.
Dengan indikasi sbb:
11

o Bila telah diobati dengan KS dengan dosis adekuat


setelah 2 hari belum ada perbaikan.
o Bila terdapat purpura generalisata
o Jika terdapat leukopenia

Obat
- Kortikosteroid:
masih kontroversial, menurut buku merah: deksametason 40mg
sehari IV dosis terbagi (3-4x) sehari. Bila sudah tidak timbul lesi
baru tapering off atau ganti dengan prednisone per oral.
- Antibiotik:

Siprofloksasin

Klindamisin

seftriakson

- Thalidomide: anti TNF-a, sebagai


antiangiogenetik. Sudah jarang digunakan.

imunomodulator

dan

- Immunoglobulin IV dosis tinggi (IVIG) high dose karena adanya


fas-mediated cell death
- Ciclosporin A (CsA): agen imunosupresif kuat, mekanismenya
dengan aktivasi TH2 sitokin, inhibisi CD8+ sitotoksik, dan antiapoptosis dengan inhibisi Fas-L, nuclear factor dan TNFa
- TNF antagonist: infliximab entarcept

Terapi pada sequelae:


Karena adanya berbagai macam organ yang terlibat, mulai dari
kulit, mata, dan membrane mukosa (oral, GIT, paru-paru, genital,
urinary), follow up serta terapi dari sequelae harus secara
interdisiplin. Bagi pasien dengan komplikasi pada mata harus
segera dirujuk ke Sp. M sehingga dapat diberi steroid topical
(biasanya prognosis semakin baik jika di refer minggu pertama).

Komplikasi
-

Infeksi sistemik dan septisemia

Syok dan gagal multi organ (MODs)

12

Ginjal: nekrosis tubular akut , glomerulonephritis

Dehidrasi & kekurangan gizi

Kebutaan

Infeksi kulit oleh bakteri, hiperpigmentasi atau hipopigmentasi

Nail dystrophy

Respiratory failure atau pneumoniae

Prognosis
Jika penyebabnya infeksi: prognosis lebih baik
Kelainan kulit lebih luas, sekitar 50-70% prognosis akan lebih buruk
Angka kematian di unit rscm (?) 16%, hanya lebih tinggi 1% dari SJS.

SCORTEN
PARAMETER

INDIVIDUAL SCORE

AGE >40

Y1 N0

MALIGNANCY

Y1 N0

TACHYCARDIA (120/minute)

Y1 N0

INITIAL SURFACE OF EPIDERMAL


DETACHMENT >10%

Y1 N0

SERUM UREA >10mmol/L

Y1 N0

SERUM GLUCOSE >14mmol/L

Y1 N0

BICARBONATE >20mmol

Y1 N0

SCORTEN

PREDICTED MORTALITY%

0-1

3,2%

12,1 %

35,8%

58,3%

>5

90%

13

Contoh kasus TEN:


Seorang anak, 15 tahun sudah 4 hari mengalami flu-like syndrome,
panas tinggi, malaise, serta pusing. Awalnya pusing diobati dengan
asam asetilsalisilat (500mg) dan codein (10mg). 3 hari kemudian,
anak tersebut mangalami maculopapular rash, yang pertama
muncul pada ekstremitas bawah dan lama kelamaan berlanjut ke
ekstremitas atas dan sampai pada muka. Anak tersebut lalu dibawa
ke rumah sakit dan diberikan antibiotic IV (cefuroxime) dengan
kecurigaan bahwa adanya infeksi.
Sehari setelah dilakukannya pemeriksaan fisik, pasien terlihat
tampak sakit sekali dan terlihat adanya spotty, dusky-colored,
erythematous exanthema pada ekstremitas bawah dan paha yang
tersebar secara simetris. Terdapat flaccid bullae dan Nikolskys sign
(+). Bullae pada area yang terinfeksi sangat mudah menyebar ke
kanan dan kiri pada penekanan ringan. Terlihat beberapa erosi yang
parah pada mukosa di kavum oral, tetapi tidak terdapat juga pada
konjungtiva dan mukosa genital
Gambaran mikroskopis dari kulit yang terkelupas memperlihatkan
bahwa terjadi nekrosis total dari epidermis, diliputi oleh jalinan dari
stratum korneum. Sedangkan biopsy yang diambil dari ekstremitas
bawah menggambarkan hampir keseluruhan mengalami nekrosis
dengan jumlah apoptosis keratinosit yang banyak pada sel basalis
yang tersisa. Infiltrat limfosit yang tipis juga terlihat pada taut
dermo-epidermal.
Pemeriksaan Lab:
- WBC: 1.4 billion cells/L
- Platelet count: 66 billion cells/L
- C-reactive protein: 15mg/L
- Albumin 30g/L
- Tes serologic: EBV (-), HSV (-), CMV (-)
- Xray & Echo dbn.

14

Leukosit mengalami penurunan menjadi 0,9 billion cells/L pada hari


berikutnya dan pasien masuk ICU. SCORTEN = 1 dan kemungkinan
mortalitas adalah 3.2 %.
Pasien juga diklasifikasi berdasarkan skor standar dari keparahan
penyakitnya setelah masuk ICU dan menurut APACHE II, skor pasien
adalah 20.
Saat di ICU, pasien mengalami dyspnea (X-ray dada: infiltrate pada
kedua lapang paru). Pasien juga mengalami polyuria dan hipotensi
sehingga memerlukan banyak cairan IV serta noradrenaline.
The detached skin was left in place and a neutral cream was applied
to the eroded areas, which were covered with non-adherent
bandage material.
Intensive care management was provided in a temperaturecontrolled environment (32C) and the only specific drug initiated
immediately to supplement antibiotics was filgrastim, given over a
3-day period at a daily dose of 5 g/kg subcutaneously.
The patient was treated in an aseptic manner and nursed on an air
mattress. Parenteral nutrition was given. Epidermal detachment
progressed to 25% of the skin surface, and dusky red macular
erythema affected 7080% of the body surface area. Progression
ceased within 1 day after starting treatment with filgrastim. The
antibiotic was discontinued one day after treatment with G-CSF was
initiated. The time between the start of development of skin lesions
and the maximum level of skin detachment was 4 days..
Discussion
The cause of the patients SJS/TEN overlap is unknown. The single
dose of a combination of acetylsalicylic acid and codeine was
considered to be an aetiological factor, but both drugs also have a
high risk for confounding by indication, since they are used either to
treat the first symptoms of the disease itself, or an infection which
may be the cause of the disease (6, 7).
TEN and SJS/TEN overlap are rare, acute and potentially fatal
diseases, which are most commonly drug-induced. There is no
specific treatment, except for standard supportive care in the ICU.
Active treatment with cyclosporin or intravenous immunoglobulin
was considered initially, but we were surprised by the rapid
improvement within 24 h of the introduction of filgrastim, and
decided to withhold supplementary treatment.
Neutropaenia is correlated with a poor prognosis in TEN (8).
Therefore, the patient was treated with G-CSF. which appears to
accelerate the re-epithelialization. The mechanism is not known.

15

Delayed re-epithelialization has been observed in GM-CSF knockout mice compared with wild types (9).
Endogenous G-CSF is produced by monocytes, fibroblasts and
endothelial cells. In the bone marrow, it regulates the production of
neutrophils (10) and induces immunotolerance by activating
CD4+ CD 25+ regulatory T cells (Tregs) from the bone marrow. This
seems to prevent further tissue damage and facilitate faster
recovery (9).
In the case described here the white blood cell count recovered to a
normal level the day after starting treatment with filgrastim, and reepithalialization was completed after 7 days. The fast recovery seen
in this patient was striking and may encourage a controlled open
trial based on a clear protocol, as has been done for cyclosporin and
intravenous immunoglobulin in the treatment of TEN (11, 12).

16

Anda mungkin juga menyukai