Anda di halaman 1dari 8

PENGEMBANGAN DIRI DALAM PELAYAN BIMBINGAN KONSELING DAN EKSTRAKURIKULER DI SEKOLAH Riswani Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN

Suska Riau E-mail: Risyang66@yahoo.com

Abstract: The personality development is one of the education components which has to be developed in curriculum. Considering that the personality development is relative new in curriculum. It emerges various questions. This article discusses the theoretically about personality development concept and its implementation procedures in the scope of guidance and counseling services and extra-curriculum activities at school/madrasah. The implementation through guidance and counseling services should consider the individual differences of the students and keep referring to 17 plus patterns.Whereas,personality development through the extra curriculum activities could also be done temporally out of effective school hours. Keywords: Personality development, guidance and counseling services, extra curriculum activities

DALAM rangka meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, pemerintah terus berupaya melakukan berbagai reformasi dalam bidang pendidikan, di antaranya dengan diluncurkannya Peraturan Mendiknas Nomor 22 tentang Standar Isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah dan Peraturan Mendiknas Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah. Untuk mengatur pelaksanaan peraturan tersebut, pemerintah mengeluarkan pula Peraturan Mendiknas Nomor 24 Tahun 2006. Ketiga peraturan ini memuat beberapa hal penting di antaranya bahwa satuan pendidikan dasar dan menengah mengembangkan dan menetapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah, yang kemudian dipopulerkan dengan istilah KTSP. Di dalam KTSP, struktur kurikulum yang dikembangkan mencakup tiga komponen, yaitu (1) mata pelajaran; (2) muatan lokal; dan (3) pengembangan diri. Komponen pengembangan diri merupakan hal yang relatif baru dan berlaku untuk dikembangkan pada semua jenjang pendidikan. Dalam kurikulum-kurikulum sebelumnya tidak ditemui istilah ini, yang ada adalah istilah bimbingan dan konseling. Sebagai sesuatu yang relatif baru, kehadirannya menarik untuk dipertanyakan. Apa hakikat pengembangan diri itu? Bagaimana implementasinya? Tulisan ini memaparkan secara teoretis tentang hakikat pengembangan diri dan cara pelaksanaannya dalam lingkup layanan bimbingan dan konseling dan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah/madrasah.

Hakikat Pengembangan Diri Dalam literatur pendidikan, khususnya psikologi pendidikan, istilah pengembangan diri dapat disamakan dengan istilah pengembangan kepribadian atau pengembangan jati diri. Meskipun sebetulnya istilah diri (self) tidak sepenuhnya identik dengan kepribadian (personality). Istilah diri dalam bahasa psikologi disebut pula sebagai aku, ego atau self yang merupakan salah satu aspek sekaligus inti dari kepribadian, yang di dalamnya meliputi segala kepercayaan, sikap, perasaan, dan cita-cita, baik yang disadari atau pun yang tidak disadari. Aku yang disadari oleh individu bisa disebut self picture (gambaran diri), sedangkan aku yang tidak disadari disebut unconscious aspect of the self (aku tak sadar). Istilah kepribadian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris personality. Kata personality berasal dari bahasa Latin pesona yang artinya topeng atau kedok. Secara terminologis, personality memiliki pengertian yang bermacam-macam. Di antaranya, personality adalah kualitas perilaku individu yang tampak dalam melakukan penyesuaian dirinya terhadap lingkungan secara unik. 1 Personality merupakan sistem yang dinamis dari sifat, sikap, dan kebiasaan yang menghasilkan tingkat konsistensi respon individu yang beragam. 2 Perkembangan kepribadian sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik heriditas (pembawaan) maupun lingkungan (seperti fisik, psikis, kebudayaan, spiritual, dan lain-lain). Perkembangan ini akan menimbulkan perubahan-perubahan kepribadian terutama pada masa anakanak dan remaja. Khusus pada masa remaja, perubahan kepribadian ini akan menjadi masa yang amat penting dan memberikan dasar bagi masa dewasa karena pada masa ini merupakan saat berkembangnya identity (jati diri). James & Mercia & Waterman (Nita E.Woolfolk, 1995) mengartikan jati diri sebagai pengorganisasian atau pengaturan dorongan-dorongan, kemampuan-kemampuan dan keyakinankeyakinan ke dalam citra diri secara konsisten yang meliputi kemampuan memilih dan meengambil keputusan baik menyangkut pekerjaan, orientasi seksual, dan filsafat hidup. 3 Apabila remaja gagal mengintegrasikan aspek-aspek dan pilihan atau merasa tidak mampu untuk memilih, maka remaja tersebut akan mengalami kebingungan. Sebaliknya, apabila remaja dapat memperoleh pemahaman yaang baik tentang aspek-aspek pokok jati dirinya seperti fisik, kemampuan intelektual, emosi, sikap, dan nilai-nilai, maka dia akan siap untuk berfungsi dalam pergaulannya yang sehat baik dengan teman sebaya, keluarga dan masyarakat tanpa dibebani oleh perasaan cemas atau bingung. Syamsu Yusuf 4 menyebutkan bahwa perkembangan identitas diri (jati diri) sangat dipengaruhi oleh (1) iklim keluarga, yaitu yang berkaitan dengan interaksi sosio-emosional antara anggota keluarga (ayah-ibu, orang tua-anak dan anak-anak) sikap dan perlakuan orang tua terhadap anak. Apabila hubungan antara keluarga hangat, harmonis, serta sikap dan perlakuan orang tua terhdap anak positif atau penuh kasih sayang, maka remaja akan mampu mengembangkan identitasnya secara realistik dan stabil (sehat). Namun, apabila sebaliknya, yaitu keluarga penuh konflik, tegang dan perselisihan, serta orang tua bersikap keras dan kurang memberi kasih sayang, maka remaja akan mengalami kegagalan dalam mencapai identitasnya secara matang, dia akan mengalami kebingungan, konflik dan frustasi; (2) tokoh idola, yaitu orang-orang yang dipersepsi oleh remaja sebagai figur yang memiliki posisi di masyarakat. Pada umumnya, tokoh yang menjadi idola atau pujaan remaja berasal dari kalangan selebritis seperti penyanyi, bintang film, dan olahragawan. Meskipun sedikit, ada juga tokoh idola remaja itu yang berasal dari tokoh masyarakat, pejuang atau pahlawan; dan (3) peluang pengembangan diri, yaitu kesempatan untuk melihat ke depan dan menguji dirinya dalam setting (adengan) kehidupan yang beragam. Dalam hal ini, eksperimentasi atau pengalaman dalam menyampaikan gagasan, penampilan peran-peran dan bergaul dengan orang lain (dalam aktivitas yang sehat) sangatlah penting bagi perkembangan identitasnya. Mengingat pentingnya peranan sekolah dalam membantu remaja menemukan identitas dirinya, Woolfolk 5 menyarankan kepada sekolah untuk membantu remaja dengan cara pertama, berilah siswa informasi tentang pilihan-pilihan karier dan peran-peran orang dewasa. Caranya dengan (1) menyarankan kepada remaja untuk membaca literatur nyang isinya menyangkut dunia kerja, dan (2) mendatangkan narasumber untuk menjelaskan tentang bagaimana dan mengapa mereka memilih t profesi yang dijalaninya; kedua, membantu sisiwa menemukan sumber-sumber untuk memecahkan

masalah pribadinya. Caranya dengan (1) mendorong mereka untuk berbicara kepada guru pembimbing dan (2) mendiskusikan potensi-potensinya; ketiga, bersikap toleran terhadap tingkah laku remaja yaang dipandang aneh, seperti dalam berpakaian. Caranya dengan mendiskusikan tatakrama dalam berpakain atau berpenampilan; dan keempat, memberi umpan balik yang realistis terhadap siswa tentang dirinya. Caranya (1) pada saat siswa berperilaku menyimpang maka diskusikanlah dengan mereka tentang dampaknya baik terhadap mereka maupun orang lain; (2) memberi contoh pada siswa tentang orang lain yang berhasil baik dalam studi maupun dalam bekerja; dan (3) mendiskusikan tentang penampilan atau perilaku yang menyimpang atau malasuai (faktor penyebab, dampak dan solusinya) Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan kepribadian akan mempengaruhi perkembangan jati diri terutama pada usia remaja. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan jati diri adalah cukupnya kesempatan yang didapat oleh remaja untuk melihat ke depan dan menguji dirinya dalam setting kehidupan yang beragam. Oleh sebab itu, para pakar menyarankan agar sekolah memfasilitasi peluang pengembangan diri bagi siswa-siswanya. Pengembangan Diri dalam Konteks Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Secara konseptual, dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 disebutkan bahwa pengembangan diri bukan merupakan kegiatan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Kegiatan pengembangan diri merupakan upaya pembentukan watak dan kepribadian peserta didik yang dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling berkenaan dengan masalah pribadi dan kehidupan sosial, kegiatan belajar, dan pengembangan karier, serta kegiatan ekstrakurikuler. Di samping itu, untuk satuan pendidikan kejuruan, kegiatan pengembangan diri, khususnya pelayanan konseling ditujukan guna pengembangan kreativitas dan karier. Untuk satuan pendidikan khusus, pelayanan konseling menekankan peningkatan kecakapan hidup sesuai dengan kebutuhan khusus peserta didik. Kegiatan pengembangan diri berupa pelayanan konseling difasilitasi/dilaksanakan oleh konselor dan kegiatan ekstrakurikuler dapat dibina oleh konselor, guru dan atau tenaga kependidikan lain sesuai dengan kemampuan dan kewenangan. 6 Pengembangan diri yang dilakukan dalam bentuk kegiatan pelayanan konseling dan kegiatan ekstrakurikuler dapat mengembangkan kompentesi dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari peserta didik. 7 Adapun tujuan yang diharapkan dari kegiatan pengembangan diri ini adalah memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat, kondisi dan perkembangan peserta didik, dengan memperhatikan kondisi sekolah/madrasah. Aspek yang dikembangkan itu mencakup bakat, minat, kreativitas, kompetensi dan kebiasaan dalam kehidupan, kemampuan kehidupan keagamaan, kemampuan sosial, kemampuan belajar, wawasan dan perencanaan karier, kemampuan pemecahan masalah dan kemandirian. 8 Dari pengertian konseptual dan tujuan pengembangan diri sebagaimana yang tertuang dalam Permendiknas Nomofr 22 Tahun 2006 tersebut, dapat disimpulkan bahwa (1) arah dan hasil yang diharapkan dari kegiatan pengembangan diri di sekolah yaitu terbentuknya keyakinanan, sikap, perasaan dan cita-cita para peserta didik yang realistis sehingga peserta didik dapat memiliki kepribadan yang sehat dan utuh.; (2) pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru; dan (3) pengembangan diri dapat dilaksanakan melalui kegiatan bimbingan dan konseling dan ekstrakurikuler. Landasan Hukum Pengembangan Diri di Sekolah Sebuah peraturan tidak akan dapat diberlakukan betapa pun pentingnya peraturan tersebut jika tidak ada legalitas formal yang mengaturnya. Legalitas formal ini akan menjadi payung hukum jika dalam pelaksanaannya peraturan tersebut menemui kendala. Di antara legalitas formal pengembangan diri di sekolah adalah (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 butir 6 yang mengemukakan bahwa konselor adalah pendidikan; pasal 3 bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik, dan pasal 4 ayat (4) bahwa pendidikan diselengarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan

mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran, dan pasal 12 ayat (1b) yang menyatakan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; (2) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 5 s/d pasal 18 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah; (3) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk satuan pendikan dasar dan menengah, yang memuat pengembangan diri peserta didik dalam struktur kurikulum setiap satuan pendidikan difasilitasi dan/atau dibimbing oleh konselor, guru atau tenaga kependidikan; dan (4) Dasar Standarisasi Profesi Konseling yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Tahun 2004 untuk memberi arah pengembangan profesi konseling di sekolah dan di luar sekolah. 9 Pengembangan Diri Melalui Pelayanan Bimbingan dan Konseling Dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 disebutkan bahwa kegiatan pengembangan diri dapat dilakukan melalui pelayanan bimbingan dan konseling (BK) dan melalui kegiatan ekstrakurikuler. Layanan BK merupakan pelayanan yang berusaha membantu peserta didik dalam pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kegiatan belajar, serta perencanaan dan pengembangan karier. Pelayanan konseling memfasilitasi pengembangan peserta didik secara individual, kelompok dan atau klasikal, sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat perkembangan, kondisi serta peluang-peluang yang dimiliki. Pelayanan ini juga membantu mengatasi kelemahan dan hambatan serta masalah yang dihadapi peserta didik. Selama ini, pelayanan BK di sekolah mengacu kepada pola 17 yang meliputi empat bidang, tuju layanan dan lima kegiataan pendukung. Seiring dengan perubahan zaman, maka permasalahan yang dihadapi oleh anak didik juga berubah dan bertambah. Wacana untuk menyesuaikan pola BK dengan bertambahnya permasalahan yang dihadapi anak didik mulai digulirkan. Wacana ini mendapat sambutan positif dari praktisi BK sehingga pola 17 kemudian diubah menjadi pola 17 plus dengan menambah beberapa bidang, layanan, dan kegiatan pendukung. Pola 17 plus ini dapat dilihat pada skema di bawah ini.

BIMBINGAN DAN KONSELING

Bidang bimbingan pribadi

Bidang bimbingan sosial

Bidang bimbingan belajar

Bidang bimbingan karir

Bid.bimb. kehidupan berkeluarga*

Bid.bimb. keberagamaan*

Layanan orientasi

Layanan Penempatan/pe nyaluran Layanan informasi Layanan penguasaan kontens

Layanan konseling perorangan Layanan konseling kelompok

Layanan bimbingan kelompok

Layanan mediasi*

Layanan konsultasi*

Himpunan data

Kunjungan rumah Ket: * = tembahan dari pola 17 menjadi pola 17 plus

Aplikasi instrumentasi

Konfrensi kasus

Alih tangan kasus

Terapi Kepus takaan*

Bidang yang dikembangkan meliputi (1) bidang pengembangan kehidupan pribadi, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami, menilai, dan mengembangkan potensi dan kecakapan, bakat dan minat serta kondisi sesuai dengan karakteristik keperibadiaan dan kebutuhan dirinya secara realistis; (2) bidang pengembangan kehidupan sosial, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai serta mengembangkan kemampuan hubungan sosial yang sehat dan efektif dengan teman sebaya, anggota keluarga, dan warga lingkungan sosial yang lebih luas; (3) bidang pengembangan kemampuan belajar, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik mengembangkan kemampuan belajar dalam rangka mengikuti pendidikan sekolah/madrasah dan belajar secara mandiri; dan (4) bidang pengembangan karier, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai informasi, serta memilih dan mengambil keputusan karier. Layanan yang dikembangkan meliputi (1)layanan orientasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik memahami lingkungan baru, terutama lingkungan sekolah/madrasah dan obyek-obyek yang dipelajari, untuk menyesuaikan diri serta mempermudah dan memperlancar peran serta didik di lingkungan yang baru; (2) layanan informasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi diri, sosial, belajar, karier/jabatan, dan pendidikan lanjutan; (3) layanan penempatan dan penyaluran, yaitu layanan yang membantu peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran yang tepat di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, dan kegiatan ektrakurikuler; (3) layanan penguasaan konten, yaitu layanan yang membantu peserta didik menguasai konten tertentu, terutama kompetensi dan atau kebiasaan yang berguna dalam kehidupan di sekolah, keluarga dan masyarakat; (4) layanan konseling perorangan, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam mengentaskan masalah pribadinya; (5) layanan bimbingan kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan hubungan sosial, kegiatan belajar, karier/jabatan, dan pengambilan keputusan, serta melakukan kegiatan tertentu melalui dinamika kelompok; (6) layanan konseling kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pembahasan dan pengentasan masalah pribadi melalui dinamika kelompok; (7) layanan konsultasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik; dan (8) layanan mediasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki hubungan antarmereka. Kegiatan pendukung meliputi (1) aplikasi instrumentasi, yaitu kegiatan mengumpulkan data tentang diri peserta didik dan lingkungannya melalui aplikasi berbagai instrumen, baik tes maupun nontes; (2) himpunan data, yaitu kegiatan menghimpun data yang relevan dengan pengembangan peserta didik, yang diselengarakan secara berkelanjutan, sistematis, komprehensif, terpadu dan bersifat rahasia; (3) konferensi kasus, yaitu kegiatan membahas permasalahan peserta didik dalam pertemuan khusus yang dihadiri oleh piha-pihak yang dapat memberikan data kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya masalah peserta didik, yang bersifat terbatas dan tertutup; (4) kunjugan rumah, yaitu kegiatan memperoleh data, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya masalah pesertas didik melalui pertemuan dengan orang tua dan atau keluarga; (5) terapi kepustakaan, yaitu kegiatan menyediakan berbagai bahan pustaka yang dapat digunakan peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan sosial kegiatan belajar, dan karier/jabatan; dan (6) alih tangan kasus, yaitu kegiatan untuk memindahkan penanganan masalah peserta didik ke pihak lain sesuia keahlian dan kewenangannya. Sesuai dengan tujuannya yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri berdasarkan kebutuhan, potensi, bakat, minat, peserta didik, maka pelaksanaan pengembangan diri haruslah, pertama memperhatikan keberagamaan individu. Hal ini dikarenakan secara psikologis, setiap siswa memiliki kebutuhan, bakat minat serta karakteristik lainya yang beragam. Oleh karena itu, bentuk kegiatan pengembangan diri pun seyogyanya dapat menyediakan beragam pilihan. Selanjutnya, ketika prinsip keragaman individu ini dikedepankan, maka hal fundamental yang harus dipertimbangkan dan dilaksanakan adalah kegiatan pengembangan diri harus terlebih dahulu diawali dengan upaya untuk mengidentifikasi kebutuhan,

bakat dan minat siswa. Upaya identifikasi ini dapat dilakukan melalui teknik tes (tes kecerdasan, tes bakat, tes minat, dan sebagainya) maupun nontes (skala sikap, inventor, observasi, studi dokumenter, wawancara dan sebagainya yang dalam pola 17 plus disebut aplikasi instrumentasi dan himpunan data). Kedua, kegiatan ini dapat menyediakan data yang memadai tentang kebutuhan, bakat, minat serta karakteristik peserta didik. Data tersebut menjadi bahan dasar untuk penyelenggaraan pengembangan diri di sekolah, baik melalui kegiatan yang bersifat temporer, kegiatan ekstrakurikuler, maupun melalui layanan bimbingan dan konseling itu sendiri. Hal penting lainnya yang harus diperhatikan terkait dengan pengembangan diri adalah ketika kegiatan pengembangan diri sudah inklusif di dalam layanan bimbingan dan konseling, mau tidak mau guru pembimbing/konselor harus merubah paradigma pendekatan yang selama ini terkesan tradisional (remedial, klinis) ke arah pendekatan bimbingan dan konseling perkembangan dan preventif (developmental guidance and counseling), atau bimbingan dan konseling komprehensif (comprehensive guidance and counseling). Kedua pendekatan pelayanan bimbingan dan konseling ini didasarkan kepada upaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan pengentasan masalah-masalah peserta didik. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai standar kompetensi yang harus dicapai peserta didik, sehingga pendekatan ini disebut juga bimbingan dan konseling berbasis standar (standard based guidance and counseling). Standar dimaksud adalah standar kompetensi kemandirian. 10 Untuk lebih rinci mengenai perbedaan kedua pendekatan klinis dan pengembangan, dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Pendekatan Pengembangan bersifat pedagogis melihat potensi klien/siswa berorientasi pengembangan potensi positif klien/siswa menggembirakan klien (siswa) dialong konselor menyentuh klien (siswa), klien (siswa) terbuka bersifat humanistis-relegius klien (siswa) sebanyak subyek memegang peranan, memutuskan tentang dirinya. Konselor hanya membantu dan memberi alternatif-alternatif. Pendekatan Klinis Bersifat klinis Melihat kelemahan klien Berorientasi pemecahan masalah klien/siswa Konselor serius Klien/siswa sering tertutup Dialog menekan perasaan klien/siswa Klien sebagai obyek

Dalam pelaksanaannya, pendekatan bimbingan dan konseling perkembangan dan preventif (developmental guidance and counseling), atau bimbingan dan konseling komprehensif (comprehensive guidance and counseling) amat menekankan kolaborasi antara konselor dengan para personal sekolah/madrasah lainnya (pimpinan sekolah/madrasah, guru-guru, dan staf administrasi), orang tua peserta didik, dan pihak-pihak terkait lainnya (seperti instansi pemerintah/swasta dan para ahli: psikolog dan dokter). Pendekatan ini terintegrasi dengan proses pendidikan di sekolah/madrasah secara keseluruhan dalam upaya membantu para peserta didik agar dapat mengembangkan atau mewujudkan potensi dirinya secara penuh, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karier. Atas dasar itu, maka implementasi bimbingan dan konseling di sekolah/madrasah diorientasikan kepada upaya memfasilitasi perkembangan potensi peserta didik yang meliputi aspek pribadi, sosial, belajar, dan karier; atau terkait dengan pengembangan pribadi peserta didik sebagai makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial, dan spiritual). 11

Dari uraian di atas, tampak bahwa kegiatan pengembangan diri melalui layanan bimbingan konseling akan mencakup banyak kegiatan sekaligus juga banyak melibatkan orang. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan dan pengorganisasian tersendiri. Namun, secara perinsip bahwa penglolaan dan pengorganisasian pengembangan diri betul-betul diarahkan untuk melayani seluruh siswa agar dapat mengembangkan dirinya secara optimal, sesuai, bakat, minat, dan kebutuhan masing-masing. Pengembangan Diri Melalui Kegiatan Ekstra Kurikuler Pengembangan diri yang dilaksanakan melalui kegiatan ekstra kurikuler yaitu kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai degan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselengarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah/madrasah. 12 Jenis kegiatan ekstrakurikuler yang dapat dilakukan di antaranya adalah (1) Krida, meliputi kepramukaan, latihan dasar kepemimpinan siswa (LDKS), palang merah remaja (PMR), pasukan pengibar bendera pusaka (PASKIBRA); (2) karya ilmiah, meliputi kegiatan ilmiah remaja (KIR), kegiatan penguasaan keilmuan dan kemampuan akademik penelitian; (3) latihan/lomba keberbakatan/prestasi, meliputi pengembangan bakat olahraga, seni dan budaya, cinta alam, jurnalistik, teater, dan keagamaan; dan (4) seminar lokakarya, dan pameran/bazar, dengan substansi antara lain karier, pendidikan, kesehatan, perlindungan HAM, keagamaan, seni dan budaya. Namun perlu diingat bahwa kegiatan ekstrakurikuler yang lazim diselengarakan di sekolah seperti yang disebutkan di atas atau jenis-jenis ekstrakurikuler lainnya yang sudah terorganisasi dan melembaga bukanlah satu-satunya kegiatan untuk pengembangan diri. Di bawah bimbimgan guru maupun orang lain yang memiliki kompentensi di bidangnya, kegiatan pengembangan diri dapat pula dilakukan melalui kegiatan-kegiatan di luar jam efektif yang bersifat temporer, seperti mengadakan diskusi kelompok, permainan kelompok, bimbingan kelompok dan kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat kelompok. Selain dilakukan melalui kegiatan yang bersifat kelompok, kegiatan pengembangan diri dapat dilakukan pula melalui kegiatan mandiri, misalnya seorang siswa diberi tugas untuk mengkaji buku, mengujungi narasumber atau mengunjungi suatu tempat tertentu untuk kepentingan pembelajaran dan pengembangan diri siswa itu sendiri. Selain kegiatan di luar kelas, dalam hal-hal tertentu kegiatan pengembangan diri bisa saja dilakukan secara klasikal dalam jam efektif, namun seyogyanya hal ini tidak dijadikan andalan, karena bagaimana pun dalam pendekatan klasikal kesempatan siswa untuk dapat mengembangkan dan mengepresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat relatif terbatasi. Hal ini tentu saja akan menjadi kurang relevan dengan tujuan dari pengembangan diri itu sendiri sebagaimana tersurat dalam rumusan tentang pengembangan diri di atas. Dibandingkan degan kurikulum sebelumnya, dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan terjadi pengurangan jumlah jam efektif setiap minggunya, namun dengan adanya pengembangan diri maka sebetulnya aktivitas pembelajaran diri siswa tidaklah berkurang, siswa justru akan lebih disibukkan lagi dengan berbagai kegiatan pengembangan diri yang memang lebih bersifat ekspresif, tanpa harus terkurung di dalam ruangan kelas. Kesimpulan Ada beberapa hal yang perlu memperoleh penegasan terkait dengan pengembangan diri sehingga dapat menghindari kerancuan pemahaman. Penegasan itu pertama, pengembangan diri bukan sebagai mata pelajaran, sehingga bentuk, rancangan, dan metodenya tidak dilaksanakan sebagai sebuah adegan mengajar seperti layaknya pembelajaran bidang studi. Namun, manakala masuk ke dalam pelayanan pengembangan minat dan bakat tak dapat dihindari akan terkait dengan substansi bidang studi dan/atau bahan ajar yang relevan dengan bakat dan minat peserta didik dan di situ adegan pembelajaran akan terjadi. Kedua, pelayanan pengembangan diri dalam bentuk ekstrakurikuler mengandung arti bahwa di dalamnya akan terjadi diversifikasi program berbasis minat dan bakat yang memerlukan pelayanan pembina khusus sesuai dengan keahliannya. Inipun berarti bahwa pelayanan pengembangan diri tidak semata-mata tugas konselor, dan tidak semata-mata sebagai wilayah bimbingan dan konseling.

Kedua hal di atas menunjukkan bahwa pengembangan diri yang terkandung dalam KTSP merupakan bagian dari kurikulum, tetapi bukan substitusi atau pengganti pelayanan bimbingan dan konseling, melainkan di dalamnya mengandung sebagian saja dari pelayanan (dasar, responsif, perencanaan individual) bimbingan dan konseling. Hal ini juga menegaskan bahwa bimbingan dan konseling tetap sebagai bagian yang terintegrasi dari sistem pendidikan. Ketika pelayanan BK masih terintegrasi di dalam sisterm pendidikan, maka pendekatan pelayanan bimbingan dan konseling yang selama ini terkesan tradisional harus dirubah menjadi pendekataan perkembangan dan pendekatan komprehensif. Catatan Akhir
Abin Syamsuddin Makmum, Psikologi Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1977). Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan (Bandung: PT Remaja RosdaKarya, 2004), hlm. 200. 3 Woolfolk Anita E., Educational Psychology (Boston: Allyn and Bacon, t.th.), hlm. 234. 4 Syamsu Yusuf, op. cit., hlm. 202. 5 Ibid., hlm. 236. 6 Ibid., hlm. 237. 7 BSNP dan Pusat Kurikulum, Panduan Pengembangan Diri (Jakarta: BSNP dan Pusat Kurikulum, 2005), hlm. 1. 8 Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia, Rambu-Rambu Penyelenggaraan BK dalam Jalur Pendidikan Formal. 9 BSNP dan Pusat Kurikulum , op. cit., hlm. 3. 10 Amirah Diniaty, Konselor Sekolah Versus Guru Mata Pelajaran: Sebuah Tinjauan dari Tugas Pokok Guru Secara Yuridis dan Praktis, Potensia: Jurnal Kependidikan Islam, vol. 6, no. 1, Juni 2007. 11 Ibid. 12 BSNP dan Pusat Kurikulum, op. cit., hlm. 3.
1 2

Anda mungkin juga menyukai