Anda di halaman 1dari 24

R-Square = 0.98952, Durbin-Watson= 2.102305, FOA= -0.

05218

V. HASIL ESTIMASI MODEL

Variable
Intercept PDBIN PDBJS DAUG PRTNG
D11
D12
D13
D14 LPJG
Paramete
r
Estimate
-13
294.2
0.0031
0.0043
-0.0072
0.0229
47
653.16
95
545.92
60
694.01
41
329.27
0.81 78

Standard Error

Pr > |t|

32 568.18
0.0011

0.6837
0.0067

0.0012
0.01 09
0.0075
31 720.8
46 931.23
38 693.3
34 138.81
0.0426

0.0006
0.5080
0.0026
0.1351
0.0435
0.1189
0.2279
<.0001

Elastisitas
SR
LR
0.046

0.046

0.095
-0.023
0.105

0.095
-0.023
0.105

5.1. Perilaku Penerimaan Daerah Kabupaten/Kota dan Provinsi


Pajak daerah merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah yang
utama. Kebijakan desentralisasi fiskal dari aspek pendapatan, antara lain dilaksanakan
dengan memberikan berbagai sumber pendapatan pajak dari pemerintah pusat ke
pemerintah

daerah,

sehingga

daerah

dapat

mengambil

kebijakan

untuk

mengoptimalkan sumber pendapatan pajak daerah. Hasil estimasi menunjukkan


bahwa pendapatan pajak daerah dipengarui oleh potensi ekonomi daerah sumber pajak,
yaitu PDB sektor industri dan jasa, yang pada umumnya menjadi obyek pajak daerah.
Selain itu, faktor kebutuhan pengeluaran daerah juga berpengaruh nyata. Artinya
semakin besar kebutuhan pengeluaran daerah akan mendorong pemerintah daerah
untuk lebih menggali potensi penerimaan pajak daerah. Alokasi dana perimbangan
khususnya DAU ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan pajak daerah.
Meskipun tidak nyata, nilai parameter yang negatif menunjukkan adanya indikasi fiscal
lazyness dari pemerintah daerah. Hal ini diduga berkaitan dengan masih tingginya
porsi dana perimbangan dalam struktur penerimaan daerah, sebagai akibat dari
kebijakan desentralisasi fiskal yang menganut desentralisasi pengeluaran, bukannya

pendapatan daerah (Tabel 26). Meskipun dalam perkebangannya beberapa sumber


pajak dan retribusi daerah ditambah, meskipun relatif terbatas.
Tabel 26. Hasil Estimasi Pendapatan Pajak Daerah

5
Dari Tabel 26 juga nampak, bila dana transfer dari pusat meningkat, ada
kecenderungan pemerintah daerah akan lebih menggantungkan pendapatan
daerah dari dana perimbangan dan ada kecenderungan enggan untuk berupaya
meningkatkan pendapatan asli daerahnya. Bila dilihat dari nilai parameter
variabel dummy, nilainya positif, mengindikasikan bahwa pendapatan pajak
daerah secara relatif lebih besar pada wilayah yang memiliki potensi ekonomi
tinggi, misalnya di wilayah Jawa (D12), Kalimantan (D13) dan Sumatera (D11).
Sementara untuk Maluku dan Papua pendapatan pajak daerah relaitf lebih
rend
ah dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Dilihat dari nilai parameter dan elastisitas yang kecil menunjukkan bahwa
rasio pajak daerah terhadap produk domestik bruto masih relatif kecil. Nilai
parameter dari PDB sektor industri misalnya yang sebesar 0.003, menunjukkan
bahwa effek marginal dari peningkatan PDB sektor industri sebesar satu juga
rupiah, maka pajak daerah akan meningkat Rp 3000 rupiah. Demikian halnya
dengan nilai elastisitas yang relatif kecil menunjukkan bahwa pajak daerah relatif
lambat meningkat seiring perkembangan potensi ekonomi daerah. Unsur
kebutuhan anggaran daerah malah yang lebih sensitif terhadap peningkatan
pajak daerah, dengan nilai parameter 0.02 dan elastisitas jangka pendek 0.1.
Artinya pajak daerah merespon 10 persen dari peningkatan kebutuhan fiskal
daerah, terutama kebutuhan anggaran rutin. Hasil ini menunjukkan bahwa
pemerintah daerah lebih tergerak untuk meningkatkan pajak daerah karena
dorongan kebutuhan fiskal dibandingkan dengan mengoptimalkan sumber
pendapatan yang ada.
dari
Sementara itu, terkait dengan pendapatan daerah yang berasal dari
retribusi, dipengaruhi oleh potensi ekonomi daerah yaitu PDRB, dana transfer
pemerintah pusat khsusunya DAU dan pendapatan pajak daerah. Pajak daerah
berpengaruh negatif, sementara potensi ekonomi dan DAU berpengaruh positif.
Gambaran

antar

wilayah

terkait

dengan

pendapatan

retribusi

daerah,

menunjukkan bahwa wilayah Maluku dan Papua relatif lebih rendah


dibandingkan wilayah lainnya. Efek marginal relatif kecil dilihat dari nilai
parameternya yang relatif kecil. Sementara itu tingkat elastisitas sebenarnya
cukup besar dibanding persamaan pajak daerah di atas. Nilai elastisitas jangka
pendek untuk ketiga variabel tersebut relatif sama, yaitu berkisar 0.2 dan 0.3.
Sementara untuk elastisitas jangka panjang, berkisar satu sampai 1 .4, cenderung
elastis. Hal ini menunjukkan bahwa potensi penerimaan daerah dari retribusi

sebenarnya masih cukup besar untuk ditingkatkan. Peningkatan pendapatan


retribusi ini dapat dilakukan dengan intensifikasi obyek yang terkena retribusi
ataupun ekstensifikasi/ perluasan obyek/layanan yang dikenakan retribusi (Tabel
27).
Tabel 27. Hasil Estimasi Pendapatan Retribusi Daerah

7
Variable
Intercept
PDBTTL
DAUG
PJG
D11
D12
D13

Paramete
r
Estimate
-14
227.3
0.0005
0.0134
-0.0366
7
713.296
43
559.48
9
178.817
9
744.663
0.7818

Standard Error
9 117.722
0.0002
0.0032
0.0133
9 146.562
14 938.720
11 291 .670
9 830.677
0.0512

D14
LRETG
Pr > |t|
Elastisitas
SR
LR
0.1208
0.0098 0.21
0.978
3
0.30
<.0001
1.398
5
0.0069
-1.184
0.26
0.4004
0.0041
0.4176
0.3231
<.0001

8
R-Sq = 0.95774, Durbin-Watson =2.2226, FOA = -0.11281

Dana alokasi umum merupakan komponen terbesar dalam struktur dana


perimbangan. Dengan pendekatan desentralisasi fiskal di Indonesia yang lebih
menitikberatkan

pada

desentralisasi

pengeluaran,

bukan

desentralisasi

pendapatan daerah, maka posisi DAU menjadi sangat strategis sebagai sumber
penerimaan

daerah.

Pendekatan

desentralisasi

dari

aspek

pengeluaran

menyebabkan ketergantungan fiskal daerah kepada pusat akan tetap tinggi. Sesuai
dengan siklus perencanaan anggaran dan program, Alokasi DAU ditentukan pada
tahun sebelumnya. Dengan demikian penentuan jumlah DAU didasarkan pada
informasi dan data pada tahun sebelumnya tersebut. Sesuai dengan fungsinya, sebagai
pengisi celah fiskal, besaran alokasi DAU pada suatu daerah dipengaruhi oleh kapasitas
fiskal daerah dalam hal ini direpresentasikan dengan pendapatan asli daerah, jumlah
kabupaten/kota dalam provinsi tersebut, dan jumlah penduduk.
Pendapatan

Asli

Daerah

yang

merepresentasikan

kapasitas

fiskal,

berpengaruh negatif terhadap alokasi DAU. Hal ini sesuai dengan kaidah alokasi DAU,
dimana pada daerah-daerah yang memiliki potensi fiskal yang tinggi akan mendapatkan
alokasi DAU yang lebih rendah, dan sebaliknya. Jumlah penduduk dan jumlah
kabupaten/kota sebagai proksi dari kebutuhan fiskal daerah untuk dapat memberikan
pelayanan yang baik kepada masyarakat. Dengan demikian

9
kedua variabel tersebut berpengaruh positif terhadap alokasi DAU. Dilihat dari
alokasi DAU antar wilayah, nampak bahwa terdapat kecenderungan DAU di
Sumatera dan Sulawesi lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Sementara untuk Jawa dan Kalimantan cenderung lebih besar dibandingkan
dengan wilayah lainnya. Dilihat dari nilai elastisitas dan dampak marginal (nilai
parameter) nya, maka variabel jumlah kabupaten/kota dan jumlah penduduk
memiliki efek multiplier lebih besar terhadap alokasi DAU. Hal ini sesuai dengan
peranan DAU yang utamanya diperuntukan untuk mengisi celah fiskal agar

10
tah daerah dapat menjalankan fungsinya dalam memberikan pelayanan

pemerin

11
kepada masyarakat.
Tabel 28. Hasil Estimasi Penerimaan Dana Alokasi Umum (DAU)

12
Variable
Intercept LPADG LMISKIN LJMLKAB PNDDK
D11
D12
D13
D14 LDAUG
Paramete
r
Estimate
218
090.6
-0.5001
73.1294
62
005.72
109.093
7
-98
454.1
267
888.2
245
507.9
-7
530.64
0.5579

Standard
Error
84 676.04
0.0648
71.7011
7 672.889
16.1809
79 755.33
125 816
101 502.8
85 823.96
0.0407

Pr > |
t|
0.011
<.000
1
0.309
4
<.000
1
<.000
1
0.219
0
0.034
9
0.016
8
0.930
2
<.000
1

Elastisitas
SR
LR
-0.194 0.438
0.028 0.062
0.303 0.685
0.255 0.577

13
R-Sq = 0.98058, Durbin-Watson = 1.812442, FOA = 0.093613

hasil

Bagi hasil pajak diperoleh dari bagi hasil atas perolehan pajak negara yang
berasal dari wilayah pemerintah daerah. Selain itu, untuk azas pemerataan, sebagian
komponen bagi hasil pendapatan pajak pusat juga diberikan kepada daerah non
penghasil. Dengan demikian penerimaan pajak utamanya dipengharui oleh
potensi penerimaan pajak di daerah tersebut, dalam hal ini direpresentasikan dari
PDRB sektor jasa dan industri. Dilihat dari nilai parameter estimasi dan juga
elastisitasnya, nampak bahwa PDB sektor industri berpengaruh lebih besar
dibadingkan dengan PDB sektor jasa. Hal ini menunjukkan bahwa potensi
penerimaan pajak lebih besar dari sektor industri. Tabel 29 menunjukkan hasil estimasi
dan nilai elastisitas pada persamaan bagi pajak. Dari parameter dummy wilayah
nampak bahwa bagi hasil pajak, cenderung lebih tinggi untuk wilayah Kalimantan.

R-Sq = 0.90908, Durbin-Watson = 3.076496, FOA =-0.53881

14
Tabel 29. Hasil Estimasi Bagi Hasil Pajak

Variable
Intercept LPDBJS LPDBIN
D11
D12
D13
D14 LBHPG
Parameter
111
298.3
0.0031
0.0061
7
717.504
-86
670.6
116
334.4
-47
224.5
0.5935

Standard Error
41 801.67
0.0012
0.0017
48 935.27
72 199.87
63 398.89
54 640.84
0.0654

Pr > |t|
0.0086
0.0144
0.0004
0.8749
0.2318
0.0685
0.3888
<.0001

Elastisitas
SR
LR
0.105
0.145

R-Sq = 0.90908, Durbin-Watson = 3.076496, FOA =-0.53881

0.258
0.358

R-

Variable
Intercept
PDBSD
D11
D12
D13

Paramet
er
10
289
170.002
958
-97 027
142 605
-25 822
0.9072

Standard
Error
70
604
920.002
231
119 593
117 945
99 485
0.034

D14
LBHSDG
Pr > |t|
Elastisitas
SR
LR
0.8843
0.01 56
-0.302 -0.809
0.8459
0.4184
0.2285
0.7956
<.0001

Sq =0.86942, Durbin-Watson = 2.368103, FOA = -0.1845

Secara umum pola alokasi bagi hasil sumberdaya mirip dengan bagi hasil pajak,
dimana ada komponen penerimaan pusat ada komponen yang dibagi hasilkan kepada
daerah, baik daerah penghasil maupun daerah non penghasil sebagai komponen
pemerataan. Meskipun perhitungannya berbeda dengan bagi hasil pajak maupun antar
jenis penerimaan sumberdaya. Sebagai contoh, perhitungan bagi hasil dari
kehutanan akan berbeda aturan pembagiannya dengan bagi hasil dari bahan tambang,
perikanan, atau minyak dan gas. Aturan perhitungan ini ditetapkan oleh pemerintah
dengan mempertimbangkan azas keadilan dan juga pemerataan kepada daerah
yang tidak memiliki potensi sumberdaya yang besar. Dengan demikian, potensi
dan pengelolaan sumberdaya di suatu wilayah akan berpengaruh positif terhadap
penerimaan bagi hasil sumberdaya pada wilayah tersebut. Hal ini direpresentasikan
dengan parameter PDRB dari sektor yang berbasis sumberdaya, yaitu sektor
pertambangan dan energi, serta sektor pertanian, kehutanan dan perikanan.
Tabel 30. Hasil Estimasi Alokasi Dana Bagi Hasil Sumberdaya

17

Nilai elastisitas PDRB sumberdaya relatif besar, yaitu 0.55 untuk jangka
pendek dan 1 .5 untuk jangka panjag menunjukkan bahwa penerimaan bagi hasil
sumberdaya cukup responsif terhadap perubahan PDRB sektor yang berbasis
sumberdaya. Dari aspek perubahan marginal, nampak juga setiap terjadi
peningkatan PDRB berbasis sumberdaya sebesar satu juta rupiah, maka akan
terjadi peningkatan penerimaan bagi hasil sebesar 39 ribu rupiah atau sekitar 3.9
persen dari peningkatan PDRB sektor pertambangan dan energi.
Dana alokasi khusus dialokasikan terutama untuk melaksanakan program
tertentu, yang dari pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh daerah. Sesuai
dengan peruntukannya, jumlah bidang yang dapat didanai dari DAK ini terus
bertambah dari waktu ke waktu, sebagaimana diuraikan di atas. Dengan semakin
banyak bidang yang mendapat alokasi DAK, dengan sendirinya alokasi DAK
secara nasional akan meningkat, meskipun dalam pendistribusian alokasi antar
daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor daerah tersebut.
Tabel 31. Hasil Estimasi Dana Alokasi Khusus

Variable
Intercept
LKAPFIS
LMISKIN
JMLKAB
D11
D12

Paramete
r
Estimate
53
019.87
-0.0098
11.8438
12 647.9
-45
453.7
-18
837.5
-6
973.39
-8
399.77
0.3616

Standard Error
26 722.74
0.0047
11.7605
2 129.374
25 462.29
36 346.8
33 073.92
27 015.04
0.0592

D13
D14
LDAKG
Pr > |t|
Elastisitas
SR
LR
0.0491
0.0394 -0.010 -0.015
0.3155
0.006 0.009
<.0001
0.085 0.133
0.0762
0.6050
0.8333
0.7563
<.0001

R-Sq = 0.73412, Durbin-Watson =2.226254, FOA = -0.11829

Secara

empiris,

alokasi

DAK

secara

nyata

dipengaruhi

oleh

jumlah

kabupaten/kota dalam satu provinsi dan kapasitas fiskal tahun sebelumnya.


Kapasitas fiskal daerah berpengaruh negatif terhadap alokasi DAK. Artinya pada

R-Sq = 0.90908, Durbin-Watson = 3.076496, FOA =-0.53881

20
daerah
yang memiliki kapasitas fiskal tinggi, alokasi DAK cenderung lebih

21
rendah, dan sebaliknya. Kapasitas fiskal dalam hal ini merupakan penjumlahan dari
PAD dan dana bagi hasil. Jumlah penduduk miskin diduga berpengaruh positif nyata,
terhadap alokasi DAK, karena salah satu peruntukan DAK adalah percepatan
pengentasan kemiskinan, ternyata secara statistik tidak nyata, meskipun tandanya
positif. Efek terbesar, baik dilihat dari nilai efek marginal

22

maupun secara relatif berdasarkan nilai elastisitasnya, jumlah kabupaten/kota


memiliki nilai parameter yang paling besar. Hal ini sejalan dengan perkembangan
jumlah kab/kota dan provinsi yang mendapat alokasi yang terus meningkat,
dimana pada awalnya hanya sebagian kabupaten/kota, saat ini, seluruh kab/kota
(DKI Jakarta) mendapat alokasi DAK. Bila dilihat pengaruh antar wilayah,
nampaknya alokasi DAK di Papua dan Maluku yang cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan wilayah lainnya.

5.2. Perilaku Pengeluaran Pemerintah Daerah


Dalam estimasi perilaku pengeluaran pemerintah daerah, secara garis
besar struktur pengeluaran daerah terdiri atas pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan. Untuk pengeluaran rutin, hanya satu persamaan,
sementara pengeluaran pembangunan dirinci berdasarkan sektor utama, yaitu
sektor pertanian, industri, jasa, infrastruktur, dan layanan umum. Pengeluaran
pembangunan pada sektor-sektor yang lain dikategorikan sebagai pengeluaran
pembangunan lainnya. Pada estimasi persamaan pengeluaran secara sekaligus
dapat digunakan untuk melihat terjadinya flypaper effect, yang diindikasikan
adanya perbedaan respon pengeluaran dari berbagai sumber pendapatan
daerah. Perbedaan respon ini dapat dilihat dari besaran efek marginal (nilai
parameter estimasi) maupun secara relatif dari nilai elastisitas pada variabel
sumber pendapatan daerah. Pengaruh ada tidaknya flypaper effect terhadap
perekonomian dapat dilihat lebih lanjut dari bagaimana tingkat efektivitas
pengeluaran pemerintah terhadap perekonomian.
Pada persamaan pengeluaran rutin pemerintah daerah, faktor sumber
penerimaan bagi hasil dan dana alokasi umum berpengaruh positif dan nyata,
sementara untuk pendapatan asli daerah (PAD) berpengaruh positif, tapi tidak
signifikan secara statistik. Indikator antar wilayah menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang nyata, terutama di wilayah Jawa (D12) yang menunjukkan
kecenderungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain. Hal ini
sejalan dengan kondisi data empiris, dimana pengeluaran rutin pemerintah
daerah di wilayah Pulau Jawa yang lebih besar baik dari aspek jumlah maupun
proporsi terhadap pengeluaran totalnya. Efek marginal dari peningkatan DAU
terhadap pengeluaran rutin daerah menunjukkan angka yang paling besar diikuti
dengan dana bagi hasil dan terakhit PAD. Bila dilihat dari perubahan relatif, yaitu
dari nilai elastisitasnya, juga menunjukkan hal yang serupa, dimana elastisitas

Anda mungkin juga menyukai