05218
Variable
Intercept PDBIN PDBJS DAUG PRTNG
D11
D12
D13
D14 LPJG
Paramete
r
Estimate
-13
294.2
0.0031
0.0043
-0.0072
0.0229
47
653.16
95
545.92
60
694.01
41
329.27
0.81 78
Standard Error
Pr > |t|
32 568.18
0.0011
0.6837
0.0067
0.0012
0.01 09
0.0075
31 720.8
46 931.23
38 693.3
34 138.81
0.0426
0.0006
0.5080
0.0026
0.1351
0.0435
0.1189
0.2279
<.0001
Elastisitas
SR
LR
0.046
0.046
0.095
-0.023
0.105
0.095
-0.023
0.105
daerah,
sehingga
daerah
dapat
mengambil
kebijakan
untuk
5
Dari Tabel 26 juga nampak, bila dana transfer dari pusat meningkat, ada
kecenderungan pemerintah daerah akan lebih menggantungkan pendapatan
daerah dari dana perimbangan dan ada kecenderungan enggan untuk berupaya
meningkatkan pendapatan asli daerahnya. Bila dilihat dari nilai parameter
variabel dummy, nilainya positif, mengindikasikan bahwa pendapatan pajak
daerah secara relatif lebih besar pada wilayah yang memiliki potensi ekonomi
tinggi, misalnya di wilayah Jawa (D12), Kalimantan (D13) dan Sumatera (D11).
Sementara untuk Maluku dan Papua pendapatan pajak daerah relaitf lebih
rend
ah dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Dilihat dari nilai parameter dan elastisitas yang kecil menunjukkan bahwa
rasio pajak daerah terhadap produk domestik bruto masih relatif kecil. Nilai
parameter dari PDB sektor industri misalnya yang sebesar 0.003, menunjukkan
bahwa effek marginal dari peningkatan PDB sektor industri sebesar satu juga
rupiah, maka pajak daerah akan meningkat Rp 3000 rupiah. Demikian halnya
dengan nilai elastisitas yang relatif kecil menunjukkan bahwa pajak daerah relatif
lambat meningkat seiring perkembangan potensi ekonomi daerah. Unsur
kebutuhan anggaran daerah malah yang lebih sensitif terhadap peningkatan
pajak daerah, dengan nilai parameter 0.02 dan elastisitas jangka pendek 0.1.
Artinya pajak daerah merespon 10 persen dari peningkatan kebutuhan fiskal
daerah, terutama kebutuhan anggaran rutin. Hasil ini menunjukkan bahwa
pemerintah daerah lebih tergerak untuk meningkatkan pajak daerah karena
dorongan kebutuhan fiskal dibandingkan dengan mengoptimalkan sumber
pendapatan yang ada.
dari
Sementara itu, terkait dengan pendapatan daerah yang berasal dari
retribusi, dipengaruhi oleh potensi ekonomi daerah yaitu PDRB, dana transfer
pemerintah pusat khsusunya DAU dan pendapatan pajak daerah. Pajak daerah
berpengaruh negatif, sementara potensi ekonomi dan DAU berpengaruh positif.
Gambaran
antar
wilayah
terkait
dengan
pendapatan
retribusi
daerah,
7
Variable
Intercept
PDBTTL
DAUG
PJG
D11
D12
D13
Paramete
r
Estimate
-14
227.3
0.0005
0.0134
-0.0366
7
713.296
43
559.48
9
178.817
9
744.663
0.7818
Standard Error
9 117.722
0.0002
0.0032
0.0133
9 146.562
14 938.720
11 291 .670
9 830.677
0.0512
D14
LRETG
Pr > |t|
Elastisitas
SR
LR
0.1208
0.0098 0.21
0.978
3
0.30
<.0001
1.398
5
0.0069
-1.184
0.26
0.4004
0.0041
0.4176
0.3231
<.0001
8
R-Sq = 0.95774, Durbin-Watson =2.2226, FOA = -0.11281
pada
desentralisasi
pengeluaran,
bukan
desentralisasi
pendapatan daerah, maka posisi DAU menjadi sangat strategis sebagai sumber
penerimaan
daerah.
Pendekatan
desentralisasi
dari
aspek
pengeluaran
menyebabkan ketergantungan fiskal daerah kepada pusat akan tetap tinggi. Sesuai
dengan siklus perencanaan anggaran dan program, Alokasi DAU ditentukan pada
tahun sebelumnya. Dengan demikian penentuan jumlah DAU didasarkan pada
informasi dan data pada tahun sebelumnya tersebut. Sesuai dengan fungsinya, sebagai
pengisi celah fiskal, besaran alokasi DAU pada suatu daerah dipengaruhi oleh kapasitas
fiskal daerah dalam hal ini direpresentasikan dengan pendapatan asli daerah, jumlah
kabupaten/kota dalam provinsi tersebut, dan jumlah penduduk.
Pendapatan
Asli
Daerah
yang
merepresentasikan
kapasitas
fiskal,
berpengaruh negatif terhadap alokasi DAU. Hal ini sesuai dengan kaidah alokasi DAU,
dimana pada daerah-daerah yang memiliki potensi fiskal yang tinggi akan mendapatkan
alokasi DAU yang lebih rendah, dan sebaliknya. Jumlah penduduk dan jumlah
kabupaten/kota sebagai proksi dari kebutuhan fiskal daerah untuk dapat memberikan
pelayanan yang baik kepada masyarakat. Dengan demikian
9
kedua variabel tersebut berpengaruh positif terhadap alokasi DAU. Dilihat dari
alokasi DAU antar wilayah, nampak bahwa terdapat kecenderungan DAU di
Sumatera dan Sulawesi lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Sementara untuk Jawa dan Kalimantan cenderung lebih besar dibandingkan
dengan wilayah lainnya. Dilihat dari nilai elastisitas dan dampak marginal (nilai
parameter) nya, maka variabel jumlah kabupaten/kota dan jumlah penduduk
memiliki efek multiplier lebih besar terhadap alokasi DAU. Hal ini sesuai dengan
peranan DAU yang utamanya diperuntukan untuk mengisi celah fiskal agar
10
tah daerah dapat menjalankan fungsinya dalam memberikan pelayanan
pemerin
11
kepada masyarakat.
Tabel 28. Hasil Estimasi Penerimaan Dana Alokasi Umum (DAU)
12
Variable
Intercept LPADG LMISKIN LJMLKAB PNDDK
D11
D12
D13
D14 LDAUG
Paramete
r
Estimate
218
090.6
-0.5001
73.1294
62
005.72
109.093
7
-98
454.1
267
888.2
245
507.9
-7
530.64
0.5579
Standard
Error
84 676.04
0.0648
71.7011
7 672.889
16.1809
79 755.33
125 816
101 502.8
85 823.96
0.0407
Pr > |
t|
0.011
<.000
1
0.309
4
<.000
1
<.000
1
0.219
0
0.034
9
0.016
8
0.930
2
<.000
1
Elastisitas
SR
LR
-0.194 0.438
0.028 0.062
0.303 0.685
0.255 0.577
13
R-Sq = 0.98058, Durbin-Watson = 1.812442, FOA = 0.093613
hasil
Bagi hasil pajak diperoleh dari bagi hasil atas perolehan pajak negara yang
berasal dari wilayah pemerintah daerah. Selain itu, untuk azas pemerataan, sebagian
komponen bagi hasil pendapatan pajak pusat juga diberikan kepada daerah non
penghasil. Dengan demikian penerimaan pajak utamanya dipengharui oleh
potensi penerimaan pajak di daerah tersebut, dalam hal ini direpresentasikan dari
PDRB sektor jasa dan industri. Dilihat dari nilai parameter estimasi dan juga
elastisitasnya, nampak bahwa PDB sektor industri berpengaruh lebih besar
dibadingkan dengan PDB sektor jasa. Hal ini menunjukkan bahwa potensi
penerimaan pajak lebih besar dari sektor industri. Tabel 29 menunjukkan hasil estimasi
dan nilai elastisitas pada persamaan bagi pajak. Dari parameter dummy wilayah
nampak bahwa bagi hasil pajak, cenderung lebih tinggi untuk wilayah Kalimantan.
14
Tabel 29. Hasil Estimasi Bagi Hasil Pajak
Variable
Intercept LPDBJS LPDBIN
D11
D12
D13
D14 LBHPG
Parameter
111
298.3
0.0031
0.0061
7
717.504
-86
670.6
116
334.4
-47
224.5
0.5935
Standard Error
41 801.67
0.0012
0.0017
48 935.27
72 199.87
63 398.89
54 640.84
0.0654
Pr > |t|
0.0086
0.0144
0.0004
0.8749
0.2318
0.0685
0.3888
<.0001
Elastisitas
SR
LR
0.105
0.145
0.258
0.358
R-
Variable
Intercept
PDBSD
D11
D12
D13
Paramet
er
10
289
170.002
958
-97 027
142 605
-25 822
0.9072
Standard
Error
70
604
920.002
231
119 593
117 945
99 485
0.034
D14
LBHSDG
Pr > |t|
Elastisitas
SR
LR
0.8843
0.01 56
-0.302 -0.809
0.8459
0.4184
0.2285
0.7956
<.0001
Secara umum pola alokasi bagi hasil sumberdaya mirip dengan bagi hasil pajak,
dimana ada komponen penerimaan pusat ada komponen yang dibagi hasilkan kepada
daerah, baik daerah penghasil maupun daerah non penghasil sebagai komponen
pemerataan. Meskipun perhitungannya berbeda dengan bagi hasil pajak maupun antar
jenis penerimaan sumberdaya. Sebagai contoh, perhitungan bagi hasil dari
kehutanan akan berbeda aturan pembagiannya dengan bagi hasil dari bahan tambang,
perikanan, atau minyak dan gas. Aturan perhitungan ini ditetapkan oleh pemerintah
dengan mempertimbangkan azas keadilan dan juga pemerataan kepada daerah
yang tidak memiliki potensi sumberdaya yang besar. Dengan demikian, potensi
dan pengelolaan sumberdaya di suatu wilayah akan berpengaruh positif terhadap
penerimaan bagi hasil sumberdaya pada wilayah tersebut. Hal ini direpresentasikan
dengan parameter PDRB dari sektor yang berbasis sumberdaya, yaitu sektor
pertambangan dan energi, serta sektor pertanian, kehutanan dan perikanan.
Tabel 30. Hasil Estimasi Alokasi Dana Bagi Hasil Sumberdaya
17
Nilai elastisitas PDRB sumberdaya relatif besar, yaitu 0.55 untuk jangka
pendek dan 1 .5 untuk jangka panjag menunjukkan bahwa penerimaan bagi hasil
sumberdaya cukup responsif terhadap perubahan PDRB sektor yang berbasis
sumberdaya. Dari aspek perubahan marginal, nampak juga setiap terjadi
peningkatan PDRB berbasis sumberdaya sebesar satu juta rupiah, maka akan
terjadi peningkatan penerimaan bagi hasil sebesar 39 ribu rupiah atau sekitar 3.9
persen dari peningkatan PDRB sektor pertambangan dan energi.
Dana alokasi khusus dialokasikan terutama untuk melaksanakan program
tertentu, yang dari pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh daerah. Sesuai
dengan peruntukannya, jumlah bidang yang dapat didanai dari DAK ini terus
bertambah dari waktu ke waktu, sebagaimana diuraikan di atas. Dengan semakin
banyak bidang yang mendapat alokasi DAK, dengan sendirinya alokasi DAK
secara nasional akan meningkat, meskipun dalam pendistribusian alokasi antar
daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor daerah tersebut.
Tabel 31. Hasil Estimasi Dana Alokasi Khusus
Variable
Intercept
LKAPFIS
LMISKIN
JMLKAB
D11
D12
Paramete
r
Estimate
53
019.87
-0.0098
11.8438
12 647.9
-45
453.7
-18
837.5
-6
973.39
-8
399.77
0.3616
Standard Error
26 722.74
0.0047
11.7605
2 129.374
25 462.29
36 346.8
33 073.92
27 015.04
0.0592
D13
D14
LDAKG
Pr > |t|
Elastisitas
SR
LR
0.0491
0.0394 -0.010 -0.015
0.3155
0.006 0.009
<.0001
0.085 0.133
0.0762
0.6050
0.8333
0.7563
<.0001
Secara
empiris,
alokasi
DAK
secara
nyata
dipengaruhi
oleh
jumlah
20
daerah
yang memiliki kapasitas fiskal tinggi, alokasi DAK cenderung lebih
21
rendah, dan sebaliknya. Kapasitas fiskal dalam hal ini merupakan penjumlahan dari
PAD dan dana bagi hasil. Jumlah penduduk miskin diduga berpengaruh positif nyata,
terhadap alokasi DAK, karena salah satu peruntukan DAK adalah percepatan
pengentasan kemiskinan, ternyata secara statistik tidak nyata, meskipun tandanya
positif. Efek terbesar, baik dilihat dari nilai efek marginal
22