Anda di halaman 1dari 7

TAFSIR ISYARI

Oleh : Hj. Muthmainnah, MA


I. PENDAHULUAN
Sejarah kebudayaan Islam mencatat pertumbuhan dan perkembangan khazanah pemikiran Islam yang sangat menakjubkan dari
masa ke masa. Indikatornya dapat dilihat dari kekayaan ragam (khazanah) aliran pemikiran dan karakter sikap keberagamaan umat Islam
terhitung sejak masa permulaan kelahiran Islam.
Kompleksititas pemikiran dan sikap keberagamaan umat Islam ini menunjukkan sinyalemen positif berkenaan dengan keluwesan
dan elegansi syariat Islam. Sehingga membuka peluang yang sebesar-besarnya terhadap pengembangan wacana keislaman dalam kerangka
Islam inklusif dan menolak tudingan sosok Islam yang cenderung eksklusif. Argumen tersebut dalam pandangan menulissangat paralel
dengan sabda Nabi Muhammad saw.: Perbedaan (pendapat/sikap) yang terjadi di tengah-tengah umatku (hendaknya) dijadikan sebagai rahmat.
Tasawuf,yang menjadi bahasan utama dalam makalah inimerupakan aliran pemikiran dalam Islam yang menitikberatkan
metode berfikirnya dalam perspektif esoteris (bathini); suatu mazhab yang telah banyak ,elahirkan tokoh-tokoh sufi besar sekelas Ibn Arabi,
Ibn al-Rusyd, Imam al-Ghazali dan lain-lain. Dalam sejarah, mereka dikenal sebagai ulama yang memiliki integritas tinggi dengan sejumlah
keunggulan dalam hal kedalaman intuisi dan kemampuan menangkap hikmah-hikmah ilahi yang bersifat ghaib. Orang akhirnya mengenal
aliran ini dan menyebutnya sebagai aliran mistisisme dalam Islam.
Esoterisme yang melekat erat pada aliran ini berpengaruh kuat ke pelbagai aspek pemikiran mereka, termasuk dalam hal menafsirkan
al-Quran. Laiknya sebuah kelompok pemikiran dalam Islam, kaum sufi banyak melakukan riset dan kajian secara mendalam terhadap al-
Quran seraya mereka melakukan serangkaian penafsiran-penafsiran. Dengan begitu, mereka akhirnya memiliki literatur-literatur yang
cukup banyak berkenaan dengan bidang tafsir al-Quran. Perlu dicatat bahwa kajian-kajian yang dilakukan sama sekali tidak melepaskan
kekhasan yang melekat pada mereka, yakni khas tasawuf.[1]
Dalam perkembangannya, tafsir versi sufi tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua aliran besar sebagai implikasi dan
kecenderungan mereka dilihat dari segi metodologi tasawuf mereka.Pertama, tafsir sufi nazhari, yakni suatu metodolgi yang dibangun
berdasarkan kajian-kajian mendalam dengan mencurahkan segenap perhatian untuk meneliti, mengkaji, memahami, dan mendalami al-
Quran dengan sudut pandang sesuai teori-teori tasawuf mereka. Aliran pemikiran inilah yang banyak mendapat kritik dari kalangan ulama
karena dianggap banyak menyimpang dari koridor pemahaman dan metodologi yang berlaku umum. Dalam beberapa literatur, kelompok
ini disebut tasawuf falsafi (teoretis). Penyebutan ini mengidentifikasikan pada pemikiran para filosof. Kelompok ini sering menyebut Ibn
Arabi sebagai tokohnya.
Kedua, tafsir sufi isyari, yakni metodologi penafsiran gaya sufi yang dibangun atas dasar latihan (riydhah) keruhanian yang telah ditetapkan
oleh mufassir sufi pada dirinya. Dengan latihan ini pula mereka dapat menerima isyarat-isyarat dan limpahan nur ilahi.[2] Para sufi dalam
kelompok ini menjadikan isyarat-isyarat batiniah sebagai petunjuk penafsiran ayat-ayat suci al-Quran.
Dalam makalah ini, penulis akan memberikan gambaran seputar tafsir sufi atau dalam hal ini tafsir isyari secara deskriptif analitis.
Namun demikian, penulis akan membatasi pembahasan hanya pada persoalan tafsir isyari, tidak pada metodologi tafsir sufi secara umum.

II. PEMBAHASAN
Pengertian Tafsir Isyari
Secara etimologi, kata isyari berasal dari kata isyrah yang bermakna menunjuk kepada sesuatu dengan tangan, mata atau alis.[3]Adapun
secara terminologi, berikut penulis kemukakan beberapa definisi yang dirumuskan oleh para ulama dengan asumsi akan mengantarkan kita
pada pemahaman yang shahih dan akurat:
Subhi al-Shlih[4]

Mentawilkan ayat-ayat al-Quran berbeda dengan makna zhahirnya serta memalingkan seluruh makna di antara yang zhahir dan yang tersembunyi.

Imam al-Zarqni[5]

Sebuah upaya pentakwilan al-Quran berbeda dengan zhahirnya tentang isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak bagi ahli suluk dan ahli tasawuf
serta memungkinkan adanya penggabungan antara makna yang tersembunyi dan makna yang tampak (zhahir).

Imam Al al-Shbni[6]



Mentakwilkan al-Quran berbeda dengan zhahirnya tentang isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak bagi orang yang memiliki ilmu
laduni atau orang-orang yang arif billah seperti para ahli suluk dan bermujahadah dengan menundukkan nafsunya sehingga mereka memperoleh cahaya
Allah yang menyinari serta menembus rahasia al-Quran al-Adzim. Atau mereka yang telah digoresi pikirannya dengan sebagian makna yang dalam
melalui ilham ilahi atu futuh rabbani yang memungkinkan baginya untuk memadukan dengan yang zhahir, yakni makna ayat-ayat yang dimaksud.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tafsir isyari ialah menakwilkan ayat-
ayat suci al-Quran dengan menyalahi ketentuan-ketentuan zhahir ayat sehingga dapat menyingkap isyarat-isyarat tersembunyi.
Kemampuan menangkap makna tersebut tidak akan tampak kecuali bagi orang yang telah dibukakan hatinya oleh Allah swt., diberikan
cahayaNya, dan dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang saleh. Bagi mufassir kalangan sufi, isyarat-isyarat yang tersembunyi
dapat disingkap setelah melakukan pelbagai bentuk riydhah (latihan) keruhanian kepada Allah swt.
Metodologi Tafsir Isyari
Tafsir isyari mendasari metodologinya dengan berawal dari pemahaman bahwa ayat-ayat al-Quran memiliki dua makna, yaitu makna
zhahir dan makna batin. Maksud dari zhahir menurut mereka adalah makna yang langsung bisa diterima oleh akal manusia sebelum yang
lainnya. Sedangkan makna batin adalah makna yang tersembunyi dari tanda-tanda ataupun isyarat-isyarat yang tampak oleh para pelaku
suluk.
Ada juga yang memberikan pengertian makna zhahir sebagai bunyi ayatnya dan makna batin adalah takwilnya. Sebagian ulama
menjelaskan bahwa kisah-kisah dalam al-Quran seperti kisah-kisah umat terdahulu dan apa yang menimpa mereka adalah makna zhahir
yang memberikan pengertian ikhbar (pengabaran) tentang kehancuran mereka. Adapun makna batinnya adalah sebagai pelajaran bagi umat
sesudahnya sekaligus peringatan untuk mereka agar tidak melakukan pelanggaran seperti yang dilakukan oleh umat terdahulu.[7]
Sebagian kalangan sufi memahami bahwa makna batin tidak dapat diketahui melainkan dengan cara riydhah rhaniyyah (semacam amalan
olah jiwa). Berawal dari eksperimen jiwa inilah seorang sufi bisa mencapai derajat kasyf (terbukanya tabir rahasia) yang dengannya isyarat-
isyarat suci dari balik untaian ayat-ayat al-Quran dapat dicapai.[8]
Adapun kalangan sufi nazhari mendasari tafsirnya dengan pemahaman falsafah. Dari sinilah terdapat perbedaan mendasar antara tafsir sufi
nazhari dan tafsir sufi isyari, yaitu:
Tafsir sufi nazhari berdasar atas pendekatan-pendekatan teori falsafah Yunani yang bermula dari pemikiran sufi kemudian ayat-ayat al-
Quran diletakkan sesudahnya. Dengan kata lain mencari pembenaran atas pemikirannya dengan al-Quran. Sedangkan tafsir isyari tidak
berkonsentrasi pada pendekatan-pendekatan teori falsafah, tapi berdasar pada amalan olah jiwa yang digunakan untuk mencapai
deerajat kasyf dari ayat-ayat al-Quran.
Mufassir tafsir nazhari menganggap bahwa setiap apa yang menjadi kandungan dari ayat adalah makna. Hal ini tergantung pada
kemampuan penafsirnya. Sedangkan dalam tafsir isyari, seorang sufi tidak menganggap bahwa semuanya dapat terkandung dalam ayat,
tapi terdapat makna yang dibawa oleh ayat itu sendiri sebelum ada makna yang lainnya. Inilah makna zhahir ketika langsung dipahami
oleh akal sebelum yang lainnya.[9]
Argumen Syari Tafsir Isyari
Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi berkata dalam bukunya Al-Tafsr wa al-Mufassirn bahwa sebenarnya tafsir isyari dalam rangka
menampakkan makna-makna ayat al-Quran bukan barang yang baru, akan tetapi hal tersebut sudah ada sejak al-Quran ini diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw. Terkadang al-Quran memberikan isyarat, lalu Nabi menegaskannya dan diketahui oleh para sahabat.[10]
Di antara dalil-dalil al-Quran yang melandasi tafsir isyari ini adalah firman Allah swt.:
^^) }^4 @/u^+^ _4OE^- CU+--:4^4 4` W-ON`O~ -4O-474 _
E74 7/E* +O4L^1=;OEO) 4`) -)lG` :( 21 )
Sesungguhnya kami menghidupkan orang-orang mati dan kami menuliskan apa yang Telah mereka kerjakan dan
bekas-bekas yang mereka tinggalkan. dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh
mahfuzh).

p)4 }g)` 7/E* ) 4^E4gN +ON4j*.-4OE= 4`4 N.j)O46+^ )
OE) OUuE` :( 12 )
Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya dan kami tidak menurunkannya melainkan
dengan ukuran yang tertentu.

E g7^E- gO^- 4p1~4C 4pO_^4C LVCg4 ( : 87 )
Maka Mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun.

Kelompok yang mendukung keberadaan tafsir isyari juga mendasari argumentasinya kepada beberapa rujukan hadis nabi saw., seperti apa
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam shahih-nya sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata: Umar mempersilahkanku bersama-sama para sahabat ahli Badar. Diantara mereka ada yang
berkata, mengapa engkau mempersilahkan anak kecil ini bersama kami, padahal kami memiliki anak keci seperti dia?, Umar lalu
menjawab, Ia adalah orang yang telah kalian kenal kepandaiannya. Pada suatu ketika aku dipanggil dan dimasukkan ke dalam kelompok
mereka. Ibnu Abbas berkata: Aku berkeyakinan Umar memanggilku semata-mata untuk diperkenalkan kepada mereka, lalu Umar
berkata, Apakah pendapat kalian tentang firman Allah swt. . Maka di kalangan mereka ada yang menjawab, Kami
disuruh memuji dan meminta ampun kepada Allah swt. ketika mendapat pertolongan dan kemenangan. Sementara sahabat yang lain diam
seribu bahasa. Umar lalu melontarkan pertanyaan itu kepadaku (Ibnu Abbas), Begitukah pendapatmu, Ibnu Abbas?. Aku menjawab,
Ayat ini menunjukkan ajal Rasulullah saw. Hal mana ia memberitahukan kepadanya melalui firmanNya, itu adalah
pertanda tentang dekatnya ajalmu, maka bertasbihlah dan pujilah Rabbnu serta mohonlah ampunan kepadaNya. Sesungguhnya Dia Maha
Penerima Taubat. Kemudian Umar berkata, Aku tidak tahu pengertian ayat tersebut sebelum engkau jelaskan.[11]
Periwayatan lain yang bisa juga menambah penguatanmasyruiyyah tafsir bil isyarah adalah seperti dalam sebuah riwayat tentang turunnya
surat al-Maidah ayat 3:
;4O4O^- eUE^ 7 7E4Cg1 e;E^`4 7^OU4 /Eug^
e14O4 N7=Uce"- 44Cg1
Ketika ayat ini turun, Umar bin Khatab menangis, maka Nabi saw. Bertanya: Apa yang membuatmu menangis? Umar menjawab, Yang
membuatku menangis adalah ketika dahulu kami berada dalam keadaan agama ini senantiasa bertambah (menuju kesempurnaan), maka
apabila telah sempurna, sesungguhnya tidak ada kesempurnaan sesudah itu melainkan hanyalah penurunan, lalu Nabi bersabda: engkau
benar.[12]
Dalam riwayat tersebut di atas, Umar bin Khattab ra. mengetahui makna isyari, yaitu semakin dekatnya ajal Rasulullah saw. Dan
pemahaman beliau dibenarkan oleh Nabi. Adapun sebagian sahabat bahagia dengan turunnya ayat ini karena mereka memahaminya
sebagai sebuah kabar gembira tentang kesempurnaan agama Islam yang menjadi makna zhahir ayat.
Demikianlah, langsung ataupun tidak, bahwa dali-dalil di atas menunjukkan keniscayaan penafsiran bathini atau esoteris. Secara historis,
dengan demikian, telah terjadi contoh-contoh atau kasus yang menunjukkan adanya penafsiran laiknya para sufi, terlepas dari kualifikasi
faliditas rujukan yang mereka kemukakan.
Karakteristik Tafsir Isyari
Menurut Imam al-Syathibi, karakteristik tafsir isyari adalah sebagai berikut:
1. Al-Quran memiliki makna zhahir dan makna batin
Makna zhahir adalah makna umum dan hanya dapat dipahami oleh umumnya orang, sedangkan makna batin adalah makna khusus yang
tidak semua orang dapat memahaminya, hanya orang yang dibukakan pintu hatinya oleh Allah saja yang dapat memahaminya.
2. Meskipun tafsir isyari mengakui tafsir zhahir, namun ia masih menggunakan atsar seperti yang dilakukan tafsir bi al-matsur atau tafsir
bi al-rayi dengan cara mengambil istinbath. Tafsir ini juga kadang-kadang menggunakan metode tafsir balaghi (bahasa).
3. Dalam menafsirkan ayat senantiasa menggunakan istilah-istilah tasawuf.
4. Kadang-kadang tafsir ini mengangkat makna yang sangat sulit dipahami sehingga menyebabkan kekufuran dan kezindikan..
5. Sering menggunakan dalil di luar al-Quran dan sunnah, tidak teliti dalam mencermati kedudukan hadis dan tidak lepas dari fikrah
batiniyah.
6. Tidak menerima israiliyat.[13]

Pandangan Ulama tentang Tafsir Isyari
Para ulama berbeda pendapat mengenai eksistensi tafsir isyari. Sebagian mereka ada yang membolehkan, sementara yang lain
menghujatnya. Ada yang mengatakan termasuk dari kesempurnaan iman dan kedalaman ilmu. Bahkan ada yang lebih ekstrim lagi yakni
menganggap sesat dan menyimpang dari ajaran syariat bagi siapa saja yang mengikutinya. Berikut akan dikemukakan beberapa tanggapan
para ulama tersebut.
Al-zarkasyi dalam kitab al-Burhan, sebagaimana yang dituturkan Hasbi[14], menyatakan bahwa perkataan ulama sufi dalam
menafsirkan al-Quran sebenarnya bukanlah termasuk kategori tafsir. Semua itu hanyalah perasaan dan khayalan mereka belaka ketika
membaca al-Quran. Seperti dalam kasus penafsiran Q.S. Al-Taubah ayat 123 tentang memerangi orang kafir di sekitar kita, yang kemudian
ditafsirkan dengan membunuh atau memusnahkan nafsu yang memang berada pada diri setiap manusia.
Ibnu Shalah dalam fatwanya berkata ketika ditanya tentang ucapan-ucapan kaum sufi mengenai al-Quran, Saya mendapatkan
informasi dari imam Abu Hasan al-Wahidi, seorang mufassir, berkata, Imam Ab Abdurrahman al-Sulami telah mengarang sebuah kitab
yang berjudul Haqiq al-Tafsr. Jika ada yang berkeyakinan bahwa itu adalah kitab tafsir, maka sungguh ia telah kafir.[15] Demikianlah,
Ibnu Shalah mengaharamkan penafsiran model ini, bahkan menggolongkan kafir bagi yang mengikuti atau bahkan sekedar memberi
dukungan saja.
Sedangkan Iman al-Suyuthi berpandangan bahwa makna zhahir ayat dapat dipahami dari kenyataan yang dibawa oleh ayat itu dan
ditunjukkan oleh pengertian-pengertian kebahasaan. Kemudian, pemahaman batin adalah pemahaman atas ayat atau hadis bagi orang yang
telah dibukakan hatinya oleh Allah swt.[16] jadi dalam hal ini, al-Suyuthi membolehkan penggunaan metode tafsir isyari dalam
memahami kandungan al-Quran, tapi membatasi kepada orang-orang tertentu saja, yakni mereka yang mendapatkan cahaya Ilahi.
Akan tetapi Ibnu Arabi menganggap bahwa ucapan-ucapan para sufi dalam menafsirkan al-Quran dapat dikatakan sebagai tafsir
yang hakiki bagi makna-makna al-Quran. Tafsir mereka itu bukanlah sekedar perbandingan makna-makna tersebut. Penamaan tafsir sufi
itu sendirimenurut Arabisudah menunjukkan isyarat adanya sikap yang berlawanan dengan ulama zhahiri.[17] Sikap Arabi ini
menunjukkan bahwa ia tidak mengingkari adanya kelimpahan dan isyarat-isyarat yang dianugerahkan Allah swt. kepada siapa saja yang
dikehendakinya. Allah swt. akan memberikan kekhususan kepada sebagian hamba-hambaNya dengan sebagian rahasia-rahasia dan
hikmah-hikmahNya.[18]
Demikianlah beberapa pandangan para ulama seputar pro-kontra keberadaan tafsir isyari. Dari keragaman pandangan tersebut dapatlah
dipahami bahwa tidak semua pihak sepakat dengan model tafsir isyari. Yang menjadi persoalan adalah sulitnya merumuskan metodologi
tafsir ini dalam konteks makro. Artinya, produk tafsir ini tidak memungkinkan dikonsumsi oleh orang-orang awam.
Syarat-syarat Tafsir Isyari
Terlepas dari pro-kontra yang telah dipaparkan di atas, para ulama memberikan batasan-batasan berupa kesepakatan tentang adanya
persyaratan bagi diterimanya tafsir isyari. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
Hendaknya tafsir isyari tidak bertentangan dengan makna zhahir (pengertian tekstual) dari ayat al-Quran
Makna tafsir isyari diperkuat oleh dalil syari yang lain
Makna tafsir isyari tidak bertentangan dengan dalil syari dan aqli
Mufassir tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah yang dikehendaki oleh Allah swt., bukan pengertian tekstualnya.[19]
Keempat persyaratan di atas merupakan kunci kesejajaran tafsir isyari dengan tafsir-tafsir tekstual lainnya. Bagi para ulama, meniadakan
salah satu unsur di atas menyebabkan tafsir isyari tertolak dan menafikan kelaikannya.
Salah satu contoh tafsir isyari yang dapat diterima adalah seperti penafsiran Sahl al-Tustari terhadap Q.S. al-Baqarah ayat 22:
E W-OUE^_` *. -41-E^ +^4 ]OUu>
Maka ia menafsirkan kata (tandingan-tandingan) sebagai (yang bertentangan) , menurut beliau tandingan yang paling besar adalah
nafsu ammarah bi al-S (nafsu yang selalu memerintahkan kepada keburukan) meskipun secara zhahir ayatnya tidak berbicara tentang
nafsu ammarohmelainkan tandingan ataupun sekutu bagi Allah swt. yang disembah oleh orang-orang musyrik.[20]
Penafsiran dapat diterima karena kata andd juga dapat diartikan sebagai adhdd. Oleh sebab itu, al-Tustari menjadikan nafsu
sebagai bagian dari andad. Apabila dijelaskan, ayat tersebut bermakna:Janganlah kalian jadikan bagi Allah tandingan-tandingan, seperti
berhala-berhala, nafsu, dan lain-lain. Nafsu bisa masuk dalam kategori andd tatkala ia memerintahkan pada dirinya melanggar hukum-
hukum dan hak-hak Allah, saat itulah ia menjadi tandingan dan penentang.
Penafsiran tersebut juga dikuatkan dengan makna dari firman Allah swt.:
W-7OC+`- -4O4:;O _4L4:u-+O4 64O }g)` ]1 *.-
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah... [21]
Pada hakikatnya mereka tidak menyembah secara ritual, tapi ketaatan mereka terhadap para rahib melebihi ketaatan kepada Allah sehingga
mereka mengahalalkan apa yang dihalalkan oleh rahib dan mengharamkan apa yang diharamkan oleh rahib, meskipun bertentangan
dengan ketentuan Allah swt.
Adapun contoh tafsir isyari yang ditolak adalah seperti apa yang dikatakan dalam sebuah riwayat bahwa terdiri dari makna alif yang
berarti Allah, lm berarti jibril dan mm berarti Muhammad.[22]Penafsiran ini tidak diterima karena tidak sesuai dengan apa yang
dipahami maknanya oleh bangsa Arab secara mahud (kesepakatan) yang memenuhi dalil lafzhi ataupun hali.
Kitab-kitab Tafsir Isyari
Ketika mengkaji kitab-kitab tafsir secara lebih seksama, maka akan ditemukan keragaman, bahkan kadang penggabungan antara metode-
metode tafsir. Pertama, ulama yang mencukupkan diri pada tafsir yang bersifat zhahir dan sama sekali tidak menjamah penafsiran
berdasarkan isyarat (isyari), seperti Imam Ab Sud, al-Baidhawi, dan al-Nasafi. Kedua, ulama yang mencurahkan perhatiannya hanya
pada tafsir zhahir namun kemudian beralih pada tafsir isyari, seperti Imam al-Alsi dan al-Naisbri. Ketiga, ulama yang mencurahkan
perhatiannya terhadap tafsir isyari, namun terkadang mengemukakan juga makna-makna zhahir, seperti yang dilakukan oleh Imam Sahl al-
Tustari. Keempat, ulama yang mencurahkan perhatiannya pada tafsir isyari dan memalingkan perhatian dari makna-makna zhahir, seperti
yang dilakukan oleh Imam Abdurrahman al-Sulami. Kelima, ulama yang memadukan tafsir isyari dengan tafsir nazhari falsafi, seperti yang
dilakukan oleh pengarang tafsir yang dinisbatkan kepada Imam Ibn al-Arabi.[23]
Dalam tulisan ini akan dikemukakan beberapa contoh tafsir saja yang dapat digolongkan ke dalam tafsir isyari. Di antara kitab-kitab
tersebut adalah:
Gharib al-Qurn wa Raghib al-Furqn
Pengarang tafsir ini adalah seorang imam besar dan alim ulama, Nizhm al-Dn al-Hasan bin Muhammad al-Husain al-Khurasani al-
Naisbri. Beliau dibesarkan di daerah Naisabur. Ia tergolong ulama yang cukup berprestasi besar pada masanya, mendalami ilmu-ilmu
rasional dan bahasa Arab. Di antara karya terbaiknya adalah kitab tafsirGharib al-Qurn wa Raghib al-Furqn. Ia wafat pada tahun 109 H.
Kitab tafsir ini oleh banyak kalangan dianggap sebagai kitab tafsir yang banyak dirujuk. Oleh penulisnya, kitab ini disandarkan pada
tafsir al-Kabr karya Imam Fakhr al-Razi, tafsir al-Kasysyf karya al-Zamakhsyari, dan kitab-kitab tafsir lainnya. Di samping itu, ia pun
memperlihatkan uraian-uraian rasional yang menunjukkan kepribadiannya yang cemerlang. Ia tidak hanya menukil apa saja yang
dikatakan oleh al-Razi dan al-Zamakhsyari, tapi juga menampakkan keluasan pemahaman dan kekuatan akalnya sendiri. Den terkadang ia
pun bertindak sebagai peniali atas kedua karya imam besar tersebut.
Imam al-Naisbri adalah seorang imam yang sangat menonjol karakter kesufiannya. Oleh karena itu, karakteristik ini senantiasa mewarnai
sikap dan keputusan-keputusan yang diambil. Kesan ini juga nampak jelas ketika ia menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Setelah menafsirkan
ayat-ayat dari aspek zhahirnya, ia pun kemudian melengkapi penafsirannya secara isyari atau dengan menyebutkan pandangan para
tasawuf, seperti dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 67:
^O)4 4~ _/E<ON` gOg`Og Ep) -.- ;e7+O4C p W-O+4'O>
LE4O4
Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih
seekor sapi betina.

Setelah menjelaskan zhahir ayat tersebut, kemudian ia menunjukkan isyarat-isyarat lain yang ditunjukkan oleh ayat tersebut. Dalam
penafsirannya, al-Naisbri menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan penyembelihan sapi betina pada ayat tersebut adalah
penyembelihan nafsu kebinatangan. Karena dalam penyembelihan itu terdapat kehidupan rohani, dan itulah yang dinamakan al-jihd al-
akbar(jihad besar).[24]
Tafsr al-Quran al-Azhm
Penyusun tafsir ini adalah Ab Muhammad Sahl bin Abdullh bin Ynus bin Abdullah al-Tustari. Beliau lahir di wilayah Tustar, termasuk
wilayah Ahwaz, Iran, pada tahun 200 H. Konon, al-Tustari adalah seorang yang sangat wara, takwa, dan tergolong kelompok orang-orang
yang arif. Ia pernah berjumpa dengan Dzun Nun al-Mishri di Mekah. Kemudian ia pindah ke Bashrah dan menetap di sana hingga wafat
tahun 383 H.
Tafsir al-Quran al-Azhm dicetak dalam satu jilid, mengingat al-Tustari tidak menafsirkan seluruh ayat-ayat al-Quran, tapi hanya
membicarakan beberapa ayat secara terpisah dari tiap-tiap surat.[25]
Menurut al-Tustari, setiap ayat dalam al-Quran mengandung empat makna sekaligus yakni: zhahir, bathin, hadd, dan mathla. Baginya,
pemahaman umum tentang suatu ayat akan diperoleh melalui pengetahuan yang zhahir. Sedangkan pemahaman yang dikehendaki oleh
ayatdalam hal ini Allahhanya akan diperoleh melalui isyarat-isyarat yang bersifat bathini. Sebagaimana firmanNya dalam Q.S. Al-Nis
ayat 78:
E g7^E- gO^- 4p1~4C 4pO_^4C LVCg4
Maka Mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun.

Dari pemahaman di atas, nampak al-Tustari tidak menganggap bahwa tafsir al-Quran itu hanyalah tafsir batin saja. Oleh karena itu ia
hanya mengatakan bahwa makna-makna zhahir al-Quran yang bersifat umum dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami al-Quran
secara gramatikal (kebahasaan). Sementara makna-makna bathini adalah termasuk perkara-perkara yang khusus, yang hanya dipahami oleh
orang-orang yang telah mendapatkan pelajaran dari Allah swt. Dalam tafsirnya, al-Tustari menyebut makna-makna yang penting namun
tidak jelas. Berikut ini adalah contoh penafsirannya:
EOC+`-4 NO~ _/E<ON` }g`
jgu4 ;}g` )_j1)UNO
1E;gN-4=OE_ N-. NO-4O7=
Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke gunung Thur membuat dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak
sapi yang bertubuh dan bersuara.
Dalam penafsirannya, anak sapi adalah apa saja yang memalingkan manusia dari Allah swt., mungkin sanak saudara ataupun anak, yang
manusia tidak bisa lepas darinya kecuali setelah hilangnya keuntungan-keuntungan yang merupakan sebab terikatnya manusia kepada
anak sapi tersebut. Sebagaimana umat nabi Musa tidak bisa melepaskan diri dari penyembahan terhadap anak sapi kecuali dengan
membunuh diri mereka sendiri.[26]
Haqiq al-Tafsr
Tafsir ini disusun oleh Ab Abdurrahman Muhammad bin Husain bin al-Asad al-Sulami, lahir pada tahun 330 H. Ia adalah sseorang
syaikh dan ulama sufi pada masanya, serta dikenal sebagai seorang muhaddits. Karangan-karangan ilmiahnya dalam pelbagai disiplin ilmu
mewarnai perpustakaanperpustakaan Islam pada masa itu.
Sebagaimana al-tustari, al-Sulami menafsirkan seluruh surat dalam al-Quran, namun tidak berdasarkan ayat perayat. Ia hanya menafsirkan
ayat-ayat tertentu yang dianggap penting dalam pertimbangannya.
Hal yang berbeda dengan kedua penulis di atas adalah, al-Sulami sama sekali menafikan pembahasan makna-makna secara zhahir. Ia
memfokuskan diri pada pemahaman ayat secar bathini. Namun, al-Sulami masih mengakui eksistensi makna-makna zhahir. Hanya
tampaknya ia lebih suka menghimpun tafsir-tafsir ahli hakikat dalam kitab tersendiri.
Sebagian ulama mengecam keras karena hanya membatasi diri pada makna-makna isyari semata dan sama sekali berpaling dari makna-
makna zhahir dalam menafsirkan suatu ayat. Imam al-Suyuthi menyebutnya sebagai ulama yang mengada-ada (mufassir
mubtadi).[27]Bahkan Ibn Taimiyah menudingnya sebagai seorang pendusta yang mengatasnamakan Jafar al-Shadiq sebagai rujukan.
Berikut contoh penafsirannya dalam Q.S. al-Rahman ayat 11:
OgOg OE_ NuCEL-4 -O gE^- ^
Di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang.
Dalam penafsirannya, Allah swt. telah menjadikan dalam hati para waliNya kebun keakraban denganNya. Di dalamnya Allah swt.
menanam pohon-pohon marifah, yang akarnya terhujam dalam rahasia-rahasia mereka, sementara cabang-cabangnya berdiri tegak
menghijau dalam penampakan-penampakan mereka. Mereka memetik buah keakraban tersebut setiap saat.[28]
Misykt al-Anwr
Penyusun kitab ini adalah Ab Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, lahir tahun 450 H di Thous. Kitab ini hadir untuk membela
pandangan kaum sufi ketika kitab-kitab mereka dibakar atas fatwa ulama. Karena pernah menempuh jalan filsafat dan tasawuf, maka
dengan mudah ia dapat memahami dan menerangkan maksud para mufassir sufi tersebut. Menurutnya, makna al-Quran itu pada dasarnya
suci, dan oleh karena itu hanya dapat dipahami oleh orang-orang terpilih saja. Alatnya adalah intuisi yang harus segera digunakan
manakala akal telah menjadi tumpul. Kaum sufi, dalam pandangannya, berusaha menyeimbangkan antara penglihatan luar dengan
penglihatan dalam, sehingga tafsiran yang mereka kemukakan tidak dapat ditolak. Ini contoh kecil saja pembelaan al-Ghazali terhadap
kaum sufi.[29] Salah satu contoh tafsirnya adalah Q.S. Thaha ayat 12:
EO)E+) 4^ ElG4O ;7Uu= El^OUu4^ W ElE^) g1-4O^)
+EO^- O4OC ^g
Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, Maka tanggalkanlah kedua terompahmu; Sesungguhnya kamu berada
dilembah yang suci, Thuwa.

Dalam pandangannya, orang yang ingin memperoleh ilmu tauhid yang hakiki haruslah meninggalkan pikiran tentang dunia
dan akhirat. Suatu konsep yang sangat lekat dengan terminologi tasawuf, yakni fana.[30]
Futhat al-Makkiyyah dan al-Nushsh
Kedua karya magnum opus ini dinisbatkan kepada Syeikh Muhyi al-Dn bin Arabi. Penisbatan kepada nama Ibnu Arabi dalam buku tafsir
ini sempat diragukan bahkan dipertanyakan keabsahannya oleh banyak ulama.[31] Jangan-jangan itu hanya rekayasa para pengikutnya
agar seolah-olah karya tersebut orisinil tulisan Ibnu Arabi.
Ibnu Arabi sangat terpengaruh dengan pandangan atau pahamwahdat al-wujud, yakni sebuah paham yang meyakini tidak ada wujud selain
wujud yang satu, wujd al-haq. Ia membina tasawufnya atas dasar pandangan yang diyakininya dan berusaha menerapkannya pada ayat-
ayat al-Quran.
Contoh penafsirannya pada awal surat al-Nis dalam kalimat , ditafsirkan dengan bertakwalah kepada Tuhanmu, jadikanlah yang
zhahir dari dirimu sebagai penjagaan bagi Tuhanmu. Dan jadikanlah bagian yang batin dari dirimu sebagaiyang tiada lain adalah
Tuhansebagai penjaga bagi dirimu, karena perkaranya adalah perkara celaan dan pujian.

III. KESIMPULAN
Membincang tafsir sufi dengan pemahaman masyarakat kebanyakan memerlukan kehati-hatian dan toleransi ilmiah. Karena untuk
mempertemukan kedua kutub ini sama sekali bukanlah hal yang mudah. Namun demikian, sebagai sebuah wacana, kasus penafsiran ala
sufi ini harus diapresiasi secara proporsional.
Bagaimanapun tafsir isyari merupakan bagian dari sejarah dan menjadi warisan intelektual yang tidak kurang mahal harganya. Hemat
penulismeskipun banyak mendapat hujatantafsir isyari sebagai bagian dari penafsiran gaya sufi akan tetap hidup seiring dengan
kehidupan dunia sufisme. Dan tentu saja menjadi tidak bijak ketika kita mempertentangkan dua kutub (sufi dan syariat) yang bertolak
belakang.
Tafsir sufi masih tetap diakui sebagai sebuah metodologi, meski masih dalam koridor pertentangan epistemologis. Serangan-serangan dari
sebagian ulama tidak berarti menafikan kehadirannya, namun kita perlu melirik argumentasi-argumentasi yang dikemukakan mereka
dengan pendukungnya.
Demikian makalah ini penulis sampaikan. Wallahu alam bi al-Shawb.

IV. DAFTAR PUSTAKA
Al-Aridh, Ali Hasan. Sejarah dan Metodologi Tafsir. Terj. Ahmad Akram. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1994

Al-Bukhr, Muhammad bin Isml. Sahh al-Bukhr. Kairo: Dr al-Hadts, 2004

Al-Dzahabi, Muhammad Husain, Dr. Al-Tafsr wa al-Mufassirn. Kairo: Dr al-Kutub al-
Hadtsah, 1976

__________________. Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran al-Quran. Terj.
Hamim Ilyas dan Machnun Husein. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993

Faudah, Mahmud Basuni. Tafsir-tafsir al-Quran: Perkenalan dengan Metode Tafsir. Terj.
Mochtar Zoerni dan Abdul Qadir Hamid. Bandung: Penerbit Pustaka, 1987

Goldziher, Ignaz. Madzhib al-Tafsr al-Islmy. Kairo: Al-Khanji, 1975

Ibnu Katsr, Ab al-Fid Ismail. Tafsir al-Qurn al-Adzm. Kairo: Dr al-Hadts, 2005

Ibnu Mandzr, Lisn al-Arab. Kairo: Dr al-Hadts, 2006

Iyazi, Muhammad Ali. Al-Mufassirn: Haytuhum wa Manhajuhum. Teheran: Wizrah
al-Tsaqfah wa al-Irsyad al-Islmi, t.th

Julandari, Rasyid Ahmad. Quranic Ezegesis and Classical Tafsir. Islamic Quarterly, 1980

Al-Shabni, M. Al. Al-Tibyn f Ulum al-Qurn. Makkah: Dr al-Kutb al-Islmiyyah,
2003

Al-Shlih, Shubhi. Mabhits f Ulm al-Qurn. Beirut: Dr al-Ilmi li al-Malyn, t.th

Al-Shiddiqy, M. Hasbi. Ilmu-ilmu al-Quran: Media-media Pokok dalam Menafsirkan al-
Quran. Jakarta: Bulan Bintang, 1993

Al-Suyth, Jall al-Dn. Al-Itqn f Ulm al-Quran. Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah,
2003

Al-Tustari, Sahl. Tafsr al-Quran al-Azhm. Kairo: Dr al-Kutub al-Arabiyyah, 1329 H

Al-Zarqni, Muhammad Abd al-Azhim. Manhil al-Irfn f Ulm al-Qurn. Kairo: Dr
al-Hadts, 2001



[1] Muhammad Husain al-Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran al-Quran. Terj. Hamim Ilyas dan Machnun Husein,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), cet. III, h. 92
[2] Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Quran: Perkenalan dengan Metode Tafsir. Terj. Mochtar Zoerni dan Abdul Qadir Hamid,
(Bandung: Penerbit Pustaka, 1987), cet. I, h. 250; atau lihat juga dalam Ali Hasan al-Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir. Terj. Ahmad Akram,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), cet. II, h. 55
[3] Ibnu Mandzr, Lisn al-Arab, (Kairo: Dr al-Hadts, 2006), jilid4, h. 436
[4] Shubhi al-Shlih, Mabhits f Ulm al-Qurn, (Beirut: Dr al-Ilmi li al-Malyn, t.th), h. 296
[5] Muhammad Abd al-Azhim Al-Zarqni, Manhil al-Irfn f Ulm al-Qurn, (kairo: Dr al-Hadts, 2001), juz II, h. 67
[6] M. Al al-Shabni, Al-Tibyn f Ulum al-Qurn, (Makkah: Dr al-Kutb al-Islmiyyah, 2003), h. 191
[7] Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsr wa al-Mufassirn, (Kairo: Dr al-Kutub al-Hadtsah, 1976), cet. II, jilid 2, h. 352
[8] Ibid., h. 354
[9] Ibid., h. 352
[10] Ibid., h. 353
[11] Muhammad bin Isml al-Bukhr, Sahh al-Bukhr (Kairo: Dr al-Hadts, 2004), jilid 3, kitab Tafsir al-Quran, bab Surat idz ja
nashrullah, no. hadis 4970, h. 339
[12] Ab al-Fid Ismail Ibn Katsr, Tafsir al-Qurn al-Adzm, (Kairo: Dr al-Hadts, 2005), jilid 2, h. 13
[13] Al-Sythibi, jilid 3, h. 403
[14] M. Hasbi al-Shiddiqy, Ilmu-ilmu al-Quran: Media-media Pokok dalam Menafsirkan al-Quran, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), cet. III, h. 250
[15] Al-Zarqani, Manhil al-Irfan, h. 67
[16] Jall al-Dn al-Suyth, Al-Itqn f Ulm al-Quran, (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), jilid 2, h. 366
[17] Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Quran, h. 254
[18] Lihat Q.S. Al-Baqarah: 269
[19] Al-Zarqani, Manhil al-Irfan, h. 69; lihat juga dalam Muhammad Ali Iyazi, Al-Mufassirn: Haytuhum wa Manhajuhum, (Teheran:
Wizrah al-Tsaqfah wa al-Irsyad al-Islmi, t.th), h. 59
[20] Sahl al-Tustari, Tafsr al-Quran al-Azhm, (Kairo: Dr al-Kutub al-Arabiyyah, 1329 H), h. 14
[21] Q,S. Al-Taubah: 31
[22] Sahl al-Tustari, Tafsr al-Quran al-Azhm, h. 12
[23] Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Quran, h. 256
[24] Al-Zarqani, Manhil al-Irfan, h. 70
[25] Ibid.
[26] Al-Dzahabi, Al-Tafsr wa al-Mufassirn, h. 380
[27] Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Quran, h. 264
[28] Al-Dzahabi, Al-Tafsr wa al-Mufassirn, h. 380
[29] Rasyid Ahmad Julandari, Quranic Ezegesis and Classical Tafsir, (Islamic Quarterly, 1980), h. 112
[30] Ignaz Goldziher, Madzhib al-Tafsr al-Islmy, (Kairo: Al-Khanji, 1975), h. 221
[31] Al-Zarqani, Manhil al-Irfan, h. 74

Anda mungkin juga menyukai