Anda di halaman 1dari 12

PAPER TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN LOKAL Konsep Pangan Lokal Kaitannya dengan Ketahanan Pangan, Difersivikasi Pangan dan

Pola Konsumsi Pangan

Disusun Oleh : Kelompok 1 1. Moh. Ridwan Nullah 2. Corin Lailatul K 3. Sri Ningsih Paramitha 4. Larasati Gandaningarum 5. Maulandha K

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER 2014

Abstrak Ketahanan pangan merupakan suatu problema yang cukup serius di Indonesia, dimana sekitar tiga puluh persen rumah tangga tingkat konsumsi masih berada dibawah kebutuhan konsumsi yang semestinya. Lebih dari seperempat anak usia di bawah 5 tahun memiliki berat badan di bawah standar, dimana 8 % berada dalam kondisi sangat buruk. Tingkat ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap konsumsi beras sebagai makanan pokok telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Beras telah menjadi pemasok utama karbohidrat bagi mayoritas bahkan hampir seluruh masyarakat Indonesia namun masalah tersebut dapat diatasi dengan mengoptimalkan Potensi kekayaan pangan lokal Indonesia yang sangat melimpah. Namun demikian, kontribusinya dalam mendukung ketahanan pangan masih sangat rendah. Hal ini antara lain disebabkan oleh sulitnya merubah pola konsumsi pangan masyrakat kita yang sangat tergantung pada beras dan kurangnya inovasi teknologi terhadap produk pangan lokal tersebut sehingga produk yang dihasilkan belum mampu menarik minat konsumen pangan serta tidak mencapai AKG yang dianjurkan di Indonesia. Oleh karena itu, inovasi teknologi terhadap produk pangan lokal mutlak harus dilakukan. Karena produk pangan lokal memiliki kekhasan lokal (spesifik lokasi) maka diperlukan penanganan yang sesuai dan untuk itu diperlukan pengetahuan teknologi pangan yang sesuai pula. Selain inovasi, faktor yang tidak kalah penting adalah peran pemerintah daerah dalam mendukung dan memajukan produk pangan lokal. Kata kunci: ketahanan pangan, inovasi teknologi, pangan lokal, angka kecukupan gizi, pola konsumsi pangan.

PENDAHULUAN Ketahanan pangan merupakan suatu hal yang penting bagi suatu negara secara umum yang menjadi suatu permasalah bagi negara-negara krisis, khususnya Indonesia. Di Indonesia sekitar tiga puluh persen rumah tangga mengatakan bahwa konsumsi mereka masih berada dibawah kebutuhan konsumsi yang semestinya. Lebih dari seperempat anak usia di bawah 5 tahun memiliki berat badan di bawah standar, dimana 8 % berada dalam kondisi sangat buruk. (Hendy, 2007). Tingkat ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap konsumsi beras sebagai makanan pokok telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Beras telah menjadi pemasok utama karbohidrat bagi mayoritas bahkan hampir seluruh masyarakat Indonesia namun juga tidak bisa dilupakan begitu saja bahwa indonesia termasuk negara agraris yang mempunyai potensi sangat besar dalam pengembangan produk lokal karena bahan pangan lokal di Indonesia sangatlah melimpah yang digunakan sebagai bahan baku produk lokal. Biasanya, produk pangan lokal ini berkaitan erat dengan budaya masyarakat setempat. Oleh karena itu, produkproduk ini kerap kali juga menyandang nama daerah, sebagai misal, dodol garut, jenang kudus, gudek jokya, dan lain-lain. Beraneka ragam dan jumlah yang sangat besar dari produk pangan lokal tersebut, tentu sangat potensi dalam mewujudkan kemandirian pangan nasional. Terwujudnya kemandirian pangan suatu daerah atau negara, dengan sendirinya akan mempercepat tercapainya ketahanan pangan nasional. Namun demikian, hingga saat ini, produk pangan lokal belum mampu menggeser beras dan tepung terigu yang mendominasi makanan di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya inovasi teknologi terhadap produk pangan lokal. Di sisi lain, di era globalisasi saat ini, permintaan konsumen akan produk pangan terus berkembang. Konsumen

tidak hanya menuntut produk pangan bermutu, bergizi, aman, dan lezat, namun juga sesuai selera atau bahkan dapat membangkitkan efek gengsi atau berkelas bagi yang mengkonsumsinya. Oleh karena itu, inovasi atau kreasi terhadap produk pangan tidak hanya terfokus pada mutu, gizi, dan keamanan semata. Namun aspek selera konsumen (preferensi) juga patut dipertimbangkan. Dalam artikel ini akan dibahas inovasi teknologi terhadap produk pangan lokal yang mengedepankan preferensi konsumen guna mempercepat ketahanan pangan. TINJAUAN PUSTAKA 1. Ketahanan Pangan Indonesia Ketahanan Pangan Lokal adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang cukup, aman, bermutu, bergizi, beragam, dan harganya terjangkau oleh daya beli masyarakat. Dari pengertian tersebut, sebagai hak asasi manusia, pangan harus terpenuhi tidak hanya dari aspek kuantitatif (cukup), namun juga mencakup aspek kualitatif yang meliputi aman, bermutu, dan bergizi. Sumberdaya lokal termasuk di dalamnya pangan lokal erat kaitannya dengan ketahanan pangan. Ketahanan pangan yang dikembangkan berdasarkan kekuatan sumberdaya lokal akan menciptakan kemandirian pangan, yang selanjutnya akan melahirkan induvidu yang sehat, aktiv, dan berdaya saing sebagaimana indikator ketahanan pangan. Di samping itu, juga akan melahirkan sistem pangan dengan pondasi yang kokoh. Dengan demikian, ketahanan pangan perlu didukung dengan pondasi kemandirian pangan. Kaitan erat antara pangan lokal dengan ketahan pangan dapat dilihat dari hubungan antara kemandirian pangan dengan ketahanan pangan sebagaimana diilustrasikan oleh gambar 1(Hariyadi, 2010). Gambar 1. Hubungan kemandirian pangan dengan ketahanan pangan

Sumber: (Hariyadi, 2010) 2. Pola Konsumsi Pangan Pola konsumsi pangan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai jenis, frekuensi dan jumlah bahan pangan yang dimakan tiap hari oleh satu orang atau merupakan ciri khas untuk sesuatu kelompok masyarakat tertentu (Santoso, 2004). Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi hidup manusia. Pangan yang dikonsumsi beragam jenis dengan berbagai cara pengolahanya. Di masyarakat dikenal pola pangan atau kebiasaan makan yang ada pada masyarakat dimana seseorang anak hidup. Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas serta kuantitas hidangan. Kuantitas hidangan menunjukan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh di dalam susunan hidangan dan perbandingannya yang satu terhadap yang lain. Kuantitas menunjukan jumlah masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh (Sediaoetama, 2006). Faktor-Faktor Pola Konsumsi Pangan Secara umum, faktor faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi dan harga dimana

keadaan ekonomi keluarga relatif mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan, terutama pada golongan miskin, selain pendapatan, faktor ekonomi yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah harga pangan dan non pangan. Harga pangan yang tinggi menyebabkan berkurangnya daya beli yang berarti pendapatan riil berkurang. Keadaan ini menyebabkan konsumsi pangan berkurang sedangkan faktor sosil-budaya dan religi yaitu aspek sosial budaya berarti fungsi pangan dalam masyarakat yang berkembang sesuai dengan keadaaan lingkungan, agama, adat, kebiasaan dan pendidikan masyarakat tersebut. Kebudayaan mempengaruhi seseorang dalam konsumsi pangan yang menyangkut pemilihan jenis bahan pangan, pengolahan, serta persiapan dan penyajiannya (Baliwati, 2004). 3. Diversifikasi Pangan Diversifikasi pangan diartikan sebagai upaya untuk menganekaragamkan pola konsumsi pangan masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu gizi makanan yang dikonsumsi yang pada akhirnya akan meningkatkan status gizi penduduk. Penganekaragaman pangan sangat penting untuk menghindari ketergantungan pada satu jenis makanan, misalnya beras. Pemanfaatkan sumber daya alam yang beraneka ragam jenisnya turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Hendy, 2007). Adanya diversifikasi pangan mendorong munculnya pemikiran untuk mengganti makanan pokok nasi dengan bahan pangan lainnya yang juga dapat berfungsi sebagai sumber karbohidrat. Beberapa produk makanan yang mungkin dapat menggantikan beras adalah gembili, ubi, talas, dan umbi-umbian lainnya. Bahan-bahan pangan ini masih belum dimanfaatkan sepenuhnya untuk dikonsumsi masyarakat. Adapun kendala yang dihadapi adalah bahan pangan tersebut tidak tahan lama sehingga harus diolah lebih lanjut dengan

tujuan memperpanjang umur simpannya. Selain itu, adanya persepsi masyarakat yang menyebutkan jika mengkonsumsi bahan pangan lain selain beras dianggap kurang bergengsi bahkan menyedihkan dibandingkan jika mengkonsumsi nasi. Menurut Soenardi yang dikutip oleh Hendy (2007), menyebutkan bahwa mengubah kebiasaan mengkonsumsi nasi dengan makanan lain tidaklah mudah. Terlebih lagi jika hanya nasi diganti dengan bahan lain sementara lauk-pauknya tetap seperti untuk menemani nasi. Hal tersebut tentulah akan ditolak masyarakat karena berdasarkan kebiasaan lauk-pauk tersebut lebih enak rasanya jika dikonsumsi bersama dengan nasi. Namun bila bahan pangan tersebut diolah dalam bentuk lain meskipun campuran lauknya menggunakan selera tradisional atau yang telah mengena di lidah tentulah akan lebih mudah diterima karena merupakan resep baru dengan selera baru. Inovasi Teknologi Pangan Lokal Potensi ketersediaan pangan lokal Indonesia memang sangat melimpah. Indonesia memiliki setidaknya 77 bahan makanan lokal yang mengandung karbohidrat yang hampir sama dengan nasi sehingga bisa dijadikan substitusi. Produk pangan lokal seperti beras cianjur, jeruk medan, markisa makasar, asinan bogor, kopi lampung, talas bogor, jenangan kudus, bubur manado,apel malang, talas bogor, dan lain-lain menyimpan potensi indigenus yang merupakan kekuatan yang luar biasa (Hariyadi, 2007). Namun dari banyaknya pangan lokal sedemikian rupa, hingga kini produk pangan lokal Indonesia belum mampu untuk mematahkan dominasi pangan dari beras atau tepung terigu. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya inovasi teknologi terhadap produk pangan lokal tersebut. Oleh karena itu, inovasi teknologi dan diversifikasi terhadap produk pangan lokal mutlak harus dilakukan. Di samping itu, Inovasi teknologi terhadap pangan lokal bukan saja terhadap aspek

mutu, gizi, dan keamanan yang selama ini didengungkan oleh berbagai pihak. Inovasi teknologi juga harus menyentuh aspek preferensi konsumen, yaitu kesesuaian; baik kesesuaian terhadap selera, kebiasaan, kesukaan; kebudayaan, atau terlebih-lebih terhadap kepercayaan/agama.

Gambar 2. Inovasi teknologi pangan lokal dengan penekanan aspek prefensi consume. Peran Teknologi Pangan Jika ditinjau dari beberapa aspek yang ada dalam ketahanan pangan, khususnya aspek ketersediaan pangan maka sangat dibutuhkan peranan teknologi. Salah satu teknologi yang berperan penting adalah teknologi pangan. Teknologi pangan berperan penting dalam meningkatkan keanekaragaman pangan, meningkatkan nilai gizi pangan, dan meningkatkan keamanan pangan, serta menekan kehilangan. Khususnya di bidang keanekaragaman pangan, teknologi pangan diharapkan dapat berperan dalam meningkatkan nilai tambah produk pangan lokal. Sehingga produk pangan lokal yang dihasilkan menarik minat konsumen. 4. Angka Kecukupan Gizi (AKG). Angka kecukupan gizi adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas tubuh dan kondisi fisiologis khusus untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Angka kecukupan gizi (AKG) berguna sebagai

patokan dalam penilaian dan perencanaan konsumsi pangan, serta basis dalam perumusan acuan label gizi. Angka kecukupan gizi mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan Iptek gizi dan ukuran antropometri penduduk. Berbagai faktor yang mempengaruhi kecukupan energi adalah berat badan, tinggi badan, pertumbuhan dan perkembangan (usia), jenis kelamin, energi cadangan bagi anak dan remaja, serta thermic effect of food (TEF). TEF adalah peningkatan pengeluaran energi karena asupan pangan yang nilainya 5-10% dari Total Energy Expenditure (TEE) (Mahan & Escoot-stump 2008). Angka 5 % digunakan bagi anak-anak yang tekstur makanannya lembut dan minum ASI/susu (umur <3 th) ; dan 10% pada usia selanjutnya, (Karjadi, 1992).

Sumber : Hardinsyah dan Tambunan, V. (2004). 5. Pangan Lokal Pangan lokal adalah produk pangan yang telah lama diproduksi, berkembang dan dikonsumsi di suatu daerah atau suatu kelompok masyarakat lokal tertentu. Umumnya produk pangan lokal diolah dari bahan baku lokal, teknologi lokal, dan pengetahuan lokal pula. Di samping itu, produk pangan lokal biasanya dikembangkan sesuai dengan preferensi konsumen lokal pula. Sehingga produk pangan lokal ini berkaitan erat dengan budaya lokal setempat. Karena itu, produk ini sering kali menggunakan nama daerah, seperti gudek jogja, dodol garut, jenang kudus, beras cianjur, dan sebagainya (Hariyadi, 2010). Aneka ragam pangan lokal tersebut berpotensi sebagai bahan alternatif pengganti beras. Sebagai contoh, di Papua ada beberapa bahan pangan lokal setempat yang telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai bahan baku pengganti beras, seperti ubi jalar, talas, sagu, gembili, dan jawawut. Produk pangan lokal tersebut telah beradaptasi dengan baik dan dikonsumsi masyarakat Papua secara turun temurun. Selain di Papua, beberapa pangan lokal yang telah dimanfaatkan oleh masyarakatnya sebagai bahan pengganti beras adalah jagung di Madura dan Gorontalo (Wahid Rauf dan Sri Lestari, 2009). KESIMPULAN Potensi ketersediaan pangan lokal Indonesia memang sangat melimpah. Namun demikian, hingga saat ini kontribusinya dalam mendukung ketahanan pangan masih sangat rendah. Hal ini antara lain disebabkan oleh kurangnya inovasi teknologi terhadap produk pangan lokal tersebut sehingga produk yang dihasilkan belum mampu menarik minat konsumen pangan di Indonesia. Untuk itu, inovasi teknologi produk pangan lokal mutlak harus dilakukan.

Inovasi teknologi terhadap pangan lokal bukan saja terhadap aspek mutu, gizi, dan keamanan, tetapi yang tidak kalah penting adalah inovasi teknologi terhadap produk pangan juga harus menyentuh aspek preferensi konsumen. Khususnya di bidang keanekaragaman pangan, teknologi pangan diharapkan dapat berperan dalam meningkatkan nilai tambah produk pangan lokal. Sehingga produk pangan lokal yang dihasilkan menarik minat konsumen. Di samping inovasi terhadap produk pangan lokal, faktor yang tidak kalah penting adalah peran pemerintah daerah dalam mendukung dan memajukan produk pangan lokal. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik (BPS). 2009. Konsumsi kalori dan protein penduduk Indonesia dan provinsi. Badan Pusat statistik. Jakarta.

Baliwati, Y. F. (2004). Pengantar Pangan dan Gizi, Cetakan I. Jakarta: Penerbit Swadaya. Hal. 89
Hardinsyah dan Tambunan, V. 2004. Kecukupan Energi, Protein, Lemak dan Serat Makanan. Dalam Angka Kecukupan Gizi dan Acuan Label Gizi. LIPI, Deptan, Bappenas, BPOM, BPS, Menristek, PERGIZI PANGAN, PERSAGI dan PDGMI. Jakarta Hendy. 2007. Formulasi Bubur Instan Berbasis Singkong Sebagai Pangan Pokok Alternatif. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hariyadi, P. 2010. Penguatan Industri Penghasil Nilai Tambah Berbasis Potensi Lokal (Peranan Teknologi Pangan untuk Kemandirian Pangan). Jurnal PANGAN, Vol. 19 No. 4 Desember 2010: 295-301

Karjadi,D., Muhilal,1992, Kecukupan Dianjurkan. Jakarta. Gramedia

Gizi

yang

Rauf, A.W dan Sri Lestari,M. 2009. Pemanfaatan komoditas pangan lokal Sebagai sumber pangan alternatif di papua. Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009.

Santoso, S, dkk, 2004. Kesehatan dan Gizi. Cetakan kedua. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya.
Sediaoetama, Ahmad Djaeni. 2006. Ilmu gizi. Jilid I. Cetakan keenam dian rakyat. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai