Anda di halaman 1dari 5

Child Sex Torism di Kenya

Post-Kolonialis-Fanonian Di dalam tatanan globalisasi, pariwisata adalah salah satu sektor yang mendapatkan kemudahan dari wacana borderless-world tersebut. Namun, dalam perkembangannya, setiap Negara memiliki pekerjaan rumah untuk meminimalisir efek-efek negatif dan penjagaan hak asasi manusia dalam proses pengembangan sektor pariwisata. Pekerjaan rumah ini merupakan fakta yang dijustifikasi oleh UNICEF dan lembaga pemerhati anak lainnya, mengenai

keberadaan jenis pariwisata baru yang mengganggu hak-hak asasi manusia, terutama hak anak, yakni Child Sex Tourism atau wisata sex anak. Child Sex Tourism adalah sebuah kegiatan pariwisata, yang menjadikan anak sebagai objek eksploitasi seksual, yang dilakukan oleh para wisatawan domestik dan internasional, melalui pihak ketiga sebagai mediator yang bertugas untuk menyediakan layanan, akomodasi, transportasi, dsb, serta memfasilitasi kontak dengan anak-anak tersebut untuk tetap tidak terlihat dalam masyarakat (ECPAT 2008). Anak-anak tersebut secara sadar atau tidak, telah menjadi komoditas seksual dan mempertaruhkan masa depannya atas nama uang. Pada Kongres Dunia Menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak yang dilaksanakan di Stockholm pada tahun 1996, diidentifikasikan bahwa yang termasuk eksplotasi seksual komersial anak adalah kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya (SHNEWS 2013). Eksploitasi seksual komersial anak adalah sebuah proses dimana anak diperlakukan sebagai sebuah objek seksual dan sebagai objek komersial dan merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak, dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern. Kasus Child Sex Tourism menjadi sebuah permasalahan besar untuk semua Negara yang menjadi pusat pariwisata, dan salah satu Negara dengan jumlah kasus Child Sex Tourism terbanyak adalah Kenya (ECPAT 2013). Sebagai salah satu Negara di Afrika, Kenya memiliki potensi pariwisata alam yang sangat baik. Pada tahun 2010, jumlah turis yang dating ke Kenya meningkat 15% menjadi 1,095,945 turis (Tourism 2011). Hal ini menunjukan perkembanan pariwisata Kenya yang terus mengalami progress. Namun, seiring dengan kabar baik tersebut, kasus pelanggaran hak asasi anak (dalam hal ini Child Sex Tourism) juga mengalami peningkatan. Menurut data

UNICEF, sebanyak 30.000 anak direntang usia 12-14 tahun, telah menjadi korban eksploitasi seksual di Kenya (UNICEF 2012). Kasus Child Sex Tourism di Kenya memiliki sebuah ciri khusus sebagai bentuk aktivitas nyata dari kegiatan ekspoitasi anak dan pelangaran kode etik pariwisata. Adalah Anak pantai atau yang lebih dikenal sebagai beach boy, yang menjadi objek utama dari kegiatan sex turisme ini. Keberadaan beach boy, merupakan bentuk kesadaran masyarakat terhadap kapital yang dimiliki berupa sumber daya alam yang memadai untuk dijadikan destinasi bagi para turis yang memiliki ketertarikan pada sumber daya alam. Beach boy di Kenya, memiliki kualifikasi yang didasarkan pada usia, yakni direntang umur 14-21 tahun, yang merupakan hasil konsensus masyarakat itu sendiri (ECPAT 2013). Pada awalnya, beach boy merupakan sebuah pekerjaan sampingan yang diikuti oleh anak-anak, untuk menjadi tour guide para turis untuk berkeliling Kenya serta mengajarkan mereka olahraga-olahraga air, seperti menyelam maupun berenang. Namun dalam perkembangannya, akibat permintaan yang tinggi agar disediakan objek seksual ditempat tersebuttanpa harus pergi ketempat prostitusi, ditambah lagi dengan tawaran harga yang tinggi, hal ini dimanfaatkan oleh pengelola pusat pariwisata untuk memanfaatkan para beach boy agar mau menjadi objek eksploitasi. Sejauh ini, tidak ada control khusus dari pemerintah setempat untuk menghentikan fenomena ini, hal inilah yang menjadikan Child Sex Tourism ke Kenya terus berkembang. Perkembangan Child Sex Tourism di Kenya, memiliki keterkaitan terhadap mayoritas turis yang datang dan penyumbang demand terhadap beach boy, untuk dijadikan komoditas seksual. Menurut data, 5 negara wisatawan tertiggi di Kenya adalah UK (113,747)16%, US (75,000)10%, Italy (54,885)7.8%, Germany (37,185)5.3%, France (33,801) (Tourism 2013). Kelima Negara tersebut, secara umum, memiliki kesama ras sebagai negara barat dan berkulit putih. Franz Fanon dalam bukunya Black Skin White Mask, menggunakan psikoanalisis, untuk melihat gejala psikologis yang ditimbulkan akibat dominasi kulit putih dalam segala sektor. Fanonian inilah yang paling mendekati untuk mempelajari fenomena Child Sex Tourism. Secara implisit, gap antara kulit hitam dan kulit putih merupakan sebuah konstruksi social yang sulit untuk dihapuskan. Kenya sebagai Negara dengan mayoritas penduduk kulit hitam dalam fanonian dapat digolongkan sebagai the dominee dan wisatawan berkulit putih diklasifikasikan kedalam dominator. Pemilihan diksi konstruksi sosial didasarkan sikap positif

masyarakat Kenya untuk menjalin kerjasama seksual dengan asumsi kesetaraan terhadap bangsa yang selama ini dianggap superior. Hal ini sebetulnya adalah bentuk penindasan psikologis terhadap laki-laki kulit hitam pada usia dini, melalui wacana rasisme dan kolonialisme

(Carolyn, 2007), sehingga ketidaksadaran akan eksplotitasi yang sedang dihadapi dapat bertransformasi menjadi kebanggaan, bahwa mereka bisa melakukan hubungan seksual dengan bangsa kulit putih pada usia yang sangat belia. Secara psikologis, hal ini merupakan efek nyata dari penjajahan rasial. Dan perkembangan aktivitas Child Sex Tourism akan terus meningkat, mengingat hal tersebut tidak dijadikan bahan evaluasi dan atau titik kesalahan. Hal ini diperparah dengan penegakan hukum yang tidak tegas di Negara tersebut. Padahal jelas pada Definisi Pembangunan Pariwisata Yang Berkesinambungan yang telah disetujui secara internasional dalam organisasi WTO (World Torism Organization) disebutkan bahwa Petunjuk pembangunan pariwisata yang

berkesinambungan dan praktek-praktek manajemen berlaku bagi semua bentuk pariwisata di semua jenis daerah tujuan, termasuk pariwisata massa dan berbagai segmen pariwisata tempat. Prinsip-prinsip kebersinambungan mengacu pada aspek- aspek lingkungan, ekonomi dan sosiobudaya pembangunan pariwisata dan harus ada kesetaraan diantara ketiga dimensi ini untuk menjamin keberlangsungan jangka panjangnya (UNWTO 1997). Pelanggaran terhadap sosial dan budaya, jelas terjadi dalam Child Sex Tourism di Kenya. Ketidakadaan pengetahuan tentang jenis-jenis eksploitasi dan akibat yang menyertainya, merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Selain itu, hal ini melanggar global code of ethics for tourism yang menyebutkan mengenai preservasi hak-hak dan masa depan anak dari Negara tujuan pariwisata merupakan kewajiban pemerintah setempat dan para wisatawan yang datang (UNWTO 1999). Untuk memberantas kasus ini dibutuhkan instrumen hukum yang kuat dan mengikat, yang dapat diwujudkan oleh pemerintah dengan segala sanksi yang menyertainya. Namun sebelum hal ini dapat diwujudkan, dunia internasional melalui lembaga pemerhati anak, terlah terlebih dahulu menggalagkan kampanye, sebagai bentuk transfer pengetahuan mengenai bahaya Child Sex Tourism. Bahkan Sejak tahun 1997, WTO membentuk Task Force to Protect Children form Sexual Exploitation in Tourism (UNWTO 2000). Sebagi upaya preventif dari meningkatnya eksploitasi seksual pada anak di sector pariwisata. Namun, hal ini memang akan sulit terlaksana dengan baik, jika pihak-pihak tertinggi (law giver) tidak memberikan sanksi

tegas dan nota kesepahaman serta kerjasama dalam bidang pariwisata pada Negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik.

Daftar Pustaka Disashi,Ornella Olenga 2009. Kenya: Male prostitution and Mombasas beach boys. [Online] http://www.afrik-news.com/article16624.html (Pada tanggal 1 November 2013) Joni,Muhammad n.d. Child Sex Tourism. [Online] http://www.advokatmuhammadjoni.com/opini/tulisan/111-child-sex-tourism.html (Pada 1 November 2013) Tourism 2013. Kenyas Touris Industry. [Online] http://www.tourism.go.ke/ministry.nsf/pages/tourism_associations (Pada 2 November 2013) Ecpat 2008. Memerangi Pariwisata Sex Anak. [Download] http://www.ecpat.net/ (Pada 14 September 2013) Sutrisno 2013. Menghapus Eksploitasi Seksual Komersial Anak. [Online] http://www.shnews.co/detile-22510-menghapus-eksploitasi-seksual-komersial-anak.html (Pada 3 November 2013)
Cusick,Carolyn 2007. Fanons Black Skin, White Masks on Race Consciousness. [Download] http://ejournals.library.vanderbilt.edu/index.php/ameriquests/article/download/45/36 (Pada 2 November 2013)

Anda mungkin juga menyukai