Anda di halaman 1dari 3

Koalisi Partai Islam dengan Partai Sekuler, Boleh?

Tahun 2014 ini Indonesia akan kembali mengadakan event yang biasa orang-orang sebut sebagai pesta demokrasi. Ya, tepatnya pada bulan April mendatang di negeri ini akan mengadakan lima tahunan pemilihan wakil rakyat yang disebut Pemilihan Umum atau Pemilu. Dimulai dengan pemilihancalon legislatif yang nantinya mereka yang terpilih akan menduduki jabatan di DPR dan DPD. Lalu kemudian akan disusul dengan pemilihan presiden. Terdaftar ada 12 partai yang akan mengikuti pertarungan memperebutkan suara rakyat ini. Dari kedua belas partai ini, ada lima partai yang merupakan partai berbasis Islam, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Dari berbagai survei dan pengamatan yang dilakukan, nampak bahwa pamor partai Islam masih kalah dibanding dengan partai nasionalis. Melihat pengalaman yang terjadi pada pemilu lima tahun lalu, pencalonan presiden hanya bisa dilakukan oleh partai jika partai tersebut memperoleh 20% kursi di DPR, serta 25% suara di pemilu legislatif. Jika suara yang diperoleh parpol tidak memenuhi persyaratan, maka partai-partai ini dapat melakukan koalisi dengan partai lainnya agar memenuhi persyaratan tersebut. Koalisi menurut pengertian bahasa (etimologi) artinya adalah kerjasama antara beberapa partai. Koalisi merupakan gabungan beberapa partai/fraksi dalam parlemen untuk mencapai mayoritas yang dapat mendukung pemerintah. Dilakukannya koalisi bertujuan untuk menentukan presiden dan wakil presiden, menentukan menteri-menteri dalam kabinet, serta untuk menciptakan stabilitas politik dalam parlemen. Karena popularitasnya yang memang lebih rendah dibanding partai nasionalis, maka banyak partai islam yang berencana ingin berkoalisi dengan partai lain, baik itu sesama partai islam maupun koalisi dengan partai nasionalis. Bagaimana sebenarnya fenomena koalisi ini menurut pandangan islam? Bolehkah partai islam berkoalisi dengan partai nasionalis? Walaupun koalisi pada dasarnya adalah bekerja sama, namun harus kita lihat kerja sama ini adalah kerja sama dalam hal apa. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Maidah ayat

2 yang berbunyi Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Allah SWT telah memerintahkan para hamba-Nya yang beriman untuk tolong menolong dalam mengerjakan perbuatan baik, yaitu kebajikan (al-birr), dan meninggalkan kemungkaran, Allah SWT juga melarang mereka untuk tolong menolong dalam kebatilan (al-bathil), dalam dosa (al-maatsim), dan dalam hal-hal yang diharamkan (al-maharim). Jadi, kita boleh tolong menolong untuk hal yang sifatnya untuk kebaikan. Namun apakah tolong menolong atau kerja sama, dalam hal ini koalisi itu termasuk dalam kategori tolong-menolong dalam kebaikan? Dalam hal koalisi partai, kerja sama yang dilakukan adalah bertujuan untuk meraih kekuasaan. Agar apa-apa yang menjadi keputusan presiden nantinya akan memperoleh dukungan rakyat (dalam hal ini wakil rakyat di DPR). Selain itu, dapat kita lihat selama ini keputusan yang dibuat oleh lembaga eksekutif, maupun legislatif jarang yang berpihak pada rakyat. Tolong menolong atau kerja sama dalam hal ini tentu tidak boleh. Apa lagi jika partai islam, yang katanya memperjuangkan islam di tengah-tengah masyarakat ingin berkoalisi dengan partai nasionalis, yang terkadang lebih mementingkan kepentingan pihak tertentu daripada kepentingan umat islam yang di negara kita merupakan mayoritas. Banyak orang yang menyerukan masyarakat islam agar mengikuti pemilu menyatakan, kita harus ikut pemilu dan memilih partai islam, kalau tidak nanti parlemen kita dikuasai oleh partai nonislam. Apakah memang harus begitu? Jika sekarang partai islam juga berkoalisi dengan partai nasionalis-sekuler, maka tentu ujung-ujungnya parlemen kita juga tetap akan dikuasai oleh mereka yang memang tidak menyuarakan islam. Nabi SAW bersabda sungguh akan datang pada manusia suatu zaman, dimana yang ada atas kalian adalah pemimpin-pemimpin yang bodoh (umara sufaha) yang mengutamakan manusia-manusia yang jahat dan mengalahkan orang-orang yang baik di antara mereka, dan mereka suka menunda-nunda sholat keluar dari waktu-waktunya. Maka barangsiapa di antara kamu yang mendapati pemimpin-pemimpin seperti itu, janganlah sekali-kali dia menjadi pejabat (ariif), atau menjadi polisi, atau menjadi pemungut [harta], atau menjadi penyimpan [harta]. Lantas bagaimana seharusnya kita menyikapi perhelatan pemilu ini? Benarkah perubahan yang diperlukan negeri ini terjadi lewat jalan pemilu? Dari pengalaman pada pemilu-pemilu sebelumnya, masalah yang dihadapi negeri ini cenderung tidak terlalu ada

perubahan. Kesejahteraan rakyat masih rendah, angka korupsi masih tinggi, kebutuhan hidup masih mahal, dan masih banyak masalah yang lainnya. Jika kita kembali melihat, perubahanperubahan besar yang terjadi di negeri ini, mulai dari era orde lama, orde baru, sampai era reformasi sekarang ini, semuanya terjadi bukan melalui jalan pemilu. Dari sini, apakah kita masih bisa berharap pada sistem demokrasi? Perubahan yang kita perlukan sebenarnya bukanlah perubahan biasa, bukan hanya perubahan rezim semata, melainkan perubahan yang benar-benar mendasar. Sudah saatnya kita mengganti sistem demokrasi yang rusak ini dengan sistem yang sempurna, yang diturunkan oleh penciptanya manusia. Sistem itu adalah islam, yang bukan hanya sekedar agama, namun juga pedoman hidup yang mampu membawa umat islam menjadi umat terbaik. Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah TQS Ali Imran: 110. Wallahu alam bish-showab.

Oleh: Karina Nurul Fajar Mahasiswa Angkatan 2011 Pendidikan Kimia FKIP Unlam Banjarmasin Jalan Semangat Dalam Handil Bakti karinanurulfajar@ymail.com 081351663045

Anda mungkin juga menyukai