ESENSI
Oleh: Alif Surya
"MasyaAlloh, itu artinya dia masih kelas satu." Karena tidak tahan, rasanya mau menempeleng pemuda dihadapannya. "Satu SMP, dan kamu sudah bilang kamu jatuh cinta padanya? Oh, peradaban macam apa ini." Pemuda itu tidak memperhatikan lawan bicaranya, seakan dia sendiri tidak sedang berada di sana, di alam lain. "Saya mencintainya Tuan, sangat. Bahkan saya dapat mendengarkan suaranya, sebuah suara diantara, ehmm... Kira-kira dua puluh suara itu dalam paduan suara, saya sanggup menangkap suaranya saja. Tapi saya tidak dapat menjelaskan bagaimana." "Lantas untuk apa kamu kemari?
Cari ribut? "Tidak ada jawaban. lagu-lagu melayu mulai didendangkan, para tamu undangan datang dan pergi bergantian. Dengan wajah-wajah berbeda di setiap meja, seolah ini permainan waktu.
anakku?" Suaranya terdengar agak ragu. "Eh..." Seorang pemuda yang terlihat aneh menggerakkan jari-jarinya, dia agak bodoh dalam berhitung. "Saya kira sudah enam tahun Tuan, berarti saat itu tahun 2007 karena sekarang 2013. Anak Anda sangat cantik saat itu, dia tergabung di paduan suara perpisahan sekolah, saya lulus dan dia belum. Dan aku sudah mengingininya."
"Aku tidak akan mengusirmu, tapi lihatlah kamu sangat menyedihkan." Bapak itu mulai mengasihaninya separuh. "Untuk apa kamu ke sini? Bukankah ini akan
menghancurkanmu?" Pemuda itu menatap hidangan matanya tanpa kosong. melirik Entah apa dia pun, sedang
Idung menebarkan pandang ke segala sudut, para tamu yang berkumpul memakan
hidangan kue dan sego rawon, para keluarga yang memakai kebaya memperbincangkan sesuatu, anak-anak muda berpakaian batik dan betapa lucu dua gadis mungil yang harus jadi kembang mayang karena sebuah tradisi, keduanya segera memasuki
bermimpi. "Saya rasa Anda sangat pesimis kepada saya, ungkapan Anda seperti sedang berhadapan dengan seorang pengemis." Kecemasan Bapak itu mulai perlahan reda, jadi kemarahan rasanya akan merusak suasana. Dia mulai tertarik dengan pemuda yang baru semalam itu dikenalnya. "Baiklah, ceritakan sebenarnya maksud dari
panggung hendak memainkan perannya. Ini kenyataan yang lucu, pikirnya. "Maaf, aku tidak mengerti maksud dari ucapanmu? Kamu lupa namamu? Aihhh Jangan-jangan kamu mengarang cerita soal menyukai anakku." Memanas kembali. "Siapa kau? Orang gila yang kebetulan sedang lewat, kau mau cari makan gratis? Apa maksudmu kemari? Jawab!" Si bapak bermaksud mencengkeram kerah baju pemuda itu tapi tidak jadi seakan gerak tubuhnya bukan dia sendiri yg mengatur. "Tuan, bayangkan dunia bila
kedatanganmu sementara di undangan tidak ada nama " Idung". Mungkin itu bukan nama aslimu. Tapi kamu mengaku kekasih anakku, oh maaf aku salah mengatakannya, kau mantan kekasihnya. " Pemuda itu mulai kembali ke dunia nyata, matanya menatap yakin pada bapak itu secara tiba-tiba. "Tuan, ketahuilah saya sudah tidak mempunyai nama. Saya telah menghapusnya, saya lupa. Bahkan saya lupa kenapa saya berada di sini dan mengapa hanya Anda saja yang mau bicara dengan saya. Dan sekarang saya di sini menyaksikan pernikahan anak Anda dengan tenang tanpa gaduh atau
manusia tidak mencintai apapun? Tidak memcintai dan dicintai, sama halnya dengan proses penciptaan alam semesta tanpa tujuan. Saya tidak perlu ke mari menjelaskan apa maksud dari kedatangan saya. Dan tidak ada
satupun hal yang aku ingat, kecuali sebuah obsesi yang aku bawa ke mari. Jadi jangan Tanya sesuatu diluar konteks." Si bapak mengernyitkan dahinya, Idung
berada di panggungnya, hanya hiasan janur kuning berdiri di samping kiri dan kanan seperti tombak para pengawal kerajaan
memperhatikan tempat duduk pengantin yang masih kosong. "Jangan buat saya makin pusing, kamu ini apa? Seorang pujangga? Obsesi? Maksudmu?" Bapak sudah tidak sabar dengan ocehan aneh yang keluar dari mulut pemuda asing itu. "Begitu banyak pertanyaan Anda, begini saja, saya akan berikan contoh, saya sudah lama putus dengan anak Anda, tapi tak sedikitpun saya berusaha melupakannya atau mencintai orang lain. Saya pikir setelah kita putus, perubahan itu akan terjadi, dia bersama orang lain atau akan kembali pada saya. Sama halnya dengan penjudi, kalah atau menang. Bukankah perubahan itu pasti? Bukankah bisa dikatakan yang tertinggal dalam diri saya hanya obsesi? Saya
memikirkan tiap kata yang diucapkan pemuda itu, "Apa kamu juga seorang mahasiswa?" Idung terperangah pada
dirinya sendiri, "Apa aku mahasiswa?" Mencoba mencari kata dalam ingatannya, "Oh mungkin saja, karena saya tidak mengingatnya sama sekali. Saya mencintai anak Anda, itu saja yang saya ingat." "Apa kamu amnesia atau gagar otak sehingga seperti itu?" Bapak menanggapi dengan serius. "Anda percaya, di ruangan ini hanya Anda yang mampu melihat dan mendengar ucapan saya?" "Tidak, kamu gila." "Iya saya tergila-gila dengan anak Anda, sekalipun itu mustahil saat ini." "Kamu benar-benar gila, apa ini semacam penipu dengan modus yang tak masuk akal?" Bapak mengamati setiap detil dari pemuda itu memastikan mungkin ada benda yang mencurigakan. "Memang bagaimanapun tidak Tuhan masuk tetap akal, diyakini
mencintainya sekalipun banyak hal yang telah berubah selama enam tahun. Dan satu hal lagi, secara teori saya akan membenci Anda karena sikap yang kurang hangat, tetapi untuk mencintai Anda sama sekali tidak dibutuhkan sebuah alasan." Entah si bapak sangat menyimak sekalipun banyak hal yang dikatakan Idung tidak mudah dipahami. "Kalau begitu saya boleh di sini sampai anak Anda muncul Tuan? Saya janji tidak akan terjadi suatu hal yang akan mengacaukan resepsi ini." Bapak masih
sekalipun itu tidak rasional. Tuan, Anda tidak seharusnya selalu membedakan mana yang nyata atau yang tidak, jika tiap manusia seperti Anda maka cinta tidak pernah ada. "
Lagu berganti, kali ini lagu jazz modern Bossanova Jawa. Dan beberapa orang akan tahu ini lagu Didi Kempot berjudul "Stasiun Balapan" yang
perasaaan cinta secara umum, hanya itu. Kecuali setiap orang merasakannya berbeda, tanpa dia tahu di mana letak perbedaannya. Ungkapan cinta secara eksplisit, bertemu, pacaran lalu menikah seakan tidak ada hal tertentu yang menyentuhnya. Jika diingat kembali, masa mudanya tak begitu
diimprovisasi. Idung tidak akan pergi kalau kemauannya belum sampai. Aku akan menunggunya tanpa diminta pun, aku juga tak mengharapkan apa-apa lagi darinya. Cinta tidak menghilang bersama
memikirkan hal yang rumit, cinta yang begitulah adanya sesuatu yang sederhana tapi kompleks. Dan pemuda ini, sekalipun aku tidak mengerti apa yang
kepergiannya, tidak akan. Kini aku datang untuk menepati janji itu, sebuah obsesi yang tidak butuh teori. Pikirnya. Bapak bingung, mesti berbuat apa untuk tamu tak diundang ini, dia tidak berpikir lagi untuk mengusirnya tapi apa yang akan terjadi lebih membuatnya
disampaikannya, aku merasa cinta punya banyak wajah. Atau mungkin ini hanya sebuah perasaan ilusi seorang remaja, oh iya mungkin saja. Mereka tidak pernah tahu, bagaimana menjadi tua kemudian hidup menjadi sangat biasa. "Saya tahu apa yang ada dalam pikiran Anda saat ini, cinta tidak
penasaran. Malam menuju pekatnya yang mencekam bagi siapa saja yang merasa bukan hanya dengan akal sehat. Lampu kota yang menumpahkan cahaya belum cukup menerangi pikirannya. Seakan dia ingin menyaksikan sebuah pertunjukan seni,
sesederhana itu. Jika Einstein menyatakan teori relativitas waktu, setiap orang yang jatuh cinta bisa saja menyatakan teori relativitas cinta." Idung mengagetkan bapak itu. "Kamu benar-benar orang gila, aku akan beri kamu makan kemudian pergilah dari sini!" "Tuan belum mengerti juga, apa yang akan Anda perbuat ketika seorang yang sangat Anda cintai tidak lagi bersama Anda?"
anaknya yang cantik jadi pengantin. Sedang dihadapannya ini, seorang pemuda misterius tanpa nama tanpa ingatan hanya sebuah obsesi mengganggu pikirannya tetapi tak ada yang bisa diperbuatnya. Sebuah obsesi? Apa sebenarnya maksud dari pernyataan itu? Tidakkah aku pernah memikirkan ini, semasa mudaku aku hanya mencintai saja bukan apa-apa. Bisa mengerti bagaimana
"Jika saya seumuranmu, saya akan berusaha mendapatkannya kembali tetapi itu tetap pada batasan-batasan tertentu.
genggamku. Suatu keadaan paling sempurna, di mana aku bahagia tanpa menyelam ke dalam kebahagiaan itu lebih dulu. Karena semua itu tak butuh unsur apapun, teori apapun. Semua yang hidup kalau pantas tidak
Lagipula kamu berbohong soal hilang ingatan, kamu bisa mengahafal teori dengan baik." Bapak melihat jam tangannya
berbahagia,
karena
memastikan sesuatu. Tapi kamu harus segera pergi dari sini, semua ada batasannya. Pasti telah terjadi sesuatu yang buruk di masa lalu yang membuatmu tidak diundang. Cukup bukan sebagai alasan untuk mengusirmu?" Semua terdiam, lagu Creep dari Radiohead tiba-tiba saja melayang di tengah acara. Si bapak tahu, anaknya datang menuju panggung. Seorang masterpeace dalam sandiwara ini. Betapa cantik batinnya. Tak kuasa para undangan memicingkan matanya, gaun putih yang digunakan pas untuk wanita itu seperti burung angsa yang mengembangkan kedua sayapnya. kulit yang sempurna seperti boneka lilin, insan terbaik yang berjalan seperti bukan anaknya saja. Betapa cantik, bidadari yang turun dari langit itu gadis semata wayangnya. Cause I'm a creep, I'm a
menginginkannya sama saja kita dengan benda mati. Kebahagiaan tidak lagi
membutuhkan alasan, bagaimana pun kita lebih tahu diri kita sendiri, aku telah menepati janjiku. Sebuah janji tanpa
kesepakatan, petualangan tanpa pertarungan. Aroma tubuhnya yang aku kenal betul membumbung tinggi kemudian masuk ke hidungku, lalu tenggrokanku, aku tidak tersedak. Sama sekali tidak. Aroma tubuh itu sendiri adalah obat penenang yg membuat timbul dalam otakku mencipta sosok
bayangan wanita telanjang menentramkan jiwaku yang tadinya kosong kini terisi penuh. Udara dingin menyegarkan isi kepala yang bebal. Sekarang mengertilah aku siapa diri ini, obsesi yang mengendap. Ketakutan dalam memori ingatanku telah mati,
sepenuhnya mati. Pengantin pria tidak disampingnya, masa bodoh! lebih baik
weirdo...bagian lagu itu seolah mencoba mengatakan pada seseorang, tapi tidak tersampaikan. Hmm... Sudah cukup sampai di sini obsesi itu. Ia tak akan ku lepas dalam
seperti itu, pementasan tunggal. Lihatlah, dia tersenyum seakan semua orang benar-benar memujanya, padahal tak satupun. Kalau hujan badai datang hari ini, hanya aku yang tak akan melarikan diri menyaksikan
pertunjukannya.
Tiba-tiba
aku
merasa
sendiri, kegelapan merayapi lubuk hatiku. Benar-benar aku ingin mencium wanita itu. Dia duduk sekarang, setidaknya aku tak melewatkan pertunjukannya. Waktuku akan habis dan waktu yang lain terus maju. Ah, mungkin aku salah. Mungkin aku memang sudah lama kehabisan waktu. Selamanya akan seperti itu. Dan kini seorang itu tinggallah sebuah ide, tidak lebih.
"Ke mana perginya?" Bapak itu kebingungan mendapatkan dirinya kembali. "Siapa? Siapa Yah? Lihatlah anak kita, tidakkah Ayah bahagia?" Sebuah suara dari seorang wanita. "Pemuda itu telah datang dan pergi dengan keinginannya sendiri, ha? Apa anak kita memang mendapatkannya Bu? " "Ayah bilang apa si?" "Kebahagiaan, kebahagiaan itu lho."