Anda di halaman 1dari 4

1) Servik Setelah persalinan, bentuk servik agak menganga seperti corong.

Bentuk ini disebabkan oleh korpus uteri yang dapat mengandakan kontraksi, sedangkan servik tidak berkontraksi, sehingga seolah-olah pada berbatasan antara korpus dan servik uteri berbentuk, semacam cincin. Warna servik sendiri merah kehitam-hitaman karena penuh pembuluh darah,

konsistensinya lunak, segera setelah janin dilahirkan. Tangan pemeriksa masih dapat dimasukkan 2-3 jari dan setelah 1 minggu hanya dapat dimasukkan 1 jari ke dalam kavum uteri. (Sarwono, 2002)

2) Ligamen-ligamen Ligamen-ligamen dan diafragma pelvis serta fasia yang mereggang sewaktu kehamilan dan persalinan setelah jalan lahir berangsur-angsur mengecil kembali seperti sedia kala tidak jarang ligamentum rotundum menjadi kendor mengakibatkan uterus jatuh kebelakang, untuk

memulihkan kembali jaringan-jaringan penunjang alat genetalia tersebut juga otot-otot dinding perut dan dasar panggul dianjurkan untuk melakukan latihan-latihan tertentu. Pada hari ke 2 post partum sudah dapat diberikan fisioterapi. (Sarwono, 2002) Proses involusi dapat terjadi secara cepat atau lambat, faktor yang mempengaruhi involusi uterus antara lain : 1) Mobilisasi dini Aktivitas otot-otot ialah kontraksi dan retraksi dari otot-otot setelah anak lahir, yang diperlukan untuk menjepit pembuluh darah yang pecah karena adanya pelepasan plasenta dan berguna untuk mengeluarkan isi uterus yang tidak diperlukan, dengan adanya kontraksi dan retraksi yang terus menerus ini menyebabkan terganggunya peredaran darah dalam uterus yang mengakibatkan jaringan otot kekurangan zat-zat yang diperlukan, sehingga ukuran jaringan otot-otot tersebut menjadi kecil. 2) Status gizi

Status gizi adalah tingkat kecukupan gizi seseorang yang sesuai dengan jenis kelamin dan usia. Status gizi yang kurang pada ibu post partum maka pertahanan pada dasar ligamentum latum yang terdiri dari kelompok infiltrasi sel-sel bulat yang disamping mengadakan pertahanan terhadap penyembuhan kuman bermanfaat pula untuk menghilangkan jaringan nefrotik, pada ibu post partum dengan status gizi yang baik akan mampu menghindari serangan kuman sehingga tidak terjadi infeksi dalam masa nifas dan mempercepat proses involusi uterus. 3) Menyusui Pada proses menyusui ada reflek let down dari isapan bayi merangsang hipofise posterior mengeluarkan hormon oxytosin yang oleh darah hormon ini diangkat menuju uterus dan membantu uterus berkontraksi sehingga proses involusi uterus terjadi. 4) Usia Pada ibu yang usianya lebih tua banyak dipengaruhi oleh proses penuaan, dimana proses penuaan terjadi peningkatan jumlah lemak. Penurunan elastisitas otot dan penurunan penyerapan lemak, protein, serta karbohidrat. Bila proses ini dihubungkan dengan penurunan protein pada proses penuaan, maka hal ini akan menghambat involusi uterus. 5) Parietas Parietas mempengaruhi involusi uterus, otot-otot yang terlalu sering tereggang memerlukan waktu yang lama. (Sarwono, 2002)

1. ATONIA UTERUS Kegagalan uterus untuk berkontraksi secara adekuat setelah pelahiran merupakan penyebab tersering perdarahan obstetric. Pada banyak perempuan, atonia uterus paling tidak dapat diantisipasi dengan baik jauh sebelum pelahiran. Meskipun factor resiko diketahui dengan baik, kemampuan untuk mengidentifikasi perempuan mana yang akan mengalami atonia masih terbatas. Rouse dkk.m (2006) meneliti 23.900 perempuan yang menjalani

pelahiran Caesar untuk pertama kalinya dan melaporkan bahwa separuh di antara mereka yang mengalami atonia tidak memiliki factor resiko. Uterus yang mengalami distensi berlebihan rentan menjadi hipotonus setelah pelahiran. Jadi, perempuan dengan janin besar, multiple, atau hidramnion rentan mengalami atonia uterus. Perempuan yang persalinannya ditandai oleh aktivitas uterus yang sangat berlebihan atau hampir tidak efektif (lemah) juga berisiko mengalami perdarahan masif akibat atonia pascapartum. Serupa dengan hal tersebut, persalinan yang dimulai atau dibantu dengan oksitosik lebih beresiko diikuti oleh atonia dan perdarahan. Paritas tinggi merupakan fator risiko atonia uterus. Risio lain adalah jika perempuan tersebut pernah mengalami pedarahan pascapartum. Terakhir, upaya untuk mempercepat pelahiran plasenta dapat mencetuskan atonia. Pemijatan dan peremasan tanpa henti uterus yan telah berkontraksi mungkin menghambat mekanisme fisiologis pelepasan plasenta, menyebabkan

pelepasan plasenta yang inkomplet dan bertambahnya perdarahan.

Daftar Pustaka

1.

Cambridge, C. L. (1998) Anatomi Fisiologi Tubuh Manusia dan System Reproduksi, Jakarta: EGC.

2. 3.

Ibrahim, C.S. (1996) Perawatan Kebidanan, Jakarta: Bhratara. Manuaba, I. B. G. (1998) Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan, Jakarta: EGC.

4.

Mochtar, R. (1998) Sinopsis Obstetric, Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai