Anda di halaman 1dari 3

TEMPO Interaktif, Jakarta: Lemas menjadi kondisi yang lekat dengan Romli--bukan nama sebenarnya--dalam dua tahun terakhir

ini. Pria berusia 58 tahun ini terkadang merasa mau jatuh pingsan. Pemeriksaan dokter spesialis jantung menunjukkan bahwa lelaki paruh baya ini menderita atrial fibriali (AF)--salah satu jenis gangguan detak jantung tidak beraturan (aritmia)--yang paling sering menyerang. Detak jantungnya bisa mencapai 120-140 per menit dan dengan irama yang tidak beraturan. Jalan keluar yang ditawarkan kepadanya adalah konsumsi obat anti-aritmia dan pengencer darah. Cuma cara ini membebani Romli karena ia harus tergantung pada kedua obat tersebut sepanjang hidupnya. Apalagi dokter memberi info tambahan bahwa obat tersebut juga berfungsi untuk mencegah kerusakan jantung lebih lanjut serta mencegah stroke. Romli merasa tidak bisa berkutik. Apalagi selama ini AF dikenal sebagai gangguan aritmia jantung yang tergolong serius yang berpotensi memicu fisik menjadi lemah dan juga meningkatkan risiko seseorang terserangstroke. "Atrial fibrilasi diketahui meningkatkan risiko terjadinya stroke 4-7 kali ketimbang orang dengan irama jantung normal," kata spesialis jantung dan pembuluh darah Hospital Cinere, Depok, dr Jeffrey Wirianta SpJP, saat ditemui Tempo, Jumat lalu. Jeffrey mengakui memang sebagian besar kasus aritmia umumnya ditangani dengan obat-obatan yang mesti ditenggak pasien seumur hidup. Padahal, pemakaian obat tersebut memiliki sederet konsekuensi terhadap kondisi pasien. Contohnya, gangguan pada fungsi kelenjar gondok, fungsi hati hingga penglihatan. Bahkan, ia menyebutkan obat anti-aritmia justru membuat pasien berisiko terserang aritmia jenis berbahaya. Apalagi bila digunakan dalam jangka lama atau dosis besar. "Belum lagi biaya yang dikeluarkan pasien," ujar dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini. Risiko besar itu yang membuat Romli memilih konsultasi lebih dalam dengan ahli jantung di Hospital Cinere. Dia diberi opsi untuk menjalani tindakan studi elektrofisiologi diikuti tindakan ablasi (pembakaran atau pemutusan sumber listrik). Di Klinik Kardiovaskular rumah sakit ini telah diterapkan sistem ablasi dengan radio frekuensi yang dibuat untuk menyederhanakan dan mempersingkat waktu tindakan isolasi listrik pada pembuluh vena paru. Mencakup kateter canggih yang dapat mengisolasi pembuluh vena paru pada satu saat yang bersamaan. "Ini alat baru dan pertama di Asia." Jeffrey menjelaskan, di jantung itu selain ada generator pusat pembangkit listrik juga terdapat generator listrik cadangan. Yang cadangan ini tidak akan aktif selama generator pusat bekerja dengan baik. Pada penderita AF, generator cadangan yang ada di sekitar pembuluh balik paru itu aktif. Akibatnya, sinyal listrik yang ada di serambi jantung menjadi banyak sehingga denyut jantung kacau balau. "Sebab, bingung mau ngikutin sinyal yang mana." Nah, tindakan ablasi adalah untuk mengisolasi jaringan ini. Caranya, kateter dan kabel halus dimasukkan melalui pembuluh darah balik di paha. Diteruskan ke serambi kanan hingga menembus serambi kiri Jantung. Selanjutnya, dilakukan pemetaan kelistrikan jantung. Seperti membuat jaringan isolasi. Lalu, setelah didapatkan gambaran sistem kelistrikan jantung dan ditemukan sumber kelistrikan jantung yang abnormal, dilakukanlah pemutusan atau pembakaran (ablasi) sumber kelistrikan itu dengan menggunakan gelombang elektromagnetik. "Bila tidak ada kelainan struktural jantung lain yang menyertai penyakit aritmia keberhasilan tindakan ablasi mencapai 80 hingga 95 persen," kata De Kluiver, MD, PHD dari Belanda pada kesempatan yang sama. Dokter yang bertindak sebagai manajer kalangan ahli jantung Belanda menyebutkan yang tergolong kelompok itu adalah pasien yang murni hanya bermasalah dengan kelistrikan jantung. "Tidak menderita gangguan pada koroner atau katup jantungnya". Menurut Kluiver, tindakan ablasi ini mampu mencakup semua bagian dalam satu kali tindakan simultan. Walhasil, waktu yang diperlukan sangat singkat. Bedanya hingga enam jam, dibanding jika pasien menggunakan metode lawas. "Dengan sistem ablasi yang baru ini operasi cuma butuh waktu dua jam," ujarnya. Padahal, dengan teknik lama bisa mencapai sekitar delapan jam karena dokter harus mengisolasi jaringannya satu per satu. Sebelum dilakukan tindakan studi elektrofisiologi dan ablasi, lazimnya dokter melakukan pemeriksaan echocardiography untuk menentukan ada atau tidaknya kelainan struktural pada jantung. Kadang kala juga dibutuhkan evaluasi MSCT scan jantung untuk melihat lebih teliti tentang bentuk dan ukuran ruang jantung, terutama serambi kiri dan pembuluh balik paru (vena pulmonal). Karena jenis aritmia beragam, ada pula yang membutuhkan penagangan lebih serius, seperti pemasanganimplantable cardio defibrilator (ICD). Alat ini khusus diperuntukkan pasien aritmia yang sifatnya mengancam nyawa, seperti takikardi ventrikel (VT) dan fibrilasi ventrikel (VF), karena serangan beberapa menit saja bisa berakibat fatal. ICD akan mendeteksi manakala pasien mengalami serangan aritmia. "Dalam hitungan detik alat ini akan memberi kejutan listrik di dalam jantung untuk menghilangkan aritmia tersebut," kata Jeffrey yang juga kepala divisi non-invasif pada Klinik Kardiovaskular Rumah Sakit Hospital Cinere.

Dengan pacemaker atau ICD ini, pasien bisa dideteksi secara jarak jauh. Lewat perangkat ini, berbagai data pasien, termasuk gambar organnya, bisa terkirim ke layar monitor. Dengan perlengkapan mini, pasien mudah membawanya ke mana-mana dan kondisi jantungnya selalu bisa dikontrol. Dengan teknologi baru ini, kondisi Romli pun berubah besar. Setelah tindakan ablasi, Romli dinyatakan sembuh total dan tidak perlu lagi mengkonsumsi obat apa pun. Namun, untuk tindakan medis ini, dia harus merogoh kocek sebesar 3.500 euro atau sekitar Rp 48 juta. "Tindakan ablasi ini telah mendapat persetujuan dari FDA (Badan Pengawasan Obat-obatan dan Makanan Amerika Serikat)," ujar Kluiver.

Telah diteliti secara prospektif 32 penderita PJB (6 TF, 16 VSD dan 10 ASD) antara umur 2-51 tahun dengan pemantauan Holter 24 jam pertama pasca bedah jantung terbuka (termasuk 12 penderita terdiri dari 6 VSD, 5 ASD, 1 TF yang mendapat pemeriksaan Holter pra bedah dan pasca bedah). Pemeriksaan Holter pasca bedah direkam dengan elektrogram atrium untuk ketepatan diagnosis aritmia. Dari hasil pemantauan didapatkan 27 penderita termasuk dalam kategori positif untuk aritmia pasca bedah (9 penderita diantaranya dengan Holter prabedah) dan selebihnya 5 penderita termasuk negatif (3 diantaranya dengan Holter prabedah). Prabedah hanya 1 termasuk positif untuk aritmia. Hasil yang ditemukan untuk aritmia pasca bedah yaitu SVES (56,2%), VES (53,1%), SVT (25%), VT (18,8%), disosiasi AV (15,6%), irama nodal (12,5%m takikardia nodal (9,4%), RBBB (9,4%) dan hanya 1 kasus dengan AF dan blok AV. Aritmia ini tidak dipengaruh oleh kondisi pasca bedah seperti pH darah dan kadar elektrolit serta lamanya waktu sirkulasi pintas kardio pulmoner. Aritmia timbul secara bermakna akibat bedah jantung terbuka. 3 penderita meninggal oleh sebabsebab di luar aritmia. Kebanyakan aritmia kecuali RBBB pada 3 penderita (VSD), VES pada 1 penderita (VSD) dan IRBBB pada 1 penderita (TF), menghilang pada minggu pertama sampai kedua pasca pembedahan. Cara pemantauan di Ruang Rawat Intensif kurang memadai baik dari segi alat maupun petugas karena hanya dapat meliput 30% aritmia dengan benar dan 20% salah diagnosis, sedang dianggap sinus atau terluput dari pengamatan sebanyak 50%. Masih diperlukan metode pembedahan yang lebih baik untuk menekan aritmia. Pengetahuan yang lebih luas tentang aritmia bagi tenaga medis yang bertugas di Ruang Rawat Intensif perlu ditingkatkan dan alat yang lebih memadai juga perlu disarankan. Merupakan suatu kondisi dimana jantung berhenti memompakan darah (berkontraksi) yang ditandai dengan ketidaksadaran yang terjadi sebagai kolaps yang tiba-tiba, tidak ada denyut nadi yang teraba pada nadi karotis, radialis dan femoralis, apnoe atau gerakan napas tidak efektif, pupil dilatasi, kulit keabuan atau putih atau sianosis, tampak seperti mati. (Skeet, 1995 & Jusrafli). Penanganan Penanganan pasien yang mengalami henti jantung yaitu pertama dilakukan resusitasi jantung paru dengan prinsip ABC. Urutan tindakan dalam melakukan resusitasi jantung paru yaitu : a.Pastikan keselamatan penolong dan pasien terjamin b.Periksa pasien dan lihat responsnya Goyang bahunya dan bertanya cukup keras. Siapa namamu ?, Coba buka matanya. Bila pasien menjawab atau bergerak, biarkan pasien tetap pada posisinya, periksa keadaan pasien secara berkala dan teratur. Bila pasien tidak memberi respons, berteriaklah mencari bantuan, buka jalan napas dengan mendorong dahi dan mengangkat dagu. Posisikan telapak tangan pada dahi sambil mendorong dahi ke belakang (head tilt). Ibu jari dan telunjuk harus bebas agar dapat digunakan menutup hidung jika perlu memberikan napas buatan. Pada waktu yang sama ujung-ujung jari tangan yang lain mengangkat dagu (chin lift). Jika ada kecurigaan trauma leher jangan melakukan head tilt. c.Sambil mempertahankan jalan napas bebas, lihat, dengar raba ada tidaknya udara pernapasan keluar masuk dengan cara melihat pergerakan dada turun naik, mendengar suara napas pada mulut pasien dan meraba gerak hawa pernapasan dengan pipi. Jika pernapasan memadai, posisikan pasien pada recovery position (jika tidak ada kecurigaan trauma leher), pastikan pernapasan tetap ada, bila ada beri oksigen 100 % dan carilah bantuan. Jika pasien tidak bernapas, carilah bantuan, telentangkan pasien, singkirkan semua sumbatan yang terlihat dari mulut pasien (misal gigi yang terlepas), beri 2 napas buatan yang efektif, setiap napas harus disertai ekshalasi. Jika mengalami kesulitan dalam memberikan napas buatan yang efektif, periksa lagi apakah mulut pasien sudah bersih dari sumbatan, periksa apakah posisi head tilt chin lift sudah benar. Usahakan lagi memberi sampai 5 kali napas buatan untuk mendapatkan paling sedikit 2 napas buatan yang efektif. d.Periksa tanda-tanda sirkulasi (meskipun napas buatan belum berhasil), cari apakah ada gerakan pasien (gerakan menelan atau bernapas), dan raba nadi karotis. Jika yakin ada tanda-tanda sirkulasi, lanjutkan napas buatan sampai pasien bisa bernapas sendiri, tiap menit periksa lagi tanda-tanda sirkulasi. Jika pasien mulai bernapas tetapi tetap tidak sadar, posisikan pada recovery position. Periksalah kondisi dan siap mengembalikan pada posisi terlentang untuk diberi napas buatan. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, mulai dilakukan pijat jantung dengan cara 1).Tentukan lokasi pijatan setengah-bagian bawah tulang dada (sternum) dengan telunjuk dan jari tengah menyusur batas bawah iga sampai titik temu dengan sternum. 2).Tambahkan 1 jari kemudian tempatkan tumit tangan satunya di atas sternum tepat disamping telunjuk tersebut. Itu adalah titik tumpu pijat jantung, 2 jari di atas procexus xyphoideus. 3).Tumit satunya diletakkan di atas tangan yang sudah berada tepat di titik pijat jantung 4).Jari-jari kedua tangan dirapatkan dan diangkat agar tidak ikut menekan. 5).Penolong mengambil posisi tegak lurus di atas dada pasien dengan siku lengan lurus, menekan sternum sedalam 4 5 cm (1,5 2 inci). 6).Ulangi gerakan pijat, lepas, pijat, lepas sekitar 100 kali/menit (kira-kira 2 pijatan/detik). 7).Setiap setelah 15 kali pijat jantung lakukan head tilt chin lift dan beri 2 napas buatan efektif. Lalu pijat jantung lagi 15 kali dan seterusnya (15 : 2). e.Lanjutkan resusitasi sampai ada tanda-tanda kehidupan kembali atau bantuan yang lebih mampu datang atau penolong kelelahan sehingga kalau diteruskan akan membahayakan penolong. f.Bilamana mencari bantuan, 1).Sangat penting bagi penolong untuk sesegera mungkin mencari bantuan, 2).Jika ada dua penolong salah satu melakukan resusitasi sedangkan lainnya mencari bantuan. 3).Jika hanya ada satu penolong, lakukan resusitasi minimal 1 menit (satu siklus) dulu sebelum berusaha mencari bantuan. (FK-UNAIR, 2002)

Kalau kita mendengar obrolan mengenai cara terbaik mengakhiri kehidupan dari orang-orang medis atau siapa saja yang tahu patofisiologi kematian, pastilah mereka lebih memilih mati dengan cara serangan jantung (heart attack). Mengapa? Karena berlangsung sangat singkat, relatif tidak menyakitkan dan kejadiannya tidak terprediksi, lebih sering pada saat beraktifitas! Dibandingkan misalnya kematian akibat penyakit kronis, stroke, gagal ginjal, diabetes, kanker dan lain-lain yang memerlukan proses lama, terkadang sampai putus asa menjalankannya, merepotkan banyak orang dan bisa jadi diakhiri dengan mengenaskan Bicara tentang Amrozi, Mukhlas dan Imam Samudra yang minggu ini menjadi pemberitaan hangat menjelang dieksekusi melalui tembakan terhadap jantung mereka sebagai sasaran, pernyataan paragraf di atas bisa menjadi salah satu dasar pertimbangan dari sisi medisnya. Dan kalau bicara tentang luka tembak (gunshot wound) dari sisi ilmu traumatologi, mesti dinilai keadaan luka masuk, apakah terdapat juga luka keluar / luka tembus, dari jarak berapa jauh tembakannya, arah tembakan dan jenis peluru / senjata yang digunakan. Hal itu semua untuk menguatkan dugaan organ bagian dalam tubuh yang terluka dan seberapa parah kerusakan yang ditimbulkannya. Sebab dengan luka yang kecil saja di permukaan, suatu tembakan (gunfire) akan dapat menimbulkan perlukaan yang serius di bagian dalam tubuh kita. Pertanyaannya, seberapa efektifkah dengan tembakan di areal posisi jantung akan membawa kematian? Penulis mencoba menganalisanya dari sisi reaksi fisiologis tubuh dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi pada proses kematian melalui eksekusi hukuman tembak ini. 1. Reaksi terhadap rasa takut. Berbeda dengan korban penembakan di luar, Amrozi dkk menjadi sasaran tembak yang mereka telah tahu kapan saat ajalnya itu. Sehingga bagaimana pun kuat imannya, respon fisiologis tubuh terhadap stress ini tidak dapat dibohongi. Akan terjadi pelepasan enzim dan bahan kimiawi dalam tubuh yang salah satunya bisa menimbulkan pelebaran (dilatasi) terhadap diameter pembuluh darah yang berakibat secara relatif aliran darah ke bagian tertentu dari tubuh berkurang. Sehingga tampaklah tubuh menjadi pucat, jantung berdebar, keringat dingin dan berbagai gangguan-gangguan lainnya. 2. Reaksi tubuh terhadap rasa nyeri. Begitu peluru menyentuh tubuh korban, seberapa pun cepat dan singkatnya akan menimbulkan respon yang kurang lebih tidak jauh berbeda seperti di atas, bahkan jika nyeri yang dirasakan itu begitu hebat dan berkepanjangan dapat pula menimbulkan shock secara cepat. 3. Terjadi henti jantung. Impuls elektrik yang menggerakkan otot jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh terhenti tiba-tiba, bukan oleh karena gangguan aliran darah di otot jantung seperti kasus infark tapi oleh karena kerusakan traumatik langsung dari otot jantung (myocard) itu sendiri akibat peluru yang menembusnya. 4. Mengalami kegagalan sirkulasi. Ada dua kejadian utama sebagai sumber penyebab. Pertama, tidak berfungsinya pompa jantung untuk mengalirkan darah dan yang kedua karena perdarahan itu sendiri yang membuat volume cairan darah di pembuluh darah menjadi berkurang. 5. Mengalami kegagalan ventilasi. Mengingat posisi jantung yang berada di rongga dada, tepatnya di ruang mediastinum, dengan trauma tembak, sedikit tidak akan mencederai atau kemungkinan besar akan membuat bocor juga pada jaringan paru di dekatnya sehingga mengakibatkan gangguan pada aliran dan penerimaan oksigen ke dalam tubuh. 6. Terjadi proses kematian jaringan. Berdasarkan teori terbaru, pengertian mati yang dimaksud adalah kematian sel, yang bermula diakibatkan oleh tidak adanya suplai oksigen ke jaringan hingga ke struktur fungsional tubuh terkecil (sel). Jadi ada 2 hal yang terpenting pada proses itu yaitu; oksigen dan aliran darah, sebagai pembawa O2 ke jaringan. Dengan rentetan mekanisme seperti di atas; shok yang membuat dilatasi vaskuler mengakibatkan kekuatan aliran darah jauh menurun, henti jantung mengakibatkan sumber aliran darah terhenti, perdarahan berakibat volumenya berkurang dan apalagi ditambah dengan hasupan oksigen yang juga drastis menurun karena kerusakan organ pernafasan, maka dengan cepat dalam hitungan detik sampai hanya beberapa menit akan terjadi kegagalan fungsi organ vital yang lain, seperti; otak, paru, ginjal, liver sebelum terjadi kematian yang sesungguhnya (di tingkat fisik dan biomolekuler). Di sisi lain banyak juga yang memperdebatkan hukum cara ini berkaitan dengan rasa nyeri yang diderita korban. Menurut hemat penulis, dengan cara apapun nyeri pasti akan dirasakan, baik dengan pancung, digantung, aliran listrik atau yang lainnya. Kecuali dengan pembiusan. Atau mungkin pembiusan (yang dalam / dosis berlebihan) itu sendiri yang bisa digunakan sebagai cara untuk membunuh. Masih perlu pengkajian, dan mungkin proses kematiannya menjadi relatif lama. Tapi siapa berani petugas medis -yang notebene bekerja untuk menyehatkan orang- malah ditugaskan sebagai eksekutor, penyabut nyawa??

Anda mungkin juga menyukai

  • Cover Kasus Ruangan
    Cover Kasus Ruangan
    Dokumen1 halaman
    Cover Kasus Ruangan
    Nasrizarni Ririn
    Belum ada peringkat
  • Definisi Sindrom Down
    Definisi Sindrom Down
    Dokumen15 halaman
    Definisi Sindrom Down
    Danty Danestria
    Belum ada peringkat
  • O Tomiko Sis
    O Tomiko Sis
    Dokumen1 halaman
    O Tomiko Sis
    Nasrizarni Ririn
    Belum ada peringkat
  • Otomikosis
    Otomikosis
    Dokumen12 halaman
    Otomikosis
    Siti Zahra
    100% (1)
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Nasrizarni Ririn
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen2 halaman
    Bab 1
    Nasrizarni Ririn
    Belum ada peringkat
  • KeselamatanLaluLintas
    KeselamatanLaluLintas
    Dokumen24 halaman
    KeselamatanLaluLintas
    Aris Sije
    Belum ada peringkat
  • O Tomiko Sis
    O Tomiko Sis
    Dokumen1 halaman
    O Tomiko Sis
    Nasrizarni Ririn
    Belum ada peringkat
  • Kornea PDF
    Kornea PDF
    Dokumen16 halaman
    Kornea PDF
    claragustin_53768590
    100% (1)
  • Patologi Pada Katarak1 PDF
    Patologi Pada Katarak1 PDF
    Dokumen15 halaman
    Patologi Pada Katarak1 PDF
    Steven William
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen1 halaman
    Kata Pengantar
    Nasrizarni Ririn
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    Nasrizarni Ririn
    Belum ada peringkat
  • Waham
    Waham
    Dokumen5 halaman
    Waham
    Nasrizarni Ririn
    Belum ada peringkat
  • -
    -
    Dokumen15 halaman
    -
    Nasrizarni Ririn
    Belum ada peringkat
  • Bronkitis Kronik
    Bronkitis Kronik
    Dokumen6 halaman
    Bronkitis Kronik
    Dewi Yulaikah
    Belum ada peringkat
  • Hirschsprung Dok
    Hirschsprung Dok
    Dokumen1 halaman
    Hirschsprung Dok
    Nasrizarni Ririn
    Belum ada peringkat
  • Anatomi Dan Fisiologi Jantung
    Anatomi Dan Fisiologi Jantung
    Dokumen5 halaman
    Anatomi Dan Fisiologi Jantung
    Nasrizarni Ririn
    Belum ada peringkat
  • Anatomi Dan Fisiologi Jantung
    Anatomi Dan Fisiologi Jantung
    Dokumen5 halaman
    Anatomi Dan Fisiologi Jantung
    Nasrizarni Ririn
    Belum ada peringkat
  • BAB I Refrat Jiwa
    BAB I Refrat Jiwa
    Dokumen2 halaman
    BAB I Refrat Jiwa
    Nasrizarni Ririn
    Belum ada peringkat
  • Appley Terjemahan
    Appley Terjemahan
    Dokumen2 halaman
    Appley Terjemahan
    Nasrizarni Ririn
    Belum ada peringkat
  • SVT
    SVT
    Dokumen2 halaman
    SVT
    Nasrizarni Ririn
    Belum ada peringkat
  • -
    -
    Dokumen15 halaman
    -
    Nasrizarni Ririn
    Belum ada peringkat
  • Pembuluh Darah
    Pembuluh Darah
    Dokumen26 halaman
    Pembuluh Darah
    ririnsrirahayu
    Belum ada peringkat
  • Chapter II
    Chapter II
    Dokumen5 halaman
    Chapter II
    Balljacker Ga' Sendirian
    Belum ada peringkat
  • Anatomi Fisiologi Sistem Saraf PDF
    Anatomi Fisiologi Sistem Saraf PDF
    Dokumen11 halaman
    Anatomi Fisiologi Sistem Saraf PDF
    Okkis Razuansyah Siregar
    Belum ada peringkat
  • Pengelolaan Limbah Puskesmas
    Pengelolaan Limbah Puskesmas
    Dokumen12 halaman
    Pengelolaan Limbah Puskesmas
    Nasrizarni Ririn
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    Nasrizarni Ririn
    Belum ada peringkat
  • Reference
    Reference
    Dokumen4 halaman
    Reference
    Nasrizarni Ririn
    Belum ada peringkat
  • Kesling Puskesmas Usu
    Kesling Puskesmas Usu
    Dokumen35 halaman
    Kesling Puskesmas Usu
    Nasrizarni Ririn
    Belum ada peringkat