Anda di halaman 1dari 44

BAB I PENDAHULUAN

Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Organisme ini bersifat intraseluler dan banyak menyerang organ paru (Alsagaff, Hood, et al. 2010). TB terbukti pertama kali ditemukan pada mummie Mesir sekitar 1500 sebelum masehi. Hipocrates kemudian menyebutnya sebagai Phtiasis Pulmonalis atau plak putih (Dooley & Chaison, 2009). Tuberkulosis paru dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang luas. Hal ini dapat dilihat dari pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam yaitu bayangan berawan/nodular, kavitas, atau bayangan bercak milier pada parenkim paru. Gambaran foto toraks juga dapat menginformasikan sejauh mana tuberkulosis telah merusak paru dan jaringan lain (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2002). Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksius yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberkulosis (WHO, 2011). Penularan dari TB terjadi melalui udara (airborne spreading) dari pasien penderita TB yang membatukkan sputumnya. WHO menyatakan bahwa satu per tiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB (Wibisono et.al, 2009). Sampai saat ini, TB masih menjadi masalah kesehatan tingkat dunia. Setiap tahun, terdapat sekitar 9 juta kasus baru TB dan hampir 2 juta orang telah meninggal karena TB di seluruh dunia. Di seluruh Negara di dunia terdapat kasus TB, tetapi 85 % kasus TB terjadi di Afrika (26 %) dan Asia (59 %) dan Negara dengan kasus TB terbanyak ialah Cina dan India, yaitu mewakili 35 % kasus TB di dunia (WHO, 2012). Sejak tahun 1993, WHO menyatakan bahwa TB merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan. Meskipun strategi DOTS telah terbukti sangat efektif untuk pengendalian TB, tetapi beban penyakit TB di masyarakat masih sangat tinggi. Selain itu, pengendalian TB mendapat tantangan baru seperti ko-infeksi TB/HIV, TB yang resisten obat dan tantangan lainnya dengan tingkat kompleksitas yang makin tinggi. (Departemen Kesehatan RI, 2011). Salah satu

jenis pasien TB yaitu pasien kategori drop out. Kriteria drop out apabila penderita sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Indonesia sendiri, dengan jumlah penduduk sekitar 240 juta jiwa, Indonesia berada pada posisi ke empat dengan kasus TB terbanyak secara global. Perkiraan prevalensi dan insidensi pada semua jenis TB di Indonesia adalah 289 dan 189 per 100 000 populasi pada tahun 2010 (WHO, 2012) .

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (MTB). Jalan masuk untuk organisme Mycobacterium tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit (Price, Wilson, 2004). Sebagian besar infeksi TB menyebar lewat udara, melalui terhirupnya droplet nuclei yang berisikan organisme basil tuberkel dari seseorang yang terinfeksi (Fauci et al, 2005) dan terkadang dapat pula disebabkan oleh M. bovis dan africanum (Brooks, et al, 2008).

2.2 Epidemiologi Tuberkulosis saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang bersifat global di seluruh dunia. Pada tahun 2010, terdapat estimasi sekita 8,8 juta kasus tuberkulosis baru yaitu sekitar 128 kasus per 100.000 populasi penduduk. Sebagian besar kasus tersebut pada tahun 2011 terjadi di Asia (59%) dan Afrika (26%), sedangkan proporsi yang lebih kecil terjadi di Mediterian Timur (7%), Eropa (5%), dan Amerika (3%). Dari estimasi jumlah kasus tuberkulosis baru tersebut, 59% terjadi di benua Asia (WHO, 2012). Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,2009). Indonesia merupakan negara dengan insidensi kasus tuberkulosis baru terbesar keempat di dunia pada tahun 2010 setelah India, China dan Afrika Selatan. Tercatat sekitar 450.000 kasus tuberkulosis baru dan 64.000 kasus kematian akibat tuberkulosis di Indonesia (WHO, 2012). Sejumlah 12 provinsi salah satunya Nusa Tenggara Barat (NTB) telah dinyatakan sebagai daerah prioritas untuk intervensi dan estimasi nasional prevalensi HIV pada pasien TB baru adalah 2.8%. Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru (lebih rendah dari estimasi di tingkat

regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus TB dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR TB setiap tahunnya (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Gambar 2.1 Estimasi Insidensi TB di Dunia (WHO, 2012) Meskipun program pengendalian TB nasional telah berhasil mencapai target MDG, akan tetapi penatalaksanaan TB belum sesuai dengan strategi DOTS ataupun standar pelayanan sesuai International Standards for Tuberkulosis Care (ISTC) sehingga berkontribusi terhadap munculnya tantangan TB resisten obat terutama TB MDR di Indonesia. Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru (lebih rendah dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus TB dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR-TB setiap tahunnya (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

2.3 Etiologi Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh M. tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang non motil dengan ukuran 0,2-0,6 x 1-10m (Brooks et al, 2010). Sifat dari bakteri ini adalah aerob, sehingga lebih senang hidup pada jaringan yang

memiliki kandungan oksigen tinggi seperti apeks paru (Sudoyo, 2009). Bakteri ini lebih dikenal dengan sebutan Basil Taham Asam (BTA), hal ini dikarenakan komponen dinding sel bakteri ini sebagian besar terdiri atas asam lemak (lipid) yang memberi karakteristik pertumbuhan yang lambat, sebagai antigen, resisten terhadap detergen serta resisten terhadap beberapa antibiotik (Brooks et al, 2010). BTA ini juga tahan terhadap rangsangan kimia maupun fisik, dan dapat bertahan hidup pada udara kering maupun keadaan dorman yakni keadaan dingin selama bertahun-tahun dan dapat menjadi aktif kembali (Sudoyo, 2009).

2.4 Klasifikasi a. Tuberkulosis paru BTA positif Tuberkulosis paru BTA positif sekurang-kurangnya 2 dari 3 Spesimen sputum SPS hasilnya BTA positif atau spesimen sputum SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menujukkan gambar tuberkulosis aktif (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). b. Tuberkulosis paru BTA negatif Tuberkulosis paru BTA negatif jika pemeriksaan 3 spesimen sputum SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan gambar tuberkulosis aktif. TBC paru BTA Negatif Rontgen Positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya , yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambar foto rontgen dada memperlihatkan gambar kerusakan paru yang luas (misalnya proses faradvanced atau millier) dan/atau keadaan umum penderita buruk (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

2.5 Faktor resiko 1. Riwayat kontak dengan penderita TB Riwayat kontak dengan penderita TB yang infeksius dapat meningkatkan resiko terinfeksi TB akibat terpajan dengan droplet nuclei yang dikeluarkan oleh penderita TB pada individu yang sehat (Supriyatno, 2008). 2. Status Immunocompromise Penurunan imunitas akibat terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) ataupun akibat pengobatan imunosupresan akan meyebabkan melemahnya

respon tubuh terhadap pajanan infeksi yang berasal dari luar, hal ini kan meningkatkan resiko infeksi (Havlir & Barnes, 2006). 3. Malnutrisi / Diabetes Melitus Kekurangan Energi Protein (KEP) serta kekurangan nutrisi yang lain terutama mikronutrisi akan menyebabkan penurunan kemampuan merespon infeksi akibat bahan baku yang tidak adekuat. Selain itu, kadar glukosa darah yang tinggi meningkatkan kemudahan atau memperburuk infeksi

(PERKENI,2006). 4. Sosioekonomi rendah Kemiskinan, keadaan sanitasi yang rendah, akses kesehatan yang tidak memadai menyebakan peningkatan transimi bakteri penyebab TB (Havlir & Barnes, 2006).

2.6 Patogenesis 2.6.1 Tuberkulosis Primer Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pasti ada tidaknya sinarnya ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya (Sudoyo, 2009). Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang pimer atau afek primer atau sarang (focus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat

juga masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang (Sudoyo, 2009). Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis local), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis local dan limfadenitis regional ini disebut kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Perjalanan penyakit kompleks primer ini selanjutnya dapat berkembang menjadi beberapa kemungkinan, yaitu sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat, sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotic, kalsifikasi hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan 10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant. Selain itu, dapat juga berkomplikasi dan menyebar secara perkontinuitatum, secara bronkogen, secara limfogen ke organ-organ tubuh lainnya, dan secara hematogen ke organ tubuh lainnya (Sudoyo, 2009).

2.6.2 Tuberkulosis Sekunder (Tuberkulosis Post Primer) Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahuntahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer, TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alcohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. Tuberkulosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region atas paru (bagian apical-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru (Sudoyo, 2009). Sarang dini ini mula-mula berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3 hinnga 10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri atas sel-sel Histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. TB

pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB usia tua (elderly tuberkulosis) (Sudoyo, 2009).

2.7 Diagnosis 2.7.1 Gejala klinis Tuberkulosis Paru Gejala utama pasien TB paru adalah batuk bersputum selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu sputum bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan sputum secara mikroskopis langsung (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007) Berdasarkan Sudoyo et al. (2009), keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam dan ada juga banyak pasien yang ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah sebagai berikut: 1. Demam

Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41 C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitu seterusnya hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk. 2. Batuk/Batuk darah

Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah bermingguminggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif ( menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa sputum batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah.

3.

Sesak nafas

Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru. 4. Nyeri dada

Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimulkan pleuritis. Terjadi gesekan antara kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya. 5. Malaise

Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksi tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur. Tuberkulosis paru cukup mudah dikenal mulai dari keluhan-keluhan klinis, gejala-gejala, kelainan fisis, kelainan radiologis sampai kelainan bakteriologis. Tetapi dalam prakteknya tidak mudah dalam menegakkan diagnosanya. Menurut American Thoracic Society dan WHO 1964 diagnosis pasti tuberkulosis paru adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium tuberkulosis dalam sputum atau jaringan paru secara biakan. Namun tidak semua pasien memberikan sediaan atau biakan sputum yang positif karena kelainan paru yang belum berhubungan dengan bronkus atau pasien tidak bisa membatukkan sputumnya dengan baik (Sudoyo et al., 2009).

10

2.7.2 Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan kelainan apapun terutama kasus-kasus dini atau yang sudah terfiltrasi secara asimptomatik (Sudoyo et al., 2009). Tanda fisik penderita TB tidak khas sehingga tidak dapat membantu membedakan TB dengan penyakit paru lain. Tanda fisik terganung pada lokasi kelainan serta luas kelainan struktur paru. Dapat ditemukan tanda tanda antara lain penarikan struktur sekitar, suara nafas bronkial, amforik, ronki basah. Pada efusi pleura didapatkan gerak nafas tertinggal, keredupan dan suara nafas menurun sampai tidak terdengar. Bila terdapat limfadenitis tuberkulosa, biasanya didapatkan pembesaran kelenjar limfe, sering di daerah leher, kadang disertai dengan skrofuloderma (Wibisiono et al, 2010). 2.7.2 Pemeriksaan mikroskopis Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen sputum dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi -sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan sputum mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007). Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2006), pemeriksaan sputum berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan sputum untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen sputum yang

dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-PagiSewaktu (SPS). Apabila kasus pemeriksaan sputum SPS positif, foto toraks tidak diperlukan lagi. Namun pada beberapa kasus dengan hapusan positif perlu dilakukan foto thoraks apabila curiga adanya komplikasi ( misal : efusi pleura, pneumothoraks), hemoptosis berulang atau berat, dan didapatkan hanya 1 spesimen BTA +. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan serologi, dan pemeriksaan histopatologi jaringan (Wibisiono et al, 2010).

11

Menurut Sudoyo et al. (2009), diagnosis tuberkulosis paru masih banyak ditegakkan berdasarkan kelainan klinis dan radologis saja. Kesalahan diagnosis dengan cara ini cukup banyak sehingga memberikan efek akibat pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan. Oleh sebab itu dalam diagnosis tuberkulosis paru sebaiknya dicantumkan status bakteriologis, status radiologis, dan status kemoterpai. WHO tahun 1991 memberikan kriteria pasien tuberkulosis sebagai berikut : 1. Pasien dengan sputum BTA positif : (a) pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan, atau (b) satu sediaan sputum positif disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif, atau (c) satu sediaan sputumnya positif disertai biakan yang positif. 2. Pasien dengan sputum BTA negatif : (a) pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sedikitnya pada 2x pemeriksaan tetapi gambaran radiologis sesuai dengan TB aktif atau, (b) pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali, tetapi pada biakan positif. Algoritma penegakan diagnosis TB paru berdasarkan menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2007),sebagai berikut :

Gambar 2.2 Skema diagnosis TB paru (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007)

12

2.7.3

Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan radiologis merupakan salah satu cara yang praktis yang dapat

membantu menemukan lesi TB. Selain itu, gambaran radiologis ini juga berperan untuk membantu penegakan diagnosis, terutama jika hanya dijumpai satu spesimen BTA (+), dan berguna mengetahui adanya komplikasi (Hasan, 2010). Pemeriksaan radiologis sangat penting untuk diagnosis TB paru, dikarenakan (Rasad, 2005): a. Bila klinis ada gejala TB paru, hampir selalu ditemukan kelainan pada foto rontgen. b. Bila ada persangkaan terhadap peyakit TB paru, tetapi pada foto rontgen tidak terlihat kelainan, maka ini merupakan tanda yang kuat bahwa penyakit yang diderita bukanlah TB. c. Pada pemeriksaan rontgen rutin (misalnya check-up) mungkin telah ditemukan tanda-tanda pertama TB, walaupun klinis belum ada gejala. Sebaliknya, bila tidak ada kelainan pada foto Rontgen brlum berarti tidak ada TB, sebab kelainan pertama pada foto Rontgen baru kelihatan sekurangkurangnya 10 minggu setelah infeksi oleh basil TB. d. Sesudah sputum positif pada pemeriksaan bakteriologik, tanda TB yang terpenting adalah jika ada kelainan pada foto Rontgen. e. Ditemukananya kelainan pada foto Rontgen, belum berarti bahwa penyakit tersebut aktif. f. Dari bentuk kelainan pada foto Rontgen memang dapat diperoleh kesan tentang aktivitas penyakit, namun kepastian diagnosis hanya dapat diperoleh melalui kombinasi dengan pemeriksaan klinis/laboratoris. g. Pemeriksaan Rontgen penting untuk dokumentasi, penentuan lokasi proses dan tanda perbaikan atau perburukan dengan melakukan perbandingan dengan foto-foto terdahulu. h. Pemeriksaan Rontgen juga penting untuk penilaian hasil tindakan terapi. i. Pemeriksaan Rontgen TB paru saja tidak cukup dan dewasa ini bahkan tidak boleh dilakukan hanya dengan fluoroskopi. Pembuatan foto Rontgen merupakan suatu kehasrusan yaitu foto PA, bila perlu disertai proyeksi-

13

proyeksi tambahan seperti foto lateral, foto puncak AP lordotik, dan teknikteknik khusus lainnya seperti foto high voltage dan sebagainya (Rasad, 2005). Sesuai dengan patofisiologinya, TB paru dibagi menjadi TB Primer dan TB Sekunder (Rasad, 2005): a. TB Primer TB primer terjadi karena infeksi melalui jalan pernapasan (inhalasi) oleh M. tuberculosis, biasanya pada anak-anak. Kelainan Rontgen akibat penyakit ini dapat berlokasi dimana saja dalam paru-paru. Dapat terlihat Ghon focus, limfadenopati hilus, serta terbentuknya kompleks primer (Hasan, 2010; Rasad, 2005).

14

Salah satu komplikasi yang mungkin timbul adalah pleuritis, karena perluasan infiltrat primer ke pleura melalui penyebaran hematogen. Komplikasi lain adalah atelektasis akibat stenosis bronkus karena perforasi kelenjar dalam bronkus. Baik pleuritis maupun atelektasis tuberkulosis pada anak-anak mungkin sedemikian luas sehingga sarang primer tersembunyi di belakang (Rasad, 2005). Selain itu dapat pula terjadi efusi pleura.

15

16

b. TB sekunder (re-infeksi, dewasa) TB yang bersifat kronis ini terjadi pada orang dewasa. Sarang-sarang yang terlihat pada foto Roentgen biasanya berkedudukan dilapangan atas dan segmen apikal lobi bawah, walaupun kadang-kadang dapat juga terjadi di lapangan bawah, yang biasanya disertai dengan pleuritis. Pembesaran kelenjar limfe pada tuberkulosis sekunder jarang ditemukan.

17

Klasifikasi TB sekunder (Rasad, 2005): TB minimal (minimal tuberculosis) yaitu luas sarang-sarang tidak melebihi daerah yang dibatasi oleh garis median, apeks, dan iga 2 depan. Sarang-sarang soliter dapat berada dimana saja, tidak harus berada dalam daerah tersebut di atas. Tidak ditemukan adanya lubang (kavitas).

TB lanjut sedang (moderately advanced tuberculosis) yaitu luas sarangsarang yang bersifat bercak-bercak tidak melebihi luas satu paru, sewdangkan bila ada lubang diameternya tidak melebihi 4 cm. Kalau sifat bayangan sarang-sarang tersebut berupa awan-awan yang menjelma menjadi daerah konsolidasi yang homogen, luasnya luasnya tidak boleh melebihi luas satu lobus.

18

TB sangat lanjut (far advanced tuberculosis) yaitu luas daerah yang dihinggapi oleh sarang-sarang lebih dari klasifikasi kedua di atas, atau bila ada lubang-lubang maka diameter keseluruhan lubang lebih dari 4 cm.

Ada beberapa cara pembagian kelainan yang dapat dilihat pada foto Roentgen. Salah satu pembagian adalah menurut bentuk kelainan yaitu (Rasad, 2005) : Sarang eksudatif, berbentuk awan-awan atau bercak yang batasnya tidak tegas dan densitasnya rendah. Sarang produktif, berbentuk butir-butir bulat kecil yang batasnya dan densitasnya sedang. Sarang induratif atau fibrotik, yaitu yang berbentuk garis-garis atau pita tebal berbatas tegas dengan densitas tinggi. Kavitas (lubang) Sarang kapur (kalsifikasi). Cara pembagian ini masih banyak digunakan di Eropa, tetapi di Indonesia hampir tidak dipergunakan lagi. Yang mulai lebih banyak dipergunakan di Indonesia ialah pembagian yang lazim digunakan di Amerika Serikat, yaitu (Rasad, 2005) :

19

Sarang-sarang berbentuk awan atau bercak-bercak dengan densitas rendah atau sedang dengan batas tidak tegas. Sarang-sarang seperti ini biasanya menunjukkan bahwa proses aktif. Lubang (kavitas); ini selalu berarti proses aktif kecuali bila lubang sudah sangat kecil, yang dinamakan lubang sisa (residual cavity). Sarang seperti garis-garis (fibrotik) atau bintik-bintik kapur (kalsifikasi) yang biasanya menunjukkan bahwa proses telah tenang.

c. Tuberkuloma Kelainan ini menyerupai suatu tumor. Bila terdapat di otak, tuberkuloma juga termasuk suatu lesi yang mengambil tempat (space occupying lesion, disingkat SOL) (Rasad, 2005). Pada

hakekatnya tuberkuloma adalah suatu sarang keju (caseosa) dan biasanya menunjukkan penyakit yang tidak begitu virulen, bahkan biasanya tuberkuloma bersifat tidak aktif, lebih-lebih bila batasnya licin, tegas, dan di dalam atau dipinggirnya ada sarang

perkapuran, sesuatu yang dapat dilihat jelas pada tomogram. Diagnosis diferensialnya dengan suatu tumor sejati (jinak atau ganas) adalah bahwa didekat tuberkuloma sering di temukan sarang-sarang kapur lainnya

(satelit) (Rasad, 2005).

20

Gambaran Radiologis Tuberkulosis Lainnya

21

22

23

24

25

26

27

28

29

30

31

32

2.8 Penatalaksanaan Berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2007), pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut: 1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. 2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT=Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). 3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007). Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007). Tujuan pengobatan tuberculosis untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah relaps, menurunkan penularan ke orang lain dan mencegah terjadinya resistensi terhadap OAT. Terdapat 4 kategori kuman TB yaitu:

a. Metabolically active kuman yang tersu tumbuh dalam kaviti b. Basilli inside cell, missal dalam makrofag c. Semi-dorman bacilli (persisters) d. Dorman bacilli
Menurut Wibisiono et al (2010) pengobatan tuberkulosis paru dibagi menurut kategori diagnosis tuberkulosis pasien. Pengobatan pasien menurut masing-masing kategori dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.1 Regimen Pengobatan Berdasarkan Kategori Diagnosis TB Regimen Pengobatan TB Kategori Pasien TB Fase Inisial Fase

33

Lanjutan I a. Pasien baru TB paru BTA positif. b. Pasien TB paru BTA negatif dan foto toraks positif c. Pasien TB ekstra paru berat II a. Pasien kambuh b. Pasien gagal 2HRZES atau 5HRE 2HRZE 4(HR)3 atau 6HE

c. Pasien dengan pengobatan setelah putus 1HRZE berobat (default) III Pasien TB ekstra paru tidak terlalu berat 2HRZE 4(HR)3 atau 6HE IV a. Pasien TB kronis (hasil BTA tetap posistif setelah pengobatan ulang) b. kasus MDR-TB Penentuan regimen berdasarkan pengobatan standar regimen untuk MDR TB atau regiman berdasarkan Drug Sensitivity Test (DST) individu

Penatalaksanaan pada MDR TB

34

2.9 Prognosis Kemungkinan-kemungkinan kelanjutan dari sarang tuberculosis : 2.9.1 Penyembuhan a. Penyembuhan tanpa bekas Penyebuhan tanpa bekas sering terjadi pada anak-anak (tuberkulosis primer), bahkan sering penderita tidak menyadari sama sekali bahwa ia pernah diserang penyakit tuberkulosis. Pada orang dewasa (tuberkulosis sekunder) penyembuhan tanpa bekaspun mungkin terjadi apabila diberikan pengobatan yang baik (Rasad, 2005).

35

b. Penyembuhan dengan meninggalkan cacat Penyembuhan ini berupa garis-garis berdensitas tinggi/sarang fibrotik atau bintik-bintik kapur (sarang kalsiferus). Sarang-sarang fibrotik yang tebal dan kalsiferus, disingkat sarang fibrokalsiferus, di kedua lapangan atas dapat mengakibatkan penarikan pembuluh darah besar di kedua hili ke atas. Keadaan ini dinamakan tuberkulosis fibrosis densa dan memberikan gambaran yang cukup khas. Pembuluh-pembuluh darah besar di hili terangkat ke atas, seakan-akan menyerupai kantong celana yang di angkat dan disebut fenomena kantong celana terngkat (broekzak fenomeen) (Rasad, 2005). Secara roentgnenologis sarang baru dapat dinilai sembuh (proses tenang) bila setelah jangka waktu sekurang-kurangnya 3 bulan bentuknya sama (stationary). Sifat bayangan tidak boleh bercak-bercak, awan atau lubang melainkan garis-garis atau bintik-bintik kapur. Kesan roentgenologis bahwa proses tenang harus didukung oleh hasil pemeriksaan klinik laboratorium termasuk pemeriksaan sputum yang baik (Rasad, 2005). 2.9.2 Perburukan (perluasan) penyakit a. Pleuritis Pleuritis terjadi karena perluasan infiltrat primer langsung ke pleura atau melalui penyebaran hematogen; sering ditemukan pada remaja belasan tahun tapi jarang pada anak balita. b. Penyebaran miliar Akibat penyebaran hematogen tampak sarang-sarang sekecil 1-2 mm, atau sebesar kepala jarum (milium), tersebar secara merata di kedua belah paru. Pada foto toraks, tuberkulosis miliar ini dapat menyerupai gambaran badai kabut (snow storm appeareance). Penyebaran seperti ini juga dapat terjadi ke ginjal, tulang, sendi, selaput otak, dan sebagainya.

36

c. Stenosis bronkus Stenosis bronkus dengan akibat atelektasis lobus atau segmen paru yang bersangkutan, sering menduduki lobus kanan (sindroma lobus medius). d. Timbulnya lubang (kavitas) Timbulnya lubang ini akibat melunaknya sarang keju. Dinding lubang sering tipis, berbatas licin, tetapi mungkin pula tebal dan berbatas tidak licin. Di dalamnya mungkin terlihat cairan, yang biasanya sedikit. Lubang kecil di kelilingi oleh jaringan fibrotik dan bersifat tidak berubah-ubah (stationer) pada pemeriksaan berkala ulang (follow-up) dinamakan lubang sisa (residual cavity) dan berarti suatu proses spesifik lama yang sudah tenang.

Diferensial Diagnosis Secara Radiologis Gambaran radiologi penyakit penyakit yang mirip dengan tuberkulosis adalah sebagai berikut (Rasad, 2005): 1. Penyakit jamur

37

Penyakit jamur yang memiliki gambaran radiologis menyerupai tuberkulosis adalah aspergilosis (aspergillus) dan nocardiasis (nocardia asteroides) yang sering ditemukan pada petani yang banyak bekerja di ladang. K e l a i n a n k e l a i n a n radiologik yang ditemukan pada penyakit jamur di atas mirip sekali dengan yang disebabkan oleh tuberkulosis, yaitu hampir semua berkedudukan di lapangan atas dan disertai oleh pembentukan lubang (kavitasi). Perbedaanya ialah, bahwa pada penyakit jamur ini pada pemeriksaan sepintas lalu terlihat bayangan bulat agak besar yang dinamakan aspergiloma, yang pada pemeriksaan lebih teliti, biasanya dengan tomogram, ternyata adalah suatu lubang besar bayangan bulat yang sering dapat bergerak bebas dalam lubang tersebut. Bayangan bulat ini dinamakan bola jamur (fungus ball) adalah tidak lain daripada massa mycelia yang mengisi suatu bronkus yang melebar. Untuk memastikan diagnosis sering diperlukan pemeriksaan laboratoium sekret bronkus,

38

bahkan kadang-kadang baru mungkin ditemukan setelah suatu tindakan pembedahan

. 2. Infiltrat pneumonia Infiltrat penumonia lobaris lobus atas dalam massa resolusi sering disalahtafsirkan sebagai tuberkulosis karena berbentuk bercak-bercak dan berkedudukan dilapangan atas paru. Kepastian mudah diperoleh karena bercak-bercak tersebut cepat menghilang sama sekali dengan pengobatan yang baik.

3. Superposisi jalin kepang rambut Jalin (kepang) rambut wanita yang tidak diikat di atas kepala, melainkan lepas tergantung di bahu dapat menutup bagian atas paru sehingga pada foto toraks dapat dinilai sebagai suatu infiltrat. Pembuatan foto ulang dengan rambut yang diikat ke atas kepala tentu dapat menyampingkan salah tafsir ini. 4. Kelainan menyerupai lubang (kavitas) Kelainan yang menyerupai lubang yang dapat disalahtafsirkan sebagai kavitas tuberkulosis seperti kelainan bawaan anomali iga, bronkus ortograd, superposisi bagian lateral muskulus sternokleidomastoideus dengan badian medial iga pertama, dan fossa rhomboidea yaitu ujung

39

anterior iga pertama. Superposisi lingkaran pembuluh-pembuluh darah pada foto PA biasanya dapat menyerupai lubang. Namun mudah dibedakan dengan pemeriksaan fluoroskopi atau pembuatan foto sedikit oblik. Kavitas tuberkulosis dalam posisi apapun tetap berupa bayangan bulat, tetapi superposisi lingkaran-lingkaran pembuluh darah tentu tidak.

40

BAB III KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas yang membahas tentang Tuberkulosis, dapat disimpulkan bahwa : 1. Tuberkulosis merupakan penyakit menular dan endemis yang sampai saat ini masih menjadi permasalahan kesehatan di dunia. Disebabkan oleh infeksibakteri Mycobacterium tuberculosis yang terutama menyerang paru, meskipun bisa pula menyebar dan menyerang organ lain seperti ginjal, traktus gastrointestinal, tulang, otak bahkan genital. Diagnosis TB dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan klinis (dari anamnesis terhadap keluhan pasien dan dari hasil pemeriksaan fisik penderita), hasil pemeriksaan foto toraks, hasil pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. 2. Pemeriksaan radiologis adalah salah satu modalitas yang sering dipakai dalam membantu menegakkan diagnosis ke arah kecurigaan Tuberkulosis diantaranya pemeriksaan rontgen maupun CT-scan yang lebih canggih. 3. Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB aktif : Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas dan segmen superior lobus bawah paru Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau nodular Bayangan bercak miliar Efusi pleura

Gambaran radiologis yang dicurigai TB inaktif : Fibrotik, terutama pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas dan atau segmen superior lobus bawah Kalsifikasi Penebalan pleura

41

4.

Tujuan pengobatan tuberkulosis adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah relaps, menurunkan penularan ke orang lain dan mencegah terjadinya resistensi terhadap OAT.

42

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood, et al. (2010). Buku ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Departmen Ilmu penyakit paru FK UNAIR. Brooks, G.F., Butel, J.S., Morse, S.A. (2008), Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick & Adelberg, edisi 23, cetakan pertama. Jakarta: EGC. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006), Pedoman Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis, edisi 2. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Available from: http://tbindonesia.or.id/tbnew/ (accessed : 5 Maret 2014). Dooley, Kelly & Chaisson, Richard. (2009). Tuberculosis And Diabetes Melitus: Convergence of Two Epidemics. Avalaible from :

http://xa.yimg.com/kq/groups/16063327/1692951348/name/TB+e+DM+(LID 09).pdf (accessed : 5 Maret 2014) Fauci, et al. (2008), Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th Edition. Boston: Mcgraw Hill Companies, Inc. Hasan, Helmia. (2010). Tuberkulosis Paru pada Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Dept. Ilmu Penyakit Paru FK Unair.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011), Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Available from http://www.pppl.depkes.go.id/ (accessed : 5 Maret

2014). Kementrian Kesehatan TB Republik Di Indonesia. (2011), Strategi Nasional from

Pengendalian

Indonesia

2010-2014.

Available

http://www.pppl.depkes.go.id/ (accessed : 5 Maret 2014). Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2002). Tuberkulosis pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Available at http://www.klikpdpi.com/ konsensus/tb/tb.pdf (accessed : 5 Maret 2014). Permatasari, Amira. (2005), Pemberantasan Penyakit TB paru dan Strategi DOTS. Bagian Paru : FK USU, available from :

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3448/1/paru-amira.pdf (accessed : 5 Maret 2014).

43

Price, S. A. & Wilson, L. M. (2006), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit ed. 6. Jakarta: EGC. Rasad, Sjahrir. (2005). Radiologi Diagnostik, edisi 2. Jakarta : Penerbit FKUI.
Retroningrum, Debbie S, dkk. (2004), Mekanisme Tingkat Molekul Resistensi terhadap Beberapa Obat pada Mycobacterium Tuberculosis. Available from

http://acta.fa.itb.ac.id/pdf_dir/issue_29_3_2.pdf (accessed : 5 Maret 2014)

Sudoyo, AW et al. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Syahrini, H. (2008), Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda, available from http://repository.usu.ac.id/ (accessed : 7 Maret 2014) WHO. (2009), Drug Resistant Tuberculosis in the South-East Asia Region , available from : http://www.searo.who.int/LinkFiles/Tuberculosis_SP-antiTB-Drug-Resistance-SEAR.pdf (accessed : 7 Maret 2014) WHO. (2011), The Global Plan To Stop TB 2011-2015 , available from : http://www.stoptb.org/assets/documents/global/plan/TB_GlobalPlanToStopT B2011-2015.pdf (accessed : 7 Maret 2014) WHO. (2012), Global Tuberculosis Report 2012, available from :

http://www.who.int/tb/publications/global_report/gtbr12_main.pdf (accessed : 9 Maret 2014) WHO. (2012), Tuberculosis in the South-East Asia Region , available from : http://www.searo.who.int/linkfiles/tuberculosis_who-tb-report-2012.pdf (accessed : 9 Maret 2014) Wibisiono, M.Jusuf, et al,. (2010), Buku Ajar lmu Penyakit Paru. Surabaya : Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair RSUD Dr. Soetomo.

44

Anda mungkin juga menyukai