Anda di halaman 1dari 3

Bahasa (Kita) yang Mana

Oleh Herman RN

Kedudukan dan fungsi bahasa daerah di antaranya disebutkan sebagai


pendukung budaya daerah dan nasional. Selain itu, juga sebagai sarana pendukung/
pemerkaya kosa kata bahasa dan sastra Indonesia. Oleh karenanya, keberadaan
bahasa daerah menjadi penting untuk menyokong kelestarian bahasa Indonesia. Hal
ini dapat dilakukan dengan berusaha menggunakan bahasa daerah dengan baik,
sesuai di tempat bahasa tersebut berkembang.
Di Indonesia, terdapat banyak bahasa daerah yang hidup dan berkembang
dalam komunitas masyarakat pemakainya, ada bahasa Jawa, bahasa Minang, bahasa
Aceh, bahasa Batak, bahasa Kawi, bahasa Bali, dan sebagainya. Bahasa-bahasa itu
hidup dan berkembang dalam daerah masing-masing. Di samping itu, masih
terdapat juga beragam bahasa di daerah tersebut. Misalnya, di Aceh, di samping
bahasa Aceh, juga terdapat bahasa Jamee, bahasa Kluet, bahasa Devayan, bahasa
Haloban, dan sebagainya. Bahasa-bahasa ini perlu dijaga dan dilestarikan agar tidak
punah atau tersingkir oleh bahasa-bahasa yang diciptakan kemudian oleh penutur
bahasa di daerah itu, misalkan saja dengan timbulnya bahasa-bahasa prokem dari
kalangan anak-anak sekolah seperti bahasa “S”, bahasa “G”, bahasa “M”, dan
sejenisnya.
Selain itu, penggunaan bahasa daerah dalam sejumlah tulisan juga menjadi
penting untuk dilihat kembali kebenaran dan ketepatan penempatannya. Banyak kita
temui di media-media, terutama media cetak mencoba menyisipkan bahasa daerah
tertentu, tapi malah menghancurkan kaidah bahasa yang ada. Mencoba menyisipkan
bahasa daerah, apalagi oleh koran terbitan lokal, adalah upaya yang baik untuk
menjaga kelestarian bahasa daerah dari kepunahan. Namun, tatkala ditempatkan
kurang tepat pada tempatnya, malah akan membuat kehancuran pada bahasa itu
sendiri. Apalagi, jika menyangkut ejaan dalam bahasa daerah tersebut. Saya
misalkan saja dalam ejaan bahasa Aceh yang tidak memiliki fonem [sy]. Sejumlah
media terbitan Aceh masih belum konsiten menggunakan istilah-itilah lokal
keacehan dalam penulisan beritanya sehingga masih memakai [sy]. Geuchik (kepala
desa) terkadang ditulis geusyik, padahal dalam ejaan bahasa Aceh, yang ada [ch],
seperti meuchen (rindu), chuang (amis). [sy] dalam kosa kata Aceh hanya ada pada
kata husy… (bunyi mengusir kucing, ayam, dan sebagainya).

Gila Bahasa Asing


Di samping persoalan penulisan yang belum tepat, keberadaan bahasa daerah
juga mulai tersaingi oleh bahasa asing. Padahal, seperti saya sebutkan pada
pembukaan tulisan ini, upaya penyisipan bahasa daerah dalam berbagai jenis tulisan
menjadi penting untuk pengayaan bahasa nasional. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia sendiri sengaja memuat sejumlah istilah/ungkapan dari bahasa daerah
yang ada di Indonesia agar dikenal secara nasional, yang nantinya dapat pula
berterima sebagai kosa kata baku bahasa Indonesia. Beberapa istilah tersebut di
antaranya keraton (Jawa), dirgayahu (Kawi), napak tilas (Jawa), saur sepuh
(Sunda), dan lain-lain. Kosa kata ini kemudian menjadi lazim digunakan dalam
masyarakat, baik lisan maupun tulis sehingga ia mulai berterima sebagai bahasa
nasional.
Kebiasaan-kebiasaan menggunakan istilah lokal ini mulai terkontaminasi
dengan beberapa istilah dan gaya bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Hal ini
memperlihatkan masyarakat Indonesia lebih senang mempopulerkan bahasa asing
daripada bahasa daerah, bahkan bahasa nasional. Tempat-tempat kunjungan seperti
taman, rumah makan, tempat rekreasi ditulis dengan bahasa asing, misalnya vila
ditulis villa, menara ditulis tower, taman ditulis park.
Kasus “gila Inggris” juga terlihat dalam penempatan kosa kata yang berupa
frasa. Sudah diakui bahwa bahasa Indonesia menerapkan hukum DM (diterangkan-
menerangkan), sedangkan bahasa Inggris menerapkan sistem MD (menerangkan-
diterangkan). Dengan demikian, jika ada dua kata atau lebih, baik berupa frasa
maupun kata majemuk, dalam bahasa Indonesia digunakan sistem DM, misalnya
rumah sakit, anak saya, rumah makan, dan sebagainya. Namun, sekrang yang
kelihatan “gila Inggris” merambah ke sejumlah nama tempat seperti Lamnyong
Restauran, Mesra Utama Café, Aceh Wartel, Grand Nanggroe Hotel, dan lain-lain.
Lucunya, penulisannya sudah terbalik (MD), menggunakan bahasa Inggris yang
salah pula. Hal ini seperti pada kata Lamnyong Restoran, yang satu dengan bahasa
Inggris, satunya bahasa Indonesia (Aceh). Kemudian, penulisan serapan bahasa
Inggrisnya ada pula yang “dipaksa-Indonesiakan” seperti kata restauran (tanpa [t]).
Kesalahan yang mirip dengan kasus ini sering terjadi pada ucapan “Selamat Datang”
yang ditulis menggunakan bahasa Inggris, misalnya Wellcome to Bombay Café.
Sungguh kasus ini sangat lucu bin unik, penulisannya mengikuti kaidah bahasa
Inggris, tetapi salah. Padahal, jika digunakan dalam bahasa Indonesia “Selamat
Datang di Kafe Bombay” lebih “indah”. Walaupun kemudian di bawah kalimat itu
ada terjemahannya dalam bahasa asing, tak menjadi soal, sebab upaya
memperkenalkan/melestarikan bahasa sendiri sudah ada. Namun, penulisan
menggunakan bahasa asingnya tentu mesti mengikuti kaidah yang benar sehingga
orang asing pemakai bahasa itu tidak bingung mengamati kalimat tersebut
(Welcome bukan Wellcome).
Belakangan, ikut-ikutan ‘gila Inggris” mulai merambah pula ke dunia media.
Hal ini berbahaya bagi kelestarian bahasa Indonesia, sebab media (cetak dan
elektronik) merupakan alat penyampaian bahasa yang cepat kepada masyarakat.
Lihat saja nama-nama sejumlah acara di telivisi. Masyarakat Indonesia mulai
disuguhkan ungkapan-ungkapan asing, padahal dalam bahasa Indonesia ada
ungkapan tersendiri, misalnya penggunaan LIVE untuk kata “Siaran Langsung”.
Hal ini sebenarnya sudah pernah dicegah oleh Pusat Bahasa semasa masih
dijabat oleh Hasan Alwi. Alwi pernah menelepon langsung pemimpin redaksi
sebuah stasiun telivisi swasta kala itu yang membuat nama LIVE pada acara siaran
langsungnya. Namun, sekarang kelihatannya hal ini menjadi biasa dan lumrah.
Karena itu, patut kita pertanyakan kepada Kepala Pusat Bahasa sekarang, apakah
penggunaan istilah-istilah asing ini sengaja dipopulerkan untuk “gengsi” bangsa
Indonesia, sebab ada ungkapan dalam masyarakat kita, “Kalau tidak menggunakan
bahasa asing, tidak keren.” Akhirnya, penyakit “nginggris” (mengambil istilah
Remy Sylado) menjalar ke pejabat-pejabat, bahkan mereka yang bergelut di dunia
bahasa. Walhasil, kata-kata seperti OK, Thanks, sorri, menjadi lebih populer dalam
masyarakat kita. Ironisnya, kata-kata itu digandengkan pula dengan kosa kata
bahasa Indonesia semisal OK-deh, Thanks ya, sori-lah. Yang mana sebenarnya
bahasa kita? Capek deh!
Herman RN adalah mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia
Univeritas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Anda mungkin juga menyukai