Anda di halaman 1dari 7

MENJADI ORANG BAIK ITU MEMBAHAGIAKAN APAKAH BENAR ?

Menurut saya, menjadi orang baik itu bagus tapi benar atau tidaknya bisa membahagiakan tergantung ke diri seseorang. Tingkat kebahagiaan itu tidak bisa diukur dan masing masing orang memiliki tingkat kebahagiaan yang berbeda beda. Tidak selamanya berbuat baik itu akan membuat kebahagiaan, kadang kala bisa juga menimbulkan penyesalan dan juga ketidak bahagiaan.waktu dan tempat yang salah untuk menunjukkan kebaikan kita kadang kala bisa menimbulkan sesuatu hal yang berujung pada ketidakbaikan sikap kita. Dilihat dari persepsi orang yang berbeda beda, tidak semua orang jika berbuat baik itu bahagia, kadangkala berbuat jahatpun bisa menimbulkan kebahagiaan. APA YANG DIMAKSUD DENGAN GOOD GOVERNANCE ? Menurut Effendi dalam Azhri, dkk. (2009 : 187). Good Governance sebagai penyelenggaraan pemerintahan secara partisipasi, efektif, jujur, adil, transparan, dan bertanggung jawab kepada semua pemerintahan. Dalam penyelenggaraannya, good governance memiliki beberapa prinsip, yaitu sebagai berikut: a. Partisipasi Adalah prinsip yang mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan perumusan kebijakan. Selain itu, menurut Dwiyanto (2002:42) Keberadaan masyarakat menjadi satu keniscayaan dalam reformasi tata pemerintahan Partisipasi masyarakat dapat dikelompokkan menjadi dua macam bentuk, yaitu : 1. 2. Partisipasi masyarakat muncul karena ketidakmampuan pemerintah; atau Partisipasi murni swadaya masyarakat dikarenakan masyarakat membutuhkan sesuatu.

Partisipasi dapat dilakukan dalam siklus kebijakan publik yang memiliki lima tahapan (Dunn, 2003:25; Nugroho D., 2004:73), yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. b. Penyusunan agenda (agenda setting). Formulasi kebijakan (merumuskan alternatif). Adopsi kebijakan (proses pemilihan dari sekian alternatif yang tersedia untuk dijadikan sebagai suatu kebijakan). Implementasi kebijakan. Penilaian kebijakan.

Transparansi

Transparansi (transparency) adalah terbukanya proses perumusan kebijakan publik bagi masyarakat (terbuka bagi partisipasi masyarakat). Semua urusan kepemerintahan berupa kebijakan publik, baik

yang berkenaan dengan pelayanan publik maupun pembangunan di daerah harus diketahui publik. (Yuswanto, 2003). Transparansi juga didefinisikan sebagai Keterbukaan (opennes) adalah tersdianya data/informasi bagi masyarakat yang dapat diakses sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keterbukaan dapat juga merujuk pada ketersediaan informasi dan kejelasan bagi masyarakat umum untuk mengetahui proses penyusunan, pelaksanaan, serta hasil yang telah dicapai melalui sebuah kebijakan publik. c. Akuntabilitas Akuntabilitas publik adalah suatu ukuran atau standar yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan penyusunan kebijakan publik dengan peraturan hukum dan perundangundangan yang berlaku untuk organisasi yang bersangkutan. (Yuswanto, 2003) Rasa tanggung jawab merupakan syarat mutlak untuk penerapan good governance, karena sebagaimana menurut Alhadist, bahwa setiap manusia adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban itu dilaporkan bukan hanya kepada publik, akan tetapi dilaporkan juga kepada Tuhan Yang Mahaesa. d. Efektif dan Efisien Efektif/tepat sasaran, serta efisien/hemat. Pemerintah diupayakan untuk melakukan pelayanan yang cepat dan tepat terhadap masyarakat. e. Kepastian Hukum Peradilan hukum harus independen dari intervensi, anti suap dan tidak dapat dijual beli dengan segelintir uang. f. Responsif

Tanggap terhadap kondisi dan kebutuhan masyarakat. g. Konsensus (Mufakat)

Negara musyawarah bukan negara Kerajaan (Qardhawy, 1999:36). Sebab, Negara ini bukan kerajaan yang dipaksakan, akan tetapi diselenggarakan atas landasan musyawarah untuk mencapai mufakat demi kepentingan umat/masyarakat. h. Setara dan Inklusif Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan, perlakuan, dan hak yang sama untuk ikut serta dalam pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada dasarnya, penerapan tata pemerintahan yang baik adalah pelayanan Publik yang lebih baik kepada masyarakat. Untuk mencapai cita-cita ideal tersebut, maka sistem birokrasi perlu direformasi. Selama ini birokrasi cenderung tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Birokrasi yang ada tidak bisa menciptakan efisiensi dan efektivitas kerja, sehingga birokrasi sering dianggap menjadi penghambat untuk mencapai tujuan pemerintahan. Pihak-pihak yang dituntut untuk melakukan reformasi tidak hanya negara saja, aka tetapi juga dunia usaha (corporate) dan masyarakat luas (civil society). Secara umum, tuntutan reformasi berupa penciptaan good corporate governance di sektor swasta, good public governance dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, dan pembentukan good civil society atau masyarakat luas yang mampu mendukung terwujudnya good governance. Menurut Yuswanto (2003), bahwa dalam governance terdapat tiga pilar yang terlibat, yaitu: 1. Public governance yang merujuk pada lembaga pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai tata kepemerintahan yang baik di lembaga-lembaga pemerintahan; 2. Corporate governance yang merujuk pada dunia usaha, sehingga dapat diartikan sebagai tata kelola perusahaan yang baik; 3. Civil society atau masyarakat luas. Ketiga pilar tersebut tidak dapat dipisahkan, akan tetapi terintegrasi utuh. Sebab, perubahan itu adalah tugas semua elemen yang membuthkan koordinasi serta konsolidasi yang baik. Dari uraian tersebut di atas, penulis mendapatkan entry point, diantaranya bahwa good governance tidak mungkin tercapai apabila ketiga pilar (pemerintah, swasta, dan masyarakat) enggan untuk bekerja sama, apalagi jika saling menyalahkan. Semua aspek saling terintegrasi dan

tidak bisa dipisahkan, karena good governance merupakan sistem yang akan tegak jika elemenelemennya bekerja harmonis dan koordinatif sesuai dengan aturan/mekanisme yang berlaku.

APA YANG DIMAKSUD DENGAN FOSA, COSA DAN PREDICTION ? Berbagai istilah dipakai untuk fraud audit yang proaktif, seperti kajian sistem. Karena dalam fraud audit ini dilakukan kajian sistem yang bertujuan mengidentifikasi potensi-potensi terjadinya fraud. Dalam teknologi informasi, kajian atas sistem untuk mengetahui kelemahan dalam sistem tersebut dinamakan systems audit. FOSA digunakan sebagai kajian sistem yang bertujuan untuk mengidentifikasi potensi fraud secara umum. Sedangkan COSA digunakan sebagai kajian sistem yang bertujuan untuk mengidentifikasi potensi korupsi secara spesifik. FOSA dapat dilakukan oleh organisasi itu sendiri. Pada perusahaan swasta FOSA dikerjakan oleh auditor internal; auditor internal & bagian hukum; atau unit yang ditunjuk oleh komite audit. Kalau organisasi tersebut tidak mempunyai keahlian yang diperlukan, ia dapat meminta jasa kantor akuntan publik yang memberikan jasa khusus untuk itu. Langkah-langkah pelaksanaan FOSA atau COSA : Langkah pertama adalah mengumpulkan materi untuk menilai adanya potensi fraud dalam sistem dari entitas yang dikaji. Peralatan FOSA yang dipergunakan adalah : 1. Memahami entitas dengan baik. Secara umum suatu lembaga mempunyai kekuasaan dan kekuatan tertentu. Kekuasaan dan kekuatan tersebut cenderung dan mutlak akan korup. Pelaksana FOSA/COSA bukan saja harus menginventarisasi kekuasaan dan wewenang yang diberikan oleh ketentuan perundang-undangan, tetapi kekuasaan yang sengaja direkayasa oleh lembaga atau oknum dilembaga tersebut. Kekhasan entitas membawa pola korupsi yang khas pula. Tidak jarang pola potensi korupsi berlangsung sejak beberapa pemerintahan yang lalu hingga sekarang. Potensi korup ini terjadi karena struktur dan prosesnya memang dirancang untuk para rent seekers. 2. Segitiga fraud. Pelanggaran kerah putih adalah pelanggaran terhadap hukum yang terkena sanksi tertentu dan yang meliputi pemanfaatan kedudukan pelakunya yang mempunyai

kekuasaan ekonomi, pengaruh atau kepercayaan dalam lembaga yang sebenarnya mempunyai legitimasi ekonomi dan politik hukum namun disalahgunakan untuk keuntungan ilegal demi kepentingan pribadi atau kelompok. 3. Wawancara, bukan interogasi. Wawancara adalah percakapan non formal yang digunakan para pelaksana FOSA/COSA dalam mengumpulkan informasi yang dibutuhkan dalam penyelidikan dari oknum terkait tanpa adanya unsur kekerasan. 4. Kuesioner. Tidak jarang entitas meminta pelaksanaan FOSA dilakukan melalui kuesioner. Sesudah pelaku mengembalikan kuesioner yang diisinya, pelaksana FOSA wajib memastikan bahwa jawaban atas kuesioner tersebut memang benar. 5. Observasi. Dengan melakukan observasi di lapangan, pelaksana bisa melihat situasi dilapangan. Seperti, pelayanan publik yang sesuai dengan prosedur yang berlaku atau tidak. 6. 7. 8. Sampling dan timing. Unsur dadakan adalah kunci sukses pelaksanaan FOSA. Titik lemah dalam sistem pengadaaan barang atau jasa. Profiling. Hal ini bukan sesuatu yang baru dalam dunia kriminolog. Dalam tulisan Lombroso yang dikutip oleh Tuanakotta di tahun 2012 menyatakan bahwa faktor keturunan merupakan penyebab tingkah laku para kriminal. Selain itu, profiling juga mengamati psikis dan psikologis dari pelaku fraud. 9. Analisis data. Dalam hal ini yang dititik beratkan adalah sofwarre yang dapat melacak data yang dicoba untuk dimusnahkan oleh pelaku, lebih dikenal sebagai computer forensic. Computer forensic adalah ilmu tentang pemulihan dan analisis dari data yang disimpan secara elektronik, sedemikian rupa sehingga data itu andal dalam proses litigasi atau proses hukum lainnya. Potensi fraud dan resiko yang ditimbulkan dalam sistem dari entitas yang bersangkutan dapat dilihat pada : 1. Kelemahan sistem dan kepatuhan. Istilah yang digunakan bermacam-macam yang salah satunya adalah sistem pengendalian internal dimana pelaksana FOSA berusaha untuk melihat kelemahan dari sistem tersebut yang membuka peluang siapapun untuk melakukan fraud. 2. Benalu. Yang disebut benalu dalam pembahasan ini adalah para stakeholders yang dalam ilmu ekonomi dikenal sebagai rent seekers. Pelaksana FOSA menelusuri sistem yang mengatur hubungan entitas dengan para stakeholders, dan menganalisa bila terjadi kelemahan dari sistem tersebut sehingga berpotensi terjadinya fraud. Dari mana pelaksana FOSA memperoleh informasi ? 1. Entitas yang bersangkutan dan seluruh strukturnya merupakan sumber informasi penting yang bersifat normatif. Mungkin peraturan perundang-undangan dan peraturan internal yang

ada di entitas tersebut sudah tidak berlaku, sehingga membuat lemahnya sistem pengendalian internal. 2. Pressure groups. Ini seperti informasi yang berasal dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM); media cetak; media elektronik yang dapat menyajikan laporan investigatif yang tajam dan terpercaya. 3. Whistleblowers. Informasi yang didapatkan dari sini tidak bisa dijadikan pedoman, hanya bisa dijadikan sumber referensi. Karena tidak semua orang yang melaporkan fraud yang terjadi didalam entitasnya memiliki niat yang baik. Biasanya ini merupakan barisan orang sakit hati karena beberapa hal yang terjadi dimasa lalu. 4. Masyarakat seing kali berani melaporkan ketidakberesan dalam suatu entitas, terlebih bila mereka adalah korban dari ketidak adilan yang dilakukan entitas tersebut.

Pelaksana FOSA bisa memanfaatkan data historis yang memberi petunjuk tentang titiktitik rawan fraud di entitas tersebut : 1. Disektor publik seperti KPK, biasanya sudah ada kajian mengenai entitas-entitas yang diindikasi melakukan fraud. 2. Mungkin dimasa lalu sudah ada perkara pengadilan; atau kasus yang masih berjalan; atau kasus yang ditutup; atau kasus yang di SP3-kan karena berbagai alas an. 3. Kajian tentang persepsi korupsi. Dilakukan oleh transparency international (TI) untuk memperbaiki kehidupan jutaan manusia di seluruh dunia dengan momentum bagi gerakan pemberantasan korupsi. TI didirikan sejak 1993 dengan memiliki 90 cabang yang tersebar diseluruh dunia, termasuk Indonesia. 4. World Bank mendokumentasikan praktik-praktik korupsi di berbagai negara termasuk Indonesia. Beberapa bagian dari dokumentasi tersebut memberikan petunjuk mengenai praktik korupsi di sektor publik yang merupakan referensi historis; atau referensi pembanding. langkah kedua adalah menganalisis dan menyimpulkan berbagai informasi yang diperoleh dalam langkah pertama. 1. Pelaksana FOSA menggabungkan berbagai analisis tentang potensi fraud dan resiko yang dihadapi yang mungkin tidak sejalan satu sama lain dan ada unsur kesengajaan. 2. Pelaksana FOSA melakukan analisis kesengajaan untuk mengetahui perbedaan diantara analisis yang telah dilakukan dan juga tanggapan dari entitas terhadap kesimpulan sementara 3. Setelah melakukan analisi dalam langkah kedua dan analisis kesengajaan, mondorong terjadinya proses check dan recheck.

langkah ketiga adalah memberikan kesimpulan mengenai potensi fraud dan resiko dari fraud tersebut. Pelaksana FOSA akan memberikan rekomendasi kepada entitas untuk menghukum para pelaku fraud sesuai dengan tingkat kesalahannya.

Anda mungkin juga menyukai