Anda di halaman 1dari 102

SKILLS LAB

FK UNIZAR

BUKU PEGANGAN MAHASISWA


SEMESTER 7

NAMA
NIM

: MUCHLIS EFFENDI
: 010.06.0058

FAKULTAS
KEDOKTERAN
UNIZAR
LABORATORIUM
KETERAMPILAN KLINIK
(SKILLS LAB)

Gd. Skills Lab lt.3


Jl. Unizar No.20 Turida, Cakranegara
Mataram

1. BANTUAN HIDUP DASAR


2. TERAPI OKSIGEN DAN VENTILASI TEKANAN
POSITIF
3. ENDOTRACHEAL TUBE
4. TRANSPORT PASIEN
5. MANUVER HEIMLICH
6. RESUSITASI CAIRAN DAN PF DERAJAT DEHIDRASI
7. TRIAGE
8. VENA SECTION
9. DECOMPRESI PNEMOTHORAK

MODUL
KEGAWATDARURATAN

BANTUAN HIDUP DASAR

TUJUAN SKILL LAB


1. Mahasiswa dapat memahami cara bantuan hidup dasar
2. Mahasiswa dapat melakukan bantuan hidup dasar
ALAT DAN BAHAN

1. Manekin Bantuan Hidup Dasar


2. Handschoon
3. Alcohol swab

TEORI

A.

INDIKASI
1. Henti napas
Henti napas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara
pernapasan dari korban / pasien.
Henti napas merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan Bantuan
Hidup Dasar. Henti napas dapat terjadi pada keadaan :

Tenggelam

Stroke

Obstruksi jalan napas

Epiglotitis

Overdosis obat-obatan

Tersengat listrik

Infark miokard

Tersambar petir

Koma akibat berbagai macam kasus


Pada awal henti napas oksigen masih dapat masuk ke dalam darah untuk

beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ
vital lainnya, jika pada keadaan ini diberikan bantuan napas akan sangat bermanfaat
agar korban dapat tetap hidup dan mencegah henti jantung.
2. Henti jantung
Pada saat terjadi henti jantung secara langsung akan terjadi henti sirkulasi.
Henti sirkulasi ini akan dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital
kekurangan oksigen. Pernapasan yang terganggu (tersengal-sengal) merupakan
tanda awal akan terjadinya henti jantung.
Bantuan hidup dasar merupakan bagian dari pengelolaan gawat darurat
medik yang bertujuan :
a.

Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi.

b.

Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban


yang mengalami henti jantung atau henti napas melalui Resusitasi Jantung
Paru (RJP).

Resusitasi Jantung Paru terdiri dari 2 tahap, yaitu :


Survei Primer (Primary Surgery), yang dapat dilakukan oleh setiap orang.
Survei Sekunder (Secondary Survey), yang hanya dapat dilakukan oleh tenaga
medis dan paramedis terlatih dan merupakan lanjutan dari survei primer.
B.

SURVEI PRIMER
Dalam survei primer difokuskan pada bantuan napas dan bantuan sirkulasi serta
defibrilasi. Untuk dapat mengingatkan dengan mudah tindakan survei primer
dirumuskan dengan abjad A, B, C, dan D, yaitu :
A airway (jalan napas)

B breathing (bantuan napas)


C circulation (bantuan sirkulasi)
D defibrilation (terapi listrik)
Sebelum melakukan tahapan A(airway), harus terlebih dahulu dilakukan
prosedur awal pada korban / pasien, yaitu :
1. Memastikan keamanan lingkungan bagi penolong.
2. Memastikan kesadaran dari korban / pasien.
Untuk memastikan korban dalam keadaan sadar atau tidak, penolong harus
melakukan upaya agar dapat memastikan kesadaran korban / pasien, dapat dengan
cara menyentuh atau menggoyangkan bahu korban / pasien dengan lembut dan
mantap untuk mencegah pergerakan yang berlebihan, sambil memanggil namanya
atau Pak !!! / Bu !!! / Mas !!! / Mbak !!!
3. Meminta pertolongan
Jika ternyata korban / pasien tidak memberikan respon terhadap panggilan, segera
minta bantuan dengan cara berteriak Tolong !!! untuk mengaktifkan sistem
pelayanan medis yang lebih lanjut.
4. Memperbaiki posisi korban / pasien
Untuk melakukan tindakan BHD yang efektif, korban / pasien harus dalam posisi
terlentang dan berada pada permukaan yang rata dan keras. Jika korban ditemukan
dalam posisi miring atau tengkurap, ubahlah posisi korban ke posisi terlentang.
Ingat ! penolong harus membalikkan korban sebagai satu kesatuan antara kepala,
leher dan bahu digerakkan secara bersama-sama. Jika posisi sudah terlentang, korban
harus dipertahankan pada posisi horisontal dengan alas tidur yang keras dan kedua
tangan diletakkan di samping tubuh.
5. Mengatur posisi penolong
Segera berlutut sejajar dengan bahu korban agar saat memberikan bantuan napas dan
sirkulasi, penolong tidak perlu mengubah posisi atau menggerakan lutut.

A (AIRWAY) Jalan Napas


Setelah selesai melakukan prosedur dasar, kemudian dilanjutkan dengan
melakukan tindakan :
1. Pemeriksaan jalan napas
Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan napas oleh
benda asing. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau sumbatan
berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah yang dilapisi
dengan sepotong kain, sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat dikorek dengan
menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan tehnik
Cross Finger, dimana ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk pada mulut
korban.

2. Membuka jalan napas


Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, biasa pada korban
tidak sadar tonus otototot menghilang, maka lidah dan epiglotis akan menutup
farink dan larink, inilah salah satu penyebab sumbatan jalan napas. Pembebasan
jalan napas oleh lidah dapat dilakukan dengan cara tengadah kepala topang dagu
(Head tilt chin lift) dan Manuver Pendorongan Mandibula. Teknik membuka jalan
napas yang direkomendasikan untuk orang awam dan petugas kesehatan adalah
tengadah kepala topang dagu, namun demikian petugas kesehatan harus dapat
melakukan manuver lainnya.

Beberapa cara yang dikenal dan sering dilakukan untuk membebaskan jalan nafas
a. Angkat Dagu Tekan Dahi :

Angkat Dagu Tekan Dahi


Teknik ini dilakukan pada korban yang tidak mengalami trauma pada kepala, leher
maupun tulang belakang. Akan dijelaskan lebih lanjut disini.
b. Perasat Pendorongan Rahang Bawah (Jaw Thrust Maneuver)

Jaw Thrust Maneuver


Teknik ini digunakan sebagai pengganti teknik angkat dagu tekan dahi. Teknik ini
sangat sulit dilakukan tetapi merupakan teknik yang aman untuk membuka jalan nafas
bagi korban yang mengalami trauma pada tulang belakang. Dengan teknik ini,
kepala dan leher korban dibuat dalam posisi alami / normal.
Ingat : Teknik ini hanya untuk korban yang mengalami trauma tulang belakang atau curiga
trauma tulang belakang
B ( BREATHING ) Bantuan napas
Terdiri dari 2 tahap :
1. Memastikan korban / pasien tidak bernapas.
Dengan cara melihat pergerakan naik
turunnya dada, mendengar bunyi napas dan
merasakan hembusan napas korban / pasien.
Untuk itu penolong harus mendekatkan telinga di

atas mulut dan hidung korban / pasien, sambil


tetap mempertahankan jalan napas tetap terbuka.
Prosedur ini dilakukan tidak boleh melebihi 10
detik.
2. Memberikan bantuan napas.
Jika korban / pasien tidak bernapas, bantuan napas dapat dilakukan melalui
mulut ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada
tenggorokan) dengan cara memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali
hembusan, waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,52 detik
dan volume udara yang dihembuskan adalah 400 -500 ml (10 ml/kg) atau sampai
dada korban / pasien terlihat mengembang.
Penolong harus menarik napas dalam pada saat akan menghembuskan napas
agar tercapai volume udara yang cukup. Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan
hanya 1617%. Penolong juga harus memperhatikan respon dari korban / pasien
setelah diberikan bantuan napas.
Cara memberikan bantuan pernapasan :
Mulut ke mulut
Bantuan pernapasan dengan menggunakan cara ini merupakan cara
yang cepat dan efektif untuk memberikan udara ke paruparu korban / pasien.
Pada saat dilakukan hembusan napas
dari

mulut

ke mulut,

penolong

harus

mengambil napas dalam terlebih dahulu dan


mulut

penolong

harus

dapat

menutup

seluruhnya mulut korban dengan baik agar


tidak terjadi kebocoran saat menghembuskan
napas dan

juga

penolong harus menutup lubang hidung korban / pasien dengan ibu jari dan
jari telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari hidung. Volume
udara yang diberikan pada kebanyakan orang dewasa adalah 400 - 500 ml (10
ml/kg).
Volume udara yang berlebihan dan laju inspirasi yang terlalu cepat dapat
menyebabkan udara memasuki lambung, sehingga terjadi distensi lambung.

Mulut ke hidung
Teknik ini direkomendasikan jika
usaha ventilasi dari mulut korban tidak
memungkinkan, misalnya pada Trismus
atau dimana mulut korban mengalami luka
yang berat, dan sebaliknya jika melalui
mulut ke hidung, penolong harus menutup
mulut korban / pasien.
Mulut ke Stoma
Pasien yang mengalami laringotomi
mempunyai

lubang

(stoma)

yang

menghubungkan trakhea langsung ke kulit.


Bila

pasien

mengalami

kesulitan

pernapasan maka harus dilakukan ventilasi


dari mulut ke stoma.
Menggunakan alat bantu:

Masker berkatup
Kantung masker berkatup (Bag Valve Mask / BVM)
Frekuensi pemberian nafas buatan:
Dewasa
: 10 - 12 x pernafasan / menit, masing-masing 1,5 - 2 detik
Anak (1-8th)
: 20 x pernafasan / menit, masing-masing 1 - 1,5 detik
Bayi (0-1th)
: lebih dari 20 x pernafasan / menit, masing-masing 1 - 1,5 detik
Bayi baru lahir : 40 x pernafasan / menit, masing-masing 1 - 1,5 detik
Bahaya bagi penolong yang melakukan bantuan pernafasan dari mulut ke mulut:
- Penyebaran penyakit
- Kontaminasi bahan kimia
- Muntahan penderita

Saat memberikan bantuan pernafasan petunjuk yang dipakai untuk menentukan cukup
tidaknya udara yang dimasukkan adalah gerakan naiknya dada. Jangan sampai memberikan
udara yang berlebihan karena dapat mengakibatkan udara juga masuk dalam lambung
sehingga menyebabkan muntah dan mungkin akan menimbulkan kerusakan pada paru-paru.
Jika terjadi penyumbatan jalan nafas maka lakukan kembali Airway Control seperti yang
dijelaskan diatas.

Beberapa tanda-tanda pernafasan:


Adekuat (mencukupi)
- Dada dan perut bergerak naik dan turun seirama dengan pernafasan
- Udara terdengar dan terasa saat keluar dari mulut / hidung
- Korban tampak nyaman
- Frekuensinya cukup (12-20 x/menit)
Kurang Adekuat (kurang mencukupi)
- Gerakan dada kurang baik
- Ada suara nafas tambahan
- Kerja otot bantu nafas
- Sianosis (kulit kebiruan)
- Frekuensi kurang atau berlebihan
- Perubahan status mental
Tidak Bernafas
- Tidak ada gerakan dada dan perut
- Tidak terdengar aliran udara melalui mulut atau hidung
- Tidak terasa hembusan nafas dari mulut atau hidung
Bila menggunakan masker atau APD, pastikan terpasang dengan baik dan tidak mengalami
kebocoran udara saat memberikan bantuan pernafasan.
C (CIRCULATION) Bantuan sirkulasi
Terdiri dari 2 tahapan :
1. Memastikan ada tidaknya denyut jantung korban / pasien.
Ada tidaknya denyut jantung korban / pasien dapat ditentukan dengan
meraba arteri karotis didaerah leher korban / pasien, dengan dua atau tifa jari
tangan (jari telunjuk dan tengah) penolong dapat meraba pertengahan leher
sehingga teraba trakhea, kemudian kedua jari digeser ke bagian sisi kanan atau
kiri kirakira 12 cm, raba dengan lembut selama 510 detik.

Jika teraba denyutan nadi, penolong harus kembali memeriksa pernapasan


korban dengan melakukan manuver tengadah kepala topang dagu untuk menilai
pernapasan korban / pasien. Jika tidak bernapas lakukan bantuan pernapasan, dan
jika bernapas pertahankan jalan napas.
2. Melakukan bantuan sirkulasi
Jika telah dipastikan tidak ada denyut jantung, selanjutnya dapat diberikan
bantuan sirkulasi atau yang disebut dengan kompresi jantung luar, dilakukan
dengan teknik sebagai berikut :

Dengan jari telunjuk dan jari tengah penolong menelusuri tulang iga kanan
atau kiri sehingga bertemu dengan tulang dada (sternum).

Dari pertemuan tulang iga (tulang sternum) diukur kurang lebih 2 atau 3 jari
ke atas. Daerah tersebut merupakan tempat untuk meletakkan tangan
penolong dalam memberikan bantuan sirkulasi.

Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu telapak
tangan diatas telapak tangan yang lainnya, hindari jarijari tangan
menyentuh dinding dada korban / pasien, jarijari tangan dapat diluruskan
atau menyilang.

Dengan posisi badan tegak lurus, penolong menekan dinding dada korban
dengan tenaga dari berat badannya secara teratur sebanyak 30 kali dengan
kedalaman penekanan berkisar antara 1,52 inci (3,85 cm).

Tekanan pada dada harus dilepaskan keseluruhannya dan dada dibiarkan


mengembang kembali ke posisi semula setiap kali melakukan kompresi
dada. Selang waktu yang dipergunakan untuk melepaskan kompresi harus
sama dengan pada saat melakukan kompresi. (50% Duty Cycle).

Tangan tidak boleh lepas dari permukaan dada dan atau merubah posisi
tangan pada saat melepaskan kompresi.

Rasio bantuan sirkulasi dan pemberian napas adalah 30 : 2 dilakukan baik


oleh 1 atau 2 penolong jika korban / pasien tidak terintubasi dan kecepatan
kompresi adalah 100 kali permenit (dilakukan 4 siklus permenit), untuk
kemudian dinilai apakah perlu dilakukan siklus berikutnya atau tidak.

Dari tindakan kompresi yang benar hanya akan mencapai tekanan sistolik 6080 mmHg, dan
diastolik yang sangat rendah, sedangkan curah jantung (cardiac output) hanya 25% dari
curah jantung normal. Selang waktu mulai dari menemukan pasien dan dilakukan prosedur
dasar sampai dilakukannya tindakan bantuan sirkulasi (kompresi dada) tidak boleh melebihi
30 detik.

D (DEFRIBILATION)
Defibrilation atau dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan dengan istilah defibrilasi adalah suatu
terapi dengan memberikan energi listrik. Hal ini
dilakukan jika penyebab henti jantung (cardiac
arrest) adalah kelainan irama jantung yang disebut
dengan Fibrilasi Ventrikel. Dimasa sekarang ini
sudah tersedia alat untuk defibrilasi (defibrilator)

yang dapat digunakan oleh orang awam yang disebut


Automatic External Defibrilation, dimana alat
tersebut

dapat mengetahui korban henti jantung ini harus dilakukan defibrilasi atau

tidak, jika perlu dilakukan defibrilasi alat tersebut dapat memberikan tanda kepada
penolong untuk melakukan defibrilasi atau melanjutkan bantuan napas dan bantuan
sirkulasi saja.

MELAKUKAN BHD 1 DAN 2 PENOLONG


Orang awam hanya mempelajari cara melakukan BHD 1 penolong. Teknik BHD
yang dilakukan oleh 2 penolong menyebabkan kebingungan koordinasi. BHD 1 penolong
pada orang awam lebih efektif mempertahankan sirkulasi dan ventilasi yang adekuat, tetapi
konsekuensinya akan menyebabkan penolong cepat lelah.
BHD 1 penolong dapat mengikuti urutan sebagai berikut :
1. Penilaian korban.
Tentukan kesadaran korban / pasien (sentuh dan goyangkan korban dengan lembut
dan mantap), jika tidak sadar, maka
2. Minta pertolongan serta aktifkan sistem emergensi.
3. Jalan napas (AIRWAY)
Posisikan korban / pasien
Buka jalan napas dengan manuver tengadah kepala topang dagu.
4. Pernapasan (BREATHING)
Nilai pernapasan untuk melihat ada tidaknya pernapasan dan adekuat atau tidak
pernapasan korban / pasien.
Jika korban / pasien dewasa tidak sadar dengan napas spontan, serta tidak adanya
trauma leher (trauma tulang belakang) posisikan korban pada posisi mantap
(Recovery position), dengan tetap menjaga jalan napas tetap terbuka.
Jika korban / pasien dewasa tidak sadar dan tidak bernapas, lakukan bantuan
napas. Di Amerika Serikat dan dinegara lainnya dilakukan bantuan napas awal
sebanyak 2 kali, sedangkan di Eropa, Australia, New Zealand diberikan 5 kali.
Jika pemberian napas awal terdapat kesulitan, dapat dicoba dengan membetulkan
posisi kepala korban / pasien, atau ternyata tidak bisa juga maka dilakukan :

Untuk orang awam dapat dilanjutkan dengan kompresi dada sebanyak 30 kali
dan 2 kali ventilasi, setiap kali membuka jalan napas untuk menghembuskan
napas, sambil mencari benda yang menyumbat di jalan napas, jika terlihat
usahakan dikeluarkan.

Untuk petugas kesehatan yang terlatih dilakukan manajemen obstruksi jalan


napas oleh benda asing.

Pastikan dada pasien mengembang pada saat diberikan bantuan pernapasan.

Setelah memberikan napas 8-10 kali (1 menit), nilai kembali tanda tanda
adanya sirkulasi dengan meraba arteri karotis, bila nadi ada cek napas, jika
tidak bernapas lanjutkan kembali bantuan napas.

5. Sirkulasi (CIRCULATION)
Periksa tandatanda adanya sirkulasi setelah memberikan 2 kali bantuan pernapasan
dengan cara melihat ada tidaknya pernapasan spontan, batuk atau pergerakan. Untuk
petugas kesehatan terlatih hendaknya memeriksa denyut nadi pada arteri Karotis.

Jika ada tandatanda sirkulasi, dan ada denyut nadi tidak dilakukan kompresi
dada, hanya menilai pernapasan korban / pasien (ada atau tidak ada pernapasan)

Jika tidak ada tandatanda sirkulasi, denyut nadi tidak ada lakukan kompresi
dada :
-

Letakkan telapak tangan pada posisi yang benar.

Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kali dengan kecepatan 100 kali per
menit.

Buka jalan napas dan berikan 2 kali bantuan pernapasan.

Letakkan kembali telapak tangan pada posisi yang tepat dan mulai kembali
kompresi 30 kali dengan kecepatan 100 kali per menit.

6. Penilaian Ulang
Sesudah 5 siklus ventilasi dan kompresi (+2Menit) kemudian korban dievaluasi
kembali,

Jika tidak ada nadi dilakukan kembali kompresi dan bantuan napas dengan rasion
30 : 2.

Jika ada napas dan denyut nadi teraba letakkan korban pada posisi mantap.

Jika tidak ada napas tetapi nadi teraba, berikan bantuan napas sebanyak 8-10 kali
permenit dan monitor nadi setiap saat.

Jika sudah terdapat pernapasan spontan dan adekuat serta nadi teraba, jaga agar
jalan napas tetap terbuka kemudian korban / pasien ditidurkan pada posisi sisi
mantap.

PASIEN TIDAKRESUSITASI JANTUNG


Pasien
SADAR
diamankan

PARU (BASIC)

Cek
Kesadaran
Emergency call

Sumbatan (+)
Diambil

Open
Airway
Chin lift
Head tilt
Jaw Trust

Jika perlu tambah 1x


nafas tiap 5-6 detik

Check Breathing

Look gerakan dada


Listen suara nafas;
suara tambahan
Feel hembusan nafas

Nafas Buatan 2x
nafas (dalam 2
detik)

Cek Nadi

RJP 30:2
5 siklus

Pertahankan
Posisi

CHECKLIST & PENILAIAN

No

CHECKLIST BATUAN HIDUP DASAR

Mencuci tangan sebelum pemeriksaan dengan cairan antiseptik

Mengucapkan Salam dan membaca basmallah serta memperkenalkan diri

Melakukan informed consent


PASIEN TIDAK SADAR:

Pemeriksa menggunakan handschoon

Check kesadaran pasien

Open airway

7
8
9
10

Check breathing
Melakukan 2 kali nafas buatan
Check nadi carotis communis
Melakukan tindakan RJP
letakkan ujung telapak tangan di kunci dengan telapak tangan yang lain di
tulang dada (sternum) bisa sejajar/segaris antara putting payudara atau 3 jari
diatas tulang muda di bawah sternum (prosessus xypoideus)
Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu telapak
tangan diatas telapak tangan yang lainnya, hindari jarijari tangan
menyentuh dinding dada korban / pasien, jarijari tangan dapat diluruskan
atau menyilang.
Dengan posisi badan tegak lurus, penolong menekan dinding dada korban
dengan tenaga dari berat badannya secara teratur sebanyak 30 kali dengan
kedalaman penekanan berkisar antara 1,52 inci (3,85 cm).

Tekanan pada dada harus dilepaskan keseluruhannya dan dada dibiarkan


mengembang kembali ke posisi semula setiap kali melakukan kompresi
dada. Selang waktu yang dipergunakan untuk melepaskan kompresi harus
sama dengan pada saat melakukan kompresi. (50% Duty Cycle).
Tangan tidak boleh lepas dari permukaan dada dan atau merubah posisi
tangan pada saat melepaskan kompresi.
Rasio bantuan sirkulasi dan pemberian napas adalah 30 : 2 dilakukan baik
oleh 1 atau 2 penolong jika korban / pasien tidak terintubasi dan kecepatan
kompresi adalah 100 kali permenit (dilakukan 4 siklus permenit), untuk
kemudian dinilai apakah perlu dilakukan siklus berikutnya atau tidak.
11

Memposisikan pasien recovery position

18

menyampaikan hasil tindakan

20

Mencuci tangan dengan cairan antiseptik

ASPEK PENILAIAN SKILLS LAB BANTUAN HIDUP DASAR


KETERAMPILAN KLINIK BANTUAN HIDUP DASAR
Nilai:
0 = tidak melakukan
1 = melakukan sebagian
2 = melakukan seluruhnya namun tidak sempurna
3 = melakukan seluruhnya dengan sempurna
KOMUNIKASI:
Mendapatkan persetujuan tindakan pemeriksaan fisik dari pasien (consent)
mampu membina hubungan baik dengan pasien secara verbal dan non verbal ( ramah ,
tebuka, kontak mata,salam, empati dan hubungan komunikasi dua arah, respon)
menggunakan bahasa yang bisa dimengerti
memberikan kesempatan pasien untuk bertanya
NILAI:
0 = tidak melakukan poin komunikasi
1 = melakukan 1 poin komunikasi
2 = melakukan 2-3 poin komunikasi
3 = melakukan semua poin komunikasi
PERILAKU PROFESIONAL:
melakukan setiap tindakan secara hati-hati dan teliti sehingga tidak membahayakan
pasien dan diri sendiri
memperhatikan kenyamanan pasien
melakukan tindakan sesuai dengan prioritas
menunjukkan rasa hormat kepada pasien

NILAI:
0 = tidak melakukan poin Perilaku Profesional
1 = melakukan 1 poin Perilaku Profesional
2 = melakukan 2-3 poin Perilaku Profesional
3 = melakukan semua poin Perilaku Profesional

PENULIS & KONSULTAN


PENULIS : dr. Indra Kusuma
KONSULTAN : dr. Oxy Cahyo Wahyuni, Sp.EM

REFERENSI

1. Adelmen, R.D., Solhaug, M.J., 2000. Patofisiologi Cairan Tubuh dan Terapi Cairan.
In: Behrman, R.E., Kliegman, R.M., Arvin, Ann.M., Ilmu Kesehatan Anak Nelson
ed 15, jilid 2. Jakarta: EGC; 258-266
2. Hartanto, W.W., 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Bagian Farmakologi
Klinik dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
3. Hasan
F.
Terapi
Cairan.
2008.
Di
unduh
dari
http://drfhasan.blogspot.com/2008/01/referat-terapi-cairan.html.
4. Latief AS, dkk. 2002. Petunjuk praktis anestesiologi: terapi cairan pada pembedahan.
Ed.Kedua. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI.

TERAPI OKSIGEN DAN


VENTILASI TEKANAN POSITIF

TUJUAN SKILL LAB

1. Mahasiswa mampu merencanakan dan mempersiapkan alat atau bahan untuk


melakukan terapi oksigen dan VTP
2. Mahasiswa dapat melakukan informed consent tentang tindakan yang akan dilakukan
3. Mahasiswa dapat memahami indikasi dan cara melakukan terapi oksigen dan VTP
4. Mahasiswa dapat melakukan terapi oksigen dan VTP dengan baik dan sistematis.
ALAT DAN BAHAN

1.
2.
3.
4.

Manekin terapi oksigen dan VTP


Sarung tangan (Handscoon)
Selang Oksigen masker
Selang Oksigen kanul Sumber oksigen (tabung) atau sumber oksigen sentral.siap
pakai
5. Tabung pelembab (humidifier).
6. Pengukur aliran oksigen (flow meter).
7. AMBU BAG

TEORI

TERAPI OKSIGEN
Pendahuluan

Peranan oksigen dan nutrient dalam metabolisme memproduksi energi utama untuk
berlangsungnya kehidupan sangat bergantung pada fungsi paru yang menghantarkan
oksigen sampai berdifusi lewat alveoli kekapiler dan fungsi sirkulasi sebagai
transporter oksigen kejaringan.Disamping sebagai bahan bakar pembentukan energi,
oksigen dapat juga dipakai sebagai terapi berbagai kondisi tertentu.
Peran oksigen sebagai obat maka pemberian oksigen juga punya indikasi,dosis,cara
pemberian dan efek samping yang berbahaya.
Untuk aman dan efektifnya terapi oksigen perlu dikuasai fisiologi respirasi dan
sirkulasi dan sifat-sifat oksigen itu sendiri.
FUNGSI RESPIRASI :
Tiga faktor utama yang terlibat dalam proses pernafasan yaitu ventilasi, pulmonary
blood flow dan diffusi gas antara alveoli dan darah dalam kapiler pulmonalis dengan
perkataan lain adanya keseimbangan antara ventilasi, perfusi dan diffusi.
Tujuan dari proses ventilasi adalah menyediakan udara segar kedalam paru untuk
ditukar pada membran alveoli kapiler.
Prinsip pergerakan gas adalah karena ada perbedaan tekanan dimana gas akan
bergerak dari tekanan tinggi ketekanan rendah.
Dalam keadaan istirahat tekanan dalam paru sama dengan tekanan atmosfer. Ketika
inspirasi spontan dimulai akan terjadi kontraksi diafragma dan otot interkostalis
eksterna akibatnya rongga dada berkembang maka tekanan intrapulmoner jadi
negatif sehingga udara masuk kedalam paru. Inspirasi merupakan proses aktif yang
membutuhkan energi dimana diafragma bertanggung jawab 60% udara ventilasi
waktu terlentang dan 70% waktu tegak, sedang ekspirasi merupakan proses passif
oleh karena elastisitas jaringan paru.
Transport oksigen :
Sistem sirkulasi bekerja sama dengan sistem respirasi dalam transport oksigen dari
udara luar ke sel mitokondria.
Oksigen dalam darah diangkut dalam bentuk terikat dengan Hb dan terlarut dalam
plasma.
Setiap 100 cc darah yang meninggalkan kapiler paru membawa oksigen kira-kira 2o
cc, dimana hanya 3% yang dibawa terlarut dalam plasma. Oksigen diikat oleh Hb
terutama oleh ion Fe dari unit heme. Masing-masing unit heme mampu mengikat 4
molekul oksigen untuk membentuk oksihemoglobin dimana ikatannya bersifat
reversible.
Setiap eritrosit mempunyai 280 juta molekul Hb, dimana setiap molekul Hb
mempunyai 4 unit heme.
Setiap eitrosit dapat membawa miliaran molekul oksigen.
Prosentase unit heme yang mengandung okigen terikat, dikenal sebagai saturasi
hemoglobin(SaO2). Jika semua molekul Hb dalam darah penuh berisi oksigen
artinya saturasinya 100%.

Kebanyakan oksigen dalam tubuh (97-98)% ditransport dalam bentuk terikat dengan
Hb.
Molekul Hb tersusun dalam 2 bagian dasar. Bagian protein atau globin dibuat oleh
rantai polipeptide dimana tiap rantai mengandung kelompok heme yang
mengandung Fe membawa satu molekul oksigen karena ada 4 rantai maka setiap
molekul dapat mengikat 4 molekul oksigen. Kapasitas Hb membawa oksigen setiap
gram Hb dapat mengikat 1,34 cc oksigen, maka menurut persamaan :
Ikatan O2 = (Hb x SaO2 x1,34)
Bila PaO2 tinggi, seperti dalam kapiler paru, oksigen berikatan dengan Hb, bila
PaO2 rendah seperti dalam kapiler jaringan oksigen dilepas dari Hb.
Fungsi utama sistem respirasi adalah mempertahankan tekanan partiel O2 dan CO2
dalam darah arteri sedekat mungkin kenormal, dalam keadaan tertentu.
Adekuat tidaknya fungsi respirasi diukur dengan nilai PaO2 dan PaCO2 sedangkan
cara lain hanya bisa menilai tidak adekuatnya fungsi repirasi tetapi tidak menjamin
adekuatnya fungsi respirasi.
Untuk dapat mengetahui kapasitas angkut oksigen dengan jelas harus diketahui
affinitas oksigen untuk jaringan maupun pengambilan oksigen oleh paru. Ketika
eritrosit melalui kapiler alveoli; oksigen akan berdifusi ke plasma dan meningkatkan
PaO2 dan berikatan dengan Hb.
Kurva dissosiasi oksihemoglobin menggambarkan hubungan antara SaO2 dan PaO2,
dimana kita dapat mengetahui sejauh mana peningkatan dan penurunan PaO2
mempengaruhi SaO2 secara bermakna, semakin besar saturasi semakin baik mutu
Hb, semakin besar volume O2 yang dapat diangkut oleh darah kejaringan.
Menurut rumus :
g HbO2
SaO2 = ----------- x 100 %
hb total
g HbO2 = Saturasi O2 x total Hb
Volume persen O2 yang diangkut sebagai HbO2 = SaO2 x total Hb x 1,34.
Setiap gram Hb dapat bergabung dengan 1,34 ml O2.
Deliveri O2 = CaO2 x CO x10
CaO2(oxygen content dalam darah arteri)=(SaO2 xHbx1,34)+(PaO2x0,031).
CO(cardiac output)= SV(stroke volume )xHR (heart rate).
Dikalikan 10 karena CO dalam L sedangkan CaO2 per 100 cc darah.
Rumus diatas diperlukan untuk mencari tahu faktor mana yang perlu dikoreksi agar
DO2 terpenuhi.

Hubungan antara SaO2( sebagai ordinat) dan PaO2(sebagai absis) dalam satu kurve
berbentuk S disebut kurve disosiasi oxyhaemoglobine.
Pada PaO2 100 mmHg maka SaO2 97% dan bila PaO2 27 mmHg maka SaO2 50%.
PaO2 27 mmHg disebut P50 artinya pada tekanan partiel tersebut Hb mengikat O2
hanya 50%, bila P50 diatas 27 mmHg maka artinya diperlukan PaO2 yang lebih
tinggi untuk mengikat O2 dimana kurve bergeser kekanan dan sebaliknya kurve
bergeser kekiri mudah mengikat O2 tetapi sulit melepaskannya kejaringan.
Setiap melihat data O2 dalam darah sebaiknya mempelajari arti point-point tertentu
pada kurva disosiasi oksihemoglo
bin. Point yang harus diingat pada kurva disosiasi O2 adalah
PaO2(mmHg)
SaO2(%)
Clinical
100
97
muda normal
80
95
orang tua
60
90
bahu kurva
(penurunan O2 yang bermakna)
40
75
Transport O2 lemah,kadar O2 dalam darah
vena (normal), hipoksemia kritis.
20
35
Level terendah yang ditoleransi.
Penurunan PaO2 kira-kira 25 mmHg dari 95 menjadi 70 mmHg hanya
mempengaruhi sedikit perubahan pada oksihemoglobin sama artinya dengan situasi
seorang mendaki ketinggian 6000 feet dari permukaan laut, atau bertambahnya umur
dari 20 tahun menjadi 70 tahun, atau penderita penyakit paru yang moderate. Tetapi
penurunan PaO2 sebesar 25 mmHg dari 6o menjadi 35 mmHg lain halnya, akan
terjadi perubahan yang serius.
Pengikatan PaO2 diatas 90 mmHg tidak akan mempengaruhi kemampuan Hb
mengangkut O2 karena Hb cukup jenuh pada PaO2 80 mmHg. Penurunan affinitas
oksigen digambarkan dengan kurve bergeser kekanan. Sebaliknya peningkatan
affinitas oksigen dengan gambran kurve bergeser kekiri. Jika pH darah menurun
(asidosis) maka kurva bergeser kekanan artinya oksigen lebih mudah dilepas
dijaringan sebaliknya bila alkalosis maka affinitas Hb tehadap oksigen meningkat
dan oksigen sukar dilepas. Disamping pH ada beberapa faktor yang mempengaruhi
kurve bergeser kekanan:
a. Peninggian konsentrasi CO2.
b. Peninggian temperatur darah.
c. Peninggian 2,3 difosfogliserat(DPG) dalam darah.
Sebaliknya akan menggeser kurve kekiri dan Hb fetus dalam jumlah besar dalam
darah akan menggeser kurve kekiri juga.
TERAPI OKSIGEN
Tujuan :
Mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat sehingga metabolisme intra
selular berjalan lancar untuk memproduksi fosfat berenergi tinggi sebagai motor
kehidupan disamping untuk terapi beberapa keadaan tertentu.

Untuk mencapai tujuan tak cukup hanya pemberian oksigen saja tetapi harus
dikoreksi latar belakang penyebab terjadi gangguan oksigenasi mulai dari sumber
oksigen,ventilasi,
diffusi perfusi sampai deliveri dan kemampuan sel menerima oksigen.
Kita ketahui bahwa rendahnya kadar O2 dalam darah disebut hipoksemia sementara
rendahnya kadar oksigen dijaringan disebut hipoksia.
Secara praktis hipoksia dengan sebab apapun dibagi atas :

1.Hipoksi hipoksemia :
Penyebabnya adalah hipoksemia yaitu kurangnya kadar O2 dalam darah akibat
gangguan mulai ventilasi, distribusi dan diffusi dalam paru. Ventilasi bisa berupa
obstruksi jalan nafas, hipoventilasi (karena faktor sentral atau perifer), diffusi karena
odem atau penebalan dinding alveoli.
2. Hipoksi anemia :
Pengangkut oksigen (Hb) kurang kwantitas/kualitas walaupun oksigenasi baik,
Transfusi adalah jalan keluarnya.
3. Hipoksia stagnasi :
Terlambatnya aliran darah karena viskositas meningkat, obstruksi, syok stadium
lanjut.
4. Hipoksia histotoksik:
Kerusakan dijaringan/sel tidak mampu lagi menggunakan O2 yang dihantarkan
pada keracunan atau sepsis yang berat.
Indikasi :
- Gagal nafas akut dibutuhkan pembebasan jalan nafas dan nafas bantu.
- Syok oleh berbagai kausa dimana terjadi gangguan perfusi jaringan.
- Infarct myocard acute dimana tidak seimbang oksigen demand dengan oksigen
supply.
- Dalam kondisi metabolisme rate tinggi( tirotokikosis, sepsis,hipertermia).dimana
kebutuhan oksigen meningkat.
- Keracunan gas CO (karbon monoksida) dimana affinitasnya terhadap Hb tinggi.
- Pre oksigenasi menjelang anestesi mencegah hipoksia dan hiperkarbia
- Penderita tak sadar untuk memperbaiki oksigenasi diotak.
- Untuk mengatasi keadaan seperti empisema paska bedah, pneumotorak, emboli
udara. Pemberian oksigen mampu mengusir gas nitrogen yang menumpuk dalam
rongga tubuh.
- Asidosis apakah respiratorik maupun metabolik dimana terjadi metabolisme
anaerob.
- Anemia berat, jumlah Hb maupun kualitas Hb yang kurang dalam transport
oksigen.
Pemberian oksigen untuk pasien dengan gangguan sirkulasi atau nafas akut sesuai
dengan ketentuan sebagai berikut :
a.Tanpa gangguan nafas oksigen diberikan 2 liter/menit melalui kanul binasal.

b. Dengan gangguan nafas sedang oksigen diberikan 5-6 liter per menit melalui
kanul binasal.
c. Gangguan nafas berat, gagal jantung, henti jantung gunakan sistem yang dapat
memberi oksigen 100%.
d. Pada pasien yang rangsangan nafas tergantung hipoksia beri oksigen <50% ,
awasi ketat.
e. Atur kadar oksigen berdasarkan PaO2 atau SaO2 kalau ada fasilitas BGA
f. Dalam keaaan darurat lakukan bantuan nafas, intubasi beri 100% O2.
Persiapan alat :
1. Sumber oksigen (tabung) atau sumber oksigen sentral.siap pakai.
2. Tabung pelembab (humidifier).
3. Pengukur aliran oksigen (flow meter).
4. Alat pemberi oksigen tergantung metode yang dipakai
Metode pemberian oksigen :
A. Sistem aliran rendah :
1. Aliran rendah konsentrasi rendah (lowflow low concentration) Kateter nasal
atau binasal
2. Aliran rendah konsentrasi tinggi (lowflow high concentration).
- Sungkup muka sederhana (simple mask);konsentrasi O2 yang masuk tergantung
pada pola nafas dan kecepatan aliran O2.
- Sungkup muka kantong rebreating;dilengkapi dengan kantong yang
menampung aliran gas dari sumber gas atau udara kamar dan udara nafas tanpa
valve sehingga terjadi rebreathing.
- Sungkup muka kantong non rebreating. Dilengkapi dengan expiratory valve
(katup ekspirasi), Sehingga tidak rebreathing.
B. Sistem aliran tinggi :
1.Aliran tinggi konsentrasi rendah (high flow low concentration)
- Sungkup venturi
2. Aliran tinggi konsentrasi tinggi (high flow high concentration)
- Head box
- Sungkup CPAP (continous positive airway pressure)
Kanul binasal: Paling sering digunakan untuk pemberian oksigen, memberikan
konsentrasi udara inspirasi (FiO2) 24-44% dengan kecepatan aliran 1-6 L/menit.
Konsentrasi oksigen yang diberikan tergantung tinggi nya aliran dan volume tidal
nafas pasien. Konsentrasi bertambah 4% untuk setiap tambahan 1 liter/menit O2,
misalnya aliran 1 liter/menit = 24% . 2 liter/menit 28% dan seterusnya maksimal 6
L/menit.
Keuntungan :

Pemberian oksigen stabil dengan volume tidal dan laju nafas teratur, baik
diberikan dalam jangka waktu lama. Pasien dapat bergerak bebas, makan minum dan
bicara.
Kerugian :
Dapat menyebabkan iritasi hidung dan bagian belakang telinga tempat tali
binasal. FiO2 akan berkurang bila pasien bernafas dengan mulut.
Sungkup muka sederhana:
Aliran O2 diberikan 6-10 liter/menit dengan konsentrasi O2 mencapai 60%.
Merupakan sistem aliran rendah dengan hidung, nasofaring, orofaring sebagai
penyimpanan anatomik. Sungkup muka dengan kantong rebreating: Aliran O2
diberikan 6-10 liter/menit dengan konsentrasi O2 dicapai 80%.
- Udara inspirasi sebagian bercampur dengan udara expirasi dimana 1/3 bagian
volume udara exhalasi masuk kekantong dan 2/3 nya melalui lubang-lubang bagian
samping.
Sungkup muka dengan kantong non rebreating:
- Aliran O2 diberikan 8-12 liter/menit, dengan konsentrasi O2 mencapai 100%.
- Udara inspirasi tak bercampur dengan udara expirasi (exhalasi) dan tidak
dipengaruhi oleh udara luar.
Kerugian pakai sungkup :
- Mengikat sungkup dengan ketat terus melekat pada pipi pasien agar tak terjadi
kebocoran. Dapat terjadi aspirasi bila pasien muntah terutama kalau tidak sadar.
Sungkup venturi:
Konsentrasi oksigen berkisar antara 25-40% tergantung kebutuhan pasien dipakai
pada pasien dengan tipe ventilasi tidak teratur, hiperkarbi dan hipoksemia sedang
sampai berat.
Yang penting kita harus mengetahui berapa persen kadar oksigen yang kita berikan
dengan cara apapun dan berapa besar kebutuhan pasien.
Tabel pemberian oksigen :
No
Cara pemberian

Aliran oksigen
Konsentrasi O2(FiO2)
Liter/menit
%
--------------------------------------------------------------------------------------------1. Nasal kateter/kanul
1-2
24- 28
3-4
30- 35
5-6
38 - 44

2.

Simple mask

3. Masker dengan kantong


simpan

5-6
6-7
7-8

40
50
60

6
7

60
70

8
9-10
4. Masker venturi

Aliran tetap

5. Head box

8-10

6. Ventilator

bervariasi

7. Mesin anestesi

bervariasi

8. Inkubator

3-8

80
90-99
24-35
40
21-100
21-100
sampai 40

===========================================================
EFEK SAMPING PEMBERIAN OKSIGEN :
1.Oksigen sendiri tidak membakar tetapi adanya O2 berlebihan dalam udara kamar
bila ada sumber api akan meningkatkan resiko kebakaran.
2. Hipoventilasi:
Penderita COPD(PPOM) pengendalian pusat nafas sentral oleh hipoksia (hypoxic
drive) maka bila hipoksia dihilangkan tidak ada rangsangan pada pusat nafas terjadi
hipoventilasi sampai apnoe.
3. Hipoksia bisa terjadi kalau oksigen diberikan dengan tekanan tinggi secara
mendadak.
4. Atelektase terjadi oleh karena pengusiran nitrogen dari alveoli akibat pemberian
oksigen konsentrasi tinggi hampir 100% dalam waktu yang lama.(>24 jam) Gas
nitrogen biasanya meregang dinding alveoli
5. Keracunan oksigen :
Bisa menyeluruh dan bisa setempat. Karena pemberian O2 dengan PaO2 >100
torr dalam waktu lama(bervariasi untuk setiap individu), pada keadaan akut bisa
terjadi kejang dan pada keadaan kronis gejala nyeri retro sternal, parestesia, mual
dan muntah. Pada bayi prematur bisa terjadi retrolental fibroplasia karena
penyempitan pembuluh darah retina akibat fibrosis. Keracunan lokal terjadi
kerusakan sel epitel kapiler paru sehingga difusi terganggu. Pencegahan jangan
memberi oksigen konsentrasi >50% lebih dari 24 jam dan setiap pemberian oksigen
konsentrasi tinggi harus dipantau PaO2.
Ringkasan :
Terapi oksigen tidak cukup hanya memberi O2 tapi harus dikoreksi latar belakang
terjadinya hipoksia dan didukung pengatahuan yang cukup mengenai faal respirasi,
sirkulasi dan sifat dari oksigen itu sendiri. Oksigen sebagai terapi haruslah dianggap

sebagai obat dalam penggunaannya harus tepat dosis, indikasi, cara pemberian dan
cara mencegah
atau mengatasi efek sampingnya.
Dalam pemberian oksigen dosis tinggi jangan lupa pantau PaO2.

CHECKLIST & PENILAIAN

No
1
2
3
4
1
2
3

4
5
6

Daftar cek penuntun belajar prosedur terapi oksigen


PERSIAPAN ALAT
Informed consent

Sumber oksigen (tabung) atau sumber oksigen


sentral.siap pakai
Tabung pelembab (humidifier).
Pengukur aliran oksigen (flow meter).
TERAPI OKSIGEN
Tanpa gangguan nafas oksigen diberikan 2 liter/menit
melalui kanul binasal.
Dengan gangguan nafas sedang oksigen diberikan 5-6 liter
per menit melalui kanul binasal.
Gangguan nafas berat, gagal jantung, henti jantung gunakan
sistem yang dapat memberi oksigen 100%, dengan
menggunakan AMBU Bag :
a. Pasang handscun
b. 2 jari berada di atas sungkup muka,
menekan sungkup muka ke bawah
c. 3 jari lain berada di Ramus Mandibula,
mengangkat mandibula ke atas
d. Dengan gerakan yang lembut, kantung
AMBU Bag ditekan sampai dada terangkat
Pada pasien yang rangsangan nafas tergantung hipoksia beri
oksigen <50% , awasi ketat.
Atur kadar oksigen berdasarkan PaO2 atau SaO2 kalau ada
fasilitas BGA
Dalam keaaan darurat lakukan bantuan nafas, intubasi beri
100% O2.

ASPEK PENILAIAN SKILLS LAB TERAPI OKSIGEN DAN VTP


KETERAMPILAN KLINIK TERAPI OKSIGEN DAN VTP
Nilai:
0 = tidak melakukan
1 = melakukan sebagian
2 = melakukan seluruhnya namun tidak sempurna
3 = melakukan seluruhnya dengan sempurna
KOMUNIKASI:
Mendapatkan persetujuan tindakan pemeriksaan fisik dari pasien (consent)
mampu membina hubungan baik dengan pasien secara verbal dan non verbal ( ramah ,
tebuka, kontak mata,salam, empati dan hubungan komunikasi dua arah, respon)
menggunakan bahasa yang bisa dimengerti
memberikan kesempatan pasien untuk bertanya
NILAI:
0 = tidak melakukan poin komunikasi
1 = melakukan 1 poin komunikasi
2 = melakukan 2-3 poin komunikasi
3 = melakukan semua poin komunikasi
PERILAKU PROFESIONAL:
melakukan setiap tindakan secara hati-hati dan teliti sehingga tidak membahayakan
pasien dan diri sendiri
memperhatikan kenyamanan pasien
melakukan tindakan sesuai dengan prioritas
menunjukkan rasa hormat kepada pasien
NILAI:
0 = tidak melakukan poin Perilaku Profesional
1 = melakukan 1 poin Perilaku Profesional
2 = melakukan 2-3 poin Perilaku Profesional
3 = melakukan semua poin Perilaku Profesional

PENULIS & KONSULTAN


PENULIS : dr. Indra Kusuma
KONSULTAN : dr. Oxy Cahyo Wahyuni, Sp.EM

REFERENSI

Hamilton Bailey : Demonstration of Phisical Signs in Clinical Surgery Ed 17: 1992


rev.2008 : ELBS: Great Britain

ENDOTRACHEAL TUBE

TUJUAN SKILL LAB


1. Mahasiswa dapat memahami cara melakukan tindakan Endotracheal Tube
2. Mahasiswa dapat melakukan endotracheal tube
ALAT DAN BAHAN

1. Manequin Intubasi Endotracheal


2. Laringoskop, yaitu alat yang dipergunakan untuk melihat laring. Ada dua jenis
laringoskop yaitu :
i. Blade lengkung (McIntosh)
ii. Blade lurus.
3. Pipa endotrakheal
4. Pipa orofaring atau nasofaring.
5. Plester
6. Stilet atau forsep intubasi.
7. Alat pengisap atau suction.

TEORI

Intubasi Endotrakeal

Sejak dilakukannya tindakan bedah, sebenarnya kalangan medis telah berusaha untuk
melakukan tindakan anestesi yang bertujuan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri
atau rasa sakit. Pada prinsipnya, seorang penderita akan dibuat tidak sadarkan diri dengan
melakukan tindakan-tindakan yang sering dilakukan secara fisik seperti memukul, mencekik
dan lain sebagainya. Hal tersebut terpaksa dilakukan agar pasien tidak merasa kesakitan dan
akhirnya meloncat dari meja operasi yang mengakibatkan terganggunya jalannya acara
operasi.
Sejak diperkenalkannya penggunaan gas ether oleh William Thomas Greene Morton pada
tahun 1846 di Boston Amerika Serikat, maka berangsur-angsur cara-cara kekerasan fisik
yang sering dilakukan untuk mencapai keadaan anestesi mulai ditinggalkan. Penemuan
tersebut merupakan titik balik dalam sejarah ilmu bedah, karena membuka cakrawala
kemungkinan dilakukannya tindakan bedah yang lebih luas, mudah serta manusiawi.
Dalam suatu tindakan operasi, seorang dokter bedah tidak dapat bekerja sendirian dalam
membedah pasien sekaligus menciptakan keadaan anestesi. Dibutuhkan keberadaan seorang
dokter anestesi untuk mengusahakan, menangani dan memelihara keadaan anestesi pasien.
Tugas seorang dokter anestesi dalam suatu acara operasi antara lain :
1. Menghilangkan rasa nyeri dan stress emosi selama dilakukannya proses pembedahan atau
prosedur medik lain.
2. Melakukan pengelolaan tindakan medik umum kepada pasien yang dioperasi, menjaga
fungsi organ-organ tubuh berjalan dalam batas normal sehingga keselamatan pasien tetap
terjaga.
3. Menciptakan kondisi operasi dengan sebaik mungkin agar dokter bedah dapat melakukan
tugasnya dengan mudah dan efektif.
Salah satu usaha yang mutlak harus dilakukan oleh seorang dokter ahli anestesi adalah
menjaga berjalannya fungsi organ tubuh pasien secara normal, tanpa pengaruh yang berarti
akibat proses pembedahan tersebut. Pengelolaan jalan napas menjadi salah satu bagian yang
terpenting dalam suatu tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yang
dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan napas berjalan dengan baik.
Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan tindakan
intubasi endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam saluran pernapasan
bagian atas. Karena syarat utama yang harus diperhatikan dalam anestesi umum adalah
menjaga agar jalan napas selalu bebas dan napas dapat berjalan dengan lancar serta teratur.
Bahkan, menurut Halliday (2002) penggunaan intubasi endotrakheal juga direkomendasikan
untuk neonatus dengan faktor penyulit yang dapat mengganggu jalan napas. Tulisan ini akan
menguraikan tentang intubasi endotrakheal, dan hanya akan dibatasi pada permasalahan
tersebut.
2.1. Anatomi-Fisiologi Saluran Napas Bagian Atas.
Dalam melakukan tindakan intubasi endotrakheal terlebih dahulu kita harus memahami
anatomi dan fisiologi jalan napas bagian atas dimana intubasi itu dipasang. Pada pembahasan
tentang anatomi dan fisiologi ini, penyusun akan menguraikan tentang beberapa hal yang
menyangkut fisiologi rongga orofaring, sebagian naso faring dan akan lebih ditekankan lagi
pada bagian laring.

Sistem respirasi manusia mempunyai gambaran desain umum yang dapat dihubungkan
dengan sejumlah aktivitas penting. Secara esensial tentunya sistem ini terdiri dari permukaan
respirasi dan bercabang menjadi pasase konduksi yang membentuk pohon pernafasan.
Permukaan respirasi ini sangat luas kurang lebih 200 m2, dan membentuk sesuatu yang
sangat tipis, barier yang lembab untuk udara dan kapiler darah mengelilingi berjuta-juta
kantong yang disebut alveolus yang akhirnya membentuk suatu massa paru-paru.
2.1.1. Respirasi Internal dan Eksternal
Respirasi merupakan kombinasi dari proses fisiologi dimana oksigen dihisap dan
karbondioksida dikeluarkan oleh sel-sel dalam tubuh. Hal ini merupakan proses pertukaran
gas yang penting.
Respirasi dibagi dalam dua fase. Fase pertama ekspirasi eksternal dalam pengertian yang
sama dengan bernafas. Ini merupakan kombinasi dari pergerakan otot dan skelet, dimana
udara untuk pertama kali didorong ke dalam paru dan selanjutnya dikeluarkan. Peristiwa ini
termasuk inspirasi dan ekspirasi. Fase yang lain adalah respirasi internal yang meliputi
perpindahan / pergerakan molekul-molekul dari gas-gas pernafasan (oksigen dan
karbondioksida) melalui membrana, perpindahan cairan, dan sel-sel dari dalam tubuh sesuai
keperluan.
2.1.2. Organ-organ pernafasan
Traktus respiratorius ini meliputi: (a) rongga hidung (b) laring (c) trakea (d) bronkhus (e)
paru-paru dan (f) pleura. Faring mempunyai dua fungsi yaitu untuk sistem pernafasan dan
sistem pencernaan. Beberapa otot berperan dalam proses pernafasan. Diafragma merupakan
otot pernafasan yang paling penting disamping muskulus intercostalis interna dan eksterna
beberapa otot yang lainnya.
a) Rongga hidung
Pembagian rongga hidung :
- nares
- vestibulum
- regio olfactorius dan respiratorius
- concha nasalis
- lapisan membrana mukosa
efitel yang bersilia
sel-sel olfactorius
- Cavum nasal

nares anterior dan posterior


sinus frontalis dan maxillaris
- Fungsi hidung
proses kimiawi udara
melembabkan udara
2.1.3. Faring dan Laring
Hubungan faring dengan proses respirasi. Faring yang sering disebut-sebut adalah bagian dari
sistem pencernaan dan juga bagian dari sistem pernafasan. Hal ini merupakan jalan dari udara
dan makanan. Udara masuk ke dalam rongga mulut atau hidung melalui faring dan masuk ke
dalam laring. Nasofaring terletak di bagian posterior rongga hidung yang menghubungkannya
melalui nares posterior. Udara masuk ke bagian faring ini turun melewati dasar dari faring
dan selanjutnya memasuki laring.
Kontrol membukanya faring, dengan pengecualian dari esofagus dan membukanya tuba
auditiva, semua pasase pembuka masuk ke dalam faring dapat ditutup secara volunter.
Kontrol ini sangat penting dalam pernafasan dan waktu makan, selama membukanya saluran
nafas maka jalannya pencernaan harus ditutup sewaktu makan dan menelan atau makanan
akan masuk ke dalam laring dan rongga hidung posterior.
Laring. Organ ini (kadang-kadang disebut sebagai Adams Apple) terletak di antara akar
lidah dan trakhea. Laring terdiri dari 9 kartilago melingkari bersama dengan ligamentum dan
sejumlah otot yang mengontrol pergerakannya. Kartilago yang kaku pada dinding laring
membentuk suatu lubang berongga yang dapat menjaga agar tidak mengalami kolaps. Dalam
kaitan ini, maka laring membentuk trakea dan berbeda dari bangunan berlubang lainnya.
Laring masih terbuka kecuali bila pada saat tertentu seperti adduksi pita suara saat berbicara
atau menelan. Pita suara terletak di dalam laring, oleh karena itu ia sebagai organ pengeluaran
suara yang merupakan jalannya udara antara faring dan laring.
Bagian laring sebelah atas luas, sementara bagian bawah sempit dan berbentuk silinder.
Kartilago laring merupakan kartilago yang paling besar dan berbentuk V yaitu kartilago
tiroid. Kartilago ini terdiri dari dua kartilago yang cukup lebar, dimana pada bagian depan
membentuk suatu proyeksi subkutaneus yang dikenal sebagai Adams Apple atau penonjolan
laringeal. Kartilago ini menempel pada tulang lidah melalui membrana hyotiroidea, suatu
lembaran ligamentum yang luas dan terhadap kartilago krikoid oleh suatu elastic cone
suatu ligamentum yang sebagian besar terdiri dari jaringan elastik berwarna kuning.
Kartilago krikoid lebih kecil tapi lebih tebal terdiri dari cincin depan, tetapi meluas ke dalam
suatu struktur menyerupai plat untuk membentuk bagian bawah dan belakang laring.
Kartilago arytenoid berjumlah dua buah terletak pada batas atas dari bagian yang luas sebelah
posterior krikoid. Kartilago ini kecil dan berbentuk piramid.
Epiglotis, kartilago yang berbentuk daun terletak di pangkal lidah dan kartilago tiroid pada
linea mediana anterior. Kartilago ini melebar secara oblik ke belakang dan atas.
Rongga laring, rongga ini dimulai pada pertemuan antara faring dan laring serta ujung dari

bagian bawah kartilago krikoid dimana ruangan ini akan berlanjut dengan trakhea. Bagian ini
dibagi ke dalam dua bagian oleh vokal fold dan ventrikuler fold secara horizontal. Vokal fold
atau pita suara merupakan dua ligementum yang kuat dimana meluas dari sudut antara bagian
depan terhadap dua kartilago aritenoid pada bagian belakang. Ventrikuler fold sering disebut
sebagai pita suara palsu yang terdiri dari lipatan membrana mukosa dan terselip suatu pita
jaringan ikat. Lipatan-lipatan berada di samping terhadap pita suara yang asli. Ruangan di
antara lipatan pita disebut sebagai glottis, bentuknya bervariasi sesuai dengan ketegangan
lipatan pita.
Fungsi laring, yaitu mengatur tingkat ketegangan dari pita suara yang selanjutnya mengatur
suara. Laring juga menerima udara dari faring diteruskan ke dalam trakhea dan mencegah
makanan dan air masuk ke dalam trakhea. Kedua fungsi ini sebagian besar dikontrol oleh
muskulus instrinsik laring.
Pengaturan suara. Otot-otot laring baik yang memisahkan vokal fold atau yang membawanya
bersama, pada kenyataannya mereka dapat menutup glotis kedap udara, seperti halnya pada
saat seseorang mengangkat beban berat atau terjadinya regangan pada waktu defekasi dan
juga pada waktu seseorang menahan nafas pada saat minum. Bila otot-otot ini relaksasi,
udara yang tertahan di dalam rongga dada akan dikeluarkan dengan suatu tekanan yang
membukanya dengan tiba-tiba yang menyebabkan timbulnya suara ngorok.
Pengaliran udara pada trakhea, glotis hampir terbuka setiap saat dengan demikian udara
masuk dan keluar melalui laring. Namun akan menutup pada saat menelan. Epiglotis yang
berada di atas glottis berfungsi sebagai penutup laring. Ini akan dipaksa menutup glottis bila
makanan melewatinya pada saat menelan. Epiglotis juga sangat berperan pada waktu
memasang intubasi, karena dapat dijadikan patokan untuk melihat pita suara yang berwarna
putih yang mengelilingi lubang.
2.2. Pengertian Intubasi Endotrakheal.
Menurut Hendrickson (2002), intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui
mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trakhea. Pada intinya,
Intubasi Endotrakhea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakha ke dalam trakhea
sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan dikendalikan
2.3. Tujuan Intubasi Endotrakhea.
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk membersihkan saluran
trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta
mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan
intubasi endotrakheal:
a. Mempermudah pemberian anestesia.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran
pernafasan.
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar,
lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.

e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.


f. Mengatasi obstruksi laring akut.
2.4. Indikasi dan Kontraindikasi.
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele tahun 2002 antara lain :
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri dan
lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida di
arteri.
c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai bronchial
toilet.
d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien
dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
Dalam sumber lain disebutkan indikasi intubasi endotrakheal
a. Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.

antara

lain

b. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena pada
kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan face mask tanpa mengganggu
pekerjaan ahli bedah.
c. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan tidak ada
ketegangan.
d. Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan dengan mudah,
memudahkan respiration control dan mempermudah pengontrolan tekanan intra pulmonal.
e. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal.
f. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.
g. Tracheostomni.
h. Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.
Indikasi intubasi nasal antara lain :
a. Bila oral tube menghalangi pekerjaan dokter bedah, misalnya tonsilektomi, pencabutan
gigi, operasi pada lidah.
b. Pemakaian laringoskop sulit karena keadaan anatomi pasien.
c. Bila direct vision pada intubasi gagal.

d. Pasien-pasien yang tidak sadar untuk memperbaiki jalan nafas.


Selain intubasi endotrakheal diindikasikan pada kasus-kasus di ruang bedah, ada beberapa
indikasi intubasi endotrakheal pada beberapa kasus nonsurgical, antara lain:
a. Asfiksia neonatorum yang berat.
b. Untuk melakukn resusitasi pada pasien yang tersumbat pernafasannya, depresi atau abcent
dan sering menimbulkan aspirasi.
c. Obstruksi laryngeal berat karena eksudat inflamatoir.
d. Pasien dengan atelektasis dan tanda eksudasi dalam paru-paru.
e. Pada pasien-pasien yang diperkirakan tidak sadar untuk waktu yang lebih lama dari 24 jam
seharusnya diintubasi.
f. Pada post operative respiratory insufficiency.
beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal antara lain :
a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan untuk
dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa
kasus.
b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga
sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
2.5. Posisi Pasien untuk Tindakan Intubasi.
Gambaran klasik yang betul ialah leher dalam keadaan fleksi ringan, sedangkan kepala dalam
keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai Sniffing in the air possition. Kesalahan yang umum
adalah mengekstensikan kepala dan leher.
2.6. Teknik Pemasangan.
Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal (Mansjoer Arif et.al., 2000)
biasanya dijumpai pada pasien-pasien dengan :
a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara mental
symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar memerlukan depresi rahang bawah
yang lebih lebar selama intubasi.
c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi.

d. Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).


e. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang sendi
temporomandibuler, spondilitis servical spine.
f. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi kepala pada leher
di sendi atlantooccipital.
g. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan fleksi leher.
2.7.Alat-alat.
Alat-alat yang dipergunakan dalam suatu tindakan intubasi endotrakheal antara lain :
a. Laringoskop, yaitu alat yang dipergunakan untuk melihat laring. Ada dua jenis laringoskop
yaitu :
i. Blade lengkung (McIntosh). Biasa digunakan pada laringoskop dewasa.
ii. Blade lurus. Laringoskop dengan blade lurus (misalnya blade Magill) mempunyai teknik
yang berbeda. Biasanya digunakan pada pasien bayi dan anak-anak, karena mempunyai
epiglotis yang relatif lebih panjang dan kaku. Trauma pada epiglotis dengan blade lurus lebih
sering terjadi.
b. Pipa endotrakheal. Biasanya terbuat dari karet atau plastik. Pipa plastik yang sekali pakai
dan lebih tidak mengiritasi mukosa trakhea. Untuk operasi tertentu misalnya di daerah kepala
dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi.
Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal mempunyai balon
(cuff) pada ujunga distalnya. Terdapat dua jenis balon yaitu balon dengan volume besar dan
kecil. Balon volume kecil cenderung bertekanan tinggi pada sel-sel mukosa dan mengurangi
aliran darah kapiler, sehingga dapat menyebabkan ischemia. Balon volume besar melingkupi
daerah mukosa yang lebih luas dengan tekanan yang lebih rendah dibandingkan dengan
volume kecil. Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit
jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon
karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa digunakan dengan
diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 9,0 mm dan perempuan 7,5 8,5 mm. Untuk
intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 23 cm. Pada anak-anak dipakai rumus :
Panjang
pipa
yang
masuk
(mm)
=
Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm lebih besar dan lebih
kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat diperkirakan dengan melihat besarnya jari
kelingkingnya.
c. Pipa orofaring atau nasofaring. Alat ini digunakan untuk mencegah obstruksi jalan nafas
karena jatuhnya lidah dan faring pada pasien yang tidak diintubasi.
d. Plester untuk memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan intubasi.
e. Stilet atau forsep intubasi. Biasa digunakan untuk mengatur kelengkungan pipa
endotrakheal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi (McGill) digunakan untuk
memanipulasi pipa endotrakheal nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring.

f. Alat pengisap atau suction.


2.8. Tindakan Intubasi.
Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa prosedur yang telah
ditetapkan antara lain :
a. Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal
dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau botol
infus 1 gram), sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada
dalam satu garis lurus.
b. Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi
dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit. Sungkup muka
dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.
c. Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang
dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan pandang akan
terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan
kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan
tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak
keputihan berbentuk huruf V.
d. Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut
kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan
pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat
tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi
diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa
dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
e. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu
ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri
sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi
endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas
kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas
terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai
ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah
epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop),
kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin
membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan
oksigenasi yang cukup.
f. Ventilasi. Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien bersangkutan.
2.9. Obat-Obatan yang Dipakai.
Berikut ini adalah obat-obat yang biasa dipakai dalam tindakan intubasi endotrakheal, antara
lain :

a. Suxamethonim (Succinil Choline), short acting muscle relaxant merupakan obat yang
paling populer untuk intubasi yang cepat, mudah dan otomatis bila dikombinasikan dengan
barbiturat I.V. dengan dosis 20 100 mg, diberikan setelah pasien dianestesi, bekerja kurang
dari 1 menit dan efek berlangsung dalam beberapa menit. Barbiturat Suxamethonium baik
juga untuk blind nasal intubation, Suxamethonium bisa diberikan I.M. bila I.V. sukar
misalnya pada bayi.
b. Thiophentone non depolarizing relaxant : metode yang bagus untuk direct vision
intubation. Setelah pemberian nondepolarizing / thiophentone, kemudian pemberian O2
dengan tekanan positif (2-3 menit) setelah ini laringoskopi dapat dilakukan. Metode ini tidak
cocok bagi mereka yang belajar intubasi, dimana mungkin dihadapkan dengan pasien yang
apneu dengan vocal cord yang tidak tampak.
c. Cyclopropane : mendepresi pernafasan dan membuat blind vision intubation sukar.
d. I.V. Barbiturat sebaiknya jangan dipakai thiopentone sendirian dalam intubasi. Iritabilitas
laringeal meninggi, sedang relaksasi otot-otot tidak ada dan dalam dosis besar dapat
mendepresi pernafasan.
e. N2O/O2, tidak bisa dipakai untuk intubasi bila dipakai tanpa tambahan zat-zat lain.
penambahan triklor etilen mempermudah blind intubation, tetapi tidak memberikan relaksasi
yang diperlukan untuk laringoskopi.
f. Halotan (Fluothane), agent ini secara cepat melemaskan otot-otot faring dan laring dan
dapat dipakai tanpa relaksan untuk intubasi.
g. Analgesi lokal dapat dipakai cara-cara sebagai berikut :
- Menghisap lozenges anagesik.
- Spray mulut, faring, cord.
- Blokade bilateral syaraf-syaraf laringeal superior.
- Suntikan trans tracheal.
Cara-cara tersebut dapat dikombinasikan dengan valium I.V. supaya pasien dapat lebih
tenang. Dengan sendirinya pada keadaan-keadaan emergensi. Intubasi dapat dilakukan tanpa
anestesi. Juga pada necnatus dapat diintubai tanpa anestesi.
2.10. Komplikasi Intubasi Endotrakheal.
A. Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi
a. Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta malposisi laringeal cuff.
b. Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa mulut, cedera
tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal.

c. Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial meningkat, tekanan


intraocular meningkat dan spasme laring.
d. Malfungsi tuba berupa perforasi cuff.
B. Komplikasi pemasukan pipa endotracheal.
a. Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial dan malposisi
laringeal cuff.
b. Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta ekskoriasi kulit hidung.
c. Malfungsi tuba berupa obstruksi.
C. Komplikasi setelah ekstubasi.
a. Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau trachea), suara sesak
atau parau (granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan aspirasi laring.
b. Gangguan refleks berupa spasme laring.

CHECKLIST & PENILAIAN

No
1
2
3
1

Daftar cek penuntun belajar prosedur Endotracheal Tube


PERSIAPAN PRE OPERASI
Informed consent
Kiri pasien
: laringoskop dalam posisi terbalik
Kanan pasien : AMBU Bag, ET (Endotrakeal Tube), OPA
(OroPharyngeal Airway), Spuit, Plester
Ventilasi Tekanan Positif (VTP) O2 100%
a. Pasang handscun
b. 2 jari berada di atas sungkup muka,
menekan sungkup muka ke bawah
c. 3 jari lain berada di Ramus Mandibula,
mengangkat mandibula ke atas
d. Dengan gerakan yang lembut, kantung
AMBU Bag ditekan sampai dada terangkat
e. VTP dilakukan sampai pasien TIDAK
HIPOKSIA lagi yang bisa dilihat dari
Saturasi O2 yang baik atau tidak ada tanda
sianosis di sentral maupun perifer
f. Apabila dada tidak terangkat maka
dilakukan manuver jalan nafas kembali
untuk membuka nafas
LARINGOSKOPI INTUBASI
a. Laringoskop dinyalakan
b. Buka mulut dengan tangan kanan, gerakan

c.
d.
e.
f.

g.

h.
i.
j.

k.
l.

jari menyilang (ibu jari menekan mandibula


ke bawah, jari telunjuk menekan maksila ke
atas)
Pegang laringoskop dengan tangan kiri
Masukkan mulai dari sisi kanan kemudian
menyingkirkan lidah ke kiri
Cari epiglotis. Tempatkan ujung bilah
laringoskop di valekula (pertemuan
epiglotis dan pangkal lidah)
Angkat epiglotis dengan elevasi
laringoskop ke atas (jangan menggunakan
gigi seri atas sebagai tumpuan!!!) untuk
melihat plica vocalis
Bila tidak terlihat, minta bantuan asisten
untuk melakukan BURP Manuver (Back,
Up, Right Pressure) pada cartilago cricoid
sampai terlihat plica vocalis
Masukkan ET sampai ujung proksimal cuff
ET melewati plica vocalis
Kembangkan cuff ET secukupnya (sampai
tidak ada kebocoran udara)
Cek dengan cara memberikan VTP. Pada
pasien cek dengan auskultasi menggunakan
stetoskop, bandingkan suara nafas paru
kanan sama dengan paru kiri
Setelah pasti diletakkan di trakea, pasang
OPA supaya tidak tergigit oleh pasien
Fiksasi supaya tidak lepas mulai dari sisi
sebelah atas kemudian memutar dan
menyilang ke sebelah bawah.

ASPEK PENILAIAN SKILLS LAB ENDOTRACHEAL TUBE


KETERAMPILAN KLINIK ENDOTRACHEAL TUBE
Nilai:
0 = tidak melakukan
1 = melakukan sebagian
2 = melakukan seluruhnya namun tidak sempurna
3 = melakukan seluruhnya dengan sempurna
KOMUNIKASI:
Mendapatkan persetujuan tindakan pemeriksaan fisik dari pasien (consent)
mampu membina hubungan baik dengan pasien secara verbal dan non verbal ( ramah ,
tebuka, kontak mata,salam, empati dan hubungan komunikasi dua arah, respon)
menggunakan bahasa yang bisa dimengerti
memberikan kesempatan pasien untuk bertanya

NILAI:
0 = tidak melakukan poin komunikasi
1 = melakukan 1 poin komunikasi
2 = melakukan 2-3 poin komunikasi
3 = melakukan semua poin komunikasi
PERILAKU PROFESIONAL:
melakukan setiap tindakan secara hati-hati dan teliti sehingga tidak membahayakan
pasien dan diri sendiri
memperhatikan kenyamanan pasien
melakukan tindakan sesuai dengan prioritas
menunjukkan rasa hormat kepada pasien
NILAI:
0 = tidak melakukan poin Perilaku Profesional
1 = melakukan 1 poin Perilaku Profesional
2 = melakukan 2-3 poin Perilaku Profesional
3 = melakukan semua poin Perilaku Profesional

PENULIS & KONSULTAN


PENULIS : dr. Indra Kusuma
KONSULTAN : dr. Oxy Cahyo Wahyuni, Sp.EM
REFERENSI

1. Hartanto, W.W., 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Bagian Farmakologi
Klinik dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
2. Hasan F. Terapi Cairan. 2008. Di unduh dari
http://drfhasan.blogspot.com/2008/01/referat-terapi-cairan.html.
3. Latief AS, dkk. 2002. Petunjuk praktis anestesiologi: terapi cairan pada pembedahan.
Ed.Kedua. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI.
4. Hamilton Bailey : Demonstration of Phisical Signs in Clinical Surgery Ed 17: 1992
rev.2008 : ELBS: Great Britain

TRANSPORT PASIEN

TUJUAN SKILL LAB


1. Mahasiswa dapat memahami cara transport pasien
2. Mahasiswa dapat melakukan tindakan transport pasien
ALAT DAN BAHAN

1. Long spine board


2. Cervical colar
TEORI

Stabilisasi & Transportasi Pasien


PENGERTIAN STABILISASI Adalah proses untuk menjaga kondisi dan posisi penderita/
pasien agar tetap stabil selama pertolongan pertama TRANSPORTASI Adalah proses usaha
untuk memindahkan dari tempat satu ke tempat lain tanpa atau mempergunakan alat.
Tergantung situasi dan kondisi di lapangan PADA DASARNYA PROSES STABILISASI
DAN TRANSPORTASI BERJALAN BERSAMA-SAMA
Prinsip Stabiliasi : Menjaga korban supaya tidak banyak bergerak sehubungan dengan
keadaan yang dialami Menjaga korban agar pernafasannya tetap stabil Menjaga agar posisi

patah tulang yang telah dipasang bidai tidak berubah Menjaga agar perdarahan tidak
bertambah. Menjaga agar tingkat kesadaran korban tidak jatuh pada keadaan yang lebih
buruk lagi Pasien tetap selamat sampai tujuan , kondisi tidak makin buruk

TRANSPORTASI
Persiapan Transportasi Penderita Tempat Tujuan Sarana Alat Personil. Penilaian Layak
Pindah A Airway (jalan napas) B Breathing (pernapasan) C Circulation (aliran darah) D
Disability (kesadaran) Kondisi Stabil

Mengangkat yang aman Digunakan otot yang kuat antara lain : otot paha,otot pinggul dan
otot bahu Ikuti cara-cara berikut : Pikirkan cara masak-masak sebelum mengangkat korban
Berdiri sedekat mungkin dengan pasien atau alat-alat angkat Pusatkan kekuatan pada lutut
Atur punggung tegak namun tidak kaku Gunakan kaki untuk menopang tenaga yang
diperlukan Selanjutnya bergeraklah secara halus tahanlah si pasien atau alat angkut dekat ke
saudara
Aturan dalam penanganan dan pemindahan korban Pemindahan korban dilakukan apabila
diperlukan betul dan tidak membahayakan penolong Terangkan kepada korban secara jelas
tentang apa yang akan dilakukan sehingga korban kooperatif Libatkan penolong lain.
Yakinkan penolong lain mengerti apa yang akan dikerjakan Pertolongan pemindahan korban
dibawah satu komando agar dapat dikerjakan bersamaan Pakailah cara mengangkat korban
dengan teknik yang benar agar tidak menyebabkan cidera punggung si penolong
Perlengkapan Pertolongan Pertama Perlengkapan dasar - Tempat/ kotak tak tembus air Berbagai ukuran pembalut - Kassa steril - Pembalut segi tiga - Peniti - Sarung tangan
Perlengkapan tambahan - Pembalut elastis - Gunting - Desinfektan - Kapas - Plester perekat alat tulis dan tabel - Alat pelindung diri - Selimut, alas dari plastik, lampu dengan baterai
Tanpa Alat Proses pemindahan dilakukan oleh satu penolong, dua penolong atau lebih tanpa
menggunakan alat. - oleh satu orang : diseret, dipapah, ditimang, digendong - Oleh dua
penolong : . Dua tangan menyangga paha, dua tangan menyangga punggung . Satu penolong
mengangkat korban dari punggung, penolong yang lain menyangga tungkai - Oleh tiga/
empat orang diangkat bersama-sama posisi korban terbaring
1 . Cara Menolong Satu Orang Cara mengangkat yang aman : - Pikir masak-masak sebelum
mengangkat/ konsentrasi - Berdiri sedekat mungkin dengan korban - Pusatkan kekuatan pada

lutut - Atur punggung tegak namun tidak kaku - Gunakan kaki untuk menopang tenaga yang
diperlukan - Selanjutnya bergeraklah secara halus
A. Human Crutch Berdiri disamping korban disisi yang cidera atau yang lemah, rangkulkan
satu lengan pasien pada leher penolong dan gaitlah tangan korban atau pergelangannya
Rangkulkan tangan penolong yang lain dari arah belakang menggait pinggang korban
Bergeraklah pelan-pelan maju Selanjutnya selundupkan kedua tongkat masing-masing di kiri
dan kanan tepi kanvas yang sudah dilipat dan dijahit Angkat dan angkut korban hati-hati

B. Cara Drag (diseret) Jongkoklah dibelakang korban Susupkan kedua lengan penolong di
bawah ketiak kiri dan kanan korban, gapai dan pegang kedua pergelangan tangan korban Bila
korban pakai jaket buka semua kancingnya TIDAK BOLEH DILAKUKAN PADA
KORBAN CIDERA PUNDAK, KEPALA DAN LEHER

C. Cara Cradle (dipopong) Jongkoklah dibelakang korban letakkan satu lengan penolong
merangkul dibawah punggung korban sedikit diatas pinggang. Letakkan tangan yang lain
dibawah paha korban tepat dilipatan lutut. Berdirilah pelan-pelan dan bersamaan mengangkat
korban

Cara Pick A Back (Ngaplok di Punggung) Jongkoklah didepan korban dengan punggung
menghadap korban. Anjurkan korban meletakkan kedua tangannya merangkul diatas pundak
penolong Gapai dan peganglah paha korban, pelan-pelan angkat keatas menempel pada
punggung penolong

2. Tenaga Penolong 2 Orang Cara Ditandu dengan kedua lengan penolong ( Cara The Two
Handed Seat ) 1. Kedua penolong jongkok dan saling berhadapan disamping kiri dan kanan
korban, lengan kanan penolong kiri dan lengan kiri penolong kanan menyilang dibelakang
punggung korban, menggapai dan menarik ikat pinggang korban 2. Kedua tangan penolong
yang menerobos dibawah lutut korban saling bergandengan dan mengait dengan cara saling
memegang pergelangan tangan 3. Makin mendekatlah para penolong. Tahan dan atur
punggung penolong tegap. Angkatlah korban perlahan-lahan bergerak keatas

B. Cara The Fore and Aft Carry Dudukkan pasien. Kedua lengan menyilang di dada. Rangkul
dengan menyusupkan lengan penolong dibawah ketiak korban Pegang pergelangan tangan
kiri pasien oleh tangan kanan penolong. Dan tangan kanan penolong ke tangan kiri korban
Penolong yang lain jongkok disamping korban setinggi lutut dan mencoba mengangkat kedua
paha korban Bekerjalah secara koordinatif

Tanpa Alat 2 penolong

3. Cara Penolong 4 Orang Memakai Tandu/ Stretcher - Peraturan umum membawa korban
dengan usungan kepala korban diarah belakang, Kecuali keadaan2 tertentu : a. korban
kedinginan yang amat sangat, kerusakan tungkai berat, menuruni tangga/ bukit. b. korban
stroke, trauma kepala, letak kepala harus lebih tinggi dari letak kaki
Setiap pengangkat siap di keempat sudut, Apabila hanya ada 3 penolong dua penolong berada
di bagian kepala Masing-masing pengangkat jongkok dan menggapai masing-masing
pegangan dengan kokoh Dibawah komando salah satu pengangkat di bagian kepala, keempat
mengangkat bersamaan Selanjutnya komando berikutnya pengangkat bergerak maju
perlahan-lahan Untuk menurunkan usungan, keempat pengangkat berhenti bersamaan dan
perlahan-lahan menurunkan usungan.

Dengan bantuan alat Bisa dilakukan oleh dua/ empat orang dengan menggunakan alat bantu :
Dengan menggunakan kursi kayu Dengan menggunakan tandu/ usungan Dengan
menggunakan kursi beroda atau tandu beroda Dapat menggunakan kendaraan bermotor.

Alat Bantu Transportasi

LOG ROLL
Dengan komando dari pemegang kepala Perhatikan posisi tangan para penolong,tangan
saling menyilang Melakukan Log Roll

Prinsip Melakukan Immobilisasi Tulang & Log Roll Long Spine Board dengan tali pengikat
In Line Immobilisasi kepala leher kolar servikal semi rigid Lengan penderita diluruskan dan
diletakkan disamping badan Tungkai bawah diluruskan dalm posisi kesegarisan,kedua
pergelangan kaki diikat satu sama lain dengan plester Gerakan Log Roll Spine board hanya
untuk transfer penderita Bantal pasir dikiri dan kanan kepala leher dan diikat Bahaya
pemakaian long spine board lebih dari 2 jam dikubitus di oksiput,skapula,sakrum,tumit

MELEPAS H E LM

Melakukan log roll Dengan komando dari pemegang kepala Perhatikan posisi tangan para
penolong, tangan saling menyilang

KOMUNIKASI Proses penyampaian suatu ide,pesan,atau data dari satu pihak ke pihak lain
Peran Komunikasi 1. Pelayanan gawat darurat sehari-hari,rujuk-merujuk pasien 2. Kondisi
bencana Early warning-mobilisasi 3. Pengusir rasa terisolasi

Cara transportasi dan rujukan yang baik Dokter yang merujuk Informasi petugas pendamping
Dukumentasi Sebelum dirujuk dilakukan Stabilisasi.

CHECKLIST & PENILAIAN

No
1
2
3
4

Daftar cek penuntun belajar prosedur Transport Pasien

Informed consent
Mencuci tangan dengan larutan antiseptik
Memakai hand scun
Melakukan transport pasien

ASPEK PENILAIAN SKILLS LAB TRANSPORT PASIEN


KETERAMPILAN KLINIK TRANSPORT PASIEN
Nilai:
0 = tidak melakukan
1 = melakukan sebagian
2 = melakukan seluruhnya namun tidak sempurna
3 = melakukan seluruhnya dengan sempurna
KOMUNIKASI:
Mendapatkan persetujuan tindakan pemeriksaan fisik dari pasien (consent)
mampu membina hubungan baik dengan pasien secara verbal dan non verbal ( ramah ,
tebuka, kontak mata,salam, empati dan hubungan komunikasi dua arah, respon)
menggunakan bahasa yang bisa dimengerti
memberikan kesempatan pasien untuk bertanya
NILAI:
0 = tidak melakukan poin komunikasi
1 = melakukan 1 poin komunikasi
2 = melakukan 2-3 poin komunikasi
3 = melakukan semua poin komunikasi
PERILAKU PROFESIONAL:
melakukan setiap tindakan secara hati-hati dan teliti sehingga tidak membahayakan
pasien dan diri sendiri
memperhatikan kenyamanan pasien
melakukan tindakan sesuai dengan prioritas
menunjukkan rasa hormat kepada pasien
NILAI:
0 = tidak melakukan poin Perilaku Profesional
1 = melakukan 1 poin Perilaku Profesional
2 = melakukan 2-3 poin Perilaku Profesional
3 = melakukan semua poin Perilaku Profesional

PENULIS & KONSULTAN


PENULIS : dr. Indra Kusuma
KONSULTAN : dr. Oxy Cahyo Wahyuni, Sp.EM
REFERENSI

1. Hartanto, W.W., 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Bagian Farmakologi
Klinik dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
2. Hasan F. Terapi Cairan. 2008. Di unduh dari
http://drfhasan.blogspot.com/2008/01/referat-terapi-cairan.html.
3. Latief AS, dkk. 2002. Petunjuk praktis anestesiologi: terapi cairan pada pembedahan.
Ed.Kedua. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI.
4. Hamilton Bailey : Demonstration of Phisical Signs in Clinical Surgery Ed 17: 1992
rev.2008 : ELBS: Great Britain

MANUVER HEIMLICH

TUJUAN SKILL LAB

1.
2.
3.
4.

Mahasiswa mampu untuk melakukan prosedur manuver heimlich


Mahasiswa dapat melakukan informed consent tentang tindakan yang akan dilakukan
Mahasiswa dapat memahami indikasi dan cara melakukan manuver heimlich
Mahasiswa dapat melakukan manuver heimlich dengan baik dan benar

ALAT DAN BAHAN

1) sarung tangan steril

TEORI

Pendahuluan
Manuver Heimlich
Tersedak biasanya terjadi karena makanan yang kurang dikunyah dengan baik "memasuki
saluran yang salah". Tersedak menyebabkan tersumbatnya saluran pernapasan di sekitar
tenggorokan (laring) atau saluran pernapasan (trakea) sehingga dapat menyebabkan kematian.
Aliran udara menuju paru-paru pun terhambat sehingga aliran darah yang menuju otak dan
organ tubuh lain terputus.
Data Centers for Disease Control (CDC) seperti dilansir ilansir dari Healthday, Selasa
(20/5/2010), menyebutkan 60 persen kasus tersedak disebabkan oleh makanan. 31 persen
oleh benda lain yang bukan makanan, dan 9 persen lagi penyebabnya tidak tercatat.
Berikut beberapa faktor pemicu gangguan tersedak :
* Tersedak akibat tidak sempurna mengunyah makanan, yang tersangkut di tenggorokan atau
saluran pernapasan. Makanan padat seperti daging sering menjadi penyebabnya.
* Umumnya orang tersedak saat mengunyah makanan sambil berbicara.
* Gigi palsu juga merupakan salah satu penyebab orang tersedak. Gigi palsu tak mungkin
bisa mengunyah makanan sebaik gigi asli karena gigi palsu kurang memberi tekanan
pengunyahan.
* Orang yang tersedak biasanya panik. Wajahnya terlihat ketakutan. Awalnya wajahnya
tampak kemerahan, kedua matanya melotot, dan napasnya tersengal-sengal.
* Apabila makanan salah masuk, dengan batuk berkali-kali secara refleks hal tersebut akan
teratasi. Yang pasti, seseorang tidak tersedak bila ia dapat batuk dengan leluasa, warna kulit

tidak berubah dan masih mampu berbicara. Sebalinya, bila batuknya terdengar seperti
tertahan dan kulit wajahnya menjadi biru, ada kemungkinan ia tersedak.
* Kalau ragu-ragu, tanyakan langsung apakah dia mampu berbicara. Apabila bisa, berarti
saluran pernapasannya tidak sepenuhnya tersumbat dan oksigen dapat mencapai paru-paru.
Sebaliknya, orang yang tersedak tidak mampu berbicara, hanya menggerak-gerakkan tangan.
* Ciri umum orang tersedak adalah tangan memegangi tenggorokan dengan kuat, ibu jari dan
jari-jari direntangkan.
Saat tersedak, umumnya anak memberi tanda dengan meletakkan tangannya di leher. Tanda
lain yang mungkin menyertai antara lain:
1. Tidak mampu bicara
2. Sulit bernafas atau nafasnya bersuara
3. Tidak bisa batuk
4. Bibir, kulit dan menghitam
5. Kehilangan kesadaran atau pingsan
Pertolongan Pertama Pada tersedak.
Sering terjadi seseorang saat makan tersedak oleh karena suatu sebab, misalnya kaget, atau
berbicara saat makan, Dalam film-film sering dinampakkan terjadinya kesedakan pada
restoran , Keadaan ini sering disebut sebagi Cafe Symdrom.
Tersedak ternyata bukan masalah sepele karena saat tersedak jalan napas atau tenggorokan
tersumbat. Keadaan ini dapat menyebabkan pingsan atau bahkan kematian.Berikut ini adalah
langkah-langkah pertolongan pertama pada tersedak dengan Hemlich Maneuver.
Langkah pertama
Mintalah kepada orang yang tersedak untuk berdiri bila dia dalam posisi duduk.
Langkah kedua

Berdirilah di belakang orang yang tersedak.


Langkah ketiga
Tenangkan korban dengan mengatakan Anda tahu cara melakukan Heimlich maneuvei; dan
akan berusaha menolongnya.

Langkah keempat

Lingkarkan kedua tangan Anda ke pinggangnya . Bungkukkan orang itu sedikit ke depan.

Langkah kelima

Kepalkan salah satu tangan Anda dan taruh di bagian atas pusar korban.
Langkah Keenam

Pegang erat-erat kepalan Anda itu dengan tangan lain.

Langkah ketujuh

Tekan kuat sambil mendorong cepat ke atas.


Langkah kedelapan
Lakukan setiap penekanan dengan cukup kuat untuk mengeluarkan benda yang tersedak.
Langkah kesembilan
Mengerti bahwa penekanan yang dilakukan menyebabkan diafragma naik ke atas dan
menyebabkan udara keluar dari paru-paru, menyebabkan korban terbatuk.
Langkah kesepuluh
Jagalah pegangan tetap kuat pada korban meskipun korban kehilangan kesadaran dan jatuh ke
lantai bila Heimlich manuver tidak berhasil dilakukan.
Langkah kesebelas
Ulangi lakukan Heimlich maneuver sampai benda yang tersedak tersebut dapat dikeluarkan.

CHECKLIST & PENILAIAN

No

Daftar cek penuntun belajar prosedur Manuver Heimlich

Mintalah kepada orang yang tersedak untuk berdiri bila dia


dalam posisi duduk
Berdiri dibelakang pasien
Tenangkan pasien
Lingkarkan kedua tangan Anda ke pinggangnya .
Bungkukkan orang itu sedikit ke depan.
Kepalkan salah satu tangan Anda dan taruh di bagian atas
pusar korban
Pegang erat-erat kepalan Anda itu dengan tangan lain.
Tekan kuat sambil mendorong cepat ke atas.
Lakukan setiap penekanan dengan cukup kuat untuk
mengeluarkan benda yang tersedak.

2
3
4
5
6
7
8

ASPEK PENILAIAN SKILLS LAB MANUVER HEIMLICH


KETERAMPILAN KLINIK MANUVER HEIMLICH
Nilai:
0 = tidak melakukan
1 = melakukan sebagian
2 = melakukan seluruhnya namun tidak sempurna
3 = melakukan seluruhnya dengan sempurna
KOMUNIKASI:
Mendapatkan persetujuan tindakan pemeriksaan fisik dari pasien (consent)
mampu membina hubungan baik dengan pasien secara verbal dan non verbal ( ramah ,
tebuka, kontak mata,salam, empati dan hubungan komunikasi dua arah, respon)
menggunakan bahasa yang bisa dimengerti
memberikan kesempatan pasien untuk bertanya
NILAI:
0 = tidak melakukan poin komunikasi
1 = melakukan 1 poin komunikasi
2 = melakukan 2-3 poin komunikasi
3 = melakukan semua poin komunikasi
PERILAKU PROFESIONAL:
melakukan setiap tindakan secara hati-hati dan teliti sehingga tidak membahayakan
pasien dan diri sendiri
memperhatikan kenyamanan pasien
melakukan tindakan sesuai dengan prioritas
menunjukkan rasa hormat kepada pasien
NILAI:
0 = tidak melakukan poin Perilaku Profesional
1 = melakukan 1 poin Perilaku Profesional
2 = melakukan 2-3 poin Perilaku Profesional
3 = melakukan semua poin Perilaku Profesional

PENULIS & KONSULTAN


PENULIS : dr. Indra Kusuma
KONSULTAN : dr. Oxy Cahyo Wahyuni, Sp.EM

REFERENSI

1. Hartanto, W.W., 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Bagian Farmakologi
Klinik dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
2. Hasan F. Terapi Cairan. 2008. Di unduh dari
http://drfhasan.blogspot.com/2008/01/referat-terapi-cairan.html.
3. Latief AS, dkk. 2002. Petunjuk praktis anestesiologi: terapi cairan pada pembedahan.
Ed.Kedua. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI.
4. Hamilton Bailey : Demonstration of Phisical Signs in Clinical Surgery Ed 17: 1992
rev.2008 : ELBS: Great Britain

RESUSITASI CAIRAN DAN


PF DERAJAT DEHIDRASI

TUJUAN SKILL LAB


1. Mahasiswa dapat memahami indikasi resusitasi cairan
2. Mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan derajat dehidrasi
ALAT DAN BAHAN

1) Abbocath
2) Kassa steril
3) Plester
4) Sarung tangan steril
5) Infus set
6) Povidon iodine 10%
7) Alkohol 70%
8) Kapas
9) Botol infus
10) Manequin tangan untuk pemasangan infus

TEORI

TERAPI / RESUSITASI CAIRAN (THERAPY / FLUID RESUSCITATION)


BAB I
PENDAHULUAN
Sebagaimana kita ketahui,sebagian besar tubuh manusia terdiri atas cairan yang jumlahnya
berbeda-beda tergantung usia dan jenis kelamin serta banyaknya lemak di dalam tubuh.
Dengan makan dan minum tubuh mendapatkan air, elektrolit serta nutrien-nutrien yang lain.
Dalam waktu 24 jam jumlah air dan elektrolit yang masuk setara dengan jumlah yang keluar.
Pengeluaran cairan dan elektrolit dari tubuh dapat berupa urin, tinja, keringan dan uap air
pada saat bernapas.

Terapi cairan dibutuhkan bila tubuh tidak dapat memasukka air, elektrolit serta zat-zat
makanan ke dalam tubuh secara oral misalnya pada saat pasien harus berpuasa lama, karena
pembedahan saluran cerna, perdarahan banyak, syok hipovolemik, anoreksia berat, mual
muntah dan lain-lain. Dengan terapi cairan kebutuhan akan air da elektrolit akan terpenuhi.
Selain itu terapi cairan juga dapat digunakan untuk memasukkan obat dan zat makanan secara
rutin atau juga digunakan untuk menjaga keseimbangan asam basa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi Cairan Tubuh
Cairan tubuh adalah cairan suspensi sel di dalam tubuh makhluk multiseluler seperti manusia
atau hewan yang memiliki fungsi fisiologis tertentu.
II. Fisiologi Cairan Tubuh dan Elektrolit
A. Distribusi cairan tubuh
Air adalah pelarut (solven) terpenting dalam komposisi cairan makhluk hidup. Persentase air
tubuh total (Total Body Water) terhadap berat badan berubah sesuai umur, menurun cepat
pada awal kehidupan. Pada saat lahir, TBW 78% berat badan. Pada beberapa bulan pertama
kehidupan, TBW turun cepat mendekati kadar dewasa 55-60 % berat badan pada saat usia 1
tahun. Pada masa pubertas, terjadi perubahan TBW selanjutnya. Karena lemak mempunyai
kadar air yang lebih rendah, persentase TBW terhadap berat badan lebih rendah pada wanita
dewasa yang mempunyai lebih banyak lemak tubuh (55%) daripada laki-laki, yang
mempunyai sedikit lemak. Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen
intraselular dan kompartemen ekstraselular.
Cairan intraselular
Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraselular. Pada orang dewasa, sekitar
dua pertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di intraselular (sekitar 27 liter rata-rata untuk
dewasa laki-laki dengan berat badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya pada bayi hanya
setengah dari berat badannya merupakan cairan intraselular. Cairan intraseluler terlibat dalam
proses metabolik yang menghasilkan energi yang berasal dari nutrien-nutrien dalam cairan
tubuh.
Cairan ekstraselular
Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Cairan ekstraseluler berperan
dalam mempertahankan sistem sirkulasi, mensuplai nutrient ke dalam sel, dan membuang zat
sisa yang bersifat toksik. Jumlah relatif cairan ekstraselular berkurang seiring dengan usia.
Pada bayi baru lahir, sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular.
Cairan ekstraselular dibagi menjadi :
o Cairan Interstitial
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar 11- 12 liter pada
orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial.
o Cairan Intravaskular
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya volume plasma).
Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6L dimana 3 liternya merupakan plasma,
sisanya terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan platelet.

o Cairan transeluler
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti serebrospinal,
perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran pencernaan. Pada keadaan
sewaktu, volume cairan transeluler adalah sekitar 1 liter, tetapi cairan dalam jumlah banyak
dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler.

Table 1. Distribusi cairan tubuh


B. Komponen cairan tubuh
Selain air, cairan tubuh mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit dan non elektrolit.
Elektrolit
Merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus listrik. Elektrolit
dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif (anion). Jumlah kation dan anion
dalam larutan adalah selalu sama (diukur dalam miliekuivalen).
Kation : Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+), sedangkan kation
utama dalam cairan intraselular adalah potassium (K+). Suatu sistem pompa terdapat di
dinding sel tubuh yang memompa keluar sodium dan potassium ini.
Natrium
Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler dan paling berperan di dalam
mengatur keseimbangan cairan. Kadar natrium plasma: 135-145mEq/liter.12 Kadar natrium
dalam tubuh 58,5mEq/kgBB dimana + 70% atau 40,5mEq/kgBB dapat berubah-ubah. Ekresi
natrium dalam urine 100-180mEq/liter, faeces 35mEq/liter dan keringat 58mEq/liter.
Kebutuhan setiap hari = 100mEq (6-15 gram NaCl).
Natrium dapat bergerak cepat antara ruang intravaskuler dan interstitial maupun ke dalam dan
keluar sel. Apabila tubuh banyak mengeluarkan natrium (muntah,diare) sedangkan
pemasukkan terbatas maka akan terjadi keadaan dehidrasi disertai kekurangan natrium.
Kekurangan air dan natrium dalam plasma akan diganti dengan air dan natrium dari cairan
interstitial. Apabila kehilangan cairan terus berlangsung, air akan ditarik dari dalam sel dan
apabila volume plasma tetap tidak dapat dipertahankan terjadilah kegagalan sirkulasi.
Kalium
Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan ekstraseluler berperan penting di
dalam terapi gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Jumlah kalium dalam tubuh sekitar
53 mEq/kgBB dimana 99% dapat berubah-ubah sedangkan yang tidak dapat berpindah
adalah kalium yang terikat dengan protein didalam sel.

Kadar kalium plasma 3,5-5,0 mEq/liter, kebutuhan setiap hari 1-3 mEq/kgBB. Keseimbangan
kalium sangat berhubungan dengan konsentrasi H+ ekstraseluler. Ekskresi kalium lewat urine
60-90 mEq/liter, faeces 72 mEq/liter dan keringat 10 mEq/liter.
Kalsium
Kalsium dapat dalam makanan dan minuman, terutama susu, 80-90% dikeluarkan lewat
faeces dan sekitar 20% lewat urine. Jumlah pengeluaran ini tergantung pada intake, besarnya
tulang, keadaan endokrin. Metabolisme kalsium sangat dipengaruhi oleh kelenjar-kelenjar
paratiroid, tiroid, testis, ovarium, da hipofisis. Sebagian besar (99%) ditemukan didalam gigi
dan + 1% dalam cairan ekstraseluler dan tidak terdapat dalam sel.
Magnesium
Magnesium ditemukan di semua jenis makanan. Kebutuhan unruk pertumbuhan + 10
mg/hari. Dikeluarkan lewat urine dan faeces.
Anion: Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat
(HCO3-), sedangkan anion utama dalam cairan intraselular adalah ion fosfat (PO43-).
Karbonat
Asam karbonat dan karbohidrat terdapat dalam tubuh sebagai salah satu hasil akhir daripada
metabolisme. Kadar bikarbonat dikontrol oleh ginjal. Sedikit sekali bikarbonat yang akan
dikeluarkan urine. Asam bikarbonat dikontrol oleh paru-paru dan sangat penting peranannya
dalam keseimbangan asam basa.
Non elektrolit
Merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi dalam cairan. Zat lainya
termasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.
C. Proses Pergerakan Cairan Tubuh
Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh melibatkan mekanisme
transpor pasif dan aktif. Mekanisme transpor pasif tidak membutuhkan energy sedangkan
mekanisme transpor aktif membutuhkan energi. Difusi dan osmosis adalah mekanisme
transpor pasif. Sedangkan mekanisme transpor aktif berhubungan dengan pompa Na-K yang
memerlukan ATP.
Proses pergerakan cairan tubuh antar kompertemen dapat berlangsung secara:
a. Osmosis
Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran semipermeabel
(permeabel selektif) dari larutan berkadar lebih rendah menuju larutan berkadar lebih tinggi
hingga kadarnya sama. Seluruh membran sel dan kapiler permeable terhadap air, sehingga
tekanan osmotik cairan tubuh seluruh kompartemen sama. Membran semipermeabel ialah
membran yang dapat dilalui air (pelarut), namun tidak dapat dilalui zat terlarut misalnya
protein.

Tekanan osmotik plasma darah ialah 285+ 5 mOsm/L. Larutan dengan tekanan osmotik kirakira sama disebut isotonik (NaCl 0,9%, Dekstrosa 5%, Ringer laktat). Larutan dengan
tekanan osmotik lebih rendah disebut hipotonik (akuades), sedangkan lebih tinggi disebut
hipertonik.
b. Difusi
Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan bergerak dari
konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah. Tekanan hidrostatik pembuluh darah
juga mendorong air masuk berdifusi melewati pori-pori tersebut. Jadi difusi tergantung
kepada perbedaan konsentrasi dan tekanan hidrostatik.
c. Pompa Natrium Kalium
Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transpor yang memompa ion natrium keluar
melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa ion kalium dari luar ke dalam.
Tujuan dari pompa natrium kalium adalah untuk mencegah keadaan hiperosmolar di dalam
sel.
D. Asupan dan ekskresi cairan dan elektrolit fisiologis
Homeostasis cairan tubuh yang normalnya diatur oleh ginjal dapat berubah oleh stres akibat
operasi, kontrol hormon yang abnormal, atau pun oleh adanya cedera pada paru-paru, kulit
atau traktus gastrointestinal.
Pada keadaan normal, seseorang mengkonsumsi air rata-rata sebanyak 2000-2500 ml per
hari, dalam bentuk cairan maupun makanan padat dengan kehilangan cairan rata rata 250 ml
dari feses, 800-1500 ml dari urin, dan hampir 600 ml kehilangan cairan yang tidak disadari
(insensible water loss) dari kulit dan paru-paru.
I. Perubahan cairan tubuh
Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu :
1. Perubahan volume
a. Defisit volume
Defisit volume cairan ekstraselular merupakan perubahan cairan tubuh yang paling umum.
Penyebab paling umum adalah kehilangan cairan di gastrointestinal akibat muntah, penyedot
nasogastrik, diare dan drainase fistula. Penyebab lainnya dapat berupa kehilangan cairan
pada cedera jaringan lunak, infeksi, inflamasi jaringan, peritonitis, obstruksi usus, dan luka
bakar. Keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan menimbulkan tanda gangguan pada
susunan saraf pusat dan jantung. Pada kehilangan cairan yang lambat lebih dapat ditoleransi
sampai defisi volume cairan ekstraselular yang berat terjadi.
Dehidrasi
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum dari natrium menjadi
isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (<139 mEq/L) atau hipernatremik (>150
mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering terjadi (80%), sedangkan
dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-10% dari kasus.

Dehidrasi isotonis (isonatremik): terjadi ketika kehilangan cairan hampir sama dengan
konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan cairan dan natrium besarnya relatif sama
dalam kompartemen intravaskular maupun kompartemen ekstravaskular.
Dehidrasi hipotonis (hiponatremik): terjadi ketika kehilangan cairan dengan kandungan
natrium lebih banyak dari darah (kehilangan cairan hipertonis). Secara garis besar terjadi
kehilangan natrium yang lebih banyak dibandingkan air yang hilang. Karena kadar natrium
serum rendah, air di kompartemen intravaskular berpindah ke kompartemen ekstravaskular,
sehingga menyebabkan penurunan volume intravaskular.15
Dehidrasi hipertonis (hipernatremik): terjadi ketika kehilangan cairan dengan kandungan
natrium lebih sedikit dari darah (kehilangan cairan hipotonis). Secara garis besar terjadi
kehilangan air yang lebih banyak dibandingkan natrium yang hilang. Karena kadar natrium
tinggi, air di kompartemen ekstraskular berpindah ke kompartemen intravaskular, sehingga
meminimalkan penurunan volume intravaskular.15
b. Kelebihan volume
Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat iatrogenic (pemberian
cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan kelebihan air dan NaCl ataupun pemberian
cairan intravena glukosayang menyebabkan kelebihan air) ataupun dapat sekunder akibat
insufisiensi renal (gangguan pada GFR), sirosis, ataupun gagal jantung kongestif.9,10
Kelebihan cairan intaseluler dapat terjadi jika terjadi kelebihan cairan tetapi jumlah NaCl
tetap atau berkurang.10
2. Perubahan konsentrasi
a. Hiponatremia
Kadar natrium normal 135-145 mEq/L, bila kurang dari 135 mEq/ L, sudah dapat dibilang
hiponatremia. Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental,
letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan
timbul gejala kejang, koma. Hiponatremia ini dapat disebabkan oleh euvolemia (SIADH,
polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah, third space losses,
diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis). Keadaan ini dapat diterapi dengan restriksi cairan
(Na+ 125 mg/L) atau NaCl 3% ssebanyak (140-X)xBBx0,6 mg dan untuk pediatrik 1,5-2,5
mg/kg.12
Koreksi hiponatremia yang sudah berlangsung lama dilakukan scara perlahanlahan,
sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif. Untuk menghitung Na serum yang
dibutuhkan dapat menggunakan rumus :
Na= Na1 Na0 x TBW
Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq)
Na1 = 125 mEq/L atau Na serum yang diinginkan
Na0 = Na serum yang aktual
TBW = total body water = 0,6 x BB (kg)

b. Hipernatremia
Bila kadar natrium lebih dari 145 mEq/L disebut dengan hiperkalemia. Jika kadar natrium >
160 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan mental, letargi, kejang, koma, lemah.
Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan cairan (diare, muntah, diuresis, diabetes
insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang, asupan natrium berlebihan. Terapi keadaan
ini adalah penggantian cairan dengan 5% dekstrose dalam air sebanyak {(X-140) x BB x
0,6}: 140.12
c. Hipokalemia
Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut kalium dari cairan
ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis kadar total kalium tubuh. Tanda
dan gejala hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan EKG (QRS segmen
melebar, ST segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan otot skeletal, poliuria, intoleransi
glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor presipitasi (alkalosis,
hipomagnesemia, obat-obatan), infuse potasium klorida sampai 10 mEq/jam (untuk mild
hipokalemia ;>2 mEq/L) atau infus potasium klorida sampai 40 mEq/jam dengan monitoring
oleh EKG (untuk hipokalemia berat;<2mEq/L disertai perubahan EKG, kelemahan otot yang
hebat).13 Rumus untuk menghitung defisit kalium18 :
K = K1 K0 x 0,25 x BB
K = kalium yang dibutuhkan
K1 = serum kalium yang diinginkan
K0 = serum kalium yang terukur
BB = berat badan (kg)
d. Hiperkalemia
Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi renal atau obat yang
membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik). Tanda dan
gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan otot) dan sistem
kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Terapi untuk hiperkalemia dapat berupa
intravena kalsium klorida 10% dalam 10 menit, sodium bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10
menit, atau diuretik, hemodialisis.
3. Perubahan komposisi
a. Asidosis respiratorik (pH< 3,75 dan PaCO2> 45 mmHg)
Kondisi ini berhubungan dengan retensi CO2 secara sekunder untuk menurunkan ventilasi
alveolar pada pasien bedah. Kejadian akut merupakan akibat dari ventilasi yang tidak adekuat
termasuk obstruksi jalan nafas, atelektasis, pneumonia, efusi pleura, nyeri dari insisi abdomen
atas, distensi abdomen dan penggunaan narkose yang berlebihan. Manajemennya melibatkan
koreksi yang adekuat dari defek pulmonal, intubasi endotrakeal, dan ventilasi mekanis bila
perlu. Perhatian yang ketat terhadap higiene trakeobronkial saat post operatif adalah sangat
penting.
b. Alkalosis respiratorik (pH> 7,45 dan PaCO2 < 35 mmHg)
Kondisi ini disebabkan ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera SSP, dan ventilasi yang dibantu.
Pada fase akut, konsentrasi bikarbonat serum normal, dan alkalosis terjadi sebagai hasil dari
penurunan PaCO2 yang cepat. Terapi ditujukan untuk mengkoreksi masalah yang mendasari

termasuk sedasi yang sesuai, analgesia, penggunaan yang tepat dari ventilator mekanik, dan
koreksi defisit potasium yang terjadi.
c. Asidosis metabolik (pH<7,35 dan bikarbonat <21 mEq/L)
Kondisi ini disebabkan oleh retensi atau penambahan asam atau kehilangan bikarbonat.
Penyebab yang paling umum termasuk gagal ginjal, diare, fistula usus kecil, diabetik
ketoasidosis, dan asidosis laktat. Kompensasi awal yang terjadi adalah peningkatan ventilasi
dan depresi PaCO2. Penyebab paling umum adalah syok, diabetik ketoasidosis, kelaparan,
aspirin yang berlebihan dan keracunan metanol. Terapi sebaiknya ditujukan terhadap koreksi
kelainan yang mendasari. Terapi bikarbonat hanya diperuntukkan bagi penanganan asidosis
berat dan hanya setelah kompensasi alkalosis respirasi digunakan.
d. Alkalosis metabolik (pH>7,45 dan bikarbonat >27 mEq/L)
Kelainan ini merupakan akibat dari kehilangan asam atau penambahan bikarbonat dan
diperburuk oleh hipokalemia. Masalah yang umum terjadi pada pasien bedah adalah
hipokloremik, hipokalemik akibat defisit volume ekstraselular. Terapi yang digunakan adalah
sodium klorida isotonik dan penggantian kekurangan potasium. Koreksi alkalosis harus
gradual selama perode 24 jam dengan pengukuran pH, PaCO2 dan serum elektrolit yang
sering.
II. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pembedahan
Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang umum terjadi pada
pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif, intraoperatif dan postoperatif.
A. Faktor-faktor preoperatif
1. Kondisi yang telah ada
Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat diperburuk oleh stres akibat
operasi.
2. Prosedur diagnostik
Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan marker intravena dapat
menyebabkan ekskresi cairan dan elektrolit urin yang tidak normal karena efek diuresis
osmotik.
3. Pemberian obat
Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi eksresi air dan elektrolit
4. Preparasi bedah
Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan air dan elekrolit dari traktus
gastrointestinal.
5. Penanganan medis terhadap kondisi yang telah ada
6. Restriksi cairan preoperatif
Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat kehilangan cairan sekitar
300-500 mL. Kehilangan cairan dapat meningkat jika pasien menderita demam atau adanya
kehilangan abnormal cairan.

7. Defisit cairan yang telah ada sebelumnya


Harus dikoreksi sebelum operasi untuk meminimalkan efek dari anestesi.

B. Faktor-faktor intraoperatif
1. Induksi anestesi
Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan hipovolemia preoperatif karena
hilangnya mekanisme kompensasi seperti takikardia dan vasokonstriksi.
2. Kehilangan darah yang abnormal
3. Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya kehilangan cairan
ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat operasi)
4. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada luka operasi yang
besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan)
C. Faktor-faktor postoperatif
1. Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi
2. Peningkatan katabolisme jaringan
3. Penurunan volume sirkulasi yang efektif
4. Risiko atau adanya ileus postoperatif
III. Terapi Cairan
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-batas
fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma ekspander) secara
intravena.
Terapi cairan berfungsi untuk mengganti defisit cairan saat puasa sebelum dan sesudah
pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti perdarahan yang
terjadi, dan mengganti cairan yang pindah ke rongga ketiga.
Terapi cairan resusitasi
Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh atau
ekspansi cepat dari cairan intravaskuler untuk memperbaiki perfusi jaringan. Misalnya pada
keadaan syok dan luka bakar. Terapi cairan resusitasi dapat dilakukan dengan pemberian
infus Normal Saline (NS), Ringer Asetat (RA), atau Ringer laktat (RL) sebanyak 20 ml/kg
selama 30-60 menit. Pada syok hemoragik bisa diberikan 2-3 L dalam 10 menit.
Terapi rumatan
Terapi rumatan bertujuan memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi. Orang dewasa
rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan elektrolit utama Na+=1-2
mmol/kgBB/haridan K+= 1mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut merupakan pengganti
cairan yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat (lewat kulit)
dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible water losses.
Untuk anak digunakan rumus Holiday Segar 4:2:1, yaitu :

Terapi rumatan dapat diberikan infus cairan elektrolit dengan kandungan karbohidrat atau
infus yang hanya mengandung karbohidrat saja. Larutan elektrolit yang juga mengandung
karbohidrat adalah larutan KA-EN, dextran + saline, DGAA, Ringer's dextrose, dll.
Sedangkan larutan rumatan yang mengandung hanya karbohidrat adalah dextrose 5%. Tetapi
cairan tanpa elektrolit cepat keluar dari sirkulasi dan mengisi ruang antar sel sehingga
dextrose tidak berperan dalam hipovolemik.
Dalam terapi rumatan cairan keseimbangan kalium perlu diperhatikan karena seperti sudah
dijelaskan kadar berlebihan atau kekurangan dapat menimbulkan efek samping yang
berbahaya. Umumnya infus konvensional RL atau NS tidak mampu mensuplai kalium sesuai
kebutuhan harian. Infus KA-EN dapat mensuplai kalium sesuai kebutuhan harian.
Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke ruang peritoneum, ke
luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya pembedahan, yaitu :
6-8 ml/kg untuk bedah besar
4-6 ml/kg untuk bedah sedang
2-4 ml/kg untuk bedah kecil
A. Jenis-Jenis Cairan
1. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF). Cairan kristaloid
bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid) ternyata sama efektifnya seperti
pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan
kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit.
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan untuk
resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai cairan
intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami metabolisme di
hati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah NaCl 0,9%,
tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional
hyperchloremic acidosis) dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan
klorida.
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih banyak
menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih
untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel.
Pada suatu penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit larutan
kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan paru serta
berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka, apabila seseorang
mendapat infus 1 liter NaCl 0,9Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat
menyebabkan edema otak dan meningkatnya tekanan intra kranial.
2. Cairan Koloid

Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut plasma substitute atau
plasma expander. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat
molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan
agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid sering
digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik
atau pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak
(misal luka bakar).
Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:
a. Koloid alami:
Yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan 2,5%). Dibuat dengan cara
memanaskan plasma atau plasenta 60C selama 10 jam untuk membunuh virus hepatitis dan
virus lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung albumin (83%) juga mengandung
alfa globulin dan beta globulin.
b. Koloid sintetis:
1. Dextran:
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70 (Macrodex)
dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri Leuconostoc mesenteroides B
yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan volume expander yang
lebih baik dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran
darah lewat sirkulasi mikro karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah. Selain
itu Dextran mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi platelet adhesiveness,
menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran darah.
Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross match, waktu
perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat menimbulkan reaksi
anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.

2. Hydroxylethyl Starch (Heta starch)


Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 1.000.000, rata-rata 71.000,
osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30 mmHg. Pemberian 500 ml larutan ini
pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64%
dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat
meningkatkan kadar serum amilase ( walau jarang). Low molecullar weight Hydroxylethyl
starch (Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5
kali volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai
plasma volume expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu
koagulasi maka Penta starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita
gawat.
3. Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul rata-rata 35.000
dibuat dari hidrolisa kolagen binatang.
Ada 3 macam gelatin, yaitu:
- modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
- Urea linked gelatin

- Oxypoly gelatin

B. Terapi Cairan Preoperatif


Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavement) harus
diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada masa pra-bedah sebelum induksi.
Setelah dari sisa defisit yang masih ada diberikan pada jam pertama pembedahan, sedangkan
sisanya diberikan pada jam kedua berikutnya. Kehilangan cairan di ruang ECF ini cukup
diganti dengan ciran hipotonis seperti garam fisiologis, Ringer Laktat dan Dextrose. Pada
penderita yang karena penyakitnya tidak mendapat nutrisi yang cukup maka sebaiknya
diberikan nutrisi enteral atau parenteral lebih dini lagi. Penderita dewasa yang dipuasakan
karena akan mengalami pembedahan (elektif) harus mendapatkan penggantian cairan
sebanyak 2 ml/kgBB/jam lama puasa. Defisit karena perdarahan atau kehilangan cairan
(hipovolemik, dehidrasi) yang seringkali menyertai penyulit bedahnya harus segera diganti
dengan melakukan resusitasi cairan atau rehidrasi sebelum induksi anestesi.

C. Terapi Cairan Intraoperatif


Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan kebutuhan dasar
ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan (perdarahan, translokasi cairan dan
penguapan atau evaporasi). Jenis cairan yang diberikan tergantung kepada prosedur
pembedahannya dan jumlah darah yang hilang.
1. Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya bedah mata
(ekstrasi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan saja selama pembedahan.
2. Pembedahan dengan trauma ringan misalnya: appendektomi dapat diberikan cairan
sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 4 ml/kgBB/jam untuk pengganti
akibat trauma pembedahan. Total yang diberikan adalah 6 ml/kgBB/jam berupa cairan garam
seimbang seperti Ringer Laktat atau Normosol-R.
3. Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk
kebutuhan dasar ditambah 8 ml/kgBB/jam untuk pembedahannya. Total 10 ml/kgBB/jam.
D. Terapi Cairan Postoperatif
Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini:
1. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi. Kebutuhan air untuk
penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar 50 ml/kgBB/24 jam. Pada hari
pertama pasca bedah tidak dianjurkan pemberian kalium karena adanya pelepasan kalium
dari sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme dan transfusi darah. Akibat stress
pembedahan, akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang cenderung menimbulkan retensi air
dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca bedah tidak perlu pemberian natrium.
Penderita dengan keadaan umum baik dan trauma pembedahan minimum, pemberian
karbohidrat 100-150 mg/hari cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat
menekan pemecahan protein sampai 50% kadar albumin harus dipertahankan melebihi 3,5 gr
%. Penggantian cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila perlu larutan
garamisotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat minum dan makan.
2. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:
- Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan 1C
suhu tubuh
- Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah.
- Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan
humidifikasi.
3. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan yang belum
selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya diberikan transfusi darah untuk
memperbaiki daya angkut oksigen.
4. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan tersebut.
Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi tekanan darah, frekuensi

nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter pupil, jalan nafas, frekuensi nafas, suhu tubuh dan
warna kulit.
KESIMPULAN
Tubuh mengandung 60 % air yang disebut juga cairan tubuh. Cairan tubuh didalamnya
terkandung nutrisi-nutrisi yang amat penting peranannya dalam metabolisme sel, sehingga
amat penting dalam menunjang kehidupan.
Dalam pembedahan, tubuh kekurangan cairan karena perdarahan selama pembedahan
ditambah lagi puasa sebelum dan sesudah operasi. Gangguan dalam keseimbangan cairan dan
elektrolit merupakan hal yang umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktorfaktor preoperatif, perioperatif dan postoperatif.
Terapi cairan parenteral digunakan untuk mempertahankan atau mengembalikan volume dan
komposisi normal cairan tubuh. Dalam terapi cairan harus diperhatikan kebutuhannya sesuai
usia dan keadaan pasien, serta cairan infus itu sendiri. Jenis cairan yang bisa diberikan untuk
terapi cairan adalah cairan kristaloid dan cairan koloid.
DERAJAT DEHIDRASI
Ringan

Sedang

Berat

Mengantuk
Apatis
Respon lambat
Anorexia
Aktivitas menurun

Reflek tendon turun


Anestesi akral distal
Stupor, coma

Takhihardi

Takhihardi
Hipotensi ortostatik
Nadi lemah
Vena klop

Sianosis
Hipotensi
Akral dingin
Nadi perifer tak teraba
Detak jantung jauh

Ringan

Sedang

Berat

SSP

Kardiovaskuler

Jaringan

Mukoksa
Lidah kecil lunak,
lidah kering keriput
Turgor
Turgor

Stonia
Mata cowong
Turgor

Urine

Pekat

Pekat,jumlah kurang Oliguria

Devisit

3 -5 % BB

6 8% BB

10% BB

PENULIS & KONSULTAN


PENULIS : dr. Indra Kusuma
KONSULTAN : dr. Oxy Cahyo Wahyuni, Sp.EM

TRIAGE

TUJUAN SKILL LAB

1. Mahasiswa mampu untuk melakukan prosedur triage


2. Mahasiswa dapat melakukan triage dengan baik dan benar

ALAT DAN BAHAN

1) sarung tangan steril


2) Pita warna merah, kuning, hijau, dan hitam

TEORI

Pendahuluan

Sistem Triase
Triage dari kata Perancis Trier yang artinya membagi dalam 3. Teknik ini
dikembangkan di medan pertempuran, digunakan bila terjadi bencana, dan kemudian
dilaksanakan di ruang gawat darurat.
Pengertian Triage
Triage adalah suatu proses yang mana pasien digolongkan menurut tipe dan tingkat
kegawatan kondisinya. Triage terdiri dari upaya klasifikasi kasus cedera secara cepat
berdasarkan keparahan cedera mereka dan peluang kelangsungan hidup mereka melalui
intervensi medis yang segera. Sistem triage tersebut harus disesuaikan dengan keahlian
setempat. Prioritas yang lebih tinggi diberikan pada korban yang prognosis jangka pendek
atau jangka panjangnya dapat dipengaruhi secara dramatis oleh perawatan sederhana yang
intensif. Sistem triase ini digunakan untuk menentukan prioritas penanganan kegawat
daruratan. Sehingga tenaga medis benar-benar memberikan pertolongan pada pasien yang
sangat membutuhkan dengan penanganan secara cepat dan tepat, dapat menyelamatkan hidup
pasien tersebut.
Tujuan Triage
Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi mengancam nyawa. Tujuan triage

selanjutnya adalah untuk menetapkan tingkat atau derajat kegawatan yang memerlukan
pertolongan kedaruratan.
Kode Warna International Dalam Triage :
1. Prioritas 1 atau Emergensi: warna MERAH (kasus berat)
Pasien dengan kondisi mengancam nyawa, memerlukan evaluasi dan intervensi segera,
perdarahan berat, pasien dibawa ke ruang resusitasi, waktu tunggu 0 (nol)
Asfiksia, cedera cervical, cedera pada maxilla
Trauma kepala dengan koma dan proses shock yang cepat
Fraktur terbuka dan fraktur compound
Luka bakar > 30 % / Extensive Burn
Shock tipe apapun
2. Prioritas 2 atau Urgent: warna KUNING (kasus sedang) PRIORITAS UTAMA
Pasien dengan penyakit yang akut, mungkin membutuhkan trolley, kursi roda atau jalan kaki,
waktu tunggu 30 menit, area critical care.
Trauma thorax non asfiksia
Fraktur tertutup pada tulang panjang
Luka bakar terbatas ( < 30% dari TBW )
Cedera pada bagian / jaringan lunak
3. Prioritas 3 atau Non Urgent: warna HIJAU (kasus ringan)
Pasien yang biasanya dapat berjalan dengan masalah medis yang minimal, luka lama, kondisi
yang timbul sudah lama, area ambulatory / ruang P3.
Minor injuries
Seluruh kasus-kasus ambulant / jalan
4. Prioritas 0: warna HITAM (kasus meninggal)
Tidak ada respon pada semua rangsangan
Tidak ada respirasi spontan
Tidak ada bukti aktivitas jantung
Tidak ada respon pupil terhadap cahaya
START ( Simple triage And Rapid Treatment)
Adalah suatu system yang dikembangkan untuk memungkinkan paramedic memilah korban
dalam waktu yang singkat kira kira 30 detik.
Yang perlu diobservasi : Respiration, Perfusion, dan Mental Status ( RPM ).
System START di desain untuk membantu penolong untuk menemukan pasien yang
menderita luka berat.
START didasarkan pada 3 observasi : RPM (respiration, perfusion, and Mental Status)
1. Respiration / breathing
Jika pasien bernafas, kemudian tentukan frekuensi pernafasanya, jika lebih dari 30 /
menit, korban ditandai Merah / immediate. Korban ini menujukkan tanda tanda
primer shock dan butuh perolongan segera. Jika pasien bernafas dan frekuensinya
kurang dari 30 / menit, segera lakukan observasi selanjutnya ( perfusion and Mental
status ). Jika pasien tidak bernafas, dengan cepat bersihkan mulut korban dari bahan
bahan asing.
2. Perfusion or Circulating
Bertujuan untuk mengecek apakah jantungnya masih memiliki kemampuan untuk

mensirkulasikan darah dengan adekuat, dengan cara mengecek denyut nadi. Jika
denyut nadi lemah dan tidak teratur korban ditandai immediate. Jika denyut nadi telah
teraba segera lakukan obserbasi status mentalnya.
3. Mental status
Untuk mengetesnya dapat dilakukan dengan memberikan instruksi yang mudah pada
korban tersebut : buka matamu atau tutup matamu .

CHECKLIST & PENILAIAN

No
1
2
3
4
5
1
2
3
4

Daftar cek penuntun belajar prosedur Triage

START
Periksa ada nafas spontan atau tidak
Jika ada nafas spontan ada hitung RR
Periksa apakah ada suara nafas tambahan
Check nadi
Memberikan instruksi sederhana kepada pasien buka mata
atau tutup mata
TRIAGE
Tanda merah (emergency) nafas spontan lemah, suara
nafas tambahan (+), nadi (-), respon instruksi sederhana (-)
Tanda kuning (urgency) RR meningkat atau menurun,
nadi lemah, respon instruksi sederhana menurun
Tanda hijau nafas spontan (+) teratur, respon instruksi
sederhana (+)
Tanda hitam nafas spontan (-), nadi (-), respon instruksi
sederhana (-)

ASPEK PENILAIAN SKILLS LAB TRIAGE


KETERAMPILAN KLINIK TRIAGE
Nilai:
0 = tidak melakukan
1 = melakukan sebagian
2 = melakukan seluruhnya namun tidak sempurna
3 = melakukan seluruhnya dengan sempurna
KOMUNIKASI:
Mendapatkan persetujuan tindakan pemeriksaan fisik dari pasien (consent)
mampu membina hubungan baik dengan pasien secara verbal dan non verbal ( ramah ,
tebuka, kontak mata,salam, empati dan hubungan komunikasi dua arah, respon)
menggunakan bahasa yang bisa dimengerti

memberikan kesempatan pasien untuk bertanya


NILAI:
0 = tidak melakukan poin komunikasi
1 = melakukan 1 poin komunikasi
2 = melakukan 2-3 poin komunikasi
3 = melakukan semua poin komunikasi
PERILAKU PROFESIONAL:
melakukan setiap tindakan secara hati-hati dan teliti sehingga tidak membahayakan
pasien dan diri sendiri
memperhatikan kenyamanan pasien
melakukan tindakan sesuai dengan prioritas
menunjukkan rasa hormat kepada pasien
NILAI:
0 = tidak melakukan poin Perilaku Profesional
1 = melakukan 1 poin Perilaku Profesional
2 = melakukan 2-3 poin Perilaku Profesional
3 = melakukan semua poin Perilaku Profesional

PENULIS & KONSULTAN


PENULIS : dr. Indra Kusuma
KONSULTAN : dr. Oxy Cahyo Wahyuni, Sp.EM
1. Hartanto, W.W., 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Bagian Farmakologi
Klinik dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
2. Hasan F. Terapi Cairan. 2008. Di unduh dari
http://drfhasan.blogspot.com/2008/01/referat-terapi-cairan.html.
3. Latief AS, dkk. 2002. Petunjuk praktis anestesiologi: terapi cairan pada pembedahan.
Ed.Kedua. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI.
4. Hamilton Bailey : Demonstration of Phisical Signs in Clinical Surgery Ed 17: 1992
rev.2008 : ELBS: Great Britain

VENA SECTION

TUJUAN SKILL LAB

1.
2.
3.
4.

Mahasiswa mampu untuk melakukan prosedur vena section


Mahasiswa dapat melakukan informed consent tentang tindakan yang akan dilakukan
Mahasiswa dapat memahami indikasi dan cara melakukan vena section
Mahasiswa dapat melakukan vena section dengan baik dan benar

ALAT DAN BAHAN

1) Sarung tangan steril


2) Duk steril
3) Bisturi
4) Scaple
5) Anesthesi local (lidocain)
6) Spuit 3cc
7) Benang catgut
8) Needle holder
9) Klem pean arteri bengkok
10) Klem pean arteri lurus
11) Kassa steril
12) Alkohol 90%
13) Kapas
14) Povidone iodine

TEORI

Pendahuluan

Vena seksi
a. Definisi
Vena seksi merupakan prosedur pembedahan gawat darurat untuk mendapatkan akses
pembuluh darah vena pada resusitasi penderita syok hipovolemik.
b. Ruang lingkup

Syok merupakan keadaan dimana terdapat ketidak normalan dari sistem peredaran darah
yang mengakibatkan perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat. Salah satu
jenis keadaan syok ini adalah syok hipovolemik, dimana penyebabnya bisa karena perdarahan
atau bukan perdarahan. Penanganan pertama dari keadaan syok hipovolemik adalah resusitasi
cairan baik peroral, enteral maupun perenteral. Perenteral disini meliputi pembedahan dan
non pembedahan. Dalam kaitan penegakan diagnosa dan pengobatan, diperlukan beberapa
disiplin ilmu terkait antara lain patologi klinik, dan radiologi.
c. Indikasi operasi
Penderita syok hipovolemik yang dengan cara non pembedahan (perkutaneus) tidak
bisa didapatkan akses vena untuk resusitasi cairan.
d. Kontra indikasi operasi:
Trombosis vena
Koagulopati (PT atau PTT > 1.5 x kontrol)
e. Diagnosis Banding untuk Syok hipovolemik
Syok kardiogenik
Syok septik
Syok neurogenik
f. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan ronsen (toraks dan panggul)
2. Lavase peritoneal untuk diagnosis perdarahan intra abdominal
3. Ultrasound abdominal
4. Foto polos toraks
Setelah memahami, menguasai dan mengerjakan modul ini maka diharapkan seorang dokter
ahli bedah mempunyai kompetensi operasi vena seksi serta penerapannya dapat dikerjakan di
RS Pendidikan dan RS jaringan pendidikan.
8.2. Kompetensi terkait dengan modul
Tahapan Bedah Dasar ( semester I III )
Persiapan pra operasi : (Syok hipovolemik)
o Anamnesis
o Pemeriksaan Fisik
o Pemeriksaan penunjang
o Informed consent
Melakukan vena seksi
Follow up dan rehabilitasi
Tahapan bedah lanjut (Smstr. IV-VII) dan Chief residen (Smstr VIII-IX )
Persiapan pra operasi :
o Anamnesis
o Pemeriksaan Fisik
o Pemeriksaan penunjang
o Informed consent
Melakukan Operasi (vena seksi)
o Penanganan komplikasi
o Follow up dan rehabilitasi

8.3. Algoritma dan Prosedur


Algoritma
Syok

Hipovolemik

Perdarahan

kardiogenik

Non Hipovolemik

Non
Perdarahan

neurogenik

septik

ABCDE
Resusitasi Cairan
(& Transfusi)
1. Akses Vena perifer
2. Akses Vena femoral
3. Akses Vena sentral

Respon
Cepat

Respon
sementara

Tanpa
Respon

8.4. Tehnik Operasi


1. Siapkan kulit pergelangan kaki dengan larutan antiseptik dan tutup daerah lapangan
operasi dengan duk steril atau bisa juga daerah femoral atau di lengan penderita.
2. Lakukan anestesi infiltrasi pada kulit dengan lidokain 0.5%.
3. Insisi kulit melintang setebalnya dibuat di daerah anestesia sepanjang 2.5 cm.
4. Diseksi tumpul, dengan menggunakan klem hemostat yang lengkung, vena
diidentifikasi dan dipotong dan dibebaskan dari semua jaringan disekitarnya.
5. Angkat dan diseksi vena tsb sepanjang kira-kira 2cm untuk melepaskannya dari dasar.
6. Ikat vena bagian distal, dan mobilisasi vena, tinggalkan jahitan di tempat untuk ditarik
(traction).
7. Pasang pengikat keliling pembuluhnya, arah cephalad

8. Buat venotomi yang kecil melintang dan dilatasi perlahan-lahan dengan ujung klem
hemostat yang ditutup.
9. Masukkan kanul plastik melalui venotomi dan ikat dengan ligasi proksimal keliling
pembuluh dan kanul. Kanul harus dimasukkan dengan panjang yang cukup untuk
mencegah terlepas.
10. Sambung pipa intravena dengan kanul dan tutuplah insisinya dengan jahitan interupsi.
11. Pasang pembalut steril dengan salep antibiotik topikal.
8.5. Komplikasi operasi
Komplikasi yang terjadi adalah perdarahan. Hal ini dapat diatasi dengan penggunaan bebat
tekan. Komplikasi lain adalah infeksi baik flebitis maupun selulitis, untuk menanganinya
cabut kateter, kompres hangat, serta elevasikan tungkai, serta berikan antibiotik jika perlu.
Komplikasi lain adalah hematoma, trombose pembuluh, robekan syaraf serta arteri.
8.6. Mortalitas (tidak ada)
8.7. Perawatan Pasca Bedah
Perawatan pasca vena seksi harus benar-benar diperhatikan terutama daerah tempat di
lakukan vena seksi harus bebas infeksi. Hal ini bisa dicegah dengan rawat luka setiap hari,
serta ditutup dengan kassa steril. Jika ada indikasi infeksi sebaiknya kateter vena di cabut.
8.8. Follow-Up
Penderita pasca syok hipovolemik setelah syok teratasi. Kateter vena dapat dilepas dan bila
penderita sudah bisa peroral sebaiknya terapi maintenance dengan peroral atau dengan
menggunakan akses intravena lainnya yang non pembedahan. Luka pasca vena seksi harus
dirawat aseptik.
Yang dievaluasi: klinis, tanda-tanda vital, tanda-tanda infeksi

CHECKLIST & PENILAIAN

No
1
2
3
4
5
1
1
2
1
2
3
1

Daftar cek penuntun belajar prosedur operasi Vena Seksi


PERSIAPAN PRE OPERASI
Informed consent
Laboratorium
Pemeriksaan tambahan
Cairan dan Darah
Peralatan dan instrumen operasi khusus
ANASTESI
Narcose dengan anesthesia, lokal
PERSIAPAN LOKAL DAERAH OPERASI
Penderita diatur dalam posisi sesuai dengan letak vena seksi
Lakukan desinfeksi dan tindakan asepsis / antisepsis pada
daerah operasi.
TINDAKAN OPERASI
Insisi kulit sesuai dengan indikasi operasi pada vena yang
dipilih
Selanjutnya irisan diperdalam menurut jenis operasi tersebut
diatas
Prosedur operasi sesuai kaidah bedah digestif
PERAWATAN PASCA BEDAH
Komplikasi dan penanganannya

2
3

Pengawasan terhadap ABC


Perawatan luka operasi

ASPEK PENILAIAN SKILLS LAB VENA SECTION


KETERAMPILAN KLINIK VENA SECTION
Nilai:
0 = tidak melakukan
1 = melakukan sebagian
2 = melakukan seluruhnya namun tidak sempurna
3 = melakukan seluruhnya dengan sempurna
KOMUNIKASI:
Mendapatkan persetujuan tindakan pemeriksaan fisik dari pasien (consent)
mampu membina hubungan baik dengan pasien secara verbal dan non verbal ( ramah ,
tebuka, kontak mata,salam, empati dan hubungan komunikasi dua arah, respon)
menggunakan bahasa yang bisa dimengerti
memberikan kesempatan pasien untuk bertanya
NILAI:
0 = tidak melakukan poin komunikasi
1 = melakukan 1 poin komunikasi
2 = melakukan 2-3 poin komunikasi
3 = melakukan semua poin komunikasi
PERILAKU PROFESIONAL:
melakukan setiap tindakan secara hati-hati dan teliti sehingga tidak membahayakan
pasien dan diri sendiri
memperhatikan kenyamanan pasien
melakukan tindakan sesuai dengan prioritas
menunjukkan rasa hormat kepada pasien
NILAI:
0 = tidak melakukan poin Perilaku Profesional
1 = melakukan 1 poin Perilaku Profesional
2 = melakukan 2-3 poin Perilaku Profesional
3 = melakukan semua poin Perilaku Profesional

PENULIS & KONSULTAN


PENULIS : dr. Indra Kusuma
KONSULTAN : dr. Oxy Cahyo Wahyuni, Sp.EM

1. Hartanto, W.W., 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Bagian Farmakologi
Klinik dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
2. Hasan F. Terapi Cairan. 2008. Di unduh dari
http://drfhasan.blogspot.com/2008/01/referat-terapi-cairan.html.
3. Latief AS, dkk. 2002. Petunjuk praktis anestesiologi: terapi cairan pada pembedahan.
Ed.Kedua. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI.
4. Hamilton Bailey : Demonstration of Phisical Signs in Clinical Surgery Ed 17: 1992
rev.2008 : ELBS: Great Britain

DECOMPRESI
PNEUMOTHORAX
TUJUAN SKILL LAB

1.
2.
3.
4.

Mahasiswa mampu untuk melakukan prosedur decompresi pneumothorax


Mahasiswa dapat melakukan informed consent tentang tindakan yang akan dilakukan
Mahasiswa dapat memahami indikasi dan cara melakukan decompresi pneumothorax
Mahasiswa dapat melakukan decompresi pneumothorax dengan baik dan benar

ALAT DAN BAHAN

1) sarung tangan steril


2) Needle decompresi
3) Plester

TEORI

Pendahuluan

PNEUMOTHORAX (TENSION)
DEFINISI
Pneumothoraks adalah akumulasi udara di dalam rongga pleura dengan kolaps paru sekunder.
Tension pneumothorax adalah kegawatdaruratan medis dimana udara semakin berakumulasi
di dalam rongga pleura setiap kali bernapas.
EPIDEMIOLOGI
Insidensi tension pneumothorax di luar rumah sakit sulit untuk ditentukan.
Dari 2000 insidens yang dilaporkan ke Australian Incident Monitoring Study (AIMS), 17
merupakan penderita atau suspect penumothorax, dan 4 diantaranya didiagnosis sebagai

tension pneumothorax. Data militer menunjukan bahwa lebih dari 5% korban pertemburan
dengan trauma dada mempunyai tension pneumothorax saat kematian.
ETIOLOGI
Etiologi tersering tension penumothorax adalah iatrogenik serta pneumothorax yang
disebabkan trauma
Klasifikasi Berdasarkan penyebab :
Pneumothoraks Spontan Primer (PSP)
Tidak ada riwayat penyakit paru sebelumnya
Tidak ada riwayat trauma
Biasanya terjadi pada umur 18-40 tahun
Biasanya terjadi saat istirahat
Pneumothoraks Spontan Sekunder (PSS)
Karena penyakit paru yang mendasari (TB, PPOK, Asma bronchial, Pneumonia, tumor paru,
dll)
Pneumothoraks Traumatik Iatrogenik
Karena komplikasi tindakan medis (penggunaan ventilator)
Aksidental (tidak sengaja) parasentesis dada, biopsy pleura, barotraumas, dll
Artifisial (sengaja) mengisi udara pada cavitas pleura, ex; pada terapi Tb
Pneumothoraks Traumatik Bukan Iatrogenik
Karena jejas kecelakaan, ex; jejas dinding dada baik terbuka maupun tertutup, barotraumas, dll.
Berdasarkan jenis fistula :
Tertutup (simple)
Tekanan udara pada sisi hemithoraks kontralateral kurang dari tekanan udara di cavitas pleura
kurang dari tekanan udara atmosfir
Tidak terdapat defek / luka terbuka pada dinding dada
Terbuka (open)
Karena luka terbuka pada dinding dada udara dapat keluar lewat luka tersebut saat inspirasi
Keadaan mediastinum: saat inspirasi normal, saat ekspirasi bergeser ke dinding dada yang
terluka
Tension pneumothoraks (pneumothoraks ventil)
Akibat mekanisme Check valve saat inspirasi udaraa masuk ke cavitas pleura, saat ekspirasi
udara tidak bisa keluar
FISIOLOGI
Dalam keadaan normal rongga toraks dipenuhi oleh paru-paru yang pengembangannya
sampai dinding dada oleh karena adanya tegangan permukaan (tekanan negatif) antara
permukaan pleura parietal dan pleura visceral. Rongga pleura normalnya berisi sedikit cairan
pleura (sebagai pelumas) dan tidak berisi udara. Adanya udara di dalam rongga pleura
menyebabkan kolapsnya jaringan paru.
PATOGENESIS
Tension pneumothorax terjadi kapan saja ada gangguan yang melibatkan pleura visceral,
parietal, atau cabang trakeobronkiial. Gangguan terjadi ketika terbentuk katup 1 arah, yang
memungkinkan udara masuk ke rongga pleura tapi tidak memungkinkan bagi keluarnya
udara. Volume udara ini meningkat setiap kali inspirasi karena efek katup 1 arah. Akibatnya,
tekanan meningkat pada hemitoraks yang terkena. Saat tekanan naik, paru ipsilateral kolaps
dan menyebabkan hipoksia. Peningkatan tekanan lebih lanjut menyebabkan mediastinum

terdorong ke arah kontralateral dan menekan jantung serta pembuluh darah besar. Kondisi ini
memperburuk hipoksia dan mengurangi venous return.

Akibat trauma tajam:


luka tusuk menembus pleura parietal lubang kecil membuat katup 1 arah (one way
valve) hal ini membuat udara masuk ke rongga pleura saat inspirasi, tetapi tidak bisa keluar
saat ekspirasi rongga pleura semakin mengembang seiring waktu dan tekanannya terus
bertambah tension pneumothorax
tension pneumothorax tekanan udara kesegala arah mendesak organ sekitar
MANIFESTASI KLINIS
Ada 2 mekanisme yang menyebabkan tidak adekuatnya suplai oksigen ke jaringan pada
pneumothoraks.
Paru yang mengalami pneumothoraks kolaps dan paru sebelahnya terkompresi sehingga tidak
bisa melakukan pertukaran gas secara efektif, terjadi hipoxemia yang selanjutnya
menyebabkan hipoksia.
Tekanan udara yang tinggi pada pneumothorax mendesak jantung dan pembuluh darah besar.
Pendorongan vena cava superior dan inferior menyebabkan darah yang kembali ke jantung
berkurang sehingga cardiac output juga berkurang. akibatnya perfusi jaringan menurun dan
terjadi hipoksia.
Temuan awal:
Sesak napas
Akibat penurunan fungsi paru:
menurunnya compliance paru yang mengalami penumothoraks pertukaran udara tidak
adekuat hipoxemia hipoksia sesak napas
serta paru sebelahnya yang terdorong menyebabkan sesak napas.
Selain itu peningkatan kerja pernapasan: hipoksia takipneu sesak napas
Nyeri dada
Trauma dada tembus hingga ke pleura peregaangan pleura nyeri
Trauma dada kerusakan jaringan impuls nyeri pada daerah yang luka (kulit, otot)
Takikardia
Tension pneumothorax hipoksia kompensasi tubuh SS simpatis takikardia
Takipneu
Tension pneumothorax hipoksia kompensasi tubuh SS simpatis takipneu
Perkusi hipersonor
akumulasi udara dalam rongga pleura suara yang lebih nyaring saat perkusi / hipersonor
(udara merupakan penghantar gelombang suara yang baik)
Suara napas lemah sampai hilang
Suara napas adalah suara yang terdenger akibat udara yang keluar dan masuk paru saat
bernapas. Paru kolaps pertukaran udara tidak berjalan baik suara napas berkurang atau
hilang.
Temuan lanjut:
Penurunan kesadaran

Hipoksia yang terus berlanjut kurangnya suplai O2 ke otak gangguan fungsi otak
penurunan kesadaran
Trakea terdorong (deviasi trakea) menjauhi paru yang mengalami tension pneumothorax:
Tension pneumothorax tekanan udara yang tinggi menekan kesegala arah trakea
terdorong ke arah kontralateral
Distensi vena leher (bisa terjadi bila hipotensi berat)
Tension pneumothorax penekanan vena cava superior tahanan darah yang kembali ke
jantung JVP meningkat vena leher terdistensi
Hipotensi
Tension pneumothorax penekanan jantung dan vena cava superior serta inferior darah
yang kembali ke jantung berkurang caridiac output berkurang tekanan darah turun
(hipotensi akibat shock obstruktif)
Sianosis
Tension pneumothorax pertukaran udara tidak adekuat darah mengandung sedikit O2
pewarnaan yang kebiruan pada darah tampak warna kebiruan pada kulit dan mukosa
PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Diagnosis tension pneumothorax ditegakkan secra klinis, dan terapi tidak boleh terlambat
oleh karena menunggu konfirmasi radiologis.
Anamnesis
Riwayat trauma
Mekanisme trauma
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi: dada cembung pada sisi yang sakit
Palpasi: Fremitus turun sampai hilang
Perkusi : Hipersonor
Auskultasi: Suara napas lemah sampai hilang
Temuan Awal
Nyeri dada, sesak napas, cemas, takikardia, takipneu, hipersonor pada dada yang sakit, suara
napas yang mlemah sampai menghilang
Temuan lanjut
Penurunan kesadaran, deviasi trakea ke arah kontralateral, hipotensi, distensi vena leher,
sianosis
DIAGNOSIS BANDING
KONDISI
Tension pneumothorax

Massive hemothorax

Cardiac tamponade

PENILAIAN
Deviasi Tracheal
Distensi vena leher
Hipersonor
Bising nafas (-)
Deviasi Tracheal
Vena leher kolaps
Perkusi : dullness
Bising nafas (-)
Distensi vena leher
Bunyi jantung jauh dan lemah
EKG abnormal

PENATALAKSANAAN
Primary survey (ABCDE) yang dilanjutkan dengan Resusitasi fungsi vital
Penilaian keadaan penderita dan prioritas terapi berdasrkan jenis perlukaan, tanda tanda vital,
dan mekanisme trauma. Merupakan ABC-nya trauma, dan berusaha untuk mengenali
keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu.
1. Airway and cervical spine control
Pemeriksaan apakah ada obstruksi jalan napas yang disebabkan benda asing, fraktur tulang
wajah, atau maksila dan mandibula, faktur laring atau trakea. Jaga jalan nafas dengan jaw
thrust atau chin lift, proteksi c-spine, bila perlu lakukan pemasangan collar neck. Pada
penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap bahwa jalan napas bersih, walaupun demikian
penilaian ulang terhadap airway harus tetap dilakukan.
2. Breathing: gerakan dada asimetris, trakea bergeser, vena jugularis distensi, tapi masih ada
nafas

Needle decompression: Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan


penaggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga
dua garis midclavicular pada hemitoraks yang terkena. Tindakan ini akan mengubah tension
pneumothorax menjadi pneumothoraks sederhana. Evaluasi ulang selalu diperlukan. Terapi
definitif selalu dibutuhkan dengan pemasangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5
( setinggi puting susu) di anterior garis midaksilaris.Dekompresi segera pake jarum suntik
tusuk pada sela iga ke 2 di midklavikula dan tutup dengan handskon biar udara lain tidak
masuk nanti lakukan WSD lebih lanjut setelah sampai RS
Prinsip dasar dekompresi jarum adalah untuk memasukan kateter ke dalam rongga pleura,
sehingga menyediakan jalur bagia udara untuk keluar dan mengurangi tekanan yang terus
bertambah. Meskipun prosedur ini bukan tatalaksana definitif untuk tension pneumothorax,
dekompresi jarum menghentikan progresivitas dan sedikit mengembalikan fungsi
kardiopulmoner.
Pemberian Oksigen
3. Circulation : (takikardia, hipotensi)
Kontrol perdarahan dengan balut tekan tapi jangan terlalu rapat untuk menghindari parahnya
tension pneumothoraks
Pemasangan IV line 2 kateter berukuran besar (1-2 liter RL hangat 39 derajat celcius).
4. Disability : nilai GSC daan reaksi pupil
Tentukan tingkat kesadaran ketika sambil lakukan ABC
5. Rujuk ke rumah sakit terdekat dengan peralatan medis sesuai kebutuhan atau yang
mempunyai fasilitas bedah saat kondisi pasien sudah distabilkan.
6. Pengelolaan selama transportasi :
Monitoring tanda vital dan pulse oksimetri
Bantuan kardiorespirasi bila perlu
Pemberian darah bila perlu
Pemberian obat sesuai intruksi dokter analgesic jangan diberikan karena bisa membiaskan
simptom
Dokumentasi selama perjalanan
Secondary survey dilanjutkan dengan Tatalaksana definitif

Prinsip tatalaksana di UGD


Eksposure : buka pakaian penderita, cegah hipotermia, tempatkan di tempat tidur dengan
memperhatikan jalan nafas terjaga. Pemasangan IV line tetap.
2. Re-evaluasi :
Laju nafas
Suhu tubuh
Pulse oksimetri saturasi O2
Pemasangan kateter folley (kateter urin) monitor dieresis, dekompresi v. urinaria sebelum
DPL
EKG
NGT bila tidak ada kontraindikasi (fraktur basis kranii)
Bersihkan dengan antiseptic luka memar dan lecet bila ada lalu kompres dan obati
1.

pneumothoraks
Lakukan tube thoracostomy / WDS (water sealed drainage, merupakan tatalaksana definitif
tension pneumothorax), (Continous suction)
WSD sebagai alat diagnostic, terapik, dan follow up mengevakuasi darah atau udara
sehingga pengembangan paru maksimal lalu lakukan monitoring
Penyulit perdarahan dan infeksi atau super infeksi

Teknik pemasangan
1. Bila mungkin pasien dalam posisi duduk/ setengah duduk/ tiduran dengan sedikit miring ke
sisi yang sehat
2. Tentukan tempat untuk pemasangan WSD. Di kanan pada sela iga ke-7 atau ke-8.
3. Tentukan kira-kira tebal dinding thoraks
4. Secara streril diberi tanda pada selang WSD dari lubang terakhir sela WSD setebal dinding
thoraks; mis dengan ikatan benang
5. Cuci tempat yang akan dipasang WSD dan sekitarnya dengan cairan antiseptic
6. Tutup dengan duk steril
7. Daerah tempat masuk selang WSD dan sekitarnya dianestesi local di atas tepi iga secara
infiltrasi dan blok (berkas neurovaskular)
8. Insisi kulit subkutis dan otot dada di tengah sela iga
9. Irisan diteruskan secara tajam (tusukan) menembus pleura
10. Dengan klem arteri lurus lubang di perlebar secara tumpul
11. Selang WSD diklem dengan arteri klem dan di dorong masuk ke rongga pleura dengan
sedikit tekanan
12. Fiksasi selang WSD sesuai dengan tanda tadi
13. Daerah luka dibersihkan dan diberi salep steril agar kedap udara
14. Selang WSD disambung dengan botol WSD steril
15. Bila mungkin pasang penghisap kontinu dengan tekanan -24 sampai -32 cm H2O
Prinsip dasar tatalaksana pneumotoraks adalah untuk mengevakuasi ronga pleura, menutup
kebocoran, dan mencegah atau mengurangi risiko
Pilihan terapi
Observasi
Aspirasi sederhana
Tube thoracostomy/WSD (Simple; Continuous suction)

Pleurodesis
Thoracoscopy
operasi

PROGNOSIS
Dubia et bonam
Hampir 50% mengalami kekambuhan setelah pemasangan tube torakostomi tapi
kekambuhan jarang terjadi pada pasien-pasien yang dilakukan torakotomi terbuka

KOMPLIKASI
Gagal napas akut (3-5%)
Komplikasi tube torakostomi lesi pada nervus interkostales
Henti jantung-paru
Infeksi sekunder dari penggunaan WSD
Kematian
timbul cairan intra pleura, misalnya.
- Pneumothoraks disertai efusi pleura : eksudat, pus.
- Pneumothoraks disertai darah : hemathotorak

CHECKLIST & PENILAIAN

No
1
2
3
4

Daftar cek penuntun belajar prosedur Decompresi


Pnemothorak
PERSIAPAN PRE OPERASI
Posisi kan pasien setengah duduk
Desinfektan ICS II dengan kassa povidone iodine
Tusuk jarum besar di ICS II pada bagian thorak yang
kelainan
Fiksasi Needle decompresi dengan plester

ASPEK PENILAIAN SKILLS LAB DECOMPRESI PNEUMOTHORAX


KETERAMPILAN KLINIK DECOMPRESI PNEUMOTHORAX
Nilai:
0 = tidak melakukan
1 = melakukan sebagian
2 = melakukan seluruhnya namun tidak sempurna
3 = melakukan seluruhnya dengan sempurna
KOMUNIKASI:
Mendapatkan persetujuan tindakan pemeriksaan fisik dari pasien (consent)
mampu membina hubungan baik dengan pasien secara verbal dan non verbal ( ramah ,
tebuka, kontak mata,salam, empati dan hubungan komunikasi dua arah, respon)

menggunakan bahasa yang bisa dimengerti


memberikan kesempatan pasien untuk bertanya
NILAI:
0 = tidak melakukan poin komunikasi
1 = melakukan 1 poin komunikasi
2 = melakukan 2-3 poin komunikasi
3 = melakukan semua poin komunikasi
PERILAKU PROFESIONAL:
melakukan setiap tindakan secara hati-hati dan teliti sehingga tidak membahayakan
pasien dan diri sendiri
memperhatikan kenyamanan pasien
melakukan tindakan sesuai dengan prioritas
menunjukkan rasa hormat kepada pasien
NILAI:
0 = tidak melakukan poin Perilaku Profesional
1 = melakukan 1 poin Perilaku Profesional
2 = melakukan 2-3 poin Perilaku Profesional
3 = melakukan semua poin Perilaku Profesional

PENULIS & KONSULTAN


PENULIS : dr. Indra Kusuma
KONSULTAN : dr. Oxy Cahyo Wahyuni, Sp.EM
1. Hartanto, W.W., 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Bagian Farmakologi
Klinik dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
2. Hasan F. Terapi Cairan. 2008. Di unduh dari
http://drfhasan.blogspot.com/2008/01/referat-terapi-cairan.html.
3. Latief AS, dkk. 2002. Petunjuk praktis anestesiologi: terapi cairan pada pembedahan.
Ed.Kedua. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI.
4. Hamilton Bailey : Demonstration of Phisical Signs in Clinical Surgery Ed 17: 1992
rev.2008 : ELBS: Great Britain

Anda mungkin juga menyukai