Mari menoleh, melewati masa ribuan tahun lalu, ke suatu tempat dimana
permohonan kepada sebuah bintang pertama kalinya dikabulkan…
Tempat itu hanya salah satu dari sekian banyak desa terpencil yang
tersembunyi di deretan pegunungan Jepang, sebuah desa yang sangat miskin
bernama Kira. Kemiskinan sudah menurun hingga berpuluh-puluh generasi akibat
perang yang berkepanjangan dan penduduk desa bahkan tidak mengenal kata
‘kenyang’ karena selalu kelaparan. Setiap kerat pangan yang ada dikumpulkan
dan dijaga, setiap orang makan sesuai jatah yang ditentukan bersama.
Mungkin berawal dari sanalah tradisi mengerikan itu muncul, tradisi yang
pada saat kisah ini dimulai sudah hampir setua riwayat desa itu sendiri hingga
generasi-generasi selanjutnya melaksanakannya begitu saja, seakan membuang
orang tua yang sudah tidak bisa bekerja di kedalaman hutan penuh binatang buas
adalah hal yang biasa dan bukan tindakan biadab dan tidak melanggar batas-
batas keperimanusiaan..
Tanpa lelah dan hanya berhenti untuk menarik nafas, si tua Yasashi terus
melagukan syairnya hingga suaranya serak, mulutnya kering kerontang, dan
lagunya tinggal rintihan pilu. Berjam-jam kemudian, tepatnya pada pukul 12
siang, akhirnya sesuatu terjadi. Awan-awan gelap tiba-tiba bergerak tak wajar,
berkumpul di arah pandang si tua dan menyisakan suatu celah yang kini bersinar
sangat terang. Dari sinar itu kemudian terdengarlah suara membahana.
“Apa gerangan yang kau inginkan, wahai pak tua?”
Si tua Yasashi terlonjak dan gemetaran hebat. Dia bisa merasakan aliran
listrik menjalar di sekujur tubuhnya rapuhnya; gairah, mengalir di nadinya yang
disangkanya sudah mengerut dan mongering untuk selamanya. Terharu dan
takjub, suara si tua menjadi lebih parau dan bergetar hebat. “Oh, oh, Kamisama
nan agung,” si tua berhenti untuk menelan ludah yang tak ada dan berusaha
melanjutkan dengan sejelas mungkin, “mohon ambillah nyawa si tua tak berharga
ini, agar anak hamba, Tome, tak perlu lagi menderita hanya untuk
mempertahankan tubuh renta tak berguna ini.”
“Jikalau memang ingin mati, mengapa tidak membunuh dirimu sendiri,
wahai pak tua?” tanya suara Dewa.
“Oh Yang Mulia Kamisama,” jawab si tua Yasashi, masih gemetar, “kalau
hamba mati karena bunuh diri, Tome anakku yang baik hati akan sangat kecewa
dan menyalahkan dirinya atas kematian hamba. Hamba tidak mau Tome
menanggung derita seperti itu, O Yang mulia Kamisama.”
“Baiklah, wahai pak tua. Permohonanmu akan terkabul karena langit
bersimpati pada ketulusanmu.”
Mendengar ini, si tua Yasashi tersenyum gembira. “Oh, oh,” gagapnya,
“terima kasih banyak, O Yang mulia Kamisama. Mohon jadikanlah hamba bintang
agar bisa selalu mengawasi Tome anak hamba.”
Sinar di langit bertambah panjang dan terang. “Ulurkanlah tanganmu pak
tua,” perintah suara Dewa.
Si tua Yasashi memejamkan mata sejenak, membayangkan wajah ceria
tome dan berbisik, “selamat tinggal, anakku” sebelum mengangkat tangannya,
menunjuk ke arah langit utara. Dalam sekejap segalanya terasa membutakan
bagi si tua; sinar hangat mendekapnya erat, membuatnya merasa ringan dan
muda bagai terlahir kembali. Lalu saat membuka mata, si tua sudah berada di
langit, menjadi bintang yang sedang menanti matahari terbenam untuk
menyalakan lentera bintangnya.
Sementara itu, si bisu Tome, tanpa firasat apapun, tetap mengunjungi si tua
Yasashi seperti biasanya. Namun malam itu dia jauh lebih bersemangat
dibandingkan malam-malam sebelumnya; malam itu dia membawakan sekerat
daging kelinci asap kesukaan ayahnya! Kepingan—sepanjang dan selebar jempol
anak-anak dan setipis daun—berharga itu hanya dibagikan sekali dalam beberapa
bulan. Tadi tome hanya mengendus baunya yang harum untuk menemani makan
malamnya; semangkuk kecil sup kentang yang tak berasa.
Tome menemukan ayahnya duduk di mulut gua, keheranan melihatnya
menunjuk ke langit dengan mata terpejam. “Hugh? hgh?” Tome buru-buru
menjepit obornya di dinding gua kemudian segera berlutut di samping tubuh
ayahnya.
Mendadak tubuh Tome mengejang, nafasnya putus-putus seperti habis
dihantam palu godam. Tangannya gemetaran, tersentak oleh sensasi dingin dan
kaku dari wajah keriput ayahnya yang nampak damai. Dia menyambar kepingan
daging asap dari bungkusan kecilnya dan setengah paksa menyelipkannya ke
celah diantara bibir ayahnya yang kaku, kemudian mengguncang-guncang tubuh
renta itu, seakan berharap ayahnya bisa tiba-tiba terbangun setelah mencicipi
daging asap kesukaannya.
“Haughh, aughh, augh,” jerit Tome dalam kepanikan. Tapi bagaimana pun
dia memanggil, daging itu tetap tergantung bisu; si tua Yasashi takkan bisa
mencicipi rasanya lagi. Si tua takkan pernah bangun lagi. Tome menarik kembali
kepingan daging itu. Pandangannya kabur; dia memeluk ayahnya dan tersedu ke
udara malam yang membisu.
Lelah menangis, Tome akhirnya bisa menenangkan diri dan menyadari
sepenuhnya keanehan pada posisi tubuh ayahnya. Tome mengikuti arah yang
dituju ayahnya dan melihat bahwa di ujung sana, sebuah bintang bersinar terang,
nyalanya yang sesekali berpendar lembut seakan menyapanya. Dan tahulah
Tome bahwa ayahnya tidak meninggalkannya; beliau akan selalu ada di atas
sana, memperhatikan dirinya. Tome baru pulang ke desa saat fajar merekah,
setelah menguburkan ayahnya di mulut gua dan mempersembahkan sebongkah
anpan, sekeping kecil daging asap dan seikat akar wangi segar sebagai sesajen.
Musim gugur datang dan pergi. Pada musim dingin, 3 orang nenek dan
seorang kakek sangat renta dibuang di hutan yang membeku. Sekali itu Tome
tidak berhasil menyelamatkan mereka; hanya dalam satu malam para manula
malang itu sudah membeku dalam keganasan badai salju.
Kemudian perlahan es mencair dan angin hangat mulai menyapa; pertanda
datangnya musim semi. Minggu-minggu selanjutnya berlalu dalam kegembiraan,
bahkan bagi Tome, yang diam-diam menyimpan kemarahan terhadap desa dan
tradisinya yang kejam. Namun pada awal musim gugur, eksekusi terhadap
manula tampaknya akan terjadi lagi, kali ini menimpa sepasang kakek nenek
tetangga Tome. Keduanya sudah lama tinggal berdua; sang kakek mengidap
penyakit lambung parah dan hanya sang neneklah yang masih setia menjaganya.
Meski jarang keluar dari pemondokan, mereka masih membantu menganyam
keranjang bambu, memintal kain, atau mengasah batu api untuk dijadikan mata
panah.
Penduduk desa tidak tahu kalau sang nenek juga sudah lama berpenyakitan,
tidak tahu bahwa selama ini si bisu Tomelah yang diam-diam mengerjakan segala
pekerjaan itu untuk mereka. Tome jugalah yang membawakan jatah makanan
kakek nenek jika mereka tidak sanggup berjalan keluar. Namun persengkokolan
kecil ini tidak bisa berlangsung lama. Tora, kakak angkat Tome, menjadi curiga
setelah sering mendapati adik angkatnya berkeliaran di sekitar pondok kakek
nenek. Suatu malam, Tora membuntuti Tome ke pondok kakek nenek dan
menangkap basah dia sedang membantu mereka menganyam keranjang bambu.
Para pemuka desa segera dipanggil berkumpul di pondok.
“Jadi,” kata kepala desa, menatap marah dan jijik pada kakek nenek yang
gemetaran di atas dipan, “selama ini si bisu Tomelah yang diam-diam membantu
mereka?”
Taro yang sedang memelintir Tome, menjawab dengan pongah. “Ya. Dan
akulah menangkap basah si bisu lancang ini.”
Kerumunan orang kini mulai rusuh. Beberapa orang mulai memaki-maki
Tome, beberapa yang terdekat dengannya meludahinya, yang lain menimpuknya
dengan batu. (“Oi, hati-hati! Batumu kena kepalaku, sialan!” maki Taro yang
kepalanya baru saja benjol.)
“Tenang!!” bentak kepala desa, memberi isyarat agar mereka diam. “Saat
ini sudah terlalu larut, karena itu besok pagi baru kita akan membawa mereka ke
hutan. Dan dia,” kepala desa mengernyit jijik pada wajah Tome yang berlumur
ludah bercampur tanah, “ikat dia di lapangan desa. Jangan beri dia makan malam
ini.”
Tinggi di atas langit, si tua Yasashi mengawasi Tome dengan pilu. Sungguh
sedih menyaksikan anak kesayangannya diperlakukan dengan kejam oleh anak
kandungnya sendiri. “Tome, anakku…. Andai ada yang bisa ayah perbuat
untukmu…” kata si tua, menatap penuh pertimbangan pada lentera bintang yang
berpijar kuat dalam rumah bintangnya.
“Apa yang kau pikirkan?” tegur salah satu rekan se-rasi-nya yang sedang
berkunjung.
“Lentera bintang adalah jiwa kita. Dia bisa berpijar selama milyaran tahun
dan karena itu akan selama itu pulalah kita hidup,” kata bintang lain
mengingatkan.
“Aku tahu,” kata si tua Yasashi.
“Dan,” lanjut bintang pertama,”meski punya kekuatan besar, kau hanya
bisa melepas kekuatan lentera jika dan hanya jika ada permohonan yang bisa
menggetarkan jiwamu.”
“Aku tahu,” sahut si tua Yasashi.
“Hihi,” kikik bintang kedua, “jutaan manusia bodoh mengajukan permintaan
padaku setiap tahunnya. Tapi jangankan menggetarkan jiwa, mendengarkan
mereka saja, aku tak mau.”
“Aku selalu mendengarkan anakku,” gumam si tua, mengabaikan tawa
kedua bintang di dekatnya.
Tome dilepaskan pada dini hari dan diperintahkan untuk memperbaiki atap
sebuah lumbung. Mendekati siang hari, beberapa orang berkumpul di pondok
kakek nenek. Diam-diam Toma bergabung dalam keramaian. Anak kakek nenek,
seorang pria paro baya amat kurus namun berperut buncit, membawa sebuah
usungan besar ke hadapan orangtuanya. Dia kemudian dengan teganya
memerintahkan ibu dan ayahnya—yang sedang meringkuk kesakitan di atas
dipan—untuk naik ke atas usungan.
Nenek menangis mengiba. “Kumohon, nak,” pintanya, “Lambung ayahmu
sedang kumat. Biarkan aku merawatnya dulu. Setelah itu kau boleh membawa
kami.”
Sang anak tampak tak terpengaruh tangisan ibunya ataupun rintihan
kesakitan ayahnya. “Jangan bawel, wanita tua,” ujarnya dengan nada bosan.
Kerumunan orang tertawa sementara nenek terisak makin hebat.
Tome naik pitam. Bagaimana mungkin seorang anak tega memperlakukan
orangtuanya sendiri dengan sekeji itu? “Hentikan!!” raungnya murka.
Semua tawa langsung terhenti mendadak. Setiap kepala berputar ke arah
teriakan tadi dan menemukan Tome di titik asal suara. Mereka melongo sejenak,
dan sama mendadaknya, suara-suara percakapan kembali ramai. Semua
berpaling kembali dari Tome, tertawa kepada orang-orang di sebelahnya dan
saling menyakinkan kalau tadi mereka salah dengar.
Pemindahan kakek nenek selanjutnya berjalan lancar. Ketika pria-pria
dewasa terdekat bersiap untuk mengangkat usungan, Tora tiba-tiba berseru,
“Tunggu!” Setiap alis berkerut memandangnya. Tora menarik Tome dari
kerumunan orang. “Biarkan bisu ini membantu mengangkat usungan,” katanya
licik.
Terdengar gumaman setuju. Tora menyeringai senang; dia mengira Tome
akan menolak, mengamuk dan melawan sehingga dia akan punya alasan untuk
menyiksa anak bisu itu lagi. Tapi betawa kecewanya dia ketika Tome—meski
nampak sedikit linglung—dengan patuh mengambil tempat di salah satu sisi
pegangan usungan.
Tora tidak mengetahui Tome masih dikuasai keterkejutan. Tadi itu suaranya!
Yang teriak itu dia! Hatinya menjerit ‘hentikan!’ dan tak terduga mulutnya
mampu menyuarakannya. Bukan sekadar ‘Hagh, Hgh’ yang biasanya. Dan suara
itu, kata-kata yang menyembur dari mulutnya, dari tenggorokannya, bukan
sekadar khayalannya; semua orang bisa mendengarnya tadi! Ini keajaiban!
Tome masih sibuk dengan pikirannya sendiri hingga tak sadar iring-iringan
kecil itu sudah berhenti bergerak. Mereka menurunkan usungan tanpa peduli
bahwa sang kakek pingsan karena kesakitan, atau bahwa sang nenek begitu
takutnya hingga gemetar tak terkendali. Ketika para pria tak punya hati itu
beranjak pergi, Tome mencoba.
“Jangan tinggalkan usungan itu” katanya.
Anak, mantu dan cucu sang kakek nenek, kepala desa beserta 2 orang
walinya, termasuk Tora, semuanya terlonjak kaget
“Ap…” kata Tora tak jelas, menoleh dengan bingung.
“Jangan tinggalkan usungan itu,” ulang Tome, kali ini memastikan semua
orang menyaksikannya berbicara. Dan efeknya memuaskan. Semua langsung
mematung; menatap Tome seakan dia seekor kera yang baru saja berbicara pada
mereka.
Tora membuka dan menutup mulutnya dan membukanya lagi dan akhirnya
berhasil menyemburkan kata-kata, “Tapi kau bisu!” yang terdengar sangat
konyol.
“Si bisu Tome berbicara,” celetuk sang mantu, terpana.
“Tidak mungkin!” seru yang lain.
“Bagaimana mungkin?” geram Tora, akhirnya bisa menguasai diri.
Sementara itu, Tome dengan hati-hati memindahkan sang kakek dan nenek
ke atas rerumputan dan mengangkat usungannya. “Aku memohon,” katanya
akhirnya, menjawab wajah-wajah penuh tanya, gelisah dan geram, di
hadapannya, “kepada sebuah bintang. Dan tampaknya dikabulkan.”
“Kau apa…?”
“Memohon pada bintang, ya,” kata Tome menjawab tatapan tak percaya
mereka. “Tapi itu tidak penting saat ini. Yang tadi kukatakan adalah,” Tome
mengulurkan usungan ke hadapan anak sang kakek nenek, “bawalah pulang
usungan ini.”
Anak kakek menatapnya dengan bingung, masih gamang dengan
perkembangan tak terduga ini. “Apa, untuk apa itu? Untuk apa aku membawa
barang itu pulang?”
Tome menatapnya tak percaya. “Kita harus hidup sehemat mungkin bukan?
Usungan ini baru, masih bagus dan kuat. Masih bisa digunakan untuk membuang
anda atau istri anda kelak.”
Kata-kata sederhana Tome menyambar sang anak dan semua orang dewasa
itu sedasyat petir di malam berbadai.
Tome mendengus geli. “Ya ampun. Jangan katakan kalian belum pernah
memikirkan hal ini? Bukannya kita semua pasti akan menjadi tua, renta, keropos,
lemah dan tak berdaya sehingga akhirnya akan dibuang oleh anak cucu kita
sendiri, dipaksa untuk mati kelaparan atau dimangsa binatang buas, karena
bukankah kehadiran kita sebagai kakek-kakek hanya akan memboroskan bahan
makanan yang berharga bagi kaum muda? Ayo, ambillah ini,” Tome
menyandarkan usungan itu ke perut buncit sang anak, “sepertinya tidak lama lagi
anda akan membutuhkannya. Siapa tahu suatu hari anda mengalami kecelakaan,
tidak dapat berjalan lagi sehingga istri dan anak anda memutuskan anda tidak
berharga lagi untuk hidup, maka mereka dapat meggunakan usungan ini
membuang anda ke hutan.”
Sang anak memandang usungan dengan ketakutan dan tanpa sadar
menepis barang itu dengan kasar. Sang mantu, cucu dan para wali desa
menatapnya dengan aneh, meski masing-masing menyiratkan ketakutan juga.
“Tidak, aku tidak mau,” desisnya, mewakili suara hari semua orang disana.
Tome mengangguk bijak, “Ya, tentu saja tak seorang pun mau mati dengan
cara mengenaskan seperti ini.”
“Lalu…?” kata kepala desa, “ lantas kami harus bagaimana?”
“Bukankah sudah jelas?” kata Tome tajam, “Hentikan tradisi tak bermoral
ini! Hentikan bertindak hanya demi isi perut. Hentikan mencekik leher sendiri
dengan aturan kejam dan tak masuk akal! Hiduplah menggunakan perasaan,
cinta, hati nurani. Setelah sedari sangat muda kita bekerja untuk kepentingan
seluruh desa, maka ketika kita tua dan lemah, sudah sepantasnya kita menikmati
hari tua yang tenang, dijaga, dihormati dan disokong oleh orang-orang muda,
yang sewaktu mereka kecil dan tak berdaya, telah dilindungi dan dirawat oleh
kita. Inilah lingkaran yang seharusnya terjadi. Merawat dan dirawat. Melindungi
dan dilindungi. Bukannya merawat kemudian ditelantarkan. Melindungi kemudian
dibiarkan menjadi mangsa taring hewan buas. Atau bahkan ketika seseorang
tidak berbuat banyak untukmu, pun tidak sepantasnya kau membiarkan dia mati
dengan kejam; sebagai sesama manusia bukankah kita harus saling tolong
menolong?”
Ajaib. Kata-kata dari seorang remaja yang sampai beberapa menit
sebelumnya masih bisu, sekarang bisa menyentuh hati orang-orang dewasa yang
sebelumnya membencinya. Dengan mudah Tome membangunkan mereka dari
kebutaan; menyadarkan betapa kejam dan mengerikannya tradisi yang menjerat
mereka selama ini.
“Ya, tentu saja, Tome, nak,” sahut kepala desa dengan suara sarat emosi.
“Rasanya tak percaya selama ini kami bisa melakukan hal sekejam itu tanpa
pernah memikirkan perasaan orang tua yang kami buang, atau bahwa suatu saat
kengerian itu akan berbalik pada kami sendiri. Terimakasih sudah menyadarkan
kami.” Dia menepuk bahu Tome yang dikuti oleh Tora, yang mendadak nampak
sangat sayang pada adik angkatnya itu.
Tome berseri-seri. Keluarga kekek nenek berjanji akan merawat para
manula itu dengan baik dan bersama-sama mereka membawanya pulang.
Kehebohan terjadi setibanya mereka di desa dan butuh waktu beberapa saat
untuk membuat semuanya mengerti. Mereka kemudian bahkan merencanakan
upacara sembahyang arwah untuk meminta maaf dan menenangkan roh-roh
orang tua yang selama berpuluh-puluh generasi mati mengenaskan di hutan.
Malam harinya, seisi desa Kira mendengar seruan penuh kerinduan
memecah keheningan malam. Seruan indah sarat kesedihan itu berasal dari
puncak pohon tertinggi di desa, mengirimkan kalimat “Terima kasih, Ayah” ke
titik hitam di langit, tempat sebelumnya sebuah bintang pernah bersinar penuh
cinta kebapakan.
Sejak itu kisah Tome dan permohonannya pada bintang diceritakan turun
temurun, dan seperti banyak yang lazim terjadi pada kisah-kisah yang diceritakan
lintas generasi, mengalami sedikit perubahan namun (mungkin) sangat fatal, bagi
yang percaya.
***
Jadi, pernahkah kau memohon pada sebuah bintang dan tepat setelahnya
menyaksikan sebuah bintang jatuh? Jika iya, maka selamat untukmu. Karena itu
berarti permohonanmu terkabul.
Sebuah kisah oleh Theresia M. R.
Kata mereka, Indonesia negeri yang elok nan subur. Kata mereka, Indonesia kaya
akan keanekaragaman suku dan bangga akan hal itu karena memberikan ciri budaya
yang unik dan memesona di mata dunia. Dengan menggembor-gemborkan ‘Bhinneka
Tunggal Ika’, Indonesia mengaku sebagai bangsa yang menghargai perbedaan suku,
agama, ras dan budaya. Indonesia sebagai negeri yang berKetuhanan Yang Maha Esa
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Singkatnya, hak asasi manusia.
Katanya.
Kataku, Indonesia tak ubahnya seorang munafik yang dengan santai menutupi
setiap inchi karat dan keropos pada batang tubuhnya dengan cat yang keruh oleh
lumpur aib. Indonesia mengingatkanku pada patung konyol yang digambarkan dalam
sebuah komik; patung lelaki setengah telanjang yang pada puncak kepalanya tertulis
peringatan besar-besar ‘Dilarang Membunuh’ namun lelaki dalam patung sendiri sedang
memeragakan cara menggorok leher seekor kambing. Itukan membunuh juga, biarpun
korbannya hanya seekor kambing.
Namun ada satu ‘ketimpangan moral’ yang kurasakan sendiri karena aku dan
keluargaku termasuk apa yang mereka sebut sebagai ‘warga keturunan’. Entah sejak
kapan sebuah kata yang menunjukkan nama sebuah negara, berhasil mereka lontarkan
sebagai sebuah hinaan. Nada meremehkan, merendahkan, penuh ancaman dan hinaan
yang mengiringi pengucapan kata itu membuatku merasa tertohok setiap kali
mendengarnya. Kurasakan sendiri kerusuhan yang pernah terjadi akibat kentalnya
diskriminasi terhadap nama itu. Kusaksikan sendiri lewat layar kaca sebagian kecil dari
kerusuhan maha dasyat dan terbiadab yang pernah terjadi akibat diskriminasi yang
sama. Lebih memiriskan lagi, katanya kerusuhan itu diatur oleh orang-orang yang
berkuasa. Sungguh contoh hebat dari sikap bangsa yang menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia. Atau mungkinkah kebencian tanpa dasar telah sedemikian
membutakan hingga mereka tak sanggup melihat para ‘penyandang nama’ sebagai
sesamanya manusia?
Sudah kukatakan, aku hanya seorang anak kecil. Di satu sisi, anak kecil dianggap
bisa melihat suatu masalah dengan objektif karena kepolosannya. Namun di sisi lain,
akibat kepolosan jugalah terkadang anak kecil hanya bisa melihat secara lurus, menilai
suatu keadaan dari sisi yang paling mengusik perasaan dan tidak berhasil melihat sisi
lainnya karena kesederhanaan pikiran mereka. Mungkin seperti itu. Hingga sesaat aku
melupakan bahwa diluar diskriminasi dan kerusuhan-kerusuhan, sejauh ini aku dan
seluruh keluargaku hidup cukup nyaman dan bahagia.
Aku hampir saja menilai hanya dari sisi gelap, melupakan sisi sebaliknya, atau
melupakan bahwa dunia ini merupakan perpaduan dari kedua sisi tersebut. Untunglah
aku disadarkan oleh kebaikan hati dan keberanian pegawai satu-satunya pamanku.
Pamanku seorang pedagang kecil yang menjual barang-barang dagangannya ke daerah-
daerah kecil di luar kota. Berdua dengan supirnya, setiap hari mereka menempuh jarak
berkilo-kilo, dibawah terik matahari atau terpaan hujan, demi menghidupi keluarga
masing-masing. Suatu ketika mereka mengalami kecelakaan. Mobil mereka terbalik
dengan posisi nyaris menggantung di bibir jurang. Sang supir berhasil keluar pada detik-
detik terakhir, tetapi pamanku terjepit di dalam mobil. Meski posisi mobil sangat
berbahaya, supir pamanku itu nekat mempertaruhkan nyawa menolong paman,
mengabaikan rasa sakit pada luka parah di kaki dan perutnya sendiri. Meski keadaan
tidak menguntungkan, ajaib supir itu berhasil mengeluarkan paman dan hidup mereka
berdua selamat. Kini hubungan mereka bukan lagi majikan dan supir, melainkan mitra
bisnis.
Ketika mendengar kisah ini, rasa terharu entah mengapa tiba-tiba membuncah
dalam dadaku. Mendadak aku tersadarkan bahwa pandanganku yang tajam telah keliru
sepenuhnya. Aku seperti diingatkan bahwa ketika ada yang menorehkan luka, pasti akan
ada yang mengobati luka tersebut. Sama halnya tiap manusia ada yang baik dan jahat;
begitu pula bangsa Indonesia. Diskriminasi hanya dilakukan orang-orang tertentu yang
berpikiran dangkal, sempit, bodoh. Lebih banyak orang yang menentang diskriminasi
dan menginginkan kehidupan bersama yang aman dan damai. Dan aku sadar, untuk
mengubah lingkungan dan perlakuan terhadap diriku, harus aku sendiri yang memulai.
Kurasa menebar senyum dan bersikap tulus dan sopan terhadap semua orang bisa
menjadi langkah awal yang baik.
Aku belajar mencintai dan menerima; maka kini aku bisa dengan bangga mengaku
sebagai warga negara Indonesia. Terlepas dari asal usul nenek moyangku; di sinilah
rumahku saat ini. Di sinilah aku dilahirkan, maka di sini pula aku akan membaktikan
hidupku. Aku akan belajar dengan giat agar bisa mempersembahkan prestasi yang
membanggakan, bukan hanya untuk orangtuaku, tetapi juga untuk bangsa dan
negaraku. Mungkin kelak aku ingin menjadi guru. Aku ingin membimbing bibit-bibit
muda, menyingkirkan kabut kebodohan yang selama ini membelenggu banyak
masyarakat kelas bawah sehingga diskriminsi dan tindakan tak bermoral yang
menyertainya bisa perlahan menghilang dari bumi Indonesia. Aku ingin setiap anak tahu
bahwa keanekaragaman akan melebur menjadi satu hanya jika kita belajar menerima
dan menghargai setiap perbedaan itu. Mungkin mengucapkan sumpah pemuda bisa
penjadi pengukuh awal yang bagus.
***
PANTUN NASIHAT
Wahai ananda bunda beramanat
Bertanggung jawab memanglah berat
Tetapi sudah menjadi adat
Berani berbuat berani dikerat
Kisah ini berawal dari sebuah sekolah dasar bernama SD Gardu Rasul—disingkat SD GaUl—yang
konon kabarnya hanya menerima murid-murid yang gagah, andal, ulet dan lincah. Singkatnya, GAUL.
Suatu pagi di ruang kelas 1 masuklah seorang guru bahasa Indonesia yang bernama Bu Ika Tatik alias
Ingat Pakai Tanda Titik (oleh murid-murid kelas 5).
“Baik anak-anak, mari mulai dengan menghapal abjad,” kata Bu Guru.
“Huuhhhhhh,” seru anak-anak rame-rame.
Ibu guru mencoba lagi dengan sabar. “Ayo anak-anak. Kalian kan anak pandai, ayo hapalkan abjad
mulai dari A.” Kali ini anak-anak nurut, kelas mulai riuh dengan teriakan tak kompak ABCDEFG…
“Loh, mengapa tidak dilanjut? Kalian lupa ya?” tanya Bu Guru ketika anak-anak agak lama terhenti di
G.
“Aduh Bo Cape Deh Eike Fusing Gila….” Keluh anak-anak, kali ini dengan sangat kompak. Bu Guru
Ika Tatik hanya bisa geleng-geleng kepala.
Apakah aku sudah gagal jadi guru? Batin Bu Guru Ika Tatik ketika berjalan sendiri di lorong sekolah.
Ujian semester satu sudah di ambang pintu dan anak-anak kelas satu baru bisa menghapal abjad sampai G.
Tidak, tidak, Bu Guru menggeleng keras untuk mengenyahkan pikiran negatifnya. Dia tiba di depan sepetak
Mading Kami alias Maaf-Dindingnya-Kami-Kotori. Sepetak dinding yang penuh coretan tak jelas dan
tempelan-tempelan poster ini adalah majalah dinding versi anak-anak GAUL dari SD GaUl.
Diantara coretan carut marut dan tempelan keras yang saling tumpah tindih, ada selembar kertas
bertuliskan puisi karangan murid kelas enam-nya yang berhasil memenangkan penghargaan tulis menulis
tingkat nasional dalam kategori puisi persahabatan. Betapa indah puisi yang ditulis AkanG, alias Aku Tukang
Gombal :
Betapa Bu Guru selalu terharu membaca puisi dari AkanG anak didiknya ini. Baiklah, aku tidak akan
putus asa, putus Bu Guru. Aku juga akan seperti Rexona. Aku akan selalu setia mengajar anak-anak sampai
mereka bisa mencapai Z.
Tiba di ruang guru, Bu Guru Ika Tatik melihat beberapa guru sudah berkerumun dan bergosip. Menjadi
pusat kerumunan adalah seorang guru setengah baya yang sedang duduk murung di depan meja tulisnya.
Banyak kertas berhamburan di atas meja itu.
“Ada apa?” tanya Bu Guru Ika Tatik.
“Begini. Pak Jusuf K. (alias Just Kidding-oleh anak-anak kelas 6) agak frustasi setelah mendapati
berlembar-lembar kertas jawaban seperti ini,” jawab seseorang sambil menyodorkan selembar kertas ke bawah
hidung Bu Guru Ika Tatik, yang segera meraih dan membacanya.
#@$%^&*