Anda di halaman 1dari 111

Search Cari... man zada wa zada www.ekibaihaki.

com Home AGENDA JURNAL KOMUNIKASI HIKMAH TIPS KOMUNIKASI EFEKTIF MATERI KULIAH DIALEKTIKA KOMUNIKASI

Iklan Politik, Era Image, dan Kekuasaan Media Bedjo Riyanto Dosen Jurusan Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni dan Desain Un iversitas Kristen Petra . ...................................................... ....... ....... ABSTRACT The direct election of the president and vice president is succeed democratitation process. People has their own sovereignity to decide their own choice. Shifting mass mobilitation from political machine party to th e power of mass media machine is the consequences of it. In the age of image rec ently, press and television broadcast have become a deciding factor of candidate winning. Who takes the power by force of this factor, is the winner. The victor y of Susilo Bambang Yudhoyono and Jusuf Kalla to be president and vice president in general election September 20th 2004 is the evident of the thesis. Keywords: political ad, the power of mass media, image building, candidate winning. . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...... PENDAHULUAN Tanggal 9 September 2004, bom kembali meledak mengguncang ibukota Jakarta meluluhlantakkan gedung-g edung pencakar langit sekitar jalan Kuningan di depan kedutaan besar Australia. Korban bergelimpangan bersimbah darah. Sembilan orang meninggal dunia dengan tub uh tercerai berai (mayoritas kaum Muslim seiman dengan

para terorisnya) dan ratusan orang menderita luka-luka berat dan ringan memenuhi ruang-ruang dan selasar rumah sakit ibukota. Meledaknya bom Kuningan melengkapi serangkaian teror bom dengan korban jiwa besar seperti bom di Sari Club Kuta Ba li ataupun bom di depan hotel J.W. Marriot Jakarta, yang sangat merugikan bagi s tabilitas keamanan pemerintahan presiden Megawati. Kasus itu merupakan tamparan keras dan jelas semakin memerosotkan kredibilitas politiknya pada saat menghadap i pertarungan dalam putaran terakhir pemilihan presiden melawanrival beratnya pa sangan Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla pada tanggal 20 September 2004. D i sela-sela gencarnya breaking news beberapa stasiun televisi swasta yang banyak menampilkan tayangan isak tangis dan erangan kesakitan korban-korban yang luka parah, tampil dengan gencarnya memenuhi waktu-waktu prime time iklan kampanye sa ng presiden. Dalam iklannya Megawati tampil dengan wajah melancholic dan senyum keibuannya diiringi backsound nyanyian paduan suara puja-puji beraroma kultus an akanak dari berbagai suku bangsa yang melengking jernih, dengan lirik sebagai be rikut: Wahai Ibu kami Banyak yang telah Ibu lakukan Harus selalu Ibu jaga dan ter uskan Bagi kami Putra-putri Negeri Pendekatan kampanye ini agak mirip dengan mara knya upacara puja-puji kultus Bapak Pembangunan yang gencar ditayangkan televisi ketika Suharto terpilih sebagai presiden ketujuh kalinya pasca pemilu 1997 (rup anya menjadi jabatan terakhirnya). Lagu Bapak Pembangunan diciptakan dan dinyany ikan oleh komposer sekaligus penyanyi legendaris Indonesia Titik Puspa yang genc ar ditayangkan oleh TVRI dan televisi swasta, menjadi satu bentuk dari model keb ulatan tekat dari setiap elemen organisasi masyarakat untuk mendukung kultus pem bangunan rezim Suharto. Dampak komunikasi dari iklan Megawati itu terasa paradok sal dengan situasi dan kondisi psikologis publik yang penuh keterancaman, ketaku tan, kesedihan, dan paranoid akibat serangkaian teror bom yang memakan banyak ko rban itu. Mungkin timbul persepsi yang negatif dari publik atas miskinnya kepedu lian sang presiden atas bencana yang dialami rakyatnya. Iklan kampanye politik m erupakan media komunikasi politik baru yang muncul akibat dinamika demokratisasi akibat cepatnya proses reformasi sejak lengsernya presiden Suharto. Kebutuhan a kan bentuk komunikasi politik yang lebih bersifat massal ini telah dimulai dan d ianggap penting oleh partai-partai politik lama maupun baru sebagai

sarana memobilisasi dukungan pemilih ketika bertarung memperebutkan suara pada P emilu 1999. Partai-partai besar seperti PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PDIP (P artai Demokrasi Indonesia Perjuangan), PAN (Partai Amanat Nasional), Partai Golk ar, dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) telah banyak membelanjakan anggaran b elanja kampanye dengan memasang iklan-iklan kampanye partai politik baik melalui media cetak maupun media televisi nasional waktu itu. Wajah dan sosok Abdurrach man Wahid (Gus Dur), Megawati, Akbar Tanjung, ataupun Amien Rais menjadi ikon ik lan-iklan politik dari partai-partai politik yang bersaing telah meramaikan dina mika kehidupan dunia periklanan Indonesia pada waktu itu. Berbagai pendekatan da n strategi kreatif dilancarkan oleh para pengarah dan perancang iklan untuk mend apatkan simpati publik. Dalam kampanye Pemilu 2004 yang menjadi tonggak penting proses demokratisasi dengan diselenggarakannya pemilihan presiden dan wakil pres iden secara langsung oleh seluruh rakyat Indonesia, maka bentuk komunikasi persu asif iklan politik semakin mendapatkan lahan suburnya. Kemudian yang menjadi per tanyaan dalam tulisan ini, sejauh manakah konsep-konsep serta strategi kreatif m ampu dirancang oleh para desainer ataupun pengarah kreatif periklanan kita di da lam mengkemas programprogram serta pesan-pesan politik menjadi sajian iklan yang rasional, mendidik, artistik, dan komunikatif sehingga menjadi media penyadaran ataupun pembelajaran politik bagi warga bangsa? Apakah iklan-iklan-iklan politi k itu juga mampu mempengaruhi publik calon pemilih sehingga memberikan suaranya kepada para kandidat yang diiklankannya? KULTUS KEKUASAAN YANG GAGAL Image kemeg ahan dan kebesaran kekuasaan tampak menjadi tema sentral dalam eksekusi kreatif iklan-iklan politik pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi. Sosok Megawati banyak d itampilkan dalam upacara resmi kenegaraan yang berbau seremonial dalam kapasitas nya sebagai kepala negara, sehingga mencitrakan kemapanan posisi politiknya. Seb agai putri proklamator dan presiden pertama RI Bung Karno pewaris darah biru din asti politik Indonesia, merupakan faktor genetik yang diangkat sebagai kekuatan positioning dan selling point untuk mendulang suara para pendukung fanatik yang diasumsikan merupakan mayoritas rakyat indonesia, oleh tim kampanyenya. Triawan Munaf dari biro periklanan Adwork Euro sebagai koordinator tim kreatif iklanikla n politik PDI Perjuangan memanfaatkan keunggulan komparatif Megawati sebagai pre siden yang sedang menjabat (incumbent) dengan pendekatan dokumenter dan humanist ik yang diperkirakan mampu menarik simpati publik. Meskipun keterbatasan

waktu hanya memungkinkan tampilan iklan yang cenderung hard sell, namun iklanikl an politik PDIP baik sewaktu kampanye pemilihan umum legislatif maupun pemilihan langsung presiden dan wakilnya dinilai cukup artistik dan memikat dibanding kom petitornya. Pada satu versi iklan televisi yang ditayangkan pada saat kampanye p utaran pertama pemilihan presiden ditampilkan dalam format medium close up wajah Megawati dengan senyum keibuannya dikerumuni anak-anak dengan wajah ceria, diir ingi narasi sebagai backsound: Di balik kelembutan Tak kenal lelah Tegas Selalu P eduli Demi Ibu Pertiwi Dengan editing yang cepat mengalir rancak bak video klip, iklan ini menampilkan potongan-potongan stock-shoot dokumenter seremoni kenegara an yang memperlihatkan adegan- adegan Megawati sedang bersilaturahmi dengan para santri; mengunjungi korban-korban bom di Kuta Bali yang mayoritas wisatawan man ca negara kulit putih; beraudiensi dengan Sri Paus Johannes Paulus II; melakukan inspeksi pasukan TNI diatas jeep terbuka pada upacara hari ulang tahun TNI; ber sama para pekerja wanita yang sedang bekerja di pabrik; mengunjungi korban benca na alam; melakukan ibadah sholat (sebagai counter atas isu melakukan sembahyang secara Hindu di suatu Pura di Bali); dan ditutup dengan closing adegan melepaska n burung merpati ke angkasa sebagai simbol perdamaian. Pada versi-versi iklan ya ng lain, pendekatan statistikal yang bersifat kuantitatif yang dikemas untuk men yajikan prestasi pemerintahan Megawati. Konsep perubahan Rekomendasi 5 diusung o leh pasangan kandidat Megawati-Hasyim Muzadi untuk menjanjikan keberhasilan dan perubahan jika mereka diberi kepercayaan oleh pemilih. Lewat angka-angka target pembangunan yang justru dinilai publik kelewat optimistik dan over-convidence (k elewat percaya diri), iklan-iklan politik versi ini justru kontra produktif dan semakin mendeligitimasikan posisi pasangan ini. Pada satu versi iklan pemadatan Rekomendasi 5, Megawati person menyampaikan hasil prestasi dan target-target pol itiknya: sebagai spokeSetelah 3 tahun berhasil memulihkan dasar-dasar ekonomi bangsa, saya bersama pak Hasyim Muzadi akan bekerja keras. Melalui Rekomendasi 5 kami akan pangkas kemisk inan sebanyak 45% , diikuti dengan teks caption Angka Kemiskinan Turun 45 % dan ba cksound narrator, Dan akan menciptakan 12.900.000 kesempatan kerja baru dalam kur un waktu 5 tahun .

Gambar kembali ke wajah Megawati yang menyatakan: Kami akan tanamkan investasi ku alitas sumber daya manusia , disusul suara narator Agar kualitas kehidupan bangsa i ni secara keseluruhan dapat ditingkatkan . Sebagai closing slogan Pilih Mega Hasyi m. Janji penciptaan lapangan kerja rata-rata 2.600.000 orang per tahun sungguh b ertolak belakang dengan realitas empirik yang tersaji lewat pemberitaan baik dim edia televisi maupun media cetak tentang banyaknya relokasi industri-industri mu lti nasional meninggalkan Indonesia (seperti pabrik elektronik Sony, sepatu Nike , dan lain-lainnya), serta PHK masal akibat bangkrutnya beberapa BUMN dan perusa haan swasta dilanda krisis moneter yang belum pulih sampai sekarang (contoh kasu s PT. Dirgantara Indonesia). Menurut pengamat komunikasi politik Universitas Ind onesia Effendi Ghazali yang dimuat pada majalah Cakram edisi bulan November 2004 , halaman 44, fakta-fakta empirik yang disampaikan secara statistik pasangan Meg a-Hasyim kurang dapat memenuhi ekspetasi rakyat pemilih. Fakta bahwa pemerintaha n Megawati sudah melakukan perubahan-perubahan nyata dalam bidang stabilitas kea manan, stabilitas moneter, dan laju perekonomian nasional kurang dapat terkomuni kasikan secara bernas dan efektif dalam media kampanye politiknya. Menurut hasil penelitian Transparency International Indonesia (TII) yang dikutip majalah Temp o edisi 21 Maret 2004 (di halaman 24-27), dan majalah Cakram edisi Juni 2004 (di halaman 20-21), untuk melangsungkan kesinambungan kultus kekuasaan tim kampanye Megawati membelanjakan sekitar 104, 84 milyar rupiah keseluruhan biaya kampanye dari pemilu legislatif sampai 2 kali putaran pemihan presiden langsung. Untuk m edia televisi saja pada kampanye putaran I menghabiskan belanja iklan sekitar 40 milyar rupiah, sedangkan untuk kampanye putaran ke II menghabiskan dana sekitar 13 milyar rupiah. IKON PERUBAHAN: SANG PENANTANG Bersama Kita Bisa Pesan sederhan a yang sangat kuat dan jelas dalam slogan yang menjadi kata kunci iklan- iklan k ampanye pasangan SBY-JK itu di tayangkan di media-media televisi nasional sehing ga membentuk kesadaran di benak khalayak calon pemilihnya. Makna yang terkandung dari slogan ini adalah bersama-sama dengan rakyat apapun kesulitan yang di hada pi bangsa ini akan dapat di selesaikan. Apapun partai politiknya SBY presidennya . Menggandeng Subiakto Priosoedarsono presiden direktur Hotline Advertising seba gai kordinator kampanye politiknya, pasangan SBY-JK tampil dalam strategi komuni kasi

yang simple, komunikatif, dan efektif untuk mendongkrak citra dan membentuk opin i positif publik calon pemilihnya. Subiakto dikenal sangat piawai mengemas keywo rd (kata kunci) sebagai kekuatan penyadaran akan keberadaan suatu merk di benak khalayak konsumen yang dibuktikan dengan sukses penjualan produk-produk yang men jadiclient-nya seperti Xon Ce (dengann keyword Xon Ce nya Mana? ), dan Sana Flu (de ngan keyword Belum Tau Dia ). Segmentasi publik calon pemilih dalam pemilihan umum presiden secara langsung yang bersifat heterogen, mayoritas tinggal di pedesaan, dengan tingkat pendidikan dan intelektualitas yang masih rendah, terasa cocok d engan gaya iklan-iklan Subiakto yang simple dengan pilihan bahasa yang sederhana mudah difahami dan bersifat single-minded (tafsir tunggal). Mengusung konsep ko munikasi brand building , figur SBY langsung diangkat sebagai brand name, rational selling point, sekaligus emotional selling point dengan mempertajam kekuatan per sonalitasnya. Postur tubuh SBY yang tinggi besar, wajahnya yang ganteng, gesture tubuhnya yang santun dan mengayomi, tutur kata yang sistematis dan ilmiah, ting kat intelektualitasnya yang tinggi (meraih doktor dalam bidang Ekonomi Pertanian dari Institut Teknologi Bogor), berpengalaman dalam birokrasi (mantan Menteri P ertambangan dan Energi serta Menteri Koordinator Politik dan Keamanan), dan tida k boleh dilupakan sebagai mantan militer berpangkat Jenderal ia dianggap publik mampu memberikan jaminan stabilitas politik dan keamanan nasional yang sangat la bil pada masa reformasi dewasa ini. Di era image, kepiawaian tim kampanye yang d engan cerdik memanfaatkan kekuatan media masa sebagai pendukung publisitasnya, s emakin memompa tingkat popularistasnya. Figur SBY merupakan jawaban akan kerindu an hadirnya seorang pemimpin, seorang bintang pujaan, sekaligus mitos seorang sat rio piningit dari publik masyarakat penontonnya. Slogan Bersama Kita Bisa yang dian gkat pada kampanye putaran I pemilihan presiden mengesankan bahwa SBY mengajak s eluruh rakyat apapun pilihan partai politiknya untuk bersama bahu membahu mengat asi krisis dan membangun Indonesia. Ini merupakan strategi yang tepat karena pad a riil politiknya sang calon presiden hanya didukung oleh Partai Demokrat yang m eraih suara lebih kurang 8 juta pemilih pada pemilihan legislatif. Ketika berhad apan langsung dengan Megawati presiden yang masih menjabat pada pemilihan presid en putaran ke II, tim kampanye SBY-JK mengangkat slogan Perubahan Kini Semakin De kat sebagai kontras atas posisi Mega yang berada pada status-quo kekuasaan. Sebag ai penantang, konsep perubahan yang dijanjikan lebih relevan dengan harapan masy arakat luas yang mendambakan perubahan lebih cepat dari kondisi stagnasi reforma si dan krisis multi dimensi ini. Kondisi psikologis

publik pemilih yang mudah berubah (swingers voter), tidak sabaran, dan mudah kec ewa merupakan lahan empuk bagi janji-janji perubahan. Lewat kemasan iklan-iklan testimonial dan versi-versi yang menonjolkan pasangan dwitunggal SBY-JK sebagai tali pemersatu perbedaan dari partai-partai yang gagal mengantarkan calon presid ennya pada pemilihan putaran I, pasangan ini mendulang sukses berhasil tampil se bagai ikon perubahan (Cakram, November 2004: 46-48). Perubahan menjadi positioni ng sekaligus brand image pasangan SBY-JK yang kuat melekat di benak publik calon pemilihnya. Faktor terpenting lainnya adalah kesadaran tim kampanye untuk menge ksplorasi kegiatan public-relations (kehumasan) sebagai media pengelola isu (iss ues management) baik yang berdampak positif maupun negatif (black campaign) agar menguntungkan bagi pembentukan citra positif dan popularitas pasangan ini. Kegi atan publisitas (PR), pemanfaatan event-event strategis, dan periklanan merupaka n rangkaian dari komunikasi pemasaran terpadu (integrated marketing communicatio n) yang dilakukan oleh tim kampanye SBY-JK ternyata terbukti sangat menguntungka n dalam meng-endorce (mendorong) tercapainya brand awarenesspasangan ini. Televi si sebagai primadona media komunikasi masa dimanfaatkan secara cermat. Hampir se tiap acara yang melibatkan publik yang bernilai rating tinggi apakah itu berbent uk talk show, debat kandidat, wawancara, panel diskusi, paket acara keagamaan se perti yang diasuh Aa Gym, bahkan sampai program reality show yang sedangbooming digandrungi segenap lapisan masyarakat seperti Akademi Fantasi (AFI) di stasiun TV Indosiar, dimanfaatkan dengan prima pasangan ini. Tampilnya SBY (bersama Wira nto kandidat dari partai Golkar) menyanyikan lagu hit band Jamrud, Pelangi Di Ma tamu pada malam grand-final AFI 2 berhasil mengundang simpati kalangan pemilih m uda. Juga lembaga-lembaga penyelenggara jajak pendapat (polling centre) baik di media cetak maupun televisi mempunyai andil yang sangat penting dalam mendongkra k kemenangan pasangan SBY-JK. Hampir setiap hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh berbagai lembaga penyelenggara dimenangkan oleh pasangan SBY-JK, sehingga m emberi kesan seolah-olah pasangan ini telah menang sebelum bertanding. Hasil akh irnya lebih kurang 60 % suara kemenangan diraih pasangan Susilo Bambang Yudhoyon o- Jusuf Kalla, mengalahkan pasangan Megawati- Hasyim Muzadi pada pemilihan pres iden dan wakil presiden secara langsung pada tanggal 20 September 2004. Sejarah telah ditorehkan. ERA IMAGE DAN TIRANI MEDIA Pemilihan presiden dan wakil presid en secara langsung oleh rakyat Indonesia merupakan suatu prestasi yang membangga kan dari segala carut marut reformasi dan

proses demokratisasi di negeri ini. Era kedaulatan rakyat benar-benar terwujud m enggeser era kedaulatan elit yang hadir sepanjang sejarah kehidupan politik nege ri ini sejak jaman Majapahit sampai Orde Baru. Dahulu para raja memegang puncak kuasanya secara turun temurun karena dianggap sebagai titisan para dewa. Pada ma sa republik modern telah didirikan presiden RI yang pertama Bung Karno dipilih d an dikukuhkan oleh para tokoh elit perjuangan kemerdekaan yang tergabung dalam P anitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Untuk melanggengkan kekuasaannya, Bung K arno diangkat sebagai presiden seumur hidup Pemimpin Besar Revolusi oleh lembaga MPRS, setelah membubarkan Konstituante (parlemen yang dipilih secara demokratis pada Pemilu 1955) dengan Dekrit Presiden pada tahun 1959. Berganti masa kekuasa an Orde baru, siklus teratur lima tahunan penyelenggaraan Pemilu hanya untuk mem ilih anggota DPR dan MPR yang berfungsi sebagai stempel pengukuh pengangkatan Su harto sebagai presiden secara terus menerus selama 7 periode tanpa rival sama se kali. Maka lembaga tertinggi negara seperti partai politik, DPR, dan MPR, menjad i lembaga demokrasi semu (demokrasi seolah-olah menurut istilah Gus Dur) yang ha nya berperan sebagai mesin mobilisasi politik kekuasaan tunggal sang patron. Pro ses reformasi yang berujung pada lengser keprabon presiden Suharto 23 Mei 1998, mengakibatkan wakil presiden Prof.Dr. BJ.Habibie diangkat dan dilantik oleh Suha rto sebagai presiden penggantinya. Dalam Pemilu pertama pasca Orde Baru tahun 19 99 yang dinilai paling demokratis selama ini, dihasilkan anggota DPR dan MPR yan g mengangkat Abdurrachman Wahid sebagai presiden RI ke 4 (padahal partai pemenan g Pemilu adalah PDIP). Akibat krisis Bulog-gate maka MPR melakukan sidang istime wa dan mencopot jabatan presiden dari Gus Dur dan mengangkat Megawati (semula wa kil presiden) sebagai penggantinya. Siklus kedaulatan elit baru terputus dengan terpilihnya pasangan SBY-JK sebagai presiden dan wakil presiden pilihan rakyat s ecara langsung pada 20 September 2004 yang menjadi tonggak emas perjalanan kehid upan politik bangsa ini. Kedaulatan elit, kedaulatan partai, ataupun kedaulatan birokrasi tidak berjalan efektif dengan gagalnya Koalisi Kebangsaan yang dimotor i partai-partai besar pemenang Pemilu 2004 seperti Golkar, PDIP, PPP, dan PDS me ngusung pasangan Megawati-Hasyim Muzadi. Pada era kedaulatan rakyat mesin politi k yang digerakkan oleh elit partai kurang berjalan efektif, dan kekuatan pengera han sumber daya politik lebih banyak di gerakkan oleh mesin media komunikasi mas a industri-industri media seperti televisi, pers, ataupun media cyber-interaktif internet. Sebagai primadona televisi tumbuh sebagai kekuatan raksasa pembangun dan pembentuk opini publik yang paling berpengaruh dalam kehidupan politik kita. Hegemoni budaya layar (screen-culture)

dalam ruang-ruang publik kita telah memungkinkan televisi menjadi kekuatan utama media pendidikan politik sampai di ruang-ruang keluarga, terutama disaat menjel ang peristiwa penting politik seperti pemilihan umum. Sementara itu di sisi lain media televisi juga mampu bermetamorposis sebagai alat penghancur dan pembunuh karakter seorang aktor politik (carracter assasination) yang ganas tanpa ampun. Televisi bak monster dengan dua kutub wajah seperti tokoh Dr Jeckyll dan Mr. Hyd e yaitu mampu sebagai kekuatan paedagogis yang positif juga sekaligus dapat seba gai mesin pembunuh dan ajang pengadilan politik yang tak kenal kompromi. Televis i mampu mengangkat citra dan popularitas seorang aktor politik akan tetapi sekal igus juga mampu menjungkalkan serta memerosotkan kredibilitas dan legitimasinya sampai ke titik nadir. Dunia televisi merupakan dunia citraan, dan realitas yang ditampilkan merupakan realitas semu hasil proses suntingan (editing) dari reali tas kehidupan sesungguhnya. Realitas tiruan ini mempunyai hukum, logika, dan dun ianya sendiri (second reality atau hyper-reality), yang pada titik ekstrimnya di terima bahkan diyakini sebagai realitas sesungguhnya. Akhirnya kehidupan politi k yang ditampilkan dan dibentuk lewat layar media menjadi semacam hiperpolitik ( hyper-politics) yaitu politik yang hidup dalam wujud simulasinya di dalam ruangruang citraan (terutama televisi), yang tidak lagi merepresentasikan politik ses ungguhnya di dunia nyata (politics of discontinuity) (Garin Nugroho, 2004: 61-67 ). Megawati merupakan contoh yang menarik bagaimana nasib seorang aktor politik dilambungkan dan akhirnya dihempaskan oleh kekuatan media ini. Seperti lika-liku plot cerita opera sabun, Megawati pernah meroket popularitasnya pada masa Orde Baru sebagai tokoh protagonis teraniaya oleh rezim kekuasaan yang otoriter Suhar to. Sejak dirinya terpilih sebagai ketua umum PDI pada kongres di Medan yang tid ak direstui oleh pemerintah ia diangkat media sebagai ikon perlawanan Orde Baru yang akhirnya mengantarkan kemenangan PDIP partai yang dipimpinnya dalam pemilih an umum 1999 dan akhirnya membuahkan kursi kepresidenan bagi dirinya. Demikian s ebaliknya, pada pemilihan presiden langsung yang baru lalu ia diposisikan dan di persepsikan oleh kalangan pers dan media sebagai tokoh antagonis yang mewakili c itra status- quo kekuasaan. Di mata pers ia dianggap sulit berkomunikasi, lamban , antikritik, dan kebijakan- kebijakan politiknya tidak memihak wong cilik sebag ai pendukung utamanya (sering diplesetkan dengan jauh dari wong cilik dekat deng an wong licik). Ia sering menjadi bulan-bulanan media seperti terlihat pada wawa ncara khususnya menjelang putaran kedua pemilihan presiden (seperti ketika tampi l pada stasiun TV SCTV dan Metro). Wawancara berubah menjadi arena pengadilan po litik dengan pertanyaan-pertanyaan pemandu acara yang sering memojokkan dan mema ncing emosi Megawati sehingga menggerogoti image politiknya. Dalam beberapa pida to kenegaraan seperti saat menyambut hari ulang tahun Pers Indonesia, presiden

Megawati menyindir kalangan pers yang dianggap kebablasan dan bersikap oposisi t erhadap kebijakan dan program-program pemerintah. Sebaliknya sang penantang SBY dalam telenovela perpolitikan nasional diposisikan media sebagai tokoh protagoni s baru. Popularitasnya terus meroket secara dramatis berkat dukungan suku-suku b aru kontemporer (neotribal) penggemar opera sabun dan telenovela yang haus akan cerita-cerita dramatis, bintang-bintang pahlawan baru, pelakon-pelakon yang tera niaya dan berakhir dengan kemenangan dramatis. Gencarnya ekspose media masa baik cetak maupun televisi ketika SBY disingkirkan secara halus sebagai Menkopolkam dalam kabinet Gotong Royong dan menjadi keputusan pengunduran dirinya merupakan momentum penting. Perseteruannya dengan Taufik Kiemas suami presiden Megawati, m enjadi semacam pertunjukan kesewenang-wenangan kekuasaan. Ucapan Taufik Kiemas y ang menghina pribadi SBY sebagai Jenderal yang kayak anak kecil , menjadi kotak pan dora yang semakin melambungkan pamornya sebagai ikon ketertindasan yang banyak m enangguk simpati publik. Dari analisis yang lebih cermat dapat disimpulkan bahwa kekuatan pencitraan sosok SBY sebagai ikon perubahan bukanlah semata-mata hanya bertumpu pada pengelolaan strategi periklanannya, melainkan lebih kepada teks p ersonalnya sendiri yang memenuhi ekspetasi dan impian masyarakat penggemar yang cenderung eskapis. Popularitasnya dibentuk bersama oleh momentum sejarah, media masa, lembagalembaga jajak pendapat (polling centre), tim sukses kampanye, masya rakat penggemar penonton setia televisi, dan kelemahan pemerintahan Megawati. Ce patnya perubahan konstelasi politik di Indonesia memaksa para pelaku dan aktorak tor politik yang mendambakan kekuasaan untuk merancang strategi komunikasi dan p enguasaan media masa secara tepat, efektif, dan efisien guna menjaring semaksima l mungkin perolehan suaranya. Teori-teori pemasaran dan komunikasi modern menjad i pilihan disamping mobilisasi lewat organisasi partai politik dan ideologi. Men gacu pendapat Bruce I Newman dalam bukunya Handbook of Political Marketing (1999 ) yang dikutip oleh Eep Saefulloh Fatah pada esainya yang berjudul Dari Supporter ke Voter (dimuat dalam Tempo 19 September 2004)0: pada zaman cyber-space ini per tarungan politik membutuhkan jurus-jurus pemasaran seperti pemetaan segmentasi p emilih, demografi pemilih, psikografi pemilih, brand positioning kandidat, brand personality kandidat, tawar menawar, transaksi, public-relations, media plannin g, media buying, media placement, pengelolaan isu dan event-event penting, riset dan seterusnya. Para pemilih dipandang sebagai konsumen unsur terpenting dalam siklus kegiatan pemasaran. Laku dan gagalnya penjualan sang kandidat dalam pasar p emilihan umum tergantung pada kecanggihan dan kreativitas komunikasi pemasaran y ang

dilakukan. Menurut Newman, pasar politik dalam lahan demokrasi yang sehat membut uhkan prasyarat kebebasan berkompetisi, partisipasi, dan rasionalitas dari para pemilih (voters) yang menggantikan emosionalitas, kultus, fanatisme, dan model m obilisasi dari para pengikut (supporters). Sumber dari esai Eep Saefulloh Fatah Dari Supporter ke Voter dalam Tempo 19 Septe mber 2004, halaman 116-117. Publik yang dikategorikan sebagai pemilih (voters) m enggunakan analisa rasional, dengan kalkulasi yang cermat berkat pengetahuan yan g memadai tentang kelayakan dan kepatutan kandidatnya. Mereka mau memilih jika m erasa yakin bahwa kandidat tersebut mampu memperjuangkan aspirasinya secara baik . Pemilih memposisikan kandidat sebagai sosok historis tidak berdasarkan mitos, kultus, ataupun hubungan hierarki genealogis (hubungan silsilah kekeluargaan den gan para elit politik). Mereka menyerahkan kepercayaan berdasarkan pertimbangan prestasi, track record, kompetensi, dan moralitas sang kandidat sebagai pengemba n amanat rakyat. Pemilih akan memposisikan dirinya setara dengan kandidatnya, da n memberikan pilihannya tidak secara gratis. Ia akan selalu menuntut imbalan yai tu pelaksanaan janjijanji politik yang diberikan sang kandidat pada saat kampany e. Tugas pemilih tidak selesai begitu saja sesudah proses pencoblosan dilakukan, melainkan akan terus mengawal dan menuntut pertanggung jawaban dari pemimpin pi lihannya selama masa jabatan yang ditentukan. Mandat mereka bukanlah cek kosong belaka, dan janji politik harus diuji kebenaran pelaksanaannya oleh publik. Pemi lih adalah subyek partisipasi bukan obyek mobilisasi, sehingga ia mempunyai kema ndirian dalam membangun kesadaran, merumuskan pilihannya, dan mengekspresikan pi lihannya. Dalam bahasa yang lain para pemilih merupakan rational voters yang mem punyai tanggung jawab, kesadaran, kalkulasi, rasionalitas, dan kemampuan kontrol yang kritis

terhadap kandidat pilihannya, yang meninggalkan ciri-ciri traditional voters yan g fanatik, primordial, dan irasional, serta berbeda dari swingers voters yang se lalu raguragu dan berpindah-pindah pilihan politiknya. Dalam pemasaran politik, pengelolaan dan penguasaan media komunikasi pemasaran modern merupakan ujung tom bak aktivitasnya. Penguasaan media menjadi kunci kemenangan atas posisi politikn ya. Tim pemasar politik harus mampu mengintegrasikan berbagai bentuk aktivitas k omunikasi pemasaran dengan beragam bauran medianya (media mix) yang sering diseb ut sebagai Integrated Marketing Communication (IMC) secara kreatif, sinergis, da n efektif dalam membangun kepercayaan di benak calon pemilihnya. Bentuk-bentuk a ktivitas IMC seperti, advertising, direct marketing, sales promotion, publicity/ public-relations, personal selling, dan eventatau sponsorship menjadi aneka pili han untuk dapat dimanfaatkan secara tepat dan akurat dengan pertimbangan urgensi dan skala prioritasnya (George E. Belch &Michael A. Belch, 1998: 3-31). Pemanfa atan berbagai bauran media seperti above the line media (ATL), below the line me dia (BTL), serta trough the line media (TTL) secara kreatif, unik, strategis, da n akurat merupakan kunci yang lain dalam memenangkan pertarungan media. Pada tah ap awal perintisan membangun citra positif sang kandidat sebagai kegiatan brandbuilding, merupakan tahapan yang paling krusial dan menjadi fondasi yang menentu kan kelangsungan dan keberhasilannya. Dalam bukunya yang berjudul: The Fall of A dvertising and The Rise of Public Relations (2003), Al Ries dan Laura Ries mempe rkenalkan era public relations (The Public Relations Cometh), yang menggantikan era positioning(The Positioning Cometh)(Al Ries & Laura Ries, 2003: 2-4). Menuru tnya periklanan sebagai bentuk puffery communication telah kehilangan kredibilit asnya. Periklanan dianggap sebagai kebohongan dan suara manipulatif dari perusah aan atau pihak-pihak yang ingin menjual produk maupun gagasannya. Melalui serang kaian kasus-kasus penelitiannya dibuktikan bahwa program-program kampanye perikl anan yang dilakukan perusahaan-perusahaan raksasa multinasional itu justru berda mpak menjatuhkan angka penjualan produk-produknya seperti: iklan bertema mobil m ainan dari Nissan; iklan bertema Just Do It dari Nike; iklan kampanye Energizer Bu nny; iklan Alka Seltzer; dan masih banyak lagi. Kesimpulan dari pengamatannya pe riklanan tidak membangun kesadaran terhadap sebuah merek (brand), melainkan publ isitaslah yang membangun keberadaan sebuah merek. Periklanan hanya bisa memeliha ra keberlangsungan merek (bersifat remindering) yang telah diciptakan oleh kegia tan publisitas (PR).

Dari hasil jajak pendapat yang diselenggarakan lembaga riset Gallup terhadap per sepsi publik atas kejujuran dan etika dari 32 macam profesi yang berbeda-beda, p eriklanan dan praktisi periklanan menempati peringkat nyaris terbawah persis dia ntara penjual asuransi dan penjual mobil. Resep kunci dari Al Ries janganlah sek ali-kali meluncurkan program periklanan sebelum kemungkinan-kemungkinan publisit as (PR program) dikembangkan dan dieksplorasi. Public Relations merupakan batu f ondasi yang menentukan kokohnya kesadaran mereka ditanamkan di benak konsumen, b aru diikuti aktivitas komunikasi lainnya seperti periklanan. Sumber dari Al Ries & Laura Ries, 2003. The Fall of Advertising and The Rise of Public Relations. Jakarta: Gramedia, halaman 2. SIMPULAN Sebagai media komunikas i politik yang baru, iklan-iklan politik kampanye pemilihan presiden dan wakil p residen baik pada putaran ke I maupun pada putaran ke II masih banyak yang mengg unakan pendekatan emosional dalam mempengaruhi calon pemilih. Penonjolan figur k andidat dengan segala sentuhan emosionalitasnya seperti eksploitasi kegantengan SBY, serta kharisma kelembutan keibuan Megawati mendominasi eksekusi iklan-iklan politik yang ditayangkan di media televisi maupun media pers nasional. Publik k urang mendapatkan informasi mengenai program-program pembangunan, serta konsep-k onsep politik yang bersifat paradigmatik dan rasional dari setiap kandidat di da lam membangun bangsa Indonesia di masa depan setelah mereka terpilih.

Kemenangan pasangan kandidat presiden dan wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyon o-Jusuf Kalla yang berhadapan dengan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi dalam pemil ihan umum presiden secara langsung 20 September 2004 menjadi titik balik akan ke sadaran baru keberadaan mesin media komunikasi masa sebagai kekuatan pembentuk s ikap calon pemilih, disamping tentunya kekuatan mesin politik partai. Acara-acar a pembentuk opini publik yang ditayangkan televisi nasional seperti talk show, d ebat kandidat, panel diskusi, polling (jajak pendapat), bahkan sampai bentukbent uk yang lebih longgar seperti program reality showyang banyak disukai kaum wanit a dan anak muda banyak dimanfaatkan oleh tim kampanye para kandidat presiden dan wakil presiden. Pemilu 2004 ini telah memberikan kesadaran bagi para perancang komunikasi politik untuk menggunakan bauran berbagai media serta menerapkan komu nikasi pemasaran terpadu (tidak hanya memanfaatkan iklan semata) demi keberhasil an program-program kampanye yang dilakukan untuk mendukung kandidatnya. KEPUSTAK AAN , Antara Pemilu dan Media dalam Cakram edisi Juni 2004. Belch, George E. & Belch, Michael A., Advertising and Promotion: An integrated Marketing Communications P erspective. Boston: Irwin McGraw-Hill, 1998. Eep Saefulloh Fatah, kolom Dari Supp orter ke Voter dalam Tempo, 19 September 2004 Edisi Khusus Pemilihan Presiden. Ga rin Nugroho, Opera Sabun SBY: Televisi dan Komunikasi Politik, Jakarta: Nastiti, 2004. , Iklan Sebagai Mesin Politik Baru dalam Cakram edisi November 2004. , In r Dana Kampanye dalam Tempo, edisi 21 Maret 2004. Ries, Al & Ries, Laura, The Fal l of Advertising and The Rise of Public Relations. Jakarta: Gramedia. 2003. .... ........................................................... .................... .... Sumber: Desa Informasi > Pusat Penelitian (Research Centre) Petra Christian University Desa Informasi or Information Village is the name adopted for the Local eContent (digital information resources with local flavor) development project b eing carried out in Petra Christian University Library.

Desa Informasi can also play an important role in preserving (at least) digitally local historical and cultural heritage, thus preserving the collective memory of a local society. All Local eContent collections are available for everyone thro ugh the Internet for free. Some Local eContent collections are currently availab le in Desa Informasi, such as Surabaya Memory, Digital Theses, eDIMENSI, Petra@rt Gallery, Petra iPoster, and Petra Chronicle Perihal Ideologi dan Praktek Kebudayaan Sosok pemikir Louis Althusser (1918-1990). ..................................... .......................... ........................ oleh Nurul Huda

KATA ideologi` memang memiliki konotasi yang sedemikian buruk dalam kehidupan sehar i-hari. Ia diasosiasikan dengan penipuan, mistifikasi, pembodohan, dan konflik p olitik. Namanya pun lekat dengan irasionalitas, emosional, dan fanatisme buta. I deologi lekat dengan memori kekerasan dan konflik perang antara blok Barat yang dikomandani AS dan blok Timur di bawah kendali US. Apalagi sejarah perang ideolo gi telah memakan korban jutaan manusia dalam perang dunia kedua, ditambah jutaan lainnya korban pemerintahan fasisme Nazi Jerman pimpinan Hitler. Usai perang du nia yang dimenangkan blok Barat dan kemenangan paham neoliberalisme dalam ekonom i perdagangan, lalu para pengamat pun buru-buru mengklaim bahwa abad ke-20 ini a dalah masa berakhirnya ideologi-ideologi dunia. Suatu masa yang penuh diwarnai d engan kekerasan, intrik, dan konflik politik. Pandangan pejoratif tentang konsep ideologi ini sebenarnya bisa ditelusuri dari sejarah dipergunakannya istilah id eologi sendiri. Istilah ini adalah derivasi dari ideologues yang muncul paska Re volusi Perancis. Napoleon Bonaparte menggunakan istilah ideologi untuk menyerang lawan-lawan politiknya yang memiliki ide-ide yang tidak realistik berkaitan den gan kepentingan-kepentingan negara Perancis baru saat itu. (1) Selanjutnya Marx dan Engels memberikan elaborasi yang sistematis tentang ideologi. Warna pejorati f pun masih begitu melekat dalam pandangan mereka. Istilah ideologi digunakan Ma rx untuk menyerang dan menyingkap distorsi, ilusi dan inversi yang membentuk ide alisme filosofis tradisi Hegelian German. Dengan mendasarkan diri pada metode ma terialisme historis, Marx mengkritik para ideolog German ini bahwa pikiran-pikir an mereka teralienasi dari kehidupan. Marx berpendirian, kapitalisme telah melah irkan pemahaman/pengetahuan yang tidak mencerminkan realitas sebenarnya (false k nowledge), yaitu realitas pertentangan kelas antara kaum borjuis dan proletar da lam masyarakat industrial-kapitalistik. (2) Pengetahuan yang tidak mencerminkan realitas atau kesadaran yang teralenasi dari praksis inilah yang disebut dengan ideologi. Ideologi merupakan representasi yang keliru tentang manusia dan dunia karena menganggap situasi yang ada sebagai natural, ahistoris, dan memistifikasi suatu tatanan sosial. Berkaitan dengan masyarakat, ideologi adalah bagian dari superstruktur yang melayani kekuatan substruktur ekonomi. Ideologi melegitimasi relasi sosial dan ekonomi, sekaligus senjata kelas berkuasa. (3) Pandangan klasi k tentang ideologi ini kini menuai kritik tajam. Pandangan klasik dan pejoratif tentang ideologi telah mengaburkan fakta, bahwa ideologi sebenarnya beroperasi d alam ranah kehidupan sehari-hari, bahkan lebih dominan dalam suatu tatanan sosia l tertentu. Bahkan ideologi sebagai praktek kebudayaan relatif memiliki otonomin ya sendiri, dan tidak bisa direduksi begitu saja kekuatan-kekuatan produksi dan kelompok ekonomi. Dalam kebudayaan sehari-hari, dalam seni pertunjukan rakyat, T ayub, ketoprak atau seni ludruk, bahkan dalam ritual istighasah, (4) misalnya, b isa bersifat ideologis, atau dimasuki oleh berbagai kepentingan dan kekuasaan. I deologi

tidak lagi terpusat dan menjadi doktrin politik person kekuasaan, melainkan ters ebar dalam ranah keseharian, sebagaimana kekuasaan yang tersebar dalam seluruh t atanan sosial. Untuk memahami fenomena ini, saya banyak memanfaatkan insight par a pemikir dan filsuf (pos)strukturalis, khususnya Louis Althusser (5) dan Michel Foucault (6) sekaligus insight dari disiplin antropologi dan sejarah yang ikut menyumbang hal yang amat penting dalam perkembangan konsep ideologi dan kebudaya an. Foucault dan Produksi Kekuasaan Kritik tajam atas pandangan ideologi Marx in i dilakukan oleh Michel Foucault. Menurut Foucault, Marx masih terjerat mimpi da n kerinduan akan sebentuk kebenaran atau pengetahuan yang bebas dari distorsi, t ipuan dan ilusi. Ia tergoda untuk mempertentangkan antara false knowledge dan tr ue knowledge. Bahwa gagasan atau pengetahuan yang mencerminkan realitaslah yang benar. Di sini Marx menganggap realitas lebih prior dari gagasan dan kehidupan m ental bersifat sekunder dari determinan ekonomi material. Sedangkan baginya ideo logi harus dipertentangkan dengan apa yang dianggap sebagai kebenaran. (7) Menur ut Foucault, wacana-wacana, pengetahuan-pengetahuan beserta institusi penopangny a pada dirinya sendiri tidaklah memuat kategori benar atau salah. Karena setiap masyarakat dan setiap zaman memiliki bentuk-bentuk wacananya sendiri yang di dal amnya kebenaran-kebenaran itu dibangun. Kebenaran adalah capaian sistem-sistem p engetahuan yang menguasai tatanan sosial yang berisi teknik-teknik, prosedurpros edur nilai, tipe-tipe wacana, dan teknologi yang dikembangkan. Masalah kebenaran s elalu terkait dengan relasi kekuasaan dalam ranah sosial dan politik. Kebenaran t idak di luar kekuasaan (8). Karena kebenaran berada dalam banyak cara dan praktek -praktek kehidupan manusia dalam mengatur diri mereka dan orang lain. Kebenaran diproduksi dengan pembentukan wilayah-wilayah di mana praktek benar dan salah da pat diciptakan dalam sekali aturan dan terkait. Karenanya, setiap ilmu pengetahu an memiliki rezim kebenarannya sendiri. Bagaimana kekuasaan dan kebenaran itu be rhubungan satu sama lain? Menurut Foucault, kedua ada di dalam praktek-praktek d iskursif, tempat di mana ucapan, tindakan, aturan-aturan yang diterapkan, alasan -alasan yang diberikan bertemu dan saling berhubungan, serta benar dan salah dit entukan di dalamnya. Melalui penelitian arkeologinya, Foucault menyelidiki dokum en-dokumen, tempat, serta bermacammacam ritual pekerja dan publik, tempat di man a genealogi bentuk-bentuk sejarah ( teknologi moral , rezim rasionalitas ) itu hadir. S eperti: dalam praktek pengobatan klinis, hukuman penjara sebagai praktek menghuk um umumnya; dan bagaimana orang gila dianggap sakit mental. Melalui bukti-bukti sejarah ini, Foucault menunjuk langsung pada praktek-praktek kekuasaan. Tipe pra ktek-praktek ini tidak hanya diatur oleh

institusi, ditentukan oleh ideologi dan dituntun oleh keadaan pragmatis, tapi ju ga mempengaruhi regularitas mereka, logika, strategi pembuktian diri dan alasanalasan mereka. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa ideologi sebenarnya berjalin -kelindan dengan praktek-praktek diskursif dalam masyarakat di mana relasi kekua saan berlangsung dan kebenaran diciptakan. Althusser dan Aparatus Ideologis Jika Foucault menunjukkan bahwa kekuasaan tersebar dalam relasi sosial melalui prose s diskursif, Althusser memberi sumbangan pada bagaimana ideologi beroperasi dan bagaimana ideologi direproduksi dan dipertahankan. Pertama-tama dengan menolak M arx, ia menyatakan bahwa tidak mungkin kita bisa menangkap realitas sebenarnya k arena kita tergantung pada bahasa. Paling-paling kita hanya bisa merasakan meski bukan kondisi real`, cara-cara di mana kita telah dibentuk dalam ideologi melalui proses-proses pengenalan yang kompleks. Menurut Althusser, ideologi tidak mencer minkan dunia real, melainkan merepresentasikan hubunganhubungan imaginer individuindividu terhadap dunia real. Bagi Althusser ideologi merupakan ciri yang dibutu hkan masyarakat sejauh masyarakat mampu memberikan makna untuk membentuk anggota nya dan merubah kondisi eksistensialnya. Masyarakat manusia menyembunyikan ideol ogi sebagai elemen dan atmosfir yang sangat diperlukan bagi nafas dan kehidupan sejarah mereka. (9) Kedua, ideologi memiliki eksistensi material, yakni aparatus -aparatus dan praktekprakteknya sehingga di dalamnya ideologi bisa hidup. Dalam aparatus dan praktekpraktek inilah ideologi diyakini dan dihayati oleh semua kel ompok, dan terus mereproduksi kondisi-kondisi dan hubungan tatanan masyarakat ya ng sudah ada, yakni tatanan masyarakat industri kapitalis. Menurutnya, agar ideo logi diterima, diyakini dan dihayati oleh semua kelompok, maka ia harus dimateri alkan. Ideologi hidup dalam praktek-praktek kelompok kecil, dalam citraan, dan o byek yang digunakan dan ditunjuk masyarakat, dan dalam organisasi-organisasi. Mi salnya, pada sekolah-sekolah, rumah tangga, organisasi perdagangan, media massa, olahraga, pengadilan, partai politik, universitas dan seterusnya. Ideologi, men urut Althusser, eksis dalam dan melalui lembaga-kembaga ini. Aparatus adalah eks istensi material ideologi. (10) Ketiga, ideologi membentuk individu-individu kon krit menjadi subyek. (11) Dalam aparatus-aparatus, ideologi disosialisasikan dan diinterpelasi dalam diri subyek. Interpelasi subyek ini lalu membentuk realitas nampak pada kita sebagai benar` dan jelas`. Misalnya begini: ketika kita bersepeda mo tor, tiba-tiba ada bunyi peluit di belakang kita. Serentak terbayang dalam benak kita: ada polisi dan ada pelanggaran yang mungkin kita lakukan. Lalu kita memal ingkan muka dan berbalik. Hadirnya disposisi tentang benar/salah`, atau melanggar/ti dak melanggar` serta adanya

ketundukan atas wacana otoritas (polisi) pada dasarnya telah menunjukkan hadirny a suatu ideologi. Ideologi menggerakkan diri kita secara nir-sadar, melalui pros es interpelasi subyektif. Jikalau seandainya kita tidak mengakui bahwa interaksi dengan polisi adalah ideologis, justeru di situlah kekuatan ideologi. Yakni dene gasi` praktis dari karakter ideologi sendiri. Ideologi bekerja secara nir-sadar da n menjadi bagian hidup dan gaya hidup sehari-hari. Aparatus-aparatus ideologis i ni merupakan alat hegemoni (12) yang paling canggih untuk melanggengkan kekuasaa n, melestarikan struktur kelas dominan, dan mengabadikan penindasan. Caranya, de ngan mengusahakan sedapat mungkin agar ideologi itu diyakini oleh seluruh kelas dan kelompok, baik kelas berkuasa maupun yang dikuasai. Menurut Althusser, di si nilah ciri-ciri ideologi yang membingungkan itu memainkan peran. Fungsi kelas ide ologi adalah bahwa ideologi yang berkuasa adalah ideologi dari kelas yang berkua sa; Ideologi berkuasa membantu kelas penguasa dalam menguasai kelas tereksploita si sekaligus memapankan dirinya sendiri sebagai kelas penguasa . (13) Teori ideolo gi sebagai penipuan penguasa memperlihatkan bahwa mereka yang berada dalam posis i dominan sesungguhnya sama sekali tidak hadir secara alamiah atau karena keahli annya. Karena jika benar demikian maka tidak lagi dibutuhkan ideologi, juga tak perlu menjelaskan atau mempertahankan eksploitasi mereka. Sebaliknya ini menunju kkan persistensi stratifikasi sosial-politik dan ideologi dominan memerlukan leg itimasi dua belah pihak dari penguasa dan yang dikuasai. Bila ideologi ini diter ima oleh kedua pihak, ini artinya struktur kekuasaan dan privelegi yang timpang itu bisa dilestarikan. Dalam konteks ini ideologi sering menggunakan bahasa resip rositas . Dia mencontohkan bahwa imperialisme menganggap dirinya sah karena merasa bertanggng jawab atau berjasa membangun unit-unit sosial dan pentingnya hubunga n sosial yang harmonis. (14) Apa yang dikemukakan Althusser ini memberikan insig ht baru tentang gagasan bagaimana ideologi itu dibentuk dan pertahankan serta ap a efek-efeknya. Misalnya: bagaimana perbedaan kelas diinstitusionalisasikan mela lui lembaga-lembaga sosial seperti sekolah; bagaimana institusi pendidikan itu m enempatkan masyarakat dalam relasi kelas-kelas yang ada; bagaimana mitos tentang persamaan individu, persamaan kesempatan, dan prestasi individu dimasukkan dala m teks dan praktek program sekolah dan kebijakan pendidikan nasional. Mitos-mito s kesamaan yang tumbuh dalam produksi ketaksamaan ini (produksi ketidaksetaraan ke las dan kelomopok sosial, diskriminasi gender, misalnya) menunjukkan gagasan-gag asan yang ideologis. (15) Fungsi ideologi lainnya ialah menghubungkan masyarakat satu sama lain, dengan suatu dunia dan terutama diri mereka sendiri. Ideologi m emberikan identitas tertentu. (16) Misalnya, jika seorang individu mengimani Tuh an kemudian pergi sembahyang secara teratur, mengakui dosa-dosanya dan seterusny a; keyakinan itu lalu direalisasikan dalam praktek-praktek tertentu yang diatur oleh ritual-ritual dengan menyediakan upacara-

upacara yang melibatkan gerak dan sikap tubuhnya sebagai ekspresi kekuasaan yang saling terkait serta berhubungan dengan aparatus ideologis. Dari contoh-contoh di atas jelaslah bahwa suatu gagasan memuat sekaligus tindakan, sentimen, dan ge sturenya. Gagasan-gagasan itu hidup dalam tindakan-tindakan. Tindakan ini lalu m enjadi praktik sehari-hari yang dikendalikan oleh ritual yang dia lakukan. Tiga hal ini (gagasan, praktek dan ritual) merupakan aspek material dari aparatus ide ologis. Dalam aparatus itu ideologi bekerja, memproduksi subyektifitas, dan mene gaskan identitas tentang siapa kita sesungguhnya. Ideologi sebagai Praktek Kebud ayaan Semakin jelas sekarang, gagasan-gagasan Althusser dan Foucault di atas mem beri saham besar bagi pemikiran baru tentang konsep ideologi. Ideologi tidak lag i dilihat sebagai salah atau benar, tapi justeru memberikan kerangka dasar funda mental bagi individu dalam menafsirkan pengalaman dan hidup` sesuai dengan kondisi mereka. Kerangka dasar ini tidak hanya bersifat mental, tapi eksis sebagai prakt is hidup kelompok sehari-hari. Dengan menganggap ideologi sebagai praktek-prakte k material atau praktek budaya, maka kita bisa mengatakan bahwa sesungguhnya ide ologi itu hidup bergerak dan karena itu pula manusia sendiri selalu hidup dalam suatu ideologi, di dalam representasi tertentu dari dunianya. Dalam praktek-prak tek budaya dan kebiasaan-kebiasaan sehari-hari inilah ideologi sesungguhnya dire produksi. Yakni, melalui aparatus-aparatus ideologis sebagaimana ditegaskan oleh Althusser. Jika demikian, praktis ideologi memasuki seluruh ruang dalam kehidup an sehari-hari kita secara nir-sadar. Ideologi menjadi bagian organik dari selur uh totalitas sosial dan dalam aktifitas keseharian. (17) Karena unit-unit sosial merupakan bentukan ideologis, produk dari formasi diskursif kekuasaan (menurut Foucault) atau efek-efek dari aparatus ideologis yang beragam (dalam bahasa Alth usser), maka untuk memahami totalitas sosial dan budaya ini membutuhkan eksegesis sebagaimana teks-teks sejarah dan sastra. Pandangan bahwa budaya dan ideologi me rupakan fenomana keseharian ini tidak lantas berarti cengkeraman ideologi sudah lemah, atau mungkin dianggap telah berakhir. Justeru ideologi dan kekuasaan tela h mencengkeram seluruh tatanan sosial secara lebih luas dan kompleks ketimbang a pa yang selama ini dibayangkan. Ideologi beroperasi di semua lini dan diproduksi terus-menerus dalam ritual-ritual dan perkumpulan-perkumpulan, kesenian-kesenia n, dan citraan-citraan ideologis di mana representasi-representasi dan kategorikategori dibangkitkan dan disebarkan. Oleh karena itu, kini ideologi tidak lagi bisa dipahami sekadar sebagai produk kelas berkuasa atau efek dari kekuatan-keku atan produksi. Melainkan hasil dari kombinasi berbagai elemen lain dan kekuasaan yang kompleks dan tersebar.

Di dalam diskursus kebudayaan mutakhir, sebagaimana pandangan Stuart Hall, kebud ayaan sesungguhnya tidak lagi bisa dipahami sebagai cerminan praktek-praktek lai n di dunia idea. Melainkan ia sendiri adalah sebuah praktek, yakni praktek penand aan yang menghasilkan makna. Jadi bagi kaum strukturalis dan poststrukturalis, pe nekanan studi kebudayaan kini bergeser dari masalah isi budaya ke arah tipe-tipe penataan (ordering), dari pertanyaan tentang apa ke bagaimana sistem-sistem bud aya itu. (18) Misalnya, dalam era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan tekn ologi dan sarana komunikasi sekarang ini, masyarakat betul-betul dicekoki oleh p roduksi konsumsi. Di sini kekuatan modal menghadirkan kekuasaan representasi mel alui kuasa tanda dan simbol: dalam iklan dan mode, misalnya. Konsekuensi politik nya adalah bahwa seluruh tatanan sosial sesungguhnya adalah hasil sebuah konstru ksi saja dari, dan berbarengan dengan, kekuasaan modal yang diproduksi secara te rus menerus. Singkatnya, ideologi sekarang ini merupakan praktek budaya; suatu e fek yang bersifat kultural dan terkait dengan institusi-institusi, kelompok-kelo mpok, dan struktur-struktur tertentu. Ideologi beroperasi secara tersebar` (decente red) dan menghadirkan dirinya dalam ideologi-sebagai-kebudayaan.` Artinya, ideologi berada dalam kompleksitas hubungan-hubungan antara berbagai bentuk kebudayaan ( pengetahuan, citraan, dan lain-lain) dan institusi-institusinya, serta wacana-wa cana dan aparatus-aparatusnya. Lalu pertanyaannya bila kebudayaan sehari-hari ti dak lepas dari ideologi, bagaimana dengan sains ilmiah. Apakah ia juga bersifat ideologis? Foucault menegaskan bahwa relasi-relasi kekuasaan tidak berada di lua r tipe-tipe relasi-relasi seperti proses ekonomi, relasi pengetahuan, relasi sek sual, dan lain-lain. Melainkan kekuasaan justeru imanen dalam proses relasi itu. (19) Kekuasaan adalah beragam relasi-relasi kekuatan yang beroperasi dan memben tuk organisasi dalam ruang itu. Dengan demikian, sains sosial kini juga harus di lihat sebagai konfigurasi kekuatan-kekuatan itu yang membentuk landscape moderni tas dan modernitas akhir. Sains sosial sendiri merupakan kekuatan dan bentuk keb udayaan yang tak bebas dari kepentingan. Demikian juga sains alam. Ia juga tak l epas dari kepentingan-kepentingan atau konsensus komunitas ilmuwan. Dari uraian di atas makin jelas sekarang betapa besar sumbangan kaum (post) strukturalis ter utama Louis Althusser dan Michel Foucault dalam memperkaya gagasan tentang ideol ogi dan kebudayaan. Keduanya membuka tabir beroperasinya ideologi dengan memikir kan kembali kekuasaan, cara kerja, dan manifestasi-manifestasinya, tak terkecual i dalam sains sosial. Tidak ada batas-batas lokasi ideologi. Ideologi tidak hany a ada dalam kolektifitas masyarakat borjuis atau dalam struktur-struktur kekayaa n dan kerja mereka, melainkan tersebar ke seluruh tatanan sosial. Ia bukan hanya bersifat mental, tapi juga bereksistensi material dan historis. Ada keterkaitan antara pengetahuan dan institusi-institusi, bidang-bidang pengetahuan dan prakt ek-praktek kebudayaan sebagai tempat berbagai kekuasaan (sosial, ekonomi, politi k) diproduksi. Kesimpulan

Sekarang ini kita tidak bisa lagi memikirkan ideologi dan cara kerjanya dalam pe ngertian false consciousness atau memperlawankannya dengan sains, sebagaimana ka um marxis klasik lakukan. Ideologi sebagai pengetahuan-pengetahuan yang dijalank an demi suatu kepentingan justeru menjadi praktek kebudayaan sehari-hari yang me mberikan orientasi dan identitas suatu kelompok. Ideologi tersebar sebagaimana k ekuasaan yang tersebar dalam praktek-praktek diskursif kehidupan. Ideologi masuk dalam keseharian kita, dalam jaring-jaring kehidupan. Dengan meminjam kajian te ntang mitos dan tanda, bisa dikatakan bahwa jika budaya adalah sistem simbol yan g terdiri dari berbagai sistem tanda, sementara penanda-penanda sendiri bersifat arbriter sebagaimana Barthes katakan, maka kita sungguh bisa melihat bagaimana suatu kebudayaan dan segala bentuk ritual dan hidup sehari-hari menjadi arena pe rtarungan ideologi untuk memainkan kuasanya. Kebudayaan yang merupakan konvensi sosial adalah sasaran sistematik untuk dibuat seolah-olah ilmiah, menjadi mitos. (20) Membongkar aturan-aturan atau kode-kode dibalik mitos inilah tugas studi k ebudayaan sekarang ini. Bahan Bacaan: Althusser, Louis, For Marx, (transl. By B. Brewster) Routledge, New York, 1969 Amrih Widodo, The Stage of the State, Art o f the People and Rites of Hegemonization. Paper ini dipresentasikan pada seminar bertajuk Basis-basis Material Kebudayaan yang diselenggarakan oleh Yayasan SPES d an Program Pasca Sarjana Universitas Kristen Satyawacana, Salatiga, 4 September 1991 Budianta, Melani, dkk, Analisis Wacana dari Linguistik ke Dekonstruksi, Pen erbit Kanal, Yogykarta, 2002 Hebdige, Dick, Subculture The Meaning of Style, Rou tledge, London & New York, 1979 Foucault, Michel, The History of Sexuality: An I ntroduction, Billing & Sons Ltd, Guilford, London and Worcester, 1969 Foucault, Michel, Power/Knowledge: Selected Interview with Michel Foucault (ed. By Colin Go rdon), Pantheon, New York, 1980 Gluckmann, Miriam, Structuralist Analysis in Con temporary Social Thought, Routledge & Kegan Paul, London and Boston, 1974 Jenks, Chris, Culture: Key Idea, Routledge, London & New York, 1993 Larrain, Jorge, Ko nsep Ideologi, Penerbit LKPSM, Yogyakarta, 1996 McCarthy, E. Doyle, Knowledge as Culture, Routledge London & New York, 1996

Poster, Mark, Existential Marxism in Postwar France From Sartre to Althusser, Pr incenton University Press, New Jersey, 1975 Zizek, Slavoj (ed.), Mapping Ideolog y, Verso, London-New York, 1994 Storey, John, Teori Budaya dan Budaya Pop (terj. ), Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2003 Thompson, John B., Analisis Ideologi, Penerb it IRCISOD, Yogyakarta, 2003 Catatan Kaki: (1) E. Doyle McCarthy, Knowledge as C ulture, Routledge London & New York, 1996, hal. 32 (2) Barangkali contoh mudahny a adalah absennya pemahaman dalam kesadaran ita bahwa apa yang kita beli di pasa r atau mal-mal adalah hasil dari eksploitasi terhadap para buruh. (3) http://nur ulhuda.wordpress.com/2006/11/26/ideologi-praktek-kebudayaan/ _ftnref3Mark Poster ,Existential Marxism in Postwar France From Sartre to Althusser, Princenton Univ ersity Press, New Jersey, 1975, hal. 344. Bisa dibandingkan dengan E. Doyle McCa rthy, Knowledge as Culture, Routledge London & New York, 1996, hal. 33 (4) Dalam tradisi NU terdapat ritual yang menjadi identitas warga NU yang dikenal dengan istilah istighotsah. Ia berarti doa memohon kepada Allah keselamatan dan terjaga dari malapetaka. Sebagai sebuah tradisi, istighasah dalam perkembangannya tidak luput dari pengaruh kepentingan dan kekuasaan. Istighasah selain sebagai ritual doa, ia juga bisa menjadi simbol perlawanan warga NU atas peminggiran yang dila kukan rezim Orba. Kadangkala ia menjadi kekuatan pembela kekuasaan kelompok elit tertentu. (5) Athusser adalah pemikir strukturalis kelahiran Algiers Perancis p ada 1918. Bergabung dengan Partai Komunis tahun 1948. Karyanya yang berpengaruh adalah For Marx (1965) dan Lenin and Philosophy (1969). Pemikirannya hendaknya m empertemukan Marxisme dengan strukturalisme. (6) Foucault adalah pemikir poststr ukturalis. Lahir di Pointiers, Perancis, tahun 1926. Menyelesaikan studi di Ecol e Normanle Superiore tahun 1946, lalu memperdalam filsafat hingga meraih lisensi thun 1948. Ia juga meraih lisensi bidang psikologi juga diploma dalam psikopato logi. Ia pernah bergabung dengan Partai Komunis Perancis hingga 1951. Karya-kary anya adalah Maladie mentale et personnalitte (penyakit mental dan kepribadian) t erbit thun 1954, Histoire De la Folie (Sejarah Kegilaan), The Birth of Clinic, A rcheology of Knowledge, Disciplines and Punish serta The History of Sexuality. I a meninggal tahun 1984 dalam usia 57 karena penyakit AIDS.

(7) E. Doyle McCarthy, Knowledge as Culture, Routledge London & New York, 1996, hal. 37 (8) Foucoult, The History of Sexualiy, hl. 131-133 dikutip dari E. Doyle McCarthy, Ibid. hal 38 (9) Lihat, John B. Thompson, Analisis Ideologi, Penerbit IRCISOD, Yogyakarta; lihat juga John Storey, Teori Budaya dan Budaya Pop (terj. ), Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2003, hal.160-172 (10) Dikutip dari E. Doyle McCa rthy, Ibid., hal. 41. (11) E. Doyle McCarthy, Ibid. hal. 41-42 (12) Althusser me mang banyak mengambil gagasan-gagasan Antonio Gramci terutama tentang intelektul organik. Intelektual organik yang dimaksudkan oleh Gramsci tertuju pada individ u-individu, namun Althusser menggunakannya pada komunitas yaitu intelektual orga nik kolektif. Yakni kuasa negara dengan aparat-aparat ideologisnya. Althusser me nyebutnya dengan istilah Ideological State Apparatus (ISA) yang bersifat ideolog is. Ini ia bedakan dengan Repressive State Apparatus (RSA) yang bersifat represi f. Keterangan dari Althusser, Ideology and Ideological State Apparatus (Notes tow ard Investigation) dalam Slavoj Zizek (ed.), Mapping Ideology, Verso, London-New York, 1994. (13) Dikutip dari E. Doyle McCarthy, Op.cit., hal. 39 (14) Dengan ga gasan ini tampak sekali bahwa Althusser benar-benar seorang marxis tulen, bahwa ideologi borjuis bukan hanya dimiliki oleh kaum kapitalis tapi juga diapropriasi oleh kaum proletar. Di sini samar-samar gagasan Gramsci mengenai pentingnya heg emoni untuk meraih konsensus sangat kelihatan. (15) E. Doyle McCarthy, Ibid. hal . 40 (16) Ibid. hal. 41 (17) Amrih Widodo dalam penelitian antropologinya terhad ap pertunjukan Tayub di daerah Blora Jawa Tengah menunjukan bahwa Tayub yang pad a awalnya sebagai pertunjukan rakyat atau bagian dari ritual sunatan, bersih des o, dan perkawinan mulai berubah selama periode 1987-1991. Pemerintah memasukkan ideologinya (kepentingan industri pariwisata dan simbol kedaerahan) dengan mening katkan statusnya` menjadi Seni Tayub. Diantaranya dengan melakukan pembinaan dan p rogram penataran untuk merubah struktur dan keaslian Tayub. Lihat Amrih Widodo, The Stage of the State, Art of the People and Rites of Hegemonization. Paper ini dipresentasikan pada seminar bertajuk Basis-basis Material Kebudayaan yang disele nggarakan oleh Yayasan SPES

dan Program Pasca Sarjana Universitas Kristen Satyawacana, Salatiga, 4 September 1991. (18) Dikutip dari E. Doyle McCarthy, Op.cit., hal. 44 (19) Foucault, Powe r/Knowledge: Selected Interview with Michel Foucault (ed. By Colin Gordon), Panth eon, New York, 1980, hal 94, dikutip dari E. Doyle McCarthy, Ibid. hal. 44 (20) Barthes menerapkan metodenya yang berakar pada linguistik ke dalam gejala sosial kebudayaan seperrti foto, film, makanan, pakaian, dan seterusnya. Dalam studist udi kebudayaan, Hebdige dengan baik meramu gagasan-gagasan para pemikir seperti Althusser, Gramsci dan Barthes ini untuk memahami gejala-gejala budaya seperti g aya hidup masyarakat subkultur. Lihat, Dick Hebdige, Subculture The Meaning of S tyle, Routledge, London & New York, 1979, terutama bagian pertama From Culture to Hegemony . *) penulis adalah alumnus Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Ja karta. Kini duduk sebagai anggota perkumpulan Tankinaya Institute. Melawan (Kuasa) Teks Oleh: Koskow/FX Widyatmoko Marxisme melihat sejarah sebagai pertentangan antar k elas, dalam hal ini pertentangan antar kelas pemilik modal (kaum borjuis) dengan kelas pekerja (proletar). Artinya, sejarah dalam pandangan marxisme merupakan k enyataan yang dapat diubah, bukan sesuatu yang terberi. Sejarah di sini dilihat sebagai kata kerja, yang menjelaskan bahwa ia dapat dibentuk, dilestarikan, dila wan. Dalam marxisme akan dijumpai gagasangagasan seperti hegemoni, kesadaran pal su/ideologi, alienasi (keterasingan). Dalam kepentingan kajian media kiranya ket iga hal tersebut dapat dipergunakan dimana hegemoni menjelaskan bagaimana pihak tertentu patuh terhadap pesan-pesan media tanpa melakukan pembacaan kritis atau secara tidak sadar ia mengamini dan menganggap kepatuhan tersebut sebagai sesuat u yang normal. Kesadaran palsu/ideologi dapat menjelaskan bagaimana tindakan ses eorang dipengaruhi oleh gagasan-gagasan tertentu. Pengaruh tersebut bisa berlang sung baik pada proses penciptaan (tindakan) maupun pembacaan. Alienasi kiranya m enjelaskan bahwa ada proses pengasingan (ke)diri(an) dalam media.

Kesadaran palsu/ideologi berlangsung misalkan, ketika dalam media terdapat pihak yang menguasai dan terdapat pihak yang dikuasai. Hubungan tersebut menjelaskan adanya dominasi atas pesan-pesan media, di mana umumnya pemilik media dapat meng atur pesan-pesan yang disampaikan. Pesan-pesan media dalam hal ini sudah bukan l agi sebagai kenyataan objektif. Terdapat pihak yang menamai hal tersebut sebagai agenda setting. Misalkan, mengapa sinetron televisi, iklan kecantikan, umumnya menampilkan rumah mewah, mobil mewah, manusia-manusia modern, dikarenakan di bal ik representasi tersebut terdapat kekuatan modal yang berkepentingan yaitu (kons umsi) kelas dan gaya hidup. Suatu pernyataan Marx menyebutkan bahwa bukan kesadar an seseorang yang menentukan keberadaannya, namun sebaliknya keberadaan sosial m enentukan kesadarannya. Hal ini terjadi ketika keberadaan sosial sebelumnya tela h dibentuk melalui representasi dalam sebuah media , contohnya kesadaran akan ke cantikan yang dipertontonkan melalui pemilihan perempuan dengan wujud tertentu, misalkan langsing, putih/kulit cemerlang/bersinar, ngindo, rambut lurus, dll. Se benarnya, dalam proses yang demikian telah berlangsung proses pengasingan, prose s meminggirkan, penyingkiran (alienasi). Rasa minder karena wajah tak (se)cantik seperti pada wajah-wajah perempuan dalam sinetron, mengonsumsi pemutih, mengons umsi gaya hidup modern, adalah proses-proses yang menunjukkan bahwa menjadi sese orang (being somebody) telah diatur oleh media. Contoh lain, taman makam pahlawa n, terutama di kota-kota besar, hampir selalu ditempatkan di tengah kota (tidak di pinggiran). Hal ini digunakan untuk mempertontonkan kepada masyarakat bahwa y ang disebut pahlawan ialah orang-orang yang berjasa dalam perang fisik, biasanya menunjuk pada militer. Penempatan yang demikian secara tidak langsung mau menga takan bahwa keberadaan militer merupakan hal yang wajar, bahwa ia harus ada, har us dihormati, dipatuhi (ingat: konsep dominasi dan hegemoni di atas). Taman maka m pahlawan dalam konteks yang demikian menjadi sebuah media yang ingin mengomuni kasikan sesuatu. Tentu saja pihak yang menyampaikan pesan tidak lain pemerintaha n yang militer(istik). Seorang teman, Badar, pada sebuah perkuliahan Tinjauan De sain, menanyakan mengapa tak ada (tak hadir) tokoh wayang perempuan dalam iklan Kedaulatan Rakyat? Pertanyaan Badar tersebut bisa menjadi demikian: mengapa yang hadir tokoh-tokoh wayang berkelamin laki-laki? Badar, dalam hal ini, telah bera ngkat dari sesuatu yang tidak dihadirkan dalam iklan tersebut. Ketidak hadiran t ersebut dalam batas tertentu dapat dikatakan bahwa tokoh wayang perempuan di-tia da-kan (tidak dipilih, diasingkan, teralienasi). Jika dikaji seara semiotik, Bad ar membaca iklan melalui tanda-tanda yang tak hadir (tidak eksis). Hal ini menja di penting manakala iklan Kedaulatan Rakyattersebut ternyata bekerja dalam mekan isme gender, bahwa ada suatu gagasan (ideologi) yang memandang bahwa superiorita s senantiasa terwakili oleh laki-laki untuk menegaskan sikap-sikap tertentu. (in gat: yang di-tiada-kan pada iklan tersebut bukan sosok perempuan, namun wayang p erempuan).

Keterangan : Iklan Petakumpet. surat kabar Kedaulatan Rakyat di atas dirancang oleh Contoh di atas pun dapat dicari padanan fenomenanya, misalkan (analisis isi) ter hadap media-media yang mencitrakan Yogyakarta. Biasanya, Tugu, Prambanan, Kraton , Malioboro, Taman Sari menjadi ikon representatif Jogja, seolah-olah Jogja seba tas halhal tersebut. Barangkali pemikiran ini diwarisi oleh cara peng-kelas-an i kon budaya yaitu kraton, alun-alun, malioboro, candi, tugu merupakan lingkungan budaya tinggi (high culture) dan (paling) pantas (untuk) mewakili Jogja. Dalam k ata lain, di sana hadir (baca: eksis) suatu kacamata estetika di mana kacamata t ersebut didasarkan atas kepatuhan dalam memilih ikon-ikon yang pantas (kesantuna n). Jika hal ini berlangsung terus-menerus akan melahirkan pengetahuan di mana p engetahuan tersebut (sebenarnya) menjadi suatu kesadaran palsu/suatu kenormalan/ kebiasaan (naturalisasi). Hegemoni hadir dan menegaskan fenomena tersebut salah satunya melalui cara misalkan pendidikan, bahwa dalam proses pendidikan diajarka n bahwa yang di jalanan adalah yang tidak/kurang santun (maka kita mengenal adan ya budaya jalanan, untuk membedakan budaya yang bukan jalanan misalkan budaya ru ang kelas, budaya kraton, budaya mall). Maka tak aneh kalau istilah street art t idak lahir dari negara kita karena di negara kita yang berada di jalanan diangga p tidak/kurang pantas. Bahkan makna jalan pada masa Orde Baru merupakan ruang ya ng mesti diwapadai (ingat: tragedi Petrus/Penembak Misterius, di sini (rezim Ord e Baru melalui kekuatan militer) dipilih metode tontonan sebagai cara berkomunik asi kepada masyarakat yaitu dengan cara membiarkan mayat gali/preman tergeletak di jalan sebagai bentuk pengingat-an). Aneh pula mengapa lebih dikenal julukan s eniman Malioboro, bukan seniman jalanan, seolah-oleh gagasan Malioboro mesti dig unakan (dipinjam) untuk melegitimasi bahwa dia seorang seniman jalanan yang pant as. Di sini Malioboro beralih fungsi dari sebuah jalan(an) menjadi kepantasan. D alam bahasa marxis, di sini telah berlangsung

proses komodifikasi alias ada pertukaran nilai antara maliboro jalanan seniman. Bahwa kalau mau menjadi seniman jalanan ya jadilah seniman malioboro, seolah sen iman yang (meng)ada di jalan(an) yang lain bukan seniman. Meski demikian, saat i ni beberapa pihak melihat bahwa budaya jalanan pun tak harus diperbandingkan den gan budaya bukan jalanan. Bahwa masing-masing tempat (jalanan, kraton, kampus) m elahirkan kelas-kelas tersendiri yang tak perlu dipertentangkan. Sikap seniman k ampus yang mengerjakan gagasan di jalanan (mural) dapat dilihat dalam berbagai s isi, (1) intervensi mereka terhadap ruang publik, (2) memindahkan proses pendidi kan di kampus ke luar kampus agar seni tak lepas dari kenyataan sosial (seni mer upakan bagian dari dunia sosial). Contoh-contoh di atas masih terjadi hingga kin i. Misalkan, dalam pembuatan iklan kita masih menunjuk/mencari referensi iklan-i klan dengan modal besar (iklan televisi, iklan majalah, iklan koran). Padahal, b udaya beriklan merupakan kenyataan sehari-hari di mana di sekitar kita terdapat ekspresi-ekspresi iklan yang berbeda (namun belum dianggap sebagai sebuah iklan). Hegemoni berlangsung ketika dalam buku-buku tentang iklan, kuliah-kuliah perikla nan, menjelaskan bahwa yang disebut iklan adalah iklan seperti yang terdapat pad a media televisi, surat kabar, maupun majalah. Sedangkan, selebaran-selebaran, p oster-poster di tembok gang kampung, pasar, dll. belum (bisa) dianggap sebagai i klan. Hal ini menjelaskan bahwa diam-diam telah berlangsung kesepakatan bahwa an tara pendidikan dan pemilik modal (klien, pemilik media) berlangsung suatu kuasa dalam mempertahankan dan mengontrol pengetahuan tentang apa yang dimaksud denga n iklan (mana bisa pedagang/produsen kelas bawah membuat iklan seperti pedagang/ produsen kelas atas). Maka tak aneh kalau gaji desainer di perusahaan periklanan tergolong besar karena memang dibayar oleh klien besar. Sebenarnya, yang dibaya r bukan nilai kreativitas, namun bagaimana di sana berlangsung suatu mekanisme d alam mempertahankan (kuasa) pengetahuan bahwa iklan seharusnya demikian. Bayangk an kalau semua klien adalah orang-orang seperti Hitler, atau para ulama, budayaw an, atau orang-orang sejenis Thukul Arwana, pengetahuan iklan yang bagaimana yan g berlangsung? Hal ini pun bisa menjelaskan kalau obrolan tentang iklan di sebua h kampus filsafat misalkan kurang laku dibandingkan jika obrolan tersebut dilang sungkan di sebuah kampus desain. Atau ngomongin iklan dari sisi etika/moral kura ng menarik perhatian dibanding ngomongin iklan dari sisi kreativitas dan peluang peluang masa depan (gaji, jabatan, dll.). Ini menjadi penting manakala sebuah pe ngetahuan tentang iklan seharusnya diintervensi oleh beragam kepentingan (mewaki li kepentingan banyak pihak). Jadi, jika iklan masih mengumandangkan seputar tub uh-tubuh eksotis/erotis, hal itu tak aneh karena erotisme/eksotisme tubuh tak pe rlu diomongin di kampus kreatif tapi di kampus yang memang mengurusi hal tersebu t (filsafat, etika, agama, dll.). Marxisme, bagi saya, menyediakan sebuah pisau tajam dalam memandang hadirnya kuasa dalam media. Dengan kesadaran seperti ini t eks media bukan lagi sebagai suatu kenyataan yang objektif, bahwa di sana telah hadir beragam kepentingan. Barangkali pula kita tak tahu bahwa kita turut ambil bagian dalam pelestarian kuasa tersebut.

Mengapa? Bisa jadi karena kita tak mau tahu, atau selama ini kita telah terhegem oni, atau tak menyadarinya sebagai suatu ketidakwajaran. Marxisme, meski makin t ua usianya, namun dia tetap relevan dalam menilai sikap media bagi kita, baik se bagai pembaca maupun sebagai kreator. Sesuatu yang nampak wajar belum tentu merup akan sebuah kewajaran . Marxisme mengajak kita untuk senantiasa kritis dan melawan . Belajar dari pengalaman Badar bahwa kita mulai melihat dan memikirkan melalui apa-apa yang tak dihadirkan. Barangkali ketidakpenghadiran tersebut menjelaskan banyak hal penting dalam menilai kedirian kita selama ini, terutama yang dipenga ruhi (dibentuk) oleh dan dalam media. Salam. (Koskow, September 2009) Iklan enamel Roko Prijaji di atas merupakan sebuah usaha bagaimana rokok diarfir masi oleh masyarakat. Di sana hadir sebuah praktik peminjaman, yaitu diperlukan sosok/figur tertentu dalam menegaskan (budaya) merokok. Lebih lanjutnya bahwa ro kok pun seperti lapisan dalam masyarakat, bahwa di sana terdapat kelas-kelas dal am rokok. Pada saat yang sama si rokok tersebut tak perlu memikirkan apakah roko knya akan dikonsumsi kaum priyayi atau masyarkat lapis bawah. Pada saat kelas pr iyayi menegaskan dirinya melalui simbol-simbol tertentu (Roko Prijaji), pada saa t yang sama kelas bawah berusaha menjadi priyayi dengan mengonsumsi rokok sang p riyayi tersebut, seolah sudah seperti priyayi (menjadi priyayi/becoming priyayi) . Kebutuhan merokok menjadi kebutuhan sekunder, kebutuhan menjadi priyayi menjad i kebutuhan primer. Di sinilah hebatnya iklan, bahwa dia mampu menyediakan prose s to become somebody else. Proses inilah yang dinamakan alienasi.

Sama halnya dengan tembakau Tjap Boelan Bintang. Pada iklan enamel di atas mempe rlihatkan kepada kita bahwa pemilihan figur tertentu, yaitu dengan simbol yang i dentik dengan pakaian muslim Abangan (peci, sarung, kemeja) digunakan untuk mene gaskan budaya merokok. Iklan di atas mesti dilihat perbedaannya dengan iklanRoko Prijaji, di mana pada iklan Roko Prijaji tidak dihadirkan simbol-simbol keagama an, namun simbol kelas kebangsawanan. Seseorang akan mengidentifikasikan dirinya apakah ia akan merokok Tjap Boelan Bintang atauRoko Prijaji. Kehebatan iklan bu kan terletak pada sisi penggarapan (craftmanship) namun pada usaha dalam memberi kan pilihan kepada masyarakat prosesproses pengidentifikasian diri melalui simbo l-simbol dalam iklan tersebut. Bukan aku merokok , namun aku merokok seperti yan g dipertontonkan dalam iklan. Dua buah iklan enamel di atas bisa menjelaskan bah wa iklan mampu menciptakan suatu kebutuhan tertentu bagi konsumen, yaitu bukan p ada kebutuhan merokok namun merokok agar seperti yang terimajinasikan dalam ikla n tersebut. Analisis Marxis berusaha menjelaskan bahwa semua hal tersebut telah diatur. Kesadaran bahwa aku merokok telah diatur oleh suatu mekanisme tertentu, yaitu iklan . Di samping itu, melalui iklan-iklan tersebut, budaya merokok berus aha dalam memperoleh sikap-sikap penerimaan dalam masyarakat: bangsawan maupun k aum agamawan pun merokok. Di sini telah hadir mekanisme legitimasi maupun normal isasi, bahwa merokok itu hal yang wajar dan boleh-boleh saja. Melalui priyayi, r okok (seolah) memperoleh tempat sebagai produk berkelas (high culture). Melalui sosok agamawan rokok (seolah) memperoleh tempat bahwa dia tidak bertentangan den gan ajaran agama. Saya kira, yang menjadi media pada iklan-iklan di atas adalah sang priyayi dan sang santri (the medium is the message). Mudahnya, untuk mengat akan bahwa merokok tidak merusak kesehatan tak perlu dengan cara memberi bukti-b ukti analisis kesehatan, cukuplah dengan memberi bukti bahwa ada juga dokter yan g merokok (dokter menjadi the medium yang mengandung message tertentu). Mengapa? Karena dokter dalam dunia sosial diberikan suatu kesadaran tertentu, yaitu bahw a dia berurusan/kompeten dalam hal kesehatan.

Catatan redaksi: Tulisan ini digunakan sebagai bahan ajar mata kuliah pilihan Ka jian Media di DKV ISI Jogja yang diajarkan oleh FX Widyatmoko Persuasi Visual pada Iklan Rokok, antara Regulasi dan Menyiasati Didit diditw@bdg centrin.net.id Widiatmoko Suwardikun Cigarette`s health hazard element makes its marketing and commercial limited by a set of rules, however, this limitation has made some ad workers think more creat ively. A cigarette has no clear functional benefits because this product has a f loating character, so it needs a post to moor their variety of characters due to the indistinctive products character. When there`s a limitation, then a cigarette s ad would easily change its anchoring point. Some of their points are pop cultu re, as the relation between pop culture and cigarettes has become an exchange of meanings and values. Pop culture needs capital for its festival and cigarettes needs a mount for its marketing. Several streams from pop culture defines its co mmunities, so, for segmentation interest, pop culture has the ability to gatheri ng a mass. Masculinity is also used in a cigarettes ad, shown by extreme sport a ctivities. The ad itself doesn`t show the cigarette, nor a smoking person, but by sticking out its company`s name and logo and its brand also by persuasive visualiz ation that could represent the target audience pride thus by watching its activi ty and logo, the spectator could recognize and remember everything that the ad m aker presenting. Keywords : visual persuasion, anchoring point, masculinity Hamp ir dipastikan, akan kita jumpai teks yang berbunyi: Merokok Dapat Menyebabkan Kan ker, Serangan Jantung, Impotensi dan Gangguan Kehamilan dan Janin , dalam kotak kh usus di tiap kemasan rokok. Ada kandungankandungan tertentu seperti Tar dan Nikot in yang berbahaya bagi tubuh, menyebabkan rokok mendapat regulasi khusus. Unikny a walaupun regulasi tersebut dihadirkan dengan tujuan membatasi, dalam praktekny a justru menguntungkan ketika sebuah produk mampu menyiasati dengan konsep-konse p kreatif beriklan baik komunikasi verbal maupun visual. Rokok biasanya dimasukk an dalam kategorisasi produk-produk yang sensitif. Hal ini berkaitan erat dengan adanya regulasi khusus yang dikenakan terhadap brand tersebut. Produk produk ya ng terkategorisasi sebagai produk sensitif meliputi: rokok, kondom pharmaceutica l dan alkohol. Dalam dunia praktisi periklanan menyebutnya sebagai produk AKROBA T, akronim dari: Alkohol, Kondom, Rokok dan Obat-obatan.

Sebutan tersebut juga mewakili bagaimana biro iklan harus memutar otak (berAKROB AT) dalam menyiasati regulasi-regulasi yang ada. Dalam beriklan salah satu hal y ang patut dipahami dengan jelas adalah karakteristik sebuah produk yang akan dii klankan. Pada umumnya sebuah produk diproduksi untuk mengisi sebuah kebutuhan te rtentu. Lebih jelasnya sebuah produk muncul karena memiliki atau memenuhi fungsi fungsi tertentu. Spesifikasi fungsi tersebut diolah lebih lanjut dalam strategi -strategi khusus beriklan. Functional Benefit biasanya diolah menjadi Unique Sel ling Point sebagai wahana diferensiasi diantara para kompetitornya. Kejelasan fu ngsi dan kelebihan-kelebihan yang dimiliki sebuah produk akan mempertegas posisi oning diantara produk di ceruk yang sama. Hal ini akan memudahkan Pengiklan dala m mengomunikasikan seperti apa produk yang ditawarkan. Rokok dari sudut pandang ini justru memiliki keunikan tersendiri. Sebagai sebuah produk tidak memilikifun ctional benefit secara jelas. Rokok telah memenuhi kebutuhan tertentu yang juga sulit untuk di deskripsikan dengan pasti. Dalam kehidupan keseharian kita, rokok sudah membentuk sebuah symptom tertentu (bagi para perokok) yang siklusnya miri p dengan kebutuhan konsumsi primer, seperti minum dan makan. Ada saat-saat terte ntu dimana seseorang merasa membutuhkannya dan harus dipenuhi. Tetapi adakalanya rokok juga memenuhi kebutuhan konsumsi yang sifatnya lebih sekunder. Seperti ku dapan atau `cemilan`, rokok mengisi ruang-ruang senggang di kehidupan kita. Produk r okok memiliki kelenturan dalam banyak hal. Kelenturan tersebut menjadikan rokok melampaui produk produk di area sensitif lainnya. Sebagai bandingan, produk phar maceutical memiliki karakteristik yang lebih kaku. Hal ini sangat menyulitkan bi ro iklan dalam menyiasati regulasi yang ada. Banyak hal seperti kata-kata dan vi sual yang tidak boleh digunakan, ada juga kata-kata yang justru harus dicantumka n, seperti kandungan bahan, kontra indikasi atau efek samping. Akibatnya iklan p ada produk obat-obatan dan sejenisnya menjadi paritas satu dengan lainnya. Begit u juga yang terjadi pada produk minuman beralkohol. Karena karakteristik produkn ya jelas dengan segala fungsi dan value-nya, produk alkohol sama sekali dilarang di media elektronik dan sebagian besar media lainnya. Walaupun iklan-iklan prod uk alkohol sangat inspiring bagi biro iklan dalam mengomunikasikannya, pada akhi rnya hanya terbatas dalam media above the line saja. Ketidakjelasan functional b enefit dari rokok menjadikan produk tersebut cenderung floating karakteristiknya . Sehingga membutuhkan nilai-nilai tertentu sebagai tempat berlabuh (anchoring) konsep produk untuk dikomunikasikan pada konsumennya. Nilainilai yang diangkat s ebagai tempat berlabuhnya konsep-konsep tersebut menjadi sangat terbuka karena k etidakjelasan karakteristik produk. Hal ini menjadikan ide ide pengiklan melangla ng buana tak terbatasi sebagai landasan kreatifnya. Batasan-

batasan yang selama ini dihadirkan dalam regulasi seperti larangan memperlihatka n produk rokok dan asap rokok justru dengan mudah disiasati. tegas Dengan terbukanya kemungkinan-kemungkinan yang ada pembuat iklan produk rokok ju ga mampu melampaui mandatori-mandatori konservatif yang sering dipatok oleh klie n (para produsen rokok). Iklan Rokok dan Persuasi melalui Budaya Pop Keleluasaan pengembangan konsep kreatif pada iklan rokok menjadikan iklan-iklan yang muncul lebih kreatif dan variatif. Salah satu tempat berlabuh konsep dan nilai-nilai p roduk rokok adalah wilayah budaya pop. Pemilihan budaya pop sebagai tempat berla buh dapat disidik dari kelebihan-kelebihan dan kemampuan wilayah tersebut dalam men-deliver ide-ide dan nilai-nilai produk kepada konsumennya. Budaya pop member i ruang yang mampu menghimpun massa dan sekaligus mudah dipahami oleh massa yang lebih luas. Budaya menurut Raymond Williams bisa berarti pandangan hidup tertent u dari masyarakat, periode, atau kelompok tertentu . Jika kita membahas dengan de finisi ini maka perkembangan sastra, hiburan, olah raga, dan upacara ritus keaga maan termasuk di dalamnya. Selanjutnya, Williams mendefinisikan budaya juga seba gai praktik-praktik penandaan (signifying practices). Dengan definisi ini, kita dapat menyebut puisi, novel, opera, lukisan, sebagai contohnya. Maka, berbicara tentang budaya pop berarti menggabungkan kedua makna budaya tersebut. Makna pand angan hidup tertentu memungkinkan kita untuk berbicara tentang praktik praktikny a. Praktik

kebermaknaan memungkinkan kita untuk membahas tentang opera sabun, musik pop, at aupun komik sebagai contoh lain dari budaya pop. Praktik-praktik budaya menghadi rkan teks-teks budaya. Dan selanjutnya teks-teks budaya tersebut diadopsi oleh P engiklan dalam pengembangan konsep kreatifnya. Budaya pop seringkali dikontraska n dengan budaya tinggi. Batas-batas kultural tinggirendah akhirnya mereproduksi budaya populer yang dianggap sebagai inferioritas . Argumen tersebut cenderung mema ndang budaya yang berbasis komoditas sebagai sesuatu yang tidak autentik, manipu latif. Dasar pemikirannya adalah budaya massa kapitalis terkomodifikasi tidaklah autentik karena tidak diproduksi oleh orang kebanyakan, dan bersifat manipulati f karena tujuan utamanya adalah supaya laku dijual. Budaya pop juga akhirnya mem unculkan istilah Industri Budaya untuk menunjukkan bahwa budaya tersebut tidak bis a lepas dari politik ekonomi dan produksi kebudayaan oleh perusahaan-perusahaan kapitalis. Hubungan tersebut menjadikan sebuah simbiosis yang mutualis antara pr oduk-produk rokok yang akan diiklankan dengan mengambil idiom-idiom budaya pop. Iklan-iklan rokok dengan mudah mendeliver nilai-nilai yang ingin disampaikan pad a target marketnya. Transfer nilai-nilai tersebut menjadi sangat mudah karena te rjadi proses Mimikri, sebuah proses perpindahan nilai-nilai karena didasari oleh kesenangan. Budaya pop membawa kesenangan tersendiri karena sifat hiburannya. H iburan menjadi pintu utama masuknya nilai-nilai sebuah produk rokok melalui ikon -ikon populer seperti aktris/aktor, atau musisi yang biasa menghibur massa. Pros es pengidolaan terhadap orang-orang yang menjadi ikon budaya pop atau praktik-pr aktik budaya pop, seperti musik, dan olah raga menjadi hal yang penting. Antara budaya pop dan produk-produk rokok terjadi barter nilai dan makna. Di satu sisi dalam praktiknya kelangsungan budaya pop membutuhkan pemodal ( pengiklan/ produs en rokok), dan vice versa-nya, pengiklan (produsen rokok) membutuhkan wahana unt uk mendeliver nilai-nilai produknya pada konsumen yang menyenangi budaya pop. Ev ent budaya pop seperti konser musik adalah wahana yang sering dipakai untuk mena namkan nilai-nilai produk rokok kepada target marketnya. Persuasi yang bersifat asosiatif antara karakter produk dan karakter musik yang disponsori menjadi pert imbangan utama. Nilai-nilai yang mewakili sebuah genre musik tertentu berarti ju ga mewakili nilai-nilai sebuah produk yang mensponsorinya. Musik Jazz memiliki n ilai-nilai tertentu yang melekat menjadi citra yang khas dan telah memiliki posi si tersendiri diantara genre musik lainnya. Kualitas musikalitasnya menjadikan m usik Jazz mengkhususkan pada tingkat apresian tertentu. Tingkat sophistikasi yan g tinggi membawa Jazz pada kategori musik yang `High Class`. Nilai-nilai tersebut me njadi tempat melabuhkan nilai-nilai beberapa produk rokok seperti Dji Sam Soe Su per Premium. Karakter produk yang diposisikan bercita rasa tinggi memiliki korel asi nilai dengan musik Jazz. Diharapkan subtitusi nilai tersebut dengan mudah di apresiasi oleh target market dari produk rokok yang bersangkutan.

Rokok Djarum mencoba melekatkan nilai-nilai produknya melalui genre musik yang b erbeda, sesuai dengan karakter musik yang mewakilinya. Musik Rock menjadi wahana penyampai aspirasi nilai-nilai dari produk Djarum Super. Dalam All Out Tour, Ro ckstar yang merepresentasikan nilai-nilai tersebut adalah Band Jamrud, Dewa dan Padi. Cita rasa musikalitas baik lirik lagu maupun partitur lagu, plus performan ce panggung bermuara pada karakter tiap band. Band terpilih berarti mewakili jug a cita rasa produk Djarum Super sebagai sponsornya. Kaum muda menjadi target mar ket yang paling disasar oleh beberapa iklan rokok Djarum. Hal ini terjejak melal ui pemilihan genre musik yang dijadikan tempat berlabuh nilai-nilai dan makna da ri produk mereka. Selain musik-musik beraliran Rock, pada produk rokok L.A Light s juga mulai menggarap ceruk anak muda yang menyukai musik Indie. Musik Indie me mpunyai tempat khusus di kalangan anak muda. Semangat perlawanan terhadap jalur mainstream yang di bawa oleh musik indie seakan mewakili semangat kalangan terse but. Komunitas-komunitas yang menggemari musik indie menjadi diaspora yang penti ng dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Melalui L.A Indiefest dengan tema Black Amplifier Concert , varian produk Djarum ini menggarap target market ini melalui sponsorship konser musik dengan aliran Indie. Sampoerna A Mild sebagai sebuah p roduk rokok yang mengawali munculnya rokok mild di Indonesia pertama kali, menco ba meramu konsep konser musik yang berbeda. A Mild mencoba mengidentikkan diriny a sebagaileading brand yang selalu terdepan termasuk dalam penyelenggaraan konse r musik. Konsep konser musik Soundrenalin sangat mirip dengan konser musik legen daris Woodstock di Amerika. Citra `yang mengawali` atau yang telah `melegenda` menjadi n ilai-nilai yang coba diraih oleh A Mild. Disamping pemilihan musisi pengisi acar a konser tersebut yang juga mensubtitusi nilai-nilai dari produk A Mild. Aksi pa nggung spektakuler puluhan musisi terkenal, A Mild Live Soundrenaline juga mengh adirkan beberapa hiburan lain selain musik, misaInya games, permainan basket, ba risan stand-stand yang menarik, dan berbagai atraksi lainnya. Ini menjadikan A M ild Live Soundrenaline sebagai sebuah festival musik plus yang merepresentasikan j uga kreatifitas penciptaan sebuah produk rokok mild yang mereka sandang. Selain musik, ranah budaya pop yang tidak kalah kemampuannya dalam menghimpun massa dan berpeluang untuk penetrasi nilai-nilai dari sebuah produk rokok adalah ritus ol ah raga. Berbagai jenis olah raga menjadi wahana yang sangat menguntungkan bila dapat dipergunakan untuk mendeliver nilai dan makna melalui sponsorship. Dari se pak bola yang sangat mendunia sampai bulutangkis yang menjadi kebanggaan nasiona l tak luput dari sponsorship produk rokok. Intinya budaya pop memberi ruang yang luar biasa dalam mendeliver nilai dan makna dari sebuah produk rokok. Kemampuan menghimpun massa yang luas sekaligus tersegmentasi dengan sangat baik menjadika n tempat berlabuh yang ideal bagi iklan rokok pada umumnya. Walaupun dengan akal jernih akan kita temukan adanya ketidaksinambungan antara produk rokok yang

cenderung merusak kesehatan dengan ritual olah raga yang justru sebaliknya, dipe rcaya menjaga kesehatan. Iklan Rokok dan Representasi Maskulinitas Maskulinitas seperti sekeping mata uan g dalam iklan iklan rokok. Produk rokok selalu diasumsikan dengan nilai nilai ke jantanan, pemberani, petualang, macho. Nilai- nilai ini diangkat dengan dalih ta rget market terbesar produk tersebut adalah kaum Adam. Beberapa contoh tagline, seperti : Pria Punya Selera , Selera Pemberani , Tunjukkan Merahmu , Yang Penting Rasanya ung! . Sederet key word tersebut kental sekali warna maskulinitasnya. Terkadang di subtitusikan dalam bentuk warna (merah= berani = laki-laki) atau sifat-sifat yan g identik dengan kelelakian seperti sifat pemberani. Walaupun warna merah atau s ifat pemberani tidak selalu menjadi milik pria, tetapi iklan tersebut memanfaatk an pola pikir stereotip yang ada di masyarakat sekarang ini. Polapola pikir bahw a pria adalah sosok yang aktif, dinamis, berani, kuat. Sedangkan wanita adalah s osok yang pasif, makhluk domestik, lemah, dimanfaatkan sebagai referensi utama p ara pembuat iklan rokok. Kuatnya maskulinitas dalam iklan rokok dapat kita telus uri dari banyak aspek. Pertama, adalah dari produk rokok itu sendiri, rokok adal ah sebuah habit impor. Budaya merokok dari awalnya memang dikhususkan untuk pria . Oleh pria-pria dewasa suku Indian di Amerika. Di Indonesia tidak mengenal buda ya menghisap tembakau dengan cara dibakar (merokok), tetapi dengan cara dikunyah dicampur daun sirih (menyirih). Kegiatan menyirih tersebut dilakukan baik pria maupun wanita di Indonesia. Sifat-sifat khusus pria tersebut selanjutnya melekat p ada produk rokok. Secara karakteristik morfologis dari rokok sekarang ini, mewak ili bentuk `Phallus` yang identik dengan milik pria. Sadar atau tidak, produk rokok membawa nilai-nilai kelelakian sejak awalnya.

Kedua, adalah pada sifat-sifat Periklanan yang juga kita impor dari barat. Pola pikir barat sangat dipengaruhi oleh pemikiran Yunani dan Romawi. Maskulinitas da n budaya Patriarkal sangat kuat tercermin pada pola pikir keduanya. Akar `keperkas aan` dalam konteks Periklanan Modern dapat kita telusuri lebih lanjut dalam tradis i Yunani dan tentu saja Romawi. Kedua budaya tersebut telah teradopsi ke dalam k ebudayaan kapitalistik Barat modern. Kebudayaan Yunani berkembang melalui unsurunsur maskulinitas penggambaran dewa-dewa dalam lukisan maupun patung-patungnya. Mitos-mitos dewa mereka selalu digambarkan tampan, gagah, berotot kawat, pandai , dan perkasa. Selanjutnya mitos tersebut ter-representasi dalam wujud kegagahan kaisar-kaisar Romawi. Julius Caesar (102-44 SM ) salah satu yang paling dikenal namanya. Dan beberapa kisah lainnya, seperti Mark Anthony salah seorang panglim a Caesar yang ditugaskan di Mesir dan kemudian terlibat asmara dengan Cleopatra. Keperkasaan, kekuasaan, penaklukan selalu menyertai kisah kisah dalam sejarah R omawi. Hal ini menjadi wajar, bila mulai dari organisasi politik, kesenian, dan kesusastraan, sampai alfabetikal Romawi sangat mempengaruhi kebudayaan yang munc ul di Eropa dan berimbas pula ke Amerika. Kedua kebudayaan tersebut kian menampa kkan wujudnya terutama ketika di Eropa dan kemudian di Amerika Serikat muncul se buah gerakan kebudayaan pop pada pertengahan 1950-an. Salah satu dampak yang per lu dicatat adalah munculnya seni beriklan indah. Iklan harus tampil mempesona, c antik, indah, menarik dan atraktif. Pada akhirnya cara manipulasi iklan dalam pe ngolahannya tidak hanya berperan sebagai sihir pengolah kesadaran masyarakat tetap i juga penerus tongkat estafet semangat maskulinitas budaya Romawi dan Yunani. K etiga, adalah faktor media. Persoalan dominasi pria erat bertalian dengan fungsi media massa. Fungsi media massa sebagai sarana memberi informasi, hiburan, dan juga mendidik sangat berperan dalam membangun imajinasi atau fantasi masyarakat pembacanya. Implikasinya, persepsi dan konsep tentang keperkasaan lelaki sebagai b agian dari fantasi khalayak pembacanya, bukan menjadi sesuatu yang sulit untuk d itemukan dan dijadikan komoditas iklan. Selanjutnya aktivitas jurnalistik, terut ama dalam meneropong wanita seringkali didominasi lelaki. Pandangan pandangan me dia terhadap wanita terkooptasi dalam bingkai khas lelaki. Contoh konkret adalah cover majalah atau tabloid yang kita jumpai setiap hari lebih sering menampilka n gambar wanita sebagai hiasan (point of interest). Dalam konteks ini cara panda ng wanita dalam media massa seringkali tereduksi sebatas makhluk biologis. Dalam iklan rokok penggambaran tersebut lebih jelas tampak. Sosok pria menjadi subyek utama penokohan dalam iklan-iklannya. Beberapa seri iklan rokok Djarum Super me nampilkan beberapa lelaki melakukan olah raga alam bebas. Olah raga alam bebas s elain tentu merepresentasikan kebebasan (keleluasaan kehendak) juga berarti keku asaan untuk memilih yang dinginkan. Hal ini jelas identik dengan semangat

maskulinitas. Belum pemilihan aktifitas alam bebas dengan kategori ekstrim; panj at tebing, paralayang, menyusur sungai, off road identik dengan keberanian dalam level tertentu dan selalu berafiliasi dengan citra lelaki. Kebebasan (kegiatan alam bebas/outdoor adventure) juga berarti posisi negasi dari citra domestifikas i perempuan. Citra perempuan yang hanya tinggal di rumah saja, terjejak dalam se jarah perkembangan peradaban manusia. Ketika manusia mengenal piranti untuk berb uru, maka terjadi pembagian tugas kaum pria pergi keluar berburu sedangkan kaum wanita tinggal di rumah untuk menunggu dan memasak hasil buruan. Kegiatan eksplo rasi keluar selanjutnya identik dengan pekerjaan lelaki. Maskulinitas juga muncul dalam iklan rokok Dji Sam Soe dengan pendekatan yang be rbeda. Pria tegap masih menjadi subyek utama, profesi pilot jet tempur menjadi s imbol representasinya. Profesi pilot hampir dipastikan didominasi oleh pria. Jet tempur (F-16) sebagai kendaraan membawa sifat-sifat agresifitas lelaki. Menyera ng, menghabisi dan mengalahkan adalah simbol kelelakian. Tagline Kesempurnaan dar i Keahlian semakin menegaskan sifat sifat maskulin yang terbangun. Kata sempurna n ahli bermuara pada kepandaian atau kecerdasan dalam tingkat tertentu. Secara ref erensial dunia ilmu pengetahuan yang mengkonstitusi orang-orang pandai dan cerda s juga didominasi oleh pria. Sebut saja Einstein, Newton, Copernicus dan masih b anyak lagi adalah ber-gender pria. Sedangkan ilmuwan wanita selalu hanya jadi su bordinan, seperti Merie Currie misalnya.

da

Iklan rokok Gudang Garam merepresentasikan citra maskulin melalui sosok pria dan menyandingkannya dengan seekor harimau. Pria dan harimau disandingkan untuk sal ing mensubtitusi makna diantara keduanya. Pria dengan ekspresi raut muka tegas, secara gestural mendongak cenderung frontal, menyiratkan makna menantang dan ber ani. Atribut pakaian berlidah dipundak menandakan peruntukkan di lapangan, dalam hal ini konteksnya adalah hutan rimba. Sedangkan harimau sendiri mewakili simbo l kekuatan dan kekuasaan. Harimau adalah mamalia carnivora terbesar yang ada di hutan tropis. Menempati struktur tertingi dalam rantai makanan, menjadikan harim au sebagai raja rimba belantara di sebagian besar wilayah Indonesia.

Figur pria atau penampilan sosok pria dalam sebuah iklan tidak hanya simbolisasi dominasi pria, melainkan lebih ke arah simbolisasi Maskulinitas dalam pengertia n yang lebih luas. Maskulinitas kapitalistik memberi makna dominasi pria dalam t erminologi apa saja yang memungkinkan untuk dijual. Wajah Indo (campuran keturun an asing) atau sosok bule (keturunan asing). Implikasinya, adalah melahirkan pah lawan idola, sebagaimana pernah dilakukan orang di zaman Yunani dan Romawi. Ikla n Rokok, Representasi Tubuh Individual dan Kelompok Tubuh hari ini tereksposisi demikian intensif sekaligus ekstentif. Menurut I. Bambang Sugiharto dalam Penjar a Jiwa, Mesin Hasrat (Jurnal Kalam, 2000: 26): ekstensif, sebab tubuh kini telah menjadi lingkungan visual kita di mana pun kita berada. Di televisi, pada billbo ard iklan, di majalah, koran, ataupun tabloid, di segala tempat dan saat kita me ncerap dalam perjumpaan dengan citraan tubuh, kita merasa dikepung oleh tubuh, s eakan tubuh adalah satu-satunya bahasa komunikasi yang paling mudah dimengerti . Tubuh yang tercitrakan dalam iklan rokok menampilkan tubuh-tubuh yang paradoks. Di satu sisi produk rokok memiliki kandungan yang membahayakan tubuh bila terusm enerus terhisap. Tetapi tubuh-tubuh yang terepresentasi dalam iklan-iklan rokok adalah mewakili tubuh yang terkategorikan sehat. Tubuh yang penuh integritas, se mangat, bergerak dinamis. Tubuh dalam iklan adalah tubuh-tubuh rekayasa, objek p enyampai pesan komunikasi yang disiapkan oleh Tim Kreatifnya. Ideologi iklan mem perlakukan tubuh sebagai simbol-simbol yang membawa dan mewakili nilai dan makna produk yang diiklankan. Meminjam istilah Mary Douglas, tubuh adalah kode atau m etafor pemetaan sosiokognitif tertentu tentang realitas, yang seringkali bersifa t ideologis. Tubuh seringkali

digunakan sebagai simbol hubungan sosial, bahkan dari sisi tertentu juga politis . Dalam masyarakat pra-modern stabilitas ataupun instabilitas tubuh bahkan meman tulkan stabilitas atau instabilitas sistem sosial yang lebih luas. Tubuh yang sa kit mengisyaratkan adanya ketidakberesan dalam masyarakat. Dengan kesadaran itul ah tubuh dalam iklan rokok dibangun. Sosok tubuh yang kuat, kokoh dinamis, berso sialisasi dalam bentuk kegiatan atau gaya hidup tertentu menjaga stabilitas makn a yang diinginkan. Tubuh yang sendiri, mandiri mewakili citra individualistik. T ubuh yang mandiri mendeliver makna kepercayaan diri (chauvinisme pada diri). Seb uah sifat yang dalam konvensi makna selama ini diidentikkan dengan milik lelaki. Gestur dan anatomi tubuh tertentu sengaja dipilih untuk menguatkan konsep komun ikasi yang dimaksudkan. Bentuk tubuh yang ideal menurut konvensi umum dan semang at zamannya (zeitgeist), otot-otot yang kokoh, pose tertentu akan membingkai mak na ideologis dari sebuah iklan rokok. Kemandirian yang cenderung individualistik adalah cerminan gaya hidup urban kosmopolit sekaligus sifat-sifat modernis yang dibawa oleh budaya barat. Tubuhtubuh yang lain tergambarkan bersosialisasi dala m kelompok. Kelompok tubuh tersebut di ikat dalam kegiatan tertentu seperti: ber olah raga, bermain musik, ataupun yang besifat gaya hidup kosmopolit `dugem` di pub atau diskotik. Tubuh-tubuh tersebut mewakili semangat guyub dunia timur (dalam h al ini konteksnya Indonesia), ataupun semangat percaya pada kelompok/ pertemanan yang berafiliasi dengan kalangan muda. Keduanya terepresentasi dan menjalin mak na sesuai dengan ideologi iklan rokok yang diwakilinya. Daftar Pustaka Abbot, David, Cutting Edge Advertising, Prentice Hall, Singapore 1999Aland, Jenny

and Darby, Max, Art Connection, Heinemann Educational Australia, Melbourne, 1992 . Belch, George E and Michael A., Advertising and Promotion : An Integrated Mark eting Communications Perspective, Irwin/ McGraw-Hill, International Edition, Bos ton, 1998. Chaney, David, Lifestyles : Sebuah Pengantar Komprehensif, Jalasutra, Yogyakarta, 1996. Hanusz, Mark, Kretek : The Culture and Heritage of Indonesia`s Clove Cigarettes, Equinox Publishing (Asia) Pte. Ltd. Singapore, 2003. Kotler, P hillip, Advertising Insights From A-Z, Erlangga, Jakarta 2004. Krugman, Reid, Du nn, Barban, Advertising, its role in modern marketing, The Dryden Press, Forth W orth, Texas, 1994. Ritonga, Jamiludin M., Tipologi Pesan Persuasif, Indeks, Jaka rta 2005. Rourkes, Nicholas, Design Synectics, Stimulating Creativity in Design, Davis Publications, Massachusetts, 1988 Storey, John, Teori Kebudayaan dan Buda ya Pop, Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies, Qalam, Yogyakarta, 2003 S utopo, H.B., Metodologi penelitian Kualitatif, dasar teori dan penerapannya dala m penelitian, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 2002. Sutrisno, M; Putr anto, H; (editor), Teori-Teori Kebudayaan, Kanisius Yogyakarta, 2005. Sumber Bud i Handojo, Merek dan Produk, Majalah Media Kawasan, Desember 2005 http://www.ppp i.co.id http://www.indonesianonsmokesociety.co.id http://www.republika.co.id/kor an_detail.asp?.id http://www.kompas.com www.phillipmorris.com www.pdpersi.co.id Tulisan ini cuplikan dari kesimpulan penelitian tentang persuasi pada iklan rokok keretek . Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2006, bersama Doddy Ahmad dan Lain Sintesa Budaya dan Peradaban Baru Indonesia Oleh: Soetrisno Bachir Saudara-saudaraku sebangsa dan se-Tanah Air

Hari-hari ini hingga beberapa waktu mendatang sungguh merupakan saat-saat pentin g bagi Indonesia. Bukan saja karena pada tahun ini Indonesia memperingati Seabad Kebangkitan Nasional, 80 tahun Sumpah Pemuda, serta 10 tahun Reformasi. Lebih d ari itu, saat-saat sekarang juga merupakan saat Indonesia menjelang menghadapi p eristiwa dan keadaan besar yang akan menentukan nasib bangsa di masa depan. Pest a demokrasi 2009 akan segera dilangsungkan buat memilih wakil-wakilnya di lembag a legislatif, serta memilih presiden dan wakil presiden untuk masajabatan lima tahun ke depan. Hal tersebut akan benar-benar menentukan bagaimana wajah Indones ia mendatang. Tapi tidak berarti bahwa persoalan paling penting bagi Indonesia a dalah siapa yang akan terpilih sebagai presiden dan wakil presiden mendatang. Le bih dari itu adalah ke mana kepala negara terpilih bersama seluruh bangsa ini ak an membawa Indonesia ke depan, menghadapi persoalan dunia yang akan semakin mena ntang. Pertanyaan itulah yang sekarang harus dijawab seluruh bangsa ini, dan ten tu juga oleh pemimpinnya. Masalah politik, ekonomi, sosial, dan bahkan lingkunga n yang dihadapi dunia telah sedemikian kait mengait tanpa terpisahkan. Sekat-sek at antarbangsa telah semakin menipis sebagaimana sekat antarbudaya, bahkan antar disiplin ilmu pengetahuan. Hubungan politik antarnegara secara umum memang telah semakin mencair. Tetapi pertikaian negara model lama masih terjadi seperti pada krisis Rusia-Georgia sekarang ini. Masalah Palestina yang menjadi persoalan pal ing rawan bagi upaya mewujudkan perdamaian dunia, belum pula terselesaikan. Konf lik politik internal suatu negara seperti di Myanmar serta Zimbabwe sedikit bany ak juga berpengaruh pada stabilitas dunia. Di bidang ekonomi, ancaman kelesuan y ang menbayangi perekonomian Amerika terus dicermati para ekonom, mengingat penga ruhnya yang besar bagi ekonomi dunia. Memang ada optimisme bahwa perekonomian Am erika akan segera membaik setelah Tahun 2009 yang juga berarti membaiknya pereko nomian dunia. Tetapi saat ini, puncak kelesuan ekonomi tersebut belum terlewati. Kemajuan ekonomi Asia yang dimotori oleh pertumbuhan ekonomi China dan India di perkirakan akan segera mengubah peta perekonomian global. Namun laju pertambahan penduduk dunia, menipisnya cadangan minyak bumi, serta bayang-bayang keterbatas an kemampuan dunia dalam penyediaan pangan perlu diantisipasi. Masalah sosial ya ng terkait dengan perekonomian yang masih membayangi dunia adalah kemiskinan. Ma salah ini juga masih merupakan persoalan mendasar Indonesia sehingga badan-badan dunia menekankan agar pengentasannya diprioritaskan. Sebanyak 34,96 juta warga miskin menurut ukuran pemerintah, atau lebih dari dua kali lipat jumlah itu menu rut ukuran Bank Dunia, bukan angka yang sedikit untuk diabaikan. Tingkat partisi pasi pendidikan yang rendah pada sebagian masyarakat dunia juga merupakan persoa lan bagi Indonesia.

Tingkat kematian ibu dan balita, penyebaran penyakit HIV/AIDS, dan bahkan ancama n Tuberculosis, yang cenderung luput dari perhatian publik, tetap merupakan masa lah serius bagi dunia. Human traficking atau perdagangan manusia, yang sepatutny a tidak terjadi lagi di tingkat keberadaban dunia saat ini, telah berkembang ke tingkat yang memprihatinkan. Sementara penyalahgunaan narkotika dan obat terlara ng dalam genggaman jaringan sindikasi global semakin sulit teratasi. Pemanasan g lobal, sebagaimana terungkap dengan jelas dalam pertemuan dunia di Bali akhir 20 07 lalu, merupakan persoalan yang akan semakin mengemuka di tahun-tahun mendatan g. Mencairnya Kutub akibat pemanasan global tersebut akan dapat langsung berpeng aruh pada kawasan-kawasan kepulauan seperti Indonesia. Tenggelamnya pulau akan m engurangi luas Indonesia, karena wilayah kedaulatan negara didasarkan pada titik pulau terluarnya. Perusakan hutan yang berlangsung sangat pesat, terutama hutan -hutan hujan tropis, telah menghancurkan paru-paru dunia. Kelangkaan air bersih juga telah menjadi masalah baru yang belum pernah dihadapi dunia di masa-masa ya ng lampau. Benturan antarbangsa juga masih akan terjadi. Benturan itu tak selalu berupa benturan besar seperti Benturan Peradaban` yang diramalkan Samuel Huntingto n. Perbedaan sudut pandang antara paham kebebasan bereskspresi dengan penghormat an terhadap keyakinan beragama dapat menajam, dan bahkan menyakitkan. Itu yang t erjadi pada kasus Kartun Nabi Muhanmad di koran Denmark. Persoalan tersebut tela h memunculkan pertanyaan: Di mana batas kebebasan dengan penghargaan pada keyaki nan yang berbeda? Dalam ekonomi, benturan antara dominasi perusahaanperusahaan m ulti nasional dengan kepentingan lokal khususnya dalam pengelolaan sum berdaya a lam, juga tak terhindarkan. Persoalan yang semakin kompleks itulah yang dihadapi dunia hingga beberapa tahun ke depan. Persoalan dunia itu pula yang harus dihad api Indonesia mendatang, di samping di dalam negeri yang tidak kalah rumitnya. T antangan besar tersebut tak cukup dijawab dengan sekadar memilih Presiden dan Wa kil Presiden dalam pemilihan Tahun 2009 nanti. Saudaraku! Bangsa-bangsa lain tel ah bersiaga menghadapi dunia baru yang penuh tantangan tersebut. Filipina telah menyebarkan para pekerja menengahnya untuk mengisi pasar kerja di seluruh dunia. Thailand tengah membangun restoran-restoran masakan Thai pada hampir semua kota penting di berbagai negara untuk menjadi ujung tombak pemasaran pariwisatanya. India semakin mengukuhkan diri sebagai pusat pengembangan dan layanan Teknologi Informasi global. Singapura terus memperkuat posisi sebagai sentra jasa, keuanga n, serta budaya terpenting di kawasan barat Asia Pasifik. Jepang dan bahkan Kore a Selatan telah mengokohkan kedudukannya sebagai kekuatan utama dunia dalam indu stri mobil dan elektronika.

Di hadapan upaya besar bangsa-bangsa tetangga itu, apa yang akan diperbuat Indon esia? Apakah Indonesia cukup puas dengan menjual murah enerjinya seperti batubar a dan gas, sementara negara lain seperti China mendapat berkah nilai tambah ener ji itu pada perekonomiannya? Peradaban baru seperti apa yang harus dibangun bang sa ini agar dapat menghadapi masa depan dengan tegak? Budaya macam apa yang perl u dikembangkan yang sesuai untuk menopang peradaban baru tersebut? Pertanyaan-pe rtanyaan tersebut memerlukan jawaban dari seluruh anak bangsa. Dalam perekonomia n, bangsa ini jelas bukan apa-apa dibanding dengan raksasa Amerika Serikat, Jepa ng, serta China. Indonesia bahkan masih kalah dibanding saudara serumpun Malaysi a. Perbandingan komposisi perekonomian antar negara menunjukkan dengan jelas ket ertinggalan kita. Kontribusi pertanian pada perekonomian secara keseluruhan masi h sebesar 43,3 persen, sementara di China tinggal 11,3 persen. Sebaliknya, kontr ibusi industri dalam perekomian Indonesia baru 18 persen, sedang di China telah mencapai 48,6 persen. Di negara-negara maju, kontribusi terbesar pada ekonomi ad alah dari sektor jasa seperti di Amerika (78 persen) serta Jepang (72 persen). S ebagai negara berkembang, India bahkan telah mampu mengandalkan jasa sebagai mot or penggerak ekonominya. Jasa menyumbang 52 persen dari nilai perekonomian India yang berarti negara tersebut telah mampu mengandalkan kekuatan sumberdaya manus ianya untuk meraih kemajuan. Angka-angka tersebut bukan sekadar mencerminkan pos isi ekonomi Indonesia dibanding dengan negara-negara besar dunia lainnya. Lebih dari itu, angka-angka itu juga menggambarkan wajah peradaban bangsa ini sekarang . Kontribusi pertanian yang tinggi serta peran jasa yang rendah menunjukkan bahw a Indonesia masih mengandalkan sumberdaya alam dan belum pada sumberdaya manusia dalam perekonomian. Kenyataan itu juga mencerminkan bahwa peradaban Indonesia s ekarang masih tergantung pada budaya tradisional. Padahal budaya tradisional tak selalu siap memenuhi tuntutan peradaban masa depan. Ketidaksiapan budaya bangsa untuk menyambut tantangan masa depan telah muncul dalam Polemik Kebudayaan di t ahun 1930-an. Achdiat Karta Mihardja dalam pengantar kumpulan polemik itu menyeb ut bahwa sisa budaya feodal berpengaruh besar pada jiwa dan budaya bangsa. Pada masyarakat feodal, kehidupan ekonomi, sosial, dan politik dikendalikan sekelompo k kecil masyarakat yang memiliki kekuasaan sangat besar. Masyarakat kebanyakan h arus menerima keadaan yang apa adanya, termasuk menanggung kemiskinan. Itulah ya ng membuat jiwa mati dan bangsa ini menjadi bangsa yang statis. Kalah dalam kehi dupan, masyarakat lalu menghibur diri dengan halhal yang bersifat takhayul dan m istis. Untuk membongkar sifat statis tersebut, Sutan Takdir Alisjahbana mengajak bangsa untuk mengadopsi nilai-nilai Barat. Baginya, bangsa ini harus menjadi ba ngsa yang dinamis, maju, serta berani memperjuangkan kepentingan sendiri. Karakt er itu disebutnya ada pada bangsa-bangsa Barat sehingga Barat menguasai peradaba n dunia

beberapa abad terakhir. Gagasan mengadopsi budaya Barat itu mengundang reaksi pa ra budayawan yang yakin pada kekuatan budaya lokal, sehingga memunculkan polemik serupa yang pernah terjadi di Jepang. Di Jepang, setelah Restorasi Meiji 1868 p olemik demikian melahirkan sintesa budaya yang menjadi dasar peradaban baru Jepa ng. Yakni peradaban moderen yang membawa kemajuan namun tetap berakar kuat pada nilai-nilai budaya asli Jepang, Masakan teriyaki` dan yakiniku`, serta prinsip manajem en Kaizen merupakan hasil sintesa budaya tersebut. Di Indomesia, Polemik Kebuday aan dahulu itu belum menghasilkan sintesa budaya yang dapat membawa pada peradab an baru. Prioritas perjuangan saat itu untuk menyiapkan kemerdekaan, serta hiruk pikuk Perang Dunia II, membuat polemik penting tersebut tak berlanjut. Maka kar akter bangsa yang dirisaukan para pemimpin tiga perempat abad silam, sampai seka rang belum hilang. Sisa warisan budaya feodal serta karakter statis terasa masih ada pada bangsa ini. Itu yang membuat Indonesia sulit mewujudkan cita-cita keme rdekaan seperti memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ser ta ikut menciptakan perdamaian dunia. Karakter itu pula yang membuat Indonesia t idak siap bersaing di tingkat global dalam menghadapi masa depan yang menantang. Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air! Ketidaksiapan budaya bangsa dalam m enghadapi tantangan global harus ditebus dengan harga yang mahal. Banyak sekali pengorbanan yang harus dilakukan atasketidaksiapan itu seperti hilangnya semang at kebangsaan, tidak tegaknya hukum, moralitas yang rusak, hingga lemahnya daya saing bangsa. Pengorbanan tersebut sebenarnya tidak perlu karena bangsa ini tela h mempunyai pondasi berupa nilai-nilai spiritualitas yang mengajarkan agar manus ia bergantung dan berserah diri hanya pada Tuhan Yang Maha Esa, dan bukan pada l ainnya. Itulah kunci sukses manusia, dan pada akhirnya juga kunci sukses masyara kat serta bangsa. Tetapi pondasi itu rusak oleh budaya feodal yang menekankan an ggapan bahwa pemimpin adalah Wakil Tuhan di bumi ini, sehingga jika patuh pada T uhan maka harus patuh pada pemimpin. Tanpa pemahaman kokoh pada nilai-nilai kebe naran, masyarakat lalu memasrahkan hidup pada pemimpin. Ungkapan pejah gesang nde rek panjenengan` yang berarti hidup mati ikut Anda (pemimpin) menjadi ungkapan yang berakar kuat di masyarakat Jawa sebagai suku bangsa terbesar di Indonesia. Namun pandangan seperti itu bukan hanya menyebar di Jawa, melainkan hampir di seluruh wilayah Nusantara. Masyarakat menjadi terbiasa merendahkan dirinya sendiri seba gai kawulo` atau hamba` menurut istilah Melayu. Dalam kultur feodal Melayu, masyarakat tak cukup dengan hanya bersimpuh dan menyembah pemimpin. Masyarakat juga terbia sa mengucapkan istilah Daulat Tuanku` sebagai ungkapan siap menerima perintah. Seol ah-olah hanya Sang Tuan yang berdaulat, sedangkan dirinya sendiri tidak. Masyara kat menjadi sangat bergantung pada pemimpin, termasuk pemimpin adat dan keagamaa n, walaupun tak

jarang pemimpin yang memanfaatkan kepatuhan pengikutnya untuk kepentingannya sen diri. Sikap pasrah` dan nrimo` pada keadaan merupakan sikap umum masyarakat luas. Keba nyakan orang memilih menerima keadaan apa adanya dibanding berusaha keras meraih kehidupan yang lebih baik. Padahal Nabi mengajarkan bahwa hari ini harus lebih baik dari kemarin. Jika hari ini sama dengan kemarin berarti merugi, sedangkan b ila hari ini lebih buruk dari kemarin berarti celaka. Namun ajaran Nabi itu tida k dituruti. Banyak orang tak mau berusaha mengatasi kemiskinannya sendiri karena menganggap kemiskinan itu merupakan takdir. Dalam kultur demikian, masyarakat m engutamakan keselarasan dan harmoni dibanding kepentingan menyangkut materi. Kep entingan materi seolah-olah hanya akan mengganggu harmoni karena itu harus dihin dari. Priyayi lebih dihargai dibanding saudagar yang memakmurkan negeri. Di ling kungan masyarakat tradisional, cara pandang dan sikap hidup begitu dapat dipaham i. Adanya kebersamaan yang hangat, budaya tolong-menolong yang kuat, serta alam yang murah hati memang dapat membantu masyarakat mengatasi kesulitan, termasuk m engurangi beban kemiskinan. Tampaknya tidak ada persoalan bagi bangsa dengan mem iliki budaya seperti itu. Namun setelah keadaan bangsa dan dunia berubah baru te rbukti bahwa budaya yang ada tidak mampu menghadapi tantangan baru. Alam tidak l agi dapat bermurah hati akibat ledakan penduduk, keserakahan, serta ketidakpedul ian manusia dalam mengelola. Sementara itu, budaya-budaya lokal harus berbentura n dengan budaya global yang masuk ke seluruh pelosok negeri ini akibat revolusi teknologi komunikasi dan transportasi. Budaya global yang menawarkan kemajuan, k emudahan, kenyamanan, serta gengsi yang dianggap lebih, dengan cepat diadopsi me njadi dambaan baru masyarakat. Terjadi lompatan orientasi masyarakat dari orient asi harmoni ke orientasi materi. Lompatan yang tidak dipersiapkan serta dalam wa ktu yang relatif singkat tersebut menimbulkan akibat yang tidak sedikit. Terjadi nya guncangan budaya (cultural shock) menjadi tak terhindarkan. Dengan budaya nr imo dan memasrahkan jiwa raga pada pemimpin, masyarakat tak terlatih memperjuang kan kepentingan sendiri yang bersifat materi. Mempercakapkan urusan materi bahka n cenderung dipandang sebagai hal rendah. Sekarang tiba-tiba materi menjadi damb aan baru, seolah-olah merupakan hal terpenting dalam kehidupan. Sebagaimana bias anya kecintaan pada hal-hal baru yang sering berlebihan, orientasi baru terhadap materi saat ini juga cenderung lebih dari wajar. Tanpa tersadari bangsa ini ber geser dari bangsa idealistis menjadi bangsa materialistis. Di antara para pemerh ati bahkan ada yang menyebut Indonesia saat ini merupakan salah satu bangsa pali ng materialistis di dunia. Penilaian itu belum tentu benar. Tetapi simbol-simbol materi memang menjadi dambaan baru masyarakat yang selama ini cenderung pasrah dan tidak siap bekerja

keras untuk mendapatkan materi dengan cara semestinya. Berbagai kalangan masyara kat mulai berlomba mengakumulasi simbol-simbol keberhasilan materi dengan berbag ai macam cara. Jalan pintasmenjadi pilihan yang biasa. Lembaga-lembaga publik y ang semestinya didedikasikan buat melayani masyarakat bahkan banyak dibelokkan b uat memenuhi kepentingan pribadi. Itu yang menjelaskan mengapa korupsi terus men ingkat tak teratasi meskipun upaya untuk mencegahnya juga dilakukan. Bias kepent ingan pribadi membuat birokrasi, politik, hukum, dan kelembagaan lain yang diban gun untuk kepentingan publik tak selalu berjalan sesuai yang diharapkan. Birokra si belum efektif membantu masyarakat untuk menjadi masyarakat maju, tapi lebih t ersibukkan dengan formalitas menangani program-program yang normatif. Politik be lum sepenuhnya didedikasikan untuk memperjuangkan kepentingan umum, dan masih ce nderung menjadi alat berebut kekuasaan seperti yang sering ditudingkan. Hukum te rasa lebih berpihak pada yang kuat dibanding pada kebenaran. Dunia akademis dan media yang diharapkan dapat lebih berperan dalam menjaga nilai-nilai bangsa, tak jarang terseret pula oleh kepentingan praktis perorangan di belakangnya. Mengag ungkan simbol-simbol materi telah membawa masyarakat pada perilaku konsumtif dan bukan produktif, juga pada sikap yang ingin serba gampang dibanding kemauan ber usaha. Maraknya remaja yang terjun menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) beberapa waktu terakhir ini bukan saja didorong oleh faktor kemiskinan, melainkan juga o leh keinginan perilaku konsumtif dan hidup enak secara gampang. Tidak sedikit da ri mereka yang bukan berasal dari kalangan yang benar-benar miskin. Banyak lagi masalah sosial lain yang juga disebabkan dorongan yang melebihi kewajaran dalam urusan materi tersebut. Rapuhnya nilai-nilai keluarga, kekerasan dalam rumah tan gga, meningkatnya kriminalitas, hilangnya kejujuran, serta melunturnya kepercaya an pada sesama merupakan akibat dari orientasi materi secara berlebihan tersebut . Padahal, seperti dikemukakan Francis Fukuyama, rasa percaya (trust) merupakan modal sosial paling berharga bagi kemajuan suatu bangsa. Dengan latar keadaan se perti itu, dapat dipahami bila Indonesia menjadi konsumen peradaban dunia. Perad aban Indonesia saat ini menjadi peradaban yang terwarnai dan bukan mewarnai pera daban dunia. Budaya yang mendominasi peradaban dunia dengan cepat diadopsi oleh bangsa ini. Namun sesuai dengan kecenderungan masyarakat baru yang ingin serba g ampang, budaya yang teradopsi tersebut lebih merupakan budaya yang bersifat mate rialistis, konsumtif, serta hedonistis. Maraknya pornografi dan pornoaksi, serta berkembangnya sikap dan perilaku liberal yang permisif menggambarkan derasnya p engaruh budaya global. Sedangkan nilai-nilai yang membuat Barat menguasai perada ban global seperti sikap mandiri, kepatuhan pada aturan dan hukum, serta keberan ian dan konsistensi untuk mengeksplorasi hal-hal baru bagi kepentingan bersama, justru tidak diadopsi bangsa ini.

Memang tidak sedikit anak-anak bangsa yang tetap mampu menjaga kejernihan kesada ran sehingga tidak larut dalam keadaan yang ada. Di setiap tempat masih dapat di temui pribadi-pribadi seperti suster apung Rabiah yang terus berbuat mengabdi un tuk sesama; pemuda seperti Firman yang tak mengeluh dan memilih gigih berwiraswa sta; atau pelajar yang bertekun dengan ilmu untuk mengangkat nama Indonesia di m ata dunia seperti Stefano. Namun di antara sosok-sosok berkesadaran itu, lebih b anyak lagi yang tenggelam dalam sikap pragmatis materialistis yang menghalalkan cara. Tidak sedikit tokoh masyarakat yang tidak malu berebut kekuasaan demi uang , pejabat yang tidak malu mencari komisi atau malah korupsi, hingga penjaga kead ilan yang tidak malu menerima imbalan dari perkara yang tengah diadilinya. Pada merekakah bangsa ini akan mempercayakan kepentngan untuk mengangkat harkat dan m artabat Indonesia di mata dunia? Pada generasi baru yang hanya mau hidup enak ta npa harus berusaha keraskah bangsa ini mempercayakan masa depannya? Peradaban ya ng ada di Indonesia saat ini sungguh tidak lagi memadai untuk membangun bangsa y ang bermartabat dan sejahtera sesuai dengan perkembangan dunia. Saudara-saudarak u sebangsa dan setanah air! Dunia semakin konvergen. Budaya antar bangsa telah s emakin menyatu satu sama lain. Dalam penyatuan tersebut, budaya yang kuat akan m ewarnai peradaban baru dunia, sedangkan budaya yang lemah akan lenyap dari khaza nah peradaban. Bangsa-bangsa berjaya, yang mampu memberikan kesejahteraan pada m asyarakatnya adalah bangsabangsa yang budayanya menguasai dan bukan dikuasai per adaban dunia. Peradaban Indonesia masih jauh dari posisi untuk tidak larut, apal agi untuk dapat mewarnai peradaban dunia. Oleh karena itu, Indonesia perlu memba ngun peradaban baru. Semangat kebangsaan merupakan kunci untuk membangun peradab an baru bangsa. Semangat itulah yang melahirkan sikap dan perilaku serempak bang sa dalam berhadapan dengan bangsa-bangsa lain. Jepang punya semangat Bushido yan g terjaga oleh kekaisaran. Ketika Kaisar menyatakan beras Jepang yang terenak dan terbaik`, seluruh bangsa Jepang serempak menjadikan beras Jepang memang beras ter enak dan terbaik, serta tak akan menyentuh beras asing sekalipun harganya jauh l ebih murah. Amerika Serikat juga punya American Dream yang menempatkan bangsa da n negaranya sendiri sebagai pemimpin dunia. Sebuah mimpi` yang terbukti mampu membu at seluruh bangsa Amerika bergerak serempak untuk memimpin dunia. China menempuh jalan yang berbeda. Mao Zedong menggunakan komunisme untuk membongkar sistem fe odal masyarakatnya untuk dapat membangun China baru. Indonesia harus menemukan j alannya sendiri untuk bangkit dan menjadi bangsa maju. Untuk itu, bangsa ini per lu segera membangun peradaban baru yang sesuai dengan kebutuhan masa depan, yang membuat masyarakatnya aktif, dinamis, serta berdaya saing tinggi dalam berhadap an dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Budaya lama warisan budaya feodal yang me mbuat masyarakat pasrah, memandang rendah urusan

materi, serta puas mengekor para pemimpinnya, tidak lagi dapat diandalkan. Sebal iknya, budaya sekarang sebagai budaya pancaroba yang materialistis, konsumtif, d an mementingkan atribut dibanding substansi, juga bukan pilihan budaya yang tepa t. Indonesia memerlukan budaya baru yang didasarkan pada nilai-nilai idealistik, yang dapat menghubungkan kepentingan mewujudkan harmoni serta kepentingan mater i sekaligus. Untuk dapat melangkah maju tersebut, jalan Jepang bukan pilihan tep at bangsa ini karena Indonesia bukan bangsa homogen dan tidak dipersatukan oleh nilai-nilai budaya tunggal yang berakar panjang dalam sejarahnya. Meskipun samasama terbangun oleh masyarakat yang beragam, Indonesia bukan pula Amerika yang d ibangun oleh kesamaan nilai para imigran yang mematikan nilai-nilai budaya asli. Keragaman Indonesia terbangun oleh budaya yang mayoritas memang berakar di bumi pertiwi ini, dan bukan oleh pendatang. Bukan pula jalan China yang dapat ditemp uh Indonesia karena gerak bangsa ini tak akan pernah diserempakkan berdasar peny eragaman yang mengorbankan kalangan minoritas. Peradaban baru Indonesia justru h arus dibangun atas kesadaran kebhinekaan Indonesia seperti yang telah ditunjukka n para pendiri bangsa. Kesadaran kebhinekaan Indonesia selalu ada dalam setiap k elompok masyarakat. Semua yang berkesadaran kebhinekaan itulah yang dapat memban gun Indonesia menuju hari depan lebih baik. Mereka adalah sosok-sosok jernih yan g kritis terhadap realitas yang berkembang sekaligus bersikap positif untuk teru s mencari jalan keluar persoalan bangsa. Mereka tidak mengorbankan nilai-nilai i deal yang diyakininya demi kepentingan pribadi. Namun mereka akan selalu berbuat untuk kebaikan bersama. Mereka ada di mana saja, bisa di kalangan birokrasi, mi liter, politisi, pengusaha, pedagang kaki lima, petani, nelayan, buruh, pekerja angkutan, artis, guru, tokoh agama atau siapapun. Mereka bisa berasal dari suku apa saja, agama apapun, juga dari kelompok kepentingan apapun. Mereka itulah par a Simpul Kesadaran` bangsa, yang perlu dipertautkan dalam jejaring untuk dapat memb angun peradaban baru Indonesia. Untuk membangun peradaban baru Indonesia, para Si mpul Kesadaran` perlu menggali nilai-nilai budaya lokal di lingkungan masing-masin g. Nilai-nilai budaya yang relevan dengan tuntutan peradaban masa depan harus di bangkitkan dan diperkuat. Sebaliknya nilai budaya yang sudah tidak relevan seper ti budaya feodal, takhayul, serta mistis perlu segera ditempatkan sebagai bagian dari sejarah. Nilai-nilai budaya lokal yang relevan dengan kebutuhan masa depan itulah yang harus dipertemukan, dan bila perlu dibenturkan satu sama lain, bahk an juga dengan sisi positif budaya global yang mengalir deras ke seluruh pelosok negeri ini. Pertautan antar nilai budaya, baik lokal maupun global tersebut aka n melahirkan sintesa budaya yang dapat menjadi pijakan kokoh bagi peradaban baru Indonesia. Memang bukan pekerjaan mudah bagi jejaring Simpul Kesadaran` untuk memb angun sintesa budaya dan terus mengawalnya agar terbentuk peradaban baru. Bukan hal

mudah bagi para Simpul Kesadaran` untuk mengajak orang-orang sekitarnya, yang masih larut dalam kepentingannya sendiri, untuk bersama-sama membangun keberadaban ba ru di lingkungan masing-masing. Baik keberadaban baru dalam politik, bitrokrasi, dan hukum; keberadaban baru masyarakat Jawa, Papua, hingga keturunan Tionghoa; juga keberadaban baru komunitas agama serta adat. Tetapi dengan segala tantangan nya hal tersebut harus dilakukan, dan memang mungkin dilakukan. Keterpaduan aspe k jiwa serta profesionalitas diperlukan sebagai pilar utuhnya bangunan peradaban baru Indonesia, sebagaimana utuhnya keterpaduan Otak Kanan dan Otak Kiri dalam kehi dupan. Jiwa menjadi seperti api yang akan terus mengobarkan semangat kebaikan da lam berbangsa dan bernegara apapun kesulitan yang menghadang. Adapun profesional itas yang mengandung nilai-nilai kompetensi, integritas, serta kapasitas manajem en akan memastikan bahwa setiap langkah bangsa di masa depan akan selalu dapat d ipertanggungjawabkan menurut ukuran apapun, termasuk ukuran-ukuran universal. Ke satuan jiwa dan profesionalitas itu perlu mewarnai seluruh proses berbangsa dan bernegara, baik dalam pengelolaan negara maupun dalam kehidupan bermasyarakat. S elain kuat dalam jiwa dan profesionalitas, peradaban baru Indonesia tentu harus pula memiliki orientasi global, teknologi, dan keriwausahaan yang kuat. Pembekal an orientasi global akan membantu para Tenaga Kerja Indonesia sebagai pahlawan de visa bangsa` untuk lebih mampu bersaing dengan para pekerja bangsa lain dalam pasa r tenaga kerja menengah bahkan atas. Orientasi global akan menjadikan putra-putr a bangsa bukan cuma jago kandang` melainkan juga akan siap menjelajah luasnya dunia . Teknologi menjadi keharusan untuk dikuasai agar dapat tegak di antara bangsa-b angsa besar dunia. Sedangkan kewirausahaan bukan saja mendinamiskan, melainkan j uga akan mengantarkan bangsa pada kemakmuran. Untuk membangun peradaban baru ter sebut, pendidikan merupakan jalan utama untuk menyebarkan nilai-nilai penopang p eradaban baru Indonesia. Keteladanan para Simpul Kesadaran` untuk membebaskan lingk ungan kepemimpinan masing-masing dari pengaruh budaya lama yang feodal maupun da ri budaya pancaroba sekarang yang materialistis merupakan proses pendidikan terb aik bagi publik. Apalagi bila ditopang dengan pengembangan sistem yang memperkua t profesionalitas masyarakat. Pengembangan wilayah dan penataan kota sehingga te ratur, bersih, serta manusiawi juga merupakan sarana pendidikan publik yang efek tif untuk membangun peradaban baru. Lee Kuan Yew mengawali pembangunan Singapura dengan mengembangkan komplek perumahan moderen pada tahun 1964, Langkahnya ters ebut bukan hanya membuat Singapura maju secara fisik, namun juga berpengaruh pad a sikap dan perilaku masyarakatnya sekarang. Sebagai bagian pembelajaran untuk m engadopsi nilai-nilai peradaban baru, seremoni dan acara publik penting untuk di revitalisasi. Upacara dan acara pemerintah yang kaku dan mekanisitis yang terwar isi dari budaya birokrasi feodal sudah saatnya lebih

dicairkan agar efektif buat menyampaikan pesan yang diharapkan. Tak sedikit acar a adat yang perlu disegarkan agar menjadi keriaan yang dapat membangkitkan seman gat masyarakat serta terbebas dari simbol-simbol mistis yang mengada-ada dan mem bodohkan masyarakat Spiritualitas yang kuat yang dapat menjadi pijakan bangsa se lalu spiritualitasyang didasarkan atas kesadaran rasional, seperti Bushido di J epang. Bukan spiritualitas yang berlandaskaan pada mistis. Maka bela diri bangsa -bangsa seperti Jepang dan Korea juga lebih bertumpu pada kekuatan jiwa, dan tak dihubunghubungkan dengan mistis seperti umumnya bela diri bangsa ini. Pengajara n agama juga memiliki arti penting untuk membangun peradaban baru Indonesia. Sep erti seruan Bung Karno agar umat mengambil api` dan bukan abu` agama, pengajaran agama harus mampu memerdekakan jiwa dan membangkitkan etos bangsa. Adapun pembangunan peradaban baru yang perlu ditempuh melalui pendidikan formal adalah pengembanga n keteladanan guru, pembiasaan perilaku baik oleh lingkungan sekolah, serta peng ajaran yang bermuatan keterampilan hidup (life skills). Pengajaran tentang keter ampilan hidup di sekolah terbukti membuat masyarakat lebih mampu mengelola keseh atan diri, pandai mengelola ekonomi keluarga, serta efektif dalam berkomunikasi dan negosiasi. Pembangunan peradaban baru yang diperlukan Indonesia untuk maju j uga tak boleh terlepas dari pondasi yang telah dibangun para pendiri bangsa sert a pemimpin terdahulu. Presiden Soekarno telah berjasa membangun rumah peradaban baru tersebut dalam bentuk Pancasila yang mempersatukan kebhinekaan bangsa. Pres iden Soeharto berjasa mengamankan rumah Pancasila itu dari kehancuran agar Indon esia dapat membangun. Hanya karena kesalahan politiknya, jasa itu menjadi teraba ikan dan Pancasila tidak lagi dihargai secara semestinya oleh bangsa. Indonesia era baru harus mampu membangkitkan kembali Pancasila dan mendinamiskannya agar b angsa dapat mewujudkan kemakmuran yang didambakan masyarakat. Akhirnya, upaya be sar membantu Indonesia keluar dari jebakan keadaan sekarang dan menjadikannya be rjaya akan sulit diwujudkan tanpa ketulusan serta tekad semua. Terutama ketulusa n dan tekad para Simpul Kesadaran` yang mensintesakan budaya penopang peradaban bar u Indonesia. Sebuah peradaban yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang be rjaya, bermartabat, serta memakmurkan seluruh masyarakat. Jakarta, (eh) 26 Agust us 2008 Sumber: Soetrisno Bachir.com Like

Be the first to like this post. About this entry You`re currently reading Sintesa B udaya dan Peradaban Baru Indonesia, an entry on Desain Grafis Indonesia Published : May 18, 2009 / 6:53 am Category: Article Tags: 2008 , Soetrisno Bachir Iklan Politik, Era Image, dan Kekuasaan Media Bedjo Riyanto Dosen Jurusan Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni dan Desain Un iversitas Kristen Petra . ...................................................... ....... ....... ABSTRACT The direct election of the president and vice president is succeed democratitation process. People has their own sovereignity to decide their own choice. Shifting mass mobilitation from political machine party to th e power of mass media machine is the consequences of it. In the age of image rec ently, press and television broadcast have become a deciding factor of candidate winning. Who takes the power by force of this

factor, is the winner. The victory of Susilo Bambang Yudhoyono and Jusuf Kalla t o be president and vice president in general election September 20th 2004 is the evident of the thesis. Keywords: political ad, the power of mass media, image b uilding, candidate winning. . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..... . PENDAHULUAN Tanggal 9 September 2004, bom kembali meledak mengguncang ibukota Jakarta meluluhlantakkan gedung-gedung pencakar langit sekitar jalan Kuningan di depan kedutaan besar Australia. Korban bergelimpangan bersimbah darah. Sembilan orang meninggal dunia dengan tubuh tercerai berai (mayoritas kaum Muslim seiman dengan para terorisnya) dan ratusan orang menderita luka-luka berat dan ringan memenuhi ruang-ruang dan selasar rumah sakit ibukota. Meledaknya bom Kuningan me lengkapi serangkaian teror bom dengan korban jiwa besar seperti bom di Sari Club Kuta Bali ataupun bom di depan hotel J.W. Marriot Jakarta, yang sangat merugika n bagi stabilitas keamanan pemerintahan presiden Megawati. Kasus itu merupakan t amparan keras dan jelas semakin memerosotkan kredibilitas politiknya pada saat m enghadapi pertarungan dalam putaran terakhir pemilihan presiden melawanrival ber atnya pasangan Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla pada tanggal 20 September 2004. Di sela-sela gencarnya breaking news beberapa stasiun televisi swasta yan g banyak menampilkan tayangan isak tangis dan erangan kesakitan korban-korban ya ng luka parah, tampil dengan gencarnya memenuhi waktu-waktu prime time iklan kam panye sang presiden. Dalam iklannya Megawati tampil dengan wajah melancholic dan senyum keibuannya diiringi backsound nyanyian paduan suara puja-puji beraroma k ultus anakanak dari berbagai suku bangsa yang melengking jernih, dengan lirik se bagai berikut: Wahai Ibu kami Banyak yang telah Ibu lakukan Harus selalu Ibu jaga dan teruskan Bagi kami Putra-putri Negeri Pendekatan kampanye ini agak mirip den gan maraknya upacara puja-puji kultus Bapak Pembangunan yang gencar ditayangkan televisi ketika Suharto terpilih sebagai presiden ketujuh kalinya pasca pemilu 1 997 (rupanya menjadi jabatan terakhirnya). Lagu Bapak Pembangunan diciptakan dan dinyanyikan oleh komposer sekaligus penyanyi legendaris Indonesia Titik Puspa y ang gencar ditayangkan oleh TVRI dan

televisi swasta, menjadi satu bentuk dari model kebulatan tekat dari setiap elem en organisasi masyarakat untuk mendukung kultus pembangunan rezim Suharto. Dampa k komunikasi dari iklan Megawati itu terasa paradoksal dengan situasi dan kondis i psikologis publik yang penuh keterancaman, ketakutan, kesedihan, dan paranoid akibat serangkaian teror bom yang memakan banyak korban itu. Mungkin timbul pers epsi yang negatif dari publik atas miskinnya kepedulian sang presiden atas benca na yang dialami rakyatnya. Iklan kampanye politik merupakan media komunikasi pol itik baru yang muncul akibat dinamika demokratisasi akibat cepatnya proses refor masi sejak lengsernya presiden Suharto. Kebutuhan akan bentuk komunikasi politik yang lebih bersifat massal ini telah dimulai dan dianggap penting oleh partai-p artai politik lama maupun baru sebagai sarana memobilisasi dukungan pemilih keti ka bertarung memperebutkan suara pada Pemilu 1999. Partai-partai besar seperti P KB (Partai Kebangkitan Bangsa), PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), PA N (Partai Amanat Nasional), Partai Golkar, dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan ) telah banyak membelanjakan anggaran belanja kampanye dengan memasang iklan-ikl an kampanye partai politik baik melalui media cetak maupun media televisi nasion al waktu itu. Wajah dan sosok Abdurrachman Wahid (Gus Dur), Megawati, Akbar Tanj ung, ataupun Amien Rais menjadi ikon iklan-iklan politik dari partai-partai poli tik yang bersaing telah meramaikan dinamika kehidupan dunia periklanan Indonesia pada waktu itu. Berbagai pendekatan dan strategi kreatif dilancarkan oleh para pengarah dan perancang iklan untuk mendapatkan simpati publik. Dalam kampanye Pe milu 2004 yang menjadi tonggak penting proses demokratisasi dengan diselenggarak annya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh seluruh rakyat Indonesia, maka bentuk komunikasi persuasif iklan politik semakin mendapatkan la han suburnya. Kemudian yang menjadi pertanyaan dalam tulisan ini, sejauh manakah konsep-konsep serta strategi kreatif mampu dirancang oleh para desainer ataupun pengarah kreatif periklanan kita di dalam mengkemas programprogram serta pesanpesan politik menjadi sajian iklan yang rasional, mendidik, artistik, dan komuni katif sehingga menjadi media penyadaran ataupun pembelajaran politik bagi warga bangsa? Apakah iklan-iklan-iklan politik itu juga mampu mempengaruhi publik calo n pemilih sehingga memberikan suaranya kepada para kandidat yang diiklankannya? KULTUS KEKUASAAN YANG GAGAL Image kemegahan dan kebesaran kekuasaan tampak menja di tema sentral dalam eksekusi kreatif iklan-iklan politik pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi. Sosok

Megawati banyak ditampilkan dalam upacara resmi kenegaraan yang berbau seremonia l dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, sehingga mencitrakan kemapanan posis i politiknya. Sebagai putri proklamator dan presiden pertama RI Bung Karno pewar is darah biru dinasti politik Indonesia, merupakan faktor genetik yang diangkat sebagai kekuatan positioning dan selling point untuk mendulang suara para penduk ung fanatik yang diasumsikan merupakan mayoritas rakyat indonesia, oleh tim kamp anyenya. Triawan Munaf dari biro periklanan Adwork Euro sebagai koordinator tim kreatif iklaniklan politik PDI Perjuangan memanfaatkan keunggulan komparatif Meg awati sebagai presiden yang sedang menjabat (incumbent) dengan pendekatan dokume nter dan humanistik yang diperkirakan mampu menarik simpati publik. Meskipun ket erbatasan waktu hanya memungkinkan tampilan iklan yang cenderung hard sell, namu n iklaniklan politik PDIP baik sewaktu kampanye pemilihan umum legislatif maupun pemilihan langsung presiden dan wakilnya dinilai cukup artistik dan memikat dib anding kompetitornya. Pada satu versi iklan televisi yang ditayangkan pada saat kampanye putaran pertama pemilihan presiden ditampilkan dalam format medium clos e up wajah Megawati dengan senyum keibuannya dikerumuni anak-anak dengan wajah c eria, diiringi narasi sebagai backsound: Di balik kelembutan Tak kenal lelah Tega s Selalu Peduli Demi Ibu Pertiwi Dengan editing yang cepat mengalir rancak bak vi deo klip, iklan ini menampilkan potongan-potongan stock-shoot dokumenter seremon i kenegaraan yang memperlihatkan adegan- adegan Megawati sedang bersilaturahmi d engan para santri; mengunjungi korban-korban bom di Kuta Bali yang mayoritas wis atawan manca negara kulit putih; beraudiensi dengan Sri Paus Johannes Paulus II; melakukan inspeksi pasukan TNI diatas jeep terbuka pada upacara hari ulang tahu n TNI; bersama para pekerja wanita yang sedang bekerja di pabrik; mengunjungi ko rban bencana alam; melakukan ibadah sholat (sebagai counter atas isu melakukan s embahyang secara Hindu di suatu Pura di Bali); dan ditutup dengan closing adegan melepaskan burung merpati ke angkasa sebagai simbol perdamaian. Pada versi-vers i iklan yang lain, pendekatan statistikal yang bersifat kuantitatif yang dikemas untuk menyajikan prestasi pemerintahan Megawati. Konsep perubahan Rekomendasi 5 diusung oleh pasangan kandidat Megawati-Hasyim Muzadi untuk menjanjikan keberha silan dan perubahan jika mereka diberi kepercayaan oleh pemilih.

Lewat angka-angka target pembangunan yang justru dinilai publik kelewat optimist ik dan over-convidence (kelewat percaya diri), iklan-iklan politik versi ini jus tru kontra produktif dan semakin mendeligitimasikan posisi pasangan ini. Pada sa tu versi iklan pemadatan Rekomendasi 5, Megawati person menyampaikan hasil prest asi dan target-target politiknya: sebagai spokeSetelah 3 tahun berhasil memulihkan dasar-dasar ekonomi bangsa, saya bersama pak Hasyim Muzadi akan bekerja keras. Melalui Rekomendasi 5 kami akan pangkas kemisk inan sebanyak 45% , diikuti dengan teks caption Angka Kemiskinan Turun 45 % dan ba cksound narrator, Dan akan menciptakan 12.900.000 kesempatan kerja baru dalam kur un waktu 5 tahun . Gambar kembali ke wajah Megawati yang menyatakan: Kami akan tana mkan investasi kualitas sumber daya manusia , disusul suara narator Agar kualitas k ehidupan bangsa ini secara keseluruhan dapat ditingkatkan . Sebagai closing slogan Pilih Mega Hasyim. Janji penciptaan lapangan kerja rata-rata 2.600.000 orang pe r tahun sungguh bertolak belakang dengan realitas empirik yang tersaji lewat pem beritaan baik dimedia televisi maupun media cetak tentang banyaknya relokasi ind ustri-industri multi nasional meninggalkan Indonesia (seperti pabrik elektronik Sony, sepatu Nike, dan lain-lainnya), serta PHK masal akibat bangkrutnya beberap a BUMN dan perusahaan swasta dilanda krisis moneter yang belum pulih sampai seka rang (contoh kasus PT. Dirgantara Indonesia). Menurut pengamat komunikasi politi k Universitas Indonesia Effendi Ghazali yang dimuat pada majalah Cakram edisi bu lan November 2004, halaman 44, fakta-fakta empirik yang disampaikan secara stati stik pasangan Mega-Hasyim kurang dapat memenuhi ekspetasi rakyat pemilih. Fakta bahwa pemerintahan Megawati sudah melakukan perubahan-perubahan nyata dalam bida ng stabilitas keamanan, stabilitas moneter, dan laju perekonomian nasional kuran g dapat terkomunikasikan secara bernas dan efektif dalam media kampanye politikn ya. Menurut hasil penelitian Transparency International Indonesia (TII) yang dik utip majalah Tempo edisi 21 Maret 2004 (di halaman 24-27), dan majalah Cakram ed isi Juni 2004 (di halaman 20-21), untuk melangsungkan kesinambungan kultus kekua saan tim kampanye Megawati membelanjakan sekitar 104, 84 milyar rupiah keseluruh an biaya kampanye dari pemilu legislatif sampai 2 kali putaran pemihan presiden langsung. Untuk media televisi saja pada kampanye putaran I menghabiskan belanja iklan sekitar 40 milyar rupiah, sedangkan untuk kampanye putaran ke II menghabi skan dana sekitar 13 milyar rupiah.

IKON PERUBAHAN: SANG PENANTANG Bersama Kita Bisa Pesan sederhana yang sangat kuat dan jelas dalam slogan yang menjadi kata kunci iklan- iklan kampanye pasangan SB Y-JK itu di tayangkan di media-media televisi nasional sehingga membentuk kesada ran di benak khalayak calon pemilihnya. Makna yang terkandung dari slogan ini ad alah bersama-sama dengan rakyat apapun kesulitan yang di hadapi bangsa ini akan dapat di selesaikan. Apapun partai politiknya SBY presidennya. Menggandeng Subia kto Priosoedarsono presiden direktur Hotline Advertising sebagai kordinator kamp anye politiknya, pasangan SBY-JK tampil dalam strategi komunikasi yang simple, k omunikatif, dan efektif untuk mendongkrak citra dan membentuk opini positif publ ik calon pemilihnya. Subiakto dikenal sangat piawai mengemas keyword (kata kunci ) sebagai kekuatan penyadaran akan keberadaan suatu merk di benak khalayak konsu men yang dibuktikan dengan sukses penjualan produk-produk yang menjadiclient-nya seperti Xon Ce (dengann keyword Xon Ce nya Mana? ), dan Sana Flu (dengan keyword Be lum Tau Dia ). Segmentasi publik calon pemilih dalam pemilihan umum presiden secar a langsung yang bersifat heterogen, mayoritas tinggal di pedesaan, dengan tingka t pendidikan dan intelektualitas yang masih rendah, terasa cocok dengan gaya ikl an-iklan Subiakto yang simple dengan pilihan bahasa yang sederhana mudah difaham i dan bersifat single-minded (tafsir tunggal). Mengusung konsep komunikasi brand building , figur SBY langsung diangkat sebagai brand name, rational selling point, sekaligus emotional selling point dengan mempertajam kekuatan personalitasnya. Postur tubuh SBY yang tinggi besar, wajahnya yang ganteng, gesture tubuhnya yang santun dan mengayomi, tutur kata yang sistematis dan ilmiah, tingkat intelektua litasnya yang tinggi (meraih doktor dalam bidang Ekonomi Pertanian dari Institut Teknologi Bogor), berpengalaman dalam birokrasi (mantan Menteri Pertambangan da n Energi serta Menteri Koordinator Politik dan Keamanan), dan tidak boleh dilupa kan sebagai mantan militer berpangkat Jenderal ia dianggap publik mampu memberik an jaminan stabilitas politik dan keamanan nasional yang sangat labil pada masa reformasi dewasa ini. Di era image, kepiawaian tim kampanye yang dengan cerdik m emanfaatkan kekuatan media masa sebagai pendukung publisitasnya, semakin memompa tingkat popularistasnya. Figur SBY merupakan jawaban akan kerinduan hadirnya se orang pemimpin, seorang bintang pujaan, sekaligus mitos seorang satrio piningit da ri publik masyarakat penontonnya.

Slogan Bersama Kita Bisa yang diangkat pada kampanye putaran I pemilihan presiden mengesankan bahwa SBY mengajak seluruh rakyat apapun pilihan partai politiknya u ntuk bersama bahu membahu mengatasi krisis dan membangun Indonesia. Ini merupaka n strategi yang tepat karena pada riil politiknya sang calon presiden hanya didu kung oleh Partai Demokrat yang meraih suara lebih kurang 8 juta pemilih pada pem ilihan legislatif. Ketika berhadapan langsung dengan Megawati presiden yang masi h menjabat pada pemilihan presiden putaran ke II, tim kampanye SBY-JK mengangkat slogan Perubahan Kini Semakin Dekat sebagai kontras atas posisi Mega yang berada pada status-quo kekuasaan. Sebagai penantang, konsep perubahan yang dijanjikan l ebih relevan dengan harapan masyarakat luas yang mendambakan perubahan lebih cep at dari kondisi stagnasi reformasi dan krisis multi dimensi ini. Kondisi psikolo gis publik pemilih yang mudah berubah (swingers voter), tidak sabaran, dan mudah kecewa merupakan lahan empuk bagi janji-janji perubahan. Lewat kemasan iklan-ik lan testimonial dan versi-versi yang menonjolkan pasangan dwitunggal SBY-JK seba gai tali pemersatu perbedaan dari partai-partai yang gagal mengantarkan calon pr esidennya pada pemilihan putaran I, pasangan ini mendulang sukses berhasil tampi l sebagai ikon perubahan (Cakram, November 2004: 46-48). Perubahan menjadi posit ioning sekaligus brand image pasangan SBY-JK yang kuat melekat di benak publik c alon pemilihnya. Faktor terpenting lainnya adalah kesadaran tim kampanye untuk m engeksplorasi kegiatan public-relations (kehumasan) sebagai media pengelola isu (issues management) baik yang berdampak positif maupun negatif (black campaign) agar menguntungkan bagi pembentukan citra positif dan popularitas pasangan ini. Kegiatan publisitas (PR), pemanfaatan event-event strategis, dan periklanan meru pakan rangkaian dari komunikasi pemasaran terpadu (integrated marketing communic ation) yang dilakukan oleh tim kampanye SBY-JK ternyata terbukti sangat menguntu ngkan dalam meng-endorce (mendorong) tercapainya brand awarenesspasangan ini. Te levisi sebagai primadona media komunikasi masa dimanfaatkan secara cermat. Hampi r setiap acara yang melibatkan publik yang bernilai rating tinggi apakah itu ber bentuk talk show, debat kandidat, wawancara, panel diskusi, paket acara keagamaa n seperti yang diasuh Aa Gym, bahkan sampai program reality show yang sedangboom ing digandrungi segenap lapisan masyarakat seperti Akademi Fantasi (AFI) di stas iun TV Indosiar, dimanfaatkan dengan prima pasangan ini. Tampilnya SBY (bersama Wiranto kandidat dari partai Golkar) menyanyikan lagu hit band Jamrud, Pelangi D i Matamu pada malam grand-final AFI 2 berhasil mengundang simpati kalangan pemil ih muda. Juga lembaga-lembaga penyelenggara jajak pendapat (polling centre) baik di media cetak maupun televisi mempunyai andil yang sangat penting dalam mendon gkrak

kemenangan pasangan SBY-JK. Hampir setiap hasil jajak pendapat yang dilakukan ol eh berbagai lembaga penyelenggara dimenangkan oleh pasangan SBY-JK, sehingga mem beri kesan seolah-olah pasangan ini telah menang sebelum bertanding. Hasil akhir nya lebih kurang 60 % suara kemenangan diraih pasangan Susilo Bambang YudhoyonoJusuf Kalla, mengalahkan pasangan Megawati- Hasyim Muzadi pada pemilihan presid en dan wakil presiden secara langsung pada tanggal 20 September 2004. Sejarah te lah ditorehkan. ERA IMAGE DAN TIRANI MEDIA Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat Indonesia merupakan suatu prestasi yang membanggaka n dari segala carut marut reformasi dan proses demokratisasi di negeri ini. Era kedaulatan rakyat benar-benar terwujud menggeser era kedaulatan elit yang hadir sepanjang sejarah kehidupan politik negeri ini sejak jaman Majapahit sampai Orde Baru. Dahulu para raja memegang puncak kuasanya secara turun temurun karena dia nggap sebagai titisan para dewa. Pada masa republik modern telah didirikan presi den RI yang pertama Bung Karno dipilih dan dikukuhkan oleh para tokoh elit perju angan kemerdekaan yang tergabung dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Untuk melanggengkan kekuasaannya, Bung Karno diangkat sebagai presiden seumur hi dup Pemimpin Besar Revolusi oleh lembaga MPRS, setelah membubarkan Konstituante (parlemen yang dipilih secara demokratis pada Pemilu 1955) dengan Dekrit Preside n pada tahun 1959. Berganti masa kekuasaan Orde baru, siklus teratur lima tahuna n penyelenggaraan Pemilu hanya untuk memilih anggota DPR dan MPR yang berfungsi sebagai stempel pengukuh pengangkatan Suharto sebagai presiden secara terus mene rus selama 7 periode tanpa rival sama sekali. Maka lembaga tertinggi negara sepe rti partai politik, DPR, dan MPR, menjadi lembaga demokrasi semu (demokrasi seol ah-olah menurut istilah Gus Dur) yang hanya berperan sebagai mesin mobilisasi po litik kekuasaan tunggal sang patron. Proses reformasi yang berujung pada lengser keprabon presiden Suharto 23 Mei 1998, mengakibatkan wakil presiden Prof.Dr. BJ .Habibie diangkat dan dilantik oleh Suharto sebagai presiden penggantinya. Dalam Pemilu pertama pasca Orde Baru tahun 1999 yang dinilai paling demokratis selama ini, dihasilkan anggota DPR dan MPR yang mengangkat Abdurrachman Wahid sebagai presiden RI ke 4 (padahal partai pemenang Pemilu adalah PDIP). Akibat krisis Bul og-gate maka MPR melakukan sidang istimewa dan mencopot jabatan presiden dari Gu s Dur dan mengangkat Megawati (semula wakil presiden) sebagai penggantinya.

Siklus kedaulatan elit baru terputus dengan terpilihnya pasangan SBY-JK sebagai presiden dan wakil presiden pilihan rakyat secara langsung pada 20 September 200 4 yang menjadi tonggak emas perjalanan kehidupan politik bangsa ini. Kedaulatan elit, kedaulatan partai, ataupun kedaulatan birokrasi tidak berjalan efektif den gan gagalnya Koalisi Kebangsaan yang dimotori partai-partai besar pemenang Pemil u 2004 seperti Golkar, PDIP, PPP, dan PDS mengusung pasangan Megawati-Hasyim Muz adi. Pada era kedaulatan rakyat mesin politik yang digerakkan oleh elit partai k urang berjalan efektif, dan kekuatan pengerahan sumber daya politik lebih banyak di gerakkan oleh mesin media komunikasi masa industri-industri media seperti te levisi, pers, ataupun media cyber-interaktif internet. Sebagai primadona televis i tumbuh sebagai kekuatan raksasa pembangun dan pembentuk opini publik yang pali ng berpengaruh dalam kehidupan politik kita. Hegemoni budaya layar (screen-cultu re) dalam ruang-ruang publik kita telah memungkinkan televisi menjadi kekuatan u tama media pendidikan politik sampai di ruang-ruang keluarga, terutama disaat me njelang peristiwa penting politik seperti pemilihan umum. Sementara itu di sisi lain media televisi juga mampu bermetamorposis sebagai alat penghancur dan pembu nuh karakter seorang aktor politik (carracter assasination) yang ganas tanpa amp un. Televisi bak monster dengan dua kutub wajah seperti tokoh Dr Jeckyll dan Mr. Hyde yaitu mampu sebagai kekuatan paedagogis yang positif juga sekaligus dapat sebagai mesin pembunuh dan ajang pengadilan politik yang tak kenal kompromi. Tel evisi mampu mengangkat citra dan popularitas seorang aktor politik akan tetapi s ekaligus juga mampu menjungkalkan serta memerosotkan kredibilitas dan legitimasi nya sampai ke titik nadir. Dunia televisi merupakan dunia citraan, dan realitas yang ditampilkan merupakan realitas semu hasil proses suntingan (editing) dari r ealitas kehidupan sesungguhnya. Realitas tiruan ini mempunyai hukum, logika, dan dunianya sendiri (second reality atau hyper-reality), yang pada titik ekstrimny a di terima bahkan diyakini sebagai realitas sesungguhnya. Akhirnya kehidupan po litik yang ditampilkan dan dibentuk lewat layar media menjadi semacam hiperpolit ik (hyper-politics) yaitu politik yang hidup dalam wujud simulasinya di dalam ru ang-ruang citraan (terutama televisi), yang tidak lagi merepresentasikan politik sesungguhnya di dunia nyata (politics of discontinuity) (Garin Nugroho, 2004: 6 1-67). Megawati merupakan contoh yang menarik bagaimana nasib seorang aktor poli tik dilambungkan dan akhirnya dihempaskan oleh kekuatan media ini. Seperti likaliku plot cerita opera sabun, Megawati pernah meroket popularitasnya pada masa O rde Baru sebagai tokoh protagonis teraniaya oleh rezim kekuasaan yang otoriter S uharto. Sejak dirinya terpilih sebagai ketua umum PDI pada kongres di Medan yang tidak direstui oleh pemerintah ia diangkat media sebagai ikon perlawanan Orde B aru yang akhirnya

mengantarkan kemenangan PDIP partai yang dipimpinnya dalam pemilihan umum 1999 d an akhirnya membuahkan kursi kepresidenan bagi dirinya. Demikian sebaliknya, pad a pemilihan presiden langsung yang baru lalu ia diposisikan dan dipersepsikan ol eh kalangan pers dan media sebagai tokoh antagonis yang mewakili citra status- q uo kekuasaan. Di mata pers ia dianggap sulit berkomunikasi, lamban, antikritik, dan kebijakan- kebijakan politiknya tidak memihak wong cilik sebagai pendukung u tamanya (sering diplesetkan dengan jauh dari wong cilik dekat dengan wong licik) . Ia sering menjadi bulan-bulanan media seperti terlihat pada wawancara khususny a menjelang putaran kedua pemilihan presiden (seperti ketika tampil pada stasiun TV SCTV dan Metro). Wawancara berubah menjadi arena pengadilan politik dengan p ertanyaan-pertanyaan pemandu acara yang sering memojokkan dan memancing emosi Me gawati sehingga menggerogoti image politiknya. Dalam beberapa pidato kenegaraan seperti saat menyambut hari ulang tahun Pers Indonesia, presiden Megawati menyin dir kalangan pers yang dianggap kebablasan dan bersikap oposisi terhadap kebijak an dan program-program pemerintah. Sebaliknya sang penantang SBY dalam telenovel a perpolitikan nasional diposisikan media sebagai tokoh protagonis baru. Popular itasnya terus meroket secara dramatis berkat dukungan suku-suku baru kontemporer (neotribal) penggemar opera sabun dan telenovela yang haus akan cerita-cerita d ramatis, bintang-bintang pahlawan baru, pelakon-pelakon yang teraniaya dan berak hir dengan kemenangan dramatis. Gencarnya ekspose media masa baik cetak maupun t elevisi ketika SBY disingkirkan secara halus sebagai Menkopolkam dalam kabinet G otong Royong dan menjadi keputusan pengunduran dirinya merupakan momentum pentin g. Perseteruannya dengan Taufik Kiemas suami presiden Megawati, menjadi semacam pertunjukan kesewenang-wenangan kekuasaan. Ucapan Taufik Kiemas yang menghina pr ibadi SBY sebagai Jenderal yang kayak anak kecil , menjadi kotak pandora yang semak in melambungkan pamornya sebagai ikon ketertindasan yang banyak menangguk simpat i publik. Dari analisis yang lebih cermat dapat disimpulkan bahwa kekuatan penci traan sosok SBY sebagai ikon perubahan bukanlah semata-mata hanya bertumpu pada pengelolaan strategi periklanannya, melainkan lebih kepada teks personalnya send iri yang memenuhi ekspetasi dan impian masyarakat penggemar yang cenderung eskap is. Popularitasnya dibentuk bersama oleh momentum sejarah, media masa, lembagale mbaga jajak pendapat (polling centre), tim sukses kampanye, masyarakat penggemar penonton setia televisi, dan kelemahan pemerintahan Megawati. Cepatnya perubaha n konstelasi politik di Indonesia memaksa para pelaku dan aktoraktor politik yan g mendambakan kekuasaan untuk merancang strategi komunikasi dan penguasaan media masa secara tepat, efektif, dan efisien guna menjaring semaksimal mungkin perol ehan suaranya.

Teori-teori pemasaran dan komunikasi modern menjadi pilihan disamping mobilisasi lewat organisasi partai politik dan ideologi. Mengacu pendapat Bruce I Newman d alam bukunya Handbook of Political Marketing (1999) yang dikutip oleh Eep Saeful loh Fatah pada esainya yang berjudul Dari Supporter ke Voter (dimuat dalam Tempo 1 9 September 2004)0: pada zaman cyber-space ini pertarungan politik membutuhkan j urus-jurus pemasaran seperti pemetaan segmentasi pemilih, demografi pemilih, psi kografi pemilih, brand positioning kandidat, brand personality kandidat, tawar m enawar, transaksi, public-relations, media planning, media buying, media placeme nt, pengelolaan isu dan event-event penting, riset dan seterusnya. Para pemilih dipandang sebagai konsumen unsur terpenting dalam siklus kegiatan pemasaran. Lak u dan gagalnya penjualan sang kandidat dalam pasar pemilihan umum tergantung pada kecanggihan dan kreativitas komunikasi pemasaran yang dilakukan. Menurut Newman, pasar politik dalam lahan demokrasi yang sehat membutuhkan prasyarat kebebasan berkompetisi, partisipasi, dan rasionalitas dari para pemilih (voters) yang meng gantikan emosionalitas, kultus, fanatisme, dan model mobilisasi dari para pengik ut (supporters). Sumber dari esai Eep Saefulloh Fatah Dari Supporter ke Voter dalam Tempo 19 Septe mber 2004, halaman 116-117. Publik yang dikategorikan sebagai pemilih (voters) m enggunakan analisa rasional, dengan kalkulasi yang cermat berkat pengetahuan yan g memadai tentang kelayakan dan kepatutan kandidatnya. Mereka mau memilih jika m erasa yakin bahwa kandidat tersebut mampu memperjuangkan aspirasinya secara baik . Pemilih memposisikan kandidat sebagai sosok historis tidak berdasarkan mitos, kultus, ataupun hubungan hierarki genealogis (hubungan silsilah kekeluargaan den gan para elit politik). Mereka menyerahkan kepercayaan berdasarkan pertimbangan prestasi, track record, kompetensi, dan moralitas sang kandidat sebagai pengemba n amanat rakyat.

Pemilih akan memposisikan dirinya setara dengan kandidatnya, dan memberikan pili hannya tidak secara gratis. Ia akan selalu menuntut imbalan yaitu pelaksanaan ja njijanji politik yang diberikan sang kandidat pada saat kampanye. Tugas pemilih tidak selesai begitu saja sesudah proses pencoblosan dilakukan, melainkan akan t erus mengawal dan menuntut pertanggung jawaban dari pemimpin pilihannya selama m asa jabatan yang ditentukan. Mandat mereka bukanlah cek kosong belaka, dan janji politik harus diuji kebenaran pelaksanaannya oleh publik. Pemilih adalah subyek partisipasi bukan obyek mobilisasi, sehingga ia mempunyai kemandirian dalam mem bangun kesadaran, merumuskan pilihannya, dan mengekspresikan pilihannya. Dalam b ahasa yang lain para pemilih merupakan rational voters yang mempunyai tanggung j awab, kesadaran, kalkulasi, rasionalitas, dan kemampuan kontrol yang kritis terh adap kandidat pilihannya, yang meninggalkan ciri-ciri traditional voters yang fa natik, primordial, dan irasional, serta berbeda dari swingers voters yang selalu raguragu dan berpindah-pindah pilihan politiknya. Dalam pemasaran politik, peng elolaan dan penguasaan media komunikasi pemasaran modern merupakan ujung tombak aktivitasnya. Penguasaan media menjadi kunci kemenangan atas posisi politiknya. Tim pemasar politik harus mampu mengintegrasikan berbagai bentuk aktivitas komun ikasi pemasaran dengan beragam bauran medianya (media mix) yang sering disebut s ebagai Integrated Marketing Communication (IMC) secara kreatif, sinergis, dan ef ektif dalam membangun kepercayaan di benak calon pemilihnya. Bentuk-bentuk aktiv itas IMC seperti, advertising, direct marketing, sales promotion, publicity/publ ic-relations, personal selling, dan eventatau sponsorship menjadi aneka pilihan untuk dapat dimanfaatkan secara tepat dan akurat dengan pertimbangan urgensi dan skala prioritasnya (George E. Belch &Michael A. Belch, 1998: 3-31). Pemanfaatan berbagai bauran media seperti above the line media (ATL), below the line media (BTL), serta trough the line media (TTL) secara kreatif, unik, strategis, dan ak urat merupakan kunci yang lain dalam memenangkan pertarungan media. Pada tahap a wal perintisan membangun citra positif sang kandidat sebagai kegiatan brand-buil ding, merupakan tahapan yang paling krusial dan menjadi fondasi yang menentukan kelangsungan dan keberhasilannya. Dalam bukunya yang berjudul: The Fall of Adver tising and The Rise of Public Relations (2003), Al Ries dan Laura Ries memperken alkan era public relations (The Public Relations Cometh), yang menggantikan era positioning(The Positioning Cometh)(Al Ries & Laura Ries, 2003: 2-4). Menurutnya periklanan sebagai bentuk puffery communication telah kehilangan kredibilitasny a. Periklanan dianggap

sebagai kebohongan dan suara manipulatif dari perusahaan atau pihak-pihak yang i ngin menjual produk maupun gagasannya. Melalui serangkaian kasus-kasus penelitia nnya dibuktikan bahwa program-program kampanye periklanan yang dilakukan perusah aan-perusahaan raksasa multinasional itu justru berdampak menjatuhkan angka penj ualan produk-produknya seperti: iklan bertema mobil mainan dari Nissan; iklan be rtema Just Do It dari Nike; iklan kampanye Energizer Bunny; iklan Alka Seltzer; da n masih banyak lagi. Kesimpulan dari pengamatannya periklanan tidak membangun ke sadaran terhadap sebuah merek (brand), melainkan publisitaslah yang membangun ke beradaan sebuah merek. Periklanan hanya bisa memelihara keberlangsungan merek (b ersifat remindering) yang telah diciptakan oleh kegiatan publisitas (PR). Dari h asil jajak pendapat yang diselenggarakan lembaga riset Gallup terhadap persepsi publik atas kejujuran dan etika dari 32 macam profesi yang berbeda-beda, perikla nan dan praktisi periklanan menempati peringkat nyaris terbawah persis diantara penjual asuransi dan penjual mobil. Resep kunci dari Al Ries janganlah sekali-ka li meluncurkan program periklanan sebelum kemungkinan-kemungkinan publisitas (PR program) dikembangkan dan dieksplorasi. Public Relations merupakan batu fondasi yang menentukan kokohnya kesadaran mereka ditanamkan di benak konsumen, baru di ikuti aktivitas komunikasi lainnya seperti periklanan.

Sumber dari Al Ries & Laura Ries, 2003. The Fall of Advertising and The Rise of Public Relations. Jakarta: Gramedia, halaman 2. SIMPULAN Sebagai media komunikas i politik yang baru, iklan-iklan politik kampanye pemilihan presiden dan wakil p residen baik pada putaran ke I maupun pada putaran ke II masih banyak yang mengg unakan pendekatan emosional dalam mempengaruhi calon pemilih. Penonjolan figur k andidat dengan segala sentuhan emosionalitasnya seperti eksploitasi kegantengan SBY, serta kharisma kelembutan keibuan Megawati mendominasi eksekusi iklan-iklan politik yang ditayangkan di media televisi maupun media pers nasional. Publik k urang mendapatkan informasi mengenai program-program pembangunan, serta konsep-k onsep politik yang bersifat paradigmatik dan rasional dari setiap kandidat di da lam membangun bangsa Indonesia di masa depan setelah mereka terpilih. Kemenangan pasangan kandidat presiden dan wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Ka lla yang berhadapan dengan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi dalam pemilihan umum presiden secara langsung 20 September 2004 menjadi titik balik akan kesadaran ba ru keberadaan mesin media komunikasi masa sebagai kekuatan pembentuk sikap calon pemilih, disamping tentunya kekuatan mesin politik partai. Acara-acara pembentu k opini publik yang ditayangkan televisi nasional seperti talk show, debat kandi dat, panel diskusi, polling (jajak pendapat), bahkan sampai bentukbentuk yang le bih longgar seperti program reality showyang banyak disukai kaum wanita dan anak muda banyak dimanfaatkan oleh tim kampanye para kandidat presiden dan wakil pre siden. Pemilu 2004 ini telah memberikan kesadaran bagi para perancang komunikasi politik untuk menggunakan bauran berbagai media serta menerapkan komunikasi pem asaran terpadu (tidak hanya memanfaatkan iklan semata) demi keberhasilan program -program kampanye yang dilakukan untuk mendukung kandidatnya. KEPUSTAKAAN , Antara P emilu dan Media dalam Cakram edisi Juni 2004. Belch, George E. & Belch, Michael A ., Advertising and Promotion: An integrated Marketing Communications Perspective . Boston: Irwin McGraw-Hill, 1998. Eep Saefulloh Fatah, kolom Dari Supporter ke V oter dalam Tempo, 19 September 2004 Edisi Khusus Pemilihan Presiden. Garin Nugroh o, Opera Sabun SBY: Televisi dan Komunikasi Politik, Jakarta: Nastiti, 2004. , Iklan Sebagai Mesin Politik Baru dalam Cakram edisi November 2004.

, Ingar-bingar Dana Kampanye dalam Tempo, edisi 21 Maret 2004. Ries, Al & Ries, Laura , The Fall of Advertising and The Rise of Public Relations. Jakarta: Gramedia. 2 003. ............................................................... ........... ............. Sumber: Desa Informasi > Pusat Penelitian (Research Centre) Petra Christian University Desa Informasi or Information Village is the name adopted for t he Local eContent (digital information resources with local flavor) development project being carried out in Petra Christian University Library. Desa Informasi ca n also play an important role in preserving (at least) digitally local historica l and cultural heritage, thus preserving the collective memory of a local societ y. All Local eContent collections are available for everyone through the Interne t for free. Some Local eContent collections are currently available in Desa Infor masi, such as Surabaya Memory, Digital Theses, eDIMENSI, Petra@rt Gallery, Petra iPoster, and Petra Chronicle Perihal Ideologi dan Praktek Kebudayaan

Sosok pemikir Louis Althusser (1918-1990). ..................................... .......................... ........................ oleh Nurul Huda KATA ideologi` memang memiliki konotasi yang sedemikian buruk dalam kehidupan sehari-hari. Ia d iasosiasikan dengan penipuan, mistifikasi, pembodohan, dan konflik politik. Nama nya pun lekat dengan irasionalitas, emosional, dan fanatisme buta. Ideologi leka t dengan memori kekerasan dan konflik perang antara blok Barat yang dikomandani AS dan blok Timur di bawah kendali US. Apalagi sejarah perang ideologi telah mem akan korban jutaan manusia dalam perang dunia kedua, ditambah jutaan lainnya kor ban pemerintahan fasisme Nazi Jerman pimpinan Hitler. Usai perang dunia yang dim enangkan blok Barat dan kemenangan paham neoliberalisme dalam ekonomi perdaganga n, lalu para pengamat pun buru-buru mengklaim bahwa abad ke-20 ini adalah masa b erakhirnya ideologi-ideologi dunia. Suatu masa yang penuh diwarnai dengan kekera san, intrik, dan konflik politik. Pandangan pejoratif tentang konsep ideologi in i sebenarnya bisa ditelusuri dari sejarah dipergunakannya istilah ideologi sendi ri. Istilah ini adalah derivasi dari ideologues yang muncul paska Revolusi Peran cis. Napoleon Bonaparte menggunakan istilah ideologi

untuk menyerang lawan-lawan politiknya yang memiliki ide-ide yang tidak realisti k berkaitan dengan kepentingan-kepentingan negara Perancis baru saat itu. (1) Se lanjutnya Marx dan Engels memberikan elaborasi yang sistematis tentang ideologi. Warna pejoratif pun masih begitu melekat dalam pandangan mereka. Istilah ideolo gi digunakan Marx untuk menyerang dan menyingkap distorsi, ilusi dan inversi yan g membentuk idealisme filosofis tradisi Hegelian German. Dengan mendasarkan diri pada metode materialisme historis, Marx mengkritik para ideolog German ini bahw a pikiran-pikiran mereka teralienasi dari kehidupan. Marx berpendirian, kapitali sme telah melahirkan pemahaman/pengetahuan yang tidak mencerminkan realitas sebe narnya (false knowledge), yaitu realitas pertentangan kelas antara kaum borjuis dan proletar dalam masyarakat industrial-kapitalistik. (2) Pengetahuan yang tida k mencerminkan realitas atau kesadaran yang teralenasi dari praksis inilah yang disebut dengan ideologi. Ideologi merupakan representasi yang keliru tentang man usia dan dunia karena menganggap situasi yang ada sebagai natural, ahistoris, da n memistifikasi suatu tatanan sosial. Berkaitan dengan masyarakat, ideologi adal ah bagian dari superstruktur yang melayani kekuatan substruktur ekonomi. Ideolog i melegitimasi relasi sosial dan ekonomi, sekaligus senjata kelas berkuasa. (3) Pandangan klasik tentang ideologi ini kini menuai kritik tajam. Pandangan klasik dan pejoratif tentang ideologi telah mengaburkan fakta, bahwa ideologi sebenarn ya beroperasi dalam ranah kehidupan sehari-hari, bahkan lebih dominan dalam suat u tatanan sosial tertentu. Bahkan ideologi sebagai praktek kebudayaan relatif me miliki otonominya sendiri, dan tidak bisa direduksi begitu saja kekuatan-kekuata n produksi dan kelompok ekonomi. Dalam kebudayaan sehari-hari, dalam seni pertun jukan rakyat, Tayub, ketoprak atau seni ludruk, bahkan dalam ritual istighasah, (4) misalnya, bisa bersifat ideologis, atau dimasuki oleh berbagai kepentingan d an kekuasaan. Ideologi tidak lagi terpusat dan menjadi doktrin politik person ke kuasaan, melainkan tersebar dalam ranah keseharian, sebagaimana kekuasaan yang t ersebar dalam seluruh tatanan sosial. Untuk memahami fenomena ini, saya banyak m emanfaatkan insight para pemikir dan filsuf (pos)strukturalis, khususnya Louis A lthusser (5) dan Michel Foucault (6) sekaligus insight dari disiplin antropologi dan sejarah yang ikut menyumbang hal yang amat penting dalam perkembangan konse p ideologi dan kebudayaan. Foucault dan Produksi Kekuasaan Kritik tajam atas pan dangan ideologi Marx ini dilakukan oleh Michel Foucault. Menurut Foucault, Marx masih terjerat mimpi dan kerinduan akan sebentuk kebenaran atau pengetahuan yang bebas dari distorsi, tipuan dan ilusi. Ia tergoda untuk mempertentangkan antara false knowledge dan true knowledge. Bahwa gagasan atau pengetahuan yang mencerm inkan realitaslah yang benar. Di sini Marx menganggap

realitas lebih prior dari gagasan dan kehidupan mental bersifat sekunder dari de terminan ekonomi material. Sedangkan baginya ideologi harus dipertentangkan deng an apa yang dianggap sebagai kebenaran. (7) Menurut Foucault, wacana-wacana, pen getahuan-pengetahuan beserta institusi penopangnya pada dirinya sendiri tidaklah memuat kategori benar atau salah. Karena setiap masyarakat dan setiap zaman mem iliki bentuk-bentuk wacananya sendiri yang di dalamnya kebenaran-kebenaran itu d ibangun. Kebenaran adalah capaian sistem-sistem pengetahuan yang menguasai tatan an sosial yang berisi teknik-teknik, prosedurprosedur nilai, tipe-tipe wacana, d an teknologi yang dikembangkan. Masalah kebenaran selalu terkait dengan relasi kek uasaan dalam ranah sosial dan politik. Kebenaran tidak di luar kekuasaan (8). Kare na kebenaran berada dalam banyak cara dan praktek-praktek kehidupan manusia dala m mengatur diri mereka dan orang lain. Kebenaran diproduksi dengan pembentukan w ilayah-wilayah di mana praktek benar dan salah dapat diciptakan dalam sekali atu ran dan terkait. Karenanya, setiap ilmu pengetahuan memiliki rezim kebenarannya sendiri. Bagaimana kekuasaan dan kebenaran itu berhubungan satu sama lain? Menur ut Foucault, kedua ada di dalam praktek-praktek diskursif, tempat di mana ucapan , tindakan, aturan-aturan yang diterapkan, alasan-alasan yang diberikan bertemu dan saling berhubungan, serta benar dan salah ditentukan di dalamnya. Melalui pe nelitian arkeologinya, Foucault menyelidiki dokumen-dokumen, tempat, serta berma cammacam ritual pekerja dan publik, tempat di mana genealogi bentuk-bentuk sejar ah ( teknologi moral , rezim rasionalitas ) itu hadir. Seperti: dalam praktek pengobata n klinis, hukuman penjara sebagai praktek menghukum umumnya; dan bagaimana orang gila dianggap sakit mental. Melalui bukti-bukti sejarah ini, Foucault menunjuk langsung pada praktek-praktek kekuasaan. Tipe praktek-praktek ini tidak hanya di atur oleh institusi, ditentukan oleh ideologi dan dituntun oleh keadaan pragmati s, tapi juga mempengaruhi regularitas mereka, logika, strategi pembuktian diri d an alasan-alasan mereka. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa ideologi sebenarny a berjalin-kelindan dengan praktek-praktek diskursif dalam masyarakat di mana re lasi kekuasaan berlangsung dan kebenaran diciptakan. Althusser dan Aparatus Ideo logis Jika Foucault menunjukkan bahwa kekuasaan tersebar dalam relasi sosial mel alui proses diskursif, Althusser memberi sumbangan pada bagaimana ideologi berop erasi dan bagaimana ideologi direproduksi dan dipertahankan. Pertama-tama dengan menolak Marx, ia menyatakan bahwa tidak mungkin kita bisa menangkap realitas se benarnya karena kita tergantung pada bahasa. Paling-paling kita

hanya bisa merasakan meski bukan kondisi real`, cara-cara di mana kita telah dibent uk dalam ideologi melalui proses-proses pengenalan yang kompleks. Menurut Althus ser, ideologi tidak mencerminkan dunia real, melainkan merepresentasikan hubungan hubungan imaginer individu-individu terhadap dunia real. Bagi Althusser ideologi merupakan ciri yang dibutuhkan masyarakat sejauh masyarakat mampu memberikan mak na untuk membentuk anggotanya dan merubah kondisi eksistensialnya. Masyarakat ma nusia menyembunyikan ideologi sebagai elemen dan atmosfir yang sangat diperlukan bagi nafas dan kehidupan sejarah mereka. (9) Kedua, ideologi memiliki eksistens i material, yakni aparatus-aparatus dan praktekprakteknya sehingga di dalamnya i deologi bisa hidup. Dalam aparatus dan praktekpraktek inilah ideologi diyakini d an dihayati oleh semua kelompok, dan terus mereproduksi kondisi-kondisi dan hubu ngan tatanan masyarakat yang sudah ada, yakni tatanan masyarakat industri kapita lis. Menurutnya, agar ideologi diterima, diyakini dan dihayati oleh semua kelomp ok, maka ia harus dimaterialkan. Ideologi hidup dalam praktek-praktek kelompok k ecil, dalam citraan, dan obyek yang digunakan dan ditunjuk masyarakat, dan dalam organisasi-organisasi. Misalnya, pada sekolah-sekolah, rumah tangga, organisasi perdagangan, media massa, olahraga, pengadilan, partai politik, universitas dan seterusnya. Ideologi, menurut Althusser, eksis dalam dan melalui lembaga-kembag a ini. Aparatus adalah eksistensi material ideologi. (10) Ketiga, ideologi membe ntuk individu-individu konkrit menjadi subyek. (11) Dalam aparatus-aparatus, ide ologi disosialisasikan dan diinterpelasi dalam diri subyek. Interpelasi subyek i ni lalu membentuk realitas nampak pada kita sebagai benar` dan jelas`. Misalnya begini : ketika kita bersepeda motor, tiba-tiba ada bunyi peluit di belakang kita. Sere ntak terbayang dalam benak kita: ada polisi dan ada pelanggaran yang mungkin kit a lakukan. Lalu kita memalingkan muka dan berbalik. Hadirnya disposisi tentang be nar/salah`, atau melanggar/tidak melanggar` serta adanya ketundukan atas wacana otori tas (polisi) pada dasarnya telah menunjukkan hadirnya suatu ideologi. Ideologi m enggerakkan diri kita secara nir-sadar, melalui proses interpelasi subyektif. Ji kalau seandainya kita tidak mengakui bahwa interaksi dengan polisi adalah ideolo gis, justeru di situlah kekuatan ideologi. Yakni denegasi` praktis dari karakter id eologi sendiri. Ideologi bekerja secara nir-sadar dan menjadi bagian hidup dan g aya hidup sehari-hari. Aparatus-aparatus ideologis ini merupakan alat hegemoni ( 12) yang paling canggih untuk melanggengkan kekuasaan, melestarikan struktur kel as dominan, dan mengabadikan penindasan. Caranya, dengan mengusahakan sedapat mu ngkin agar ideologi itu diyakini oleh seluruh kelas dan kelompok, baik kelas ber kuasa maupun yang dikuasai. Menurut Althusser, di sinilah ciri-ciri ideologi yan g membingungkan itu memainkan peran. Fungsi kelas ideologi adalah bahwa ideologi yang berkuasa adalah ideologi dari kelas yang berkuasa; Ideologi berkuasa memban tu kelas penguasa dalam menguasai kelas tereksploitasi sekaligus memapankan diri nya sendiri sebagai kelas penguasa . (13)

Teori ideologi sebagai penipuan penguasa memperlihatkan bahwa mereka yang berada dalam posisi dominan sesungguhnya sama sekali tidak hadir secara alamiah atau k arena keahliannya. Karena jika benar demikian maka tidak lagi dibutuhkan ideolog i, juga tak perlu menjelaskan atau mempertahankan eksploitasi mereka. Sebaliknya ini menunjukkan persistensi stratifikasi sosial-politik dan ideologi dominan me merlukan legitimasi dua belah pihak dari penguasa dan yang dikuasai. Bila ideolo gi ini diterima oleh kedua pihak, ini artinya struktur kekuasaan dan privelegi y ang timpang itu bisa dilestarikan. Dalam konteks ini ideologi sering menggunakan bahasa resiprositas . Dia mencontohkan bahwa imperialisme menganggap dirinya sah k arena merasa bertanggng jawab atau berjasa membangun unit-unit sosial dan pentin gnya hubungan sosial yang harmonis. (14) Apa yang dikemukakan Althusser ini memb erikan insight baru tentang gagasan bagaimana ideologi itu dibentuk dan pertahan kan serta apa efek-efeknya. Misalnya: bagaimana perbedaan kelas diinstitusionali sasikan melalui lembaga-lembaga sosial seperti sekolah; bagaimana institusi pend idikan itu menempatkan masyarakat dalam relasi kelas-kelas yang ada; bagaimana m itos tentang persamaan individu, persamaan kesempatan, dan prestasi individu dim asukkan dalam teks dan praktek program sekolah dan kebijakan pendidikan nasional . Mitos-mitos kesamaan yang tumbuh dalam produksi ketaksamaan ini (produksi ketida ksetaraan kelas dan kelomopok sosial, diskriminasi gender, misalnya) menunjukkan gagasan-gagasan yang ideologis. (15) Fungsi ideologi lainnya ialah menghubungka n masyarakat satu sama lain, dengan suatu dunia dan terutama diri mereka sendiri . Ideologi memberikan identitas tertentu. (16) Misalnya, jika seorang individu m engimani Tuhan kemudian pergi sembahyang secara teratur, mengakui dosa-dosanya d an seterusnya; keyakinan itu lalu direalisasikan dalam praktek-praktek tertentu yang diatur oleh ritual-ritual dengan menyediakan upacaraupacara yang melibatkan gerak dan sikap tubuhnya sebagai ekspresi kekuasaan yang saling terkait serta b erhubungan dengan aparatus ideologis. Dari contoh-contoh di atas jelaslah bahwa suatu gagasan memuat sekaligus tindakan, sentimen, dan gesturenya. Gagasan-gagas an itu hidup dalam tindakan-tindakan. Tindakan ini lalu menjadi praktik sehari-h ari yang dikendalikan oleh ritual yang dia lakukan. Tiga hal ini (gagasan, prakt ek dan ritual) merupakan aspek material dari aparatus ideologis. Dalam aparatus itu ideologi bekerja, memproduksi subyektifitas, dan menegaskan identitas tentan g siapa kita sesungguhnya. Ideologi sebagai Praktek Kebudayaan Semakin jelas sek arang, gagasan-gagasan Althusser dan Foucault di atas memberi saham besar bagi p emikiran baru tentang konsep ideologi. Ideologi tidak lagi dilihat sebagai salah atau benar, tapi justeru memberikan kerangka dasar fundamental bagi individu da lam menafsirkan pengalaman dan hidup` sesuai dengan kondisi mereka. Kerangka dasar ini tidak hanya bersifat mental, tapi eksis sebagai praktis hidup

kelompok sehari-hari. Dengan menganggap ideologi sebagai praktek-praktek materia l atau praktek budaya, maka kita bisa mengatakan bahwa sesungguhnya ideologi itu hidup bergerak dan karena itu pula manusia sendiri selalu hidup dalam suatu ide ologi, di dalam representasi tertentu dari dunianya. Dalam praktek-praktek buday a dan kebiasaan-kebiasaan sehari-hari inilah ideologi sesungguhnya direproduksi. Yakni, melalui aparatus-aparatus ideologis sebagaimana ditegaskan oleh Althusse r. Jika demikian, praktis ideologi memasuki seluruh ruang dalam kehidupan sehari -hari kita secara nir-sadar. Ideologi menjadi bagian organik dari seluruh totali tas sosial dan dalam aktifitas keseharian. (17) Karena unit-unit sosial merupaka n bentukan ideologis, produk dari formasi diskursif kekuasaan (menurut Foucault) atau efek-efek dari aparatus ideologis yang beragam (dalam bahasa Althusser), m aka untuk memahami totalitas sosial dan budaya ini membutuhkan eksegesis sebagaima na teks-teks sejarah dan sastra. Pandangan bahwa budaya dan ideologi merupakan f enomana keseharian ini tidak lantas berarti cengkeraman ideologi sudah lemah, at au mungkin dianggap telah berakhir. Justeru ideologi dan kekuasaan telah menceng keram seluruh tatanan sosial secara lebih luas dan kompleks ketimbang apa yang s elama ini dibayangkan. Ideologi beroperasi di semua lini dan diproduksi terus-me nerus dalam ritual-ritual dan perkumpulan-perkumpulan, kesenian-kesenian, dan ci traan-citraan ideologis di mana representasi-representasi dan kategori-kategori dibangkitkan dan disebarkan. Oleh karena itu, kini ideologi tidak lagi bisa dipa hami sekadar sebagai produk kelas berkuasa atau efek dari kekuatan-kekuatan prod uksi. Melainkan hasil dari kombinasi berbagai elemen lain dan kekuasaan yang kom pleks dan tersebar. Di dalam diskursus kebudayaan mutakhir, sebagaimana pandanga n Stuart Hall, kebudayaan sesungguhnya tidak lagi bisa dipahami sebagai cerminan praktek-praktek lain di dunia idea. Melainkan ia sendiri adalah sebuah praktek, yakni praktek penandaan yang menghasilkan makna. Jadi bagi kaum strukturalis dan poststrukturalis, penekanan studi kebudayaan kini bergeser dari masalah isi buda ya ke arah tipe-tipe penataan (ordering), dari pertanyaan tentang apa ke bagaima na sistem-sistem budaya itu. (18) Misalnya, dalam era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi dan sarana komunikasi sekarang ini, masyarakat betul-b etul dicekoki oleh produksi konsumsi. Di sini kekuatan modal menghadirkan kekuas aan representasi melalui kuasa tanda dan simbol: dalam iklan dan mode, misalnya. Konsekuensi politiknya adalah bahwa seluruh tatanan sosial sesungguhnya adalah hasil sebuah konstruksi saja dari, dan berbarengan dengan, kekuasaan modal yang diproduksi secara terus menerus. Singkatnya, ideologi sekarang ini merupakan pra ktek budaya; suatu efek yang bersifat kultural dan terkait dengan institusi-inst itusi, kelompok-kelompok, dan struktur-struktur tertentu. Ideologi beroperasi se cara tersebar` (decentered) dan menghadirkan dirinya dalam ideologi-sebagai-kebudaya an.` Artinya, ideologi berada dalam kompleksitas

hubungan-hubungan antara berbagai bentuk kebudayaan (pengetahuan, citraan, dan l ain-lain) dan institusi-institusinya, serta wacana-wacana dan aparatus-aparatusn ya. Lalu pertanyaannya bila kebudayaan sehari-hari tidak lepas dari ideologi, ba gaimana dengan sains ilmiah. Apakah ia juga bersifat ideologis? Foucault menegas kan bahwa relasi-relasi kekuasaan tidak berada di luar tipe-tipe relasi-relasi s eperti proses ekonomi, relasi pengetahuan, relasi seksual, dan lain-lain. Melain kan kekuasaan justeru imanen dalam proses relasi itu. (19) Kekuasaan adalah bera gam relasi-relasi kekuatan yang beroperasi dan membentuk organisasi dalam ruang itu. Dengan demikian, sains sosial kini juga harus dilihat sebagai konfigurasi k ekuatan-kekuatan itu yang membentuk landscape modernitas dan modernitas akhir. S ains sosial sendiri merupakan kekuatan dan bentuk kebudayaan yang tak bebas dari kepentingan. Demikian juga sains alam. Ia juga tak lepas dari kepentingan-kepen tingan atau konsensus komunitas ilmuwan. Dari uraian di atas makin jelas sekaran g betapa besar sumbangan kaum (post) strukturalis terutama Louis Althusser dan M ichel Foucault dalam memperkaya gagasan tentang ideologi dan kebudayaan. Keduany a membuka tabir beroperasinya ideologi dengan memikirkan kembali kekuasaan, cara kerja, dan manifestasi-manifestasinya, tak terkecuali dalam sains sosial. Tidak ada batas-batas lokasi ideologi. Ideologi tidak hanya ada dalam kolektifitas ma syarakat borjuis atau dalam struktur-struktur kekayaan dan kerja mereka, melaink an tersebar ke seluruh tatanan sosial. Ia bukan hanya bersifat mental, tapi juga bereksistensi material dan historis. Ada keterkaitan antara pengetahuan dan ins titusi-institusi, bidang-bidang pengetahuan dan praktek-praktek kebudayaan sebag ai tempat berbagai kekuasaan (sosial, ekonomi, politik) diproduksi. Kesimpulan S ekarang ini kita tidak bisa lagi memikirkan ideologi dan cara kerjanya dalam pen gertian false consciousness atau memperlawankannya dengan sains, sebagaimana kau m marxis klasik lakukan. Ideologi sebagai pengetahuan-pengetahuan yang dijalanka n demi suatu kepentingan justeru menjadi praktek kebudayaan sehari-hari yang mem berikan orientasi dan identitas suatu kelompok. Ideologi tersebar sebagaimana ke kuasaan yang tersebar dalam praktek-praktek diskursif kehidupan. Ideologi masuk dalam keseharian kita, dalam jaring-jaring kehidupan. Dengan meminjam kajian ten tang mitos dan tanda, bisa dikatakan bahwa jika budaya adalah sistem simbol yang terdiri dari berbagai sistem tanda, sementara penanda-penanda sendiri bersifat arbriter sebagaimana Barthes katakan, maka kita sungguh bisa melihat bagaimana s uatu kebudayaan dan segala bentuk ritual dan hidup sehari-hari menjadi arena per tarungan ideologi untuk memainkan kuasanya. Kebudayaan yang merupakan konvensi s osial adalah sasaran sistematik untuk dibuat seolah-olah ilmiah, menjadi mitos. (20) Membongkar aturan-aturan atau kode-kode dibalik mitos inilah tugas studi ke budayaan sekarang ini.

Bahan Bacaan: Althusser, Louis, For Marx, (transl. By B. Brewster) Routledge, Ne w York, 1969 Amrih Widodo, The Stage of the State, Art of the People and Rites o f Hegemonization. Paper ini dipresentasikan pada seminar bertajuk Basis-basis Mat erial Kebudayaan yang diselenggarakan oleh Yayasan SPES dan Program Pasca Sarjana Universitas Kristen Satyawacana, Salatiga, 4 September 1991 Budianta, Melani, d kk, Analisis Wacana dari Linguistik ke Dekonstruksi, Penerbit Kanal, Yogykarta, 2002 Hebdige, Dick, Subculture The Meaning of Style, Routledge, London & New Yor k, 1979 Foucault, Michel, The History of Sexuality: An Introduction, Billing & S ons Ltd, Guilford, London and Worcester, 1969 Foucault, Michel, Power/Knowledge: Selected Interview with Michel Foucault (ed. By Colin Gordon), Pantheon, New Yor k, 1980 Gluckmann, Miriam, Structuralist Analysis in Contemporary Social Thought , Routledge & Kegan Paul, London and Boston, 1974 Jenks, Chris, Culture: Key Ide a, Routledge, London & New York, 1993 Larrain, Jorge, Konsep Ideologi, Penerbit LKPSM, Yogyakarta, 1996 McCarthy, E. Doyle, Knowledge as Culture, Routledge Lond on & New York, 1996 Poster, Mark, Existential Marxism in Postwar France From Sar tre to Althusser, Princenton University Press, New Jersey, 1975 Zizek, Slavoj (e d.), Mapping Ideology, Verso, London-New York, 1994 Storey, John, Teori Budaya d an Budaya Pop (terj.), Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2003 Thompson, John B., Anali sis Ideologi, Penerbit IRCISOD, Yogyakarta, 2003 Catatan Kaki: (1) E. Doyle McCa rthy, Knowledge as Culture, Routledge London & New York, 1996, hal. 32

(2) Barangkali contoh mudahnya adalah absennya pemahaman dalam kesadaran ita bah wa apa yang kita beli di pasar atau mal-mal adalah hasil dari eksploitasi terhad ap para buruh. (3) http://nurulhuda.wordpress.com/2006/11/26/ideologi-praktek-ke budayaan/ _ftnref3Mark Poster,Existential Marxism in Postwar France From Sartre to Althusser, Princenton University Press, New Jersey, 1975, hal. 344. Bisa diba ndingkan dengan E. Doyle McCarthy, Knowledge as Culture, Routledge London & New York, 1996, hal. 33 (4) Dalam tradisi NU terdapat ritual yang menjadi identitas warga NU yang dikenal dengan istilah istighotsah. Ia berarti doa memohon kepada Allah keselamatan dan terjaga dari malapetaka. Sebagai sebuah tradisi, istighasa h dalam perkembangannya tidak luput dari pengaruh kepentingan dan kekuasaan. Ist ighasah selain sebagai ritual doa, ia juga bisa menjadi simbol perlawanan warga NU atas peminggiran yang dilakukan rezim Orba. Kadangkala ia menjadi kekuatan pe mbela kekuasaan kelompok elit tertentu. (5) Athusser adalah pemikir strukturalis kelahiran Algiers Perancis pada 1918. Bergabung dengan Partai Komunis tahun 194 8. Karyanya yang berpengaruh adalah For Marx (1965) dan Lenin and Philosophy (19 69). Pemikirannya hendaknya mempertemukan Marxisme dengan strukturalisme. (6) Fo ucault adalah pemikir poststrukturalis. Lahir di Pointiers, Perancis, tahun 1926 . Menyelesaikan studi di Ecole Normanle Superiore tahun 1946, lalu memperdalam f ilsafat hingga meraih lisensi thun 1948. Ia juga meraih lisensi bidang psikologi juga diploma dalam psikopatologi. Ia pernah bergabung dengan Partai Komunis Per ancis hingga 1951. Karya-karyanya adalah Maladie mentale et personnalitte (penya kit mental dan kepribadian) terbit thun 1954, Histoire De la Folie (Sejarah Kegi laan), The Birth of Clinic, Archeology of Knowledge, Disciplines and Punish sert a The History of Sexuality. Ia meninggal tahun 1984 dalam usia 57 karena penyaki t AIDS. (7) E. Doyle McCarthy, Knowledge as Culture, Routledge London & New York , 1996, hal. 37 (8) Foucoult, The History of Sexualiy, hl. 131-133 dikutip dari E. Doyle McCarthy, Ibid. hal 38 (9) Lihat, John B. Thompson, Analisis Ideologi, Penerbit IRCISOD, Yogyakarta; lihat juga John Storey, Teori Budaya dan Budaya Po p (terj.), Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2003, hal.160-172 (10) Dikutip dari E. Do yle McCarthy, Ibid., hal. 41. (11) E. Doyle McCarthy, Ibid. hal. 41-42

(12) Althusser memang banyak mengambil gagasan-gagasan Antonio Gramci terutama t entang intelektul organik. Intelektual organik yang dimaksudkan oleh Gramsci ter tuju pada individu-individu, namun Althusser menggunakannya pada komunitas yaitu intelektual organik kolektif. Yakni kuasa negara dengan aparat-aparat ideologis nya. Althusser menyebutnya dengan istilah Ideological State Apparatus (ISA) yang bersifat ideologis. Ini ia bedakan dengan Repressive State Apparatus (RSA) yang bersifat represif. Keterangan dari Althusser, Ideology and Ideological State App aratus (Notes toward Investigation) dalam Slavoj Zizek (ed.), Mapping Ideology, V erso, London-New York, 1994. (13) Dikutip dari E. Doyle McCarthy, Op.cit., hal. 39 (14) Dengan gagasan ini tampak sekali bahwa Althusser benar-benar seorang mar xis tulen, bahwa ideologi borjuis bukan hanya dimiliki oleh kaum kapitalis tapi juga diapropriasi oleh kaum proletar. Di sini samar-samar gagasan Gramsci mengen ai pentingnya hegemoni untuk meraih konsensus sangat kelihatan. (15) E. Doyle Mc Carthy, Ibid. hal. 40 (16) Ibid. hal. 41 (17) Amrih Widodo dalam penelitian antr opologinya terhadap pertunjukan Tayub di daerah Blora Jawa Tengah menunjukan bah wa Tayub yang pada awalnya sebagai pertunjukan rakyat atau bagian dari ritual su natan, bersih deso, dan perkawinan mulai berubah selama periode 1987-1991. Pemer intah memasukkan ideologinya (kepentingan industri pariwisata dan simbol kedaera han) dengan meningkatkan statusnya` menjadi Seni Tayub. Diantaranya dengan melakuka n pembinaan dan program penataran untuk merubah struktur dan keaslian Tayub. Lih at Amrih Widodo, The Stage of the State, Art of the People and Rites of Hegemoni zation. Paper ini dipresentasikan pada seminar bertajuk Basis-basis Material Kebu dayaan yang diselenggarakan oleh Yayasan SPES dan Program Pasca Sarjana Universit as Kristen Satyawacana, Salatiga, 4 September 1991. (18) Dikutip dari E. Doyle M cCarthy, Op.cit., hal. 44 (19) Foucault, Power/Knowledge: Selected Interview wit h Michel Foucault (ed. By Colin Gordon), Pantheon, New York, 1980, hal 94, dikuti p dari E. Doyle McCarthy, Ibid. hal. 44 (20) Barthes menerapkan metodenya yang b erakar pada linguistik ke dalam gejala sosial kebudayaan seperrti foto, film, ma kanan, pakaian, dan seterusnya. Dalam studistudi kebudayaan, Hebdige dengan baik meramu gagasan-gagasan para pemikir seperti Althusser, Gramsci dan Barthes ini untuk memahami gejala-gejala budaya seperti gaya hidup masyarakat subkultur. Lih at, Dick Hebdige, Subculture The Meaning of Style,

Routledge, London & New York, 1979, terutama bagian pertama From Culture to Hegem ony . *) penulis adalah alumnus Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta. Kini duduk sebagai anggota perkumpulan Tankinaya Institute. Melawan (Kuasa) Teks Oleh: Koskow/FX Widyatmoko Marxisme melihat sejarah sebagai pertentangan antar k elas, dalam hal ini pertentangan antar kelas pemilik modal (kaum borjuis) dengan kelas pekerja (proletar). Artinya, sejarah dalam pandangan marxisme merupakan k enyataan yang dapat diubah, bukan sesuatu yang terberi. Sejarah di sini dilihat sebagai kata kerja, yang menjelaskan bahwa ia dapat dibentuk, dilestarikan, dila wan. Dalam marxisme akan dijumpai gagasangagasan seperti hegemoni, kesadaran pal su/ideologi, alienasi (keterasingan). Dalam kepentingan kajian media kiranya ket iga hal tersebut dapat dipergunakan dimana hegemoni menjelaskan bagaimana pihak tertentu patuh terhadap pesan-pesan media tanpa melakukan pembacaan kritis atau secara tidak sadar ia mengamini dan menganggap kepatuhan tersebut sebagai sesuat u yang normal. Kesadaran palsu/ideologi dapat menjelaskan bagaimana tindakan ses eorang dipengaruhi oleh gagasan-gagasan tertentu. Pengaruh tersebut bisa berlang sung baik pada proses penciptaan (tindakan) maupun pembacaan. Alienasi kiranya m enjelaskan bahwa ada proses pengasingan (ke)diri(an) dalam media. Kesadaran pals u/ideologi berlangsung misalkan, ketika dalam media terdapat pihak yang menguasa i dan terdapat pihak yang dikuasai. Hubungan tersebut menjelaskan adanya dominas i atas pesan-pesan media, di mana umumnya pemilik media dapat mengatur pesan-pes an yang disampaikan. Pesan-pesan media dalam hal ini sudah bukan lagi sebagai ke nyataan objektif. Terdapat pihak yang menamai hal tersebut sebagai agenda settin g. Misalkan, mengapa sinetron televisi, iklan kecantikan, umumnya menampilkan ru mah mewah, mobil mewah, manusia-manusia modern, dikarenakan di balik representas i tersebut terdapat kekuatan modal yang berkepentingan yaitu (konsumsi) kelas da n gaya hidup. Suatu pernyataan Marx menyebutkan bahwa bukan kesadaran seseorang y ang menentukan keberadaannya, namun sebaliknya keberadaan sosial menentukan kesa darannya. Hal ini terjadi ketika keberadaan sosial sebelumnya telah dibentuk mel alui representasi dalam sebuah media , contohnya kesadaran akan kecantikan yang dipertontonkan melalui pemilihan perempuan dengan wujud tertentu, misalkan langs ing, putih/kulit

cemerlang/bersinar, ngindo, rambut lurus, dll. Sebenarnya, dalam proses yang dem ikian telah berlangsung proses pengasingan, proses meminggirkan, penyingkiran (a lienasi). Rasa minder karena wajah tak (se)cantik seperti pada wajah-wajah perem puan dalam sinetron, mengonsumsi pemutih, mengonsumsi gaya hidup modern, adalah proses-proses yang menunjukkan bahwa menjadi seseorang (being somebody) telah di atur oleh media. Contoh lain, taman makam pahlawan, terutama di kota-kota besar, hampir selalu ditempatkan di tengah kota (tidak di pinggiran). Hal ini digunaka n untuk mempertontonkan kepada masyarakat bahwa yang disebut pahlawan ialah oran g-orang yang berjasa dalam perang fisik, biasanya menunjuk pada militer. Penempa tan yang demikian secara tidak langsung mau mengatakan bahwa keberadaan militer merupakan hal yang wajar, bahwa ia harus ada, harus dihormati, dipatuhi (ingat: konsep dominasi dan hegemoni di atas). Taman makam pahlawan dalam konteks yang d emikian menjadi sebuah media yang ingin mengomunikasikan sesuatu. Tentu saja pih ak yang menyampaikan pesan tidak lain pemerintahan yang militer(istik). Seorang teman, Badar, pada sebuah perkuliahan Tinjauan Desain, menanyakan mengapa tak ad a (tak hadir) tokoh wayang perempuan dalam iklan Kedaulatan Rakyat? Pertanyaan B adar tersebut bisa menjadi demikian: mengapa yang hadir tokoh-tokoh wayang berke lamin laki-laki? Badar, dalam hal ini, telah berangkat dari sesuatu yang tidak d ihadirkan dalam iklan tersebut. Ketidak hadiran tersebut dalam batas tertentu da pat dikatakan bahwa tokoh wayang perempuan di-tiada-kan (tidak dipilih, diasingk an, teralienasi). Jika dikaji seara semiotik, Badar membaca iklan melalui tandatanda yang tak hadir (tidak eksis). Hal ini menjadi penting manakala iklan Kedau latan Rakyattersebut ternyata bekerja dalam mekanisme gender, bahwa ada suatu ga gasan (ideologi) yang memandang bahwa superioritas senantiasa terwakili oleh lak i-laki untuk menegaskan sikap-sikap tertentu. (ingat: yang di-tiada-kan pada ikl an tersebut bukan sosok perempuan, namun wayang perempuan).

Keterangan : Iklan Petakumpet. surat kabar Kedaulatan Rakyat di atas dirancang oleh Contoh di atas pun dapat dicari padanan fenomenanya, misalkan (analisis isi) ter hadap media-media yang mencitrakan Yogyakarta. Biasanya, Tugu, Prambanan, Kraton , Malioboro, Taman Sari menjadi ikon representatif Jogja, seolah-olah Jogja seba tas halhal tersebut. Barangkali pemikiran ini diwarisi oleh cara peng-kelas-an i kon budaya yaitu kraton, alun-alun, malioboro, candi, tugu merupakan lingkungan budaya tinggi (high culture) dan (paling) pantas (untuk) mewakili Jogja. Dalam k ata lain, di sana hadir (baca: eksis) suatu kacamata estetika di mana kacamata t ersebut didasarkan atas kepatuhan dalam memilih ikon-ikon yang pantas (kesantuna n). Jika hal ini berlangsung terus-menerus akan melahirkan pengetahuan di mana p engetahuan tersebut (sebenarnya) menjadi suatu kesadaran palsu/suatu kenormalan/ kebiasaan (naturalisasi). Hegemoni hadir dan menegaskan fenomena tersebut salah satunya melalui cara misalkan pendidikan, bahwa dalam proses pendidikan diajarka n bahwa yang di jalanan adalah yang tidak/kurang santun (maka kita mengenal adan ya budaya jalanan, untuk membedakan budaya yang bukan jalanan misalkan budaya ru ang kelas, budaya kraton, budaya mall). Maka tak aneh kalau istilah street art t idak lahir dari negara kita karena di negara kita yang berada di jalanan diangga p tidak/kurang pantas. Bahkan makna jalan pada masa Orde Baru merupakan ruang ya ng mesti diwapadai (ingat: tragedi Petrus/Penembak Misterius, di sini (rezim Ord e Baru melalui kekuatan militer) dipilih metode tontonan sebagai cara berkomunik asi kepada masyarakat yaitu dengan cara membiarkan mayat gali/preman tergeletak di jalan sebagai bentuk pengingat-an). Aneh pula mengapa lebih dikenal julukan s eniman Malioboro, bukan seniman jalanan, seolah-oleh gagasan Malioboro mesti dig unakan (dipinjam) untuk melegitimasi bahwa dia seorang seniman jalanan yang pant as. Di sini Malioboro beralih fungsi dari sebuah jalan(an) menjadi kepantasan. D alam bahasa marxis, di sini telah berlangsung proses komodifikasi alias ada pert ukaran nilai antara maliboro jalanan seniman. Bahwa kalau mau menjadi seniman ja lanan ya jadilah seniman malioboro, seolah seniman yang (meng)ada di jalan(an) y ang lain bukan seniman. Meski demikian, saat ini beberapa pihak melihat bahwa bu daya jalanan pun tak harus diperbandingkan dengan budaya bukan jalanan. Bahwa ma sing-masing tempat (jalanan, kraton, kampus) melahirkan kelas-kelas tersendiri y ang tak perlu dipertentangkan. Sikap seniman kampus yang mengerjakan gagasan di jalanan (mural) dapat dilihat dalam berbagai sisi, (1) intervensi mereka terhada p ruang publik, (2) memindahkan proses pendidikan di kampus ke luar kampus agar seni tak lepas dari kenyataan sosial (seni merupakan bagian dari dunia sosial). Contoh-contoh di atas masih terjadi hingga kini. Misalkan, dalam pembuatan iklan kita masih menunjuk/mencari referensi iklan-iklan dengan modal besar (iklan tel evisi, iklan majalah, iklan koran). Padahal, budaya beriklan merupakan kenyataan sehari-hari di mana di sekitar kita terdapat ekspresi-ekspresi iklan yang berbe da (namun belum dianggap sebagai sebuah iklan). Hegemoni berlangsung ketika dalam buku-buku tentang iklan, kuliah-kuliah periklanan, menjelaskan bahwa yang disebu t iklan adalah

iklan seperti yang terdapat pada media televisi, surat kabar, maupun majalah. Se dangkan, selebaran-selebaran, poster-poster di tembok gang kampung, pasar, dll. belum (bisa) dianggap sebagai iklan. Hal ini menjelaskan bahwa diam-diam telah b erlangsung kesepakatan bahwa antara pendidikan dan pemilik modal (klien, pemilik media) berlangsung suatu kuasa dalam mempertahankan dan mengontrol pengetahuan tentang apa yang dimaksud dengan iklan (mana bisa pedagang/produsen kelas bawah membuat iklan seperti pedagang/produsen kelas atas). Maka tak aneh kalau gaji de sainer di perusahaan periklanan tergolong besar karena memang dibayar oleh klien besar. Sebenarnya, yang dibayar bukan nilai kreativitas, namun bagaimana di san a berlangsung suatu mekanisme dalam mempertahankan (kuasa) pengetahuan bahwa ikl an seharusnya demikian. Bayangkan kalau semua klien adalah orang-orang seperti H itler, atau para ulama, budayawan, atau orang-orang sejenis Thukul Arwana, penge tahuan iklan yang bagaimana yang berlangsung? Hal ini pun bisa menjelaskan kalau obrolan tentang iklan di sebuah kampus filsafat misalkan kurang laku dibandingk an jika obrolan tersebut dilangsungkan di sebuah kampus desain. Atau ngomongin i klan dari sisi etika/moral kurang menarik perhatian dibanding ngomongin iklan da ri sisi kreativitas dan peluangpeluang masa depan (gaji, jabatan, dll.). Ini men jadi penting manakala sebuah pengetahuan tentang iklan seharusnya diintervensi o leh beragam kepentingan (mewakili kepentingan banyak pihak). Jadi, jika iklan ma sih mengumandangkan seputar tubuh-tubuh eksotis/erotis, hal itu tak aneh karena erotisme/eksotisme tubuh tak perlu diomongin di kampus kreatif tapi di kampus ya ng memang mengurusi hal tersebut (filsafat, etika, agama, dll.). Marxisme, bagi saya, menyediakan sebuah pisau tajam dalam memandang hadirnya kuasa dalam media. Dengan kesadaran seperti ini teks media bukan lagi sebagai suatu kenyataan yang objektif, bahwa di sana telah hadir beragam kepentingan. Barangkali pula kita t ak tahu bahwa kita turut ambil bagian dalam pelestarian kuasa tersebut. Mengapa? Bisa jadi karena kita tak mau tahu, atau selama ini kita telah terhegemoni, ata u tak menyadarinya sebagai suatu ketidakwajaran. Marxisme, meski makin tua usian ya, namun dia tetap relevan dalam menilai sikap media bagi kita, baik sebagai pe mbaca maupun sebagai kreator. Sesuatu yang nampak wajar belum tentu merupakan seb uah kewajaran . Marxisme mengajak kita untuk senantiasa kritis dan melawan. Belaja r dari pengalaman Badar bahwa kita mulai melihat dan memikirkan melalui apa-apa yang tak dihadirkan. Barangkali ketidakpenghadiran tersebut menjelaskan banyak h al penting dalam menilai kedirian kita selama ini, terutama yang dipengaruhi (di bentuk) oleh dan dalam media. Salam. (Koskow, September 2009)

Iklan enamel Roko Prijaji di atas merupakan sebuah usaha bagaimana rokok diarfir masi oleh masyarakat. Di sana hadir sebuah praktik peminjaman, yaitu diperlukan sosok/figur tertentu dalam menegaskan (budaya) merokok. Lebih lanjutnya bahwa ro kok pun seperti lapisan dalam masyarakat, bahwa di sana terdapat kelas-kelas dal am rokok. Pada saat yang sama si rokok tersebut tak perlu memikirkan apakah roko knya akan dikonsumsi kaum priyayi atau masyarkat lapis bawah. Pada saat kelas pr iyayi menegaskan dirinya melalui simbol-simbol tertentu (Roko Prijaji), pada saa t yang sama kelas bawah berusaha menjadi priyayi dengan mengonsumsi rokok sang p riyayi tersebut, seolah sudah seperti priyayi (menjadi priyayi/becoming priyayi) . Kebutuhan merokok menjadi kebutuhan sekunder, kebutuhan menjadi priyayi menjad i kebutuhan primer. Di sinilah hebatnya iklan, bahwa dia mampu menyediakan prose s to become somebody else. Proses inilah yang dinamakan alienasi. Sama halnya dengan tembakau Tjap Boelan Bintang. Pada iklan enamel di atas mempe rlihatkan kepada kita bahwa pemilihan figur tertentu, yaitu dengan simbol yang i dentik dengan pakaian muslim Abangan (peci, sarung, kemeja) digunakan untuk mene gaskan budaya merokok. Iklan di atas mesti dilihat perbedaannya dengan

iklanRoko Prijaji, di mana pada iklan Roko Prijaji tidak dihadirkan simbol-simbo l keagamaan, namun simbol kelas kebangsawanan. Seseorang akan mengidentifikasika n dirinya apakah ia akan merokok Tjap Boelan Bintang atauRoko Prijaji. Kehebatan iklan bukan terletak pada sisi penggarapan (craftmanship) namun pada usaha dala m memberikan pilihan kepada masyarakat prosesproses pengidentifikasian diri mela lui simbol-simbol dalam iklan tersebut. Bukan aku merokok , namun aku merokok se perti yang dipertontonkan dalam iklan. Dua buah iklan enamel di atas bisa menjel askan bahwa iklan mampu menciptakan suatu kebutuhan tertentu bagi konsumen, yait u bukan pada kebutuhan merokok namun merokok agar seperti yang terimajinasikan d alam iklan tersebut. Analisis Marxis berusaha menjelaskan bahwa semua hal terseb ut telah diatur. Kesadaran bahwa aku merokok telah diatur oleh suatu mekanisme t ertentu, yaitu iklan . Di samping itu, melalui iklan-iklan tersebut, budaya mero kok berusaha dalam memperoleh sikap-sikap penerimaan dalam masyarakat: bangsawan maupun kaum agamawan pun merokok. Di sini telah hadir mekanisme legitimasi maup un normalisasi, bahwa merokok itu hal yang wajar dan boleh-boleh saja. Melalui p riyayi, rokok (seolah) memperoleh tempat sebagai produk berkelas (high culture). Melalui sosok agamawan rokok (seolah) memperoleh tempat bahwa dia tidak bertent angan dengan ajaran agama. Saya kira, yang menjadi media pada iklan-iklan di ata s adalah sang priyayi dan sang santri (the medium is the message). Mudahnya, unt uk mengatakan bahwa merokok tidak merusak kesehatan tak perlu dengan cara member i bukti-bukti analisis kesehatan, cukuplah dengan memberi bukti bahwa ada juga d okter yang merokok (dokter menjadi the medium yang mengandung message tertentu). Mengapa? Karena dokter dalam dunia sosial diberikan suatu kesadaran tertentu, y aitu bahwa dia berurusan/kompeten dalam hal kesehatan. Catatan redaksi: Tulisan ini digunakan sebagai bahan ajar mata kuliah pilihan Kajian Media di DKV ISI Jog ja yang diajarkan oleh FX Widyatmoko Persuasi Visual pada Iklan Rokok, antara Regulasi dan Menyiasati Didit diditw@bdg centrin.net.id Widiatmoko Suwardikun Cigarette`s health hazard element makes its marketing and commercial limited by a set of rules, however, this limitation has made some ad workers think more creat ively. A cigarette has no clear functional benefits because this product has a f loating character, so it needs a post to moor their variety of characters due to the indistinctive products

character. When there`s a limitation, then a cigarettes ad would easily change its anchoring point. Some of their points are pop culture, as the relation between pop culture and cigarettes has become an exchange of meanings and values. Pop cu lture needs capital for its festival and cigarettes needs a mount for its market ing. Several streams from pop culture defines its communities, so, for segmentat ion interest, pop culture has the ability to gathering a mass. Masculinity is al so used in a cigarettes ad, shown by extreme sport activities. The ad itself doe sn`t show the cigarette, nor a smoking person, but by sticking out its company`s nam e and logo and its brand also by persuasive visualization that could represent t he target audience pride thus by watching its activity and logo, the spectator c ould recognize and remember everything that the ad maker presenting. Keywords : visual persuasion, anchoring point, masculinity Hampir dipastikan, akan kita jum pai teks yang berbunyi: Merokok Dapat Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impot ensi dan Gangguan Kehamilan dan Janin , dalam kotak khusus di tiap kemasan rokok. Ada kandungankandungan tertentu seperti Tar dan Nikotin yang berbahaya bagi tubuh , menyebabkan rokok mendapat regulasi khusus. Uniknya walaupun regulasi tersebut dihadirkan dengan tujuan membatasi, dalam prakteknya justru menguntungkan ketik a sebuah produk mampu menyiasati dengan konsep-konsep kreatif beriklan baik komu nikasi verbal maupun visual. Rokok biasanya dimasukkan dalam kategorisasi produk -produk yang sensitif. Hal ini berkaitan erat dengan adanya regulasi khusus yang dikenakan terhadap brand tersebut. Produk produk yang terkategorisasi sebagai p roduk sensitif meliputi: rokok, kondom pharmaceutical dan alkohol. Dalam dunia p raktisi periklanan menyebutnya sebagai produk AKROBAT, akronim dari: Alkohol, Ko ndom, Rokok dan Obat-obatan. Sebutan tersebut juga mewakili bagaimana biro iklan harus memutar otak (berAKROBAT) dalam menyiasati regulasi-regulasi yang ada. Da lam beriklan salah satu hal yang patut dipahami dengan jelas adalah karakteristi k sebuah produk yang akan diiklankan. Pada umumnya sebuah produk diproduksi untu k mengisi sebuah kebutuhan tertentu. Lebih jelasnya sebuah produk muncul karena memiliki atau memenuhi fungsi fungsi tertentu. Spesifikasi fungsi tersebut diola h lebih lanjut dalam strategi-strategi khusus beriklan. Functional Benefit biasa nya diolah menjadi Unique Selling Point sebagai wahana diferensiasi diantara par a kompetitornya. Kejelasan fungsi dan kelebihan-kelebihan yang dimiliki sebuah p roduk akan mempertegas posisioning diantara produk di ceruk yang sama. Hal ini a kan memudahkan Pengiklan dalam mengomunikasikan seperti apa produk yang ditawark an.

Rokok dari sudut pandang ini justru memiliki keunikan tersendiri. Sebagai sebuah produk tidak memilikifunctional benefit secara jelas. Rokok telah memenuhi kebu tuhan tertentu yang juga sulit untuk di deskripsikan dengan pasti. Dalam kehidup an keseharian kita, rokok sudah membentuk sebuah symptom tertentu (bagi para per okok) yang siklusnya mirip dengan kebutuhan konsumsi primer, seperti minum dan m akan. Ada saat-saat tertentu dimana seseorang merasa membutuhkannya dan harus di penuhi. Tetapi adakalanya rokok juga memenuhi kebutuhan konsumsi yang sifatnya l ebih sekunder. Seperti kudapan atau `cemilan`, rokok mengisi ruang-ruang senggang di kehidupan kita. Produk rokok memiliki kelenturan dalam banyak hal. Kelenturan t ersebut menjadikan rokok melampaui produk produk di area sensitif lainnya. Sebag ai bandingan, produk pharmaceutical memiliki karakteristik yang lebih kaku. Hal ini sangat menyulitkan biro iklan dalam menyiasati regulasi yang ada. Banyak hal seperti kata-kata dan visual yang tidak boleh digunakan, ada juga kata-kata yan g justru harus dicantumkan, seperti kandungan bahan, kontra indikasi atau efek s amping. Akibatnya iklan pada produk obat-obatan dan sejenisnya menjadi paritas s atu dengan lainnya. Begitu juga yang terjadi pada produk minuman beralkohol. Kar ena karakteristik produknya jelas dengan segala fungsi dan value-nya, produk alk ohol sama sekali dilarang di media elektronik dan sebagian besar media lainnya. Walaupun iklan-iklan produk alkohol sangat inspiring bagi biro iklan dalam mengo munikasikannya, pada akhirnya hanya terbatas dalam media above the line saja. Ke tidakjelasan functional benefit dari rokok menjadikan produk tersebut cenderung floating karakteristiknya. Sehingga membutuhkan nilai-nilai tertentu sebagai tem pat berlabuh (anchoring) konsep produk untuk dikomunikasikan pada konsumennya. N ilainilai yang diangkat sebagai tempat berlabuhnya konsep-konsep tersebut menjad i sangat terbuka karena ketidakjelasan karakteristik produk. Hal ini menjadikan ide ide pengiklan melanglang buana tak terbatasi sebagai landasan kreatifnya. Bat asanbatasan yang selama ini dihadirkan dalam regulasi seperti larangan tegas mem perlihatkan produk rokok dan asap rokok justru dengan mudah disiasati.

Dengan terbukanya kemungkinan-kemungkinan yang ada pembuat iklan produk rokok ju ga mampu melampaui mandatori-mandatori konservatif yang sering dipatok oleh klie n (para produsen rokok). Iklan Rokok dan Persuasi melalui Budaya Pop Keleluasaan pengembangan konsep kreatif pada iklan rokok menjadikan iklan-iklan yang muncul lebih kreatif dan variatif. Salah satu tempat berlabuh konsep dan nilai-nilai p roduk rokok adalah wilayah budaya pop. Pemilihan budaya pop sebagai tempat berla buh dapat disidik dari kelebihan-kelebihan dan kemampuan wilayah tersebut dalam men-deliver ide-ide dan nilai-nilai produk kepada konsumennya. Budaya pop member i ruang yang mampu menghimpun massa dan sekaligus mudah dipahami oleh massa yang lebih luas. Budaya menurut Raymond Williams bisa berarti pandangan hidup tertent u dari masyarakat, periode, atau kelompok tertentu . Jika kita membahas dengan de finisi ini maka perkembangan sastra, hiburan, olah raga, dan upacara ritus keaga maan termasuk di dalamnya. Selanjutnya, Williams mendefinisikan budaya juga seba gai praktik-praktik penandaan (signifying practices). Dengan definisi ini, kita dapat menyebut puisi, novel, opera, lukisan, sebagai contohnya. Maka, berbicara tentang budaya pop berarti menggabungkan kedua makna budaya tersebut. Makna pand angan hidup tertentu memungkinkan kita untuk berbicara tentang praktik praktikny a. Praktik kebermaknaan memungkinkan kita untuk membahas tentang opera sabun, mu sik pop, ataupun komik sebagai contoh lain dari budaya pop. Praktik-praktik buda ya

menghadirkan teks-teks budaya. Dan selanjutnya teks-teks budaya tersebut diadops i oleh Pengiklan dalam pengembangan konsep kreatifnya. Budaya pop seringkali dik ontraskan dengan budaya tinggi. Batas-batas kultural tinggirendah akhirnya merep roduksi budaya populer yang dianggap sebagai inferioritas . Argumen tersebut cender ung memandang budaya yang berbasis komoditas sebagai sesuatu yang tidak autentik , manipulatif. Dasar pemikirannya adalah budaya massa kapitalis terkomodifikasi tidaklah autentik karena tidak diproduksi oleh orang kebanyakan, dan bersifat ma nipulatif karena tujuan utamanya adalah supaya laku dijual. Budaya pop juga akhi rnya memunculkan istilah Industri Budaya untuk menunjukkan bahwa budaya tersebut t idak bisa lepas dari politik ekonomi dan produksi kebudayaan oleh perusahaan-per usahaan kapitalis. Hubungan tersebut menjadikan sebuah simbiosis yang mutualis a ntara produk-produk rokok yang akan diiklankan dengan mengambil idiom-idiom buda ya pop. Iklan-iklan rokok dengan mudah mendeliver nilai-nilai yang ingin disampa ikan pada target marketnya. Transfer nilai-nilai tersebut menjadi sangat mudah k arena terjadi proses Mimikri, sebuah proses perpindahan nilai-nilai karena didas ari oleh kesenangan. Budaya pop membawa kesenangan tersendiri karena sifat hibur annya. Hiburan menjadi pintu utama masuknya nilai-nilai sebuah produk rokok mela lui ikon-ikon populer seperti aktris/aktor, atau musisi yang biasa menghibur mas sa. Proses pengidolaan terhadap orang-orang yang menjadi ikon budaya pop atau pr aktik-praktik budaya pop, seperti musik, dan olah raga menjadi hal yang penting. Antara budaya pop dan produk-produk rokok terjadi barter nilai dan makna. Di sa tu sisi dalam praktiknya kelangsungan budaya pop membutuhkan pemodal ( pengiklan / produsen rokok), dan vice versa-nya, pengiklan (produsen rokok) membutuhkan wa hana untuk mendeliver nilai-nilai produknya pada konsumen yang menyenangi budaya pop. Event budaya pop seperti konser musik adalah wahana yang sering dipakai un tuk menanamkan nilai-nilai produk rokok kepada target marketnya. Persuasi yang b ersifat asosiatif antara karakter produk dan karakter musik yang disponsori menj adi pertimbangan utama. Nilai-nilai yang mewakili sebuah genre musik tertentu be rarti juga mewakili nilai-nilai sebuah produk yang mensponsorinya. Musik Jazz me miliki nilai-nilai tertentu yang melekat menjadi citra yang khas dan telah memil iki posisi tersendiri diantara genre musik lainnya. Kualitas musikalitasnya menj adikan musik Jazz mengkhususkan pada tingkat apresian tertentu. Tingkat sophisti kasi yang tinggi membawa Jazz pada kategori musik yang `High Class`. Nilai-nilai ter sebut menjadi tempat melabuhkan nilai-nilai beberapa produk rokok seperti Dji Sa m Soe Super Premium. Karakter produk yang diposisikan bercita rasa tinggi memili ki korelasi nilai dengan musik Jazz. Diharapkan subtitusi nilai tersebut dengan mudah diapresiasi oleh target market dari produk rokok yang bersangkutan.

Rokok Djarum mencoba melekatkan nilai-nilai produknya melalui genre musik yang b erbeda, sesuai dengan karakter musik yang mewakilinya. Musik Rock menjadi wahana penyampai aspirasi nilai-nilai dari produk Djarum Super. Dalam All Out Tour, Ro ckstar yang merepresentasikan nilai-nilai tersebut adalah Band Jamrud, Dewa dan Padi. Cita rasa musikalitas baik lirik lagu maupun partitur lagu, plus performan ce panggung bermuara pada karakter tiap band. Band terpilih berarti mewakili jug a cita rasa produk Djarum Super sebagai sponsornya. Kaum muda menjadi target mar ket yang paling disasar oleh beberapa iklan rokok Djarum. Hal ini terjejak melal ui pemilihan genre musik yang dijadikan tempat berlabuh nilai-nilai dan makna da ri produk mereka. Selain musik-musik beraliran Rock, pada produk rokok L.A Light s juga mulai menggarap ceruk anak muda yang menyukai musik Indie. Musik Indie me mpunyai tempat khusus di kalangan anak muda. Semangat perlawanan terhadap jalur mainstream yang di bawa oleh musik indie seakan mewakili semangat kalangan terse but. Komunitas-komunitas yang menggemari musik indie menjadi diaspora yang penti ng dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Melalui L.A Indiefest dengan tema Black Amplifier Concert , varian produk Djarum ini menggarap target market ini melalui sponsorship konser musik dengan aliran Indie. Sampoerna A Mild sebagai sebuah p roduk rokok yang mengawali munculnya rokok mild di Indonesia pertama kali, menco ba meramu konsep konser musik yang berbeda. A Mild mencoba mengidentikkan diriny a sebagaileading brand yang selalu terdepan termasuk dalam penyelenggaraan konse r musik. Konsep konser musik Soundrenalin sangat mirip dengan konser musik legen daris Woodstock di Amerika. Citra `yang mengawali` atau yang telah `melegenda` menjadi n ilai-nilai yang coba diraih oleh A Mild. Disamping pemilihan musisi pengisi acar a konser tersebut yang juga mensubtitusi nilai-nilai dari produk A Mild. Aksi pa nggung spektakuler puluhan musisi terkenal, A Mild Live Soundrenaline juga mengh adirkan beberapa hiburan lain selain musik, misaInya games, permainan basket, ba risan stand-stand yang menarik, dan berbagai atraksi lainnya. Ini menjadikan A M ild Live Soundrenaline sebagai sebuah festival musik plus yang merepresentasikan j uga kreatifitas penciptaan sebuah produk rokok mild yang mereka sandang. Selain musik, ranah budaya pop yang tidak kalah kemampuannya dalam menghimpun massa dan berpeluang untuk penetrasi nilai-nilai dari sebuah produk rokok adalah ritus ol ah raga. Berbagai jenis olah raga menjadi wahana yang sangat menguntungkan bila dapat dipergunakan untuk mendeliver nilai dan makna melalui sponsorship. Dari se pak bola yang sangat mendunia sampai bulutangkis yang menjadi kebanggaan nasiona l tak luput dari sponsorship produk rokok. Intinya budaya pop memberi ruang yang luar biasa dalam mendeliver nilai dan makna dari sebuah produk rokok. Kemampuan menghimpun massa yang luas sekaligus tersegmentasi dengan sangat baik menjadika n tempat berlabuh yang ideal bagi iklan rokok pada umumnya. Walaupun dengan akal jernih akan kita temukan adanya ketidaksinambungan antara produk rokok yang

cenderung merusak kesehatan dengan ritual olah raga yang justru sebaliknya, dipe rcaya menjaga kesehatan. Iklan Rokok dan Representasi Maskulinitas Maskulinitas seperti sekeping mata uan g dalam iklan iklan rokok. Produk rokok selalu diasumsikan dengan nilai nilai ke jantanan, pemberani, petualang, macho. Nilai- nilai ini diangkat dengan dalih ta rget market terbesar produk tersebut adalah kaum Adam. Beberapa contoh tagline, seperti : Pria Punya Selera , Selera Pemberani , Tunjukkan Merahmu , Yang Penting Rasanya ung! . Sederet key word tersebut kental sekali warna maskulinitasnya. Terkadang di subtitusikan dalam bentuk warna (merah= berani = laki-laki) atau sifat-sifat yan g identik dengan kelelakian seperti sifat pemberani. Walaupun warna merah atau s ifat pemberani tidak selalu menjadi milik pria, tetapi iklan tersebut memanfaatk an pola pikir stereotip yang ada di masyarakat sekarang ini. Polapola pikir bahw a pria adalah sosok yang aktif, dinamis, berani, kuat. Sedangkan wanita adalah s osok yang pasif, makhluk domestik, lemah, dimanfaatkan sebagai referensi utama p ara pembuat iklan rokok. Kuatnya maskulinitas dalam iklan rokok dapat kita telus uri dari banyak aspek. Pertama, adalah dari produk rokok itu sendiri, rokok adal ah sebuah habit impor. Budaya merokok dari awalnya memang dikhususkan untuk pria . Oleh pria-pria dewasa suku Indian di Amerika. Di Indonesia tidak mengenal buda ya menghisap tembakau dengan cara dibakar (merokok), tetapi dengan cara dikunyah dicampur daun sirih (menyirih). Kegiatan menyirih tersebut dilakukan baik pria maupun wanita di Indonesia. Sifat-sifat khusus pria tersebut selanjutnya melekat p ada produk rokok. Secara karakteristik morfologis dari rokok sekarang ini, mewak ili bentuk `Phallus` yang identik dengan milik pria. Sadar atau tidak, produk rokok membawa nilai-nilai kelelakian sejak awalnya.

Kedua, adalah pada sifat-sifat Periklanan yang juga kita impor dari barat. Pola pikir barat sangat dipengaruhi oleh pemikiran Yunani dan Romawi. Maskulinitas da n budaya Patriarkal sangat kuat tercermin pada pola pikir keduanya. Akar `keperkas aan` dalam konteks Periklanan Modern dapat kita telusuri lebih lanjut dalam tradis i Yunani dan tentu saja Romawi. Kedua budaya tersebut telah teradopsi ke dalam k ebudayaan kapitalistik Barat modern. Kebudayaan Yunani berkembang melalui unsurunsur maskulinitas penggambaran dewa-dewa dalam lukisan maupun patung-patungnya. Mitos-mitos dewa mereka selalu digambarkan tampan, gagah, berotot kawat, pandai , dan perkasa. Selanjutnya mitos tersebut ter-representasi dalam wujud kegagahan kaisar-kaisar Romawi. Julius Caesar (102-44 SM ) salah satu yang paling dikenal namanya. Dan beberapa kisah lainnya, seperti Mark Anthony salah seorang panglim a Caesar yang ditugaskan di Mesir dan kemudian terlibat asmara dengan Cleopatra. Keperkasaan, kekuasaan, penaklukan selalu menyertai kisah kisah dalam sejarah R omawi. Hal ini menjadi wajar, bila mulai dari organisasi politik, kesenian, dan kesusastraan, sampai alfabetikal Romawi sangat mempengaruhi kebudayaan yang munc ul di Eropa dan berimbas pula ke Amerika. Kedua kebudayaan tersebut kian menampa kkan wujudnya terutama ketika di Eropa dan kemudian di Amerika Serikat muncul se buah gerakan kebudayaan pop pada pertengahan 1950-an. Salah satu dampak yang per lu dicatat adalah munculnya seni beriklan indah. Iklan harus tampil mempesona, c antik, indah, menarik dan atraktif. Pada akhirnya cara manipulasi iklan dalam pe ngolahannya tidak hanya berperan sebagai sihir pengolah kesadaran masyarakat tetap i juga penerus tongkat estafet semangat maskulinitas budaya Romawi dan Yunani. K etiga, adalah faktor media. Persoalan dominasi pria erat bertalian dengan fungsi media massa. Fungsi media massa sebagai sarana memberi informasi, hiburan, dan juga mendidik sangat berperan dalam membangun imajinasi atau fantasi masyarakat pembacanya. Implikasinya, persepsi dan konsep tentang keperkasaan lelaki sebagai b agian dari fantasi khalayak pembacanya, bukan menjadi sesuatu yang sulit untuk d itemukan dan dijadikan komoditas iklan. Selanjutnya aktivitas jurnalistik, terut ama dalam meneropong wanita seringkali didominasi lelaki. Pandangan pandangan me dia terhadap wanita terkooptasi dalam bingkai khas lelaki. Contoh konkret adalah cover majalah atau tabloid yang kita jumpai setiap hari lebih sering menampilka n gambar wanita sebagai hiasan (point of interest). Dalam konteks ini cara panda ng wanita dalam media massa seringkali tereduksi sebatas makhluk biologis. Dalam iklan rokok penggambaran tersebut lebih jelas tampak. Sosok pria menjadi subyek utama penokohan dalam iklan-iklannya. Beberapa seri iklan rokok Djarum Super me nampilkan beberapa lelaki melakukan olah raga alam bebas. Olah raga alam bebas s elain tentu merepresentasikan kebebasan (keleluasaan kehendak) juga berarti keku asaan untuk memilih yang dinginkan. Hal ini jelas identik dengan semangat

maskulinitas. Belum pemilihan aktifitas alam bebas dengan kategori ekstrim; panj at tebing, paralayang, menyusur sungai, off road identik dengan keberanian dalam level tertentu dan selalu berafiliasi dengan citra lelaki. Kebebasan (kegiatan alam bebas/outdoor adventure) juga berarti posisi negasi dari citra domestifikas i perempuan. Citra perempuan yang hanya tinggal di rumah saja, terjejak dalam se jarah perkembangan peradaban manusia. Ketika manusia mengenal piranti untuk berb uru, maka terjadi pembagian tugas kaum pria pergi keluar berburu sedangkan kaum wanita tinggal di rumah untuk menunggu dan memasak hasil buruan. Kegiatan eksplo rasi keluar selanjutnya identik dengan pekerjaan lelaki. Maskulinitas juga muncul dalam iklan rokok Dji Sam Soe dengan pendekatan yang be rbeda. Pria tegap masih menjadi subyek utama, profesi pilot jet tempur menjadi s imbol representasinya. Profesi pilot hampir dipastikan didominasi oleh pria. Jet tempur (F-16) sebagai kendaraan membawa sifat-sifat agresifitas lelaki. Menyera ng, menghabisi dan mengalahkan adalah simbol kelelakian. Tagline Kesempurnaan dar i Keahlian semakin menegaskan sifat sifat maskulin yang terbangun. Kata sempurna n ahli bermuara pada kepandaian atau kecerdasan dalam tingkat tertentu. Secara ref erensial dunia ilmu pengetahuan yang mengkonstitusi orang-orang pandai dan cerda s juga didominasi oleh pria. Sebut saja Einstein, Newton, Copernicus dan masih b anyak lagi adalah ber-gender pria. Sedangkan ilmuwan wanita selalu hanya jadi su bordinan, seperti Merie Currie misalnya.

da

Iklan rokok Gudang Garam merepresentasikan citra maskulin melalui sosok pria dan menyandingkannya dengan seekor harimau. Pria dan harimau disandingkan untuk sal ing mensubtitusi makna diantara keduanya. Pria dengan ekspresi raut muka tegas, secara gestural mendongak cenderung frontal, menyiratkan makna menantang dan ber ani. Atribut pakaian berlidah dipundak menandakan peruntukkan di lapangan, dalam hal ini konteksnya adalah hutan rimba. Sedangkan harimau sendiri mewakili simbo l kekuatan dan kekuasaan. Harimau adalah mamalia carnivora terbesar yang ada di hutan tropis. Menempati struktur tertingi dalam rantai makanan, menjadikan harim au sebagai raja rimba belantara di sebagian besar wilayah Indonesia.

Figur pria atau penampilan sosok pria dalam sebuah iklan tidak hanya simbolisasi dominasi pria, melainkan lebih ke arah simbolisasi Maskulinitas dalam pengertia n yang lebih luas. Maskulinitas kapitalistik memberi makna dominasi pria dalam t erminologi apa saja yang memungkinkan untuk dijual. Wajah Indo (campuran keturun an asing) atau sosok bule (keturunan asing). Implikasinya, adalah melahirkan pah lawan idola, sebagaimana pernah dilakukan orang di zaman Yunani dan Romawi. Ikla n Rokok, Representasi Tubuh Individual dan Kelompok Tubuh hari ini tereksposisi demikian intensif sekaligus ekstentif. Menurut I. Bambang Sugiharto dalam Penjar a Jiwa, Mesin Hasrat (Jurnal Kalam, 2000: 26): ekstensif, sebab tubuh kini telah menjadi lingkungan visual kita di mana pun kita berada. Di televisi, pada billbo ard iklan, di majalah, koran, ataupun tabloid, di segala tempat dan saat kita me ncerap dalam perjumpaan dengan citraan tubuh, kita merasa dikepung oleh tubuh, s eakan tubuh adalah satu-satunya bahasa komunikasi yang paling mudah dimengerti . Tubuh yang tercitrakan dalam iklan rokok menampilkan tubuh-tubuh yang paradoks. Di satu sisi produk rokok memiliki kandungan yang membahayakan tubuh bila terusm enerus terhisap. Tetapi tubuh-tubuh yang terepresentasi dalam iklan-iklan rokok adalah mewakili tubuh yang terkategorikan sehat. Tubuh yang penuh integritas, se mangat, bergerak dinamis. Tubuh dalam iklan adalah tubuh-tubuh rekayasa, objek p enyampai pesan komunikasi yang disiapkan oleh Tim Kreatifnya. Ideologi iklan mem perlakukan tubuh sebagai simbol-simbol yang membawa dan mewakili nilai dan makna produk yang diiklankan. Meminjam istilah Mary Douglas, tubuh adalah kode atau m etafor pemetaan sosiokognitif tertentu tentang realitas, yang seringkali bersifa t ideologis. Tubuh seringkali

digunakan sebagai simbol hubungan sosial, bahkan dari sisi tertentu juga politis . Dalam masyarakat pra-modern stabilitas ataupun instabilitas tubuh bahkan meman tulkan stabilitas atau instabilitas sistem sosial yang lebih luas. Tubuh yang sa kit mengisyaratkan adanya ketidakberesan dalam masyarakat. Dengan kesadaran itul ah tubuh dalam iklan rokok dibangun. Sosok tubuh yang kuat, kokoh dinamis, berso sialisasi dalam bentuk kegiatan atau gaya hidup tertentu menjaga stabilitas makn a yang diinginkan. Tubuh yang sendiri, mandiri mewakili citra individualistik. T ubuh yang mandiri mendeliver makna kepercayaan diri (chauvinisme pada diri). Seb uah sifat yang dalam konvensi makna selama ini diidentikkan dengan milik lelaki. Gestur dan anatomi tubuh tertentu sengaja dipilih untuk menguatkan konsep komun ikasi yang dimaksudkan. Bentuk tubuh yang ideal menurut konvensi umum dan semang at zamannya (zeitgeist), otot-otot yang kokoh, pose tertentu akan membingkai mak na ideologis dari sebuah iklan rokok. Kemandirian yang cenderung individualistik adalah cerminan gaya hidup urban kosmopolit sekaligus sifat-sifat modernis yang dibawa oleh budaya barat. Tubuhtubuh yang lain tergambarkan bersosialisasi dala m kelompok. Kelompok tubuh tersebut di ikat dalam kegiatan tertentu seperti: ber olah raga, bermain musik, ataupun yang besifat gaya hidup kosmopolit `dugem` di pub atau diskotik. Tubuh-tubuh tersebut mewakili semangat guyub dunia timur (dalam h al ini konteksnya Indonesia), ataupun semangat percaya pada kelompok/ pertemanan yang berafiliasi dengan kalangan muda. Keduanya terepresentasi dan menjalin mak na sesuai dengan ideologi iklan rokok yang diwakilinya. Daftar Pustaka Abbot, David, Cutting Edge Advertising, Prentice Hall, Singapore 1999Aland, Jenny

and Darby, Max, Art Connection, Heinemann Educational Australia, Melbourne, 1992 . Belch, George E and Michael A., Advertising and Promotion : An Integrated Mark eting Communications Perspective, Irwin/ McGraw-Hill, International Edition, Bos ton, 1998. Chaney, David, Lifestyles : Sebuah Pengantar Komprehensif, Jalasutra, Yogyakarta, 1996. Hanusz, Mark, Kretek : The Culture and Heritage of Indonesia`s Clove Cigarettes, Equinox Publishing (Asia) Pte. Ltd. Singapore, 2003. Kotler, P hillip, Advertising Insights From A-Z, Erlangga, Jakarta 2004. Krugman, Reid, Du nn, Barban, Advertising, its role in modern marketing, The Dryden Press, Forth W orth, Texas, 1994. Ritonga, Jamiludin M., Tipologi Pesan Persuasif, Indeks, Jaka rta 2005. Rourkes, Nicholas, Design Synectics, Stimulating Creativity in Design, Davis Publications, Massachusetts, 1988 Storey, John, Teori Kebudayaan dan Buda ya Pop, Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies, Qalam, Yogyakarta, 2003 S utopo, H.B., Metodologi penelitian Kualitatif, dasar teori dan penerapannya dala m penelitian, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 2002. Sutrisno, M; Putr anto, H; (editor), Teori-Teori Kebudayaan, Kanisius Yogyakarta, 2005. Sumber Bud i Handojo, Merek dan Produk, Majalah Media Kawasan, Desember 2005 http://www.ppp i.co.id http://www.indonesianonsmokesociety.co.id http://www.republika.co.id/kor an_detail.asp?.id http://www.kompas.com www.phillipmorris.com www.pdpersi.co.id Tulisan ini cuplikan dari kesimpulan penelitian tentang persuasi pada iklan rokok keretek . Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2006, bersama Doddy Ahmad dan Lain Sintesa Budaya dan Peradaban Baru Indonesia Oleh: Soetrisno Bachir Saudara-saudaraku sebangsa dan se-Tanah Air

Hari-hari ini hingga beberapa waktu mendatang sungguh merupakan saat-saat pentin g bagi Indonesia. Bukan saja karena pada tahun ini Indonesia memperingati Seabad Kebangkitan Nasional, 80 tahun Sumpah Pemuda, serta 10 tahun Reformasi. Lebih d ari itu, saat-saat sekarang juga merupakan saat Indonesia menjelang menghadapi p eristiwa dan keadaan besar yang akan menentukan nasib bangsa di masa depan. Pest a demokrasi 2009 akan segera dilangsungkan buat memilih wakil-wakilnya di lembag a legislatif, serta memilih presiden dan wakil presiden untuk masajabatan lima tahun ke depan. Hal tersebut akan benar-benar menentukan bagaimana wajah Indones ia mendatang. Tapi tidak berarti bahwa persoalan paling penting bagi Indonesia a dalah siapa yang akan terpilih sebagai presiden dan wakil presiden mendatang. Le bih dari itu adalah ke mana kepala negara terpilih bersama seluruh bangsa ini ak an membawa Indonesia ke depan, menghadapi persoalan dunia yang akan semakin mena ntang. Pertanyaan itulah yang sekarang harus dijawab seluruh bangsa ini, dan ten tu juga oleh pemimpinnya. Masalah politik, ekonomi, sosial, dan bahkan lingkunga n yang dihadapi dunia telah sedemikian kait mengait tanpa terpisahkan. Sekat-sek at antarbangsa telah semakin menipis sebagaimana sekat antarbudaya, bahkan antar disiplin ilmu pengetahuan. Hubungan politik antarnegara secara umum memang telah semakin mencair. Tetapi pertikaian negara model lama masih terjadi seperti pada krisis Rusia-Georgia sekarang ini. Masalah Palestina yang menjadi persoalan pal ing rawan bagi upaya mewujudkan perdamaian dunia, belum pula terselesaikan. Konf lik politik internal suatu negara seperti di Myanmar serta Zimbabwe sedikit bany ak juga berpengaruh pada stabilitas dunia. Di bidang ekonomi, ancaman kelesuan y ang menbayangi perekonomian Amerika terus dicermati para ekonom, mengingat penga ruhnya yang besar bagi ekonomi dunia. Memang ada optimisme bahwa perekonomian Am erika akan segera membaik setelah Tahun 2009 yang juga berarti membaiknya pereko nomian dunia. Tetapi saat ini, puncak kelesuan ekonomi tersebut belum terlewati. Kemajuan ekonomi Asia yang dimotori oleh pertumbuhan ekonomi China dan India di perkirakan akan segera mengubah peta perekonomian global. Namun laju pertambahan penduduk dunia, menipisnya cadangan minyak bumi, serta bayang-bayang keterbatas an kemampuan dunia dalam penyediaan pangan perlu diantisipasi. Masalah sosial ya ng terkait dengan perekonomian yang masih membayangi dunia adalah kemiskinan. Ma salah ini juga masih merupakan persoalan mendasar Indonesia sehingga badan-badan dunia menekankan agar pengentasannya diprioritaskan. Sebanyak 34,96 juta warga miskin menurut ukuran pemerintah, atau lebih dari dua kali lipat jumlah itu menu rut ukuran Bank Dunia, bukan angka yang sedikit untuk diabaikan. Tingkat partisi pasi pendidikan yang rendah pada sebagian masyarakat dunia juga merupakan persoa lan bagi Indonesia.

Tingkat kematian ibu dan balita, penyebaran penyakit HIV/AIDS, dan bahkan ancama n Tuberculosis, yang cenderung luput dari perhatian publik, tetap merupakan masa lah serius bagi dunia. Human traficking atau perdagangan manusia, yang sepatutny a tidak terjadi lagi di tingkat keberadaban dunia saat ini, telah berkembang ke tingkat yang memprihatinkan. Sementara penyalahgunaan narkotika dan obat terlara ng dalam genggaman jaringan sindikasi global semakin sulit teratasi. Pemanasan g lobal, sebagaimana terungkap dengan jelas dalam pertemuan dunia di Bali akhir 20 07 lalu, merupakan persoalan yang akan semakin mengemuka di tahun-tahun mendatan g. Mencairnya Kutub akibat pemanasan global tersebut akan dapat langsung berpeng aruh pada kawasan-kawasan kepulauan seperti Indonesia. Tenggelamnya pulau akan m engurangi luas Indonesia, karena wilayah kedaulatan negara didasarkan pada titik pulau terluarnya. Perusakan hutan yang berlangsung sangat pesat, terutama hutan -hutan hujan tropis, telah menghancurkan paru-paru dunia. Kelangkaan air bersih juga telah menjadi masalah baru yang belum pernah dihadapi dunia di masa-masa ya ng lampau. Benturan antarbangsa juga masih akan terjadi. Benturan itu tak selalu berupa benturan besar seperti Benturan Peradaban` yang diramalkan Samuel Huntingto n. Perbedaan sudut pandang antara paham kebebasan bereskspresi dengan penghormat an terhadap keyakinan beragama dapat menajam, dan bahkan menyakitkan. Itu yang t erjadi pada kasus Kartun Nabi Muhanmad di koran Denmark. Persoalan tersebut tela h memunculkan pertanyaan: Di mana batas kebebasan dengan penghargaan pada keyaki nan yang berbeda? Dalam ekonomi, benturan antara dominasi perusahaanperusahaan m ulti nasional dengan kepentingan lokal khususnya dalam pengelolaan sum berdaya a lam, juga tak terhindarkan. Persoalan yang semakin kompleks itulah yang dihadapi dunia hingga beberapa tahun ke depan. Persoalan dunia itu pula yang harus dihad api Indonesia mendatang, di samping di dalam negeri yang tidak kalah rumitnya. T antangan besar tersebut tak cukup dijawab dengan sekadar memilih Presiden dan Wa kil Presiden dalam pemilihan Tahun 2009 nanti. Saudaraku! Bangsa-bangsa lain tel ah bersiaga menghadapi dunia baru yang penuh tantangan tersebut. Filipina telah menyebarkan para pekerja menengahnya untuk mengisi pasar kerja di seluruh dunia. Thailand tengah membangun restoran-restoran masakan Thai pada hampir semua kota penting di berbagai negara untuk menjadi ujung tombak pemasaran pariwisatanya. India semakin mengukuhkan diri sebagai pusat pengembangan dan layanan Teknologi Informasi global. Singapura terus memperkuat posisi sebagai sentra jasa, keuanga n, serta budaya terpenting di kawasan barat Asia Pasifik. Jepang dan bahkan Kore a Selatan telah mengokohkan kedudukannya sebagai kekuatan utama dunia dalam indu stri mobil dan elektronika.

Di hadapan upaya besar bangsa-bangsa tetangga itu, apa yang akan diperbuat Indon esia? Apakah Indonesia cukup puas dengan menjual murah enerjinya seperti batubar a dan gas, sementara negara lain seperti China mendapat berkah nilai tambah ener ji itu pada perekonomiannya? Peradaban baru seperti apa yang harus dibangun bang sa ini agar dapat menghadapi masa depan dengan tegak? Budaya macam apa yang perl u dikembangkan yang sesuai untuk menopang peradaban baru tersebut? Pertanyaan-pe rtanyaan tersebut memerlukan jawaban dari seluruh anak bangsa. Dalam perekonomia n, bangsa ini jelas bukan apa-apa dibanding dengan raksasa Amerika Serikat, Jepa ng, serta China. Indonesia bahkan masih kalah dibanding saudara serumpun Malaysi a. Perbandingan komposisi perekonomian antar negara menunjukkan dengan jelas ket ertinggalan kita. Kontribusi pertanian pada perekonomian secara keseluruhan masi h sebesar 43,3 persen, sementara di China tinggal 11,3 persen. Sebaliknya, kontr ibusi industri dalam perekomian Indonesia baru 18 persen, sedang di China telah mencapai 48,6 persen. Di negara-negara maju, kontribusi terbesar pada ekonomi ad alah dari sektor jasa seperti di Amerika (78 persen) serta Jepang (72 persen). S ebagai negara berkembang, India bahkan telah mampu mengandalkan jasa sebagai mot or penggerak ekonominya. Jasa menyumbang 52 persen dari nilai perekonomian India yang berarti negara tersebut telah mampu mengandalkan kekuatan sumberdaya manus ianya untuk meraih kemajuan. Angka-angka tersebut bukan sekadar mencerminkan pos isi ekonomi Indonesia dibanding dengan negara-negara besar dunia lainnya. Lebih dari itu, angka-angka itu juga menggambarkan wajah peradaban bangsa ini sekarang . Kontribusi pertanian yang tinggi serta peran jasa yang rendah menunjukkan bahw a Indonesia masih mengandalkan sumberdaya alam dan belum pada sumberdaya manusia dalam perekonomian. Kenyataan itu juga mencerminkan bahwa peradaban Indonesia s ekarang masih tergantung pada budaya tradisional. Padahal budaya tradisional tak selalu siap memenuhi tuntutan peradaban masa depan. Ketidaksiapan budaya bangsa untuk menyambut tantangan masa depan telah muncul dalam Polemik Kebudayaan di t ahun 1930-an. Achdiat Karta Mihardja dalam pengantar kumpulan polemik itu menyeb ut bahwa sisa budaya feodal berpengaruh besar pada jiwa dan budaya bangsa. Pada masyarakat feodal, kehidupan ekonomi, sosial, dan politik dikendalikan sekelompo k kecil masyarakat yang memiliki kekuasaan sangat besar. Masyarakat kebanyakan h arus menerima keadaan yang apa adanya, termasuk menanggung kemiskinan. Itulah ya ng membuat jiwa mati dan bangsa ini menjadi bangsa yang statis. Kalah dalam kehi dupan, masyarakat lalu menghibur diri dengan halhal yang bersifat takhayul dan m istis. Untuk membongkar sifat statis tersebut, Sutan Takdir Alisjahbana mengajak bangsa untuk mengadopsi nilai-nilai Barat. Baginya, bangsa ini harus menjadi ba ngsa yang dinamis, maju, serta berani memperjuangkan kepentingan sendiri. Karakt er itu disebutnya ada pada bangsa-bangsa Barat sehingga Barat menguasai peradaba n dunia

beberapa abad terakhir. Gagasan mengadopsi budaya Barat itu mengundang reaksi pa ra budayawan yang yakin pada kekuatan budaya lokal, sehingga memunculkan polemik serupa yang pernah terjadi di Jepang. Di Jepang, setelah Restorasi Meiji 1868 p olemik demikian melahirkan sintesa budaya yang menjadi dasar peradaban baru Jepa ng. Yakni peradaban moderen yang membawa kemajuan namun tetap berakar kuat pada nilai-nilai budaya asli Jepang, Masakan teriyaki` dan yakiniku`, serta prinsip manajem en Kaizen merupakan hasil sintesa budaya tersebut. Di Indomesia, Polemik Kebuday aan dahulu itu belum menghasilkan sintesa budaya yang dapat membawa pada peradab an baru. Prioritas perjuangan saat itu untuk menyiapkan kemerdekaan, serta hiruk pikuk Perang Dunia II, membuat polemik penting tersebut tak berlanjut. Maka kar akter bangsa yang dirisaukan para pemimpin tiga perempat abad silam, sampai seka rang belum hilang. Sisa warisan budaya feodal serta karakter statis terasa masih ada pada bangsa ini. Itu yang membuat Indonesia sulit mewujudkan cita-cita keme rdekaan seperti memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ser ta ikut menciptakan perdamaian dunia. Karakter itu pula yang membuat Indonesia t idak siap bersaing di tingkat global dalam menghadapi masa depan yang menantang. Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air! Ketidaksiapan budaya bangsa dalam m enghadapi tantangan global harus ditebus dengan harga yang mahal. Banyak sekali pengorbanan yang harus dilakukan atasketidaksiapan itu seperti hilangnya semang at kebangsaan, tidak tegaknya hukum, moralitas yang rusak, hingga lemahnya daya saing bangsa. Pengorbanan tersebut sebenarnya tidak perlu karena bangsa ini tela h mempunyai pondasi berupa nilai-nilai spiritualitas yang mengajarkan agar manus ia bergantung dan berserah diri hanya pada Tuhan Yang Maha Esa, dan bukan pada l ainnya. Itulah kunci sukses manusia, dan pada akhirnya juga kunci sukses masyara kat serta bangsa. Tetapi pondasi itu rusak oleh budaya feodal yang menekankan an ggapan bahwa pemimpin adalah Wakil Tuhan di bumi ini, sehingga jika patuh pada T uhan maka harus patuh pada pemimpin. Tanpa pemahaman kokoh pada nilai-nilai kebe naran, masyarakat lalu memasrahkan hidup pada pemimpin. Ungkapan pejah gesang nde rek panjenengan` yang berarti hidup mati ikut Anda (pemimpin) menjadi ungkapan yang berakar kuat di masyarakat Jawa sebagai suku bangsa terbesar di Indonesia. Namun pandangan seperti itu bukan hanya menyebar di Jawa, melainkan hampir di seluruh wilayah Nusantara. Masyarakat menjadi terbiasa merendahkan dirinya sendiri seba gai kawulo` atau hamba` menurut istilah Melayu. Dalam kultur feodal Melayu, masyarakat tak cukup dengan hanya bersimpuh dan menyembah pemimpin. Masyarakat juga terbia sa mengucapkan istilah Daulat Tuanku` sebagai ungkapan siap menerima perintah. Seol ah-olah hanya Sang Tuan yang berdaulat, sedangkan dirinya sendiri tidak. Masyara kat menjadi sangat bergantung pada pemimpin, termasuk pemimpin adat dan keagamaa n, walaupun tak

jarang pemimpin yang memanfaatkan kepatuhan pengikutnya untuk kepentingannya sen diri. Sikap pasrah` dan nrimo` pada keadaan merupakan sikap umum masyarakat luas. Keba nyakan orang memilih menerima keadaan apa adanya dibanding berusaha keras meraih kehidupan yang lebih baik. Padahal Nabi mengajarkan bahwa hari ini harus lebih baik dari kemarin. Jika hari ini sama dengan kemarin berarti merugi, sedangkan b ila hari ini lebih buruk dari kemarin berarti celaka. Namun ajaran Nabi itu tida k dituruti. Banyak orang tak mau berusaha mengatasi kemiskinannya sendiri karena menganggap kemiskinan itu merupakan takdir. Dalam kultur demikian, masyarakat m engutamakan keselarasan dan harmoni dibanding kepentingan menyangkut materi. Kep entingan materi seolah-olah hanya akan mengganggu harmoni karena itu harus dihin dari. Priyayi lebih dihargai dibanding saudagar yang memakmurkan negeri. Di ling kungan masyarakat tradisional, cara pandang dan sikap hidup begitu dapat dipaham i. Adanya kebersamaan yang hangat, budaya tolong-menolong yang kuat, serta alam yang murah hati memang dapat membantu masyarakat mengatasi kesulitan, termasuk m engurangi beban kemiskinan. Tampaknya tidak ada persoalan bagi bangsa dengan mem iliki budaya seperti itu. Namun setelah keadaan bangsa dan dunia berubah baru te rbukti bahwa budaya yang ada tidak mampu menghadapi tantangan baru. Alam tidak l agi dapat bermurah hati akibat ledakan penduduk, keserakahan, serta ketidakpedul ian manusia dalam mengelola. Sementara itu, budaya-budaya lokal harus berbentura n dengan budaya global yang masuk ke seluruh pelosok negeri ini akibat revolusi teknologi komunikasi dan transportasi. Budaya global yang menawarkan kemajuan, k emudahan, kenyamanan, serta gengsi yang dianggap lebih, dengan cepat diadopsi me njadi dambaan baru masyarakat. Terjadi lompatan orientasi masyarakat dari orient asi harmoni ke orientasi materi. Lompatan yang tidak dipersiapkan serta dalam wa ktu yang relatif singkat tersebut menimbulkan akibat yang tidak sedikit. Terjadi nya guncangan budaya (cultural shock) menjadi tak terhindarkan. Dengan budaya nr imo dan memasrahkan jiwa raga pada pemimpin, masyarakat tak terlatih memperjuang kan kepentingan sendiri yang bersifat materi. Mempercakapkan urusan materi bahka n cenderung dipandang sebagai hal rendah. Sekarang tiba-tiba materi menjadi damb aan baru, seolah-olah merupakan hal terpenting dalam kehidupan. Sebagaimana bias anya kecintaan pada hal-hal baru yang sering berlebihan, orientasi baru terhadap materi saat ini juga cenderung lebih dari wajar. Tanpa tersadari bangsa ini ber geser dari bangsa idealistis menjadi bangsa materialistis. Di antara para pemerh ati bahkan ada yang menyebut Indonesia saat ini merupakan salah satu bangsa pali ng materialistis di dunia. Penilaian itu belum tentu benar. Tetapi simbol-simbol materi memang menjadi dambaan baru masyarakat yang selama ini cenderung pasrah dan tidak siap bekerja

keras untuk mendapatkan materi dengan cara semestinya. Berbagai kalangan masyara kat mulai berlomba mengakumulasi simbol-simbol keberhasilan materi dengan berbag ai macam cara. Jalan pintasmenjadi pilihan yang biasa. Lembaga-lembaga publik y ang semestinya didedikasikan buat melayani masyarakat bahkan banyak dibelokkan b uat memenuhi kepentingan pribadi. Itu yang menjelaskan mengapa korupsi terus men ingkat tak teratasi meskipun upaya untuk mencegahnya juga dilakukan. Bias kepent ingan pribadi membuat birokrasi, politik, hukum, dan kelembagaan lain yang diban gun untuk kepentingan publik tak selalu berjalan sesuai yang diharapkan. Birokra si belum efektif membantu masyarakat untuk menjadi masyarakat maju, tapi lebih t ersibukkan dengan formalitas menangani program-program yang normatif. Politik be lum sepenuhnya didedikasikan untuk memperjuangkan kepentingan umum, dan masih ce nderung menjadi alat berebut kekuasaan seperti yang sering ditudingkan. Hukum te rasa lebih berpihak pada yang kuat dibanding pada kebenaran. Dunia akademis dan media yang diharapkan dapat lebih berperan dalam menjaga nilai-nilai bangsa, tak jarang terseret pula oleh kepentingan praktis perorangan di belakangnya. Mengag ungkan simbol-simbol materi telah membawa masyarakat pada perilaku konsumtif dan bukan produktif, juga pada sikap yang ingin serba gampang dibanding kemauan ber usaha. Maraknya remaja yang terjun menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) beberapa waktu terakhir ini bukan saja didorong oleh faktor kemiskinan, melainkan juga o leh keinginan perilaku konsumtif dan hidup enak secara gampang. Tidak sedikit da ri mereka yang bukan berasal dari kalangan yang benar-benar miskin. Banyak lagi masalah sosial lain yang juga disebabkan dorongan yang melebihi kewajaran dalam urusan materi tersebut. Rapuhnya nilai-nilai keluarga, kekerasan dalam rumah tan gga, meningkatnya kriminalitas, hilangnya kejujuran, serta melunturnya kepercaya an pada sesama merupakan akibat dari orientasi materi secara berlebihan tersebut . Padahal, seperti dikemukakan Francis Fukuyama, rasa percaya (trust) merupakan modal sosial paling berharga bagi kemajuan suatu bangsa. Dengan latar keadaan se perti itu, dapat dipahami bila Indonesia menjadi konsumen peradaban dunia. Perad aban Indonesia saat ini menjadi peradaban yang terwarnai dan bukan mewarnai pera daban dunia. Budaya yang mendominasi peradaban dunia dengan cepat diadopsi oleh bangsa ini. Namun sesuai dengan kecenderungan masyarakat baru yang ingin serba g ampang, budaya yang teradopsi tersebut lebih merupakan budaya yang bersifat mate rialistis, konsumtif, serta hedonistis. Maraknya pornografi dan pornoaksi, serta berkembangnya sikap dan perilaku liberal yang permisif menggambarkan derasnya p engaruh budaya global. Sedangkan nilai-nilai yang membuat Barat menguasai perada ban global seperti sikap mandiri, kepatuhan pada aturan dan hukum, serta keberan ian dan konsistensi untuk mengeksplorasi hal-hal baru bagi kepentingan bersama, justru tidak diadopsi bangsa ini.

Memang tidak sedikit anak-anak bangsa yang tetap mampu menjaga kejernihan kesada ran sehingga tidak larut dalam keadaan yang ada. Di setiap tempat masih dapat di temui pribadi-pribadi seperti suster apung Rabiah yang terus berbuat mengabdi un tuk sesama; pemuda seperti Firman yang tak mengeluh dan memilih gigih berwiraswa sta; atau pelajar yang bertekun dengan ilmu untuk mengangkat nama Indonesia di m ata dunia seperti Stefano. Namun di antara sosok-sosok berkesadaran itu, lebih b anyak lagi yang tenggelam dalam sikap pragmatis materialistis yang menghalalkan cara. Tidak sedikit tokoh masyarakat yang tidak malu berebut kekuasaan demi uang , pejabat yang tidak malu mencari komisi atau malah korupsi, hingga penjaga kead ilan yang tidak malu menerima imbalan dari perkara yang tengah diadilinya. Pada merekakah bangsa ini akan mempercayakan kepentngan untuk mengangkat harkat dan m artabat Indonesia di mata dunia? Pada generasi baru yang hanya mau hidup enak ta npa harus berusaha keraskah bangsa ini mempercayakan masa depannya? Peradaban ya ng ada di Indonesia saat ini sungguh tidak lagi memadai untuk membangun bangsa y ang bermartabat dan sejahtera sesuai dengan perkembangan dunia. Saudara-saudarak u sebangsa dan setanah air! Dunia semakin konvergen. Budaya antar bangsa telah s emakin menyatu satu sama lain. Dalam penyatuan tersebut, budaya yang kuat akan m ewarnai peradaban baru dunia, sedangkan budaya yang lemah akan lenyap dari khaza nah peradaban. Bangsa-bangsa berjaya, yang mampu memberikan kesejahteraan pada m asyarakatnya adalah bangsabangsa yang budayanya menguasai dan bukan dikuasai per adaban dunia. Peradaban Indonesia masih jauh dari posisi untuk tidak larut, apal agi untuk dapat mewarnai peradaban dunia. Oleh karena itu, Indonesia perlu memba ngun peradaban baru. Semangat kebangsaan merupakan kunci untuk membangun peradab an baru bangsa. Semangat itulah yang melahirkan sikap dan perilaku serempak bang sa dalam berhadapan dengan bangsa-bangsa lain. Jepang punya semangat Bushido yan g terjaga oleh kekaisaran. Ketika Kaisar menyatakan beras Jepang yang terenak dan terbaik`, seluruh bangsa Jepang serempak menjadikan beras Jepang memang beras ter enak dan terbaik, serta tak akan menyentuh beras asing sekalipun harganya jauh l ebih murah. Amerika Serikat juga punya American Dream yang menempatkan bangsa da n negaranya sendiri sebagai pemimpin dunia. Sebuah mimpi` yang terbukti mampu membu at seluruh bangsa Amerika bergerak serempak untuk memimpin dunia. China menempuh jalan yang berbeda. Mao Zedong menggunakan komunisme untuk membongkar sistem fe odal masyarakatnya untuk dapat membangun China baru. Indonesia harus menemukan j alannya sendiri untuk bangkit dan menjadi bangsa maju. Untuk itu, bangsa ini per lu segera membangun peradaban baru yang sesuai dengan kebutuhan masa depan, yang membuat masyarakatnya aktif, dinamis, serta berdaya saing tinggi dalam berhadap an dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Budaya lama warisan budaya feodal yang me mbuat masyarakat pasrah, memandang rendah urusan

materi, serta puas mengekor para pemimpinnya, tidak lagi dapat diandalkan. Sebal iknya, budaya sekarang sebagai budaya pancaroba yang materialistis, konsumtif, d an mementingkan atribut dibanding substansi, juga bukan pilihan budaya yang tepa t. Indonesia memerlukan budaya baru yang didasarkan pada nilai-nilai idealistik, yang dapat menghubungkan kepentingan mewujudkan harmoni serta kepentingan mater i sekaligus. Untuk dapat melangkah maju tersebut, jalan Jepang bukan pilihan tep at bangsa ini karena Indonesia bukan bangsa homogen dan tidak dipersatukan oleh nilai-nilai budaya tunggal yang berakar panjang dalam sejarahnya. Meskipun samasama terbangun oleh masyarakat yang beragam, Indonesia bukan pula Amerika yang d ibangun oleh kesamaan nilai para imigran yang mematikan nilai-nilai budaya asli. Keragaman Indonesia terbangun oleh budaya yang mayoritas memang berakar di bumi pertiwi ini, dan bukan oleh pendatang. Bukan pula jalan China yang dapat ditemp uh Indonesia karena gerak bangsa ini tak akan pernah diserempakkan berdasar peny eragaman yang mengorbankan kalangan minoritas. Peradaban baru Indonesia justru h arus dibangun atas kesadaran kebhinekaan Indonesia seperti yang telah ditunjukka n para pendiri bangsa. Kesadaran kebhinekaan Indonesia selalu ada dalam setiap k elompok masyarakat. Semua yang berkesadaran kebhinekaan itulah yang dapat memban gun Indonesia menuju hari depan lebih baik. Mereka adalah sosok-sosok jernih yan g kritis terhadap realitas yang berkembang sekaligus bersikap positif untuk teru s mencari jalan keluar persoalan bangsa. Mereka tidak mengorbankan nilai-nilai i deal yang diyakininya demi kepentingan pribadi. Namun mereka akan selalu berbuat untuk kebaikan bersama. Mereka ada di mana saja, bisa di kalangan birokrasi, mi liter, politisi, pengusaha, pedagang kaki lima, petani, nelayan, buruh, pekerja angkutan, artis, guru, tokoh agama atau siapapun. Mereka bisa berasal dari suku apa saja, agama apapun, juga dari kelompok kepentingan apapun. Mereka itulah par a Simpul Kesadaran` bangsa, yang perlu dipertautkan dalam jejaring untuk dapat memb angun peradaban baru Indonesia. Untuk membangun peradaban baru Indonesia, para Si mpul Kesadaran` perlu menggali nilai-nilai budaya lokal di lingkungan masing-masin g. Nilai-nilai budaya yang relevan dengan tuntutan peradaban masa depan harus di bangkitkan dan diperkuat. Sebaliknya nilai budaya yang sudah tidak relevan seper ti budaya feodal, takhayul, serta mistis perlu segera ditempatkan sebagai bagian dari sejarah. Nilai-nilai budaya lokal yang relevan dengan kebutuhan masa depan itulah yang harus dipertemukan, dan bila perlu dibenturkan satu sama lain, bahk an juga dengan sisi positif budaya global yang mengalir deras ke seluruh pelosok negeri ini. Pertautan antar nilai budaya, baik lokal maupun global tersebut aka n melahirkan sintesa budaya yang dapat menjadi pijakan kokoh bagi peradaban baru Indonesia. Memang bukan pekerjaan mudah bagi jejaring Simpul Kesadaran` untuk memb angun sintesa budaya dan terus mengawalnya agar terbentuk peradaban baru. Bukan hal

mudah bagi para Simpul Kesadaran` untuk mengajak orang-orang sekitarnya, yang masih larut dalam kepentingannya sendiri, untuk bersama-sama membangun keberadaban ba ru di lingkungan masing-masing. Baik keberadaban baru dalam politik, bitrokrasi, dan hukum; keberadaban baru masyarakat Jawa, Papua, hingga keturunan Tionghoa; juga keberadaban baru komunitas agama serta adat. Tetapi dengan segala tantangan nya hal tersebut harus dilakukan, dan memang mungkin dilakukan. Keterpaduan aspe k jiwa serta profesionalitas diperlukan sebagai pilar utuhnya bangunan peradaban baru Indonesia, sebagaimana utuhnya keterpaduan Otak Kanan dan Otak Kiri dalam kehi dupan. Jiwa menjadi seperti api yang akan terus mengobarkan semangat kebaikan da lam berbangsa dan bernegara apapun kesulitan yang menghadang. Adapun profesional itas yang mengandung nilai-nilai kompetensi, integritas, serta kapasitas manajem en akan memastikan bahwa setiap langkah bangsa di masa depan akan selalu dapat d ipertanggungjawabkan menurut ukuran apapun, termasuk ukuran-ukuran universal. Ke satuan jiwa dan profesionalitas itu perlu mewarnai seluruh proses berbangsa dan bernegara, baik dalam pengelolaan negara maupun dalam kehidupan bermasyarakat. S elain kuat dalam jiwa dan profesionalitas, peradaban baru Indonesia tentu harus pula memiliki orientasi global, teknologi, dan keriwausahaan yang kuat. Pembekal an orientasi global akan membantu para Tenaga Kerja Indonesia sebagai pahlawan de visa bangsa` untuk lebih mampu bersaing dengan para pekerja bangsa lain dalam pasa r tenaga kerja menengah bahkan atas. Orientasi global akan menjadikan putra-putr a bangsa bukan cuma jago kandang` melainkan juga akan siap menjelajah luasnya dunia . Teknologi menjadi keharusan untuk dikuasai agar dapat tegak di antara bangsa-b angsa besar dunia. Sedangkan kewirausahaan bukan saja mendinamiskan, melainkan j uga akan mengantarkan bangsa pada kemakmuran. Untuk membangun peradaban baru ter sebut, pendidikan merupakan jalan utama untuk menyebarkan nilai-nilai penopang p eradaban baru Indonesia. Keteladanan para Simpul Kesadaran` untuk membebaskan lingk ungan kepemimpinan masing-masing dari pengaruh budaya lama yang feodal maupun da ri budaya pancaroba sekarang yang materialistis merupakan proses pendidikan terb aik bagi publik. Apalagi bila ditopang dengan pengembangan sistem yang memperkua t profesionalitas masyarakat. Pengembangan wilayah dan penataan kota sehingga te ratur, bersih, serta manusiawi juga merupakan sarana pendidikan publik yang efek tif untuk membangun peradaban baru. Lee Kuan Yew mengawali pembangunan Singapura dengan mengembangkan komplek perumahan moderen pada tahun 1964, Langkahnya ters ebut bukan hanya membuat Singapura maju secara fisik, namun juga berpengaruh pad a sikap dan perilaku masyarakatnya sekarang. Sebagai bagian pembelajaran untuk m engadopsi nilai-nilai peradaban baru, seremoni dan acara publik penting untuk di revitalisasi. Upacara dan acara pemerintah yang kaku dan mekanisitis yang terwar isi dari budaya birokrasi feodal sudah saatnya lebih

dicairkan agar efektif buat menyampaikan pesan yang diharapkan. Tak sedikit acar a adat yang perlu disegarkan agar menjadi keriaan yang dapat membangkitkan seman gat masyarakat serta terbebas dari simbol-simbol mistis yang mengada-ada dan mem bodohkan masyarakat Spiritualitas yang kuat yang dapat menjadi pijakan bangsa se lalu spiritualitasyang didasarkan atas kesadaran rasional, seperti Bushido di J epang. Bukan spiritualitas yang berlandaskaan pada mistis. Maka bela diri bangsa -bangsa seperti Jepang dan Korea juga lebih bertumpu pada kekuatan jiwa, dan tak dihubunghubungkan dengan mistis seperti umumnya bela diri bangsa ini. Pengajara n agama juga memiliki arti penting untuk membangun peradaban baru Indonesia. Sep erti seruan Bung Karno agar umat mengambil api` dan bukan abu` agama, pengajaran agama harus mampu memerdekakan jiwa dan membangkitkan etos bangsa. Adapun pembangunan peradaban baru yang perlu ditempuh melalui pendidikan formal adalah pengembanga n keteladanan guru, pembiasaan perilaku baik oleh lingkungan sekolah, serta peng ajaran yang bermuatan keterampilan hidup (life skills). Pengajaran tentang keter ampilan hidup di sekolah terbukti membuat masyarakat lebih mampu mengelola keseh atan diri, pandai mengelola ekonomi keluarga, serta efektif dalam berkomunikasi dan negosiasi. Pembangunan peradaban baru yang diperlukan Indonesia untuk maju j uga tak boleh terlepas dari pondasi yang telah dibangun para pendiri bangsa sert a pemimpin terdahulu. Presiden Soekarno telah berjasa membangun rumah peradaban baru tersebut dalam bentuk Pancasila yang mempersatukan kebhinekaan bangsa. Pres iden Soeharto berjasa mengamankan rumah Pancasila itu dari kehancuran agar Indon esia dapat membangun. Hanya karena kesalahan politiknya, jasa itu menjadi teraba ikan dan Pancasila tidak lagi dihargai secara semestinya oleh bangsa. Indonesia era baru harus mampu membangkitkan kembali Pancasila dan mendinamiskannya agar b angsa dapat mewujudkan kemakmuran yang didambakan masyarakat. Akhirnya, upaya be sar membantu Indonesia keluar dari jebakan keadaan sekarang dan menjadikannya be rjaya akan sulit diwujudkan tanpa ketulusan serta tekad semua. Terutama ketulusa n dan tekad para Simpul Kesadaran` yang mensintesakan budaya penopang peradaban bar u Indonesia. Sebuah peradaban yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang be rjaya, bermartabat, serta memakmurkan seluruh masyarakat. Jakarta, (eh) 26 Agust us 2008 Sumber: Soetrisno Bachir.com Like

Be the first to like this post. About this entry You`re currently reading Sintesa B udaya dan Peradaban Baru Indonesia, an entry on Desain Grafis Indonesia Published : May 18, 2009 / 6:53 am Category: Article Tags: 2008 , Soetrisno Bachir Tue, 17 Jan 2012 @07:30 Assalamualaikum www.ekibaihaki.com

Quote : Kebahagiaan tergantung pada apa yang dapat Anda BERIKAN, bukan pada apa yang Anda peroleh (Mohandas Ghandi) kumpulan tulisan MASA DEPAN ANAK KITA PEMIMPIN YANG CERDAS EMOSIONAL NIKASI WUJUDKAN HARMONI SOSIAL EKSISTENSI DAN PERAN AKTIVE DAN ENTREPRENEURIAL CAMPUS ETIKA JURNALISTIK AN REALITA PEMIMPIN YANG MENGINSPIRASI GOLPUT DALAM T Jangan Abaikan Kehendak Rakyat Haruskah TNI-Polri aya Masyarakat Polisi dan Masyarakat Saran & komentar ALBUM Januari 2012 Copyright 2012 ekibaihaki All Rights Reserved DAN SPIRITUAL KEMAHIRAN KOMU STRATEGIS PERS MAHASISWA PRO SAINS MODERN : KONTEMPLASI D PEMILU MENIMBANG WAKIL RAKYA Bersatu ? Polisi Yang Diperc

Anda mungkin juga menyukai