Anda di halaman 1dari 4

Tema essay : Generasi muda dan perannanya dalam pendidikan Judul : Si Muda adalah Si Agent of Change Karya : AZZAH

HIJAIYYAH Jurusan : IKOM 2011 Banyaknya halaman : 4 halaman

Si Muda adalah Si Agent of Change


Jika berbicara mengenai pendidikan mungkin semua orang sudah bisa menerka apa yang akan saya tulis dan saya paparkan dalam essay ini, tapi yang perlu digaris bawahi dari pembahasan yang akan kita bahas bersama kali ini adalah makna apa yang seharusnya di renungkan dan di refleksikan dalam kehidupan kita sebagai Agent of change dan generasi muda, apalagi jika berbicara mengenai berbagai masalah yang ada di Indonesia tentang pendidikan yang tidak kunjung menemui jalan terangnya, selayaknya pemuda yang memiliki semangat berkarya dan merubah dunia, kita harus mempunyai sikap yang benar terhadap permaslahan seperti ini. Sejak zaman dulu kala kita sudah mengetahui bahwa pendidikan merupakan hal yang diperlukan oleh semua orang, bahkan dapat dikatakan bahwa sesungguhnya pendidikan memang harus dialami oleh semua orang di setiap lapisan dan golongan. Tapi yang sangat disayangkan adalah pendidikan zaman sekarang sudah kehilangan arti dari pedidikan itu sendiri, makna yang sangat mulia dibalik kata pendidikan sudah tidak dalam posisinya lagi, banyak orang yang masih belum bisa memaknai apakah pendidikan itu sebenarnya? Sangat miris ketika harus membahas pendidikan di negeri indah nan elok kita yang tercinta ini, Indonesia. Sebuah negeri yang seharusnya bisa menjadi kebanggaan oleh bangsa lain tetapi menjadi sebuah blunder tersendiri ketika kita membahasnya dengan Negara lain. Berbagai macam permasalahan dalam negeri yang membuat bobrok nama negeri sendiri, mulai dari kriminalitas, korupsi, KKN, ekonomi sampai ke pendidikan. Padahal, jika kita berkaca dari Negara-negara tetangga yang sudah jauh lebih maju dari Indonesia, mereka bisa membangun negerinya menjadi maju karena sistem pendidikan mereka yang terstruktur dan sesuai dengan hakikat pendidikan. Jepang, Cina, Korea bahkan Negara tetangga yang paling dekat dengan kita yaitu Singapura sudah duluan lebih maju dari Negara kita ini.

Jepang pasca dibumihanguskannya Hiroshima dan Nagasaki oleh sekutu benar benar terjatuh dan hampir mustahil untuk membangunnya lagi dalam waktu yang singkat, tetapi dengan memanfaatkan sumber daya yang ada pemerintah jepang mengirimkan utusan-utusan beberapa orang guru yang masih hidup di jepang untuk dikirim ke Negara-negara maju untuk menuntut ilmu disana dan kembali lagi membawa ilmu yang sudah didapat untuk diimplementasikan di negaranya sendiri, nah inilah dia salah satu pembeda Negara kita dengan Negara Jepang ini, pemerintah jepang senantiasa mensuport dan mendukung seutuhnya para guru yang belajar diluar dan menjamu dan sangat dihargai sekali di ketika kembali ke tanah airnya, sedangkan Indonesia? Orang orang pintar dan cerdas yang menurut saya adalah aset besar Negara malah ditelantarkan dan tidak dihargai sama sekali di negerinya sendiri, mungkin ambil contoh kecil seorang insinyur berbakat kita pa Habibie yang sangat tidak dihargai di negeri sendiri dan malah sukses di negeri orang, jerman. Hampir seiisi jerman mengetahui Habibie, di Indonesia? Sebelum dia terkenal siapa yang tau Habibie? Sebelum melangkah lebih jauh mengenai bahasan kita tentang Indonesia, saya akan mengulas sedikit tentang makna yang seharusnya ada pada pendidikan itu apasih? Karena sudah sepatutnyalah kita harus mengetahui dan merenungkan makna dan hakikat pendidikan, dan mulai merefleksikannya di tengah-tengah tindakan/aksi sebagai buah refleksi yang kita lakukan. Pendidikan dalam bahasa Yunani berasal dari kata padegogik yaitu ilmu menuntun anak. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yakni : membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan atau potensi anak. Dalam bahasa Jawa, pendidikan berarti panggulawentah (pengolahan), mengolah, mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak, mengubah kepribadian sang anak. Ki Hajar Dewantara sendiri mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Jadi dari beberapa pengertian diatas dapat kita simpulkan bahwa pendidikan adalah sebuah usaha untu membantu seorang anak dalam memperoleh wawasan, ilmu dan bekal

kehidupan agar mudah dalam mencapai kedewasaan hidup. Seperti yang sudah kita ketahui bersama di dalam pendidikan sendiri tidak lepas dari 2 unsur ini, yaitu kognitif dan afektif yaitu, berfikir dan merasakan. Intinya dalam pendidikan selain kita berfikir untuk memperlajari sesuatu kita juga akan merasakan unsur unsur yang berkaitan dengan rasa suka, semangat dan lain lain. Seperti sebuah positioning stagement sebuah majalah anak anak Bobo teman bermain dan belajar merupakan salah satu dari sebagaian besar makna pendidikan yang sebenarnya, sangat mengedukasi sekali tetapi tetap menghibur. Tetapi Substansi pendidikan sendiri menurut Ki Hajar Dewantara adalah membebaskan manusia dan menurut Drikarya adalah memanusiakan manusia. Ini menunjukan bahwa para pakar pun menilai bahwa pendidikan tidak hanya sekedar memperhatikan aspek kognitif saja tapi cakupannya harus lebih luas jadi, ruang lingkup anak tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu, agar supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya dan juga pendidikan jadi tidak hanya sekedar main main tapi mulai naik level menjadi sebuah wadah memanusiakan manusia atau biasa disebut dehumanisasi. Masalah yang akan kita angkat seperti yang saya kutim dari sebuah penelitian tentang hakikat pendidikan adalah yang pertama, bahwa pendidikan di Indonesia menghasilkan robot . karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah atau tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Masalah kedua, sistem pendidikan yang top down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paula Freire (tokoh pendidik Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena peserta didik dianggap sebagai manusia yang tidak tahu apa-apa. Masalah yang terakhir adalah, model pendidikan yang hanya diorientasikan kepada manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Contoh sederhana yang bisa kita rasakan bersama sama adalah mulai tidak produktifnya para kaula-kaula muda seharusnya, dibalik kecanggihan teknologi di zaman modern ini banyak sekali efek samping dari fenomena berkembangnya zaman ini, seperti anak muda zaman sekarang terlalu disibukkan dengan gadget masing masing dan terjadi penurunan pemikiran pemikiran kritis karena terlalu banyaknya hiburan yang didapat, selain

datang dari para golongan muda itu sendiri, masalah juga datang dari golongan tua yang dalam hal ini seperti guru, dosen dan pihak pihak lembaga pendidikan yang sudah menggantikan unsur unsur pendidikan menjadi politik politik kotor yang berujung pada pengekangan pikiran para pelajar dan mahasiswa dan juga korupsi di sektor pendidikan yang kian merajalela. Seorang aktifis politik muda Soe Hok Gie pernah berkata Kita generasi baru, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau, siapa yang pantas disalahkan? Generasi tua yang terus menerus menyuarakan kebohongan untuk kemakmuran dirinya kita tahu kalau beliau adalah salah satu tokoh yang paling berperan besar dalam jatuhnya Soekarno dan rezim orde baru. Beliau juga pernah berkata kalau Guru bukan dewa yang selalu benar, dan murid bukan kerbau. Dan hal itu sudah menjadi gambaran tersendiri tentang apa yang terjadi dalam sistem pendidikan kita saat ini, bahkan sejak dulu kala memang sudah mulai bergeser dari fungsi yang seharusnya, dengan orientasi pendidikan yang hanya menghasilkan manusia yang memenuhi kebutuhan zaman tetapi bukan bersikap kritis terhadap zamannya. Catatan kehidupan harian yang sangat terkenal tentang tokoh muda berbakat ini harusnya bisa menjadi sebuah referensi inspirasi untuk kita sebagai generasi muda dalam memerangi ketidakadilan dan kemiringan makna pendidikan yang sudah tidak pada tempatnya lagi. Untuk itu kita sebagai Agent of Change harus mulai membenahi dan merenungkan lagi makna sebenarnya dari pendidikan itu sendiri agar bisa direfleksikan dalam kehidupan kita masing masing . dengan mulai mengubah pola pikir dan sudut pandang kita sebagai generasi penerus bangsa dan sebagai Agent of Change harus bisa menjadi lebih kritis dan mau bergerak walaupun tidak anarkis, Gie saja memulai pergerakannya di bidang politik dan hampir merubah dunia hanya dengan menulis, jadi banyak hal berguna yang bisa kita lakukan sebagai bukti dan sebagai bakti kita untuk negeri ini sebagai perwujudan nyata kita untuk mau merubah negeri ini, Agent of Change adalah muda , yang muda adalah Agent of Change, yaitu seorang pelopor perubahan.

Seorang filsuf Yunani pernah menulis nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda. Soe Hok Gie ( 1942-1969)

Anda mungkin juga menyukai