Anda di halaman 1dari 10

ESSAY COMPETITION HIMPUNAN MAHASISWA MANAJEMEN UNNES

Aplikasi Manajemen Syariah dalam Praktik Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal

Diusulkan Oleh: Achmad Furqon Riska Afriani Ummi Arifni (7211411017/Angkatan 2011) (7101411257/Angkatan 2011) (7211411040/Angkatan 2011)

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG SEMARANG 2013

Aplikasi Manajemen Syariah dalam Praktik Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal

Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati, sosial, dan budaya yang tersebar di seluruh nusantara. Indonesia mempunyai potensi wisata yang potensial untuk meningkatkan pendapatan nasional. Dilihat dari potensi wisata alam, terdapat lima potensi yang merupakan modal yang dapat memberikan sumbangan besar pada pembangunan ekonomi lokal, regional dan terciptanya lapangan kerja melalui pengembangan industri pariwisata. Kelima potensi tersebut seperti: (1) Alamnya yang indah dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, (2) Sumber daya manusia yang bisa dikembangkan, (3) Seni budaya yang beranekaragam, (4) Letak geografis yang strategis, (5) Kondisi iklim yang relatif baik sepanjang tahun untuk kegiatan wisata. (Iskandar Muda, 2010) Berdasarkan data The Travel and Tourism Competitiveness Index yang dilansir World Economic Forum 2013, daya saing pariwisata Indonesia mampu naik empat peringkat. Pada tahun 2012, pariwisata Indonesia berada pada peringkat 74 dunia, pada tahun 2013 ini meningkat menjadi peringkat 70 dari 140 negara. Hal yang menjadi unggulan pariwisata Indonesia yaitu harga yang bersaing, warisan budaya dan sejarah, serta kekayaan dan keindahan alam. (Ni Luh Made Pratiwi F Kompas, 5 April 2013). Melihat pluralitas yang ada di Indonesia merupakan potensi pariwisata yang dapat dikembangkan oleh daerah dengan ciri khas dan budaya yang tumbuh dan berkembang di daerah tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan kreativitas masyarakat untuk mengembangkan potensi yang ada agar dapat menarik wisatawan lokal, nasional, bahkan mancanegara. Belakangan, telah tumbuh suatu inovasi produk wisata syariah yang diakui telah membawa dampak positif bagi perekonomian negara. Menurut Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf), Sapta Winandar wisata syariah yang dimaksud di sini bukanlah wisata yang melulu berhubungan dengan masjid, pesantren atau makam bersejarah, melainkan wisata yang memegang prinsip-prinsip syariah Islam dengan tanpa mengubah obyek wisata pada umumnya. Negara-negara di dunia baik negara muslim maupun negara barat telah

menerapkan pariwisata syariah, seperti, Malaysia, Thailand, Singapore, Korea, Jepang, Taiwan, China, Inggris, dan sebagainya. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Penerapan basis nilai syariah dalam aktivitas ekonomi dan bisnis di Indonesia semakin berkembang, mulai dari tumbuhnya bank syariah, pasar modal syariah, asuransi syariah, hingga rumah sakit syariah dan rumah makan syariah dengan standar syariah yang telah diatur dalam DSN-MUI (Dewan Syariah Nasional dibawah Majelis Ulama Indonesia). Terdapat beberapa faktor yang layak menjadi alasan penerapan pariwisata berbasis syariah Islam di Indonesia menurut pandangan penulis yang pertama adalah tingginya angka wisatawan Muslim. Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menyadari minat masyarakat baik lokal maupun internasional yang sangat tinggi terhadap wisata syariah. Kemenparekraf mencatat, setidaknya kunjungan wisatawan Muslim ke Indonesia saat ini mencapai 1.270.437 orang per tahun yang antara lain berasal dari Arab Saudi, Bahrain, Malaysia, dan Singapura. Seperti juga negara-negara lain di dunia, produk dan pelayanan wisata dengan nilai-nilai syariah ini diminati oleh wisatawan muslim yang populasinya mencapai 1,8 miliar atau 28 persen total populasi dunia. Sejauh ini, beberapa daerah telah ditetapkan pemerintah sebagai tujuan wisata yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata dan tour syariah di Indonesia. Sembilan daerah itu adalah Sumatera Barat, Riau, Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Makassar, dan Lombok. Kedua, potensi pengembangan pariwisata syariah di Indonesia. dalam wawancara yang dilakukan oleh Agus Yuliawan dari Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) kepada Riyanto Sofyan, B.S.E.E., M.B.A. Chairman PT. Sofyan Hotels Tbk dan sekaligus Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia menyatakan bahwa terdapat perkembangan ekonomi syariah yang cenderung ke arah Islamic life style di samping pada bidang keuangan. Perkembangan bisnis pariwisata di Indonesia tidak lepas dari evolusi dari produk Sharia Compliant baik perdagangan jasa yang sangat prospektif selama ini. Pada tahun 1976 dilakukan evolusi kearah keuangan dan setelah ini kemudian berpindah kearah life style. Kontribusi produk makanan, minuman dan

kosmetik berkisar Rp 2,3 triliun sedangkan keuangan sekitar Rp 1 triliun. Mengacu pada besaran tersebut pariwisata syariah memiliki pertumbuhan sekitar 2/3 dari industri pariwasata di dunia. Khusus sektor pariwisata dunia besarannya di tahun 2014 bisa mencapai 126 milyar dollar jika dibandingkan dengan primadona incoming turis Indonesia dengan wisawatan Cina hanya sekitar 6,5 dollar. Melihat usaha industri pariwisata Indonesia menyambut wisatawan Cina dengan hampir besaran 20 kali lipat seyogyanya merupakan potensi yang sangat besar untuk menangkap Islamic life style. Riset yang pernah dilakukan seperti Wardah Cosmetics, penjualannya meningkat rata-rata 75 % pertahun dalam empat tahun terakhir, padahal menurut AC Nielsen rata-rata industri hanya meningkat 15 % pertahun. Wardah Cosmetics juga sempat masuk kelompok lima besar sementara lima produk lainnya adalah produk luar negeri. Hotel Sofyan yang merupakan pelopor hotel syariah di Indonesia sejak menerapkan prinsip prinsip syariah dalam operasionalnya, penjualannya meningkat rata-rata 15-20% pertahun dengan peningkatan penjualan tertinggi 60% dalam waktu 18 bulan pada salah satu unit hotelnya. Ketiga, peningkatan permintaan dunia terhadap produk halal. Banyaknya permintaan produk halal dari seluruh dunia, membuka celah bagi pasar halal termasuk di Eropa. Tak heran jika permintaan sertifikasi makanan halal pun ikut meningkat pula. Beberapa tahun belakangan ini trend halal semakin meluas bahkan hingga ke Amerika dan Eropa khususnya negara Jerman, Austria, dan Swiss (D-A-CH). D-A-CH sendiri merupakan sebutan bagi negara yang memakai bahasa Jerman sebagai salah satu bahasa utamanya. Jerman dengan penduduk sebesar 82 juta orang, saat ini kaum muslimnya menduduki peringkat ke-3 yaitu sebanyak empat juta orang. Begitu pula dengan di Austria sebanyak 340.000 orang dan 310.800 untuk Swiss. Jika dijumlahkan terdapat sekitar 4,6 juta muslim tinggal di negara-negara D-A-CH. Sementara European Union memiliki 16 juta penduduk muslim dan sekitar 54 juta muslim ada di seluruh Eropa. Meskipun tidak seluruh penduduk muslim mengkonsumsi produk halal dengan cara yang sama dan tidak semua menaati peraturan agama secara ketat dalam mengkonsumsi makanan. Tetapi pasar halal sudah menjadi sedemikian penting.

Dalam sektor pariwisata, terdapat ratusan ribu wisatawan yang berasal dari Timur Tengah berkunjung ke Thailand yang telah lebih dulu menerapkan wisata syariah. salah satu faktor mengapa banyak wisatawan dari Timur Tengah yang notabene muslim adalah disediakannya paket wisata syariah. paket wisata syariah ini memberikan fasilitas berupa hotel yang menyajikan makanan dan minuman halal, restoran pun demikian, kemudian memberi kesempatan untuk beribadah pada waktu sholat, sehingga wisatawan muslim tidak perlu khawatir bahwa mereka akan kehilangan kesempatan beribadah untuk dapat menikmati keindahan Thailand. Korea, Jepang, China dan Malaysia juga menerapkan demikian. Itulah ketiga alasan mengapa Indonesia perlu menerapkan pariwisata syariah yang penulis ingin paparkan. Di Indonesia sendiri, masih terdapat hal yang menjadi masalah dalam pariwisata, pertama, kelemahan pada level citra atau image. Indonesia tergambar sebagai negara atau wilayah yang tidak aman, fluktuasi politik tidak pasti, dan citra kisruh sosial yang dianggap berkepanjangan. Citra itu tidak menggambarkan keadaan Indonesia yang sebenarnya, tetapi citra kisruh tersebut ada di pikiran komunitas pariwisata internasional. Peringatan perjalanan (travel warning) dari AS yang pernah berlangsung bertahun-tahun menghambat pengembalian citra Indonesia untuk menjadi negara tujuan yang aman. Misalnya peristiwa bom Bali pada tahun 2005 tepatnya di Kuta dan Jimbaran yang dengan sedikitnya 23 orang tewas dan 196 lainnya luka-luka. Serta tragedi pengeboman di Ritz Carlton dan JW. Marriot Kuningan pada tahun 2009 yang selain memakan korban jiwa juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan Klub elit Liga Premier Inggris Manchester United mengurungkan niatnya untuk datang ke Indonesia dalam rangka tour keliling Asia dengan alasan keamanan. Kedua, elemen promosi dan pemasaran pariwisata Indonesia lemah karena tersangkut dengan birokrasi yang geraknya terbatas. Kultur birokrasi Indonesia sulit berubah dan berkembang untuk membawa misi program internasional yang dinamis dengan tantangan kompleks. Birokrasi Indonesia bisa bergerak dinamis jika ada pemimpin yang kuat di departemen yang bersangkutan. Itu merupakan kelemahan mendasar dari promosi kita selama ini karena sistemnya tidak berjalan

dinamis, spontan, dan otomatis. Karena itu, jalan untuk memperbaiki fungsi promosi dan pemasaran tersebut harus direformasi dengan melibatkan elemen yang dinamis di luar birokrasi, terutama sektor private dan stakeholder lainnya yang terkait erat dengan pariwisata itu. Aspek perencanaan pariwisata tidak memadai serta kemampuan

mengantisipasi peluang dan tantangan ke depan jauh dari yang diharapkan. Akibatnya, kegiatan pariwisata yang ada sekarang bersifat apa adanya. Daya tarik wisata hanya warisan dari yang sudah ada, bahkan tidak ada pengembangan secara memadai agar daya tarik tersebut dipelihara. Tidak sedikit pula daya tarik pariwisata yang mengalami kemunduran, punah, dan hilang begitu saja karena tidak ada usaha yang cukup memadai untuk menjaganya. Bahkan, yang paling naif, kesadaran masyarakat di masing-masing daerah untuk menjaga kelestarian daya tarik wisata tersebut juga tidak ada sama sekali, baik dari pemerintah maupun pemerintah pusat. Ketiga, kelemahan yang mendasar pada birokrasi Indonesia tidak lain adalah kelemahan dalam sistem koordinasi. Pada pemerintahan sekarang ini, banyak kebijakan lintas sektoral yang terbengkalai karena masalah birokrasi. Sektor pariwisata terkait dengan 17 urusan di sektor atau departemen lainnya yang tidak mudah dalam sistem koordinasi. Ciri birokrasi di Indonesia adalah ekslusivitas negatif yang melekat dalam tindakan dan kiprahnya dalam menjalankan pelayanan publik. Jika hendak mengatasi masalah itu, kita perlu membangun sistem koordinasi pada level tinggi, yang diwajibkan UU agar sektor terkait memberikan dukungan kuat terhadap kebijakan dan program untuk pencapaian tujuan dan sasaran pariwisata. Koordinasi diangkat di atas level menteri agar ada otoritas koordinasi yang efektif untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Keempat, kelemahan dari pariwisata Indonesia juga terletak pada sistem perencanaan dan implementasi di lapangan. Birokrasi rumit dengan berbagai sektor yang banyak dan beragam dengan prioritas tidak pasti. Dalam keadaan seperti itu, pariwisata yang terkait dengan banyak sektor sulit dikoordinasikan. Setidaknya 17 urusan atau sektor terkait dengan pariwisata merupakan kerumitan tersendiri bagi birokrasi sehingga melemahkan sistem perencanaan ke depan.

Kelembagaan koordinasi menjadi langka dan sangat penting untuk dijalankan sebagai sebuah sistem, yang harus dijalankan oleh departemen terkait. Pimpinan koordinasi, ternyata, memang tidak bisa efektif pada level menteri sehingga harus dinaikkan pada level presiden atau wakil presiden. Kelima, masalah sumber daya manusia. Indonesia belum banyak memanfaatkan keunggulan yang dimiliki bangsa ini, yaitu keramahan, kejujuran, dan kerja keras dalam memberikan pelayanan secara tulus dan bersahaja. Kekuatan tersebut tampak jelas dan diakui di Asia, yaitu oleh penduduk Hong Kong dan Taiwan yang berebut untuk mendapatkan tenaga kerja asal Indonesia karena keterampilan dan pelayanannya. Jika sepuluh tahun lalu hanya ada 10.000 TKI di Hong Kong (saat itu tenaga kerja asal Filipina sudah mendekati 150.000),maka jumlah TKI saat ini sudah mencapai 150.000, sementara tenaga kerja asal Filipina turun hingga 100.000 orang. Di Taiwan, jumlahnya mencapai 160.000 orang. Ini berarti Indonesia akan memiliki orang-orang yang lebih berkualitas yang akan kembali ke berbagai pelosok desa dalam sepuluh tahun ke depan karena exposure internasional yang lebih baik, namun bukan karena upaya Kementerian Pendidikan. Saat SDM Indonesia diperebutkan sebagai pelayan rumah tangga dan caregiver di negara-negara Asia Timur, terdapat segmen yang lebih membutuhkan kerja sama, pengetahuan dan teknologi, seperti sektor pariwisata ini. SDM untuk pariwisata syariah mau tidak mau harus mengetahui hukum syariah dalam Islam, terutama yang berkaitan dengan pemberian service kepada wisatawan. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan pariwisata Indonesia di atas, penulis mencoba menawarkan solusi berupa implementasi manajemen berbasis syariah dalam hal pemasaran dan sumber daya manusia. Manajemen syariah adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan ilmu manajemen konvensional yang diwarnai dengan aturan Al-Quran, hadis dan beberapa contoh yang dilakukan oleh para sahabat dalam pengelolaan untuk meraih hasil yang optimal yang mendatangkan manfaat untuk kepentingan bersama. Oleh sebab itu maka segala sesuatu langkah yang diambil dalam menjalankan manjemen tersebut harus berdasarkan aturan-aturan Allah. Aturan-aturan itu tertuang dalam Al-Quran, hadis dan beberapa contoh yang dilakukan oleh para sahabat. Sehubungan dengan

itu maka isi dari manajemen syariah adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan ilmu manajemen konvensional yang diwarnai dengan aturan Al-Quran, hadis dan beberapa contoh yang dilakukan oleh para sahabat. Dari definisi tersebut diatas. maka lingkup manajemen syariah sangatlah luas, antara lain mencakup tentang pemasaran, produksi, mutu, keuangan, sumber daya alam, sumber daya manusia, dan masih banyak hal lagi yang belum tersebutkan. Semua orang telah mengetahui bahwa prinsip-prinsip ekonomi pada umumnya dan manajemen pada khususnya selalu mengagungkan perolehan hasil sebesar-besarnya dengan kerja sekecil-kecilya. Prinsip konvensional ini berkembang pesat di dunia barat. Islam tidak menentang prinsip konvensional ini bahkan mendorong prinsip itu. Masalahnya adalah manajemen syariah hanya menambahkan rambu-rambu penerapan prinsip konvensional agar tidak hanya ditujukan untuk memperoleh hasil di dunia saja melainkan harus dibarengi dengan perolehan hasil di akherat. Adanya rambu-rambu ini diharapkan para pelaku ekonomi pada umumnya dan manajemen pada khususnya mempunyai rem yang cukup pakem untuk tidak merugikan orang lain. Untuk memahami manajemen syariah ini harus terlebih dahulu mengetahui pandangan Islam tentang harta dan dasar-dasar sistem ekonominya. Diterangkan dalam AI-Quran bahwa harta adalah sebuah obyek yang digunakan menguji manusia dan harta juga sebuah sarana untuk melaksanakan taqwa. Selain itu diperingatkan pula bahwa harta dapat membawa mala petaka manusia di akherat nanti bila salah menyikapinya. Ada dua pandangan Islam dalam melihat harta; sebagai suatu hak atau kepemilikan sesama manusia, Islam sangat menghargainya sedang dalam hubungan manusia terhadap tuhannya, manusia tidak mempunyai hak sama sekali. Bertolak dari dasar-dasar tersebut diatas maka semua yang dilakukan dalam manajemen syariah yang dititik beratkan pada bidang ekonomi tidak akan lepas dari kehati-hatian dalam menyikapi harta. Maka penerapan manajemen syariah secara utuh tidak akan membuat orang saling menindas dalam menjalankan roda perekonomian. Semua orang akan merasa diuntungkan karenanya.

Salah satu faktor utama jatuhnya perekonomian di Indonesia adalah dibangun oleh mereka yang kurang mempertimbangkan akhlak berekonomi. Selain mengikuti sistem ekonomi liberal (konvensional) yang didalamnya juga mengikuti manajemen liberal (konvensional), mereka juga melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kejujuran. Hasilnya dapat dilihat sekarang ini. Apa yang dilakukan para pelaku ekonomi kelas atas dampaknya dipikul oleh seluruh rakyat Indonesia. Dengan adanya sistem ekonomi syariah pada umumnya dan manajemen syariah pada khususnya diharapkan para pelaku ekonomi dan manajer mempunyai rambu-rambu yang mungkin selama ini belum dikenalnya. Rambu-rambu itu dapat meratakan kemakmuran kesegala lapisan masyarakat. Sebagai contoh, manajemen syariah memberikan rambu-rambu pada sistem jual-beli. Dikatakan dalam rambu-rambu itu bahwa orang kota dilarang mencegat dan memborong dagangan orang desa dengan maksud agar orang desa tidak bisa mengetahui harga pasar. Dikatakan juga bahwa Islam tidak boleh mematok harga sehingga pasar tidak bisa mengikuti hukum "permintaan dan penyediaan". Untuk mendorong kegigihan berusaha, dalam manajemen syariah terdapat sebuah dorongan yang mengatakan bahwa "di dalam kesulitan ada kemudahan". Contoh-contoh kecil tersebut menunjukkan adanya sistem yang gigih dan berpihak pada mereka yang sering dirugikan untuk menuju suatu sistem pasar bebas. Dengan dikenalnya berbagai rambu-rambu yang ada dalam manajeman syariah diharapkan gema kegigihan, kejujuran, pemerataan, dan perlindungan pada mereka yang lemah akan mewamai perekonomian dan pemerintahan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Muda, Iskandar. 2010. Strategi Pengelolaan Taman Wisata Alam Lembah Harau Kabupaten Limapuluh Kota Provinsi Sumatera Barat. Bogor: IPB Repository Rachbini, J. Didik. 2008. Kelemahan Mendasar Pariwisata Indonesia. Jawapos Riyanto. 2013. Ceruk Manis Pariwisata Syariah Indonesia. Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah 24 Oktober 2013 Syamsudin, Ahmad. 2013. Menakar Potensi Indonesia sebagai Surganya Wisata Syariah Dunia. Dirjen Bimas Kemenag RI F, Ni Luh Made Pertiwi. 2013. Daya Saing Pariwisata Indonesia Meningkat.http://travel.kompas.com/read/2013/04/05/08351996/Daya.Saing.Pari wisata.Indonesia.Meningkat. diakses pada 26 Oktober 2013

10

Anda mungkin juga menyukai