Anda di halaman 1dari 7

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL

JUDUL KARYA : Balinese Lamak

PENCIPTA : Ni Luh Desi In Diana Sari, S.Sn.,M.Sn

PAMERAN The Aesthetic Of Prasi 23 rd September 5th October 2013 Cullity Gallery ALVA UWA Western Australia Mon Friday 9am 5pm

FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2013

DESKRIPSI KARYA

JUDUL : Balinese Lamak PENCIPTA : Ni Luh Desi In Diana Sari, S.Sn.,M.Sn MEDIA : Lontar, Kemiri, Pengerupak UKURAN : 37 x 16 cm TAHUN : 2013 DI PAMERKAN PADA PAMERAN The Aesthetic Of Prasi 23 rd September 5th October 2013 Cullity Gallery ALVA UWA Western Australia Mon Friday 9am 5pm

Abstrak Balinese Lamak merupakan karya seni Prasi, dimana sumber ide berasal dari Lamak yang digunakan sebagai sarana upacara. Diletakkan ditengah tengah pelinggih berfungsi sebagai altar. Kehadiran segenap simbol pada karya Balinese Lamak merupakan penggambaran alam semesta dengan tiga tingkatan terdiri dari alam bawah (pertiwi), tengah dan atas (Bhur, Bwah dan Swahloka). Mengandung makna sebagai wujud syukur atas anugrah keindahan yang telah Tuhan ciptakan bagi kehidupan umat manusia. Wujud syukur tersebut hendaknya diwujudkan melalui tindakan positif dengan senantiasa menjaga alam agar roda kehidupan dapat berjalan seimbang dan harmonis. Kata Kunci : Balinese Lamak, Seni Prasi DESKRIPSI KARYA Balinese Lamak Lontar bagi tradisi masyarakat Bali banyak digunakan sebagai media untuk menuangkan gagasan ide baik berupa tulisan maupun gambar. Lontar sendiri berasal dari pohon rontal yang sudah dikeringkan kemudian diolah dengan bahan bahan tradisional agar Lontar dapat bertahan lama. Seni menggambar diatas lontar dikenal dengan istilah Prasi. Menggambar disini dilakukan dengan menorehkan lontar menggunakan pisau bermata runcing disebut dengan Pengerupak. Untuk memberikan efek warna pada torehan tadi, bahan warna yang digunakan adalah kemiri dibakar hingga berwarna kehitaman. Selanjutnya kemiri ini digosokkan diatas lontar yang telah ditoreh tadi. Maka warna dari kemiri akan menempel pada bagian lontar yang telah ditoreh memberikan kesan etnik , tradisional dan unsur craftsmanship. Balinese Lamak merupakan karya Prasi dengan sumber ide berasal dari Lamak yang dijumpai pada sarana upacara umat Hindu di Bali. Lamak sebagai sarana upacara banyak ditempatkan pada bagian tengah dari Pelinggih (tempat pemujaan) yang berfungsi sebagai altar. Kata Lamak atau Ceniga berasal dari kata Lelamak yang mengandung arti Dasar. Sedangkan kata Ceniga, berasal dari kata Cuni dan Ga berarti permata atau cahaya. Suku kata Ga, mengandung pengertian galang, dengan demikian kata Ceniga mengandung arti sinar suci atau manifestasi. Lamak mengandung

makna sebagai dasar permohonan manifestasi Hyang Widhi agar dianugrahkan sinar sucinya sebagai sinar Widya (ilmu pengetahuan) (Sudarsana,2010:40). Bentuk Lamak yang dijadikan sebagai sarana upacara, umumnya berbentuk persegi panjang dengan hiasan pepatran ditengah tengah. Hiasan ini mengandung makna pilosofi sebagai simbol kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai pencipta alam semesta beserta isinya. Simbol alam semesta ini, kemudian dituangkan pada karya Balinese Lamak melalui hiasan yang dihadirkan. Hiasan paling bawah adalah patra mas masan berbentuk menyerupai bunga bermekaran. Melambangkan alam yang subur dengan bunga bunga indah bermekaran hasil ciptaan Tuhan dengan segala manifestasinya. Alam indah yang telah diciptakan Tuhan bagi mahluk hidup harus tetap dijaga keseimbangannya agar dapat memberikan kebermanfaatan bagi seluruh umat manusia. Salah satu cara menjaga alam menurut tradisi umat Hindu di Bali dilakukan dengan upacara Yadnya. Mempersembahkan yang terbaik bagi alam demi keseimbangan dan keharmonisan kehidupan umat manusia. Pada bagian tengah lamak terdapat figur perempuan dengan ciri khas bentuk segitiga terdiri dari tiga unsur yakni kepala, badan dan kaki. Figur ini dalam tradisi umat Hindu Di Bali disebut dengan istilah Cili berarti kecil dan indah, dikenal sebagai Dewi Padi (Rice Mother, Nini Pantun) (Covarubias, 1989:171). Simbol Cili atau Deling berfungsi sebagai sarana pemujaan kepada Dewi Padi sebagai simbol kehidupan manusia pada umumnya dan juga simbol mengenai kesuburan manusia (Brinkgreve, 1992:110). Perwujudan Cili pada lamak disebut sebagai sampian Cili dengan hiasan wajah yang menyimbolkan kekuatan keindahan atau simbol kedewataan. Mengandung makna sebagai permohonan keindahan (Sudarsana, 2010:46). Simbol Cili yang dihadirkan pada karya ini mengandung makna sebagai permohonan kepada Sang Hyang Widhi Wasa agar senantiasa dianugrahkan kerahayuan dan keselamatan terhadap Bhuana Agung dan Bhuana Alit agar kehidupan di Bumi bisa terus berjalan harmonis. Pada bagian atas karya Balinese Lamak terdapat gambar menyerupai bentuk matahari dengan pancaran cahayanya sebagai simbol Surya (Sang Pencipta dan Penguasa Alam Semesta). Tuhan adalah maha tinggi yang diasosiasikan dengan cahaya. Pancaran cahaya memberikan warna pelangi, memberi nafas pada

kehidupan, penguasa ruang, memberi spirit (tenaga). Matahari sebagai lambang kebaikan yang menguasai langit dan bumi. Menopang seluruh kehidupan dan mengintrol alam, manusia, semesta. Kehadiran segenap simbol pada karya Balinese Lamak mengandung makna sebagai wujud syukur atas anugrah keindahan yang Tuhan ciptakan untuk keharmonisan hidup. Kita sebagai manusia hendaknya harus senantiasa menjaga alam terdiri dari tiga tingkatan yakni bawah, tengah, atas (Bhur, Bwah, Swah) agar roda kehidupan ini dapat terus berputar seiring sejalan.

Kepustakaan Brinkgreve. (1992), Offering, The Ritual Art of Bali, Singapore, UIC Printing and Packaging Pte, Ltd. Covarubias, Miguel. (1989), Island of Bali, Oxford University Press, New York. Francine. Sudarsana, Putu, I.B. (2010), Teknik Metetuasan dalam Upakara Agama Hindu di Pulau Bali, Yayasan Dharma Acarya, Bali.

Lampiran Katalog Pameran The Aesthetic Of Prasi

Katalog Pameran Tampak Depan

Katalog Pameran Tampak Belakang

Anda mungkin juga menyukai