Anda di halaman 1dari 6

Sinkrum-asinkrum : Sintesa Irama Merdeka

Oleh : Supatmono

Sejarah

gamelan

berangkat

dari

kebutuhan

diri

mengekspresikan keagungan irama hidup penyetia ( Jw : tuhu ). Uniknya ekspresi keagungan itu bertujuan juga untuk menguraikan muatan batin kebenaran diri yang maknawi dan mungkin terbarukan. Harmoni dihadirkan selayak butiran hujan di atas kolam : bergericik, memantul-mantulkan butirnya enggan, ada perbedaan bersifat langit ( samawi ) jatuh ke permukaan kolam sebagai keserempakan keberadaan ( Sinkrum ). Sama-sama menjadi awal perambatan gelombang, pengimpuls nada diri asali yang tidak lenyap oleh perbedaan karena berwadah sama. Nada-nada mengalir sambung menyambung, hampir kontinyu, seperti rambatan gelombang di atas permukaan air itu sendiri : bertepi , tenang dan menghanyutkan diri dalam makna kesejajaran komunal. Larasnya menggemakan

fenomena impuls menuju kedalamannya sebagai gema yang terukur secara dasariah oleh siapa pun yang bergrahita. Bagi penyetia

kehadiran perbedaan nada adalah layaknya kemungkinan diri mengekspresikan keberadaan yang bermuka dan berperan.

Ada daya yang terekspresikan datar saja. Dan bila mengedepankan kekuatannya, maka dihadirkan sebagai pengerahan daya yang terukur, berangsur-angsur dan teratur hingga ekspresi daya klimaksnya, kemudian menurun kembali secara pelan dan berangsur. Ada gaya yang terungkap dalam kehalusan penggarapan komposisi, dan dihadirkan oleh perbedaan nada atau ambitus instrumen musik yang tak luas namun representatif, tipis tidak meliar. Nada-nada yang dihadirkan dengan cara jelas menggambarkan tekanan atas waktu / momentum menjadi aksen-aksen khusus dari sebuah tangkup irama. Menarik pendengar untuk meluangkan ruang dengar dan waktu konsentrasinya dalam bahana komunal. Pengulangan nadanadanya mengandung aspek keberajaran atas watak tenang dari sebuah komposisi. Ada front ekspresi kewajaran batin sederajat yang ditawarkan sebab-sebab kehadiran ilahiah dan menuntun diri pada kesadaran-kesadaranNya secara reflektif. Kebiasaan, tata cara dan prosedur formalitas tidak mesti represif dan membosankan, namun mungkin hadir sebagai diri sendiri yang kadang enggan, hanya sekedar menghafal dan bahkan hanya sekedar ikut-ikutan. Dan betapa pun rendahnya kualitas partisipasi diri dalam komposisi ritmis, tetaplah harus terakomodasi sebagai

keindahan

swara

Sinkrum-sinkrum.

Demikianlah

gamelan

mewadahi nada diri. Sejarah jazz adalah sejarah prasangka rasis pemasung dan pemenjara irama yang dinding-dindingnya digedor, digetarkan oleh pasrah irama sang tawanan. Rantai belenggu keruangannya yang fisikal dipalu oleh nada-nada pembebas yang mengusung lengking, gerai dan gumamnya terbang ke langit harap terkejora. Yang

menemukan malaikatnya hingga menjelma simptom-simptom yang mampu merubah dan menggerakkan kebencian menjadi kejujuran diri bernurani. Semua terlibat secara kompositif. Kadang lirih merepih, kuat menghentak, kemudian sendiri namun reflektif, setelah itu serempak dan mengundang gairah penyendiri-penyendiri untuk sejenak melupakan diri alienatif menemukan kebersamaannya yang manusiawi. Kekuatan relevatif itulah spirit pewarna musik Jazz, yang secara berangsur diterima sebagai suara-suara kemanusiaan, termiliki siapa pun yang merasa memiliki dan terawat oleh siapa pun yang peduli. Pada akhirnya menjadi pengaya khasanah musik dunia. Ada pertarungan yang terbungkus dalam hentakan-hentakan iramanya sebagaimana kemanusiaan yang berdaya, berkekuatan lahiri. Tidak serempak benar (Asinkrum). Kesepakatannya muncul dari kesamaan empatik-simpatetik bernaluri pesadar-derita yang

sama. Kepuasan pekerja paksa / budak yang pernah menyelesaikan tanggung jawab betapa pun kasarnya, terekspresikan dalam interludeinterlude masai namun kedekatan keruangannya niscaya.

Ketaatannya meliarkan diri tak tergantung waktu ekspresif, namun tergantung pada ketuntasan sebuah improvisasi impresif.

Individualitas melahirkan unjuk rasa yang sebenar-benarnya unjuk rasa, memprotes diri sendiri agar tetap menghargai diri / apresiasi positif. Keseganan diri untuk meminta kepada siapa pun penaja nada dan irama, melahirkan kesanggupan / otoritas diri membuat jenis irama dan nada baru. Kekuatan otentik pelahir orisinalitas karya diri tetap berusaha memelihara potensi kreatifnya, sehingga diri yang mampu, akhirnya memang benar-benar mampu melahirkan musik berbeda : Jazz itu sendiri. Memang, percakapan itu tak harus verbal dan teratur namun bisa jadi dialog-dialog asinkrum. Berbagi itu tak senantiasa harus curhat dengan yang biasa dekat namun mungkin saja sekedar mengabarkan kebersamaan pada kesendiriannya, dan atau sebaliknya kesendirian pada kebersamaannya. ******** Musik merdeka adalah wacana bagi irama kompositif. Musik selayaknya digunakan sebagai media terawal yang dapat menawarkan jenis

kepada manusia pemeliharaan kecerdasannya melalui pengenalan aspek-aspek aksentuatif karakter diri. Pada bulan Agustus : bulan merdeka, layak direaktualisasi patronase musik Indonesia. Musik merdeka itu harus mampu merepresentasikan kelanggengan eksisten, sesuai dengan harapan Indonesia yang lestari, damai dan kaya makna komunal : nasionalisme Indonesia. Gamelan layak diproposalkan untuk mewakili semangat tersebut. Pada sisi lain integritas pribadi perlu dikedepankan sejalan dengan semangat kebebasan berekspresi. Pengembangan individu yang lincah dan sergap menangkap lengking suara batini, teraktualkan dalam karya ekspresif pengejawantah kejuangan harus dijadikan prioritas untuk menjawab isu globalisasi. Jazz dan semangatnya cukup mewakili idea tersebut. Akhirnya reaktualisasi perkawinan irama gamelan-jazz harus kita kembangkan secara lebih mendasar, agar musik merdeka benarbenar dapat dijadikan ciri khas musik Indonesia yang memahamkan kompetisi individu, persaudaraan dan pergaulan sederajat, kepedulian empatetik, kecerdasan dan keagungan spiritual sekaligus. Ide ini memang bukan lah sesuatu yang baru, mengingat seniman musik Jazz di Indonesia banyak yang telah melakukan kolaborasi dengan seniman gamelan, dan melahirkan komposisi Jazz yang cukup banyak. Tulisan ini menawarkan sebuah konsep musik beridentitas

Indonesia populis dan mungkin menjadi komoditas yang kuat, ringan dan mampu membebaskan penjara irama hidup romusha, pekerja rodi, atau siapa saja anak negeri yang pernah terpenjara dan tertindas irama hidupnya oleh kolonialis atau hegemoni materialistik atau otoritas lain. Semoga bukan sekedar harapan kosong bagi pencarian sebuah identitas musik bangsa merdeka. ***** Jatiwaringin, 11 Agustus 2003 Penulis adalah pemerhati musik dan penggiat musikalisasi puisi

Anda mungkin juga menyukai