Anda di halaman 1dari 6

Effectiveness of Multifaceted Educational Programme to Reduce Antibiotic Dispensing in Primary Care : Practice Based Randomised Controlled Trial

Diajukan kepada : dr. Rizka H. Asdie, SpPD KPTI Oleh: dr. Jalu Panjongko Introduksi Resistensi antibiotik merupakan salah satu masalah di bidang kesehatan masyarakat dan penggunaan antibiotik yang tidak rasional adalah salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kejadian resistensi antibiotik di masyarakat. Sebagian besar peresepan antibiotik dijumpai di pusat pelayanan kesehatan primer untuk pengobatan bronkitis, rhinitis, otitis, sinusitis dipertanyakan rasionalitasnya. Penggunaan antibiotik meningkatkan resiko seseorang menjadi karier dan terinfeksi oleh mikroorganisme yang resisten antibiotik. Selain memicu timbulnya resistensi peresepan antibiotik yang tidak rasional juga akan meningkatkan resiko timbulnya efek samping obat serta tidak ekonomis. Resistensi antibiotik sering dijumpai di pusat pelayanan kesehatan primer dan seringkali menyebabkan simptom penyakit bertahan lebih lama. Menggunakan antibiotik secara rasional dan mengurangi peresepan antibiotik mampu mengurangi terjadinya angka kejadian resistensi antibiotik. Meskipun peresepan antibiotik untuk pasien rawat jalan di negara berkembang sejak tahun 1990an telah banyak berkurang, tetapi penggunaan antibiotik spektrum luas di Inggris dan AS sejak tahun 2000. Sebagai contoh misalnya terjadinya peningkatan penggunaan untuk anak-anak sepanjang tahun 2003 sampai dengan 2006. Di Inggris, kampanye tentang pentingnya penggunaan antibiotik yang rasional berlangsung secara terus menerus sampai dengan sekarang tetapi tetap tidak mampu mengurangi angka peresepan antibiotik di pusat pelayanan kesehatan primer. Intervensi yang yang dilakukan akan efektif apabila multisegi dan dapat diaplikasikan beragam jenis infeksi di berbagai kelompok umur dibandingkan dengan bila terfokus pada strategi tunggal untuk 1 kondisi dan 1 kelompok umur (misalnya guideline untuk nyeri tenggorokan pada anak-anak). Mengubah perilaku klinisi terkait peresepan antibiotik adalah masalah yang komplek. Penggunaan guideline juga tidak efektif meskipun klinisi juga ikut serta dalam proses pembuatan guideline. Beberapa systematic reviews diketahui bahwa intervensi yang dapat digunakan untuk mengubah perilaku klinisi terkait peresepan antibiotik adalah pendekatan dari berbagai segi (multisegi). Intervensi yang menggunakan campuran dari beberapa metode pembelajaran menawarkan berbagai variasi, fleksibilitas dan kemudahan tetapi ekfektifitasnya masih diragukan. Intervensi yang berdasarkan oleh teori-teori perubahan perilaku cenderung lebih efektif. Sebagai contoh misalnya, keputusan pemilihan antibiotik diikutsertakan juga pendapat dari pasien.

Mengurangi peresepan antibiotik di pusat pelayanan kesehatan primer idealnya tidak mengorbankan meningkatnya konsultasi ulang, angka rujukan ke rumah sakit dan tentu saja biaya. Pada penelitian ini dikembangkan metode yang disebut STAR (Stemming Tide of Antibiotic Resistance) sebagai suatu metode pembelajaran yang multisegi (e-learning, praktek klinis sehari-hari, pengalaman klinis dan refleksi), tanggap terhadap keadaan setempat (umpan balik terhadap kondisi data dari praktek klinis sehari-hari seperti dispensing antibiotik dan angka resistensi) dan berdasarkan rekomendasi sebelumnya. STAR menggunakan keterlibatan bertahap dan proses pelaksanaan untuk mencapai sertifikasi pada penyelesaian portofolio belajar dan kemudian berusaha untuk mempertahankan perubahan melalui pertukaran pengalaman melalui internet. Berdasarkan teori pembelajaran sosial, intervensi terhadapat klinisi adalah untuk mengembangkan rasa penting tentang perubahan ("mengapa" harus berubah) dan kepercayaan diri mereka dalam kemampuan mereka untuk mencapai perubahan ("bagaimana" supaya berubah). Kami menetapkan apakah program STAR dapat mengurangi pengeluaran antibiotik untuk semua penyebab pada tingkat praktek dalam perawatan primer tanpa meningkatkan konsultasi, penerimaan ke rumah sakit untuk penyebab yang dipilih, dan biaya.

Metodelogi Setting Penelitian ini dilakukan di pusat pelayanan kesehatan primer di Wales Inggris periode 2007 sampai dengan 2008. Di Inggris, semua warga terdaftar di pusat pelayanan kesehatan primer tanpa memandang usia. Daftar pasien di suatu pusat pelayanan kesehatan primer bervariasi dari waktu ke waktu. Jasa yang diperoleh oleh dokter bergantung dari jumlah pasien yang terdaftar sehingga daftar tersebut tetap up to date. Desain Penelitian Penelitian ini membagi pusat pelayanan kesehatan primer menjadi 2 kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Pasien yang terdaftar di suatu pusat pelayanan kesehatan primer dapat berobat dengan dokter siapapun di klinik tersebut. Hasil yang diobservasi pada penelitian ini adalah angka dispensing obat antibiotik oral untuk sebab apapun selama satu tahun di suatu pusat pelayanan kesehatan primer . Dokter umum yang ikut serta dalam penelitian ini sebelumnya telah dimintakan informed consent. Randomisasi dan Blinding Radomisasi pada penelitian ini dilakukan setelah proses perekrutan dokter umum yang ikut serta dalam penelitian ini selesai, semua peserta penelitian ini juga telah menandatangani informed consent. Pada penenelitian ini awalnya dibagi 3 kelompok dimana dari ketiga kelompok tersebut kita pilih untuk dimasukkan ke dalam kelompok kontrol atau intervensi dengan mempertimbangkan berbagai faktor pengganggu seperti angka peresepan antibiotik sebelumnya, SDM di tempat praktek tersebut dan proporsi dokter umum di tempat tersebut. Intervensi

Intervensi yang dikerjakan pada penelitian ini adalah gabungan dari pengalaman belajar untuk peserta dan merupakan kombinasi dari berbagai metode belajar dan topik (refleksi, penggunaan guideline terbaru, rekaman video berisi cara komunikasi yang baru, berbagi pengalaman dan pandangan melalui internet, serta seminar). Hasil Penelitian Penelitian ini menggunakan data dari prescribing Audit Reports and Prescribing Catalogues (PARC) dengan menghitung data antibiotik yang dikeluarkan per 1000 pasien per tahun setelah intervensi dengan STAR. Database tersebut berisi dosis atau total volume/jumlah antibiotik yang diresepkan tetapi tidak untuk jumlah dosis harian. Apabila ada antibiotik yang sama yang diresepkan untuk pasien yang sama pada saat yang sama maka akan dihitung sebagai 2 item. Outcome sekunder pada penelitian ini adalah angka admisi ke rumah sakit, dan konsultasi ulang dan biaya. Penelitian ini mengevaluasi admisi rumah sakit untuk infeksi saluran nafas dan komplikasinya per 1000 pasien setelah terekspos dengan program STAR. Pemilihan infeksi saluran nafas dikarenakan infeksi saluran nafas merupakan alasan yang paling sering untuk peresepan antibiotik. Data tentang pasien yang dirawat di rumah sakit diperoleh dari PEDW (Patient Episode Database for Wales) Pasien dihitung sebagai pasien rawat inap rumah sakit apabila dirujuk ke rumah sakit karena infeksi saluran nafas dan komplikasinya. Pasien dihitung sebagai 2 kali rawat inap apabila jarak antara rawat inap pertama dan kedua lebih dari 30 hari. Pada pasien dengan infeksi saluran nafas, kami mengidentifikasi rekonsultasi dengan menggunakan READ yang diambil pada hari ke 7, 14 dan 21 setelah konsultasi pertama. Data tersebut diambil dari 37 praktek dokter umum (20 intervensi dan 17 kontrol). Untuk menghitung biaya, kami menghitung semua sumber daya yang dipergunakan untuk preparasi program STAR. Untuk seminar dilakukan penggantian biaya 500 poundsterling ditambah dengan biaya perjalanan.

Analisa Statistik Penghitungan ukuran sampel Standar deviasi untuk peresepan antibiotik antar praktek dokter umum selama setahun adalah 70 per 1000 pasien. Untuk mendeteksi selisih perbedaan >10% antara kelompok kontrol dan intervensi maka diperlukan 21 praktek dokter. Analisa utama Analisa utama pada penelitian ini adalah intentiono treat dan perbandingan peresepan antibiotik antara kelompok kontrol dan per 1000 pasien selama setahun dengan menggunakan analisa kovariat. Aktu follow-up pasien di kelompok intervensi dimulai dari periode Mei-Oktober 2007 sampai dengan 12 bulan kedepan. Pemilihan kelompok kontrol dilakukan secara acak untuk tiap praktek baik itu di kelompok kontrol maupun kelompok intervensi.

Kami membandingkan outcome sekunder untuk rata2 admisi rumah sakit untk komplikasi antar kelompok selama setahun. Angka kejadian rekonsultasi dibandingkan dengan uji statistic Mann Whittney U test sebab distribusi data tidak mengikuti distribusi normal. Kami menghitung perbedaan dari angka rekonsultasi dengan menggunakan confidence interval 95%.

Hasil Penelitian Kami mengirimkan surat kepada 212 dari 499 praktek dokter umum di Wales tentang penelitian ini. Sebanyak 45 pusat pelayanan kesehatan primer tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian ini dikarenakan data yang tidak lengkap. Dari 212 tersebut, 102 diantaranya menyatakan tertarik ikut serta tetapi hanya 68 yang bersedia. Total dari 68 tersebut melayani sekitar 480000 pasien yang dirandomisasi untuk masuk ke kelompok kontrol maupun intervensi. Rata-rata peresepan antibiotik untuk 68 kelompok kontrol tersebut 15% lebih rendah dari rata-rata peresepan di Wales. Dari kelompok kontrol terdiri dari 124 dokter umum dengan 117 yang ikut serta sedang dari kelompok intervensi 127 dari 139 dokter umum menyelesaikan program ini.

Peresepan antibiotic, rujukan ke rumah sakit, rekonsultasi dan biaya Peresepan antibiotik Pada kelompok intervensi didapatkan penurunan angka peresepan antibiotik sebanyak 14.1 per 1000 pasien, sedang dari kelompok kontrol justru terjadi peningkatan angka peresepan antibiotik sebanyak 12.1 per 1000 pasien. Dari analisis model kovariat didapatkan penurunan angka peresepan antibiotik sebanyak 4.2% dari total peresepan antibiotik di seluruh kelompok umur dan kondisi selama setahun jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Rujukan ke rumah sakit dan rekonsultasi Tidak ada perbedaan bermakna dalam rujukan ke rumah sakit antara kelompok kontrol dan intervensi. Selain itu tidak didapatkan juga perbedaan antara kelompok intervensi dan kontrol untuk angka rekonsultasi. Biaya Tabel 4 menunjukkan biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan program STAR di 33 praktek dokter umum. Biaya terbesar adalah untuk pelatihan dokter sebesar 71659 pounsterling. Rata-rata biaya yang dibutuhkan adalah 2923 pounsterling per praktek dokter umum. Biaya tahunan rata-rata untuk peresepan antibiotik mengalami penurunan baik itu mereka yang terekspos dengan program STAR maupun yang bukan., tetapi angka penurunannya lebih tinggi pada kelompok intervensi. Rata-rata penurunan biaya antibiotik selama follow up setahun mengalami penurunan relatif sebesar 5.5 persen pada kelompok intervensi bila dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Diskusi Praktek dokter umum yang terekspos dengan program STAR mengalami penurunan peresepan antibiotik sebesar 14 item per 1000 pasien, sedang pada kelompok kontrol justru mengalami peningkatan sebesar 12.1 item per 1000 pasien. Antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi didapatkan selisih sekitar 26% per 1000 pasien. Hal ini merepresentasikan penurunan sebesar 4.2% dari total peresepan antibiotik di segala umur untuk semua kondisi selama setahun. Penurunan yang signifikan terutama untuk antibiotik yang digunakan untuk infeksi saluran nafas . Penurunan yang lebih besar didapatkan pada pelayanan kesehatan dimana lebih dari 2/3 dokternya mengikuti program STAR. Kami tidak menemukan bukti apakah penurunan peresepan antibiotik sejalan dengan peningkatan angka rekonsultasi atau komplikasi.

Kekuatan dan kelemahan dari penelitian ini Penelitian ini menunjukkan bahwa campuran dari berbagai metode pembelajaran efektif dalam mengurangi angka peresepan antibiotik. Sebagian dokter umum menganggap resistensi antibiotik adalah masalah rumah sakit dan tidak terpengaruh oleh cara peresepan antibiotik yang mereka lakukan. Intervensi yang dilakukan mencakup diskusi tentang peresepan antibiotik yang dilakukan oleh dokter umum dan data mengenai resistensi obat serta laporan yang menunjukkan penurunan jumlah peresepan antibiotik dengan resistensi antibiotik tingkat lokal. Hasil yang diamati pada penelitian ini yaitu jumlah peresepan antibiotik di sebuah pelayanan kesehatan dalam suatu populasi tanpa melihat berapa banyak dokter umum di tempat tersebut yang terekspos dengan program STAR. Penelitian yang hanya melakukan analisa data dari dokter umum yang terekspos dengan program STAR hasilnya akan tidak akurat. Pemilihan dan persetujuan pasien tidak diperlukan dan dan hasil dikumpulkan dari seluruh pelayanan kesehatan tanpa melihat diagnosisnya. Hal ini mengeliminasi masalah pembatasan dimana tidak hanya pasien yang konsultasi dengan dokter umum yang terekspos dengan program STAR saja yang dilibatkan. Lebih jauh lagi penggunaan kode diagnosis dapat untuk menilai apakah suatu pemberian antibiotik itu sesuai atau tidak. Penelitian ini mengalami kesulitan dalam menilai efek dari intervensi yang dilakukan terhadap angka rujukan ke rumah sakit karena komplikasi dan untuk konsultasi ulang dikarenakan kejadiannya yang jarang. Penelitian ini juga menilai 31 dokter di kelompok sampel yang diambil secara acak. Sebagian besar melaporkan peningkatan kewaspadaan tentang terjadinya resistensi antibiotik, kecenderungan untuk mengurangi peresepan antibiotik dan perubahan dalam cara konsultasi serta peresepan antibiotik. Penelitian ini tidak dapat menunjukkan dokter mana yang berespon baik dengan program STAR dan untuk pasien mana. Kurangnya data diagnosis menyebabkan kami hanya bias

memperhitungkan penurunan antibiotik yang diresepkan dan bukan efek dari penggunaan antibiotic yang tidak sesuai. Selain itu kami juga tidak dapat mengetahui apakah ada peningkatan admisi ke rumah sakit pada mereka yang sudah menerima antibiotik di pelayanan kesehatan primer sebelumnya.

Perbandingan dengan penelitian sebelumnya Sebuah systematic review untuk mengurangi peresepan antibiotik yang tidak perlu termasuk 43 penelitian dimana 38 diantaranya terfokus pada infeksi saluran nafas. Sebagian besar penelitian ini hanya menggunakan 1-2 jenis pendekatan, berbeda dengan penelitian ini dimana menggunakan pendekatan dari berbagai segi. Tidak ada dari 38 dengan tersebut yang menggunakan proses feedback ke dokter terkait dengan peresepan antibiotik yang mereka lakukan dikombinasikan dengan kondisi resistensi di tempat tersebut.

Kesimpulan Program pendidikan STAR mampu mengurangi angka peresepan antibiotik di praktek sehari-hari, tetapi tidak berpengaruh terhadap angka admisi rumah sakit, rekonsultasi dan biaya. Hasil ini akan sangat penting artinya bagi mereka yang peduli dengan kualitas peresepan dan perubahan perilaku dokter terkait dengan peresepan antibiotic.

Anda mungkin juga menyukai