Anda di halaman 1dari 69

Anemia

Tim Praktikum Hematologi Pada Matrikulasi Prodi DIV Jurusan Analis Kesehatan Depkes Bandung

Anemia
Topik: Anemia Aplastik Anemia Defisiensi Besi Anemia Hemolitik

Pengantar
Anemia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan menurunnya kadar Hemoglobin di bawah nilai normal. Anemia dapat diklasifikasi berdasarkan morfologi dan etiologi. Berdasarkan morfologi, anemia digolongkan dalam: anemia makrositik, mikrositik hipokrom dan normositik normokrom.

Pengantar

Menurut etiologi, anemia digolongkan pada anemia yang disebabkan oleh : kehilangan darah akut atau kronik, anemia akibat aktivitas eriropoiesis yang berkurang yang disebabkan oleh kekurangan gizi, kegagalan produksi eritrosit oleh sumsum tulang karena anemia aplastik atau keganasan anemia akibat destruksi eritrosit yang meningkat karena kelainan bawaan atau didapat.

Pengantar
Anemia aplastik adalah suatu penyakit yang ditandai oleh pansitopenia akibat aplasia pada sumsum tulang. Berdasarkan penyebab, anemia aplastik dibagi dua: 1. Anemia aplastik primer 2. Anemia aplastik sekunder

Pengantar
1. Anemia aplastik primer, disebabkan oleh: Kongenital (Tipe Fanconi-non Fanconi) Idiopatik 2. Anemia aplastik sekunder, disebabkan oleh: Obat (siklofosfamid, klorambusil, kloramfenikol, kemoterapi, dll) Infeksi (Hepatitis Virus A, non A non B, CMV, HIV dan EBV. Paparan zat kimia (benzene, insektisida, dll). Radiasi ionisasi

Pengantar

Defek yang mendasari terjadinya anemia aplastik adalah adanya penurunan jumlah sel stem pluripoten dan kegagalan sel sumsum tulang untuk membelah dan berdiferensiasi. Mekanisme yang menerangkan suatu obat dapat menyebabkan aplastik berbeda-beda. Beberapa obat kemoterapi dapat berefek sitotoksik secara langsung terhadap sel prekursor sumsum tulang.

Pengantar
Virus dapat menginduksi aplasia sumsum tulang melalui beberapa mekanisme: Virus dapat bersifat sitotoksik secara langsung pada sel sumsum tulang. Infeksi virus pada sel progenitor sumsum tulang juga dapat menstimulasi timbulnya respon imun terhadap sel progenitor tersebut melalui aktivasi limfosit T sitotoksik.

Pengantar
Ekspresi protein virus pada permukaan sel terinfeksi atau mengekspresikan epitop sehingga bisa menimbulkan reaksi autoimun. Infeksi virus terhadap sel stroma sumsum tulang juga dapat menyebabkan penurunan hematopoiesis.

Pengantar
Hepatitis akut telah dihubungkan dengan kejadian aplastik anemia. Hepatitis pada pediatrik didapatkan bahwa kurang dari 0,07% kasus diikuti oleh timbulnya anemia aplastik. Sedangkan anemia aplastik pada hepatitis non A non B, ditemukan pada , 2% kasus

Pengantar

Paparan radiasi baik secara akut maupun kronis dalam dosis besar dapat menyebabkan depresi fungsi sumsum tulang, sehingga menyebabkan hipoplasia sumsum tulang. Timbulnya anemia aplastik tergantung pada besarnya dosis radiasi. Paparan pada dosis > 4,4 Gy dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang.

Gambaran Klinis

Anemia aplastik ini dapat timbul pada setiap usia, dengan insiden tertinggi pada usia sekitar 30 tahun dan terutama dijumpai pada pria. Perjalanan penyakit dapat perlahan-lahan atau akut dengan gejala yang disebabkan oleh anemia, netropenia atau trombositopenia. Infeksi pada mulut dan tenggorokan sering ditemukan. Infeksi ini dapat mengancam nyawa bila berlanjut menjadi infeksi sistemik. Echimosis, perdarahan hidung dan gusi adalah bentuk perdarahan yang sering ditemukan dan biasanya disertai oleh gejala anemia. Hati, Limfa dan kelenjar getah bening tidak membesar.

Laboratorium

Anemia dengan retikulositopenia, jumlah lekosit biasanya tidak kurang dari 1.500/uL, limfositosis dan netropenia. Trombositopenia selalu ditemukan, pada kasus yang berat dapat kurang dari 10.000/uL.

Laboratorium

Pada hapusan darah tepi didapatkan - eritrosit normositik normokrom, - limfositosis relatif, - netropenia - dan tidak dijumpai sel abnormal.

Pada hapusan sumsum tulang tampak kepadatan sel hiposelular, jaringan hemopoiesis berkurang diganti oleh jaringan lemak sampai lebih dari 75% dari jaringan sumsum tulang. Megakariosit jumlahnya berkurang atau tidak dapat ditemukan. Sel yang utama adalah limfosit dan sel plasma. Pada biopsi sumsum tulang didapatkan gambaran selularitas mieloid menurun dengan limfositosis. Terdapat pergantian jaringan sumsum tulang oleh lemak.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik dan dari derajat beratnya penyakit. Dapat ditemukan gejala dan tanda akibat pansitopenia seperti lemah, sesak nafas, perdarahan dan infeksi.

Jenis-jenis anemia aplastik

Berdasarkan beratnya penyakit, ada 3 jenis anemia aplastik yaitu severe, very severe dan moderate aplastik anemia. 1. Severe Aplastic Anemia (SAA) Bila pada biopsi sumsum tulang didapatkan hiposeluler, ditambah 2 dari 3 kriteria berikut: Jumlah retikulosit absolut < 25.000/uL Jumlah netrofil absolut < 500 uL Jumlah trombosit < 20.000 uL

Jenis-jenis anemia aplastik


2. Very Severe Aplastic Anemia (VSAA) Merupakan SAA dengan jumlah netrofil absolut < 200 dan biasanya prognosis buruk. 3.Moderate Aplastic Anemia (MAA) Keadaan pansitopenia dengan sumsum tulang hipoplastik yang tidak memenuhi kriteria SAA dan VSAA.

Anemia Defisiensi Besi

Anemia Defisiensi Besi adalah anemi yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoiesis berkurang. Kelainan ditandai oleh anemia hipokromik mikrositik,, feritin serum menurun, pengecatan besi sumsum tulang negatif dan adanya respon terhadap pengobatan dengan preparat besi.

Pengantar

Anemia Defisiensi Besi merupakan anemia paling sering ditemukan terutama di negara-negara tropik atau negara dunia ketiga karena sangat berkaitan erat dengan taraf sosial ekonomi. Anemia ini mengenai lebih dari sepertiga pendududk dunia yang memeberikan dampak kesehatan yang sangat merugikan serta dampak soaial yang cukup serius.

Metabolisme Besi

Besi merupakan trace element yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Besi di alam terdapat dalam jumlah yang cukup berlimpah. Dilihat dari segi evolusinya, maka sejak awal manusia dipersiapkan untuk menerima besi yang berasal dari sumber hewani, tetapi kemudian pola makanan berubah sehingga sebagian besar besi diperoleh dari sumber nabati terutama di negara tropik. Tetapi perangkat absorpsi besi tidak mengalami evolusi yang sama sehingga banyak menimbulkan defisiensi besi.

Komposisi besi dalam tubuh


Besi terdapat dalam berbagai jaringan dalam tubuh berupa: 1. senyawa besi fungsional, yaitu besi yang membentuk senyawa yang berfungsi dalam tubuh 2. Besi cadangan, senyawa besi yang dipersiapkan bila masukan besi berkurang 3. Besi transpor, besi yang berikatan dengan protein tertentu dalam fungsinya untuk mengangkut besi dari satu kompartemen ke

Komposisi besi dalam tubuh


Besi dalam tubuh tidak pernah terdapat dalam bentuk logam bebas (free iron), tetapi selalu berikatan dengan protein tertentu. Besi bebas akan merusak jaringan, mempunyai sifat seperti radikal bebas. Contoh kandungan besi seorang laki-laki dengan BB 75 kg: a. Senyawa fungsional: Hb (2300 mg), Mioglobin 320 mg, enzim-enzim 80 mg. b. Senyawa besi transportasi (Transferin 3 mg) c. Senyawa besi cadangan : Feritin 700 mg, Hemosiderin 300 mg, Total: 3803 mg.

Absorpsi Besi

Tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari makanan dalam usus. Untuk memasukkan besi dari usus ke dalam tubuh diperlukan proses absorpsi. Absorpsi besi paling banyak terjadi pada duodenum dan jejunum proksimal disebabkan oleh struktur epitel usus yang memungkinkan untuk itu. Proses absorpsi besi ada 3 fase:

Absorpsi Besi
Fase luminal: besi dalam makanan diolah dalam lambung, kemudian diserap di duodenum. Besi dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk: . Besi Hem: terdapat dalam daging dan ikan, proporsi absorpsinya tinggi, tidak dihambat oleh bahan penghambat sehingga mempunyai bioavaibilitasnya tinggi.
1.

Absorpsi Besi

Besi non hem: berasal dari sumber tumbuh-tumbuhan, proporsi absorpsinya rendah, dipengaruhi oleh bahan penghambat sehingga bioavailabilitasnya rendah.

Absorpsi Besi

Fase mukosal: proses penyerapan dalam mukosa usus yang merupakan suatu proses aktif. Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks.

Absorpsi Besi

3. Fase Korporeal: meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-sel yang memerlukan, serta penyimpanan besi oleh tubuh. Besi setelah diserap oleh enterosit (epitel usus), memasuki kapiler usus, kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin.

Absorpsi Besi
Banyaknya absorpsi besi tergantung dari: 1. Jumlah kandungan besi dalam makanan. 2. Jenis besi dalam makanan : heme, non hem. 3. Adanya bahan penghambat absorpsi dalam makanan. 4. Jumlah cadangan besi dalam tubuh. 5. Kecepatan eritropoiesis.

Klasifikasi Anemia Defisiensi Besi menurut beratnya defisiensi


Dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh ada 3 tingkatan : 1. Deplesi besi (iron depleted state) : cadangan besi menurun tetapi penyediaan besi untuk eritropoisis belum terganggu. 2. Eritropoiesis defisiensi besi (iron deficient erythropoiesis): cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk eritropoiesis terganggu, tetapi belum muncul anemia secara laboratorik. 3. Anemia defisiensi besi: cadangan besi kosong, disertai anemia defisiensi besi.

Etiologi Anemia Defisiensi Besi


Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun. 1. Kehilangan besi akibat perdarahan menahun, dapat berasal dari: a. saluran cerna: akibat dari kanker lambung, kanker kolon, hemoroid, dan infeksi cacing tambang. b. Saluran genitalia wanita: menorrhagia c. Saluran kemih: hematuria

Etiologi Anemia Defisiensi Besi


2. Faktor nutrisi: akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang tidak baik (banyak serat, rendah vitamin C dan rendah daging). 3. Kebutuhan besi meningkat, seperti pada pada anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan. 4. Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, kolitis kronik.

Patogenesis

Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin menurun. Jika cadangan kosong maka keadaan ini disebut iron depleted state. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka penyediaan besi untuk eritropoiesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinik belum terjadi, keadaan ini disebut sebagai iron deficient erythropoiesis.

Patogenesis

Selanjutnya timbul anemia hipokromik mikrositer sehingga disebut iron deficiency anemia.

Gejala Anemia Defisiensi Besi


Ada 3 gejala: 1. Gejala Umum Anemia (sindrom anemia), apabila dijumpai penurunan kadar Hb di bawah 7-8 g/ dL. Gejala berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunangkunang, serta telinga mendenging.

Gejala Anemia Defisiensi Besi


2. Gejala khas akibat defisiensi besi: 1. Koilonikia: kuku sendok (spoon nail): kkuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip sendok. 2. Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang. 3. Stomatitis angularis: adanya keradangan pada sudut mulut, sehingga tampak sebagai becak berwarna pucat keputihan. 4. Disfagia: Nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.

Gejala Anemia Defisiensi Besi


3. Gejala penyakit Dasar Pada ADB dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi penyebab ADB tersebut. Contoh: Akibat penyakit cacing tambang: dijumpai kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami.

Pemeriksaan Laboratorium

1.

Kelainan laboratorium pada kasus ADB: Kadar Hb dan indeks eritrosit: didapatkan anemia hipokromik mikrositik dengan penurunan kadar Hb mulai ringan sampai berat. MCV, MCHC dan MCH menurun. MCV < 70 fL hanya didapatkan pada ADB dan thalasemia mayor. RDW (Red cell Distribution Width) meningkat yang menandakan adanya anisositosis.

Pemeriksaan Laboratorium

Apusan Darah Tepi: menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, poikilositosis, anulosit, sel pensil, kadangkadang sel target. Derajat hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia. Lekosit dan trombosit normal. Pada kasus ankilostomiasis sering dijumpai eosinofilia.

Pemeriksaan Laboratorium
2. Kadar besi serum menurun < 50 mg/dL, dan saturasi transferin < 15%. 3. Kadar serum feritin < 20 ug/dL . 4. Sumsum tulang: menunjukkan hiperplasia normoblastik dengan normoblas kecil-kecil dominan. 5. Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (Perls stain) menunjukkan cadangan besi yang negatif (butir hemosiderin negatif).

Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis ADB Secara laboratorik harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang diteliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Secara laboratorik untuk menegakkan diagnosis ADB dapat dipakai kriteria diagnosis ADB (modifikasi dari kriteria Kerlin et al) sebagai berikut:

Diagnosis
Anemia hipokromik mikrositik pada apusan darah tepi, atau MCV < 80 fL dan MCHC < 31% dengan salah satu dari 1, 2, 3, 4, berikut ini: 1. Dua dari tiga parameter di bawah ini: a. Besi serum < 50 mg/dL b. TIBC > 350 mg/dL c. Saturasi transferin < 20 ug/dL

Diagnosis
2. Feritin serum< 20 ug/ dL 3. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perls stain) menunjukkan cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif 4. Dengan pemberian Sulfas ferosus 3x200 mg/ hari (atau preparat besi yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar HB lebih dari 2 g/dL.

Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh proses hemolisis. Hemolisis adalah pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya (sebelum 120 hari). Pada orang dengan sumsum tulang normal, hemolisis pada darah tepi akan direspon oleh tubuh dengan peningkatan eritropoiesis dalam sumsum tulang.

Pengantar

Kemampuan maksimum sumsum tulang untuk meningkatkan eritropoiesis adalah 6 sampai 8 kali normal. Apabila derajat hemolisis tidak terlalu berat (pemendekan masa hidup eritrosit < 50 hari), maka sumsum tulang masih mampu melakukan kompensasi sehingga tidak timbul anemia (Hemolisis terkompensasi). Tetapi jika kemampuan kompensasi sumsum tulang dilampaui, maka akan terjadi anemia yang disebut anemia hemolitik.

Klasifikasi anemia hemolitik


Pada dasarnya anemia hemolitik dibagi 2 1. Anemia hemolitik karena faktor di dalam eritrositnya sendiri (intrakorpuskuler), yang sebagian besar bersifat herediter. 2. Anemia hemolitik karena faktor di luar eritrosit (ekstrakorpuskuler), yang sebagian besar bersifat

Klasifikasi anemia hemolitik


1. Gangguan Intrakorpuskuler: A. Herediter-Familier Gangguan membran eritrosit (membranopati): sperositisis herediter, eliptositosis herediter, stomatositosis herediter. Gangguan metabolisme/ enzim eritrosit: Defek pada jalur heksokinase monofosfat defisiensi G6PD, Defek pada jalur Embden-Meyerhoff Defisiensi Piruvat Kinase, Defek enzim Nukleotida.

Klasifikasi anemia hemolitik

Gangguan pembentukan Hb (Hemoglobinopati) : hemoglobinopati struktural (kelainan struktur asam amino pada rantai alfa atau beta,HbC, HbD, HbE, HbS, unstable Hb, dll) , Sindrom talasemia (gangguan sintesis rantai alfa atau beta), Heterozigot ganda hemoglobinopati dan talasemia.

Klasifikasi anemia hemolitik


B. Didapat Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) yaitu kelainan didapat pada membran eritrosit yang ditandai oleh sensitivitas abnormal terhadap komplemen. Pola klasiknya berupa hemolisis intravaskuler dan hemoglobinuria pada malam hari.

Klasifikasi anemia hemolitik


2. Gangguan Ekstra Vaskuler: A. Didapat: Imun: auto imun (warm antibodi, cold antibodi), aloimun (reaksi transfusi hemo-litik, HDN) Infeksi: Malaria, clostridia. Bahan kimia dan fisika: Obat, bahan kimia dan rumah tangga, luka bakar yang meluas.

Gejala Klinis

Gejala klinis anemia berhubungan dengan : - peningkatan katabolisme hemoglobin (destruksi eritrosit) dan - peningkatan eritropoiesis.

Gejala Klinis
-

Ikterus mencerminkan peningkatan produksi bilirubin. Urin berwarna gelap atau merah terjadi akibat eksresi Hb plasma yang terjadi pada hemolisis intravaskuler.

Gejala Klinis
- Gejala primer yang berhubungan dengan anemia antara lain: pucat, lemah dan keluhan pada jantung.

Gejala Klinis

Hemolisis Intravaskuler: eritrosit hancur dalam pembuluh darah. Bila terjadi hemolisis, Hb bebas akan dilepaskan ke dalam plasma. Hb kemudian diikat oleh protein plasma yaitu haptoglobin, komplek Hb-haptoglobin diangkut ke makrofag hati, dimetabolisme menjadi bilirubin dan dieksresi ke usus melalui saluran empedu.

Gejala Klinis

Pada hemolisis intravaskuler yang berat, sintesis haptoglobin mungkin tidak mencukupi. Bila kadar haptoglobin tidak mencukupi, maka Hb bebas akan dioksidasi menjadi metHb dan diikat oleh albumin. MetHb yang berlebihan akan dipecah menjadi gugus heme dan globin. Heme akan berikatan dengan protein plasma lain yaitu hemopeksin. Komplek Hb-haptoglobin, Hemehemopeksin dan metHb-albumin akan dibersihkan dari plasma oleh RES hati.

Gejala Klinis

Hb bebas yang masih ada dalam sirkulasi akan difiltrasi oleh glomerulus dan direabsorpsi oleh tubulus proksimal. Bila kecepatan filtrasi Hb melebihi kemampuan reabsorpsi tubulus, Hb akan dikeluarkan melalui urin.

Tergantung dari beratnya Hb-uria, urin bisa berwarna merah muda, merah atau hitam kecoklatan. Hb akan mengendap pada sel tubulus dan akan dikeluarkan melalui urin dan tampak sebagai hemosiderin. Pada hemolisis intravaskuler kronik, hemosiderin ada dalam urin walaupun tidak terdapat hemoglobinuria.

Gejala Klinis
Pada pemeriksaan Sediaan hapus darah tepi: - didapatkan gambaran anisositosis, poikilositosis seperti fragmentosit, sferosit.

Gejala Klinis

Pada hemolisis ekstravaskuler eritrosit difagositosis oleh makrofag di limpa, hati dan sumsum tulang. Hemolisis tipe ini lebih sering daripada hemolisis intravaskuler. Tidak terjadi hemoglobinemia, hemoglobin-uria maupun hemosiderinuria karena Hb tidak langsung dilepas ke dalam plasma, melainkan dipecah menjadi gugus heme dan globin. Heme selanjutnya dikatabolisme menjadi bilirubin yang akan dieksresi melalui hati.

Gejala Klinis

Pemeriksaan laboratorium yang bermakna adalah peningkatan produk heme, antara lain: - peningkatan bilirubin serum, - serta peningkatan urobilinogen urin dan feses.

Kelainan laboratorium pada anemia hemolitik


A. Adanya anemia: 1. Penurunan kadar HB, PCV Jumlah Eritrosit. 2. Penurunan Hb> 1g/dL dalam waktu satu minggu, khas pada anemia hemolitik akut didapat.

B. Tanda-tanda hemolisis 1. Penurunan masa hidup eritrosit 2. Peningkatan katabolisme heme (peningkatan urobilinogen urine dan sterkobilinogen feses). 3. Penurunan Haptoglobin serum 4. Tanda-tanda hemolisis intravaskuler: hemoglobinemia, hemoglobinuria, hemosiderinuria, methemalbuminemia, Penurunan kadar hemopeksin serum.

Kelainan laboratorium pada anemia hemolitik


Kompensasi sumsum tulang: retikulositosis, polikromasia pada darah tepi, hiperplasia normoblastik pada sumsum tulang. Kelainan laboratorium akibat penyakit dasar: Tes Coomb positif, tes fragilitas osmotik.

Anda mungkin juga menyukai