Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
BAGIAN ILMU ANESTESI, PERAWATAN INTENSIF DAN MANAJEMEN NYERI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
Pengukuran gas-gas darah arteri (arterial blood gases = ABGs) diaplikasikan secara klinis pada tahun 1950-an melalui penemuan elektrode tekanan oksigen arterial (PaO2) oleh Clark, serta elektroda tekanan karbon dioksida arterial (PaCO2) oleh Stow dan Severinghaus.
Saat ini, ABGs merupakan pemeriksaan yang paling banyak diminta di unit perawatan intensif (ICU), sehingga penting bagi para pemberi layanan intensif untuk menguasai interpretasi ABG secara menyeluruh.
Elektroda-elektroda alat analisis ABGs untuk pH, PCO2, dan PO2, berada dalam suhu lingkungan 370C secara konstan, yang sama dengan suhu ruangan dimana sampel darah terpapar.
Komplikasi-komplikasi tindakan aspirasi ABGs, seperti nyeri, vasospasme, dan kerusakan jaringan.
Respirasi merupakan proses difusi molekul-molekul O2 dan CO2 melalui membran yang semipermeabel.
Homeostasis respirasi mencakup semua mekanisme fisiologis yang bekerja untuk menyeimbangkan pertukaran O2 dan CO2 pada tingkat paru-paru dan seluler.
pH PaCO2 PaO2
22 - 26 mmol/L
0 +/- 3 mmol/L 95% - 100%
Ventilasi merupakan pergerakan gas masuk dan keluar dari sistem pulmoner, yang harus segera diukur pada pasienpasien kritis, dimana volume gas ekshalasi selama 1 menit (disebut sebagai ventilasi menit = minute ventilation = VE), dirumuskan sebagai: VE = f x VT
ventilasi alveolar
[H+] = 24 . ([PaCO2]/[HCO3-])
Tabel 14.2 Perkiraan Nilai pH Berdasarkan Konsentrasi Ion Hidrogen (Handerson-Hasselbach).
[H+] (nmol/L) 60 50 40 30 20
Nilai pH hasil kalkulasi yang sangat berbeda dengan nilai pH yang terukur mengindikasikan pengambilan sampel dan reanalisa ABG.
Asidosis Respiratorik
Alkalosis Respiratorik
Tabel 14.3 Nomenklatur dan Kriteria untuk Interpretasi Klinis Nilai Gas Darah
Terminologi Klinis Kegagalan ventilasi (asidosis respiratori) Hipoventilasi alveolar (asidosis respiratori) Kegagalan ventilasi akut (asidosis respiratori) Kegagalan ventilasi kronis (asidosis respiratori) Hiperventilasi alveolar akut (alkalosis respiratori) Hiperventilasi alveolar kronis (alkalosis respiratori) Asidemia Alkalemia Asidosis Kriteria PaCO2 >45 mmHg
PaCO2 >35 mmHg PaCO2 >45 mmHg PaCO2 >45 mmHg PaCO2 <35 mmHg PaCO2 <35 mmHg pH <7.35 pH >7.45 HCO3- <20 mmol/L BD >5 mmol/L HCO3- >28 mmol/L BE >5 mmol/L
Alkalosis
Respon ginjal terhadap peningkatan konsentrasi ion hidrogen, berupa ekskresi lebih banyak ion hidrogen [H+] dan peningkatan reabsorbsi ion-ion bikarbonat ke dalam darah, yang biasanya berlangsung selama 3 hingga 5 hari fase akut. Mekanisme ginjal ini dapat mengoreksi pH hingga hapir normal.
sentral
pulmoner
perifer
Hiperkapneu kronis (kegagalan ventilasi kronis) melibatkan adaptasi intraseluler terhadap suatu peningkatan PCO2 seluler, sekalipun dengan adanya asidosis intraseluler dan penurunan hantaran oksigen yang signifikan. Keseimbangan asam-basa ekstraseluler dipertahankan dengan cara mengakumulasikan suatu peningkatan konsentrasi ion bikarbonat, dengan defisiensi ion klorida.
Temuan yang tipikal adalah pH < 7.35, PCO2 > 60 mmHg, dan PO2 < 45 mmHg. Tingkat keparahan dari kondisi ini harus dinilai berdasarkan derajat asidosis akut.
pH > 7.30
Perubahan yang masih dapat ditoleransi
pH < 7.20
Evaluasi untuk bantuan ventilasi
Alkalosis respiratori akut (PaCO2 <30 mmHg; pH > 7.50) menunjukkan terjadinya hiperventilasi alveolar akut dan biasanya mengindikasikan peningkatan WOB. Tiga penyebab hiperventilasi alveolar akut:
respon homeostasis terhadap hipoksemi arterial respon homeostasis terhadap asdosis metabolik respon terhadap disfungsi atau cedera sistem saraf pusat (otak)
Alkalosis respiratori kronis sering terjadi dalam kondisi penyakit hati, khususnya dengan hipertensi portopulmoner, kehamilan, cedera otak, dan hiperventilasi idiopatik (jarang terjadi di ICU).
Dalam kondisi asidosis metabolik, terjadi mekanisme kompensasi berupa hiperventilasi. Perkiraan nilai PaCO2 dapat dihitung dengan rumus Winter:
Suatu gangguan respirasi terjadi apabila hasil kalkulasi nilai PaCO2 tidak sesuai dengan nilai PaCO2 yang terukur. Untuk alkalosis metabolik, terjadi hipoventilasi (penurunan VE); perkiraan PaCO2 adalah:
PaCO2 = 0.9[HCO3-] 15
Abnormalitas keseimbangan asam-basa, dimana terjadi kelebihan suasana asam atau basa, namun nilai pH tidak selalu terganggu
Pada intinya, asidosis dan alkalosis metabolik ditentukan berdasarkan kalkulasi konsentrasi HCO3-. Sebaliknya, pengukuran pH darah dapat menentukan apakah terjadi asidimeia atau alkalemia, suatu kondisi kelebihan atau defisit aktifitas ion hidrogen [H+] bebas.
Dalam kondisi dimana tidak dapat dilakukan pengukuran pH dan gas darah terdapat tiga indikator keseimbangan asam-basa non-respiratori yang umum diterima:
anion gap kelebihan basa perbedaan ion yang besar
Suatu nilai pH yang abnormal dengan BE atau defisit basa senilai 3 mmol/L menunjukkan status asam-basa metabolik yang normal.
BE atau defisit basa senilai 5 mmol/L menunjukkan status asam-basa metabolik klinis yang relatif seimbang.
Suatu nilai pH yang abnormal dengan BE atau defisit basa 10 mmol/L menunjukkan adanya ketidakseimbangan asam-basa metabolik yang signifkan secara klinis, serta dapat mengancam nyawa.
Alkalosis metabolik paling sering ditemukan pada pasien ICU dengan alkalosis akibat dehidrasi berat, penggunaan diuretik, atau sebagai kompensasi terhadap asidosis metabolik.
Istilah mixed acid-base abnormality merujuk pada suatu kondisi dimana terjadi ketidakseimbangan fungsi respirasi dan metabolisme, atau terdapat dua gangguan metabolisme secara bersamaan.
Contohnya meliputi sepsis (penurunan produksi CO2, peningkatan ventilasi menit dengan produksi asam laktat).
Asidosis Respiratori Untuk asidosis respiratori akut, prediksi perubahan ion bikarbonat dirumuskan:
[HCO3-] = PaCO2 10 Untuk hiperkapneu kronis, perubahan-perubahan ion bikarbonat adalah sebagai berikut: [HCO3-] = 3.5 PaCO2 10
Kadar ion bikarbonat yang berbeda dari hasil perhitungan, mengindikasikan adanya campuran kelainan respirasi dan metabolisme.
Sodium Bikarbonat Pemberian larutan sodium bikarbonat (NaHCO3) intravena merupakan intervensi yang tepat untuk memulihkan kondisi asidemia metabolik, asalkan dengan fungsi paru dan jantung yang adekuat.
(hidroksimetil)-aminometan (trometamin [THAM]). Carbicarb, yang mengandung NaHCO3 dan sodium karbonat (Na2CO3).
Pengukuran gas darah vena sentral biasanya merefleksikan nilai pH dan PCO2 ABG dan dapat mengidentifikasi terjadinya asidemia lebih dulu dibanding ABG pada pasien-pasien syok.
Nilai-nilai gas darah vena perifer berkorelasi dengan ABG; biasanya dengan pH yang sedikit lebih rendah serta PCO2 yang sedikit lebih tinggi.
Pengukuran gas darah vena bersifat kurang invasif dan dapat membantu mengarahkan terapi, dalam kondisi dimana nilai ABG tidak dapat diperoleh, misalnya pada keadaan ketoasidosis diabetik.
Jumlah oksigen yang bergerak masuk, ataupun keluar, dari darah bergantung kepada tiga faktor:
Jumlah oksigen terlarut (PO2) Jumlah oksigen yang berikatan dengan hemoglobin (% HgbO2) Kekuatan ikatan antara oksigen dan hemoglobin (afinitas hemoglobin-O2)
Volume oksigen (milimeter) yang terkandung di dalam 100 mL (1 dL) darah, didefinisikan sebagai kandungan oksigen arteri (arterial oxygen content = CaO2), yang dihitung dengan rumus:
CaO2 (mL/dL) = 1.34 nilai hemoglobin (g/dL) saturasi O2 (%) + [PaO2 (mmHg) 0.003]
Beberapa faktor yang memperngaruhi afinitas hemoglobin terhadap oksigen akibat efek Bohr meliputi status asam-basa, PCO2, temperatur, dan kadar 2,3-difosfogliserat.
Peningkatan afinitas hemoglobin-O2 akan meningkatkan kandungan oksigen, namun menghambat pelepasan oksigen ke jaringan.
Penurunan afinitas hemoglobin-O2 akan menyebabkan berkurangnya kandungan oksigen sehingga membatasi hantaran oksigen, sekalipun terjadi peningkatan pelepasan oksigen ke jaringan.
Gambar 14-9 Kurva saturasi oksihemoglobin dan faktor-faktor yang mengubah afinitas hemoglobin terhadap oksigen.
TERIMA KASIH