Anda di halaman 1dari 8

Seputar Kesehatan

tetanus
2.1 PENGERTIAN TETANUS Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium tetani, bermanisfestasi dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot massater dan otot-otot rangka Penyakit tetanus merupakan salah satu infeksi yang berbahaya karena mempengaruhi sistem urat saraf dan otot. Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang berarti menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di mana spasme otot tonik dan hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya punggung (opistotonus), spasme glotal, kejang dan spasme dan paralisis pernapasan. 2.2 ETIOLOGI Clostiridium tetani adalah kuman yang berbentuk batang seperti penabuh genderang berspora, golongan gram positif, hidup anaerob. Kuman ini mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik (tetanus spasmin), yang mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Timbulnya tetanus ini terutama oleh clostiridium tetani yang didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang salah. Faktor predisposisi a) Umur tua atau anak-anak b) Luka yang dalam dan kotor c) Belum terimunisasi 2.3 PATOFISIOLOGI Adanya Luka Kontaminasi dengan kuman clostridium tetani Eksotoksin Pengangkutan toksin melewati saraf motorik Ganglion sumsum Otak Saraf otonom Tulang belakang Menempel pada mengenai saraf cerebral gangliosides simpatis tonus otot

Menjadi kaku kekakuan dan kejang keringat berlebih, Khas pd tetanus hipertermi, Hilangnya hipotermi, aritmia, keseimbangan takikardia tonus otot hipoksia berat kekakuan otot oksigen di otak kesadaran GIT S. respirasi absorbsi ganagguan pola nafas gangguan nutrisi 2.4 TANDA DAN GEJALA a) Masa inkubasi tetanus berkisar antara 2-21 hari. b) Ketegangan otot rahang dan leher (mendadak). c) Kesukaran membuka mulut (trismus). d) Kaku kuduk (epistotonus), kaku dinding perut dan tulang belakang. e) Saat kejang tonik tampak risus sardonikus. Gejala Klinis Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, namun dapat singkat 1-2 hari dan kadang lebih satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis. Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat, dengan interval antara terjadinya luka dengan permulaan penyakit; makin jauh tempat invasi, masa inkubasi makin panjang. Tetanus tak segera dapat terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini berlangsung hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada masa inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus bisa dibagi dalam tiga tahap, yaitu : a) Tahap awal Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan gejala awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa penderita juga mengalami kesulitan menelan. Gangguan terus dialami penderita selama infeksi tetanus masih berlangsung. b) Tahap kedua Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah (Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat sampai gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama sekali. Kekakuan ini bisa menjalar ke otototot wajah, sehingga wajah penderita akan terlihat menyeringai (Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut. Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri. Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan tertarik ke belakang. (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami luka. Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami tekanan di daerah dada, suara berubah karena berbicara melalui mulut atau gigi yang terkatub erat, dan gerakan dari langit-langit mulut menjadi terbatas. c) Tahap ketiga

Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah kejang refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot. Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula karena adanya rangsangan dari luar. Misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih sering. Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus dapat menyebabkan sulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan patah tulang belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat. Pernafasan pun juga dapat terhenti karena kejang otot ini, sehingga beresiko kematian. Hal ini disebabkan karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas, sehingga refleks batuk tidak memadai, dan penderita tidak dapat menelan. Secara klinis, tetanus dibedakan atas : a) Tetanus lokal Ditandai dengan rasa nyeri dan spasmus otot di bagian proksimal luka; gejala ini dapat terjadi selama beberapa minggu dan menghilang tanpa gejala sisa. Bentuk ini dapat berkembang menjadi bentuk umum; kasus fatal kira-kira 1%. b) Tetanus umum Merupakan bentuk tetanus yang paling banyak dijumpai, dapat timbul mendadak, trismus merupakan gejala awal yang paling sering dijumpai. Spasmus otot maseter dapat terjadi bersamaan dengan kekakuan otot leher dan kesukaran menelan, biasanya disertai kegelisahan dan iritabilitas. Trismus yang menetap menyebabkan ekspresi wajah yang karakteristik berupa risus sardonicus. Kontraksi otot meluas, pada otot-otot perut menyebabkan perut papan dan kontraksi otot punggung yang menetap menyebabkan opistotonus; dapat timbul kejang tetani bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bawah. Selama periode ini penderita berada dalam kesadaran penuh. c) Tetanus sefalik Jenis ini jarang dijumpai; masa inkubasi 1-2 hari, biasanya setelah luka di kepala, wajah atau otitis media; banyak kasus berkembang menjadi tipe umum. Tetanus tipe ini mempunyai prognosis buruk. 2.5 Gambaran Umum yang Khas pada Tetanus 1). Badan kaku dengan epistotonus 2). Tungkai dalam ekstensi 3). Lengan kaku dan tangan mengepal 4). Biasanya keasadaran tetap baik 5). Serangan timbul proksimal dan dapat dicetuskan oleh karena : a) Rangsang suara, rangsang cahaya, rangsang sentuhan, spontan. b) Karena kontriksi sangat kuat dapat terjadi aspiksia, sianosis, retensi urine, fraktur vertebralis (pada anak-anak), demam ringan dengan stadium akhir. Pada saat kejang suhu dapat naik 2-4 derakat celsius dari normal, diaphoresis, takikardia dan sulit menelan. 2.6 Pemeriksaan diagnostik pada Tetanus 1) Pemeriksaan fisik : adanya luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada rahang 2) Pemeriksaan darah leukosit 8.000-12.000 m/L, peninggian tekanan otak, deteksi kuman sulit 3) Pemeriksaan ECG dapat terlihat gambaran aritmia ventrikuler 2.7 Komplikasi pada Tetanus

1) Bronkopneumoni 2) Asfiksia dan sianosis 2.8 Prognosa Sangat buruk bila ada OMP (Otitis Media Purulenta), luka pada kulit kepala. Tetanus memiliki angka kematian sampai 50%. Kematian biasanya terjadi pada penderita yang sangat muda, sangat tua dan pemakai obat suntik. Jika gejalanya memburuk dengan segera atau jika pengobatan tertunda, maka prognosisnya buruk. Dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat memperburuk keadaan yaitu : 1) Masa Inkubasi yang pendek (kurang dari 7 hari). 2) Neonatus dan usia tua (lebih dari 5tahun). 3) Frekuensi kejang yang sering. 4) Kenaikan suhu badan yang tinggi. 5) Pengobatan terlambat. 6) Periode trismus dan kejang yang semakin sering. 7) Adanya penyulit spasme otot pernafasan dan obstruksi jalan nafas. 2.9 Pencegahan pada Tetanus Pencegahan penyakit tetanus meliputi : 1) Anak mendapatkan imunisasi DPT diusia 3-11 Bulan 2) Ibu hamil mendapatkan suntikan TT minimal 2 X 3) Pencegahan terjadinya luka & merawat luka secara adekuat 4) Pemberian anti tetanus serum. 2.10 Penatalaksanaan pada Tetanus a) Umum Tetanus merupakan keadaan darurat, sehingga pengobatan dan perawatan harus segera diberikan : 1) Netralisasi toksin dengan injeksi 3000-6000 iu immunoglobulin tetanus disekitar luka 9tidak boleh diberikan IV). 2) Sedativa-terapi relaksan ; Thiopental sodium (Penthotal sodium) 0,4% IV drip; Phenobarbital (luminal) 3-5 mg/kg BB diberikan secara IM, iV atau PO tiap 3-6 jam, paraldehyde 9panal) 0,15 mg/kg BB Per-im tiap 4-6 jam. 3) Agen anti cemas ; Diazepam (valium) 0,2 mg/kg BB IM atau IV tiap 3-4 jam, dosis ditingkatkan dengan beratnya kejang sampai 9,5 mg/kg BB/24 jam untuk dewasa. 4) Beta-adrenergik bolcker; propanolol 9inderal) 0,2 mg aliquots, untuk total dari 2 mg IV untuk dewasa atau 10 mg tiap 8 jam intragastrik, digunakan untuk pengobatan sindroma overaktivitas sempatis jantung. 5) Penanggulangan kejang; isolasi penderita pada tempat yang tenang, kurangi rangsangan yang membuat kejang, kolaborasi pemeberian obat penenang. 6) Pemberian Penisilin G cair 10-20 juta iu (dosis terbagi0 dapat diganti dengan tetraciklin atau klinamisin untuk membunuh klostirida vegetatif. 7) Pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit. 8) Diit tKTP melalui oral/ sounde/parenteral 9) Intermittent positive pressure breathing (IPPB) sesuai dengan kondisi klien. 10) Indwelling cateter untuk mengontrol retensi urine. 11) Terapi fisik untuk mencegah kontraktur dan untuk fasilitas kembali fungsi optot dan ambulasi selama penyembuhan. b. Pembedahan 1) Problema pernafasan ; Trakeostomi (k/p) dipertahankan beberapa minggu; intubasi trakeostomi atau laringostomi untuk bantuan nafas. 2) Debridemen atau amputasi pada lokasi infeksi yang tidak terdeteksi

BAB III PEMBAHASAN 3.1 ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN TETANUS a) Pengkajian 1. Identitas pasien : nama, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, tanggal masuk, tanggal pengkajian, diagnosa medik, rencana terapi. 2. Identitas orang tua a. Ayah : nama, usia, pendidikan, pekerjaan, agama, alamat. b. Ibu : nama, usia, pendidikan, pekerjaan, agama, alamat 3. Identitas sudara kandung. 4. Keluhan utama/alasan masuk RS. 5. Riwayat Kesehatan a. Riwayat kesehatan sekarang. b. Riwayat kesehatan masa lalu. Ante natal care Natal Post natal care c. Riwayat kesehatan keluarga. 6. Riwayat imunisasi 7. Riwayat tumbuh kembang a. Pertumbuhan fisik b. Perkembangan tiap tahap 8. Riwayat Nutrisi a. Pemberian asi b. Susu Formula c. Pemberian makanan tambahan d. Pola perubahan nutrisi tiap tahap usia sampai nutrisi saat ini 9. Riwayat Psikososial 10. Riwayat Spiritual 11. Reaksi Hospitalisasi a. Pemahaman keluarga tentang sakit yang rawat nginap. 12. Aktifitas sehari-hari a. Nutrisi b. Cairan c. Eliminasi BAB/BAK d. Istirahat tidur e. Olahraga f. Personal Hygiene g. Aktifitas/mobilitas fisik h. Rekreasi 13. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan umum klien b. Tanda-tanda vital c. Antropometri d. Sistem pernafasan e. Sistem Cardio Vaskuler

f. Sistem Pencernaan g. Sistem Indra h. Sistem muskulo skeletal i. Sistem integument j. Sistem Endokrin k. Sistem perkemihan l. Sistem reproduksi m. Sistem imun n. Sistem saraf : Fungsi cerebral, fungsi kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, fungsi cerebelum, refleks, iritasi meningen 14. Pemeriksaan tingkat perkembangan a. 0 6 tahun dengan menggunakan DDST (motorik kasar, motorik halus, bahasa, personal sosial). b. 6 tahun keatas (perkembangan kognitif, Psikoseksual, Psikososial). 15. Tes Diagnostik 16. Terapi b) Diagnosa dan Intervensi No. Dx Kep Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional 1. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah yang ditandai dengan intake kurang, makan dan minuman yang masuk lewat mulut kembali lagi dapat melalui hidung dan berat badan menurun ddiserta hasil pemeriksaan protein atau albumin kurang dari 3,5 mg%. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam, status nutrisi klien dapat terpenuhi Dengan kriteria hasil : a) BB optimal. b) Intake adekuat 1. Jelaskan faktor yang mempengaruhi kesulitan dalam makan dan pentingnya makanabagi tubuh Observasi bising usus bila perlu, dan hati-hati karena sentuhan dapat merangsang kejang. 2. Kolaboratif : a) Pemberian diit TKTP cair, lunak atau bubur kasar. b) Pemberian carian per IV line c) Pemasangan NGT bila perlu Timbang berat badan sesuai protocol. 1. Dampak dari tetanus adalah adanya kekakuan dari otot pengunyah sehingga klien mengalami kesulitan menelan dan kadang timbul refflek balik atau kesedak. Dengan tingkat pengetahuan yang adequat diharapkan klien dapat berpartsipatif dan kooperatif dalam program diit. 2. Kolaboratif : a) Diit yang diberikan sesuai dengan keadaan klien dari tingkat membuka mulut dan proses mengunyah. b) Pemberian cairan perinfus diberikan pada klien dengan ketidakmampuan mengunyak atau tidak bisa makan lewat mulut sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi. c) NGT dapat berfungsi sebagai masuknya makanan juga untuk memberikan obatSuplay Kalori dan protein yang adekuat mempertahankan metabolisme tubuh. 2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otototot pernafasan, yang ditandai dengan kejang rangsanng, kontraksi otot-otot pernafasan, adanya lendir dan sekret yang menumpuk. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam, pola nafas teratur dan normal

Dengan kriteria hasil : a) Hipoksemia teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan kebutuahn oksigen. b) Tidak sesak, pernafasan normal 16-18 kali/menit. c) Tidak sianosis. 1. Monitor irama pernafasan dan respirati rate. 2. Atur posisi luruskan jalan nafas. 3. Observasi tanda dan gejala sianosis. 4. Oksigenasi 5. Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam. 6. Observasi timbulnya gagal nafas. 7. Kolaborasi dalam pemeriksaan analisa gas darah. 1. Indikasi adanya penyimpangan atau kelaianan dari pernafasan dapat dilihat dari frekuensi, jenis pernafasan,kemampuan dan irama nafas. 2. Jalan nafas yang longgar dan tidak ada sumbatan proses respirasi dapat berjalan dengan lancar. 3. Sianosis merupakan salah satu tanda manifestasi ketidakadekuatan suply O2 pada jaringan tubuh perifer. 4. Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia. 5. Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama. 6. Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical ventilation). 7. Kompensasi tubuh terhadap gangguan proses difusi dan perfusi jaringan dapat 3. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin (bakterimia) yang dditandai dengan suhu tubuh 38-40 oC, hiperhidrasi, sel darah putih lebih dari 10.000 /mm3 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam, suhu tubuh klien normal. Dengan kriteria hasil : a) Suhu tubuh S36-37oC, b) Hasil lab sel darah putih (leukosit) antara 5.000-10.000/mm3 1. Atur suhu lingkungan yang nyaman. 2. Berikan hidrasi atau minum ysng cukup adequate. 3. Pantau suhu tubuh tiap 2 jam. 4. Lakukan tindakan teknik aseptik dan antiseptik pada perawatan luka. 5. Laksanakan program pengobatan antibiotik dan antipieretik. 6. Berikan kompres dingin bila tidak terjadi ekternal rangsangan kejang. 7. Kolaboratif dalam pemeriksaan lab leukosit. 1. Iklim lingkungan dapat mempengaruhi kondisi dan suhu tubuh individu sebagai suatu proses adaptasi melalui proses evaporasi dan konveksi. 2. Identifikasi perkembangan gejala-gajala ke arah syok exhaustion. 3. Cairan-cairan membantu menyegarkan badan dan merupakan kompresi badan dari dalam. 4. Perawatan lukan mengeleminasi kemungkinan toksin yang masih berada disekitar luka. 5. Kompres dingin merupakan salah satu cara untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara proses konduksi. 6. Obat-obat antibakterial dapat mempunyai spektrum lluas untuk mengobati bakteeerria gram positif atau bakteria gram negatif. Antipieretik bekerja sebagai proses termoregulasi

untuk mengantisipasi panas. 7. Hasil pemeriksaan leukosit yang meningkat lebih dari 10.000 /mm3 mengindikasikan adanya infeksi dan atau untuk mengikuti perkembangan pengobatan yang diprogramka

Anda mungkin juga menyukai