1.1 Latar Belakang Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius diberbagai negara di seluruh dunia. Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian. 1 Kemajuan ilmu dan teknologi di belahan dunia ini tidak sepenuhnya diikuti dengan kemajuan penatalaksanaan asma, hal itu tampak dari data berbagai negara yang menunjukkan peningkatan kunjungan ke gawat darurat, rawat inap, kesakitan dan bahkan kematian karena asma. Berbagai argumentasi diketengahkan seperti perbaikan kolektif data, perbaikan diagnosis dan deteksi perburukan dan sebagainya. Akan tetapi juga disadari masih banyak permasalahan akibat keterlambatan penanganan baik karena penderita maupun dokter (medis). Kesepakatan bagaimana menangani asma dengan benar yang dilakukan oleh National Institute of Health National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) bekerja sama dengan World Health Organization (WHO) bertujuan memberikan petunjuk bagipara dokter dan tenaga kesehatan untuk melakukan penatalaksanaan asma yang optimal sehingga menurunkan angka kesakitan dan kematian asma. Petunjuk penatalaksanaan yang telah dibuat dianjurkan dipakai di seluruh dunia disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan negara masing-masing. Merujuk kepada pedoman tersebut, disusun pedoman penanggulangan asmadi Indonesia. Diharapkan dengan mengikuti petunjuk ini dokter dapat menatalaksana asma dengan tepat dan benar, baik yang bekerja di layanan kesehatan dengan fasiliti minimal didaerah perifer, maupun di rumah sakit dengan fasiliti lengkap di pusat-pusat kota. 1
1.2 Tujuan Menjelaskan definisi asma, kategori asma, penanganan asma, dan edukasi pada pasien asma. Serta membahas tentang obat-obatan untuk pelega dan pengontrol asma.
IDENTITAS Nama Umur Jenis Kelamin Status Perkawinan Agama Pekerjaan Alamat Suku Tanggal Masuk : Rohani : 44 tahun : Perempuan : Menikah : Islam : IRT : Sungai Lung : Aceh :10 Januari 2014
ANAMNESA Keluhan Utama Telaah : Sesak Napas : Os datang ke IGD RSUD Langsa dengan keluhan sesak napas sejak 5 jam yang lalu sebelum masuk Rumah Sakit. Sesak napas muncul tiba-tiba dan tidak dipengaruhi oleh aktifitas. Sesak napas disertai dengan napas berbunyi dan dirasakan terus menerus. Sesak napas tidak berkurang dengan perubahan posisi. Biasanya Keluhan sesak muncul bila os terkena cuaca dingin. Kondisi ini sudah terjadi semenjak os berusia 28 tahun dan os sudah pernah berobat jalan ke Rumah Sakit sejak 3 bulan terakhir. Batuk 1minggu, batuk tidak berdahak. Nyeri dada (+), Demam (-), Sakit Kepala (+), Mual (-), Muntah (-), BAB lancar, BAK lancar.
Anemnesa Organ Jantung : Tidak ada kelainan Sirkulasi : Tidak ada kelainan Saluran Pernafasan :Sesak nafas,Batuk dan nyeri dada Ginjal dan Saluran kencing : Tidak Ada kelainan Saluran Cerna : Tidak ada Kelainan
2
Tulang : Tidak ada kelainan Otot : tidak ada kelainan Darah : Tidak ada kelianan Endokrin : tidak ada kelainan Genitalia : Tidak ada kelainan
Hati dan Saluran Empedu : Tidak Ada kelainan Sendi : Tidak Ada Kelainan
STATUS PRESENT Sensorium Tekanan Darah Temperatur Pernafasan Nadi KEADAAN GIZI BB : 56 kg TB : 150 cm : Composmentis : 120/80 mmHg : 36,9 C : 26 x/menit : 84 x/menit
KEADAAN PENYAKIT Anemia : (-) Ikterus : (-) Edema: (-) Eritema : (-)
Sianosis : (-) Turgor : (-) Dispnoe : (-) Sikap Tidur Paksa : (-)
PEMERIKSAAN FISIK Kepala Inspeksi Rambut : tidak ada kelainan Wajah : tidak ada kelainan Alis mata :tidak ada kelainan Bulu mata : tidak ada kelainan Mata : Tidak ada kelainan Hidung : Tidak ada kelainan Bibir :Tidak ada kelainan Lidah : Tidak ada Kelainan Thorax Thorax depan Inspeksi Bentuk : fusiformis Ketinggalan bernapas : (-) Venektasi : (-) Palpasi Paru Nyeri tekan : (-) Fremitus : kanan =kiri
3
Leher Inspeksi Struma : tidak ada kelainan Kelenjar limfe :tidak ad kelainan Posisi trakea :medial sakit/nyeri tekan : (-) TVJ : (-)
Thorax belakang Inspeksi Bentuk : fusiformis Ketinggalan bernafas : (-) Venektasi : (-) Palpasi Nyeri tekan : (-) Fremitus : Kanan = Kiri
Jantung Ictus cordis : Tidak teraba Perkusi Paru Suara paru : sonor Relatif : ICS V Dextra Absolut : ICS VI dextra Jantung Batas jantung atas : ICS II linea parasternalis sinistra Batas jantung kiri : ICS V medial linea midclavicularis sinistra Batas jantung kanan : linea parasternalis dextra Auskultasi paru Suara pernafasan : Vesikuler Suara tambahan : wheezing Auskultasi jantung Suara katup M1>M2 P2>P1 A2>A1 A2<P2
ABDOMEN Inspeksi Bengkak : (-) Venektasi : (-) Palpasi Hepar : tidak teraba Lien : tidak teraba Perkusi Nyeri ketok : (-) Auskultasi Peristaltik Usus : Normal EKSTREMITAS Ekstremitan atas Bengkak : (-) Merah : (-) Pucat : (-) Gangguan fungsi : (-)
Ekstremitas Bawah Edema : (-) Merah : (-) Pucat : (-) Clubbing Finger : (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium Hasil Pemeriksaan Hematologi Tanggal 11- 01 - 2014 Pemeriksaan Hb Hct Leukosit Trombosit Hasil 12,6 g/dl 35,9 % 20.200/mm3 373.000/mm3 Normal 14-18 g/dl 40-48% 5000-10.000/mm3 200.000-500.000/mm3
Radiologi
Interpretasi Foto 1. Identitas Foto Nama Umur Tanggal Pembuatan Marker : : : : Rohani 44 tahun 13 Januari 2014 (-)
2. Pembacaan Foto Kv Soft Tissue Trakea Klavikula Scapula Costae Diafragma Jantung Paru Mediastinum Sinus Costoprenicus Sinus Cardioprenicus : : : : : : : : : : : : Penyinaran foto cukup Dalam batas normal Medial Simetris Superposisi skapula kanan dan kiri (-) Tidak terdapat fraktur Dum Konveks CTR : 50 % (kesan : normal) Konsolidasi (-) (kesan : Normal) Corakan vaskular meningkat (-) Tampak tajam pada kedua sisi dekstra dan sinistra Tampak tajam pada kedua sisi dekstra dan sinistra
DIAGNOSIS BANDING
Farmakologis : IVFD RL 20 gtt/m Inj.ranitidine 1 A/12 jam Ventolin nebul /12 jam O2 3-4 L/i Salbutamol 3x 2 mg Methyl prednisolon 3x4mg Ambroxol syr 3xC1
6
PERKEMBANGAN SELAMA RAWAT INAP Tanggal 11-01-2014 S O : 120/80 A P - IVFD RL 20 gtt/m - Inj.ranitidine 1 A/12 jam - Ventolin nebul /12 jam - O2 3-4 L/i - Salbutamol 3x 2 mg - Methyl prednisolon 3x4mg - Ambroxol syr 3xC1 12-01-2014 Sesak napas (+) , TD Wheezing batuk (+) : 100/90 - IVFD RL 20 gtt/m - Inj.ranitidine 1 A/12 jam - Ventolin nebul /12 jam - O2 3-4 L/i - Salbutamol 3x 2 mg - Methyl prednisolon 3x4mg - Ambroxol syr 3xC1 13-01-2014 Sesak napas (+), TD wheezing : 110/80 - Three way - Cefotaxime 1 gr/8 jam - Berotec Inhaler 4x2 puff - Methyl prednisolon 2xII - Lansoprazole 30 mg 2x1
(+), mmHg
14-01-2014
100/70
- Three way - Cefotaxime 1 gr/8 jam - Berotec Inhaler 4x2 puff - Methyl prednisolon 2xII - Lansoprazole 30 mg 2x1
15-01-2014
120/80
16-01-2014
Sesak berkurang
napas TD
110/70
- Three way - Ventolin Nebul - Dexametason 2A/8 jam - Lansoprazole 2x1 - Levofloxacin 1x1
(+), mmHg
17-01-2014
Sesak berkurang
nafas TD
110/70
- Berotec Inhaler 4x1 puff - Methyl Prednisolon 2xII - Lansoprazole 30mg 2x1 - Levofloxacin 1x1
(+), mmHg
2.2 Epidemiologi Asma Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur pasien, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Pada masa kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak perempuan adalah 1,5:1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak dari laki-laki. Umumnya prevalensi asma anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak. Angka ini juga berbeda-beda antara satu kota dengan kota yang lain dinegara yang sama. 3 Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/ 1000. 1
2.3 Patogenesis Asma Inflamasi kronik dapat menjadi dasar utama terjadinya hiperresponsivitas saluran napas pasien asma. Berbagai jenis sel terlibat dalam inflamasi kronik ini, seperti limfosit T, epitel, eosinofil, dan sel mast. Inflamasi akut dapat mencetuskan serangan asma. Pada proses inflamasi akut, dapat terjadi reaksi asma tipe cepat (yang melibatkan IgE menempel pada sel mast) serta reaksi fase lambat yang terutama melibatkan eosinofil dan makrofag. 4 a. Reaksi tipe cepat Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi. 1 Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking reseptor IgE dengan factors pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan protease serta newly generated mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GMCSF. 1
b. Reaksi tipe lambat Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag. 1
Airway remodelling juga merupakan proses yang sangat penting. Perubahan ini merupakan sekuel dari proses inflamasi kronik yang terjadi, sehingga terjadi proses perbaikan dan pergantian sel-sel epitel yang menyebabkan penggantian menjadi jaringan penyambung dan menjadi jaringan ikat. Melalui proses remodelling ini, akan terjadi hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran napas, kelenjar mukus, penebalan membran retikular basal, peningkatan vaskularisasi, peningkatan matriks ekstraselular, serta terjadi perubahan struktur parenkim. Dengan demikian, proses remodelling ini dapat berimplikasi kepada kondisi klinis pasien, berupa hiperreaktivitas bronkus sehingga dapat terjadi obstruksi saluran napas. Selain itu, dengan memahami proses remodelling saluran napas ini, penatalaksanaan dapat berfokus kepada masalah ini, selain daripada mencegah gejala bronkokonstriksi saja. Dasar molekular dari remodelling saluran napas ini adalah dengan inflamasi kronik yang melibatkan aktivasi sel Th-2. Sel Th-2 ini nanti akan menghasiklan sitokin proinflamasi yang berinteraksi dengan epitel mediator serta sel-sel lain. Pada akhirnya proses ini dapat menimbulkan perubahan struktur saluran napas. 4
Perlu diketahui pula bahwa pada umumnya seseorang telah memiliki predisposisi asma yang ditinjau dari kerentanan genetiknya. Di atas dasar ini, faktor lingkungan juga sangat berperan, baik sebagai faktor pencetus maupun faktor yang dapat membuat seseorang semakin rentan terhadap asma. Sebagai contoh, alergen dalam ruangan,
alergen luar ruangan, asap rokok, polusi udara, serta infeksi pernapasan. Sedangkan faktor pencetus asma dapat pula berupa alergen, polusi, infeksi, olahraga, hiperventilasi, perubahan cuaca, makanan, ekspresi emosi, serta iritan saluran napas lainnya. 4 Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti hipereaktifitas jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut. 1 2.4 Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis 1 Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan
perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis. 1 DERAJAT ASMA Intermiten Gejala < 1x/minggu, Tanpa gejala di luar serangan, Serangan singkat Persisten ringan Gejala > 1x/minggu tetapi < 1x/hari, serangan dapat mengganngu aktifitas dan tidur Persisten sedang Gejala setiap hari, serangan menggangu aktifitas dan tidur, membutuhkan bronkodilator setiap hari Persisten berat Gejala terus-menerus, sering kambuh, aktifitas terbatas Sumber : PDPI, Asma Pedoman dan Penatalaksanaan di Indonesia, 2004 Sering APE 60% >1x seminggu APE 60-80% >2x sebulan APE >80% GEJALA GEJALA MALAM 2x sebulan APE 80%% FAAL PARU
12
2.5 Faktor Risiko Asma 2 Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor lingkungan. A. Faktor genetik a. Atopi/alergi Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini,
13
penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus. b. Hipereaktivitas bronkus Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan. c. Jenis kelamin Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak. d. Ras/etnik e. Obesitas Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
B. Faktor lingkungan a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain). b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
C. Faktor lain a. Alergi terhadap makanan Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan. b. Alergi obat-obatan tertentu Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain. c. Bahan yang mengiritasi Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.
14
d. Ekspresi emosi berlebih Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati. e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini. f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan g. Exercise-induced asthma Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut. h. Perubahan cuaca Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan). i. Status ekonomi.
2.6 Gambaran Klinis Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan sesak napas. pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat didada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan banyak sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant asthma. Bila hal ini dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin. 3
15
Pada asma alergik, sering hubungan antra pemajanan alergen dengan gejala asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus non-alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas ataupun perubahan cuaca. 3 Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya tetap memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila pasien dijauhkan dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji provokasi dengan bahan tersangka yang ada dilingkungan kerja mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis. 3
2.7 Diagnosis 1. Anamnesa 1 Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia, disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik. RIWAYAT PENYAKIT / GEJALA : Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu Respons terhadap pemberian bronkodilator Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit : Riwayat keluarga (atopi) Riwayat alergi / atopi Penyakit lain yang memberatkan Perkembangan penyakit dan pengobatan
16
2. Pemeriksaan fisik 1 Pada pemeriksaan fisik dapat bervariasi dari normal sampai didapatkan kelainan. Selain itu perlu diperhatikan tanda-tanda asma dan penyakit alergi lainnya. Tanda asma yang paling sering ditemukan adalah wheezing (mengi), tetapi pada sebagian pasien asma tidak didapatkan mengi diluar serangan. Pada serangan asma umumnya terdengar mengi, disertai tanda-tanda lainnya, pada asma yang sangat berat mengi dapat tidak terdengar (silent chest) dan pasien dalam keadaan sianosis dan kesadaran menurun.
Pasien yang mengalami serangan asma, pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan (sesuai derajat serangan) a. Inspeksi : pasien terlihat gelisah, sesak (nafas cuping hidung, nafas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi supra sternal), sianosis. b. Palpasi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata (pada serangan yang berat bisa terjadi pulsus paradoksus) c. Perkusi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata d. Auskultasi : ekspirasi memanjang, wheezing, suara lendir. (buku pedoman asma)
3. Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan Faal Paru 1 Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima secara luas adalah pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE). Pengukuran faal paru ini digunakan untuk menilai: Obstruksi jalan napas Reversibiliti kelainan faal paru Variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan napas b. Spirometri 1 Pengukuran volume ekspirasi paksa (VEP) dan kapasitas vital paru (KVP) dilakukan dengan cara ekspirasi paksa dengan prosedur standar. Nilai dari pemeriksaan ini bergantung pada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi yang jelas dan sikap kooperatif penderita. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP/KVP atau VEP < 80% nilai prediksi. Manfaat pemeriksan spirometri dalam diagnosa asma antara lain:
17
Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1< 80% nilai prediksi. Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 inhalasi bronkodilator (uji 15% secara spontan, atau setelah atau setelah pemberian
bronkodilator),
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma Menilai derajat berat asma
Gambar 3. Spirometer c. Arus Puncak Ekspirasi (APE) 1 Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter(PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas. Cara pemeriksaan APE harian yaitu
18
diukur pada pagi hari untuk mendapat nilai terendah dan malam hari untuk mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh dengan 2 cara: Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan nilai APE pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari sebelumnya sesudah bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam sebelumnya sesudah bronkodilator menunjukkan persentase rata-rata nilai APE harian. Nilai > 20% dipertimbangkan sebagai asma. Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah APE pagi sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan dengan persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE malam hari). Contoh : Selama 1 minggu setiap hari diukur APE pagi dan malam, misalkan didapatkan APE pagi terendah 300, dan APE malam tertinggi 400; maka persentase dari nilai terbaik (% of the recent best) adalah 300/ 400 = 75%. Metode tersebut paling mudah dan mungkin dilakukan untuk menilai variabiliti. d. Uji Provokasi Bronkus 3 Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik. e. Pengukuran Status Alergi 3 Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam penatalaksanaan. Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji
19
kulit tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi. f. Pemeriksaan sputum 3 Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil sangat dominan pada bronkhitis kronik. g. Pemeriksaan eosinofil total 3 Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien asma dan hal ini dapat membantu dalam membedakan asma dari bronkitis kronik. Pemeriksaan ini juga dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup tidaknya dosis kortikosteroid yang dibutuhkan h. Foto thoraks 3 Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis diparu atau komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-lain. 2.8 Diagnosa Banding 3 Bronkitis kronik. Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Penyebab batuk kronik seperti tuberkulosis, bronkitis atau keganasan harus disingkirkan dahulu. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya didapatkan pada pasien berumur lebih dari 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya dimulai dengan batuk pagi hari, lama kelamaan disertai mengi dan menurunnya kemampuan kegiatan jasmani. Pada stadium lanjut dapat ditemukan sianosis dan tanda-tanda korpulmonal. Emfisema paru. Sesak merupakan gejala utama pada emfisema. Sedangkan batuk dan mengi jarang menyertainya. Pasien biasanya kurus. Berbeda dengan asma, pada emfisema tidak pernah ada masa remisi, pasien selalu sesak pada kegiatan jasmani. Pada pemeriksaan fisis ditemukan dada kembung, peranjakan napas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, dan suara napas sangat lemah. Pemeriksaan foto dada menunjukkan hiperinflasi.
20
Gagal jantung kiri akut. Dulu gagal jantung kiri akut dikenal dengan nama asma kardial, dan bila timbul pada malam hari disebut paroxysmal nocturnal dyspnoe. Pasien tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau berkurang bila duduk. Pada anamnesis dijumpai hal-hal yang memperberat atau memperingan gejala jantung. Disamping ortopnea, pada pemeriksaan fisis ditemukan kardiomegali dan edema paru.
Emboli paru. Hal yang dapat menimbulkan emboli antara lain adalah imobilisasi, gagal jantung dan tromboflebitis. Disamping gejala sesak napas, pasien batukbatuk yang disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin, dan kejang. Pada pemeriksan fisik ditemukan adanya ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, irama derap, sianosis, dan hipertensi. Pada EKG menunjukkan perubahan antara lain aksis jantung ke kanan.
2.9 Program Penatalaksanaan Asma 1 Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan asma: Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma Mencegah eksaserbasi akut Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin Mengupayakan aktifitas normal termasuk exercise Menghindari efek samping obat Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel Mencegah kematian karena asma
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol apabila: Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam Tidak ada keterbatasan aktifitas Kebutuhan akan bronkodilator minimal Variasi harian APE <20% Nilai APE normal atau mendekati normal Efek samping obat minimal Tidak kunjungan ke unit gawat darurat. (PDPI)
21
1. Asma Intermiten a. Umumnya tidak diperlukan pengontrol b. Bila diperlukan pelega, agonis -2 kerja singkat inhalasi dapat diberikan. Alternatif dengan agonis -2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis -2 kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi c. Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan
2. Asma Persisten Ringan a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan: o Glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (diberikan sekaligus atau terbagi dua kali sehari) dan agonis -2 kerja lama inhalasi Budenoside : 200400 g/hari Fluticasone propionate : 100250 g/hari
o Teofilin lepas lambat o Kromolin o Leukotriene modifiers b. Pelega bronkodilator (Agonis -2 kerja singkat inhalasi) dapat diberikan bila perlu
3. Asma Persisten Sedang a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan: Glukokortikosteroid inhalasi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis -2 kerja lama inhalasi Budenoside: 400800 g/hari Fluticasone propionate : 250500 g/hari Glukokortikosteroid inhalasi (400800 lambat g/hari) ditambah teofilin lepas
22
Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah agonis -2 kerja lama oral Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 g/hari) Glukokortikosteroid inhalasi (400800 modifiers g/hari) ditambah leukotriene
b. Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu Agonis -2 kerja singkat inhalasi: tidak lebih dari 34 kali sehari, atau Agonis -2 kerja singkat oral, atau Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis -2 kerja singkat Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol c. Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis -2 kerja lama inhalasi d. Dianjurkan menggunakan alat bantu / spacer pada inhalasi bentuk IDT atau kombinasi dalam satu kemasan agar lebih mudah
4. Asma Persisten Berat a. Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin b. Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat mengontrol asma, dengan pilihan: Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis -2 kerja lama inhalasi Beclomethasone dipropionate: >800 g/hari Selain itu teofilin lepas lambat, agonis -2 kerja lama oral, dan leukotriene modifiers dapat digunakan sebagai alternative agonis -2 kerja lama inhalai ataupun sebagai tambahan terapi Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan spacer, karena dapat mencegar efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk karena iritasi saluran napas atas
23
Gambar 4. Langkah pengobatan menurut GINA Rencana pengobatan berdasarkan klasifikasi serangan asma 1 PENGOBATAN Terbaik: Inhalasi agonis beta-2
SERANGAN RINGAN Aktivitas relatif normal Berbicara satu kalimat dalam satu napas Nadi <100 APE > 80%
SEDANG Jalan jarak jauh timbulkan gejala Berbicara beberapa kata dalam satu napas Nadi 100-120 APE 60-80%
Alternatif: Agonis beta-2 subkutan Aminofilin IV Adrenalin 1/1000 0,3ml SK Oksigen bila mungkin Kortikosteroid sistemik
24
BERAT Sesak saat istirahat Berbicara kata perkata dalam satu napas Nadi >120 APE<60% atau 100 l/dtk
Alternatif: -Agonis beta-2 SK/ IV -Adrenalin 1/1000 0,3ml SK Aminofilin bolus dilanjutkan drip Oksigen Kortikosteroid IV
2.10
Medikasi Asma Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega. 1. Pengontrol (Controllers) 1 Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol : Kortikosteroid inhalasi Kortikosteroid sistemik Sodium kromoglikat Nedokromil sodium Metilsantin Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi Agonis beta-2 kerja lama, oral Leukotrien modifiers Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1), dan lain-lain
25
2. Pelega (Reliever) 1 Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk pelega adalah : Agonis beta2 kerja singkat Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain). Antikolinergik Aminofillin Adrenalin
Pengobatan asma dapat dibagi atas terapi serangan akut dan terapi pemeliharaan untuk mencegah serangan atau memburuknya penyakit. A. Serangan asma akut dengan pelega (reliever) 5 Biasanya dapat dihentikan dengan suatu bronkospasmolitkum untuk melepaskan kejang bronkus. Pilihan pertama adalah suatu 2- mimetikum (2-agonis) per inhalasi, misalnya salbutamol atau terbutalin dengan efek cepat (sesudah 3-5 menit). Obat yang tak selektif seperti efedrin dan isoprenalin, dapat pula diberikan sebagai tablet, tetapi efeknya baru tampak sesudah lebih kurang 1 jam. Bila sesudah 15 menit belum menghasilkan efek, inhalasi dapat diulang sekali lagi. Jika juga tidak memberikan efek, pasien perlu diberi obat secara injeksi intravena aminofilin dan atau salbutamol. Pada serangan hebat, sering kali ditambahkan hidrokortison atau prednison i.v. Sebagai tindakan terakhir dapat diinjeksikan adrenalin, yang dapat diulang 2 kali dalam waktu satu jam. Status Asmatikus. Merupakan serangan asma akut dan hebat yang bisa bertahan lama sekali. Efek suatu bronkodilator pada keadaan ini hanya kecil dan lambat, yang disebabkan oleh blokade reseptor beta sebagai akibat umum dari suatu infeksi saluran napas. keadaan demikian perlu diobati secara khusus dirumah sakit dengan pemberian oksigen dan minum banyak air, hidrokortison i.v dan bila perlu
26
bikarbonat. Lazimnya pasien diberi injeksi i.v dengan salbutamol dan/atau aminofilin serta hidrokortison dalam dosis besar. Perlu juga diambil tindakan-tindakan tambahan lain untuk melawan efek samping dari status asmatikus. Pada serangan yang tidak dapat dihentikan dengan injeksi adrenalin seagai tindakan teakhir. Umumnya injeksi i.v dengan novocaine 2% efektif. B. Terapi Pemeliharaan dengan pengontrol (controler) 5 Pengobatan pemeliharaan pada umumnya dilakukan secara bertingkat, berdasarkan prinsip bahwa asma adalah suatu penyakit peradangan, maka obat antiradang perlu digunakan sedini mungkin. Disamping itu, penggunaan bronkodilator hendaknya dibatasi pada terapi serangan dan/atau dalam kombinasi dengan obat antiradang. Dalam garis besar sering kali ditempuh skema sebagai berikut: Asma ringan (serangan <1x sebulan) dapat diobati dengan suatu 2 mimetikum yang bekerja singkat sebagai monoterapi, misalnya salbutamol atau terbutalin (1-2 inhalasi / minggu) Asma sedang (serangan 1-4x sebulan) perlu diobati dengan obat yang menekan peradangan disaluran napas, yakni kortikosteroid inhalasi, seperti beklometason, flutikason, atau budesonida dalam dosis rendah (200-800 mcg/hari). Bila perlu, obat ini dikombinasi dengan salbutamol atau terbutalin sampai 3-4 inhalasi/hari atau dengan obat pencegah kromoglikat dan nedokromil, juga per inhalasi. Untuk anak-anak dengan asma yang bercirikan alergi dapat diberikan per oral ketotifen atau oksatomida, yang juga berkhasiat mencegah degranulasi mastcells. Asma agak serius (serangan >1-2x serminggu) dapat ditanggulangi oleh kortikosteroid dengan dosis lebih tinggi (800-1200 mcg/hari) dan dikombinasi dengan 2 mimetikum atau antikolinergika (ipratropium) sebagai bronkodilator untuk mengurangi obstruksi bronkus Asma serius (serangan > 3x seminggu) walaupun penggunaan kortikosterid inhalasi dalam dosis cukup tinggi, tetapi pada malam hari masih timbul sesak napas. dalam hal ini dapat diberikan 2 mimetikum kerja panjang sebagai inhalasi (salmeterol, formeterol). Bila perlu obat ini dapat dikombinasi denan teofilin dalam bentuk slow release. (obat penting)
27
2.11
Edukasi Edukasi memberi peranan penting dalam asma, terutama untuk menurunkan morbiditi
dan mortaliti serta menjaga penderita agar tetap bisa beraktifitas karena berkurangnya serangan akut. Edukasi penderita dan keluarga menjadi penting dalam menjadi mitra dokter untuk penatalaksanaan asma, yang bertujuan untuk: Meningkatkan pemahaman penyakit dan pola penyakit asma itu sendiri Meningkatkan keterampilan dalam penanganan asma Meningkatkan kepuasan pasien Meningkatkan rasa percaya diri pasien Meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri
Edukasi sebaiknya diberikan dalam waktu khusus di ruang tertentu, dengan alat peraga yang lengkap seperti gambar pohon bronkus, phantom rongga toraks dengan saluran napas dan paru, gambar potongan melintang saluran napas, contoh obat inhalasi dan sebagainya. Hal yang demikian mungkin diberikan di klinik konseling asma. Edukasi sudah harus dilakukan saat kunjungan pertama baik di gawat darurat, klinik, klub asma; dengan bahan edukasi terutama mengenai cara dan waktu penggunaan obat, menghindari pencetus, mengenali efek samping obat dan kegunaan kontrol teratur pada pengobatan asma. 1 Tidak dapat dipastikan bahwa penderita melakukan semua yang disarankan bila penderita tidak menyetujuinya atau bila hanya dijelaskan satu kali/ belum memahami. 1 Maka dari itu disetiap kunjungan diberikan edukasi seperti yang tercantum dalam tabel berikut: WAKTU BERKUNJUNG Kunjungan awal Apa itu asma Diagnosis asma Identifikasi dan mengontrol pencetus Dua tipe pengobatan asma (pengontrol & pelega) Tujuan pengobatan Penggunaan obat inhalasi/spaser. Monitoring sendiri asma melalui: mengenali intensitas dan frekuensi gejala, tanda perburukan asma untuk evaluasi kembali pengobatan BAHAN EDUKASI DEMONSTRASI
28
Kunjungan pertama
Identifikasi & mengontrol pencetus Penilaian berat asma Medikasi (apa yang dipakai, bagaimana & kapan, adakah masalah dengan pengobatan tersebut) Penanganan serangan asma dirumah
Penggunaan peak flow meter Monitor asma dan tindakan apa yang dapat dilakukan
Kunjungan kedua
Identifikasi & mengontrol pencetus Penanganan serangan asma dirumah Medikasi Monitor asma (gejala & faal paru/ APE) Penanganan asma mandiri/ pelangi asma (bila penderita mampu)
Faktor penyebab ketidak patuhan pasien Faktor obat kesulitan menggunakan obat inhalasi / alat bantu paduan pengobatan yang tidak menyenangkan (banyak obat, 4 kali sehari, dll) harga obat mahal tidak menyukai obat apotik jauh/ sulit terjangkau
29
salah pengertian atau kurang informasi takut efek samping tidak puas dengan layanan dokter/ perawat tidak terdiskusikan & terpecahkan masalah yang dirasakan penderita harapan yang tidak sesuai supervisi, latihan dan tindak lanjut yang buruk takut terhadap kondisi yang diderita dan pengobatannya kurangnya penilaian beratpeyakit isu-isu yang beredar di masyarakat stigmatisasi lupa sikap terhadap sakit dan sehat
30
BAB IV KESIMPULAN
-
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Secara umum faktor risiko yang dapat memicu terjadinya asma terbagi atas faktor genetik dan lingkungan.
Patogenesis terjadinya asma adalah inflamasi kronik yang terjadi karena adanya hiperrensponsif saluran napas. proses ini melibatkan berbagai jenis sel seperti limfosit T, epitel, eosinofil, dan sel mast. Hal terpenting pada inflamasi kronik pada asma ini adalah adanya airway remodelling, dimana terjadi proses inflamasi dan penggantian jaringan yang rusak dengan jaringan ikat sehingga terjadi proses hipertrofi dan hiperplasi otot polos saluran napas, kelenjar mukus, penebalan membran retikular basal, peningkatan vaskularisasi, peningkatan matriks ekstraseluler, dan perubahan struktur parenkim paru.
Faktor resiko asma: 1. Faktor genetik: riwayat atopi/alergi, hiperaktifitas bronkus, jenis kelamin, ras, obesitas 2. Faktor lingkungan: alergen dalam dan luar rumah 3. Faktor lain: alergi terhadap makanan, alergi obat-obatan tertentu, emosi berlebih, asap rokok, polusi udara, perubahan cuaca, dan exercise induced asthma
Gambaran klinis asma klasik adalah episodik batuk, mengi, dan sesak napas. pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat didada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin.
Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis DERAJAT ASMA GEJALA GEJALA MALAM Gejala < 1x/minggu, Tanpa gejala di luar serangan, Serangan singkat 2x sebulan APE 80%% FAAL PARU
Intermiten
Persisten ringan
Gejala > 1x/minggu tetapi < 1x/hari, serangan dapat mengganngu aktifitas dan tidur
>2x sebulan
APE >80%
31
Persisten sedang
Gejala setiap hari, serangan menggangu aktifitas dan tidur, membutuhkan bronkodilator setiap hari
>1x seminggu
APE 60-80%
Persisten berat
Sering
APE 60%
Rencana pengobatan berdasarkan klasifikasi serangan asma PENGOBATAN Terbaik: Inhalasi agonis beta-2
SERANGAN RINGAN Aktiviti relatif normal Berbicara satu kalimat dalam satu napas Nadi <100 APE > 80%
SEDANG Jalan jarak jauh timbulkan gejala Berbicara beberapa kata dalam satu napas Nadi 100-120 APE 60-80%
Alternatif: Agonis beta-2 subkutan Aminofilin IV Adrenalin 1/1000 0,3ml SK Oksigen bila mungkin Kortikosteroid sistemik
BERAT Sesak saat istirahat Berbicara kata perkata dalam satu napas Nadi >120 APE<60% atau 100 l/dtk
Alternatif: -Agonis beta-2 SK/ IV -Adrenalin 1/1000 0,3ml SK Aminofilin bolus dilanjutkan drip Oksigen Kortikosteroid IV
32
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega A. Pengontrol (Controllers) Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol : Kortikosteroid inhalasi Kortikosteroid sistemik Sodium kromoglikat Nedokromil sodium Metilsantin Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi Agonis beta-2 kerja lama, oral Leukotrien modifiers Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)
B. Pelega (Reliever) Termasuk pelega adalah : Agonis beta2 kerja singkat Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain). Antikolinergik Aminofillin Adrenalin
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Doter Paru Indonesia. 2003. Penatalaksanaan Di Indonesia. PDPI. 2. Rengganis, Iris. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah Kedokteran Indonesia, Volume 58, No. 11 Novemvber 2008. IDI. 3. Sudoyo, Aru W. Setiohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Interna Publishing: Jakarta. 4. Antariksa B. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Asma. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-RS. Persahabatan: Jakarta. 5. Tjay, Drs. Tan Hoan. Rahardja, Drs. Kirana. 2008. Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan, Dan Efek-efek Sampingnya. Edisi Keenam. Elex Media Komputindo Kelompok Kompas Gramedia: Jakarta. Asma Pedoman Diagnosis &
34