Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya SMF Ilmu Penyakit Dalam di RSUD dr.Soebandi Jember
BAB I PENDAHULUAN
Kesehatan adalah hak asasi manusia. UUD 1945 menjamin bahwa setiap penduduk Indonesia berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal sesuai dengan kebutuhan, tanpa memandang kemampuan membayar. Sebagai anggota dari komunitas peradaban dunia, Indonesia juga memiliki tanggung jawab untuk mencapai target Millennium Development Goals (MDGs) 20002015. Komitmen pencapaian MDGs ini telah dituangkan dalam berbagai target Rencana Strategis Kementerian Kesehatan periode 20102014. Dengan pencapaian target MDGs, diharapkan terjadi peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Tetapi, sampai saat ini Indonesia masih terbelit berbagai masalah di bidang yang strategis tersebut. Jumlah penduduk miskin dengan status kesehatan yang rendah masih sangat besar dan tekanan beban ganda penyakit semakin berat dengan meningkatnya prevalensi penyakit degeneratif di tengah insidensi penyakit infeksi yang masih tinggi. Dengan masuknya berbagai teknologi baru yang umumnya lebih mahal, membuat biaya pelayanan kesehatan terus meningkat. Di sisi lain, anggaran kesehatan yang tersedia masih terbatas dan belum memadai. Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan salah satu program jaminan sosial yang diselenggarakan oleh BPJS dan dilaksanakan secara nasional mulai dari Januari 2014. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sendiri adalah badan hukum publik yang bertugas menyelenggarakan programprogram sosial dari pemerintah. Target dari program ini adalah seluruh penduduk Indonesia memiliki jaminan kesehatan yang memadai pada tahun 2019 nanti. Jaminan kesehatan yang diberikan pada program JKN ini bukan hanya pada saat memiliki penyakit kronis seperti jantung atau kanker namun juga termasuk di dalamnya usaha-usaha pencegahan, seperti imunisasi dan pemeriksaan kesehatan. Dengan adanya program ini diharapkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan nantinya akan merata terhadap setiap orang tidak bergantung pada besarnya iuran, sehingga rakyat miskin tidak perlu khawatir mendapat perlakuan berbeda.
Untuk mempersiapkan program JKN ini, maka pada tanggal 1 Januari 2014, ASKES akan berganti nama menjadi BPJS. Pembiayaan pada sistem JKN ini menggunakan prinsip Indonesia Case Base Group (INA-CBG's) atau berdasarkan grup penyakit. Contohnya penyakit amandel. Pembiayaannya bukan berdasarkan biaya perawatan dan operasi. Namun, hitungannya ditotal. Sehingga pelayanan pada pasien pun sesuai standar. Penerapan JKN secara nasional ini menuntut fasilitas kesehatan, perusahaan farmasi, dan praktisi kesehatan agar lebih siap. Fasilitas kesehatan dituntut untuk terus menerus memantau efisiensi dalam pelayanan terutama dalam hal pemilihan obat-obatan. Fasilitas kesehatan harus mampu memilih obat obatan mana yang paling cost effective, bukan hanya yang paling murah. Selain itu, praktisi kesehatan diharapkan dapat memiliki keterampilan dalam analisis ekonomi terkait dalam pemilihan obat-obatan. Salah satu cara untuk mencapai kesiapan tersebut adalah dengan menguasai ilmu farmakoekonomi. Farmakoekonomi adalah sistem perhitungan antara biaya yang dikeluarkan dan dampaknya pada penyembuhan dalam pengambilan keputusan tentang pengembangan obat dan strategi harga obat. Farmakoekonomi mengkaji dan menganalisa pengobatan mana yang paling efektif tapi harganya seminimal mungkin, namun memberikan outcome klinis dengan baik. Informasi dan data yang diperoleh ketika menerapkan farmakoekonomi ini akan sangat bermanfaat bagi pemerintah untuk menentukan kebijakan obat. Untuk para praktisi akan sangat membantu dalam memilihkan terapi obat yang efektif, bagi perusahaan asuransi akan sangat membantu dalam menentukan mana-mana obat yang perlu dilist untuk dimasukan ke daftar obat-obat yang mau mereka tanggung. Industri obat sendiri dapat melihat apakah obat yang dijual memang telah memenuhi standar life saving namun juga cost saving dan yang terpenting bagi pasien, mereka tidak perlu mengeluarkan biaya yang begitu banyak untuk obat yang mereka butuhkan. Singkat kata, kajian farmakoekonomi itu sangat bermanfaat bagi penerapan JKN di 2014 nanti.
2.1 Definisi Farmakoekonomi dijabarkan sebagai suatu deskripsi dan analisis biaya terapi pengobatan terhadap sistem perawatan kesehatan dan masyarakat. Studi tentang farmakoekonomi bertujuan mengidentifikasi, mengukur, dan
membandingkan biaya dan konsekuensi dari suatu tindakan atau produk kesehatan. Setiap institusi pelayanan kesehatan, bahkan semua Negara di seluruh dunia, memiliki keterbatasan sumberdaya dan dana yang kebutuhannya terus meningkat, sumber daya manusia (terutama tenaga ahli), waktu, fasilitas dan peralatan dalam menjalankan sistem pelayanan kesehatan. Keterbatasan ini memaksa dilakukannya pemilihan prioritas terhadap teknologi kesehatan, terutama obat, yang digunakan dan mengalokasikan sumberdaya yang tersedia seefisien mungkin, sesuai skala prioritas yang dibuat secara obyektif. Untuk pemilihan obat, faktor efikasi merupakan salah satu pertimbangan yang penting. Agar tercapai peningkatan kesehatan yang maksimal di tengah keterbatasan yang ada, setiap pengambil kebijakan di bidang kesehatan setidaknya harus memberikan jawaban memuaskan terhadap empat pertanyaan berikut: 1. Apakah obat (atau, secara umumnya teknologi kesehatan) yang akan digunakan itu efektif? 2. Siapa yang akan menerima manfaat dari penggunaan obat (teknologi kesehatan) itu? 3. Berapa biaya yang diperlukan untuk penggunaan obat (teknologi kesehatan) itu? 4. Bagaimana efektivitasnya jika dibandingkan dengan obat (teknologi kesehatan) yang telah digunakan? Kajian farmakoekonomi yang mempertimbangkan faktor klinis
(efektivitas) sekaligus faktor ekonomi (biaya) dapat membantu para pengambil kebijakan mendapatkan jawaban obyektif terhadap keempat pertanyaan tersebut.
Dengan demikian, Ilmu Farmakoekonomi dapat membantu pemilihan obat yang rasional, yang memberikan tingkat kemanfaatan paling tinggi.
2.2 Perspektif Penilaian Perspektif penilaian merupakan hal penting dalam Kajian
Farmakoekonomi, karena perspektif yang dipilih menentukan komponen biaya yang harus disertakan. Seperti yang telah disampaikan, penilaian dalam kajian ini dapat dilakukan dari tiga perspektif yang berbeda, yaitu: 1. Perspektif masyarakat (societal). Sebagai contoh Kajian Farmakoekonomi yang mengambil perspektif masyarakat luas adalah penghitungan biaya intervensi kesehatan, seperti program penurunan konsumsi rokok, untuk memperkirakan potensi peningkatan produktivitas ekonomi (PDB, produk domestik bruto) atau penghematan biaya pelayanan kesehatan secara nasional dari intervensi kesehatan tersebut. 2. Perspektif kelembagaan (institutional). Contoh kajian farmakoekonomi yang terkait kelembagaan antara lain penghitungan efektivitas-biaya pengobatan untuk penyusunan
Formularium Rumah Sakit. Contoh lain, di tingkat pusat, penghitungan AEB untuk penyusunan DOEN dan Formularium Nasional. 3. Perspektif individu (individual perspective). Salah satu contoh kajian farmakoekonomi dari perspektif individu adalah penghitungan biaya perawatan kesehatan untuk mencapai kualitas hidup tertentu sehingga pasien dapat menilai suatu intervensi kesehatan cukup bernilai atau tidak dibanding kebutuhan lainnya (termasuk hiburan). Karena pertanyaan yang harus dijawab oleh ketiga perspektif itu berbeda, jenis biaya yang diperhitungkan dalam Kajian Farmakoekonomi masing-masing perspektif tersebut juga tak sama.
2.3 Hasil Pengobatan (outcome) Kajian farmakoekonomi senantiasa mempertimbangkan dua sisi, yaitu biaya (cost) dan hasil pengobatan (outcome). Kenyataannya, dalam kajian yang mengupas sisi ekonomi dari suatu obat/pengobatan ini, factor biaya (cost) selalu dikaitkan dengan efektivitas (effectiveness), utilitas (utility) atau manfaat (benefit) dari pengobatan (pelayanan) yang diberikan. Efektivitas merujuk pada kemampuan suatu obat dalam memberikan peningkatan kesehatan (outcomes) kepada pasien dalam praktek klinik rutin (penggunaan sehari-hari di dunia nyata, bukan di bawah kondisi optimal penelitian). Dengan mengaitkan pada aspek ekonomi, yaitu biaya, kajian farmakoekonomi dapat memberikan besaran efektivitas-biaya (cost effectiveness) yang menunjukkan unit moneter (jumlah rupiah yang harus dibelanjakan) untuk setiap unit indikator kesehatan baik klinis maupun nonklinis (misalnya, dalam mg/dL penurunan kadar LDL dan/atau kolesterol total dalam darah) yang terjadi karena penggunaan suatu obat. Semakin kecil unit moneter yang harus dibayar untuk mendapatkan unit indicator kesehatan (klinis maupun non-klinis) yang diinginkan, semakin tinggi nilai efektivitas-biaya suatu obat. Utilitas merujuk pada tambahan usia (dalam tahun) yang dapat dinikmati dalam keadaan sehat sempurna oleh pasien karena menggunakan suatu obat. Jumlah tahun tambahan usia (dibanding kalau tidak diberi obat) dapat dihitung secara kuantitatif, yang jika dikalikan dengan kualitas hidup yang dapat dinikmati (katakanlah, setara dengan sekian bagian sehat sempurna) akan memberikan unit yang disebut Quality Adjusted Life Years-QALY atau jumlah tahun yang disesuaikan (JTKD). Dikaitkan dengan aspek biaya, Kajian Farmakoekonomi ini akan memberikan unit utilitas-biaya (cost-utility) yang menunjukkan unit moneter yang harus dikeluarkan untuk setiap JTKD yang diperoleh. Semakin kecil jumlah rupiah yang harus dibayar untuk mendapatkan tambahan JTKD, semakin tinggi utilitas-biaya suatu obat. Sementara itu, manfaat (benefit) merujuk pada nilai kepuasan yang diperoleh pasien dari penggunaan suatu obat. Nilai kepuasan ini dinyatakan dalam besaran moneter setelah dilakukan konversi dengan menggunakan nilai rupiah yang rela dibayarkan untuk mendapat kepuasan tersebut (willingness to pay).
Semakin tinggi willingness to pay relatif terhadap harga riil obat (cost), semakin layak obat tersebut dipilih.
2.4 Biaya Dalam kajian farmakoekonomi, biaya selalu menjadi pertimbangan penting karena adanya keterbatasan sumberdaya, terutama dana. Dalam kajian yang terkait dengan ilmu ekonomi, biaya (atau biaya peluang, opportunity cost) didefinisikan sebagai nilai dari peluang yang hilang sebagai akibat dari penggunaan sumberdaya dalam sebuah kegiatan. Patut dicatat bahwa biaya tidak selalu melibatkan pertukaran uang. Dalam pandangan pada ahli farmakoekonomi, biaya kesehatan melingkupi lebih dari sekadar biaya pelayanan kesehatan, tetapi termasuk pula, misalnya, biaya pelayanan lain dan biaya yang diperlukan oleh pasien sendiri. Dalam proses produksi atau pemberian pelayanan kesehatan, biaya dapat dibedakan menjadi sebagai berikut:
1. Biaya rerata dan biaya marjinal Biaya rerata adalah jumlah biaya per unit hasil yang diperoleh, sementara biaya marjinal adalah perubahan biaya atas penambahan atau pengurangan unit hasil yang diperoleh (Bootman et al., 2005). Sebagai contoh, jika sebuah cara pengobatan baru memungkinkan pasien pulang dari rumah sakit sehari lebih cepat dibanding cara pengobatan lama mungkin akan terpikir untuk menghitung biaya rerata rawat inap sebagai penghematan sumberdaya. Kenyataannya, semua biaya tetap yang terhitung ke dalam biaya tetap tersebut (misalnya, biaya laboratorium tidak mengalami perubahan. Yang berubah hanyalah biaya yang terkait dengan lamanya pasien dirawat (biaya makan, pengobatan, jasa dokter dan perawat, inilah biaya marjinal, biaya yang betul-betul megalami perubahan. 2. Biaya tetap dan biaya variable Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tidak berubah dengan perubahan kuantitas atau volume produk atau layanan yang diberikan dalam jangka pendek (umumnya dalam rentang waktu 1 tahun atau kurang), misalnya
gaji karyawan dan depresiasi aset. Sementara itu, biaya variabel berubah seiring perubahan hasil yang diperoleh, seperti komisi penjualan dan biaya penjualan obat (Bootman et al., 2005). 3. Biaya tambahan (ancillary cost) Biaya tambahan adalah biaya atas pemberian tambahan pelayanan pada suatu prosedur medis, misalnya jasa laboratorium, skrining sinar-X, dan anestesi. (Berger et al., 2003). 4. Biaya total Biaya total adalah biaya keseluruhan yang harus dikeluarkan untuk memproduksi serangkaian pelayanan kesehatan.
Biaya untuk perawatan kesehatan seringkali bukan hanya biaya obat ditambah biaya langsung lain. Selain berbagai biaya langsung tersebut, ada pula biaya tidak langsung yang harus ditanggung, termasuk biaya transportasi, hilangnya produktivitas karena pasien tidak bekerja, dan lain- lain termasuk depresi dan rasa sakit yang sangat sulit dikonversikan ke unit moneter. Secara umum, biaya yang terkait dengan perawatan kesehatan dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Biaya langsung Biaya langsung adalah biaya yang terkait langsung dengan perawatan kesehatan, termasuk biaya obat (dan perbekalan kesehatan), biaya konsultasi dokter, biaya jasa perawat, penggunaan fasilitas rumah sakit (kamar rawat inap, peralatan), uji laboratorium, biaya pelayanan informal dan biaya kesehatan lainnya. Dalam biaya langsung, selain biaya medis, seringkali diperhitungkan pula biaya non-medis seperti biaya ambulan dan biaya transportasi pasien lainnya. 2. Biaya tidak langsung Biaya tidak langsung adalah sejumlah biaya yang terkait dengan hilangnya produktivitas akibat menderita suatu penyakit, termasuk biaya transportasi, biaya hilangnya produktivitas, biaya pendamping (anggota keluarga yang menemani pasien). (Bootman et al., 2005).
3. Biaya nirwujud (intangible cost) Biaya nirwujud adalah biaya-biaya yang sulit diukur dalam unit moneter, namun sering kali terlihat dalam pengukuran kualitas hidup, misalnya rasa sakit dan rasa cemas yang diderita pasien dan/atau keluarganya. 4. Biaya terhindarkan (averted cost, avoided cost) Biaya terhindarkan adalah potensi pengeluaran yang dapat dihindarkan karena penggunaan suatu intervensi kesehatan (Berger et al., 2003).
Selain itu, masih ada beberapa istilah biaya lainnya yang bersifat teknis terkait dengan perawatan kesehatan. Beberapa biaya yang juga sering diperhitungkan dalam telaah ekonomi kesehatan tersebut antara lain: 1. Biaya perolehan (acqusition cost) Biaya perolehan adalah biaya atas pembelian obat, alat kesehatan dan/atau intervensi kesehatan, baik bagi individu pasien maupun institusi (Berger et al., 2003). 2. Biaya yang diperkenankan(allowable cost) Biaya yang diperkenankan adalah biaya atas pemberian pelayanan atau teknologi kesehatan yang masih dapat ditanggung oleh penyelenggara jaminan kesehatan atau pemerintah pasien maupun institusi (Berger et al., 2003). 3. Biaya pengeluaran sendiri (out-of-pocket cost) Biaya pengeluaran sendiri adalah porsi biaya yang harus dibayar oleh individu pasien dengan uangnya sendiri. Sebagai contoh, iur biaya peserta asuransi kesehatan (Berger et al., 2003). 4. Biaya peluang (opportunity cost) Biaya peluang adalah biaya yang timbul akibat pengambilan suatu pilihan yang mengorbankan pilihan lainnya. Bila seorang pasien memutuskan untuk membeli obat A, dia akan terkena biaya peluang karena tak dapat menggunakan uangnya untuk hal terbaik lainnya, termasuk pendidikan, hiburan, dan sebagainya (Bootman et al., 2005).
Identifikasi jenis-jenis biaya dapat berkembang sesuai kasus yang dikaji. Jenis biaya yang disertakan dalam kajian farmakoekonomi tergantung pada pertanyaan yang ingin dijawab. Terkait dengan hal ini, secara umum hasil Kajian Farmakoekonomi dapat diukur dari tiga perspektif: masyarakat, kelembagaan (pengambil kebijakan, penyedia pelayanan kesehatan, asuransi kesehatan), dan individu (misalnya pasien).
2.5 Metode Kajian Farmakoekonomi Pada kajian farmakoekonomi dikenal empat metode analisis, yang dapat dilihat pada tabel 1. Empat metode analisis ini bukan hanya mempertimbangkan efektivitas, keamanan, dan kualitas obat yang dibandingkan, tetapi juga aspek ekonominya. Karena aspek ekonomi atau unit moneter menjadi prinsip dasar kajian farmakoekonomi, hasil kajian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan masukan untuk menetapkan penggunaan yang paling efisien dari sumber daya kesehatan yang terbatas jumlahnya.
Di antara empat metode tersebut, analisis minimalisasi-biaya (AMiB) adalah yang paling sederhana. AMiB digunakan untuk membandingkan dua intervensi kesehatan yang telah dibuktikan memiliki efek yang sama, serupa, atau setara. Jika dua terapi atau dua (jenis, merek) obat setara secara klinis, yang perlu dibandingkan hanya biaya untuk melakukan intervensi. Sesuai prinsip efisiensi ekonomi, jenis atau merek obat yang menjanjikan nilai terbaik adalah yang membutuhkan biaya paling kecil per periode terapi yang harus dikeluarkan untuk mencapai efek yang diharapkan. Untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang memberikan besaran efek berbeda, dapat digunakan analisis efektivitas-biaya (AEB). Pada AEB, hasil pengobatan tidak diukur dalam unit moneter, melainkan didefinisikan dan diukur dalam unit alamiah, baik yang secara langsung menunjukkan efek suatu terapi atau obat (misalnya, penurunan kadar LDL darah dalam mg/dL, penurunan tekanan darah diastolik dalam mm Hg) maupun hasil selanjutnya dari efek terapi tersebut (misalnya, jumlah kematian atau serangan jantung yang dapat dicegah, radang tukak lambung yang tersembuhkan). Metode lain yang juga banyak digunakan adalah analisis utilitas-biaya (AUB). Seperti AEB, biaya pada AUB juga diukur dalam unit moneter (jumlah rupiah yang harus dikeluarkan), tetapi hasil pengobatan dinyatakan dalam unit utilitas, misalnya JTKD. Karena hasil pengobatannya tidak bergantung secara langsung pada keadaan penyakit (disease state) secara teoretis AUB dapat digunakan untuk membandingkan dua area pengobatan yang berbeda, misalnya biaya per JTKD operasi jantung koroner versus biaya per JTKD erythropoietin pada penyakit ginjal. Namun demikian, pembandingan antar-area pengobatan ini tidak mudah, karena JTKD diperoleh pada waktu dan dengan cara berbeda sehingga tak dapat begitu saja diperbandingkan. Untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang memiliki tujuan berbeda atau dua program yang memberikan hasil pengobatan dengan unit berbeda, dapat digunakan analisis manfaat-biaya (AMB). Pembandingan intervensi kesehatan dengan tujuan dan/atau unit hasil pengobatan berbeda ini dimungkinkan karena, pada metode AMB, manfaat (benefit)diukur sebagai
manfaat ekonomi yang terkait (associated economic benefit) dan dinyatakan dengan unit yang sama, yaitu unit moneter. Namun demikian, karena alasan etika serta sulitnya mengkuantifikasi nilai kesehatan dan hidup manusia, AMB sering menuai kontroversi. Sebab itu, AMB juga agak jarang digunakan dalam kajian farmakoekonomi, bahkan dalam kajian ekonomi kesehatan yang lebih luas pun masih jarang sekali dilakukan.
2.6 Analisis Minimalisasi-Biaya (AMiB) Merupakan metode kajian farmakoekonomi paling sederhana, analisis minimalisasi-biaya (AMiB) hanya dapat digunakan untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan, termasuk obat, yang memberikan hasil yang sama, serupa, atau setara atau dapat diasumsikan setara. Karena hasil pengobatan dari intervensi (diasumsikan) sama, yang perlu dibandingkan hanya satu sisi, yaitu biaya. Dengan demikian, langkah terpenting yang harus dilakukan sebelum menggunakan AMiB adalah menentukan kesetaraan (equivalence) dari intervensi (misalnya obat) yang akan dikaji. Tetapi, karena jarang ditemukan dua terapi, termasuk obat, yang setara atau dapat dengan mudah dibuktikan setara, penggunaan AMiB agak terbatas, misalnya untuk: 1. Membandingkan obat generik berlogo (OGB) dengan obat generik bermerek dengan bahan kimia obat sejenis dan telah dibuktikan kesetaraannya melalui uji bioavailabilitas-bioekuivalen (BA/BE). Jika tidak ada hasil uji BA/BE yang membuktikan kesetaraan hasil pengobatan, AMiB tidak layak untuk digunakan. 2. Membandingkan obat standar dengan obat baru yang memiliki efek setara.
Terdapat banyak jenis biaya dan jenis biaya yang harus dimasukkan berbeda untuk setiap perspektif analisis. Untuk menggunakan metode AMiB secara baik tetap diperlukan keahlian dan ketelitian.
2.7 Analisis Efektivitas-Biaya (AEB) Analisis efektivitas biaya (AEB) cukup sederhana. Dan banyak digunakan untuk kajian farmakoekonomi untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang memberikan besaran efek berbeda (Rascati et al., 2009). Dengan analisis yang mengukur biaya sekaligus hasilnya ini, pengguna dapat menetapkan bentuk intervensi kesehatan yang paling efisien membutuhkan biaya termurah untuk hasil pengobatan yang menjadi tujuan intervensi tersebut. Dengan kata lain, AEB dapat digunakan untuk memilih intervensi kesehatan yang memberikan nilai tertinggi dengan dana yang terbatas jumlahnya, misalnya: 1. Membandingkan dua atau lebih jenis obat dari kelas terapi yang sama tetapi memberikan besaran hasil pengobatan berbeda, misalnya dua obat antihipertensi yang memiliki kemampuan penurunan tekanan darah diastolik yang berbeda. 2. Membandingkan dua atau lebih terapi yang hasil pengobatannya dapat diukur dengan unit alamiah yang sama, walau mekanisme kerjanya berbeda, misalnya obat golongan proton pump inhibitordengan H2 antagonist untuk reflux oesophagitis parah.
Pada AEB, biaya intervensi kesehatan diukur dalam unit moneter (rupiah) dan hasil dari intervensi tersebut dalam unit alamiah/indikator kesehatan baik klinis maupun non klinis (non-moneter). Tidak seperti unit moneter yang seragam atau mudah dikonversikan, indikator kesehatan sangat beragammulai dari mmHg penurunan tekanan darah diastolik (oleh obat antihipertensi), banyaknya katarak yang dapat dioperasi dengan sejumlah biaya tertentu (dengan prosedur yang berbeda), sampai jumlah kematian yang dapat dicegah (oleh program skrining kanker payudara, vaksinasi meningitis, dan upaya preventif lainnya). Sebab itu, AEB hanya dapat digunakan untuk membandingkan intervensi kesehatan yang memiliki tujuan sama, atau jika intervensi tersebut ditujukan untuk mencapai beberapa tujuan yang muaranya sama (Drummond et al., 1997). Jika hasil intervensinya berbeda, misalnya penurunan kadar gula darah (oleh obat antidiabetes) dan penurunan kadar LDL atau kolesterol total (oleh obat
antikolesterol), AEB tak dapat digunakan. Oleh pengambil kebijakan, metode ini terutama digunakan untuk memilih alternatif terbaik di antara sejumlah intervensi kesehatan, termasuk obat yang digunakan, yaitu sistem yang memberikan hasil maksimal untuk sejumlah tertentu dana. Pada penggunaan metode AEB perlu dilakukan penghitungan rasio biaya rerata dan rasio inkremental efektivitas-biaya (RIEB = incremental costeffectiveness ratio/ICER). Dengan RIEB dapat diketahui besarnya biaya tambahan untuk setiap perubahan satu unit efektivitas-biaya. Dengan menggunakan tabel efektivitas-biaya (tabel 2), suatu intervensi kesehatan secara relatif terhadap intervensi kesehatan yang lain dapat dikelompokkan ke dalam satu dari empat posisi, yaitu: 1. Posisi Dominan Kolom G (juga Kolom D dan H) Jika suatu intervensi kesehatan menawarkan efektivitas lebih tinggi dengan biaya sama (Kolom H) atau efektivitas yang sama dengan biaya lebih rendah (Kolom D), dan efektivitas lebih tinggi dengan biaya lebih rendah (Kolom G), pasti terpilih sehingga tak perlu dilakukan AEB. 2. Posisi Didominasi Kolom C (juga Kolom B dan F) Sebaliknya, jika sebuah intervensi kesehatan menawarkan efektivitas lebih rendah dengan biaya sama (Kolom B) atau efektivitas sama dengan biaya lebih tinggi (Kolom F), apalagi efektivitas lebih rendah dengan biaya lebih tinggi (Kolom C), tidak perlu dipertimbangkan sebagai alternatif, sehingga tak perlu pula diikutsertakan dalam perhitungan AEB. 3. Posisi Seimbang Kolom E Sebuah intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas dan biaya yang sama (Kolom E) masih mungkin untuk dipilih jika lebih mudah diperoleh dan/atau cara pemakaiannya lebih memungkinkan untuk ditaati oleh pasien, misalnya tablet lepas lambat yang hanya perlu diminum 1 x sehari versus tablet yang harus diminum 3 x sehari. Sehingga dalam kategori ini, ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan di samping biaya dan hasil pengobatan, misalnya kebijakan, ketersediaan, aksesibilitas, dan lain-lain.
4. Posisi yang memerlukan pertimbangan efektivitas-biaya Kolom A dan I Jika suatu intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas yang lebih rendah dengan biaya yang lebih rendah pula (Kolom A) atau, sebaliknya, menawarkan efektivitas yang lebih tinggi dengan biaya yang lebih tinggi, untuk melakukan pemilihan perlu memperhitungkan RIEB.
2.8 Analisis Utilitas-Biaya (AUB) Metode analisis utilitas-biaya (AUB) mirip dengan AEB, tetapi hasil (outcome)-nya dinyatakan dengan utilitas yang terkait dengan peningkatan kualitas atau perubahan kualitas akibat intervensi kesehatan yang dilakukan. Menurut Bootman (1996), hasil pengobatan dalam bentuk kuantitas dan kualitas hidup itu mencerminkan keadaan berikut: 1. Apakah penyakit yang diderita atau pengobatan terhadap penyakit yang diberikan secara kuantitas akan memperpendek usia pasien? 2. Apakah kondisi penyakit yang diderita pasien atau pengobatan terhadap penyakit tersebut tidak seperti yang diinginkan? Kalau jawabannya ya, sebesar apa? 3. Apakah dampaknya terhadap usia? Berapa banyak berkurangnya usia (kuantitatif) dan kepuasan (kualitas) hidup?
Dalam praktek, AUB hampir selalu digunakan untuk membandingkan alternatif yang memiliki tujuan(objective)sama, seperti: 1. Membandingkan operasi versus kemoterapi;
Beberapa istilah yang lazim digunakan dalam AUB, termasuk: 1. Utilitas (utility) Analisis utilitas-biaya (AUB) menyatakan hasil dari intervensi sebagai utilitas atau tingkat kepuasan yang diperoleh pasien setelah mengkonsumsi suatu pelayanan kesehatan, misalnya setelah mendapatkan pengobatan kanker atau penyakit jantung. Unit utilitas yang digunakan dalam Kajian Farmakoekonomi biasanya Jumlah Tahun yang Disesuaikan (JTKD) atau quality-adjusted life years (QALY). 2. Kualitas hidup (quality of life, QOL) Kualitas hidup dalam AUB diukur dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan kuantitas (duration of life) dan pendekatan kualitas (quality of life). (Bootman et al., 1996). Kualitas hidup merupakan sebuah konsep umum yang mencerminkan keadaan yang terkait dengan modifikasi dan peningkatan aspek-aspek kehidupan, yaitu fisik, politik, moral dan lingkungan sosial. 3. QALY (quality-adjusted life years) Quality-adjusted life years (QALY)atau Jumlah Tahun yang Disesuaikan (JTKD) adalah suatu hasil yang diharapkan dari suatu intervensi kesehatan yang terkait erat dengan besaran kualitas hidup. Pada QALY,pertambahan usia (dalam tahun) sebagai hasil intervensi disesuaikan nilainya dengan kualitas hidup yang diperoleh (Bootman et al., 1996).
AUB menambah dimensi dari titik pandang atau perspektif pihak tertentu (biasanya pasien). Pandangan yang bersifat subyektif inilah yang memungkinkan pengukuran utilitas (preference/value). Unit utilitas, termasuk JTKD, merupakan sintesis dari berbagai hasil (outcome) fisik yang dibobot menurut preference terhadap masing-masing hasil pengobatan tersebut.
JTKD didasarkan pada keyakinan bahwa intervensi kesehatan dapat meningkatkan survival (kuantitas hidup) ataupun kemampuan untuk menikmati hidup (kualitas hidup). Pada penghitungan besaran utilitas yang paling banyak dipakai ini, dilakukan pembobotan kualitas terhadap setiap tahun pertambahan kuantitas hidup yang dihasilkan suatu intervensi kesehatan. Dengan demikian, JTKD merupakan penggabungan dari kedua elemen tersebut. Secara teknis, JTKD diperoleh dari perkalian antara nilai utilitas dan nilai time preference,dimana nilai utilitas menggambarkan penilaian pasien terhadap kualitas hidupnya saat itu. Penilaian yang dilakukan secara subyektif oleh pasien didasarkan pada berbagai atribut kualitas hidup yang terkait dengan kesehatan, sementara time preferencemenggambarkan perkiraan pertambahan usia (dalam tahun) yang diperoleh karena pengobatan yang diterima. Terkait teknis perhitungan, pengertian adjusted atau disesuaikan pada JTKD adalah penyesuaian pertambahan usia yang akan diperoleh dengan utilitas. Dengan penyesuaian ini, diperoleh jumlah tahun pertambahan usia dalam kondisi sehat penuh. Nilai utilitas berkisar dari 1 (hidup dalam keadaan sehat sempurna) sampai 0 (mati). Jadi, jika seorang pasien menilai bahwa keadaannya setelah periode terapi yang diperoleh setara dengan 0,8 keadaan sehat sempurnautilitas = 0,8dan pertambahan usianya 10 tahun, pertambahan usia yang berkualitas bukanlah 10 tahun, melainkan 0,8 x 10 tahun = 8 tahun (Drummond et al., 1987).
2.9 Analisis Manfaat-Biaya Analisis Manfaat Biaya (AMB - cost benefit-analysis, CBA) adalah suatu teknik analisis yang diturunkan dari teori ekonomi yang menghitung dan membandingkan surplus biaya suatu intervensi kesehatan terhadap manfaatnya. Untuk itu, baik surplus biaya dan manfaat diekspresikan dalam satuan moneter (misal. Rupiah, US Dollar). Suatu program kesehatan selalu diperbandingkan dengan beberapa alternatif, baik dengan program/intervensi kesehatan lainnya maupun dengan tidak memberikan program/ intervensi. Nilai manfaat dari suatu program/intervensi adalah meningkatnya hasil pengobatan (outcome) bila dibandingkan dengan hasil
serupa dari program / intervensi lain. Outcome dapat berupa nilai terkait pasien (misal : kesembuhan, pulihnya abilitas fisik, dll), nilai pilihan (manfaat keberadaan program/intervensi saat dibutuhkan), dan nilai altruistik (manfaat peningkatan kesehatan orang lainnya). Parameter outcome diukur dengan satuan moneter (mata uang), umumnya dengan Kemauan untuk Membayar (Willingness to Pay, WTP). Dan untuk menghitung surplus biaya program/intervensi, biaya dari program / intervensi dan hal-hal terkaitnya (misal. obat, dokter, rumah sakit, home care,biaya pasien dan keluarga, biaya kehilangan produktivitas, biaya lain karena hilangnya waktu, dll) dikurangi biaya yang serupa dari program/intervensi lainnya. Dasar dari AMB adalah surplus manfaat, yaitu manfaat yang diperoleh dikurangi dengan surplus biaya. Surplus manfaat adalah kriteria dasar dalam AMB. Bila surplus manfaat suatu intervensi/program bernilai positif, maka umumnya intervensi/program tersebut dapat diterima untuk dilaksanakan. AMB menggunakan perspektif sosial (masyarakat) dan mencakup seluruh biaya dan manfaat yang relevan. Namun, perhitungan dari biaya (terutama biaya tidak langsung) yang terkait biasanya diperdebatkan/kontroversial. AMB jarang digunakan untuk membandingkan obat atau alternatif terapi medis karena pertimbangan etika. Penilaian kondisi kesehatan menggunakan nilai moneter dan metode yang dipakai untuk hal tersebut seringkali diperdebatkan. AMB memiliki dua keuntungan, yang salah satunya bersifat unik/khas AMB. Keuntungan pertama, AMB memungkinkan adanya perbandingan antara program/intervensi dengan outcome yang sangat berbeda (missal: program klinik antikoagulan atau program klinik antidiabetes), sehingga memungkinkan perbandingan dengan nilai moneter antar program/intervensi yang sama sekali tidak berkaitan. Ketentuan pengambilan keputusannya adalah memilih program/intervensi dengan surplus manfaat yang paling besar. Keuntungan kedua, AMB adalah satu-satunya teknik yang dapat digunakan untuk membandingkan internal satu program/intervensi. Bila surplus manfaatnya bernilai positif, maka program/intervensi tersebut harus dipilih/didanai/dilakukan. Kesulitan AMB adalah melakukan
(misal. tahun hidup terselamatkan) menjadi nilai moneter. Lebih lanjut, metode yang umum digunakan untuk melakukan konversi/penerjemahan tersebut contohny Kemauan untuk Membayar (Willingness to Pay, WTP) mengundang perdebatan etika karena condong kepada preferensi kekayaan. Oleh karenanya, teknik analisa ini tidak umum digunakan dalam perumusan kebijakan kesehatan. AMB umumnya dilakukan berdasarkan model dan menggunakan asumsi-asumsi yang signifikan. Oleh karenanya, perlu dilakukan analisa sensitivitas untuk memvalidasi model dan asumsi yang digunakan serta untuk menilai kekuatan dari hasil analisisnya.
Perkembangan dunia kesehatan saat ini telah sangat pesat sehingga tersedia banyak alternatif yang dapat dipilih dalam penanganan suatu penyakit. Setiap penanganan menghadirkan kelebihan dan kekurangannya masing masing yang harus disesuaikan dengan kebutuhan setiap pasien secara individual. Dengan diberlakukannya Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), tenaga kesehatan di Indonesia dituntut untuk dapat memberikan pengobatan yang tidak hanya efektif namun juga terjangkau oleh semua penduduk Indonesia. Kajian farmakoekonomi ini memberikan indikator indikator penilaian yang dapat dipakai untuk menilai hubungan antara biaya dan hasil akhir suatu pengobatan yang rasional. Dengan metode metode ini seorang tenaga kesehatan diharapkan dapat membuat suatu keputusan dalam mengambil tindakan medis yang tidak hanya memberikan kesembuhan terhadap pasien namun juga tidak memberatkan dari segi biaya.
DAFTAR PUSTAKA
Afdhal, A. F. 2011. Farmakoekonomi: Pisau Analisis Terbaru Dunia Farmasi, Sanitra Media Utama & Center for Socio-Economic Studies in Pharmacy. Brent, R.J., 2003, Cost-benefit Analysis and Health Care Evaluations, hal. 298299, Edward Elgar Publishing Ltd. : UK Bootman J.L, et al, 2005, Principles of Pharmacoeconomics, 3rd ed, Harvey Whitney Books Company : USA Berger, M.L., Bingefors, K., Hedblom, E., Pashos, C.L., Torrance, G., Smith, M.D., 2003, Health Care Cost, Quality, and Outcomes : ISPOR Book of Terms, ISPOR: USA. Drummond, M.F., M.J. Sculpher, G.W. Torrance, B.J. OBrien, and G.L. Stoddard, 2005. Methods for the Economic Evaluation of Health Care Programmes, 3rd Edition, Oxford University Press, Oxford. Rascati, K.L., et al, 2009, Essentials of Pharmacoeconomics, Lippincott Williams & Wilkies, Philadelphia. WND. 2013. Farmakoekonomi dan Kesiapan Menyambut Program Jaminan Kesehatan Nasional 2014 [Internet]. Diakses tanggal 27 Februari 2014. http://www.ui.ac.id/id/news/archive/6761