Anda di halaman 1dari 11

TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Mangrove Indonesia Umumnya mangrove dapat ditemukan di seluruh kepulauan Indonesia. Mangrove terluas terdapat di Irian Jaya sekitar 1.350.600 ha (38 %), Kalimantan 978.200 ha (28 %) dan Sumatera 673.300 ha (19 %) sedangkan luas mangrove di Sumatera Utara 7300 ha. Di daerah-daerah ini dan juga daerah lainnya, mangrove tumbuh dan berkembang dengan baik pada pantai yang memiliki sungai yang besar dan terlindung. Walaupun mangrove dapat tumbuh di sistim lingkungan lain di daerah pesisir, perkembangan yang paling pesat tercatat di daerah tersebut. (Noor et al., 2006) Sejauh ini di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku. Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis diantaranya mangrove sejati (true mangrove) yang terdiri dari jenis pohon dan beberapa jenis perdu, sementara jenis lain ditemukan di sekitar mangrove dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (asociate mangrove). Di seluruh dunia, Saenger, dkk (1983) mencatat sebanyak 60 jenis tumbuhan mangrove sejati . dengan demikian terlihat bahwa Indonesia memiliki keragaman jenis yang tinggi. (Noor et al., 2006) Kondisi Umum Ekosistem Mangrove Mangrove adalah khas daerah tropis yang hidupnya hanya berkembang baik pada temperatur dari 190C sampai 40 0C dengan Toleransi Fluktuasi tidak lebih dari 100C. Berbagai jenis mangrove yang tumbuh di bibir pantai dan merambah tumbuh

Universitas Sumatera Utara

menjorok ke Zona berair laut, merupakan suatu ekosistem yang khas. Khas karena bertahan hidup di dua zona transisi antara daratan dan lautan, sementara tanaman lain tidak mampu bertahan. Kumpulan berbagai jenis pohon yang seolah menjadi depan garis pantai yang secara kolektif disebut hutan mangrove. Hutan mangrove memberikan perlindungan kepada berbagai organisme, baik hewan darat maupun hewan air untuk bermukim dan berkembangbiak (Irwanto, 2006) Ekosistem mangrove merupakan kawasan ekoton antara komunitas laut dan daratan, sehingga memiliki ciri-ciri tersendiri. Komunitas mangrove sangat berbeda dengan komunitas laut, namun tidak berbeda nyata dengan komunitas daratan yang terdapat rawa-rawa air tawar sebagai zona antara. Chapman (1976)

mengklasifikasikan vegetasi mangrove menjadi: mangrove mayor, mangrove minor dan tumbuhan asosiasi. Tumbuhan mangrove mayor (true mangrove) sepenuhnya berhabitat di kawasan pasang surut, dapat membentuk tegakan murni, beradaptasi terhadap salinitas melalui peneumatofora, embrio vivipar, mekanisme filtrasi dan ekskresi garam, serta secara taksonomi berbeda dengan tumbuhan darat. Mangrove minor dibedakan oleh ketidak mampuannya membentuk tegakan murni, sedangkan tumbuhan asosiasi adalah tumbuhan yang toleran terhadap salinitas dan dapat berinteraksi dengan mangrove mayor. Hutan mangrove terbentuk karena adanya perlindungan dari ombak, masukan air tawar, sedimentasi, aliran air pasang surut, dan suhu yang hangat. Proses internal pada komunitas ini seperti fiksasi energi, produksi bahan organik dan daur hara sangat dipengaruhi proses eksternal seperti suplai air tawar dan pasang surut, suplai

Universitas Sumatera Utara

hara dan stabilitas sedimen. Faktor utama yang mempengaruhi komunitas mangrove adalah salinitas, tipe tanah, dan ketahanan terhadap arus air dan gelombang laut. Faktor-faktor ini bervariasi sepanjang transek dari tepi laut ke daratan, sehingga dalam kondisi alami, campur tangan manusia sangat terbatas dalam membentuk zonasi vegetasi (Giesen, 1993). Zonasi Mangrove Ekosistem mangrove sangat rumit, karena banyak terdapat faktor yang saling mempengaruhi, baik di dalam maupun diluar pertumbuhan dan perkembangannya. Berdasarkan tempat tumbuhnya, kawasan mangrove dibedakan menjadi beberapa zonasi, yang disebut dengan jenis-jenis vegetasi yang mendominasi (Arief, 2003). Vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola zonasi. Zonasi pada ekosistem mangrove dapat dilihat sebagai suatu proses suksesi dan merupakan hasil reaksi ekosistem terhadap kekuatan yang datang dari luar. Kondisi ini terjadi karena adanya peran dan kemampuan jenis tumbuhan mangrove dalam beradaptasi dengan lingkungan yang berada di kawasan pesisir. Zonasi tumbuhan yang membentuk komponen mangrove, menghasilkan pola bervariasi yang menunjukkan kondisi lingkungan yang berbeda di setiap lokasi penelitian (Departemen Kehutanan, 1994). Zonasi yang terjadi di hutan mangrove adalah dipengaruhui oleh beberapa faktor, antara lain adalah frekuensi genangan, salinitas, dominasi jenis tumbuhan, gerakan air pasang-surut dan keterbukaan lokasi hutan mangrove terhadap angin dan hempasan ombak, serta jarak tumbuhan dari garis pantai (Arief, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Menurut (Odum, 1972) struktur ekosistem mangrove, secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga tipe formasi, yaitu : 1. Mangrove Pantai : Pada tipe ini dipengaruhi air laut dominan dari air sungai. Struktur horizontal formasi ini dari arah laut ke arah darat adalah mulai dari tumbuhan pionir (Sonneratia alba), diikuti oleh komunitas campuran Soneratia alba, Avicennia sp, Rhizophora apiculata, selanjutnya komunitas murni Rhizophora sp dan akhirnya komunitas campuran RhizophoraBruguiera. Bila genangan berlanjut, akan ditemui komunitas murni Nypa fructicans di belakang komunitas campuran yang terakhir. (Munisa, 2003) 2. Mangrove Muara : Pada tipe ini pengaruh air laut sama kuat dengan pengaruh air sungai. Mangrove muara dicirikan oleh mintakat tipis Rhizophora sp. Di tepian alur, di ikuti komunitas campuran Rhizophora Bruguiera dan diakhiri komunitas murni Nypa sp. 3. Mangrove sungai : Pada tipe ini pengaruh air sungai lebih dominan daripada air laut, dan berkembang pada tepian sungai yang relalif jauh dari muara. Mangrove banyak berasosiasi dengan komunitas daratan. Bengen (2002) mengemukakan bahwa jenis-jenis pohon penyusun hutan mangrove, di Indonesia jika dirunut dari arah laut ke arah daratan dapat dibedakan menjadi 4 zonasi, yaitu :

Universitas Sumatera Utara

Zona Api-api Prepat (Avicennia Sonneratia) Terletak paling luar/jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur agak lembek (dangkal),dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan organik dan kadar garam agak tinggi. Zona ini biasanya didominasi oleh jenis api-api (Avicennia sp.) dan prepat (Sonneratia sp), dan biasanya berasosiasi dengan jenis bakau (Rhizophora sp). Zona Bakau (Rhizophora) Biasanya terletak di belakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur lembek (dalam). Pada umumnya didominasi bakau (Rhizophora sp.) dan di beberapa tempat dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang (Bruguiera sp.). Zona Tanjang (Bruguiera) Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan. Keadaan berlumpur agak keras, agak jauh dari garis pantai. Pada umumnya ditumbuhi jenis tanjang (Bruguiera sp.) dan di beberapa tempat berasosiasi dengan jenis lain. Zona Nipah (Nypa fructicant) Zona ini terletak paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah darat. Zona ini mengandung air dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya, tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berada di tepi-tepi sungai dekat laut. Pada umumnya ditumbuhi jenis nipah (Nypa fructicant) dan beberapa spesies palem lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Adaptasi Tumbuhan Mangrove Proses evolusi menyebabkan spesies mangrove memiliki beberapa sifat biologi yang khas sebagai bentuk adaptasi, yang terutama ditujukan untuk mengatasi salinitas yang fluktuatif, kondisi lumpur yang anaerob dan tidak stabil, serta untuk reproduksi. Salinitas Kebanyakan tumbuhan memiliki toleransi sangat rendah terhadap salinitas, sehingga tidak mampu tumbuh di dalam atau di dekat air laut. Hal ini terjadi karena kebanyakan jaringan makhluk hidup lebih cair daripada air laut, akibatnya air dari dalam jaringan tumbuhan dapat keluar akibat proses osmosis, sehingga tumbuhan kekeringan, menjadi layu, dan mati. Lingkungan yang keras ini menyebabkan diversitas hutan mangrove cenderung lebih rendah daripada umumnya hutan hujan tropis (Efendi, 1999). Tumbuhan mangrove tumbuh paling baik pada lingkungan air tawar dan air laut dengan perbandingan seimbang (1:1). Salinitas yang tinggi pada dasarnya bukan prasyarat untuk tumbuhnya mangrove, terbukti beberapa spesies mangrove dapat tumbuh dengan baik pada lingkungan air tawar. Di Pulau Christmas, Bruguiera cylindrica tumbuh selama ribuan tahun pada danau air tawar, sedangkan di Kebun Raya Bogor B. sexangula tumbuh selama ratusan tahun pada lingkungan air tawar. Terhentinya penyebaran mangrove ke lingkungan perairan tawar tampaknya disebabkan ketidakmampuan untuk berkompetisi dengan spesies lain, sehingga mengembangkan adaptasi untuk tumbuh di air asin, dimana tumbuhan lain tidak mampu bertahan (Gosalam, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Adaptasi terhadap salinitas umumnya berupa kelenjar ekskresi untuk membuang kelebih garam dari dalam jaringan dan ultrafiltrasi untuk mencegah masuknya garam ke dalam jaringan. Tumbuhan mangrove dapat mencegah lebih dari 90% masuknya garam dengan proses filtrasi pada akar. Garam yang terserap dengan cepat diekskresikan oleh kelenjar garam di daun atau disimpan dalam kulit kayu dan daun tua yang hampir gugur (Nybakken, 1993). Beberapa tumbuhan mangrove seperti Avicennia, Acanthus dan Aegiceras memiliki alat sekresi garam. Konsentrasi garam dalam cairan biasanya tinggi, sekitar 10% dari air laut. Sebagian garam dikeluarkan melalui kelenjar garam dan selanjutnya diuapkan angin atau hujan. Hal ini bisa dirasakan dengan mengecap daun tumbuhan mangrove atau bagian lainnya (Nybakken, 1993). Tumbuhan mangrove seperti Bruguiera, Lumnitzera, Rhizophora, dan Sonneratia tidak memiliki alat ekskresi garam. Untuk itu membran sel di permukaan akar mampu mencegah masuknya sebagian besar garam dan secara selektif menyerap ion-ion tertentu melalui proses ultrafiltrasi. Namun hal ini tidak selalu berlangsung sempurna, kelebihan garam yang terserap dibuang melalui transpirasi lewat stomata atau disimpan dalam daun, batang dan akar, sehingga seringkali daun tumbuhan mangrove memiliki kadar garam sangat tinggi (Nontji 1993). Akar napas Tumbuhan mangrove memiliki adaptasi khusus untuk tumbuh di tanah yang lembut, asin dan kekurangan oksigen, dimana kebanyakan tumbuhan tidak mampu. Suplai oksigen ke akar sangat penting bagi pertumbuhan dan penyerapan nutrien. Karena tanah mangrove seringkali anaerob, maka beberapa tumbuhan mangrove

Universitas Sumatera Utara

membentuk struktur khusus pneumatofora (akar napas). Akar yang menjulang di atas tanah ini dipenuhi dengan jaringan parenkim spons (aerenkim) dan memiliki banyak pori-pori pecil di kulit kayu sehingga oksigen dapat masuk dan diangkut ke sistem akar di bawah tanah. Akar ini juga berfungsi sebagai struktur penyokong pohon di tanah lumpur yang lembut. Tumbuhan mangrove memiliki bentuk akar napas yang berbeda-beda (Sikong, 1987). Akar horizontal yang menyebar luas, dimana pneumatofora tumbuh vertikal ke atas merupakanjangkar untuk mengait pada lumpur. Terdapat empat tipe pneumatofora, yaitu akar penyangga (stilt, prop), akar pasak (snorkel, peg, pencil), akar lutut (knee, knop), dan akar papan (ribbon, plank). Tipe akar pasak, akar lutut dan akar papan dapat berkombinasi dengan akar tunjang pada pangkal pohon. Sedangkan akar penyangga akan mengangkat pangkal batang ke atas tanah (Sikong, 1987) Akar penyangga (sangga). Pada Rhizophora akar panjang dan bercabangcabang muncul dari pangkal batang. Akar ini dikenal sebagai prop root dan pada akhirnya akan menjadi stilt root apabila batang yang disangganya terangkat hingga tidak lagi menyentuh tanah. Akar penyangga membantu tegaknya pohon karena memiliki pangkal yang luas untuk mendukung di lumpur yang lembut dan tidak stabil. Juga membantu aerasi ketika terekspos pada saat laut surut (Kartawinata 1979). Akar pasak. Pada Avicennia dan Sonneratia, pneumatofora merupakan cabang tegak dari akar horizontal yang tumbuh di bawah tanah. Pada Avicennia bentuknya seperti pensil atau pasak dan umumnya 20 dengan tinggi maksimal 30 cm, sedangkan pada Sonneratia tumbuh lebih lambat namun dapat membentuk massa kayu dengan

Universitas Sumatera Utara

tinggi 3 m, kebanyakan setinggi 50 cm. Di teluk Botany, Sidney dapat dijumpai Avicennia marina dengan pneumatofora dengan tinggi lebih dari 28 m, meskipun kebanyakan tingginya hanya sekitar 4 m (Harianto1999). Akar lutut. Pada Bruguiera dan Ceriops akar horizontal tumbuh sedikit di bawah permukaan tanah, dan secara teratur dan berulang-ulang tumbuh vertikal ke atas kemudian kembali ke bawah, sehingga berbentuk seperti lutut yang ditekuk. Bagian di atas tanah (lutut) membantu aerasi dan menjadi tempat bertahan di lumpur yang tidak stabil. Lumnitzera membentuk akar lutut kecil yang bentuknya merupakan kombinasi akar lutut dan akar pasak (Kartawinata 1979). Akar papan. Pada Xylocarpus granatum akar horizontal tumbuh melebar secara vertikal ke atas, sehingga akar berbentuk pipih menyerupai papan. Struktur ini terbentuk mulai dari pangkal batang. Akar ini juga melekuk-lekuk seperti ular yang sedang bergerak dan bergelombang. Terpaparnya bagian vertikal memudahkan aerasi dan tersebarnya akar secara luas membantu berpijak di lumpur yang tidak stabil (Widodo 1987). Sistem reproduksi Mangrove merupakan tumbuhan penghasil biji (spermatophyta), dan bunganya sering kali menyolok. Biji mangrove relatif lebih besar dibandingkan biji kebanyakan tumbuhan lain dan seringkali mengalami perkecambahan ketika masih melekat di pohon induk (vivipar). Pada saat jatuh, biji mangrove biasanya akan mengapung dalam jangka waktu tertentu kemudian tenggelam. Lamanya periode mengapung bervariasi tergantung jenisnya. Biji beberapa jenis mangrove dapat mengapung lebih dari setahun dan tetap viabel. Pada saat mengapung biji terbawa

Universitas Sumatera Utara

arus ke berbagai tempat dan akan tumbuh apabila terdampar di areal yang sesuai. Kecepatan pertumbuhan biji tergantung iklim dan nutrien tanah (Kompas, 2000). Pada familia Rhizophoraceae biji berbentuk propagul yang memanjang; apabila masak akan jatuh ke air dan tetap dormansi hingga tersangkut di tanah yang aman, menebarkan akar dan mulai tumbuh, misalnya Rhizophora, Ceriops dan Bruguiera. Beberapa mangrove menggunakan cara konvensional (biji normal) untuk reproduksi seperti Heritiera littoralis, Lumnitzera, dan Xylocarpus (Arobaya 2006). Keanekaragaman Mangrove Komunitas mangrove terdiri atas tumbuhan, hewan, dan mikroba, namun tanpa kehadiran tumbuhan mangrove, kawasan tersebut tidak dapat disebut ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan mikroba yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove (Strategi Nasional Mangrove, 2003). Tumbuhan mangrove di Indonesia terdiri atas 47 spesies pohon, 5 spesies semak, 9 spesies herba dan rumput, 29 spesies epifit, 2 spesies parasit, serta beberapa spesies alga dan bryophyta. Formasi hutan mangrove terdiri atas empat genus utama, yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, dan Bruguiera (Nybaken, 1993), terdapat pula Aegiceras, Lumnitzera, Acanthus illicifolius, Acrosticum aureum, dan Pluchea indica. Pada perbatasan hutan mangrove dengan rawa air tawar tumbuh Nypa fruticans dan beberapa jenis Cyperaceae (Setyawan, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Peranan Ekosistem Hutan Mangrove Mangrove biasanya berada di daerah muara sungai atau estuarin sehingga merupakan daerah tujuan akhir dari partikel-partikel organik ataupun endapan lumpur yang terbawa dari daerah hulu akibat adanya erosi. Dengan demikian, daerah mangrove merupakan daerah yang subur, baik daratannya maupun perairannya, karena sealalu terjadi transportasi nutrien akibat adanya pasang surut. Mangrove mempunyai berbagai fungsi. Fungsi fisiknya yaitu untuk menjaga kondisi pantai agara tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinyaabrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman biota akuatik dan non akuatik seperti burung, ular, kera, kelelawarn dan tanaman anggrek, serta

sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan tekstil, makanan dan obatobatan (Gunarto, 2004)

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai