Anda di halaman 1dari 2

Problematika di Ujung Senja

Oleh : Irwan Tamsoa

Seperti biasanya bertengger di sutu (sutu:ujung apartemen/paling atas) lantai delapan


baitushalihin mau’af Zagaziq, Mesir ketika awan diufuk barat mulai menguning. Saat
itu aku terdiam terpaku menatap semburatan cahayanya, terpaku diam tak bergerak.
Lidahku kelu dan hatiku beku. Otakku enggan untuk berpaling menghadap arah yang
berlawanan. Termenung kaku, tak sengaja merenung. Bingung. Entah kenapa dalam
benak tiba-tiba memikirkan problematika umat saat ini. Tak seperti biasanya,
merenung bahkan sampai meneteskan air mata, kebungkaman hati dan pikiran yang
didera akibat fenomena penafkahan hidup sebagai seorang yang entah dibilang
mandiri, yang mengemis perhatian ilmu dari setiap orang, lantaran keras, serta ketidak
adilannya dunia terhadap diri ini, meratapi semua masalah yang kemudian
memancing kerinduan dengan keluarga sanak saudara serta orang-orang yang dicinta
nan jauh disana, rindu akan kampung halaman.
Bertengger. Inilah yang kulakukan ketika matahari hendak pamit menjumpai malam,
inilah yang kukerjakan disaat tanda perpisahan siang dan cakrawala menjemput
malam berkecimpun ramai di atas persaksian awan yang begitu mempesona
memancarkan pemandangan yang luar biasa. Ini juga ku lakukan karena permintaan
hati. hati yang sedang gunda gulana, hati yang sedang dirundung rindu, hati yang
mengobrak-abrik arah pikirku sehinga tidak karuan. Oleh karenanya ku sengaja
menghibur hati ini, membujuk dan merayu dengan menjelajahi halaman-halaman
buku yang belum sempat dibuka, diikut sertakan menikmati keindahan ciptaanNya
meresapi suasana zagaziq Mesir, di sore hari yang dapat membawaku pada
ketenangan jiwa, ketenangan pikiran, juga mengikuti kemauan hati dan diri yang
hendak belajar tafakur merenungi keagunganNya untuk mengobati rasa-rasa tersebut.
Yang akhirnya juga dapat mendekatkan hati ini padaNya. problem inilah yang selalu
mendorong jasad ini berpose di sutu pada saat-saat siang akan ditelan malam, di telan
kegelapan. Inilah fenomena baru yang kualami. Merenung dan meneteskan airmata
kekhawatiran akan kemerosotan perilaku pergaulan umat zaman sekarang. Yang
sangat berpengaruh terhadap diri ini dan lingkungan.
Dari serpihan renungan diatas, saya ingin mengajak kepada pembaca dan seluruh
umat islam, marilah sejenak kita luangkan waktu kita untuk memikirkan problematika
umat saat ini sekaligus mencarikan solusi yang dihadapi umat sekarang. Sehingga
memberikan nilai positif terhadap diri ini. karena hal demikian, dapat mendrong kita
untuk senantiasa mengintrospeksi diri.
Terlalu menyedihkan untuk diungkit problem umat dimasa sekarang ini. Umat yang
berbangga karena banyak pemeluknya, umat yang selalu bangga dengan
keterbelakangannya. Umat yang semakin bangga dengan gaya hidup baru yang di
adopsi dari budaya barat. Berbangga dengan sesuatu yang tidak menutup
kemungkinan mendatangkan murka Allah. Bangga dengan sesuatu yang seharusnnya
disesali dan diperbaiki. karena yang harus kita banggakan adalah segala kesucian
ajarannya, bangga dengan islam, bangga dengan umat yang mencintai serta mematuhi
ajarannya. bukan bangga dengan dominasi umatnya tapi akhlaknya bobrok.
Apa yang perlu kita banggakan dari umat sekarang? jika kebobrokan akhlak semakin
meraja lela, semakin banyak umat ber-KTP. Semakin banyak orang yang telah
melupakan ajarannya, melupakan amanah yang dititipkan Allah, acuh seolah
semuanya berjalan sesuai dengan rambu-rambu agama. Keprihatinan ini seyogianya
harus hadir dari setiap kita. Insan yang telah di amanahkan akal sehat, pikiran, rohani
dan jasmani yang kesemuanya untuk dipergunakan sebagaimana fungsi dan peranan
yang sesuai dengan jalanNya. Dengan demikian, mari sejenak kita renungi keadaan
umat yang sangat memprihatinkan ini.
Sebagai makhluk yang diberi akal dan supaya tidak sia-sia untuk dipergunakan,
sehingga tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang dimaksudkan Allah dalam
Qs:7:179. “dan sungguh, akan kami isi neraka jahannam banyak dari kalangan jin dan
manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-
ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi), tidak
dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak,
bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah”. maka selagi ada
kesempatan, marilah kita sama-sama berfastabiqulkhairaat untuk kemaslahatan umat,
kita manfaatkan pemberian yang Agung ini selagi berfungsi sehingga tidak
menyiakannya. Sangat jelas, bahwa ayat tersebut diatas merupakan landasan
pernyataan Allah SWT untuk menggambarkan kepada manusia konsekuensi orang-
orang yang tidak menggunakan ciptaan-Nya sesuai dengan aturan dan atau pada
tempatnya.
Selanjutnya dalam ayat lain Allah SWT. Menegaskan yang artinya “bacalah dengan
nama tuhanmu yang meciptakan”: Qs:96:1. ini sangat jelas tentunya. selain tidak
menginginkan keterbelakangan umat juga sebagai dorongan untuk umat. bacalah; apa
yang harus di baca? Nah...! Cobalah kita kaji maksud ayat ini. Karena ini bukan ayat
yang maknanya paten dengan bacaan yang selayaknya anak TK memahami. Maksud
dari bacalah disini itu luas maknanya. Karena baca tidak harus pada teks. Kondisi atau
suasana, alam juga dibaca, begitu juga dengan yang penulis maksudkan yaitu
menganalisa. Menganalisa sejauh mana perkembangan, memikirkan umat juga
maknanya dari membaca yang dimaksudkan dalam ayat di atas.
Bukan hal yang aneh jika terjadi ketimpangan rasa seperti ini. sebagai seorang yang
beriman kepada Allah kita semua meyakini dan tahu, tentunya dari perspektif
kacamata agama khususnya islam dan konsekuen dari iman itu sendiri. Dan tak usah
kita nafikan dari sekian aturan yang kita jalani semuanya dengan penuh
keterpaksaan??? hal ini memang sudah menjadi fitrah manusia. Rasul Allah juga telah
menggambarkan, membuka sedikit dari keterpaksaan kita yang mengerjakan amal
atau bahasa halusnya beriman setengah hati. Itu karena ada penyebabnya. Seperti
yang telah di paparkan, memang sudah tentu dan sudah menjadi fitrah manusia. Al-
imanu yaziidu wa yankus. Terkadang keimanan kita membuncah terkadang pula
hilang bahkan sampai tak berbekas.
Beranjak dari hal ini, bukannya untuk membela diri agar dibilang selalu tetap berada
dalam koridor iman, tapi sebagai manusia yang diberi akal tentunya bisa menganalisa
dan merancang strategi untuk melawan hal-hal seperti ini bukan untuk membohongi
dan bersifat munafik terhadiap diri sendiri. Tapi bagaimana kita berupaya untuk selalu
berusaha dalam garis pertahanan tadi (iman). karena dengan fenomena fluktuasi iman
inilah manusia bisa mengetahui jati diri sesungguhnya. Wallahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai