Anda di halaman 1dari 72

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No.

07 Tahun 2013

Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun Sirsak (Annona muricata Linn.) Berdasarkan Variasi Lama Pengeringan Antioxidant Activity and Organoleptic Charecteristic of Soursop (Annona muricata Linn.) Leaf Tea Based on Variants Time Drying
Delvi Adri dan Wikanastri Hersoelistyorini Program Studi S-1 Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Semarang Korespondensi, email: wikanastri@yahoo.com

Abstract Soursop leaf has been used traditionally to treat a variety of diseases, because soursop leaf contain antioxidant compound. The research objective to be achieved is to measure and analyze the activity of antioxidant and organoleptic properties of Soursop Leaf Tea by variations in drying time 30, 60, 90, 120, and 150 minutes. Measurement of antioxidant activity using UV-Vis spectrophotometry method ( 517 nm), whereas the organoleptic parameters : taste, color, aroma, and appearance. Result of studies that a treatment time of drying effect on antioxidant activity of Soursop Leaf Tea. Soursop leaf drying conditions at 50o C with a temperature of 150 minutes give the highest level of antioxidant activity and the lowest EC50 value, but it has lowest a flavor organoleptic. Recommendations, drying temperature of 50o C tailings with drying 150 minutes, and to increase flavor can be done with the added the essen. Key words: soursop leaf tea, antioxidants, drying, and organoleptic charecteristic. PENDAHULUAN Tanaman sirsak (Annona muricata Linn.) berasal dari bahasa Belanda, yakni zuurzak berarti kantong asam. Daun sirsak banyak digunakan sebagai obat herbal untuk mengobati berbagai penyakit, antara lain : penyakit asma di Andes Peru, diabetes dan kejang di Amozania Peru (Zuhud, 2011). Kandungan senyawa dalam daun sirsak antara lain steroid/terpenoid, flavonoid, kumarin, alkaloid, dan tanin. Senyawa flavonoid berfungsi sebagai antioksidan untuk penyakit kanker, anti mikroba, anti virus, pengatur fotosintetis, dan pengatur tumbuh (Robinson, 1995). Masyarakat Indonesia menggunakan daun 1

sirsak sebagai obat herbal untuk mengobati penyakit kanker, yaitu dengan cara meminum air rebusan daun sirsak segar. Air rebusan daun sirsak segar dapat menimbulkan efek panas seperti pada kemoterapi, namun air rebusan daun sirsak ini hanya membunuh sel-sel yang abnormal (kanker) dan membiarkan sel-sel normal tetap tumbuh. Hal ini berbeda dengan efek yang ditimbulkan pada pengobatan kemoterapi, dimana pengobatan kemoterapi ini tidak saja membunuh sel-sel abnormal (kanker) tetapi sel-sel yang

normalpun ikut mati (Leny, 2006). Meskipun air rebusan daun sirsak segar telah lama digunakan sebagai obat herbal untuk

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

penyakit kanker, namun bentuk teh daun sirsak belum banyak digunakan oleh masyarakat.

2. Proses Pembuatan Teh Daun Sirsak Daun sirsak dicuci bersih dan disortasi. Daun sirsak dilakukan proses pelayuan dengan suhu 70oC selama 4 menit, didinginkan selama 5 menit, dan dilakukan penggulungan. Setelah digulung dilakukan proses pengeringan dengan suhu 50oC dengan variasi lama pengeringan 30, 60, 90, 120, dan 150 menit dan dilakukan uji

Karena itu perlu dilakukan kajian tentang analisis antioksidan dalam teh daun sirsak, untuk

menggali potensi daun sirsak sebagai minuman fungsional yang dapat difungsikan antara lain sebagai obat herbal untuk penyakit kanker.

METODOLOGI Bahan Daun sirsak yang diambil mulai dari daun ke-5 sampai daun ke-3 dari pangkal batang, serbuk Mg, HCl pekat, Amil alkohol, larutan

kadar air.

3. Proses Pembuatan Larutan Teh Daun Sirsak Menimbang 100 mg serbuk daun sirsak dan ditambahkan 10 mL air dimasukkan dididihkan. ke dalam panas, kemudian air, dan

Diphenylpicryl-hydrazyl (DPPH) 0,07 mM, dan Metanol P.A. Alat Loyang, oven, spektrofotometer UV-Vis, mortir, stamper, kertas saring, corong, pemisah drupple plate, gelas kecil, sendok kecil, dan kertas quisioner. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian meliputi: penyiapan sampel, pembuatan teh daun sirsak, pembuatan larutan teh daun sirsak, uji kadar air (AOAC, 1995), uji kualitatif senyawa fenolik dan

penangas

4. Uji Aktivitas Antioksidan a. Uji Kualitatif Senyawa Fenolik 5 ml minuman teh daun sirsak dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Ditambahkan 5 tetes larutan FeCl3 5% dan dikocok kuat. Terbentuknya warna biru kehitaman setelah penambahan FeCl3 5% menunjukkan adanya senyawa fenolik. b. Uji Kualitatif Senyawa Flavonoid 5 ml minuman teh daun sirsak dimasukkan dalam tabung reaksi. Ditambah serbuk Mg, HCl pekat 1 ml, dan Amyl alkohol 5 ml dan dikocok kuat. Terbentuknya warna jingga dalam larutan menunjukkan adanya flavonoid. c. Uji Kuantitatif Aktivitas Antioksidan - Uji Aktivitas Antioksidan Metode DPPH (Pratiwi, 2009) Penentuan aktivitas antioksidan dilakukan dengan cara 4,0 mL larutan DPPH 0,07 mM dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan

flavanoid (Lia, 2011), uji kuantitatif

aktivitas

antioksidan (metode DPPH dan EC50), dan uji sifat organoleptik (metode scoring).

1. Penyiapan Sampel Daun sirsak diperoleh dari wilayah

Semarang dan diambil pada jam 05.00 WIB. Kemudian rantingnya. 2 daun sirsak dipisahkan dari

ditambahkan 50 L larutan uji teh daun sirsak dan

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

dihomogenkan dengan vortex, sebagai kontrol digunakan larutan DPPH tanpa penambahan larutan uji. Selanjutnya larutan diukur dengan

dilakukan 4 kali pengulangan (U). Penentuan ulangan menggunakan rumus galat = (P-1) x (U1). Jika dalam penelitian ini menggunakan 5 kali perlakuan dan 4 kali ulangan maka jumlah galat = (5-1) x (4-1) = 12. Data antioksidan hasil yang pengukuran diperoleh, aktivitas uji

alat spektrofotometer UV-VIS pada panjang gelombang 517 nm dan operating time 40 menit. - Uji Aktivitas Antioksidan dengan Effective Concentration (EC50) (Pratiwi, 2009) Parameter yang dipakai untuk menunjukkan aktivitas antioksidan adalah harga konsentrasi efisien atau efficient concentration (EC50) yaitu konsentrasi suatu zat antioksidan dapat menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter radikal bebasnya atau konsentrasi suatu zat antioksidan yang memberikan % penghambatan radikal bebas sampai 50%. Zat yang mempunyai aktivitas antioksidan tinggi, akan mempunyai harga EC50 rendah (Molyneux, 2004).

dianalisis

pengaruh menggunakan Anova (Analysis Of Varian), sedangkan data hasil pengujian

organoleptik, ditabulasi dan dianalisis dengan uji Friedman.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan teh daun sirsak didasarkan pada penelitian Tuminah (2004). Daun teh dilayukan pada 70oC selama 4 menit. Kondisi operasi pelayuan ini diacu sebagai kondisi optimum

5. Uji Sifat Organoleptik dengan Metode Skoring (Rahayu, 2001) Parameter pengujian organoleptik meliputi rasa, warna, aroma, dan kenampakan. Panelis memberikan penilaian berupa skor pada blangko uji organoleptik teh daun sirsak dan minuman teh daun sirsak.

pelayuan

daun

sirsak

pada

penelitian

ini.

Sedangkan Proses pengeringan daun sirsak dilakukan pada suhu 50oC, dengan variasi lama pengeringan 30, 60, 90, 120, dan 150 menit. Uji yang dilakukan pada produk teh daun sirsak yang dihasilkan meliputi: uji kadar air, uji aktivitas antioksidan, serta sifat organoleptik. 1. Kadar Air

Rancangan Penelitian Rancangan (Rancangan Acak penelitian Lengkap) adalah dengan RAL faktor

Kadar air mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik serta lama

simpan bahan pangan. Hasil analisis kadar air pada teh daun sirsak berdasarkan pada waktu 1.

tunggal, dimana digunakan 1 level perlakuan. Variabel independen adalah lama pengeringan teh daun sirsak dan variabel dependen adalah aktivitas antioksidan dan sifat organoleptik teh daun sirsak. Jumlah perlakuan ditentukan 5

pengeringan

ditampilkan

Gambar

Berdasarkan Gambar 1 diketahui bahwa kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan lama

pengeringan 30 menit, sebesar 34,13 % dan kadar air terendah terdapat pada perlakuan lama 3

perlakuan (P) dan masing-masing perlakuan

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

pengeringan 150 menit, sebesar 8,13%. Hasil uji statistik anova menggunakan 0,05 diperoleh data taraf signifikan p-value; 0,00 dimana p-value < 0,01; sehingga dapat disimpulkan bahwa lama pengeringan berpengaruh sangat nyata terhadap kadar air. Komposisi air pada bahan pangan seperti air bebas dan air terikat, dapat berpengaruh pada laju atau lama pengeringan bahan pangan. Air terikat adalah air yang terdapat dalam bahan pangan. Air bebas adalah air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat, dan lain lain (Winarno, 2002). 2. Uji Aktivitas Antioksidan a. Uji Kualitatif Senyawa Fenolik Menurut Sudjaji dan Rohman (2004), FeCl3 bereaksi dengan gugus fenolik membentuk kompleks berwarna hijau, ungu sampai hitam. Hasil uji sampel teh daun sirsak ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Uji Kualitatif Senyawa Fenolik Teh Daun Sirsak No Lama pengeringan 1 30 menit 2 60 menit 3 90 menit 4 120 menit 5 150 menit Senyawa fenolik + + + + +

bantuan HCl pekat membentuk kompleks dengan gugus flavonoid berwarna hijau sampai jingga. Hasil uji dinyatakan positif, bila timbul warna jingga dari kompleks Magnesium flavanoid (Tabel 2). Tabel 2. Hasil Uji Kualitatif Senyawa Flavanoid Teh Daun Sirsak Lama pengeringan 30 menit 60 menit 90 menit 120 menit 150 menit Senyawa flavonoid + + + + +

No 1 2 3 4 5

Keterangan : tanda + menyatakan bahwa sampel teh daun sirsak positif mengandung senyawa flavanoid.

c. Uji Kuantitatif Antioksidan

1) Uji Kuantitatif Antioksidan dengan Metode DPPH Hasil analisis antioksidan teh daun sirsak dengan metode DPPH yang tersaji pada Gambar 2, diketahui bahwa semakin lama pengeringan semakin tinggi aktivitas antioksidan. Aktivitas antioksidan tertinggi terdapat pada sampel teh daun sirsak dengan perlakuan lama pengeringan 150 menit, yaitu sebesar 76.06% dan terendah 53,17% pengeringan 30 menit . Hasil uji anova menunjukkan p-value 0,00 dimana p-value < 0,01 sehingga dapat diketahui bahwa lama

Keterangan : tanda + menyatakan bahwa sampel teh daun sirsak positif mengandung senyawa fenolik.

pengeringan berpengaruh sangat nyata pada aktivitas antioksidan. Kondisi tersebut disebabkan pada proses pengeringan mengakibatkan

b. Uji Kualitatif Senyawa Flavonoid Menurut Robinson (1995), senyawa

meningkatkan zat aktif yang terkandung dalam daun teh (Winarno, 2004). 4

flavonoid bereaksi dengan serbuk magnesium dan

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

2) Uji Aktivitas Antioksidan dengan Nilai Effective Concentration 50 (EC50) Hasil analisis antioksidan teh daun sirsak dengan nilai Effective Concentration 50 (EC50) yang tersaji pada Gambar 3, diketahui bahwa semakin lama pengeringan semakin rendah nilai EC50, sehingga nilai terendah pada pengeringan 150 menit sebesar 82,16 g/mL dan tertinggi 117,86 g/mL pada pengeringan 30 menit. Hasil uji anova menghasilkan p-value 0,00 dimana pvalue < 0,01, sehingga dapat diketahui bahwa lama pengeringan berpengaruh sangat nyata pada nilai EC50. Nilai EC50 umum digunakan untuk menyatakan aktivitas antioksidan suatu bahan uji dengan metode peredaman radikal bebas DPPH. Harga EC50 berbanding terbalik dengan

2,9 ; sedangkan nilai terendah terdapat pada teh dengan lama pengeringan 150 menit, yaitu sebesar 2,6. Hasil uji Friedman menggunakan 0,05 diperoleh data taraf signifikan p-value 0,46 dimana p-value > 0,05 sehingga dapat diketahui tidak ada pengaruh lama pengeringan terhadap tekstur teh daun sirsak.

Aroma Menurut standar SNI 03-3836-2012 aroma yang baik untuk teh daun sirsak adalah normal yaitu harum khas teh. Menurut Ciptadi dan Nasution, (1979); menyatakan bahwa senyawa pembentuk aroma teh terutama terdiri dari minyak atsiri yang bersifat mudah menguap dan bersifat mudah direduksi sehingga dapat

kemampuan senyawa yang bersifat sebagai antioksidan. Semakin kecil nilai EC50 berarti semakin kuat daya antioksidannya (Molyneux, 2004).

menghasilkan aroma harum pada teh. Hasil penelitian rata-rata panelis terhadap aroma teh daun sirsak ditampilkan pada Gambar 5. Nilai aroma tertinggi terdapat pada sampel teh dengan lama pengeringan 30 menit, sebesar 3; pada

3. Sifat Organoleptik a. Organoleptik Teh Daun Sirsak Tekstur Tekstur teh yang baik adalah kasar (Dimas, 2008). Proses pengeringan pada daun teh dapat menyebabkan perubahan asam pektat. Dimana asam pektat akan mengering dan membentuk semacam pernis sehingga permukaan teh

sedangkan nilai aroma terendah terdapat

sampel teh dengan lama pengeringan 150 menit, sebesar 2,5. Hasil uji Friedman didapatkan pvalue 0,00 (p-value < 0,01) sehingga dapat diketahui bahwa ada pengaruh sangat nyata lama pengeringan terhadap aroma teh daun sirsak. Warna Menurut standar SNI 03-3836-2012 warna teh yang baik adalah normal yaitu hijau

menjadi kering dan kasar. Hasil penelitian ratarata panelis terhadap tekstur teh daun sirsak

kecoklatan. Proses pengeringan menyebabkan warna hijau khlorofil pada daun teroksidasi menjadi coklat. Hal ini dikarenakan terjadi peristiwa pencoklatan (Hernani, 2004). Hasil 5

ditampilkan pada Gambar 4. Nilai organoleptik tekstur teh tertinggi terdapat pada lama

pengeringan 30, 60, dan 120 menit, yaitu sebesar

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

penilaian rata-rata panelis

terhadap warna teh

asam galat akan teroksidasi

menjadi senyawa

daun sirsak tersaji pada Gambar 6. Nilai warna tertinggi terdapat pada sampel teh dengan lama, pengeringan 30 menit, sebesar 3,2. Sedangkan nilai terendah terdapat pada sampel teh dengan lama pengeringan 150 menit, sebesar 1,6. Hasil uji Friedman diperoleh p-value 0,00 dimana pvalue < 0,01 sehingga dapat diketahui ada pengaruh sangat nyata lama pengeringan terhadap warna teh daun sirsak.

thearubigin (TR). Senyawa thearubigin bertagung jawab pada aroma harum (Kim et al. 2011). Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap aroma

minuman teh daun sirsak ditampilkan pada Gambar 8. Nilai aroma minuman teh tertinggi pada sampel dengan lama pengeringan 60 menit, sebesar 3,0. Sedangkan nilai terendah terdapat pada sampel dengan lama pengeringan 120 menit, sebesar 2,05. Hasil uji Friedman didapatkan pvalue 0,00 dimana p-value < 0,01 sehingga dapat

b. Organoleptik Minuman Teh Daun Sirsak Rasa Menurut standar SNI 01-3143-1992 rasa yang baik minuman teh daun sirsak adalah normal yaitu rasa sepet. Katekin adalah tanin yang tidak mempunyai sifat menyamak dan menggumpalkan protein sehingga menghasilkan rasa sepet. (Hafezi et al. 2006). Hasil rata-rata penilaian panelis terhadap rasa teh daun sirsak ditampilkan pada Gambar 7. Nilai rasa tertinggi terdapat pada sampel dengan lama pengeringan 150 menit, sebesar 2,2. Sedangkan nilai terendah terdapat pada sampel dengan lama pengeringan 30 menit, sebesar 2. Hasil uji Friedman menggunakan 0,05 diperoleh data taraf signifikan p-value 0,46 dimana p-value > 0,05 sehingga dapat diketahui tidak ada pengaruh lama pengeringan terhadap rasa minuman teh daun sirsak. Aroma Menurut standar SNI 01-3143-1992 aroma minuman teh daun sirsak yang baik adalah normal yaitu harum. Pada proses pengeringan 6

diketahui ada pengaruh sangat nyata lama pengeringan terhadap aroma minuman teh daun sirsak. Warna Menurut standar SNI 01-3143-1992 warna minuman teh daun sirsak yang baik adalah normal yaitu cerah. Menurut Arpah (1993), senyawa teaflavin memberikan warna merah kekuningan, terang dan berpengaruh terhadap kejernihan seduhan. Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap warna minuman teh daun sirsak ditampilkan pada Gambar 9. Nilai warna

minuman tertinggi terdapat pada sampel dengan lama pengeringan 60 menit, sebesar 3,1.

Sedangkan nilai terendah terdapat pada sampel dengan lama pengeringan 120 menit, sebesar 2. Hasil uji Friedman diperoleh p-value 0,00 dimana p-value < 0,01 yang berarti ada pengaruh sangat nyata lama pengeringan terhadap warna minuman teh daun sirsak. Kekentalan Menurut standar SNI 01-3143-1992

kekentalan minuman teh daun sirsak yang baik

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

adalah

norrmal

yaitu

kental.

Katekin

teh

DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical Chemists, Washington D.C. Arpah, M. 1993. Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung. Ciptadi, W. dan M. Z. Nasution. 1979. Mempelajari Cara Pemanfaatan Teh Hitam Mutu Rendah untuk Pembuatan Teh Dadak. IPB, Bogor. Durance, T. D., A. Yousif, K. Hyun-Ock, and C. Scaman. 1999. Process for drying medicinal plants. http://www.wipo.int/pctdb/en/wo.jsp/o=200 0074694. Diakses tanggal : 1 Desember 2012. Dimas, T. P. 2008. Teh dan Pengolahanya. Universitas Brawijaya: Malang. Hafezi M, Nasernejad B, Vahabzadeh F. 2006. Optimation of fermentation time for Iranian black tea production. Iran J Chem Chem Eng 25: 39-44. Hernani. 2004. Gandapura : Pengolahan, fitokimia, minyak atsiri, dan daya herbisida. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Vol. XV (2) : 32-40. Kim Y, Goodner KL, Park J, Choi J, Talcott ST. 2011. Changes in antioxidant phytochemical and volatile composition of Camellia sinensis by oxidation during tea fermentation. Food Chem 129: 1331-1342. Leny, S. 2006. Bahan Ajar Metode Fitokimia. Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia FMIPA Universitas Airlangga : Surabaya Lia, K., 2011. Modul Praktikum Isolasi dan Standarisasi Bahan Alam. Jilid I. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi: Semarang. Molyneux, P. 2004. The use of the stable radical diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for estimating antioxidant activity. J. Sci. Technol. 26(2) : 211-219. Pratiwi, D. 2009. Perbedaan Metode Ekstraksi Terhadap Aktivitas Antioksidan Teh Hitam (Camellia sinensis (L.) dengan Metode DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil ). Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi: Semarang. Rahayu, W.P. 2001. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor.

teroksidasi menjadi ortokuinon membentuk bertanggung theaflavin (TF).

yang memadat Senyawa ini

jawab terhadap kekentalan teh

(Hafezi et al. 2006). Hasil penelitian rata-rata

panelis

terhadap kekentalan teh daun sirsak

ditampilkan pada Gambar 10. Nilai kekentalan minuman teh tertinggi pada sampel dengan lama pengeringan 30 dan 60 menit sebesar 2,05. Sedangkan nilai terendah terdapat pada sampel dengan lama pengeringan 120 menit, sebesar 1,6. Hasil uji Friedman menggunakan 0,05

diperoleh data taraf signifikan p-value 0,76 dimana p-value > 0,05 sehingga dapat diketahui tidak ada pengaruh lama pengeringan terhadap kekentalan minuman teh daun sirsak.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa ada pengaruh lama pengeringan terhadap aktivitas antioksidan teh daun sirsak. Kondisi operasional pengeringan daun sirsak pada suhu 50o C dengan lama pengeringan 150 menit menghasilkan teh daun sirsak dengan aktivitas antioksidan tertinggi dan nilai EC50 terendah. Namun pada kondisi operasional tersebut, teh daun sirsak memiliki nilai organoleptik terendah, khususnya rasa. Untuk mendapatkan teh daun sirsak yang baik dari segi aktivitas antioksidan maupun organoleptiknya, tentang pengaruh perlu dilakukan penelitian pada

penambahan

essen

pembuatan teh daun sirsak.

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi (Penerjemah Kosasih Padmawinata), penerbit ITB: Bandung. SNI 03-3836-2012. Sudjadi dan Rohman, A. 2004. Analisa Obat dan Makanan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Tuminah, S. 2004. Teh [Camellia sinensis O.K. var. Assamica (Mast)] sebagai Salah Satu Sumber Antioksidan. Cermin Dunia Kedokteran No. 144. Winarno, F.G., 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Zuhud, E. 2011. Bukti Kedahsyatan Sirsak Menumpas Kanker. Yunita Indah. Cet-1. Agromedia Pustaka: Jakarta.

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

40 35 30 25 20 15 10 5 0 0 50

rata-rata kadar air (%)

y = -0.198x + 34.89 R = 0.831

100 150 waktu pengeringan (menit)

200

Gambar 1. Kadar Air Teh Daun Sirsak dengan Variasi Lama Pengeringan
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0 50

nilai aktivitas antioksidan (%)

y = 0.168x + 54.44 R = 0.763

100 150 waktu pengeringan ( menit)

200

Gambar 2. Aktivitas Atioksidan Teh Daun Sirsak dengan Lama Pengeringan

140 120 100 80 60 40 20 0 0

EC50 (g/mL)

y = -0.263x + 115.4 R = 0.694

50 100 150 waktu pengeringan (menit)

200

Gambar 3. Nilai EC50 Teh Daun Sirsak terhadap Lama Pengeringan

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

nilau rata-rata tekstur teh

2.95 2.9 2.85 2.8 2.75 2.7 2.65 2.6 2.55 2.5 2.45

2.9

2.9 2.8

2.9

2.6

30

60 90 120 waktu pengeringan (menit)

150

Gambar 4. Hasil Penilaian Panelis terhadap Tekstur Teh Daun Sirsak


nilai rata-rat aroma teh 3 3 2.8 2.6 2.4 2.2 30 60 90 120 waktu pengeringan (menit) 150 2.5 2.5

2.95 2.8

Gambar 5. Hasil Penilaian Panelis terhadap Aroma Teh Daun Sirsak

nilai rata-rata warna teh

4 3 2 1 0

3.2

2.8 1.85 1.6

30

60 90 120 waktu pengeringan (menit)

150

Gambar 6. Hasil Penilaian Panelis terhadap Warna Teh Daun Sirsak

10

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

nilai rata-rata rasa minuman teh daun sirsat

2.3 2.2 2.1 2 1.9 1.8 1.7 1.6 30 60 90 120 waktu pengeringan (menit) 2 1.85 2.1 2.1

2.2

150

Gambar 7. Hasil Penilaian Panelis terhadap Rasa Minuman Teh Daun Sirsak

nilai rata-rata aroma minuman teh daun sirsat

3 2.5 2 1.5 1 0.5 0

2.75

3 2.2 2.05 2.2

30

60 90 120 waktu pengeringan (menit)

150

Gambar 8. Tingkat Penilaian Panelis terhadap Aroma Minuman Teh Daun Sirsak

nilai rata-rata warna minuman teh daun sirsat

4 3 2 1 0

2.9

3.1 2.26

2.85 2

30

60 90 120 waktu pengeringan (menit)

150

Gambar 9. Hasil Penilaian Panelis terhadap Warna Minuman Teh Daun Sirsak

11

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

nilai rata-rata kekentalan teh

2.5 2 1.5 1 0.5 0

2.05

2.05

1.85

1.6

1.9

30

60 90 120 waktu pengeringan (menit)

150

Gambar 10. Tingkat Penilaian Panelis terhadap Kekentalan Minuman Teh Daun Sirsak

12

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Chemical and the Acceptability of Chicken Nuggets as Functional Food with Utilization Rice Bran to Substitute Wheat Flour
C. Maliluan, Y. B. Pramono and B. Dwiloka The Master of Animal Husbandry Science, Graduate Program Faculty of Animal Husbandry of Diponegoro University Abstract The purpose of this research was produce a product with the chemical properties and acceptability as well as having health benefits. The research was conducted from July to September 20 12. The variables in this research were insoluble dietary fiber, antioxidant activity, and sensory test. Dietary fiber was measured using the total multienzyme method, antioxidant activity was measured using DPPH method and the acceptability for the sensory test. Completely Randomized Design (CRD) with 4 treatments and 5 replications were used in this research. Treatment in this research was the total substitution of rice bran (w / w), consisting of : T0 = 0%, T1 = 25%, T 2 = 50%, T 3 = 75%, T4 = 100. The data obtained were further processed by analysis of variance to determine the effect of treatment. If there was any significant effect of treatment then it was followed by Duncans Multiple Range Test to determine the differences among the treatments. Based on the results of the study showed that the use of rice bran increase insoluble dietary fiber.Similarly, the antioxidant activity, the higher utilization of rice bran, significantly (P <0.05) increased the antioxidant activity of rice bran chicken nuggets. Overall, the use of rice bran as a substitute for wheat flour can improve the chemical properties but lower the acceptability of chicken nuggets as functional food. Keywords: nuggets, rice bran, dietary fiber, antioxidants

INTRODUCTION Chicken nuggets are products of processed meat whom quite popular lately. Besides of the delicious taste, chicken nugget is easy to serve as a side dish. However, meat and processed meat products like chicken nuggets, have a low sources of dietary fiber and compounds that are beneficial to health such as vitamins. Their regular consumption is being associated with various health disorders such as colon cancer, obesity and cardiovascular diseases. Therefore, additional sources of dietary fiber in meat products need to be done to improve the nutritional value (NCI, 1984; Eastwood, 1992; Johnson and Southgate, 13

1994; Voskuil et al., 1997; Tarrant, 1998; Larsson and Wolk, 2006). Dietary fiber is added to meat products, in addition have a

physiological function / health for consumers, it also provides functional benefits of the final product that can be used as an auxiliary material in the production process. Nugget has the

potential to be enriched with dietary fiber (Darojat, 2010). Ingredient of dietary fiber can be

produced from various types of plants, such as rice bran from rice. Rice bran is the outside of the rice that escapes into a fine powder in a rice milling process. The outer layer is composed of the aleurone layer of rice (rice

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

kernel), endosperm, and germ. Although bran is available in a large amount in Indonesia, but the utilisation for human consumption as a source of food and nutrition were limited. The

with the high content of dietary fiber, and has the ability of antioxidant activity whom good for our health.

utilisation of rice bran limited as fodder (Michwan, 2010). Not many people know that rice bran has a high nutrient content. Rice bran is rich in vitamin B, vitamin E, essential fatty acids, dietary fiber, protein, and ferulic acid Materials

METODOLOGY

Materials used in the manufacture of Nugget is chicken meat without bones and skin, rice bran, bread crumbs, wheat flour, skim milk, vegetable oil, salt, garlic,onion, pepper, sugar and water.

orizanol. Rice bran can be consumed as functional food, when it prepared properly. Rice bran, rich in phytokimia and ctocotrienols. C-

Stabilization Of Rice Bran Rice bran processing is as follows: fresh rice bran sifted 2-3 times. The size of sieve is approximately 49 mesh, then heated

oryzanol, tocopherols and

oryzanol mixture of esters derived from the reaction of trans-ferulic acid with phytosterol and triterpene alcohol (Lermanatural

(sterilization) it by autoclave for 15-20 minutes, 121 C. After the sterilization, the rice bran had to sifted before use.

Garcia et al., 2009). C-oryzanol has

antioxidant properties and has also been shown to have properties to reduce cholesterol (Sugano and Tsuji, , 1997; Xu et al., 2001). Rice bran chicken nuggets is expected to become alternative of food functional in the presence of dietary fiber, unsaturated fatty acids, antioxidants and vitamins. Brice bran will be used as a substitute for wheat flour in the formulation of chicken nuggets. Beside of being cheaper, rice bran is easier to obtain compared with wheat flour and has a high nutritional content. Rice bran chicken Nugget, will be analyzed the chemical and Sensory

Making chicken nuggets Method of making chicken nuggets include: chicken meat is cleaned from the skin (chicken) and bone, then cut into pieces approximately 2 cm3, and milled it. Chicken meat plus flour, rice bran, water, and

seasonings, then stirred, so that it becomes dough. The dough is formed with a mold, and covered with aluminum foil, then steamed until cooked. Dough that has been steamed and then cooled. The dough is then cut approximately 2 cm3. Sliced nuggets at this stage, then smeared with egg white and rolled in bread crumbs, then fried for 2-3 minutes, until the colour is light yellow (Bintoro, 2008). 14

Characteristics (acceptability). In this reserch, rice bran would be a source of dietary fiber whom added to the chicken nuggets with the aim to produce food

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Chemical characteristics of chicken nuggets Levels of insoluble dietary fiber

activity. Dietary fiber and antioxidants play an important role in maintaining a healthy body.

were analyzed using multienzyme method (Asp et al., 1983). Antioxidant activity of Insoluble dietary fiber Based on the data shown in Table 4, it can be seen that the replacement of wheat flour with rice bran increase the levels of insoluble dietary fiber on chicken nugget products. The Test of sensory characteristics of Chicken Nugget (Acceptability) Sensory test is using scoring method with 15 untrained panelists. Panelists provide assessments according the instructions (Kartika et al., 1998). results of this research, in accordance with the results of Damayanthi et al., (2001), soluble fiber of whole rice bran is 1.89% (dry matter) and insoluble dietary fiber 15.55% (dry matter), while the kunci biru wheat respectively 2.44% (dry matter) and 2.97% (dry matter). Thus, the higher the addition of rice bran, the higher level Analysis of data Data obtained from the test results of chemical and physical characteristics were then analyzed using various analysis (ANOVA), with a significance level of 5%. If there was any significant effect of treatment then it was followed by Duncans Multiple Range Test to determine the differences among the treatments. (Dwiloka and Srigandono, 2006) to determine differences between treatments. Sensory test data were analyzed by non-parametric The antioxidant activity Based on the data shown in Table 4, it can be seen that the replacement of wheat flour with rice bran affects to the antioxidant activity RESULTS AND DISCUSSION Chemical characteristics of chicken nuggets Chemical characteristics of rice bran chicken nuggets whom have a functional of the chicken nugget products. The higher the addition of bran, antioxidant activity increased in the nugget, in addition, T0 has the lowest antioxidant activity, as there is no addition of rice bran. Crude rice bran (CRB), a by-product of rice milling, is rich in phytochemicals of high 15 of insoluble dietary fiber. In the test of raw material (rice bran), insoluble dietary fiber level is 41.29% (bk). These results are higher than the standard, due to the rest of bran and husk in the rice bran. According to Damayanthi et in

the chicken nuggets was measured by DPPH method (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil)

(Carrapeiro et al., 2007).

al., (2010) the commercial rice milling

Indonesia will produce a mixture of bran (outer brown rice - the rough) and rice bran (the inside of the brown rice the refined).

analysis through hedonic Kruskal-Wallis test (Saleh, 1996).

properties were dietary fiber and antioxidant

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

nutritional tocopherols

value, and

such

as

c-oryzanol, c-Oryzanol

acceptable)

and

the

lowest

T4

(2.10-

tocotrienols.

acceptable). According Damayanthi (2001), the substitution rate of 40% bran flour on the pastry snacks such as cucur, bolu kukus, nagasari and risoles gives the best acceptance rate of substitution among others. Higher utilisation pf rice bran lower the level of preference on the snacks. Garcia et al., (2002) mentions, the addition of fiber cereals (wheat and oats) 1.5 and 3% and fruit (peaches, apples and oranges) in dry fermented sausages significantly affect the sensory properties of the product. Best results obtained on the sausage with pork fat content of 10% and 1.5% fiber fruit.

consists of a mixture of ester compounds derived from the reaction of trans-ferulic acids with phytosterols and triterpene alcohols

(Lerma-Garcia et al., 2009). c-Oryzanol has natural antioxidant properties and has also been shown to have remarkable cholesterol reducing properties (Sugano and Tsuji, 1997; Xu et al., 2001). The higest antioxidant activity of the chicken nugget at T3 treatment, whereas the T4 treatment decreased. It is alleged, the

antioxidants is a result of mailard reaction in the frying process. Maillard reaction is a reaction between the carbonyl group especially reducing sugars with amino groups mainly of amino acids, peptides and proteins (Whistler and Daniel, 1985). One of the antioxidants produced from processing can be produced from the Maillard reaction (Bailey and Won Um, 1992). Sensory characteristics of chicken nuggets Organoleptic tests carried out to determine the level of acceptance and assessment sample by panelists, ie chicken nuggets with utilization rice bran to substitute wheat flour. Based on the statistic analysis using the non-parametric Kruskal-Wallis test, the p-value of acceptability test 0.007 <0.05 value of criticism, so the null hypothesis is rejected, that shown there is a difference in five groups of scores with the acceptability chicken nuggets in each treatment. A test score results showed chicken nuggets, the highest ranking values is T0 (1.42- Extremely 16

CONCLUTION Based on these results, can be concluded that the higher the use of rice bran as a substitute for wheat flour increased insoluble dietary fiber on chicken nuggets. Similarly, the antioxidant activity, the higher the use of rice bran, increase the antioxidant activity in rice bran chicken nuggets. Overall, the use of rice bran as a substitute for wheat flour can increase the chemical characteristics (dietary fiber and antioxidant activity) of chicken nuggets. Based on the physicochemical and organoleptic

tes/sensory characterictic, the best treatment with the use of 75% rice bran as a wheat flour substitute.

REFERENCES Asp, N-G., C-G. Johanson, H. Halmer, dan M. Siljestrom. 1983. Rapid enzymatic assay

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

of insoluble and soluble dietary fiber. J. Agric. Food. Chem. (31): 476-482. Bailey ME, dan Won Um K. 1992. Maillard reaction and lipid oxidation. Di dalam: Angelo AJS. Lipid Oxidation in Food. ACS symposium series. .New York: August 25-30. Bintoro, V. P. 2008. Teknologi Pengolahan Daging dan Analisis Produk. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Carrapeiro et al. 2007. Effect of lycopene on biomarkers of oxidative stress in rats supplemented with R-3 polyunsaturated fatty acid. Food Research International, 40, 939-946. Damayanthi E., I. R. Sofia, dan S. Madanijah. 2001. Sifat Fisikokimia dan daya Terima Tepung Bekatul Padi Awet sebagai Sumber Serat Makanan. Dalam L. Nuraida & R. Dewanti-Riyadi(Eds). Pangan Tradisional Basis Bagi industri Pangan Fungsional dan Suplemen. IPB, Bogor. (hal 245-261). Darojat, D. 2010. Manfaat penambahan serat pangan pada produk daging olahan. Food Review, 5(7) : 52-53. Dwiloka, B. dan B. Srigandono. 2006. Metodologi Penelitian; Aplikasinya dalam Ilmu Pertanian dan Pangan. Universitas Diponegoro, Semarang. Eastwood, M. A. 1992. The physiological effect of dietary fibre: an update. An. Rev. of Nutr. 12, 1935. Johnson, I.T and D.A.T. Southgate. 1994. Dietary Fibre and related substance. In J. Edelman and S. Miller (Eds.) Food Safety Series (pp. 3965). London: Chopman & Hall. Kartika, B., P. Hastuti dan W. Supartono. 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 17

Larsson, S. C and A.Wolk. 2006. Meat consumption and risk of colorectal cancer: A meta-analysis of prospective studies. Int Journal of Cancer, 119(11), 26572664. Lerma-Garcia, M.J., J.M. Herrero-Martinez, E.F. Simo-Alfonso, C.R.B. Mendonca, and R. Ramis-Ramos. 2009. Composition, industrial processing and applications of rice bran c-oryzanol. Food Chem. 115, 389404. Michwan A. 2010. Potensi dan karakter rice bran oils. Food 5(7): 40-42. NCI. 1984. Diet, Nutrition and Cancer Prevention: A Guide to Food Calories. (NIG Pub. 85-2711). National Cancer Institute, US. Dept. of Health and Human Services.

Saleh, S. 1996. Statistik Non Parametrik. BPFE, Yogyakarta. Sugano, M., and E. Tsuji. 1997. Rice bran oil and cholesterol metabolism. Journal of Nutr. 127: 521S524S. Tarrant, P. V. 1998. Some recent advances and future priorities in research for the meat industry. Meat Sci. 49, S1S16. Voskuil, D. W., E. Kampman, M. J. A. L. Grubben, R. A. Goldbohm, H. A. M. Brants, and H. F. A.Vasen. (1997). Meat consumption, preparation and genetic susceptibility in relation to colorectal adenomas. Cancer Letters, 114, 309311. Winarti, S. 2010. Makanan Fungsional. Graha Ilmu, Yogyakarta. Whistler, R. dan Daniel JR. 1985. Carbohydrate. Di dalam: Fennema OR (eds). Food Chemistry. Marcel Dekker. Inc, New York. Xu, Z., N. Ua, and J.S. Godber. 2001. Antioxidant activity of tocopherols, tocotrienols, and c-oryzanol components from rice bran against cholesterol oxidation accelerated by 2,20-azobis (2-

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

methylpropionamidine) dihydrochloride. J. of Agric. and Food Chem. 49: 2077 2081. Tabel 1. Composition of nugget ingridients (gr)
Materials Chicken Meat Filler - Wheat flour - Rice Bran Binder - Skim milk Seasoning - Garlic - Onion - Pepper powder - Msg - Salt - Sugar To 400,00 40,00 0,00 40,00 8,00 4,00 4,00 2,00 6,00 3,00 T1 400,00 30,00 10,00 40,00 8,00 4,00 4,00 2,00 6,00 3,00 Treatments T2 400,00 20,00 20,00 40,00 8,00 4,00 4,00 2,00 6,00 3,00 T3 400,00 10,00 30,00 40,00 8,00 4,00 4,00 2,00 6,00 3,00 T4 400,00 0,00 40,00 40,00 8,00 4,00 4,00 2,00 6,00 3,00

T0 = Rice bran 0% (control) from filler total T1 = Rice bran 25% from filler total T2 = Rice bran 50% (from filler total T3 = Rice bran 75% from filler total T4 = Rice bran 100% from filler total

Tabel 2. Scores of acceptability


Score 1 2 3 4 5 Acceptability Extremely acceptable acceptable Rather acceptable Not acceptable Extremely not acceptable

Tabel 3. Average of Insoluble dietary fiber and antioksidant activity of chicken nugget
Variable Insoluble dietary fiber (%) Antioksidant activity(%) 0 11.58 0.72 The filler substitutions level of rice bran (%) 25 50 75 10.35 11.98 12.64 2.29 3.01 5.35 100 12.96 2.48

18

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

SIFAT- SIFAT GEL GELATIN TULANG CAKAR AYAM Geling Properties of Chicken Shank Bone Gelatin
D. A. P. Puspitasari, V. P. Bintoro dan B. E. Setiani Mahasiswa Magister Ilmu Ternak Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang Email Korespondensi: dyahayu.pediatrika@yahoo.com Abstract The purpose of the study was to investigate the soaking effect of different HCl concentration, soaking time and the interaction on geling properties (pH values, yield, viscocity, gel strength, melt time and gel of temperature and time) of chicken shank bone gelatin. The materials used were chicken shank bones, HCl, NaOH and liquid soda. The research design used was completely randomized design (CRD) factorial, in which factor A was the concentration of HCl (a 1 = HCl 2%, a2 = HCl 3,5% and a3 = HCl 5%) and factor B was soaking time (b1 = 24 hours, b2 = 36 hours and b3 = 48 hours). The result showed that the use of different HCl concentration, soaking time and the interaction affected geling properties (pH values, yield, viscocity, gel strength, melt time and gel of temperature and time) of chicken shank bone gelatin. The best result came from the interaction of soaking chicken shank bone in 5% concentration of HCl for 48 hours at 4 pH value, yield 1,31%, viscocity (40 60 OC) 1,62 3,03 cP, gel strength 228,81 bloom, melt in 40 60 OC for 0,58 3,29 minutes, gel in 10,7 OC for 7,5 minutes. In conclusion, according to GMIA (2012), gel properties of chicken shank bones gelatin by soaking in 5% concentration of HCl for 48 hours recommended to become alternative food additive in food industry. Key words: chicken shank bone, gelatin, gel properties.

PENDAHULUAN Gelatin merupakan suatu produk hasil dari proses hidrolisis parsial kolagen. Kolagen merupakan protein fibrosa yang terdapat pada tulang, kartilago dan kulit dan ketiga sumber tersebut sulit untuk dicerna (Barbooti et al., 2008; Guillen et al., 2011 dan Jayathikalan et al., 2011). Penggunaan kulit babi dalam manufaktur gelatin mencapai 46%, sedangkan penggunaann kulit dan tulang sapi berturut-turut adalah 29,4% dan 23,1% (Guillen et al., 2011). Adanya isu dunia mengenai penyakit bovine spongiform encephalopathy serta larangan dari agama Islam 19

dan Yahudi mengenai bahan makanan dan tambahan pangan yang berasal dari babi (Choi and Regenstein, 2000; Oh, 2012) menjadikan potensi tulang cakar ayam (TCA) sebagai salah satu alternatif lain dalam pemilihan bahan baku gelatin (Guillen et al., 2011). Potensi cakar ayam dapat dilihat dari kandungan kolagen didalamnya yaitu 5,64 31,39% dari total protein (Liu et al., 2001) atau 28,73 - 36,83% dari total protein (Prayitno, 2007). Gelatin memiliki fisikokimia yang unik, yaitu dapat larut dalam air, transparan, tidak berbau, tidak memiliki rasa (Guillen et al., 2011) serta memiliki sifat reversible dari bentuk

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

sol ke gel, membengkak atau mengembang dalam air dingin, membentuk film,

Penelitian

dilakukan

dengan

menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola Faktorial 3 x 3 dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi asam pengekstraksi (A) (a1 = HCl 2%, a2 = HCl 3,5% dan a3 = HCl 5%) dan faktor kedua adalah lama perendaman (B) (b1 = 24 jam, b2 = 36 jam dan b3 = 48 jam). Prosedur Pembuatan Gelatin Tulang Cakar Ayam Bahan baku yang digunakan adalah tulang cakar ayam (TCA) bagian femur sebanyak 27 sampel percobaan. Masing masing sampel telah mengalami pengacakan sebelum diberi perlakuan sehingga semua sampel memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh

mempengaruhi viskositas suatu bahan dan dapat melindungi sistem koloid (Junianto et al., 2006). Kualitas gelatin ditentukan dengan gel strength dan stabilitas termal (pembentukan gel dan suhu leleh). Asam amino prolin dan hidroksiprolin memberi peran penting terhadap efek gel pada gelatin. Kemampuan membentuk gel, viskositas dan sifat melt in the mouth gelatin merupakan kunci dari luasnya aplikasi gelatin di industri farmasi, kedokteran, fotografi hingga pangan. (Guillen et al., 2011). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat-sifat gel gelatin TCA (pH, rendemen, viskositas, gel strength, waktu leleh, suhu dan waktu jendal) yang dihasilkan dari interaksi antara konsentrasi HCl dan lama perendaman yang berbeda. Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah dapat mengurangi limbah TCA, meningkatkan daya jual TCA serta dapat mengurangi tingkat kekhawatiran masyarakat akan ketidak halalan gelatin sebagai bahan tambahan pangan. METODOLOGI Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September sampai bulan November 2012. Proses pembuatan gelatin serta pengujian karakteristiknya dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro. Rancangan Penelitian

salah satu kombinasi perlakuan konsentrasi HCl dan lama perendaman. TCA yang telah diacak kemudian dilanjutkan proses degreasing yaitu proses penghilangan lemak dari jaringan tulang yang masih tersisa, dilakukan pada suhu 60 OC selama 2 jam, kemudian dilanjutkan proses demineralisasi dengan menggunakan HCl 2% dan direndam selama 24 jam. Proses berikutnya demineralisasi,

dilakukan penetralan dengan menggunakan air mengalir dan merendamnya selama 15 menit dengan soda cair 0,01%. Penggunaan soda cair ditujukan untuk mempercepat penetralan dan menyempurnakan penghilangan sumsum tulang. Proses selanjutnya dilanjutkan dengan proses asam, yaitu merendam TCA dengan 2%,

menggunakan HCl dengan konsentrasi

3,5% dan 5% selama 24, 36 dan 48 jam, setelah itu, ossein dinetralkan dengan air mengalir dan 20

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

NaOH 0,1 N selama 15 menit. Ossein diekstraksi secara bertahap dengan

dilihat

secara

ringkas

pada

Tabel

1.

Berdasarkan perhitungan statistik, penggunaan berbagai konsentrasi HCl, lama perendaman, dan interaksi antara keduanya berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap pH gelatin. Hal ini menunjukkan bahwa perendaman dengan

menggunakan waterbath. Suhu yang digunakan dalam proses ekstraksi berawal dari 65, 75 dan 85 OC, masing-masing selama 4 jam, kemudian dipekatkan pada suhu 75
O

C selama 2 jam,

supaya air yang masih terkandung di dalamnya dapat menguap. Gelatin yang sudah dikentalkan kemudian dicetak. Pencetakan dilakukan dengan

menggunakan 2-5% HCl selama 24-48 jam mempengaruhi pH gelatin TCA dengan nilai berkisar antara 3,5-4,14. Mengacu pada GMIA (2012), pH gelatin TCA yang sesuai dengan standar dihasilkan dari perendaman TCA

menuangkan 15 ml (5 ml dalam sekali tuang). Penuangan berikutnya dilakukan jika gelatin sebelumnya sudah kering. Pengeringan

dengan menggunakan 2% HCl selama 24 jam serta 2-5% HCl selama 48 jam dengan pH berkisar 3,94-4,14. Seiring dan dengan lama

dilakukan dengan inkubator (kardus dengan lampu bohlam 10 watt). (Modifikasi Hajrawati (2006), Junianto et al. (2006), Yuniarifin et al. (2006); Jayathikalan et al., 2011 dan Puspawati et al., 2012). Analisis terhadap gelatin tulang cakar ayam meliputi pH (British Standard 757 1975), Rendemen (AOAC, 1995), Viskositas 350

meningkatnya

konsentrasi

perendaman pH gelatin akan menurun. Naiknya pH pada perendaman dengan HCl 2 5% selama 48 jam, diduga karena sumsum TCA mengalami koagulasi pada pH 4 dan sumsum tulang tersebut dapat terangkat secara sempurna sehingga gelatin yang

(menggunakan

viscometer

Ostwald

dihasilkan memiliki pH lebih tinggi dibanding dengan perendaman dengan HCl 2 5% selama 24 36 jam. Kolagen kulit atau tulang akan mengalami peregangan pada pH di bawah 4 dan di atas 10. Pada pH tersebut, struktur tripel heliks kolagen menjadi single heliks terjadi secara maksimal (Li, 1993 dan Prayitno, 2007). Pengaruh Perlakuan terhadap Rendemen Gelatin Tulang Cakar Ayam Rendemen gelatin TCA yang dihasilkan dari 2-5% HCl dengan 24-48 jam perendaman dapat dilihat secara ringkas pada Tabel 1. Berdasarkan perhitungan statistik, penggunaan 21

dihitung menggunakan rumus British Standard 757 197), Gel Strength (menggunakan VollandStevens LFRA Texture Analizer), waktu leleh gelatin (Suryaningrum dan Utomo, 2002), dan suhu dan waktu jendal gelatin (Modifikasi Schrieber dan Gareis, 2007).

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap pH Gelatin Tulang Cakar Ayam Nilai pH gelatin TCA yang dihasilkan dari 2-5% HCl dengan 24-48 jam perendaman dapat

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

berbagai konsentrasi HCl, lama perendaman, dan interaksi antara keduanya berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap rendemen. Hal ini menunjukan bahwa perendaman dengan

menunjukan

bahwa

perendaman

dengan

menggunakan 2-5% HCl selama 24-48 jam mempengaruhi viskositas gelatin TCA berkisar antara 1,12-4,69 cP. Dengan

menggunakan 2-5% HCl selama 24-48 jam mempengaruhi rendemen gelatin TCA sebanyak 0,38-3,25%. Tingginya bahwa rendemen perlakuan gelatin yang

mempertimbangkan standar pH (3,8-5,5) dan viskositas (1,5-7,5 cP) dari GMIA (2012), viskositas gelatin TCA terbaik dihasilkan dari perendaman 2-5% HCl selama 48 jam dengan viskositas sebesar 2-3,03 cP. Tinggi rendahnya viskositas diduga

mengindikasikan

diterapkan itu bekerja secara optimal dan efektif (Miwada dan Simpen, 2007). Tinggi rendahnya rendemen gelatin

dipengaruhi oleh pH hasil dari interaksi antara konsentrasi HCl dan lama perendaman.

diduga dipengaruhi oleh pH hasil dari interaksi antara konsentrasi HCl dan lama perendaman. Rendahnya rendemen pada pH 3,5 (perendaman TCA dengan HCl 2% selama 36 jam) yaitu 0,88 % dan pH 4,14 (perendaman TCA dengan HCl 2% selama 24 jam) yaitu 0,38% menunjukkan bahwa struktur kolagen mengembang dan terbuka secara minimal pada pH 3,5 dan pH 4,14, sedangkan struktur kolagen akan

Rendahnya viskositas gelatin TCA pada pH 3,5 (perendaman TCA dengan HCl 2% selama 36 jam) yaitu 1,51 cP dan pH 4,14 (perendaman TCA dengan HCl 2% selama 24 jam) yaitu 1,32 cP menunjukan bahwa pada kisaran pH ini memiliki nilai geser tinggi karena sedikit mengandung gelatin sehingga viskositas yang dihasilkan minimum. Viskositas optimum

mengembang dan terbuka secara optimal pada pH 3,76 (perendaman dengan HCl 5% selama 36 jam). Pengembangan dan terbukanya

diduga terjadi pada kisaran

pH 3,62-3,68

(perendaman dengan HCl 3,5-5% selama 24 jam). Menurut See et al. (2010) viskositas maksimum dihasilkan pada pH 3 dan 10,5. Tingginya viskositas menunjukkan bahwa

struktur kolagen secara optimal ditandai dengan rendemen yang dihasilkan tinggi yaitu 3,25%. Pengaruh Perlakuan terhadap Viskositas Gelatin Tulang Cakar Ayam Viskositas gelatin TCA yang dihasilkan dari 2-5% HCl dengan 24-48 jam perendaman dapat dilihat secara ringkas pada Tabel 1. Berdasarkan perhitungan statistik, penggunaan berbagai konsentrasi HCl, lama perendaman, dan interaksi keduanya berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap viskositas. Hal ini 22

gelatin memiliki nilai geser yang rendah serta rantai asam amino yang panjang. Meskipun gelatin yang dihasilkan dari perendaman dengan HCl 3,5-5% selama 24 jam memiliki viskositas optimum, akan tetapi memiliki pH yang tidak sesuai standar GMIA (2012) yaitu 3,5 5,5. Gelatin dengan viskositas terbaik dihasilkan dari perendaman HCl 5% selama 48 jam dengan pH 4 dan viskositas 3,03 cP.

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

jam) sebesar 0 bloom Pengaruh Perlakuan terhadap Gel strength Gelatin Tulang Cakar Ayam Gel Strength gelatin TCA yang dihasilkan dari 2-5% HCl dengan 24-48 jam perendaman dapat dilihat secara ringkas pada Tabel 1. Berdasarkan perhitungan statistik, penggunaan berbagai konsentrasi HCl, lama perendaman, dan interaksi keduanya berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap gel strength. perendaman Hal ini

menunjukan bahwa

dengan kisaran pH ini menghasilkan viskositas minimum disertai dengan gel strength yang rendah. Viskositas optimum pada kisaran pH 3,62-3,68 (perendaman dengan HCl 3,5-5% selama 24 jam) juga disertai dengan gel strength yang besar yaitu 1.150,67 bloom. Oleh karena itu, gelatin yang dihasilkan dari

perendaman HCl 5% selama 48 jam merupakan gelatin terbaik dan sesuai dengan standar GMIA (2012) dengan pH 4, viskositas 3,03 cP dan gel strength sebesar 422,2 bloom. Pengaruh Perlakuan terhadap Waktu Leleh Gelatin Tulang Cakar Ayam Waktu leleh gelatin TCA yang dihasilkan dari 2-5% HCl dengan 24-48 jam perendaman dapat dilihat secara ringkas pada Tabel 1. Berdasarkan perhitungan statistik, penggunaan berbagai konsentrasi HCl, lama perendaman dan interaksi keduanya berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap bahwa waktu leleh. Hal ini

menunjukkan

bahwa

dengan

menggunakan 2-5% HCl selama 24-48 jam mempengaruhi gel strength gelatin TCA dengan nilai berkisar antara 0-1150,67 bloom. Dengan mempertimbangkan standar pH (3,8-5,5),

viskositas (1,5-7,5 cP) dan gel strength (50-300 bloom) dari GMIA (2012), gel strength gelatin TCA terbaik dihasilkan dari perendaman 3,55% HCl selama 48 jam dengan gel strength sebesar 263,07-228,81 bloom. Berdasarkan nilai bloom-nya, gel strength gelatin TCA termasuk dalam jenis medium-high bloom (Schrieber dan Gareis, 2007). Berdasarkan standar GMIA (2012), yaitu 50-300 bloom cocok untuk edible film, food ingredient, soft and hard capsule. Tinggi rendahnya gel strength yang dihasilkan diduga dipengaruhi oleh pH dan viskositas yang dihasilkan dari interaksi antara konsentrasi HCl dan lama perendaman. Gel strength gelatin TCA pada pH 3,5 dengan viskositas 1,51 cP (perendaman TCA dengan HCl 2% selama 36 jam) sebesar 63,87 bloom dan pH 4,14 dengan viskositas 1,32 cP

menunjukan

perendaman

dengan

menggunakan 2-5% HCl selama 24-48 jam mempengaruhi waktu leleh gelatin TCA yaitu berkisar antara 0-3,29 standar menit. pH Dengan (3,8-5,5),

mempertimbangkan

viskositas (1,5-7,5 cP) dan gel strength (50-300 bloom) dari GMIA (2012), waktu leleh gelatin TCA terbaik (Tabel 1.) dihasilkan dari

perendaman 5% HCl selama 48 jam dengan waktu leleh sebesar 3,29 menit. Tinggi rendahnya waktu leleh gelatin TCA yang dihasilkan diduga dipengaruhi oleh pH, viskositas dan gel strength yang dihasilkan dari interaksi antara konsentrasi HCl dan lama 23

(perendaman TCA dengan HCl 2% selama 24

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

perendaman. Gelatin TCA yang dihasilkan dari perendaman TCA dengan HCl 2% selama 36 jam (pH 3,5 dengan viskositas 1,51 cP dan gel strength 63,87 bloom) memiliki waktu leleh gelatin TCA yang

Tabel 1. Berdasarkan perhitungan statistik, penggunaan berbagai konsentrasi HCl, lama perendaman, dan interaksi keduanya

berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap suhu dan waktu jendal. Hal ini menunjukan bahwa perendaman dengan menggunakan 2-5% HCl selama 24-48 jam mempengaruhi suhu jendal gelatin TCA yaitu 0-13,7 OC dengan waktu 014,7 menit. Dengan mempertimbangkan standar pH (3,8-5,5), viskositas (1,5-7,5 cP) dan gel strength (50-300 bloom) dari GMIA (2012) dan waktu leleh gelatin TCA terbaik (Tabel 1.) dihasilkan dari perendaman 5% HCl selama 48 jam dengan waktu leleh sebesar 3,29 menit, maka suhu jendal terbaik dihasilkan dari perendaman 5% HCl selama 48 jam dengan suhu jendal 10,7 OC selama 7,5 menit. Meningkatnya suhu dan waktu leleh dan jendal seiring dengan meningkatnya nilai bloom, viskositas gelatin, berat molekul gelatin, panjangnya rantai asam amino dan konsentrasi gelatin yang digunakan (Choi dan Regenstein, 2000; Astawan et al., 2002; Schrieber dan Gareis, 2007; Abustam et al., 2008).

selama 1,4 menit dan

dihasilkan dari perendaman TCA dengan HCl 2% selama 24 jam (pH 4,14 dengan viskositas 1,32 cP dan gel strength 0 bloom) memiliki waktu leleh selama 0 menit. Hal ini menunjukan bahwa dengan kisaran pH 3,5 dan 4,14 menghasilkan viskositas minimum yang disertai dengan gel strength dan waktu leleh yang rendah sedangkan pada viskositas optimum yang terjadi pada kisaran pH 3,62-3,68

(perendaman dengan HCl 3,5-5% selama 24 jam) yang disertai dengan gel strength yang besar yaitu 1.150,67 bloom waktu leleh yang rendah. Rendahnya nilai pH, menyebabkan gelatin yang terekstrak lebih banyak sehingga nilai viskositas meningkat. Meningkatnya nilai juga memiliki

viskositas menunjukkan bahwa gelatin yang dihasilkan memiliki rantai asam amino lebih panjang, yang ditandai dengan nilai gel strength yang besar (Ward dan Courts, 1977; Astawan dan Aviana, 2003; Hafidz et al., 2011) dan kandungan asam imino yang banyak (prolin dan hidroksiprolin) yang merupakan penstabil

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian penggunaan perbedaan konsentrasi, lama perendaman, dan interaksinya mempengaruhi sifat-sifat gel

jaringan gel (Bustillos et al., 2006; Hafidz et al., 2011; Tavakolipour, 2011). Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu dan Waktu Jendal Gelatin Tulang Cakar Ayam Suhu dan waktu jendal gelatin TCA yang dihasilkan dari 2-5% HCl dengan 24-48 jam perendaman dapat dilihat secara ringkas pada 24

gelatin TCA. Interaksi yang dihasilkan dari konsentrasi HCl dan lama perendaman yang berbeda menghasilkan gelatin dengan

karakteristik pH yang berbeda. Perbedaan pH ini diduga secara langsung mempengaruhi rendemen dan sifat gel (rendemen, viskositas

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

optimal, gel strength, waktu leleh serta suhu dan waktu jendal) gelatin TCA dengan pH terendah sebesar 3,5 dan tertinggi sebesar 4,14.

Rendemen tertinggi dihasilkan dari pH 3,76, viskositas optimal dan gel strength besar terjadi pada pH 3,62-3,68, waktu leleh serta suhu dan waktu jendal tertinggi dihasilkan dari pH 4. Berdasarkan sifat-sifat gel yang dihasilkan dan mengacu pada standar GMIA (2012),

perendaman dengan interaksi antara HCl 5% selama 48 jam menghasilkan gelatin TCA terbaik dan dapat direkomendasikan sebagai alternatif bahan tambahan pangan pada industri pangan. DAFTAR PUSTAKA Abustam, E., H.M. Ali., M.I. Said dan J.CH. Likadja. 2008. Sifat fisik gelatin kulit kaki ayam melalui proses denaturasi asam, alkali dan enzim. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 724 729. Astawan M dan T. Aviana. 2003. Pengaruh jenis larutan perendaman serta metode pengeringan terhadap sifat fisik, kimia dan fungsional gelatin dari kulit cucut. Jurnal. Teknol. dan Industri Pangan. XIV (1):7-13. Astawan, M., P. Hariyadi dan A. Mulyani. 2002. Analisis sifat reologi gelatin dari kulit ikan cucut. Jurnal. Teknol. dan Industri Pangan. VIII (1): 38-46. AOAC. 1995. Official Method of Analysis of Association. Official Agricultural Chemist, Washington, DC. Baker, R.C., P.W. Hahn, and Robbins, K.R. 1994. Fundamentals of New Food Product Development. Elsevier Science B.V., New York. Barbooti, M.M., S.R. Raouf and F.H.K. AlHamdani. 2008. Optimization of production of food grade gelatin from bovine hide wastes. Eng and Tech. 26(2): 240-253. 25

British Standard 757. 1975. Sampling and testing of gelatin. Di dalam : Imeson, editor. Thickening and Gelling Agents for Food. New York :Academic Press. Bustillos, R.J.A., C.W. Olsen., D.A. Olson, B. Chiou, E. Yee, P.J. Bechtel and T.H. McHugh. 2006. Water vapor permeability of mammalian and fish gelatin films. Journal Of Food Science. 71 (4): E202-E207. Choi, S. and J.M. Regenstein. 2000. Physicochemical and sensory characteristics of fish gelatin. Journal of Food Science. 65(2): 194-199 Gelatin Manufacturer Institute of America (GMIA). 2012. Gelatin Hand Book. America. Guillen, M. C. G., B. Gimenez., M. E. L. Caballero and M. P. Montero. 2011. Functional and bioactive properties of collagen and gelatin from alternative sources. Food Hydrocolloids. 25: 18131827. Hafidz, R.M.R.N., C.M. Yaakob, I. Amin, and A. Noorfaizan. 2011. Chemical and functional properties of bovine and porcine skin gelatin. International Food Research Journal. 18: 813817. Hajrawati. 2006. Sifat Fisik dan Kimia Gelatin Tulang Sapi dengan Perendaman Asam Klorida pada Konsentrasi dan Lama Perendaman yang Berbeda. Tesis Magister Sains, Institut Pertanian Bogor, Bogor (). Jayathikalan, K., K. Sultana, K. Radhakrishna and A.S. Bawa. 2011. Utilization of byproducts and waste materials from meat, poultry and fish processing industries: a review. J Food Sci Technol : DOI 10.1007/s13197-011-0290-7. Jellouli, K., R. Balti, A. Bougatef, N. Hmider, A. Barkia and M. Nasri. 2011. Chemical composition and characteristic of skin gelatin from grey triggerfish (Balistes capriscus). LWT-Food Science and Technology. 44: 1965 1970. Junianto, K. Haetami dan I. Maulina. 2006. Produksi Gelatin Dari Tulang Ikan dan Pemanfaatannya Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Cangkang Kapsul. Hibah Penelitian Dirjen Dikti. Fakultas

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Perikanan dan Imu Kelautan, Universitas Padjajaran. Kolodziejska. I., E. Skierka, M. Sadowska. W. Kolodziejska and C. Niecikowska. 2008. Effect of extracting time and temperature on yield of gelatin from different fish offal. Food Chem. 107: 700-706. Li, Shu-Tung. 1993. Collagen biotechnology and its medical application. Biomed. Eng. ppl.Baia Comm. 5: 646-657. Liu, D.C, Y.K. Lin, and M.T. Chen, 2001. Optimum Condition of extrcting collagen from Chicken feet and its caracetristics. Asian-Australasian Journal of Animal Science 14 : 16381644. Miwada, I. N. S dan I. N. Simpen. 2007. Optimalisasi potensi ceker ayam (Shank) hasil limbah rpa melalui metode ekstraksi termodifikasi untuk menghasilkan gelatin. Majalah Ilmiah Peternakan. 10 (1): 5-8. Oh, J.H. 2012. Characteristic of edible film fabricated with channel catfish (Istalurus punctatus) gelatin by crosslinking with transglutaminase. Fish Aquat. Sci. 15 (1): 9-14. Prayitno. 2007. Ekstraksi kolagen cakar ayam dengan berbagai jenis larutan asam dan lama perendaman. Animal Production. 9 (2) : 99 104. Puspawati, N.M., I.N. Simpen dan S. Miwada. 2012. Isolasi gelatin dari kulit kaki ayam

broiler dan karakterisasi gugus fungsinya dengan spektrofotometeri FTIR. Jurnal Kimia. 6 (1) : 87 79. Schrieber, R and H. Gareis. 2007. Gelatin Handbook. Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Germany. See, S.F. Hong, P.K., Ng., K.L Wan Aida, W.M. and A.S Babdji. 2010. Physiscochemical properties of gelatins extracted from skins of different freshwater fish species. International Food Research Journal. 17 : 809 816. Suryaningrum, T. D dan B.S.B. Utomo. 2002. Petunjuk Analisa Rumput Laut dan Hasil Olahannya. Pusat Riset pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan. Jakarta. Tavakolipur, H. 2011. Extraction and evaluation of gelatin from silver carp waste. World J. of Fish and Mar. Sci. 3 (1): 10-15. Ward, A.G. and Courts, A. 1977. The Science and Technology of Gelatin. Academic Press, New York. Yuniarifin, H., V.P. Bintoro, dan A. Suwarastuti. 2006. Pengaruh berbagai konsentrasi asam fosfat pada proses perendaman tulang sapi terhadap rendemen, kadar abu dan viskositas gelatin. J. Indonesia Trop. Anim. Agric. 31 (1) : 55 61.

26

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Tabel 1. Pengaruh Interaksi Konsentrasi HCl dan Lama Perendaman terhadap pH, Rendemen, Gel Strength, Waktu Leleh serta Suhu dan Waktu Jendal Gelatin Tulang Cakar Ayam Konsentrasi HCl (%) Parameter pH Rendemen (%) Viskositas (cP) Gel Strength (bloom) Waktu Leleh (menit) Suhu Jendal (C) Waktu jendal (menit) pH Rendemen (%) Viskositas (cP) Gel Strength (bloom) Waktu Leleh (menit) Suhu Jendal (C) Waktu jendal (menit) pH Rendemen (%) Viskositas (cP) Gel Strength (bloom) Waktu Leleh (menit) Suhu Jendal (C) Waktu jendal (menit) Superskrip yang nyata (p<0,05) Lama Perendaman (jam) 24 36 48 a d 4,14 3,50 4,08a f ef 0,38 0,88 1,60cde 1,32d 1,51d 2,00bcd 0e 63,87e 422,20c d c 0 1,40 1,92bc 0e 9cd 14,7a 0c 11,3ab 8,3b 3,68cd 3,66cd 3,94ab 2,55b 1,92bc 1,16de 3,30ab 1,82cd 2,11bcd 941,56b 142,79de 263,07d 2,00bc 1,71bc 2,37b 12,3ab 8d 11,3ab 13,6a 8,6b 8,4b cd bc 3,62 3,76 4,00a 2,45b 3,25a 1,31cd 4,69a 1,88cd 3,03abc 1150,67a 118,20de 228,81d 1,73bc 3,21a 3,29a 13,7a 11bc 10,7bc 8,0b 6,4b 7,5b berbeda menunjukkan perbedaan

3,5

Keterangan

yang

27

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

28

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Mutu Fisik, Kadar Serat dan Sifat Organoleptik Nata de Cassava Berdasarkan Lama Fermentasi Physical quality, Dietary Fiber and Organoleptic Characteristic from Nata de Cassava Based time of Fermentation
Indah Putriana dan Siti Aminah Program Studi S-1 Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Semarang Korespondensi, email: saminah92@yahoo.com

Abstract Nata de cassava are product from cassava extract with fermentation bacteria species Acetobacter xylinum. Nata constitutes one of components in nutrients as a source of dietary fiber. Period of fermentation is one of essential factor in makings nata de cassava. The aim this research is to know physical quality, and organoleptic characteristic from nata de cassava with period time of fermentation. Thickness and yield best exists on 13th days fermentation 1,37 cm and 59,09 % respectively, meanwhile best brightness on 5th days fermentation around 64,70. Concentration of fiber is biggest in 7th days fermentation approximately 94,31 mg. Organoleptic quality perceives nata de cassava delicate on 13th day fermentation. Key Words: Nata de cassava, physical quality, dietary fiber, organoleptic characteritic

PENDAHULUAN Singkong atau cassava berasal dari benua Amerika. Tanaman singkong masuk ke wilayah Indonesia tahun 1852. Saat ini di Indonesia singkong menjadi makanan pokok nomor tiga setelah padi dan jagung (Rukmana, 1997) dan produksi singkong Indonesia telah mencapai 19.988.056 ton pada tahun 2007 (BPS, 2008). Hasil olahan singkong yang sudah dikembangkan di masyarakat diantaranya

singkong

belum

banyak

dikenal

oleh

masyarakat di Indonesia, karena umumnya bahan baku nata adalah air kelapa yang dikenal dengan sebutan nata de coco. Menurut SNI (Standar Nasional

Indonesia) tahun 1996 karakteristik nata yang harus diperhatikan adalah aroma, rasa, warna, dan tekstur yang normal serta kandungan seratnya. Salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi karakteristik nata adalah lama fermentasi.

adalah singkong rebus, singkong goreng, getuk, tiwul, gatot, dan kripik. Tape singkong adalah produk olahan singkong itu dalam singkong bentuk dapat METODOLOGI Penelitian eksperimental. Laboratorium 29 ini Tempat Kimia adalah penelitian Universitas penelitan adalah Katolik

fermentasi,

selain

difermentasi menjadi nata. Produk nata dari

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Soegijapranoto Semarang dan Laboratorium Teknologi Pangan Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang. Bahan utama dalam pembuatan nata de cassava adalah singkong segar varietas kaliki berumur 9-11 bulan yang diperoleh dari petani di lapangan Graha Candi Golf Semarang sedangkan starter nata diperoleh dari Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran

independen adalah lama fermentasi. Masingmasing percobaan dilakukan ulangan sebanyak 4 kali. Diagram alir proses pembuatan produk nata de cassava tersaji pada Gambar 1.

HASIL DAN PEMBAHASAN a. Sifat Fisik Ketebalan Selama proses fermentasi berlangsung ketebalan peningkatan. nata de cassava hasil mengalami pengukuran

Industri Jl. Ki Mangunsarkoro 6 Semarang. Bahan kimia yang digunakan adalah gula pasir, asam asetat, amnium sulfat, H2SO4, NaOH, H2SO4, aquades, dan air mineral yang dibeli di toko bahan kimia Indra Sari Jl. Stadion Selatan 15 Semarang. Peralatan dalam pembuatan nata de cassava meliputi baki fermentasi, kertas lakmus untuk mengukur pH, timbangan, pisau, gelas ukur, blender, panci, kompor, pengaduk,

Rata-rata

ketebalan nata de cassava tersaji pada Gambar 2. Gambar tersebut menjelaskan bahwa semakin lama waktu fermentasi semakin tebal nata yang dihasilkan. Ketebalan tertinggi terdapat pada lama fermentasi hari ke 13 yaitu sebesar 1,37 cm. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa di sehingga fermentasi peroleh p-value 0,001 < 0,05 dapat nata disimpulkan de cassava bahwa lama

saringan, kertas koran, karet gelang. Alat untuk analisa kadar serat adalah neraca analitik, gelas ukur, pengaduk, pipet volum, erlenmeyer, pendingin balik, kertas saring, kertas lakmus, spatula, desikator, kurs porselin. Alat untuk uji organoleptik terdiri dari formulir uji

berpengaruh

terhadap ketebalan nata yang terbentuk. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa lama fermentasi hari ke-7 dan 9 tidak berbeda nyata sedangkan perlakuan yang berbeda nyata adalah antara lama fermentasi hari ke 5 dan ke-7, 5 dan 9, 5 dan 11, 5 dan 13, 7 dan 11, 7 dan 13, 9 dan 11, 9 dan 13, 11 dan 13. Hal ini dikarenakan aktivitas bakteri Acetobacter xylinum dalam mengasilkan

organoleptik, bolpoin, piring kecil, dan gelas. Alat untuk menguji mutu fisik yaitu warna adalah chromameter, alat menghitung rendemen adalah timbangan sedangkan mengukur

ketebalan menggunakan jangka sorong. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap monofaktor (RAL monofaktor), dengan perlakuan sebanyak 5 (lima) perlakuan. Variabel dependen adalah mutu fisik, kadar serat, sifat organoleptik dan variabel 30

selulosa dipengaruhi lama fermentasi. Bakteri Acetobacter xylinum membentuk lapisan nata yang semakin tebal sampai pada hari ke-13 dan bakteri Acetobacter xylinum masih mampu beraktivitas untuk tumbuh dan membentuk

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

selulosa. Nata yang dipanen setelah hari ke-13 tidak akan terbentuk lapisan nata baru karena aktivitas bakteri Acetobacter xylinum berhenti akibat nutrisi yang habis di dalam media fermentasi dan hasil metabolit berupa asam asetat yang dapat mengganggu pertumbuhan mikroba. Saccharomyces menguraikan gula menjadi etanol lalu oleh Accetobacter xylinum di rubah menjadi asam asetat, sehingga pH medium menjadi lebih asam yaitu 3 dan aroma juga menjadi asam. Ashari (2007) menyatakan bahwa

menjadi etanol lalu oleh Accetobacter xylinum dan Gluconobacter di oksidasi menjadi asam asetat dan air. Accetobacter xylinum

memerlukan waktu untuk fase adaptasi selama 1 hari , kemudian pertumbuhan meningkat (fase
logaritmik) sampai pada hari ke-5 dan ke-7 ditunjukkan dengan semakin tebal nata yang terbentuk. Nainggolan (2009) menyatakan bahwa seiring dengan lama fermentasi pertumbuhan akan menurun secara perlahan, karena berkurangnya kadar gula dan timbulnya asam sebagai hasil metabolit dari fermentasi tersebut. Ketebalan paling baik terjadi pada lama fermentasi hari ke13, hal ini menggambarkan bahwa lama bakteri

bakteri Acetobacter xylinum dalam membentuk nata di dalam media yang diperkaya karbon dan nitrogen, penambahan asam asetat, sehingga menstimulasi
merombak kemudian selanjutnya

khamir
sukrosa

S.Cerreviceae menjadi glukosa

untuk dan

fermentasi

mempengaruhi

aktivitas

Accetobacter xylinum dalam menghasilkan nata de cassava. Ketebalan nata de coco pada umumnya adalah antara 1-1,5 cm sedangkan pada nata de cassava 1,37 cm pada lama fermentasi hari ke-13 menunjukkan bahwa ketebalan nata de coco

difermentasi

menjadi

alkohol,

Accetobacter

xylinum

dan

Gluconobacter mengoksidasi alkohol menjadi asam asetat sebagai metabolit utama. Bakteri Accetobacter xylinum

dengan nata de cassava sama. Pada lama fermentasi hari ke-5 sampai ke-11 ketebalan nata de cassava belum mencapai 1 cm, hal ini dipengaruhi oleh variasi substrat, komposisi bahan, kondisi lingkungan, dan kemampuan Accetobacter selulosa. xylinum dalam menghasilkan

menghasilkan enzim ekstraseluler yang dapat menyusun (mempolimerisasi) zat gula (glukosa) menjadi ribuan rantai (homopolimer) serat atau selulosa. Dari jutaan jasad renik yang tumbuh dalam media, akan dihasilkan jutaan lembar benang-benang selulosa yang akhirnya nampak padat berwarna putih hingga transparan, yang disebut sebagai nata yang termasuk metabolit sekunder (Nainggolan, 2009). Pada fermentasi nata terjadi hubungan saling membutuhkan antara khamir

Rendemen Rendemen nata de cassava ditentukan berdasarkan perbandingan antara bobot nata dengan bobot medium. Rata-rata rendemen nata cassava tersaji pada Gambar 3. Gambar 3 menjelaskan bahwa rendemen nata de cassava 31

S.Cerreviceae, Gluconobacer, dan Accetobacter

xylinum. Saccharomyces menguraikan gula

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

pada lama fermentasi hari ke-5 sampai dengan hari ke-13 mengalami peningkatan. Rendemen nata de cassava tertinggi adalah 59,09% pada lama fermentasi hari ke-13. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa diperoleh p-value 0,002 < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa lama fermentasi nata de cassava berpengaruh terhadap rendemen nata yang terbentuk. Hasil uji lanjut

proses fermentasi nilai kecerahan (L) nata de cassava semakin menurun. Pada Gambar 4 dapat diketahui bahwa hasil pengukuran warna nata de cassava pada lama fermentasi hari ke 5 sampai dengan hari ke 13 mengalami penurunan. Kecerahan nata de cassava tertinggi adalah 64,70 pada lama fermentasi hari ke 5, sedangkan kecerahan terendah nata de cassava adalah 56,13 pada lama fementasi hari ke 13. Hasil uji statistik anova dengan

menunjukkan bahwa lama fermentasi hari ke-5 dan ke-7, ke-7 dan ke-9 tidak berbeda nyata sedangkan perlakuan yang berbeda nyata adalah lama fermentasi ke-5 dan 9, 5 dan 11, 5 dan 13, 7 dan 11, 7 dan 13, 9 dan 11, 9 dan 13, 11 dan 13. Semakin lama waktu fermentasi maka nata yang terbentuk semakin berat, sehingga rendemen nata juga meningkat. Lama

menggunakan 0,05 diperoleh data taraf signifikan p-value 0,002 < 0,01 sehingga dapat disimpulkan bahwa lama fermentasi nata de cassava berpengaruh sangat nyata terhadap warna nata yang terbentuk. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa lama fermentasi hari ke-5 dan ke-13 berbeda nyata sedangkan perlakuan yang berbeda nyata adalah lama fermentasi ke-5 dan 7, 5 dan 9, 5 dan 11, 7 dan 9, 7 dan 11, 7 dan 13, 9 dan 11, 9 dan 13, 11 dan 13. Hal ini dikarenakan warna dipengaruhi oleh tebal nata, semakin tebal nata maka warna yang dihasilkan semakin gelap (keruh), sebaliknya semakin tipis nata, warna yang dihasilkan semakin terang (putih). Menurut Susanti (2006) ketebalan nata

fermentasi yang berbeda dihasilkan kadar selulosa yang berbeda, lama fermentasi hari ke13 semakin tinggi kadar selulosa nata, sehingga nata de cassava semakin berat dan rendemen meningkat. Rendemen dipengaruhi oleh variasi
substrat, komposisi bahan, kondisi lingkungan, dan kemampuan Accetobacter xylinum dalam menghasilkan selulosa.

Warna Warna menggunakan L*a*b. L nata de cassava dengan diukur satuan

dipengaruhi oleh jumlah intensitas cahaya. Nata yang tebal, intensitas cahaya yang masuk dan diserap semakin banyak sehingga semakin gelap (keruh), sebaliknya pada nata yang tipis, intensitas cahaya yang masuk dan diserap semakin sedikit sehingga warna semakin terang (putih). Pada nata yang tebal pembentukan jaringan selulosa semakin banyak dan rapat. 32 chromameter merupakan

tingkat

kecerahan,

semakin tinggi nilai L maka warna semakin cerah dan semakin rendah nilai L warna semakin gelap. Gambar 4 menunjukkan selama

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Warna nata de coco adalah putih susu tetapi pada nata de cassava putih agak keruh. Warna nata de cassava dapat diperbaiki dengan mempercepat lama fermentasi, karena lama fermentasi yang semakin lama warna nata akan menjadi lebih gelap yaitu dengan memodifikasi bahan yang digunakan dalam pembuatan nata de cassava.

cassava tidak berpengaruh terhadap kadar serat nata yang terbentuk. Hal ini disebabkan karena pada lama fermentasi hari ke 7 bakteri Acetobacter xylinum dalam fase eksponensial karena bakteri Accetobacter xylinum

mengeluarkan enzim ekstraseluler polimerase sebanyak banyaknya untuk menyusun polimer glukosa menjadi selulosa sehingga matrik nata lebih banyak diproduksi pada fase ini.

b. Kadar Serat Jenis serat pada nata de cassava adalah serat kasar. Serat kasar merupakan hasil perombakan gula pada medium fermentasi oleh aktivitas A. xylinum (Anastasia, 2008). Lama fermentasi nata menyebabkan bakteri Acetobacter xylinum bekerja pada perlakuan perbedaan jumlah nutrisi yang

Pada lama fermentasi ke-9 dan 11 mengalami penurunan karena bakteri

Accetobacter xylinum dalam fase pertumbuhan lambat karena ketersediaan nutrisi telah

berkurang dan terdapat terdapatnya metabolik


yang bersifat toksit yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan umur sel telah tua. Lama fermentasi ke-13 meningkat karena matrik nata lebih banyak diproduksi pada fase ini.

mencukupi kebutuhannya. Pada kondisi yang jumlah mutrisi mencukupi kebutuhannya

selulosa yang terbentuk dalam jumlah besar dan pada kondisi yang jumlah nutrisi tidak

c. Sifat Organoleptik Uji organoleptik dilakukan dengan

mencukupi kebutuhannya pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum terhambat akibatnya

menggunakan uji skoring dengan kriteria semakin tinggi angka maka mutunya semakin baik. Aspek yang dinilai meliputi tingkat kesukaan terhadap tekstur, rasa dan aroma, dimana panelis dimintai tanggapan pribadinya tentang kesukaan atas suatu produk menurut tingkatan-tingkatan tertentu. Panelis yang

dihasilkan selulosa dalam jumlah kecil. Karena selulosa yang terbentuk berbeda sehingga menyebabkan perbedaan pada berat nata yang dihasilkan. Hasil rata-rata kadar serat per 100 g nata tersaji pada Gambar 5. Gambar 5 dapat diketahui bahwa nilai rata-rata kadar serat tertinggi terdapat pada produk nata de cassava dengan lama fermentasi hari ke-7 yaitu sebesar 94,31 mg. Hasil uji statistik anova dengan menggunakan 0,05 diperoleh data taraf signifikan p-value 0,543 > 0,05 sehingga dapat lama fermentasi nata de 33

digunakan adalah panelis semi terlatih sebanyak 15 orang dari mahasiswa Teknologi Pangan. Tesktur Tekstur yang baik untuk nata de cassava adalah kenyal dan tidak keras. Hasil rata-rata penilaian panelis tersaji pada Gambar 6. Pada gambar tersebut dapat diketahui bahwa nilai

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

rata-rata tekstur tertinggi terdapat pada produk nata de cassava dengan lama fermentasi hari ke-5 yaitu sebesar 3,23 dengan kriteri nilai yaitu kenyal. Hasil uji statistik Friedman dengan menggunakan 0,05 diperoleh data taraf signifikan p-value 0,926 > 0,05 sehingga dapat disimpulkan lama fermentasi nata de cassava tidak berpengaruh terhadap tekstur nata de cassava. Panelis lebih menyukai nata de

dengan lama fermentasi hari ke-5 dan lama fermentasi hari ke-13 berbeda nyata dengan lama fermentasi hari ke-7. Hasil penelitian dapat disimpulkan

bahwa panelis lebih menyukai nata de cassava dengan rasa enak karena perbedaan lama fermentasi menghasilkan citarasa nata enak yang relatif sama, selain itu pada saat pengujian organoleptik menggunakan nata de cassava gula disajikan 10%,

larutan

sebesar

cassava dengan tekstur kenyal yang diperoleh dari nata de cassava sampai hari ke-5, hal ini disebabkan selulosa yang terbentuk oleh bakteri Acetobacter xylinum belum terlalu keras

sehingga nata berasa manis dan enak.

Aroma Aroma yang baik untuk nata de cassava adalah tidak asam. Hasil rata-rata penilaian panelis terhadap aroma tersaji pada Gambar 8. Berdasarkan Gambar 8 dapat diketahui bahwa nilai rata-rata aroma tertinggi terdapat pada

sehingga tekstur menjadi kenyal. Semakin lama fermentasi tekstur nata semakin lembek karena lapisan nata yang terbentuk semakin tebal.

Rasa Rasa yang baik untuk nata de cassava adalah enak dengan ditambahkan larutan gula 10%. Hasil rata-rata penilaian panelis terhadap rasa tersaji pada Gambar 7. Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui bahwa nilai rata-rata rasa tertinggi terdapat pada lama fermentasi hari ke-13 sebesar 3,23 yaitu enak, sedangkan nilai terendah terdapat pada lama fermentasi hari ke-7 sebesar 2,47. Hasil uji statistik Friedman dengan menggunakan 0,05 diperoleh data taraf signifikan p-value 0,016 < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan lama fermentasi nata de cassava berpengaruh terhadap rasa nata de cassava. Uji lanjut wilcoxon menunjukkan bahwa lama fermentasi hari ke-7 berbeda nyata 34

lama fermentasi hari ke-11 sebesar 3,13, sedangkan nilai terendah terdapat pada lama fermentasi hari ke-9 sebesar 2,67. Hasil uji statistik Friedman dengan menggunakan 0,05 diperoleh data taraf signifikan p-value 0,901 > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan lama fermentasi nata de cassava tidak berpengaruh terhadap aroma nata de cassava. Panelis lebih menyukai nata de cassava dengan aroma tidak asam karena pada saat dipanen, nata de cassava dicuci lalu direbus selama 10 menit pada suhu 100C sehingga aroma asam pada nata de cassava hilang pada saat pencucian dan perebusan.

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa singkong dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan nata. Produk nata de cassava terbaik dihasilkan pada konsentrasi sari singkong sebesar 25% dengan optimum lama fermentasi hari ke-13, dengan ketebalan tertinggi yaitu sebesar 1,37 cm, rendemen 59,09%, tingkat kecerahan yang keruh (gelap) sebesar 56, 13 kadar serat 93,4 mg dan tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur, rasa, aroma dan warna adalah masih dalam batas diterima secara organoleptik oleh panelis. Untuk mempersingkat waktu

(Skripsi) Semarang : Program S1 Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Semarang. Mahmud, dkk., 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta : PT Elex Media Komputindo. Nadiyah, Krisdianto, dan Aulia. 2005. Kemampuan Bakteri Acetobacter xylinum Mengubah Karbohidrat Pada Limbah Padi (Bekatul) Menjadi Selulosa. Bioscientiae,Vol. 2, No. 2, Hal. 37 - 47. Diakses dari http://bioscientiae.tripod.com. Nainggolan, J. 2009. Kajian pertumbuhan Bakteri Accetobacter sp. Dalam Kombucha-Rosela Merah (Hibiscus sabdariffa) pada Kadar Gula dan Lama Fermentasi yang Berbeda. (Tesis). Medan : Universitas Sumatera Utara. Setyawati, R. 2009. Kualitas Nata De Cassava Limbah Cair Tapioka Dengan Penambahan Gula Aren Dan Lama Fermentasi Yang Berbeda. (Skripsi). Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta. SNI 01- 4317- 1996. Nata dalam Kemasan. Jakarta : Departemen Perindustrian. Soekarto. 1990. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan HasilPertanian. Jakarta: Bhatara Aksara. Sumiyati. 2009. Kualitas nata de cassava limbah cair tapioka Dengan penambahan gula pasir dan lama Fermentasi yang berbeda. (Skripsi). Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Susanti, L. 2006. Perbedaan Penggunaan Jenis Kulit Pisang Terhadap Kualitas Nata. (Skripsi). Semarang. Universitas Negeri Semarang. Warisno. 2004. Mudah dan Praktis Membuat Nata de Coco. Jakarta : Argomedia Pustaka. 35

fermentasi dapat dimodifikasi lagi jumlah komposisi bahan seperti sari singkong, urea, gula dan asam asetat sehingga dapat dihasilkan nata de cassava yang baik sebagai penelitian lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA Anastasia, N., dan Eddy A. 2008. Mutu Nata De Seaweed Dalam Berbagai Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008. BPS. 2008. Produksi Umbi Ubi Kayu. Lazuardi. 1994. Studi Pembuatan Nata De Coco Dari Tiga Jenis Air Kelapa Dengan Tiga Jenis Gula Terhadap Produksi Nata De Coco. Tesisi Sarjana Biologi, Universitas Andalas Padang. Luwiyanti, H. 2001. Pengaruh Penggunaan Sumber Nitrogen Pada Medium Filtrat Kulit Buah Pisang Kepok Terhadap Berat, Tebal, dan Sifat Organoleptik Nata.

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Winarno. F. G, dkk. 1992. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta : PT. Gramedia

Singkong 250 g

Pemarutan

Air 1 l

Pengenceran

Penyaringan (sari singkong) Pengendapan Gula 3% dan amonium sulfat 6% dari volume total media dari bahan yang digunakan Asam asetat sampai pH 4

ampas singkong

Pati

Perebusan 70-80C,10 menit Pendinginan Suhu ruang Pemeraman

Starter 10% Dari total volume bahan

Pemanenan

Pencucian

Sisa media fermentasi

Perendaman 2 hari

Perebusan

Nata de cassava siap uji

Gambar 1 Diagram alir proses pembuatan nata de cassava

36

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

1.37 1.5 Ketebalan ( cm ) 1 0.5 0 5 7 9 11 13 Lama Fermentasi (hari) 0.28 0.35 0.57

0.41

Gambar 2. Ketebalan nata de cassava berdasarkan lama fermentasi

Gambar 3. Rendemen nata de cassava berdasarkan lama fermentasi

Gambar 4. Kecerahan nata de cassava berdasarkan lama fermentasi

37

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013 94.31 Kadar serat (mg/100g nata) 95 94 93 92 91 90 93.03 92.26 91.76

93.4

11

13

Lama Fermentasi (Hari)

Gambar 5. Kadar Serat nata de cassava berdasarkan lama fermentasi

Penilaian panelis terhadap tekstur

3.23 3.4 3.2 3 2.8 2.6 5 7 9 11 13 Lama Fermentasi (hari) 3 3.07 3 2.87

Gambar 6 Rata-rata penilaian panelis terhadap tekstur nata de cassava


3.2 Penilaian panelis terhadap rasa 4 2 0 5 7 9 11 13 Lama Fermentasi (hari) 2.47 2.8 3 3.23

Gambar 7. Rata-rata penilaian panelis terhadap rasa nata de cassava


Penilaian panelis terhadap aroma 2.93 3 2.67 3.13 3.07

3.2 3 2.8 2.6 2.4

11

13

Lama Fermentasi (hari)

Gambar 8. Rata-rata penilaian panelis terhadap aroma nata de cassava

38

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

TOTAL ASAM, TOTAL YEAST, DAN PROFIL PROTEIN KEFIR SUSU KAMBING DENGAN PENAMBAHAN JENIS DAN KONSENTRASI GULA YANG BERBEDA Total Acid, Total Yeast, Protein and Profile Kefir Goat Milk, With Addition Type and Concentration of Sugar in Different Level
Amanda Liana Aristya, Anang. M. Legowo, dan Ahmad N. Al-Baarri Magister Ilmu Ternak Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang Email Korespondensi: manda.160988@gmail.com Abstract Research goat milk kefir with the addition of the type and concentration of sugar in different level have been conducted in order to analyze the effect and interaction of the two treatments on total acid, total yeast and protein profile of goat milk kefir. The experimental design was used the completely randomized design (CRD) factorial pattern consisting of 2 (two) factors, the first factor (A) is a type of sugar consists of 3 (three) types of treatment (white sugar, brown sugar and D-Psicose) and The second factor (B) is the concentration of sugar consists of 3 (three) standard treatment (4%, 6%, and 8%), each treatment performed repetitions for 3 (three) times. Data results of total acid and total yeast were analyzed using analysis of variance to determine the effect and treatment interaction, while data from the protein profiles was used descriptive analysis. If there is a significant effect of treatment, therefore, continued by Duncan's test Dual region to determine differences among treatments. The results showed that the treatment of sugar (granulated sugar, brown sugar, and D-Psicose), concentration (4%, 6%, and 8%) and the interaction between the two treatments has the affect significantly (p <0.05) to total acid and total goat milk kefir yeast. Types of proteins and the molecular weight of goat milk kefir with the addition of different types and concentrations of the lactoferrin (80kDa), Laktoferoksidase (70kDa), -Casein (65kDa), and -casein (45kDa). Key words: Kefir, Goat Milk, Sugar PENDAHULUAN Susu kambing memiliki prospek yang sangat baik untuk dikembangkan sebagai minuman kesehatan. Susu kambing memiliki karakteristik warna lebih putih, globula lemak susunya relatif kecil sehingga lebih mudah dicerna, dan mengandung mineral seperti kalsium, fosfor, vitamin A, E, dan B kompleks yang tinggi. Komposisi rata-rata susu kambing adalah air 87,0%, lemak 4,25%, laktosa 4,27%, protein 3,52%, abu 0,86% dan total bahan padat 13,0% (Blakely dan Bade, 1991). satunya dengan mengolahnya menjadi kefir susu kambing. Kefir adalah susu yang difermentasi oleh sejumlah mikroba, yaitu bakteri penghasil asam laktat (BAL), bakteri penghasil asam asetat, dan khamir. Kefir dibuat melalui proses fermentasi menggunakan mikroba bakteria dan yeast (Winarno dan Ivone, 2007). Kefir mempunyai efek yang baik untuk kesehatan, seperti mengontrol metabolisme kolesterol, sebagai probiotik, antitumor bagi hewan,

antibakteri, antijamur, dan lain-lain (Farnworth, 39

Pengembangan produk susu kambing salah

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

2003). Kefir mengandung 0,65-1,33 g/l CO2, 3,16-3,18% protein, 3,07-3,17% lemak, 1,83,8% laktosa 0,5 - 1,5% etanol dan 0,7-1,0% asam laktat (Ide, 2008). Pada saat ini di Jepang telah banyak dilakukan beberapa penelitian tentang rare sugar, dimana rare sugar diartikan sebagai gula langka jenis monosakarida dan derivatnya yang jarang ada di alam seperti D-Psicose, D-Allose dan D-Tagatose. Rare sugar mempunyai sifat fungsional untuk diaplikasikan pada dunia kesehatan dan industri pangan karena

dihasilkan. Sebagai perbandingannya digunakan gula pasir dan gula aren yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini diharapkan dengan adanya penambahan jenis dan konsentrasi gula yang berbeda dapat meningkatkan kualitas kefir susu kambing. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis

pengaruh dan interaksi antara penambahan jenis dan konsentrasi pemberian gula terhadap total asam, total yeast, dan profil protein kefir susu kambing.

mengandung zero kalori. Salah satu jenis rare sugar yang digunakan dalam penelitian ini adalah D-Psicose. D-Psicose merupakan

METODOLOGI Materi Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari susu kambing yang diperoleh dari daerah Ungaran, susu Ultra High Temperature (UHT) Ultra Milk, medium de Man Ragosa and Shape (MRS) Broth yang diperoleh dari Laboratorium Fisiologi dan Biokimia Fakultas Peternakan, kultur starter Lactobacillus

monosakarida yang digunakan sebagai pemanis non-kalori yang telah terbukti menurunkan kadar glukosa dalam darah (Matsuo et al. 2002). Penambahan rare sugar maupun gula konvensional dalam proses pengolahan kefir susu kambing dapat dapat akan menyebabkan terjadinya reaksi maillard yang diawali dengan proses glikasi. Menurut Sun et al. (2006a) glikasi merupakan reaksi yang terjadi antara gugus amino dari protein susu dengan gugus karbonil dari gula pereduksi yang terbentuk selama pemanasan. Reaksi glikasi

acidophilus FNCC 0051 diperoleh dari Pusat Antar Universitas (PAU) UGM, Saccharomyces cerevisiae yang diperoleh dari UNIKA

Soegijapranata, Semarang, gula pasir, gula aren, rare sugar D-Psicose, alkohol 95%, spirtus, NaOH 0,1 N, larutan standar Asam Oksalat, indikator PP 1%, HCl, Ammonium persulfat, temed, SDS, glicine, bhromophenol blau, glycerol, Acrylamide-Bis blue, SDS 10%, Acrylamide, SDS 1%,

menghasilkan suatu senyawa antioksidan dan berperan dalam pembentukan warna serta flavor. Penelitian mengenai rare sugar dalam susu fermentasi belum pernah dilakukan,

Comassie

mercapthoetanol, larutan phosphat buffer pH 7.0, agar, MEA, antibiotik, CaCO3, alumunium foil, kapas, kasa,dan aquades.

sehingga perlu dilakukan uji karakteristik fisik (total asam), mikrobiologis (total yeast) dan kimia (profil protein) pada susu fermentasi yang 40

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Prosedur pembuatan kultur starter Tahap pembuatan starter kultur

dimasukkan dalam lemari pendingin bersuhu 810C. P pembuatan bulk starter L. acidophilus dan S. cerevisiae dimulai dengan menyiapkan susu UHT kemasan. Kemudian dilakukan sterilisasi susu UHT cair dengan autoklaf pada suhu 121C selama 15 menit. Setelah itu susu skim cair didinginkan dengan cepat sampai suhu 45C. Selanjutnya diinokulasikan mother starter sebanyak 10% dari volume susu. Susu yang telah diinokulasikan kemudian diinkubasi pada suhu 38C untuk L. acidophilus dan S. cerevisiae selama 9 jam. Setelah selesai, bulk starter dimasukkan dalam lemari pendingin bersuhu 8-10C dan siap dijadikan starter kerja saat populasinya + 106-108 cfu/ml untuk L. acidophilus maupun S. cerevisiae. Tujuan pembuatan bulk starter adalah sebagai

dilakukan dalam 2 tahap, yaitu pembuatan starter induk (mother starter) dan dilanjutkan dengan pembuatan starter kerja (bulk starter). Selanjutnya akan dilakukan pembuatan kefir susu kambing dan
6

dengan S.
8

menggunakan pada

L. saat

acidophilus

cerevisiae

populasinya + 10 -10 cfu/ml (Renoaji, 2007). Pembuatan starter induk (mother starter) L. acidophilus dimulai dengan pengenceran MRS Broth sebanyak 5,2 g dengan 100 ml aquades, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 10 ml. Setelah itu disterilkan dengan suhu 121C selama 15 menit. Kemudian dilakukan inokulasi dari isolat bakteri sebanyak 2-3 ose dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi MRS. Setelah itu dilakukan inkubasi pada suhu 37C selama 24 jam. Setelah selesai tabung reaksi berisi bakteri dimasukkan dalam lemari pendingin bersuhu 810C. Pembuatan starter induk (mother starter) S. cerevisiae dimulai dengan pembuatan

persediaan starter, untuk membuat volume starter yang lebih banyak dan agar lebih efisien.

Prosedur pembuatan kefir Proses pembuatan kefir susu kambing diawali dengan mengukur susu kambing

medium Pepton Glucose Yeast Extract (PGY). Dengan komposisi : pepton 7,5 gram, glukosa 20 gram, ekstrak yeast 4,5 gram, dan aquadest 1 liter. Kemudian medium dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 10 ml. Setelah itu disterilkan dengan suhu 121C selama 15 menit. Kemudian dilakukan inokulasi dari isolat bakteri sebanyak 2-3 ose dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi medium PGY. Setelah itu dilakukan inkubasi pada suhu 35C selama 24 jam. Setelah selesai tabung reaksi berisi bakteri 41

menjadi 3 bagian sebanyak 200 ml ditambahkan masing-masing jenis gula yang berbeda yaitu gula pasir, gula aren, dan D-Psicose sebanyak 4% dan 6% kemudian dipasteurisasi. Setelah itu susu kambing tersebut ditambahkan kultur starter sebanyak 5% (3,5% BAL dan 1,5% yeast), kemudian difermentasi selama 24 jam pada suhu 39 0C hingga terbentuk kefir bening dan terpisah dari padatannya (granula). Setiap 4 jam selama 24 jam diakukan analisis total asam dan pH sehingga diperoleh waktu inkubasi

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

selama 24 jam dimana proses fermentasi dihentikan karena salah satu sampel telah mencapai total asam 0,8%.

gel tersebut dimasukkan ke dalam tangki elektroforesis yang telah berisi buffer elektroda. Masukkan sample yang telah dipersiapkan ( Sampel : sampel buffer = 1 : 4) ke dalam

Pengujian total asam Pengujian total asam dinyatakan

sumuran + 25 l. Hubungkan elektroforesis dengan power suplay pada 125 Volt/jam. Setelah elektroforesis selesai gel diambil dan ditempatkan dalam cawan yang telah berisi larutan pewarna Coomassie Blue 0,1%. Gel dicuci atau di destaining dengan larutan yang terdiri dari Metanol : Asam asetat : H2O = 50 : 10 : 40 (Laemmli, 1970).

sebagai total asam. Keasaman diukur dengan metode titrasi yang dinyatakan sebagai

persentase asam laktat (Devide,1977). Sampel sebanyak 10 ml ditambahkan dengan 2-3 tetes indikator fenolftalein, kemudian dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N sampai berwarna merah muda dan stabil, sesuai dengan larutan standar. Keasaman titrasi dihitung dengan rumus :

Pengujian total Yeast dilakukan dengan

Total Asam (%) = (ax0,009x100/b) ........................................................... Pencawanan (1) Keterangan : a = ml NaOH 0,1 N x N NaOH 0,1 N b = berat sampel(g)

menggunakan media biakan MEA sebanyak 48 g ke dalam 1000 ml aquades, kemudian larutan MEA tersebut dipanaskan hingga mendidih dilanjutkan sterilisasai. Pencawanan dilakukan

Profil protein Menyiapkan seperangkat alat

dengan memipet 1 ml sampel hasil pengenceran ke dalam cawan petri, pencawanan dilakukan secara duplo dari pengenceran 10-4-10-6. yeast

elektroforesis protein kemudian membersihkan plate kaca dengan methanol, lalu pasang klem pada stand. Menyiapkan gradien gel 10% (10 ml gradien gel 10% + 6 l temed + 50 l APS), di masukkan ke dalam plate yang telah dipersiapkan, bagian atas ditutup dengan

Kemudian

dilakukan

penghitungan

menggunakan colony counter (Fardiaz, 1993) setelah inkubasi 48 jam.

Analisis data Data yang diperoleh dari hasil pengujian total asam dan total yeast ragam dianalisis (ANOVA)

butanol lalu dibiarkan + 30 menit hingga terjadi polimerisasi gel. Butanol dibuang dan

dibersihkan dengan aquades hingga bersih lalu pasang sisir untuk membuat sumuran.

menggunakan

analisis

menggunakan program SAS 6.12 for Windows, dengan taraf signifikansi 5%. Apabila ada pengaruh nyata dari perlakuan maka dilanjutkan dengan uji Wilayah Ganda Duncan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Data 42

Masukkan stacking gel yang telah disiapkan ( 5 ml stacking gel 3% + 3 l temed + 25 l APS) di atas gel 10% kemudian biarkan + 30 menit. Sisir yang terpasang lalu diangkat, kemudian

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

hasil pengujian profil protein dianalisis secara deskriptif.

fermentasi

berlangsung

L.

acidophilus

memanfaatkan laktosa menjadi asam laktat, yang kemudian dimanfaatkan S. cerevisiae

HASIL DAN PEMBAHASAN Total Asam Uji keasaman dilakukan untuk

untuk menghasilkan etanol, gas CO2 dan senyawa yang dapat menstimulir pertumbuhan bakteri asam laktat. Surono (2004) mengemukakan bahwa bakteri asam laktat dan khamir bekerja secara mutualisme yaitu saling menguntungkan,

mengetahui tingkat keasaman pada kefir susu kambing karena adanya aktivitas mikroba penghasil asam yang mengubah karbohidrat (laktosa) menjadi asam laktat. Hasil penelitian penambahan jenis dan konsentrasi gula yang berbeda terhadap total asam (%) kefir susu kambing disajikan dalam Tabel 1. Rerata kandungan total asam yang dihasilkan dari berbagai perlakuan jenis dan konsentrasi gula yang berbeda berkisar antara 0,38 sampai 0,91 %. Berdasarkan hasil analisis ragam

dimana asam laktat yang dihasilkan bakteri asam laktat yang dapat menghambat

pertumbuhan bakteri asam laktat lebih lanjut, yang akan dimanfaatkan oleh khamir, dan H2O2 yang dihasilkan bakteri asam laktat akan disingkirkan oleh katalase yang dihasilkan oleh khamir. Selanjutnya khamir akan menghasilkan senyawa yang menstimulir pertumbuhan bakteri asam laktat.

menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan jenis dan konsentrasi penambahan gula serta interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap total asam kefir susu kambing. Tabel 1 menunjukkan bahwa

Total Yeast Hasil pengamatan total yeast pada kefir susu kambing dengan jenis dan konsentrasi gula yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan bahwa analisis ragam dan menunjukkan konsentrasi

penambahan jenis gula dan konsentrasi yang berbeda secara bersama-sama dapat

perlakuan

jenis

meningkatkan total asam kefir susu kambing. Kefir susu kambing dengan penambahan gula aren dengan konsentrasi 8% dapat

penambahan gula serta interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap total yeast kefir susu kambing. Rata-rata total yeast berkisar antara 3,742 log CFU/ml sampai 7,816 log CFU/m Hasil Tabel 2. menunjukkan jenis gula aren dengan bertambahnya konsentrasi 4% hingga 8% secara bersamaan dapat

menghasilkan kandungan total asam yang ideal yaitu sebesar 0,89%. Menurut Ide (2008), kefir memiliki nilai keasaman berkisar 0,85% hingga 1%. Peningkatan total asam kefir susu kambing disebabkan adanya aktivitas BAL (L.

acidophilus) dan yeast (S. cerevisiae) yang saling menguntungkan. Selama proses 43

meningkatkan jumlah total yeast, sedangkan jumlah total yeast semakin menurun pada jenis

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

gula D-Psicose seiring dengan bertambahnya konsentrasi 4% hingga 8%. Hal ini disebabkan karena yeast S. cerevisiae memiliki karakteristik lebih mudah mencerna sukrosa. Jenis gula pasir dan gula aren yang sebagian besar mengandung sukrosa menyebabkan pertumbuhan S.

profil protein yang terbentuk tidak terlalu tebal, sebaliknya konsentrasi berat molekul protein yang tinggi menyebabkan pita atau band profil protein yang terbentuk tebal. Albert et al., (2002) menjelaskan bahwa ketebalan pita atau band protein menunjukkan konsentrasi protein tersebut, dimana protein dengan intensitas yang lebih tebal memiliki konsentrasi yang lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat dari ilustrasi 1. , dimana jenis gula pasir dengan bertambahnya konsentrasi 4% hingga 8% secara bersamaan meningkatkan ketebalan pita atau band profil protein, begitupula pada jenis gula aren dan gula D-Psicose. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat molekul protein pada kefir susu kambing

cerevisiae lebih cepat meningkat dibandingkan dengan gula D-Psicose. S. cereviseae juga pengguna gula sederhana dan bukan pengguna laktosa, sehingga S. cereviseae akan

menggunakan glukosa hasil pemecahan laktosa oleh L. acidophilus. Hal ini sesuai dengan pendapat Kwak (1996) bahwa contoh yeast bukan pemfermentasi laktosa adalah S.

cereviseae.

Profil Protein Metode analisis elektroforesis protein merupakan metode analisis yang memisahkan molekul protein berdasarkan berat molekulnya (Bolag dan Edelstein, 1991). Hasil penelitian terhadap profil protein kefir susu kambing dengan perlakuan jenis gula (gula pasir, gula aren, D-Psicose) dan konsentrasi penambahan gula (4%, 6%, 8%) dengan metode SDS-PAGE dapat dilihat pada Ilustrasi 1. Protein dengan berat molekul yang lebih besar akan tertahan diatas, sedangkan protein dengan berat molekul yang lebih kecil akan berada dibawah. Kandungan jenis dan berat molekul protein yang dihasilkan setiap sampel berbeda-beda dengan ditandai perbedaan warna ketebalan pita atau band profil protein yang terbentuk. Konsentrasi berat molekul protein yang rendah akan menyebabkan pita atau band 44

berkisar 80 kDa hingga 25 kDa. Jenis protein yang terkandung di dalam kefir susu kambing yaitu Laktoferin (80kDa), Laktoferoksidase (70kDa), - Kasein (65kDa), dan -Kasein (45kDa). Rasio berbandingan protein susu kambing antara kasein dan whey sebesar 80% dan 20% (Miranda et al.,2004). Protein yang terkandung dalam susu kambing adalah Kasein, -Kasein, - Kasein, -Laktoglobulin, - Laktalbumin, dan laktoferin (Tay and Gam, 2011). Sampel kefir susu kambing tanpa penambahan gula menghasilkan band profil protein yang lebih sedikit dibandingkan dengan band profil protein whey dan kefir susu kambing dengan penambahan gula pasir, gula aren dan gula D-Psicose. dan Jenis protein

Laktoferin

(80kDa)

Laktoferoksidase

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

(70kDa) tidak terlihat pada kefir susu kambing dengan penambahan gula aren pada konsentrasi 4%, 6% dan 8%, dan konsentrasi berat molekul protein -Kasein (65kDa) lebih sedikit

dengan konsentrasi 8% dapat menghasilkan konsentrasi berat molekul protein Laktoferin (80kDa) dan Laktoferoksidase (70kDa) lebih tinggi yang ditunjukkan dengan warna pita profil protein yang lebih tebal. DAFTAR PUSTAKA Alberto M.R., M. A. R. Canavosio, and M.C.M Nadra. 2006. Antimikrobial Effect of Polifenol from Apple Skins on Human Bacterial Pathogen. Electronic journal of Biotechnology. Pontificia Universidad Catolica de Valparaiso, Concepcin Chile. Blakely, J. and D. H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press edisi ke-4, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh B. Srigandono dan Soedarsono) Devide, C.I. 1977. Laboratory Guide in Dairy Chemistry Practical. FAO Dairy, Training and Research Insitute University of the Philipines at Los Branos College. Laguna Diftis, N., and Kiosseoglou, V. (2006). Stability against heat-induced aggregation of emulsions prepared with a dry-heated soy protein isolatedextran mixture. Food Hydrocolloids, 20(6), 787792. Fardiaz, S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Farnworth, E.R. (2003). Handbook of Fermented Functional Foods. CRC Press. USA. Ide, P.2008. Health Secret of Kefir, Menguak Keajaiban Susu Asam untuk Penyembuhan Berbagai Penyakit. PT. Elex Media Kompotindo, Jakarta.

dibandingkan dengan kefir susu kambing dengan penambahan gula pasir maupun gula DPsicose. Kefir susu gula kambing D-Psicose dengan dapat

penambahan

menghasilkan konsentrasi berat molekul protein Laktoferin (80kDa) dan Laktoferoksidase

(70kDa) lebih tinggi ditunjukkan dengan warna pita profil protein yang lebih tebal. Perbedaan jenis dan berat molekul protein pada kefir susu kambing disebabkan adanya proses glikasi antara gugus karbon gula reduksi dengan gugus asam amino bebas protein susu dalam reaksi maillard sehingga dapat membentuk berat molekul protein yang lebih berat. Hal ini sesuai dengan pendapat Diftis and Kiosseoglou (2006) yang menjelaskan bahwa reaksi maillard antara protein dengan

polisakarida dapat menghasilkan berat molekul protein yang lebih tinggi. Menurut Van Boekel (2001), faktor yang mempengaruhi hasil reaksi maillard adalah waktu pemanasan, pH,

aktivitas air, sifat intrinsik protein dan gula, dan rasio perbandingan gugus asam amino dengan gula reduksi.

KESIMPULAN Hasil penelitian dapat disimpulkan

bahwa jenis gula aren dengan konsentrasi 8% menghasilkan total asam dan total yeast yang optimum pada kefir susu kambing. Kefir susu kambing dengan penambahan gula D-Psicose 45

Kwak, H.S., S.K. Park, and D.S. Kim. 1996. Biostabilization of Kefyr with a Nonlactose Fermenting Yeast. J. Dairy Science 79: 937-942. Laemmli UK. 1970. Cleavage of Structural Protein During The Assembly of Head

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

of Bacteriophage T-4, J. Nature. 227: 680-685. Matsuo, T., H. Suzuki, M. Hashiguchi, and K. Izumori. 2002. D-Psicose is a rare sugar that provides no energy to growing rats. J. Nutr. Sci. Vitaminol. 48, 77 80. Renoaji, C. S. 2007. Uji Hedonik, Uji Kesukaan dan Daya Leleh Es Krim Probiotik Menggunakan Kombinasi Lactobacillus casei dan Bifidobacterium bifidum dengan Penyimpanan Beku Selama 30 hari. Program Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang. (Skripsi Sarjana Peternakan). Sun, Y., S. Hayakawa, M. Chuamanochan, M. Fujimoto, A. Innun, and K. Izumori. (2006a). Anitioxidant effects of Maillard reaction products obtained from ovalbumin and different d-aldohexoses Biosci. Biotechnol. Biochem., 70, 598605. Surono, I. S. 2004. Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan. YAPMMI, Jakarta. Tay, Eek-Poei and L. H. Gam. 2011. Proteomics of human and the domestic bovine and caprine milk. J. Mol. Biol. Biotechnol., 19, 45-53.

Van Boekel, M. A. J. S. 2001. Kinetic aspects of the Maillardreaction : A critical review. J. Nahrung. 45 : 150-159 Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka, Jakarta. Winarno, F.G. dan I. E. Fernandez. 2007. Susu dan Produk Fermentasinya. M-BRIO PRESS, Bogor.

46

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Gambar 1. Profil Protein Kefir Susu Kambing dengan Perlakuan Jenis dan Konsentrasi Gula yang Berberda, M (marker), W (whey), TG (tanpa gula), 4GP (gula pasir 4%), 6GP (gula pasir 6%), 8GP (gula pasir 8%), 4GA (gula aren 4%), 6GA (gula aren 6%), 8GA (gula aren 8%), 4PS (gula D-Psicose 4%), 6PS (gula D-Psicose 6%), dan 8PS (gula D-Psicose 8%).

Tabel 1.Rerata Total Asam Kefir Susu Kambing dengan Jenis dan Konsentrasi Gula yang Berbeda Konsentrasi Jenis Gula (A) (B) Gula Pasir (A1) Gula Aren (A2) D-Psicose (A3) .................................................(%)....................................... 4% (B1) 0,66e0,012 0,69f0,005 0,38a0,01 6% (B2) 0,81h0,005 0,78g0,005 0,41b0,005 j i 8% (B3) 0,91 0,005 0,89 0,005 0,52d0,005 Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

Tabel 2.Rerata Total Yeast Kefir Susu Kambing dengan Jenis dan Konsentrasi Gula yang Berbeda Jenis Gula (A) Gula Pasir (A1) Gula Aren (A2) D-Psicose (A3) ...........................................(log CFU/ml)....................................... 4% (B1) 7,285e0,214 6,594d0,310 5,421c0,345 6% (B2) 7,615ef0,109 6,618d0,110 4,361b0,135 ef f 8% (B3) 7,566 0,136 7,816 0,046 3,742a0,106 Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) Konsentrasi (B)

47

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

48

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

TOTAL BAKTERI, PH, DAN KADAR AIR DAGING AYAM BROILER SETELAH DIRENDAM DENGAN EKSTRAK DAUN SENDUDUK (Melastoma malabathricum L.) SELAMA MASA SIMPAN An Effect of Soaking Senduduk (Melastoma malabathricum L.) leaf extract for Bacteria Total, pH, and Water Content in Broiler Meat with During Storage
Melda Afrianti, Bambang Dwiloka, dan Bhakti Etza Setiani Fakultas Pertanian dan Peternakan, Universitas Diponegoro Semarang Email Korespondensi: meldaafrianti17@yahoo.co.id Abstract The purpose of this study was to determine the number of bacteria, pH, and water content in broiler carcass with soaking senduduk leaf extract at 12 hours of storage at room temperature. The experimental design used was a completely randomized design (CRD) factorial with factor A as the concentration of senduduk leaf extract (a1 = 0%, a2 = 10%, a3 = 15%, and a4 = 20%) and factor B as shelf life (b1 = 6 hours and b2 = 12 hours). The results showed that broiler carcass soaked with senduduk leaf extract that gives real total bacteria effects. However, were not significantly affect the pH and water content. In broiler carsass is 3,21 x 103 total bacterial cfu / g after storage for 12 hours at room temperature. However, this number is still below the limit of microbial contamination (No. SNI. 01-6366-2000). Key words: broiler carcass, senduduk leaf extract, storage pengawetan PENDAHULUAN Daging memiliki kandungan gizi yang tinggi, lengkap, dan seimbang. Namun, dengan dengan pemakaian antibakteri kualitas

tujuan

mempertahankan

maupun kuantitas daging ayam broiler adalah dengan memanfaatkan bahan herbal. Salah satu tanaman yang berkhasiat dan dikenal masyarakat adalah yang senduduk banyak

kandungan gizi yang tinggi pada daging merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroba, sehingga daging merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak atau

(Melastoma

malabathricum)

ditemukan di Riau. Namun, tanaman senduduk tersebar luas dibeberapa pulau di Indonesia yaitu di Sumatra, Jawa, Irian Jaya dan Kalimantan (Gholib, 2009). Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa daun senduduk (Melastoma malabathricum) mengandung

perishable. Kerusakan pada daging dapat disebabkan karena adanya benturan fisik, perubahan (Soeparno, kimia, 2005). dan aktivitas dari mikroba kerusakan

Akibat

tersebut seperti pembentukan lendir, perubahan warna, perubahan bau, perubahan rasa dan terjadi ketengikan yang disebabkan pemecahan atau oksidasi lemak daging. Salah satu proses 49

senyawa tanin, flavonoid, steroid, saponin, dan glikosida yang berfungsi membunuh atau

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

menghambat

pertumbuhan

mikroorganisme

tetes, pipet makro dan mikro, gelas ukur, dan lampu Bunsen. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial dengan faktor A sebagai konsentrasi ekstrak daun senduduk (a1= 0%, a2=10%, a3= 15% dan a4= 20%) dan faktor B sebagai masa simpan (b1= 6 jam dan b2= 12 jam). Data yang diperoleh kemudian dianalisa menggunakan anova (Analysiss of variance). Bila ada

(Robinson, 1995). Hasil pengamatan terhadap masyarakat di Riau menunjukkan bahwa daun senduduk telah digunakan sebagai obat penyembuh luka dan pengempuk dalam perebusan kulit kerbau. Namun, belum adanya data yang spesifik berkaitan dengan penggunaan daun senduduk untuk pengawetan bahan pangan asal hewan. Hasil penelitian pendahuluan yang

dilakukan menunjukkan bahwa karkas ayam broiler dapat bertahan selama 18 jam pada suhu ruang setelah dilakukan perendaman pada esktrak daun senduduk. Tanda-tanda kebusukan seperti bau, tekstur, warna, dan lendir baru

pengaruh perlakuan yang nyata dilanjutkan dengan Uji Wilayah Ganda Duncan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan (Steel dan Torrie, 1991). Penilitian diawali dengan pembuatan esktrak daun senduduk dengan konsentrasi 0%, 10%, 15%, dan 20%. Kemudian dilanjutkan dengan pemotongan daging ayam bagian dada. Selanjutnya dilakukan perendaman selama 30 menit, ditiriskan selama di PE 15 menit, suhu dan ruang

muncul pada jam ke-20. Nilai keasaman (pH) yang secara alami terdapat dalam daun

senduduk sebesar 4,80 dan bersifat asam, diduga berpotensi dalam menekan laju

pertumbuhan mikroba sehingga masa simpan dapat lebih panjang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui total bakteri pH, dan kadar air daging ayam broiler dengan

kemudian menggunakan Selanjutnya,

disimpan plastik dilakukan

(Polyethylen). sesuai

pengamatan

perendaman ekstrak daun senduduk pada 12 jam penyimpanan di suhu ruang.

dengan parameter yang diamati. ). Perhitungan total bakteri dilakukan menurut (Fardiaz, 1993). Pengukuran nilai pH menurut Apriyantono

METODOLOGI Materi yang digunakan untuk penelitian ini adalah daging ayam broiler bagian dada yang diperoleh dari Peternakan Boja,

(1989). Pengujian kadar air menurut (AOAC, 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN Total Bakteri Rerata total bakteri daging ayam yang direndam dengan daun senduduk dan disimpan

Kabupaten Semarang dan daun senduduk yang diperoleh dari Riau, Pekanbaru. Peralatan yang digunakan untuk analisa adalah pH meter, oven, desikator, timbangan analitik, cawan petri, pipet 50

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

pada suhu ruang secara ringkas disajikan pada Tabel 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa total bakteri daging ayam dengan konsentrasi yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata. Total bakteri daging ayam broiler secara berturut-turut 0%, 10%, 15% dan 20% adalah 2,54 x 102, 3,05 x 103, 2,67 x 102 dan 3,21 x 102. Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 016366-2000 merekomendasikan batas maksimal cemaran bakteri pada daging segar yaitu 1 x 104 CFU/g. Total bakteri pada daging ayam masih di bawah batasan cemaran bakteri pada daging

yang ada pada daging. Peran masing-masing senyawa aktif yaitu senyawa saponin akan merusak membran sitoplasma dan membunuh sel (Assani, 1994). Tanin adalah polimer fenolik yang biasanya digunakan sebagai bahan

penyegar, mempunyai sifat antimikroba dan bersifat racun terhadap khamir, bakteri, dan kapang. Kemampuan tanin sebagai antimikroba diduga karena tanin akan berikatan dengan dinding sel bakteri sehingga akan

menginaktifkan kemampuan menempel bakteri, menghambat pertumbuhan, aktivitas enzim protease dan dapat membentuk ikatan komplek dengan polisakarida (Cowan, 1999). Flavonoid dapat berperan secara

segar. Namun, tingginya konsentrasi tidak menurunkan jumlah total bakteri pada daging. Hal ini diduga bahwa penggunaan air sebagai pelarut ekstraksi daun senduduk diduga belum optimal dalam mengesktraksi senyawa aktif seperti saponin, tannin, flavonoid, alkaloid, dan glikosida yang berfungsi sebagai antibakteri. Hasil penelitian Suliantri et al., (2008) menyatakan bahwa esktraksi senyawa aktif pada tumbuhan dengan menggunakan air mempunyai kemampuan bakteri uji paling rendah dibandingkan etanol dan etil asetat. Hal ini sesuai dengan penelitian Chou dan Yu (1985), dimana pelarut etanol memberikan aktivitas antimikotik ekstrak sirih yang baik dan pelarut air mempunyai aktivitas paling rendah terhadap beberapa jenis bakteri. Hal ini juga disebabkan karena senyawa yang aktif berupa saponin, tanin, flavonoid, alkaloid hanya berperan menghambat bakteri 51

langsung sebagai antibiotik dengan menggangu fungsi dari metabolissme mikroorganisme

seperti bakteri atau virus. Mekanisme antibiotik flavonoid ialah dengan cara mengganggu aktivitas transpeptidase peptidoglikan sehingga pembentukan dinding sel bakteri atau virus terganggu dan sel mengalami lisis. Alkaloid mempunyai antimikroba penghambatannya pengaruh dengan adalah sebagai bahan

mekanisme dengan cara

mengkelat DNA (Suliantri, et al., 2008). Selain itu, juga disebabkan semakin meningkatnya konsentrasi ekstrak daun

senduduk maka larutan semakin pekat dan larutan ekstrak daun senduduk sulit berpenetrasi pada otot daging. Perkembangbiakan

mikroorganisme juga dipengaruhi oleh faktor kelembaban, temperatur, dan ketersediaan

oksigen (Lawrie, 2003). Ketersedian oksigen

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

dipengaruhi oleh pengemas plastik pada saat penyimpanan di suhu ruang. Buckle
2

menyebabkan pH pada perlakuan perendaman daging ayam broiler menjadi tidak berbeda terhadap pH daging ayam. Perendaman dengan waktu 30 menit dan lama penyimpanan belum mencukupi untuk menurunkan pH daging. Selain itu juga disebabkan karena struktur otot dari daging yang terlalu rapat, menyulitkan penetrasi hingga ke dalam jaringan (Buckle et al., 1987),

et al.,

(1987) menjelaskan bahwa daya tembus plastik PE dengan ketebalan 2,1 (mm x 10 ) adalah 10,5 (cm3/cm2/mm/det/cmHg) x 1010. Menurut Yanti et al., (2008), mengatakan bahwa penggunaan plastik PP lebih efektif

dibandingkan PE, karena dapat menurunkan total bakteri pada daging di pasar Arengka Pekanbaru sebesar 5,5 x 10
5

dibandingkan

sehingga walau terbentuk asam di dalam daging selama perendaman ataupun penyimpanan

penggunaan plastik PE 6,5 x 105. Tidak ada interaksi antara konsentrasi dan lama simpan terhadap total bakteri daging ayam.

tetapi karena waktunya belum tercukupi maka asam yang terbentuk tidak dapat menembus sampai ke dalam jaringan. Akibatnya pH daging

Nilai PH Rerata pH daging ayam broiler yang direndam dengan daun senduduk dan disimpan pada suhu ruang secara ringkas disajikan pada Tabel 2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pH daging ayam tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi daun senduduk namun berpengaruh terhadap lama simpan daging ayam (Tabel 2). Nilai pH yang didapat dari perlakuan yaitu secara berturut-turut 6,79, 6,84, 6,84 dan 6,72. Nilai pH pada daging ayam cukup tinggi namun masih dibawah nilai pH produk pangan yang dianjurkan Standar

yang direndam larutan daun senduduk selama 30 menit dan lama penyimpanan tidak

mempengaruhi pH daging ayam broiler. Lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap penurunan pH. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Surajadi (2004), yang menunjukan bahwa penyimpanan pada

temperatur ruang selama 12 jam setelah pemotongan ayam broiler, terjadi penurunan keasaman (pH) daging ayam. Semakin lama penyimpanan yang dilakukan maka pH akan semakin menurun. Penurunan pH akan mempengaruhi sifat fisik daging, laju penurunan pH otot yang cepat akan mengakibatkan rendahnya kapasitas

Nasional Indonesia yaitu 6-7. Hal ini diduga bahwa nilai pH pada penelitian dipengaruhi oleh nilai pH pada kedua bahan dasar yaitu, daging ayam dan esktrak daun senduduk masing-masing sebesar 6,50 dan 4,80. Nilai pH yang hampir sama dari kedua bahan 52

mengikat air, karena meningkatnya kontraksi aktomiosin yang terbentuk, dengan demikian akan memeras cairan keluar dari dalam daging dan menyebabkan penurunan nilai pH pada

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

daging. Tidak ada interaksi antara konsentrasi dan lama simpan pH daging ayam.

yang beriklim tropis dengan kelembaban udara yang cukup tinggi, sehingga bila kemasan yang digunakan tidak cukup kedap air maka produk

Kadar Air Rerata kadar air daging ayam yang direndam dengan daun senduduk dan disimpan pada suhu ruang secara ringkas disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan hasil analisis

akan terkontaminasi oleh air yang diikuti oleh berbagai jenis kerusakan lainnya (Syarief et al.,1989). Penelitian ini merupakan perendaman tipe asam karena berdasarkan hasil pengujian ekstrak daun senduduk mempunyai pH 4,80. Namun rendahnya pH pada daun senduduk belum dapat menurunkan kerusakan yang disebabkan oleh mikroba pada daging. Tidak ada interaksi antara konsentrasi daun senduduk dan lama simpan terhadap kadar air daging.

menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun senduduk tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air daging ayam. Kadar air yang didapat dari perlakuan yaitu secara berturut-turut

73,69%, 74,47%, 74,31% dan 73,95%. Tingginya kadar air pada penelitian ini karena kadar air daging ayam sudah tinggi pada saat pemotongan. Kadar air daging ayam broiler yaitu sebesar 65-80% (Forest et al., 1975). Hal ini bahwa kadar air pada penelitian dipengaruhi oleh kadar air pada kedua bahan dasar yaitu, daging ayam dan esktrak daun senduduk masing-masing sebesar 65-80% dan 71,7%. Kadar air yang hampir sama dari kedua bahan menyebabkan kadar air pada perlakuan perendaman daging ayam broiler menjadi tidak berbeda terhadap kadar air daging ayam. Oleh karena itu, dengan penambahan ekstrak daun senduduk dengan konsentrasi 10%, 15%, dan 20% tidak dapat menurunkan kadar air pada daging. Hal ini juga disebabkan penggunaan plastik pada penyimpanan di suhu ruang. Menurut Soeparno (2005) permukaan plastik PP lebih licin dan permeabilitasnya terhadap oksigen lebih rendah dibandingkan dengan plastik PE. Indonesia adalah negara 53

KESIMPULAN Total bakteri daging ayam setelah perendaman dengan ekstrak daun senduduk meningkat seiring dengan penambahan

konsentrasi ekstrak daun senduduk. Namun jumlah total bakteri pada daging tidak melebihi batas maksimal cemaran bakteri pada daging segar yaitu 1 x 104 CFU/g. Sedangkan pH pada daging ayam akan semakin menurun dengan lama penyimpanan pada suhu ruang.

Penggunaan ekstrak daun senduduk untuk penyimpanan daging ayam broiler pada suhu ruang direkomendasikan pada konsentrasi 1015% berdasarkan data perhitungan total bakteri, pH, dan kadar air.

DAFTAR PUSTAKA AOAC., 1995. Official Methods of Analysis 9th edition. Association of Official Analytical Chemist. Washinghton D.C.

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Assani, S. 1994. Mikrobiologi Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Apriyantono, A. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. IPB Press, Bogor. Badan Standardisasi Nasional. 2000. Batas Maksimal Cemaran Mikroba dan Batas Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Standar Nasional Indonesia No. 01-6366-2000, Jakarta. Buckle R.A., Edward G.H. Fleet and M. Wooton M. 1987. Ilmu Pangan. (Penerjemah H. Purnomo Adiono). UI Press. Jakarta. Chou, C.C and Yu R.C. 1985. Efect Piper betle L and its extracts on the growth and aflatoxin productions by Aspergillus paraciticus. Pro Natl.Sci. Coune Repub.China. 8( 1): 30-35. Cowan, M.M. 1999. Plant products as antimicrobial agents. Clinical Microbiology Reviews 12: 56482.

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. (Terjemahan K. Padmawinata). Penerbit, ITB Bandung. Soeparno, 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi keempat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. (Penerjemah B. Sumantri). Suliantri, B.S.L. Jenie., M.T. Suhartono, dan A. Apriyantono. 2008. Aktivitas antibakteri esktrak sirih hijau (Piper betle L) terhadap bakteri patogen. Jurnal dan Teknologi Industri Pangan. 19 (1): 1-7. Surajadi, K. 2004. Perubahan Sifat Fisik Daging Ayam Broiler Post Mortem Selama Penyimpanan Temperatur Ruang. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung. Yanti H, Hidayati, dan Elfawati. 2008. Kualitas daging sapi dengan kemasan plastik PE (Polyethylen) dan plastik PP (Polypropylen) di pasar Arengka Kota Pekanbaru. Jurnal Peternakan 5 (1). 22 -27.

Fardiaz, S 1989. Mikrobiologi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Forrest, J. C., E. D. Aberle, H. B. Hedrick, M. D. Judge and R. A. Markell. 1975. Principle of Meat Sience. W. H. Freman and Co. San Fransisco. Gholib, D. 2009. Uji Daya Hambat Daun Senggani (Melastoma malabathricum L.) terhadap Trichophyton mentagrophytees dan Candida albicans. Balai Besar Penelitian Veteriner. Bogor. Lawrie, 2003. Ilmu Daging. (Penerjemah A. Parakkasi dan Yudha A). Universitas Indonesia Press, Jakarta. Syarief R, Sassya S, St Isyana B.1989. Teknologi Pengemasan Daging. Bogor: IPB. 54

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Tabel 1. Nilai Total Bakteri Daging Ayam yang Direndam dengan Daun Senduduk dan Disimpan pada Suhu Ruang Total Bakteri Daging Ayam Setelah diberi Perlakuan Rerata a1 a2 a3 a4 CFU/g 2 b1 2,56 x10 3,15 x 103 2,48 x 102 3,08 x 103 2,82 x 102 b2 2,52x 102 2,96 x 102 2,85 x 102 3,32 x 103 2,92 x 102 2b 3a 2b Rerata 2,54x 10 3,05 x 10 2,67x 10 3,21 x 103 a Ket: Superskrip berbeda pada baris rerata menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Lama Simpan Tabel 2. Nilai pH Daging Ayam yang Direndam dengan Daun Senduduk dan Disimpan pada Suhu Ruang pH Daging Ayam setelah Diberi Perlakuan Perlakuan Rerata Lama Simpan a1 a2 a3 a4 b1 6,87 6,85 6,91 6,78 6,85a b2 6,72 6,83 6,76 6,66 6,74b Rerata 6,79 6,84 6,84 6,72 Ket: Superskrip berbeda pada kolom rerata menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Tabel 3. Nilai Kadar Air Daging Ayam yang Direndam dengan Daun Senduduk dan Disimpan pada Suhu Ruang Perlakuan Lama Kadar Air Daging Ayam Setelah diberi Perlakuan Simpan a1 a2 a3 a4 (%) b1 73,97 74,32 74,26 74,22 b2 73,42 74,63 74,34 73,67 Rerata 73,69 74,47 74,31 73,95

Rerata 74,19 74,07

55

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

56

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Pengaruh Pengolahan terhadap Kandungan Poliphenol dan Antosianin Beras Wulung yang Berpotensi sebagai Makanan Diet Penderita Diabetes Mellitus Effect of Cooking on Polyphenols and Anthocyanins of Wulung rice Potentialy as Functional Food for Patients with Diabetes Mellitus
Sri Hartati Fakultas Pertanian, Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo E-mail : tatik_univet@yahoo.com Abstract Wulung rice called black rice in Java, it was believed the functional food for Diabetes Mellitus. The purpose studies was to determine the chemical content of rice like the moisture content, carbohydrate, protein, fat, ash and to know the changes in polyphenolic and anthocyanin levels after cooking and a flour product. The Results showed that is a carbohydrate (64.98% wb), protein 15.41% wb, fat 4.23% wb, minerals (ash) 2.04% wb, crude fiber 3.52% wb and moisture 13.34%. There were no differences between the levels of phenols for whole grain that has been processed into rice, but there were significant differences with flour. Total phenol of whole grain, flour, and rice respectively are 0.76, 0.55 and 0.84 mg. There were significant decreasing of anthocyanin in processing to the flour and rice. The decrease in anthocyanin 83.60% occur in the processing of rice. Anthocyanin of whole grain, flour and rice respectively: 2.8918, 2.4091 and 0.4741 mg/100g (% db). Keyword : wulung rice, poliphenol, antosianin, diabetes mellitus

PENDAHULUAN

Berbagai penelitian telah dilakukan di beberapa negara berkembang dan data WHO

Diabetes

Mellitus

(DM)

tergolong

menunjukkan

bahwa

peningkatan

tertinggi

penyakit degeneratif yang prevalensinya cukup tinggi. Angka insiden dan prevalensi DM cenderung meningkat dari berbagai penelitian epidemiology. Prevalensi DM di dunia menurut International mencapai Diabetes 246 juta Federation tahun 2007 (IDF) dan

jumlah pasien diabetes terjadi di Asia Tenggara termasuk Indonesia yang menempati peringkat ke-5 di dunia (Suyono, 2006). Kecenderungan meningkatnya penyakit degeneratif diperlukan suatu preventif melalui pengembangan

makanan/minuman yang menyehatkan. Makanan (pangan) fungsional adalah pangan yang selain bergizi juga mempunyai pengaruh positif terhadap kesehatan seseorang (Muchtadi diharapkan dan Hanny, 1996). Meskipun bagi

diproyeksikan menjadi 380 juta pada tahun 2025. (Perkem Ind, 2006; Pimentel,P, 2007). WHO memprediksi di Indonesia terdapat kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Prevalensi Diabetes type 2 meningkat secara eksponensial, dan diperkirakan mencapai lebih 300 juta kasus pada tahun 2030 (Wild et al, 2004). 57

memberikan

manfaat

kesehatan, makanan fungsional tidak dianggap sebagai obat, melainkan dikategorikan tetap sebagai makanan. Oleh karena itu makanan fungsional seharusnya dikonsumsi sebagai

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

layaknya makanan sehari-hari, bentuknya dapat berupa makanan atau minuman (Fardiaz, 1997; Hilliam, 2000). Beras merupakan salah satu padi-padian paling penting di dunia untuk dikonsumsi manusia. Diantara varian beras dijumpai beras hitam (Oryza sativa L. indica). Beras hitam ini, memiliki nama yang berbeda-beda tergantung di mana beras hitam tersebut berada. Beras hitam yang ada di Solo dikenal dengan nama "beras wulung". Menurut sejarahnya, dulunya beras Wulung merupakan beras pilihan yang hanya Keraton ditanam dan dipergunakan Surakarta, dalam khusus

Belum diperoleh informasi seberapa besar perubahan kandungan total poliphenol dan kadar antosianin beras wulung setelah dilakukan penanakan sehingga potensi sebagai makanan diet terapi masih dipertahankan

setelah pemasakan. Selain dimasak menjadi nasi, beras seringkali juga diproses menjadi tepung untuk dipergunakan sebagai bahan pembuatan makanan dalam bentuk selain nasi. Belum diketahui, apakah pembuatan tepung beras hitam juga akan mengubah komponen poliphenol dan kadar antosianinya. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut

Kasunanan

penelitian ini dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk

dikonsumsi di lingkungan para Raja dan digunakan untuk jenis ritual tertentu,

mengetahui kandungan kimia beras wulung meliputi kadar air, karbohidrat, protein, lemak, dan abu serta mengetahui perubahan komponen poliphenol (total phenol) dan kadar anthosianin setelah dilakukan pemasakan menjadi nasi dan menjadi tepung (powder) yang dibandingkan tanpa pengolahan (kontrol). Pengamatan

(Kristamtini, 2009; Tri Dewanti, 2009). Dilaporkan bahwa dalam dedak beras hitam terdapat kandungan antosianin (salah satu kelompok antioksidan) sebanyak 5,55 mg/g bahan (Ono, et al., 2003). Pada lapisan kulit terluar (outer layer), beras hitam memiliki kandungan flavonoid yang di dalamnya

meliputi analisa proksimat bahan baku (beras wulung pecah kulit) dan pengamatan perubahan kadar poliphenol dan kadar antosianin sebelum pengolahan dan sesudah pengolahan.

termasuk antosianin sebanyak 6,4 g/100 gr kulit terluar. Pengaruh di positif dari poliphenol pada dalam

(termasuk

dalamnya glukosa

flavonoid) ditunjukkan

homeostatistik

sejumlah besar penilitian in vitro pada beberapa hewan coba yang didukung dengan bukti-bukti epidemiologi pada diet kaya poliphenol

METODOLOGI Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang dilaksanakan di Laboratorium MIPA Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo. Bahan penelitian terutama beras wulung varietas asal Boyolali diambil dari Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN)

(Hanhineva et al, 2010). Oleh karena itu beras wulung diketahui mempunyai potensi dalam penurunan gula darah sehingga sangat cocok dikonsumsi sebagai makanan diet para

penderita Diabetes Mellitus (DM). 58

MARSUDI MULYO Dukuh Surodhuwur, Desa

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Tawangsari, Kecamatan Teras, Boyolali.

Kabupaten

Lengkap

(RAL)

Pola

Searah.

Perlakuan

(variabel tetap) adalah Metode/cara pengolahan beras wulung (yaitu beras wulung pecah kulit (tanpa pengolahan, pengolahan menjadi nasi dan pengolahan menjadi tepung melalui proses penyangraian). sedang variabel tergantung

Dari Gambar 1 terlihat bahwa penelitian diawali dengan analisa proksimat untuk

mengetahui komponen kimia yang dikandung dalam beras wulung meliputi : kadar air (metode analisa Thermogravimetri), karbohidrat (by different), protein (metode Kjeldahl), lemak (metode Soxhlet), mineral total (cara kering) serta serat kasar (hidrolisa asam kuat). Sebagai pembanding dilakukan pula analisa proksimat beras merah. Beras wulung dimasak/diolah dengan dua cara pengolahan yaitu diolah menjadi tepung beras hitam dengan cara sangrai menggunakan media pasir, dan diolah menjadi nasi hitam dengan alat Rice Cooker. Analisa kandungan poliphenol (total phenol) menggunakan metode yang dikembangkan oleh Taga et al (1984) sedang analisa kandungan total antosianin

adalah zat-zat potensi yaitu total phenol dan total antosianin. Masing-masing perlakuan

diulang 2 kali, dengan analisa sampel adalah triple. Data yang diperoleh dianalisis dengan One Way Anova. Bila terdapat perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan Uji Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisa Proksimat Beras Wulung Sebelum beras wulung diolah, terlebih dahulu dianalisis proksimat untuk mengetahui komponen-komponen di dalamnya meliputi analisis kadar air, mineral, lemak, protein, karbohidrat dan serat kasar. Hasil analisa proksimat komponen beras wulung dan beras merah sebagaimana tampak pada Tabel 1. Tabel 1 tampak bahwa pada semua komponen yang diuji antara beras wulung (beras hitam) dan beras merah tidak banyak perbedaan. Tampak pula bahwa baik beras wulung maupun beras merah komponen

menggunakan metode yang dikembangkan oleh Markakis (1982). Analisa dilakukan baik pada beras wulung sebelum dimasak (beras pecah kulit), tepung beras wulung dan nasi beras wulung untuk mengetahui pengaruh

perubahannya. Proses penanakan nasi dilakukan seperti terlihat pada Gambar 2, sedang proses pembuatan powder/tepung seperti tampak pada Gambar 3. Analisa Kandungan Total Antosianin (Markakis, 1982). Analisa Kandungan Total Phenol (Taga et al, 1984)

terbesar adalah karbohidrat yaitu 64,98 % pada beras wulung sedang beras merah adalah 65,59%. Kadar protein baik pada beras wulung maupun beras merah juga relatif tinggi yakni

Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak 59

15,41%. Hasil ini memperlihatkan jauh lebih tinggi dibanding penelitian Sompong et al (2011) yang menunjukkan dari 9 varietas beras

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

merah yang diuji kadar maksimum kadar protein adalah 10.36 0.04 %. Pada 3 varietas beras hitam yang diuji berkisar 8.17 0.41 % (minimum) dan 10.85 0.09 % (maksimum). Kadar lemak (4,23% pada beras wulung dan 4,15% pada beras merah) serta kadar mineral total (beras wulung 2,04% dan beras merah 1,57%) pada sampel yang diuji diperoleh hasil yang mirip dengan yang dilakukan Sompong et al (2011) yang mempelihatkan diantara sampel yang diuji bervariasi 2.85 0.09 - 3.72 0.06 % kadar lemak beras hitam dan 1.74 sampai 1,48 g/100 g db) kadar mineral. Sedang Deepa et al. (2008) dalam penelitiannya terhadap beras Njavara, yaitu beras berwarna merah yang dipercaya berkasiat obat (a medicinal rice) di India mempunyai komponen 73% Karbohidrat, 9.5% protein, 2.5% lemak, 1.4% abu.

Gambar 4 tampak bahwa terdapat perubahan fisik yang sangat berbeda dari bahan awal yaitu beras wulung pecah kulit baik setelah diolah menjadi tepung beras wulung maupun menjadi nasi wulung. Perbedaan terjadi karena beras telah mengalami penambahan air dan perlakuan panas. Selain perubahan fisik tersebut beras wulung juga diuji perubahan kimianya khususnya (total terhadap phenol) komponen dan kadar

poliphenolnya antosianin.

Hasil penelitian terhadap kandungan total phenol baik pada saat masih dalam bentuk beras, setelah diolah menjadi tepung beras wulung dengan cara sangrai serta diolah menjadi nasi beras wulung dengan Rice cooker tampak sebagaimana pada Gambar 5. Gambar 5 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kadar total phenol antara beras wulung (pecah kulit) dengan yang telah

Pengaruh Pengolahan Beras terhadap Kandungan Total Phenol

Wulung

diolah menjadi nasi wulung, namun terdapat perbedaan yang signifikan (P<0,05) dengan tepung beras wulung. Hal ini diduga

Pemasakan (pengolahan) beras menjadi produk siap konsumsi dimaksudkan untuk memudahkan proses pencernaan. Dalam

dikarenakan pada pengolahan tepung beras wulung ini melalui suatu proses pengayakan (60 mesh) setelah diblender. Produk tepung beras wulung yang diuji adalah tepung yang lolos pengayakan. Kemungkinan bahan-bahan yang tidak lolos pengayakan adalah bahan-bahan yang sulit hancur dengan blender padahal diduga masih mengandung bekatul yang cukup tinggi. Bekatul adalah bagian beras yang mengandung senyawa phenol tinggi.

penelitian ini dilakukan 2 (dua) pengolahan yaitu pengolahan beras wulung menjadi tepung beras wulung dengan cara penyangraian

(penggorengan tanpa menggunakan minyak), dalam hal ini menggunakan media pasir. Pengolahan yang kedua adalah pengolahan beras wulung menjadi nasi wulung dengan menggunakan alat penanak nasi Rice cooker selama 50 menit. Produk hasil penelitian tampak sebagaimana pada Gambar 4. 60

Dibandingkan tepung beras pecah kulit (PK), bekatul mengandung lebih banyak antioksidan

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

dan

berhubungan

dengan

nilai

kapasitas

terhadap kadar antosianin yang dikandung dalam masing-masing produk tampak

antioksidan yang tinggi pula (Aguilar-Garcia, et al (2007). Sementara Randhir et al (2008) menyatakan penurunan kandungan total phenol yang diobservasi dalam soba (buckwheat) kemungkinan beberapa pemanasan. Dari hasil penelitian terhadap kadar total phenol dengan perhitungan basis basah (wet basic) diperoleh kadar total phenol beras wulung, tepung beras wulung, dan nasi beras wulung berturut-turut adalah 0,656, 0,484 dan 0,27 mg ekuivalen asam gallat /100 g (%wb). Namun setelah dilakukan perhitungan secara basis kering (dry basic) diperoleh hasil dikarenakan degradasi oleh dari proses

sebagaimana dalam Gambar 6. Dari Gambar 6 tersebut terlihat bahwa terdapat perubahan kadar antosianin yang signifikan (P<0,05) antara beras wulung (berupa beras pecah kulit/PK) dengan tepung beras wulung maupun nasi beras wulung. Kadar antosianin beras wulung pecah kulit sebesar 2,5060,02 mg/100g sampel (%wb), sedang tepung beras dan nasi berturutturut 2,1330,06 dan 0,1530,01 mg/100g sampel (%wb). Dalam basis perhitungan dry basis kadar antosianin beras wulung pecah kulit adalah 2,8918 mg/100g, tepung beras wulung 2,4091 dan nasi beras wulung adalah 0.4741 mg/100g. Kadar antosianin tersebut berbeda

komponen

phenol

sebagaimana tampak pada Gambar 5. Kadar total phenol beras wulung adalah 0,76 0,04 mg ekuivalen asam gallat /100 g (% db), setelah diolah menjadi tepung beras wulung kadar total phenol adalah 0,550,02 mg ekuivalen asam gallat /100 g (% db) dan setelah menjadi nasi beras wulung total phenol sebesar 0,84 0,06 mg ekuivalen asam gallat /100 g (% db). Kadar air bahan berpengaruh terhadap kadar suatu komponen per satuan bahan oleh karena untuk melihat perubahan kandungan komponen

dengan kandungan antosianin beras hitam setengah sosoh (SSH) dan pecah kulit (PK) yang diteliti oleh Swasti dan Astuti (2007) yang mempunyai kandungan antosianin 149 11 mg/100g (db) dan 152 16 mg/100g (db). Beras wulung yang masih berupa beras pecah kulit (Brs W.PK) memiliki kadar antosianin yang paling tinggi, diikuti tepung beras (Tep Brs W) dan nasi beras wulung (Nasi Brs W). Hal ini dikarenakan produk berupa beras pecah kulit belum mengalami perlakuan panas dibanding dengan kedua produk yang lain. Nasi beras wulung mengalami penurunan

tersebut lazimnya dilakukan dalam dry basic (db).

Pengaruh Pengolahan Beras terhadap Kandungan Antosianin Pengaruh pemasakan beras

Wulung

kadar antosianin yang paling tinggi dikarenakan proses pengolahan beras menjadi nasi

wulung

memerlukan perlakuan panas yang lebih tinggi dan lebih lama dibanding dengan proses pembuatan tepung beras wulung, disamping itu 61

menjadi nasi wulung dan tepung beras wulung

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

pada proses pembuatan tepung beras wulung juga beras tidak mengalami proses pencucian sehingga kemungkinan besar kandungan

Penelitian lanjut masih perlu terus dilakukan untuk mengetahui cara pengolahan yang tepat dari beras wulung untuk memperoleh bukti bahwa beras wulung mempunyai potensi sebagai diet penderita diabetes mellitus.

antosianin tidak terikut terbuang bersama air bekas pencucian. Hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa untuk mengambil manfaat dari beras wulung khususnya terhadap kandungan

DAFTAR PUSTAKA Aguilar-Garcia, C.; Gavino, G.; BaraganoMosqueda, M.; Hevia, P.; Gavino, V. C. Correlation of tocopherol, tocotrienol, -oryzanol and total polyphenol content in rice bran with different antioxidant capacity assays. Food Chem. 2007, 102, 1228-1232. Anonim, 2010. Boyolali dalam Angka 2009. BPS Kab. Boyolali. Deepa,G, Vasudeva Singh, K. Akhilender Naidu., 2008. Nutrient Composition and Physicochemical Properties of Indian Medicinal Rice Njavara. Food Chemistry 106 : 165171 Fardiaz, Dedi, 1997. Makanan Fungsional dan Pengembangannya melalui Makanan Tradisional. Prosiding Seminar Tekn. Pangan, 5-8 Juli, Yogyakarta. Hanhineva, Kati, Riitta Trrnen, Isabel Bondia-Pons, Jenna Pekkinen, Marjukka Kolehmainen, Hannu Mykknen and Kaisa Poutanen, 2010. Impact of Dietary Polyphenols on Carbohydrate Metabolism. Review. Int. J. Mol. Sci. 2010, 11, 1365-1402 Hiemori,Miki, Eunmi Koh and Alyson E. Mitchell, 2009. Influence of Cooking on Anthocyanins in Black Rice (Oryza sativa L. japonica var. SBR). J. Agric. Food Chem., (5): 1908-1914. Hilliam, M. 2000. Functional Food : How big is the Market? World of Food Ingredients 12 : 50-53. Kristamtini, 2009. Mengenal Beras Hitam dari Bantul. http://www.litbang.deptan.go.id/arti kel/

antosianin, sebaiknya pemasakan beras wulung dilakukan dengan dibuat menjadi tepung

(powder). Pengolahan beras wulung menjadi tepung hanya mengalami sedikit pemanasan yaitu dengan penyangraian.

KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : 1. Komponen dominan dari beras wulung (beras hitam) adalah karbohidrat (64,98 %wb). Kadar protein total 15,41%wb, kadar lemak 4,23%wb, mineral (abu) 2,04 %wb, serat kasar 3,52 %wb serta kadar air 13,34%. 2. Tidak terdapat perbedaan kadar total phenol antara beras wulung (pecah kulit) dengan yang telah diolah menjadi nasi wulung, namun terdapat perbedaan yang signifikan dengan tepung beras wulung. 3. Terjadi perubahan penurunan kandungan antosianin yang signifikan dalam

pengolahan beras wulung (beras hitam) menjadi tepung beras wulung dan nasi wulung. Penurunan kandungan antosianin mencapai 83,60% terjadi pada pengolahan dengan pemasakan menjadi nasi wulung. 62

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Lai,Phoency, Ken Yuon Li, Shin Lu, Hua Han Chen, 2009. Phytochemicals and Antioxidant Properties of Solvent Extracts from Japonica Rice Bran. Food Chem. 117:538-544 Markakis,Perieles, 1982. Anthocyanins as Food Colors. Academic Press, Inc, London. Muchtadi, D, dan C. Hanny Wijaya, 1996. Pangan Fungsional : Pengenalan dan Perancangan. Kursus singkat Makanan Fungsional dan Keamanan Pangan PAU PAngan dan Gizo, UGM, Yogyakarta. Ono, K., Sugihara, N., Hirose, Y. dan Katagiri, K., 2003. An Examination of Optimal Solvents for Anthocyainin Pigments from Black Rice Produced in Gifu. J. Agric. Food Chem., 2003, 51 (18), pp 52745279. Perkem Ind (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia), 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Fakultas Kedokteran UI. Jakarta

Scalbert, A., Johnson, I.T., Saltmarsh, M., 2005. Polyphenols: antioxidants and beyond. American Journal of Clinical Nutrition 81: 215S217S. Solopos, 2 April 2011. Boyolali Kembangkan Beras Wulung. Sompong,R, Siebenhandl-Ehn,S, G.LinsbergerMartin, E. Berghofer, (2011). Physicochemical and Antioxidative properties of Red and Black Rice Varieties from Thailand, China and Sri Lanka. Food Chemistry 124: 132140 Suyono, S., 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi 4, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta, hal. 1874-1878. Swasti, Yuliana Reni dan Mary Astuti, 2007. Aktivitas Antioksidan Antosianin Beras Hitam Dalam Low-Density Lipoprotein (LDL) Plasma Darah Manusia Secara In Vitro. Thesis. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Taga, M.S., Miller, E.E. dan Pratt, D.E.,1984. Chia Sheeds as source of natural lipid antioxidants. Journal of American Oil Chemical Society 61: 928-931) Tri Dewanti W Mubandrio, 2009. Beras Hitam. http://terminalcurhat.blogspot.com/200 9/10/beras-hitamberas-yangmenyehatkan.html Wild, S.; Roglic, G.; Green, A; Sicree, R.; King, H., 2004. Global prevalence of diabetes: Estimates for the year 2000 and projection for 2030. Diabetes Care 27: 1047-1053.

Pimentel, P, 2007. Diabetes Prevalence Surges to 246 milion. 19th World Diabetes Congress, 3-7 Desember 2006. Cape Town South Africa. Medical Tribune. February. pp 6. Randhir,R., Young-In Kwon, Kalidas Shetty., 2008. Effect of Thermal Processing on Phenolics, Antioxidant Activity and Health-Relevant Functionality of Select Grain Sprouts and Seedlings Innovative Food Science and Emerging Technologies 9 :355364

63

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Beras wulung pecah kulit

Analisis kadar air, karbohidrat, protein, lemak, abu, total phenol dan kadar antosianin

Pengolahan menjadi nasi

Pengolahan menjadi tepung

Evaluasi kadar zat potensi

Analisis kadar total phenol dan Antosianin

Analisis Data

Pelaporan

Gambar 1. Jalan penelitian secara keseluruhan

Beras wulung sosoh

Pencucian

Air 1:4

Penanakan dalam Rice Cooker, 50 menit

Nasi beras wulung Gambar .2. Diagram alir pengolahan beras wulung menjadi nasi hitam

64

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Pasir Pencucian

Beras wulung

Pengeringan (Penjemuran)

Penyangraian dalam wajan stainless steel, 15 menit disertai pengadukan

Penggilingan dengan blender

Pengayakan

Bubuk (powder) beras wulung Gambar 3. Diagram alir pengolahan beras wulung menjadi tepung (powder)

65

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Beras Wulung

Tepung Beras Wulung

Nasi Beras Wulung

Gambar 4. Beras wulung dan hasil olahannya

66

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013


Perubahan kandungan total phenol selama pengolahan beras wulung t o t a l p h e n o l

0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0

0.76 0.55

0.84

Brs W. PK

Tep Brs W
Macam pengolahan

Nasi Brs W

Gambar 5. Kandungan Total phenol mg ekuivalen asam gallat /100 g (% db) pada beras wulung (Brs W.PK= 0,760,04), tepung beras wulung (Tep Brs W=0,550,02) dan nasi beras wulung (Nasi Brs W=0,8406). Diagram yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata.

a 2.8918 3.0
a n t o s i a n i n

2.4091 b

2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 Brs W. PK Tep Brs W


macam pengolahan

k a d a r

0.4741 c

Nasi Brs W

Gambar 6. Perubahan kadar antosianin (mg/100g, %db) beras Wulung (Brs W.PK=2,890,02) menjadi tepung beras Wulung (Tep Brs W=2,410,06) dan Nasi beras Wulung (Nasi Brs W=0,470,01). Diagram yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata. Tabel 1. Hasil Analisa Proksimat Beras Wulung (Hitam) dan Beras Merah Komponen Air Mineral Total Lemak Protein Total Karbohidrat Serat Kasar Beras Wulung (%,wb) 13,34 2,04 4,23 15,41 64,98 3,52 Beras Merah (%,wb) 13,28 1,57 4,15 15,41 65,59 2,33

67

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

68

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

PEDOMAN PENULISAN NASKAH A. Format Seluruh bagian dari naskah narasi diketik dua spasi pada kertas HVS ukuran kuarto, batas atasbawah dan samping masing-masing 2,5 cm. Pengetikan dilakukan dengan menggunakan huruf bertipe Times New Roman berukuran 12, dengan spasi ganda dan tidak bolak-balik. Gambar dan tabel dari publikasi sebelumnya dapat dicantumkan apabila mendapat persetujuan dari penulisnya. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan termasuk halaman tabel/bagan/grafik/gambar/foto pada akhir naskah. Publikasi ilmiah ditulis 15-17 halaman (sekitar 3000 karakter), termasuk gambar dan tabel. Susunan naskah hasil penelitian dibuat sebagai berikut: 1. Judul Ada dua bahasa dalam penulisan judul, yaitu yang pertama menggunakan Bahasa Indonesia dan kedua Bahasa Inggris. Judul menggunakan Bahasa Indonesia dicetak dengan huruf besar pada awal kata (kecuali kata sambung) bertipe Times New Roman berukuran 14 dan spasi satu, sedangkan yang berbahasa Inggris dengan huruf miring. Judul artikel ditulis singkat dan informatif dan mampu menerangkan isi tulisan dengan jumlah maksimal 15 kata. Hindari penggunaan kata yang mempunyai kesan umum seperti penelahaan, studi, pengaruh dan lain-lain. Tidak diperkenankan menggunakan singkatan dan penambahan nama latin. 2. Nama dan Alamat Penulis Penulisan nama ditulis semua nama yang terlibat dan lengkap tidak ada singkatan. Penulisan nama tidak dilengkapi pangkat, kedudukan dan gelar akademik, dan diberi kode (1, 2, 3,...) pada bagian atas nama belakang dari masing-masing nama penulis. Bagian bawah nama diberi alamat korespodensi (alamat institusi) masing-masing nama, dengan mengikuti kode di atas, dan alamat e-mail lembaga yang memungkinkan terjadi korespodensi dengan ilmuwan lain. 3. Abstrak Abstrak merupakan ringkasan yang lengkap dan menjelaskan keseluruhan isi artikel ilmiah. Abstrak ditulis sebaik mungkin agar pembaca dapat menangkap isi artikel tanpa harus mengacu ke artikel lengkapnya. Abstrak ditulis dalam satu bahasa yaitu bahasa Inggris dengan judul ABSTRACT, paling banyak terdiri atas 200 kata dalam satu paragrap, diketik huruf miring dengan spasi tunggal. Abstrak berisi ringkasan pokok bahasan lengkap dari keseluruhan naskah (Pendahuluan, Metode Penelitian, Hasil, dan Kesimpulan) tanpa harus memberikan keterangan terperinci dari setiap bab. Abstrak tidak mencantumkan tabel, ilustrasi, rujukan dan singkatan. Untuk menghemat kata, jangan mengulang judul dalam abstrak. 4. Kata Kunci Kata kunci adalah kata-kata yang mengandung konsep pokok yang dibahas dalam artikel. Kata kunci dengan judul Key words sebanyak 3 sampai 6 kata ditulis dalam bahasa Inggris diletakkan di bawah abstract dalam satu baris dan cara pengurutannya dari yang spesifik ke yang umum. Kata kunci yang baik dapat mewakili topik yang dibahas dan digunakan untuk mengakses lewat komputer oleh pembaca. 5. Pendahuluan Pendahuluan merupakan pengantar tentang substansi artikel sesuai dengan topik dan masalahnya, terutama alasan-alasan baik teoritis maupun empiris yang melatar belakangi kegiatan penulisan artikel. Memuat secara ekplisit dengan singkat dan jelas tentang arah, maksud, tujuan serta kegunaan artikel agar substansi artikel tidak menimbulkan kerancuan pengertian, pemahaman dan

69

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

penafsiran makna bagi pembacanya. Berisi penjelasan latar belakang atau problematika yang dikaji dan tujuan penelitian dilakukan. Kalimat-kalimat awal seharusnya merupakan hasil pemikiran sendiri, bukan kutipan. Penyajian harus runut secara kronologis, ada kaitan logika antara alinea pertama dengan berikutnya dengan jelas. Kerangka berpikir disajikan secara singkat dan jelas berdasarkan konsep-konsep teoritis yang digunakan untuk membahas, menganalisis dan menafsirkan data, informasi serta temuan-temuan yang diperoleh. Penting dikemukakan pula konsep-konsep pemikiran yang berasal dari temuan-temuan peneliti sejenis, jika mungkin yang terbaru, yang telah dilakukan oleh peneliti atau penulis yang sebelumnya. Pustaka yang digunakan benar-benar mendukung latar belakang yang diungkapkan. Sebaiknya tidak mengutip hasil-hasil penelitian terdahulu yang tidak dipublikasikan. Nama organisme (Indonesia/daerah) yang tidak umum harus diikuti dengan nama ilmiahnya pada pengungkapan pertama kali. 6. Metodologi Metode adalah cara-cara yang digunakan dalam penulisan artikel ilmiah. Metode tersebut harus sesuai dengan metodologi yang digunakan pada saat melakukan penelitian. Berisi informasi teknis (deskripsi bahan, penarikan contoh, prosedur dan pengolahan data) dan diuraikan secara lengkap jika metode yang digunakan merupakan metode baru. Untuk metode yang sudah umum digunakan, cukup dengan menyebutkan pustaka yang diacu. Dalam menulis pelaksanaan teknis penelitian (prosedur) tidak menggunakan kalimat perintah. Bahan kimia yang sangat penting dan khusus untuk analisis disebutkan produsennya. Alat seperti gunting, gelas ukur, gelas kimia, pensil dan lain-lain tidak perlu ditulis, tetapi peralatan khusus untuk analisa (AAS, spektrofotometer, HPLC, GC, dan lain-lain) ditulis secara rinci bahkan sampai ke tipenya. 7. Hasil dan Pembahasan Berisi pengungkapan hasil-hasil penelitian saja, yang dapat disajikan dalam bentuk tubuh tulisan, tabel/bagan/grafik/gambar/foto disertai keterangan yang jelas dan informatif. Penyajian data harus sitematik, perlu dilihat tujuan dan langkah-langkah dalam metode. Narasi data berupa sarinya bukan menarasikan data seperti apa adanya. Penyajian data juga didukung oleh olahan data (bukan data mentah) dan ilustrasi yang baik. Pemberian nomor dibuat secara berurutan sesuai dalam naskah dan dilampirkan secara terpisah dari naskah. Keterangan gambar ditulis di bawah gambar, sedangkan keterangan tabel ditulis di atas tabel dan harus dibatasi dalam tubuh tulisan. Gambar dan bentuk grafik dapat dibuat pada halaman terpisah. Pembahasan bukan sekedar menarasikan data, tetapi berisi interprestasi hasil-hasil penelitian yang diperoleh dan pembahasan yang dikaitkan dengan hasil-hasil penelitian yang pernah dipublikasikan. Dalam menarasikan disesuaikan dengan tujuan dan hipotesa penelitian. Dalam pembahasan juga dilakukan analisa atau tafsiran dan pengembangan gagasan atau argumentasi dengan mengaitkan hasil, teori atau temuan sebelumnya. Ada dua pendekatan dalam melakukan pembahasan dan analisis terhadap data, yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif bersifat obyektif, positifistik dan bebas nilai, subyektifitas sedapat mungkin dihindari. Pendekatan kualitatif bersifat subyektif, relatifisme dan tidak bebas nilai. Hasil pembahasan dan analisis tidak berpretensi menghasilkan generalisasi, kalaupun ada generalisasi terbatas pada lingkup obyek penelitian. 8. Kesimpulan Simpulan ditulis secara kritis dan cermat dan dilakukan generalisasi (induktif) dibuat dengan hati-hati. Nyatakan simpulan atas hasil dan pembahasan secara singkat, padat, serta tanpa nomor urut. simpulan tidak mencantumkan kutipan dan analisa statistik. 70

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

9. Ucapan Terima Kasih Penulis dapat memberikan ucapan terima kasih kepada penyandang dana penelitian, maupun kepada institusi serta orang yang membantu dalam pelaksanaan penelitian. Nama institusi penyandang dana supaya dituliskan secara lengkap. 10. Daftar Pustaka Daftar pustaka ditulis memakai system nama dan disusun secara abjad. Beberapa contoh: a. Jurnal : Rueppel ML, Brightwell BB, Schaefer J, and Marvel JT. 1997. Metabolism and degradation of glyphosate in soil and water. J Argric Food Chem 25:517-528. b. Buku : Moore-Landecker E. 1990. Fundamental of the fungi. Ed Ke-3. New Jersey:Prenice Hall. d. Abstrak : Kooswardhono, M, Sehabudin. 2001. Analisis ekonomi usaha ternak sapi perah di wilayah Propinsi Jawa Barat. Abstrak Seminar Pengembangan Peternakan Berbasis Sumberdaya Lokal. Bogor, 89 Agustus 2001. Bidang Sosial dan Ekonomi-15. hlm 189. e. Prosiding : Lukiwati D.R. dan Hardjosoewignjo S. 1998. Mineral content improvement of Some tropical legumes with Glamous fungi inoculation and rock phosphate fertilization. Di dalam: Proccedings of the Internal Workshop on Mycorrhiza. Guangzhou, PR China, 6 September 31 August 1998. hlm 77-79. f. Skripsi/Tesis/Disertasi : Ismunadji M. 1982. Pengaruh pemupukan belerang terhadap susunan kimia dan produksi padi sawah. (Tesis). Bogor.Institut Pertanian Bogor. g. Informasi dari Internet : Hansel L. 1999. Non-target effect of Bt corn Pollen on the Monarch butterfly (Lepidoptera:Danaidae).http://www.ent.iastate. edu/ensoc/ncb99/prog/abs/D81.html. (21 Agustus 1999) Acuan pustaka dalam teks ditulis dengan model nama dan tahun yang diletakkan dibelakang kata-kata, ungkapan atau kalimat yang diacu. Acuan yang ditulis dalam teks harus ada dalam daftar pustaka yang diacu dan sebaliknya bila ada dalam daftar pustaka juga harus ada dalam teks. Kata-kata, ungkapan atau kalimat yang ada alam teks tanpa sumber acuan dapat dianggap sebagai pendapat penulis dan bila ternyata sebenarnya mengacu dari pustaka lain, dapat dianggap plagiat. B. Ketentuan Umum 1. Naskah yang dikirim belum pernah diterbitkan, berupa hasil penelitian atau kajian pustaka yang ditambah pemikiran penerapannya pada kasus tertentu dengan topik yang aktual dalam lingkup pangan dan gizi. 2. Penulis mengirimkan naskah dalam bentuk hard copy rangkap 2 dan soft copy dalam CD atau melalui e-mail. 3. Jadual penerbitan adalah bulan Juli dan Desember. 4. Naskah jurnal untuk edisi yang akan terbit, paling lambat diterima oleh redaksi tiga (3) bulan sebelum jadwal penerbitan. Naskah akan dikoreksi oleh Mitra Bestari yang akan dijadikan dewan redaksi sebagai dasar dalam memutuskan diterima atau tidaknya naskah.

71

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

72

Anda mungkin juga menyukai