Anda di halaman 1dari 21

MENCARI KAWRUH JIWA:

REFLEKSI DIRI PADA REMAJA, LANGKAH MENUJU PRIBADI SEJAHTERA





Maria Laksmi Anantasari
Faculty of Psychology, Sanata Dharma University Yogyakarta
ananta_ml@yahoo.com


Abstract
Many adolescents have problems in their life that affect their psychological-
wellbeing. But they tend to drown themselves in the bustle and not providing
enough time to retreat themselves. This research was conducted to find out the
description and the meaning of adolescences self reflection. Self-reflection is a
process relying of thinking, reasoning and examining ones thought, feelings and
soul. The method used was descriptive-qualitative approach. There were 10
subjects of the research. They were adolescents aged 19-21 years, Subjects were
determined by purposive sampling. Data were obtained through interviews and
through documents such as a daily journal and self-report of the subjects.
Credibility of research achieved by observation or assistance length, triangulation
and member-checking techniques. Reflection activities carried out within five
months. The results were analyzed using content analysis techniques. In general,
the results showed that the subjects get Kawruh Jiwa (knowledge of self) as a result
of self-reflection toward experiences. Self-knowledge leads individuals to address
the problems of living with a new perspective. S

elf-reflection is a medium to find
themselves in context with others and God. Self-reflection is an important part of
the journey in reaching adolescents psychological well-being.
Keywords : Kawruh Jiwa, Self-reflection, Psychological Well-Being


LATAR BELAKANG
Remaja adalah individu yang sedang berproses menuju alam kedewasaan.
Dengan bekal yang masih terbatas, remaja harus menghadapi banyak tantangan
dalam proses perkembangannya.
Fenomena menunjukkan dewasa ini banyak terjadi kasus pornografi,
narkoba, pergaulan bebas, tawuran, dan bahkan kasus bunuh diri pada remaja. Hal
ini menunjukkan bahwa remaja tidak mampu mengambil sikap yang tepat dan
tidak dapat memecahkan persoalan kehidupan. Masalah demi masalah berlalu




tanpa membuahkan hasil positif selain meninggalkan jejak yang menghambat
individu mencapai optimalisasi diri atau kesejahteraan psikologisnya.
Upaya menuju proses kedewasaan pribadi pada remaja tidak mudah
mengingat tidak semua remaja beruntung mendapatkan pendampingan dari
orangtua. Hal lain yang menjadi tantangan adalah ketika para remaja sebagai
generasi net, tenggelam dalam hiruk pikuk perputaran dunia melalui jaringan
internet (Adi, 2009). Dalam hal ini tampaknya diperlukan suatu waktu untuk
menelaah diri sendiri.
Refleksi diri adalah kemampuan manusia untuk melakukan introspeksi
dan kemauan untuk belajar lebih dalam mengenai sifat dasar manusia, tujuan dan
esensi hidup. Dengan melakukan refleksi diri manusia dapat memperoleh
pemahaman diri yang lebih baik guna memecahkan persoalan kehidupannya
(Morin, 2002).
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap gambaran dan pemaknaan para
remaja terhadap proses refleksi diri. Refleksi diri dapat diaplikasikan ke dalam
banyak bidang, misalnya bidang organisasi maupun dalam kehidupan diri pribadi.
Oleh karenanya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi semua
pihak untuk melihat kembali pentingnya bermawas diri.

KERANGKA BERPIKIR
Remaja
Remaja adalah individu yang sedang memasuki masa peralihan dari masa
kanak-kanak menuju masa dewasa, yang dimulai kurang lebih antara usia 13
tahun hingga 21 tahun. Hall menyebut masa ini sebagai masa storm and stress.
Masa remaja ditandai dengan adanya perubahan besar dari segi fisik, kognitif dan
sosioemosi (Santrock, 2006). Remaja yang tumbuh dalam dunia digital saat ini




dikenal juga dengan generasi net. Kecanduan net menyebabkan mereka tidak lagi
memiliki waktu untuk melakukan kegiatan lain yang lebih sehat (Adi, 2009).
Refleksi Diri
Refleksi diri adalah kemampuan manusia untuk melakukan introspeksi dan
kemauan untuk belajar lebih dalam mengenai sifat dasar manusia, tujuan dan
esensi hidup. Self-reflection berbeda dengan rumination. Rumination dilandasi oleh
rasa mengkhawatikan diri demi kepentingan diri, sementara self-reflection didasari
oleh niat murni untuk menganalisis diri demi peningkatan diri (Morin, 2002).
Refleksi diri meliputi proses pengujian, pengolahan terhadap nilai-nilai,
keyakinan pribadi, dan pengalaman. Refleksi diri membuat seseorang belajar hal-
hal baru dalam diri, lebih mengetahui tentang diri. Orang yang memiliki kesadaran
diri tinggi akan membawa individu pada kesehatan mental yang lebih baik
(Trapnell, & Campbell, 1999; Morin, A, 2002).
Refleksi seharusnya diwujudkan menjadi aksi atau tindakan. Pemahaman
diri yang baik membawa diri kepada suatu tindakan nyata, di mana individu
diharapkan dapat bersikap secara lebih positif.
Kesejahteraan Psikologis
Kesejahteraan psikologis diartikan sebagai ada dan berfungsinya sifat-sifat
psikologis positif yang terdapat dalam enam dimensi (Ryff, 1989), yang pada
perkembangannya diperluas dalam ranah spiritual (Ryff, 2004).
Dimensi penerimaan diri diartikan sebagai sikap positif terhadap diri,
penerimaan terhadap aspek dan kualitas diri dan masa lalunya. Relasi positif
diartikan sebagai kemampuan untuk menjalin hubungan hangat, percaya dan
peduli kepada kesejahteraan orang lain. Otonomi, diartikan sebagai kemampuan
untuk menentukan diri sendiri, mampu bertahan dari tekanan luar, memiliki evaluasi
secara pribadi. Penguasaan lingkungan, diartikan sebagai kemampuan untuk




mengatur kehidupan dan menggunakan kesempatan yang tersedia secara efektif.
Tujuan dalam hidup diartikan sebagai adanya perasaan hidup terarah dan
perasaan akan bermaknanya hidup. Pertumbuhan pribadi, adalah perasaan
individu akan adanya perkembangan diri yang berkelanjutan, terbuka terhadap
pengalaman baru, mampu untuk berubah (Ryff & Keyes, 1995)
Ilmu Jiwa Dalam Kajian Ilmu Jawa
Dalam penelitian ini akan disajikan kajian ilmu khas budaya J awa yang
dimaksudkan untuk melengkapi paradigma Barat. Penggunaan paradigma
Suryomentaram diharapkan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi secara
seksama, terutama karena akar di mana fenomena ini diteliti terdapat dalam ruang
pijak yang sama.
Ki Ageng Suryomentaram (1892-1962) merupakan tokoh J awa yang secara
otentik mengembangkan ajaran Kawruh Jiwa (Naskah-naskah Ki Ageng
Suryomentaram [KAS], 2010). Ajaran ini merupakan bukti nyata dari Indigenous
Psychology, khas J awa. Menurut tokoh ini, kebahagiaan hidup akan dicapai ketika
seseorang dapat nata rasa Rasa J awa dalam hal ini lebih dari sekedar feeling,
emotion, sentimentality, lust, mood, atau sensation. Manusia J awa
memaknai rasa sebagai pengecapan, perasaan, karakter manusia dan pernyataan
dari kodrat Illahi, hati nurani. (J atman, 2008)

Struktur Jiwa.
Kesadaran jiwa menurut Suryomentaram (J atman, 1997; Sunarto, 2004;
Saadi, 2010) adalah : (1) Juru Cathet, kesadaran yang mengacu pada apa yang
dapat dipersepsikan melalui panca inderanya. Pada tingkatan ini jiwa manusia
masih tunduk pada tuntutan fisik biologis (2) Cathetan, kesadaran diri yang
berfungsi dengan menggunakan emosi. J iwa manusia yang menyimpan banyak




catatan hasil kerja panca indera berupa keinginan yang bersifat emosional
(kesenangan). (3) Tukang pikir, merupakan kesadaran personal dalam fungsi
kognisi. Dengan adanya dimensi ini berarti tindakan manusia juga didasari
pertimbangan rasional. Pada tahap ini muncul rasa Aku Kramadangsa.
Kramadangsa adalah istilah yang merujuk pada "rasa namanya sendiri".
Kramadangsa adalah "rasa keakuan", yang dipenuhi dengan dorongan untuk
mencapai semat (kekayaan), drajat (kedudukan) dan kramat (kekuasaan).
(4) Manungsa tanpa tenger, atau manusia tanpa ciri adalah manusia dengan
kesadaran tertinggi. Dalam hal ini diri bukan lagi kramadangsa melainkan diri
berfungsi sebagai pengawas kramadangsa itu sendiri. Manusia mampu memahami
dan merasakan perasaan orang lain, serta mengetahui kekurangan atau kesalahan
diri sendiri. Manusia tanpa ciri adalah manusia yang terbebas dari rasa benci atau
suka, senang atau susah dan telah temukan jati dirinya. Kebahagiaan baginya
adalah ketika dapat membahagiakan sesama. Tingkatan jiwa ini umumnya dimiliki
oleh orang yang telah berhasil memperoleh pangawikan pribadi atau pengetahuan
mengenai diri setelah melakukan olah rasa, di mana kesadaran jiwa telah dapat
memenangkan pergumulan terhadap rasa aku kramadangsanya.
Kesehatan Mental Dalam Paradigma Suryomentaram
Faktor penyebab gangguan kesehatan mental bersumber pada kesalahan
yaitu (1) salah nata ati, yakni ketidaktepatan dan merasakan dan menangkap
pengertian dari suatu hal (2) raos pengen bungah sajege. di mana individu tidak
menyadari bahwa hidup berisi pengalaman senang dan susah, secara bergantian.
(3) raos karep mulur. Keinginan yang akan kenikmatan dunia yang berkelanjutan.
Beberapa gejala mental yang tidak sehat terlihat dalam rasa penyesalan (raos
getun), rasa khawatir (raos sumelang), iri hati (raos meri pambegan) dan
melakukan kompensasi (tumindak slamuran) (Saadi, 2010).




Pribadi sehat tergambar dalam karakteristik berikut ini (Saadi, 2010)
madeg pribadi (mandiri), tidak menjadikan orang lain sebagai ukuran, mampu
mengatur hati dan keinginan dengan tepat, memiliki kemerdekaan diri, mandiri dan
percaya diri dalam menyikapi aneka ragam tawaran kehidupan. Windu kencana,
yang berarti keemasan, yaitu individu yang telah mendapatkan hasil dari olah rasa
sehingga menjadi bijaksana, kritis, intuitif, berjiwa besar, kreatif dan, produktif.
Individu ini mampu mengembangkan seni, pengetahuan, dan filosofi, hidup rukun
dan membahagiakan sesama (J atman, 1997; Saadi, 2010)
Kawruh Jiwa
Kawruh jiwa merupakan suatu konsep pemahaman terhadap sebagian
hidup dan kehidupan. Kawruh jiwa disebut juga pangawikan pribadi atau
pengetahuan tentang diri pribadi. Hal ini didapatkan melalui olah rasa dengan
metode menggalih, manah manekung ing ngasepi, semusup ing telenging kalbu
hingga mencapai pambukaking wahana. Menggalih dari kata galih yaitu bagian
paling tengah pada batang kayu. Pengolahan jiwa (olah rasa) dilakukan dengan
mengidentifikasi berdasar kebenaran, hingga mencari makna terdalam. Manah, dari
kata panah yakni berpikir dengan hati sampai menembus hakekat yang terdalam.
Manekung ing batin, yakni berkonsentrasi dengan mata batin, memusatkan
kehendak dan sejenisnya, sehingga mencapai pambukaing wahana, suatu
pencerahan (Saadi, 2010). Berikut ini adalah paradigma penelitian :










MANUSIA Pengalaman Orang lain
Hal/peristiwa

Berhenti sejenak untuk olah rasa

Meneliti batin, pengalaman fenomenologis, diri sebagai objek penelitian, dari hal-hal
yang dangkal hingga terdalam
Menggalih, Manah, Manekung
Membuka tabir penutup diri (defence)
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Menguji diri dengan pertanyaan reflektif
Mencari sifat dasar, etujuan dan esensi hidup
Mencari hal-hal baru
Memilah cathetan yang benar dan salah
Mengidentifikasi landasan kepentingan diri (unsur Kramadangsa) yang keliru
Mempelajari esensi di balik rasa senang dan benci, susah dan senang
Mencari makna diri sebagai hasil pengecapan, perasaan dan pernyataan kodrat Illahi















Aku Kramadangsa

Berfokus pada kepentingan diri
Terdorong mencari semat, kramat
dan drajad
Sewenang-senang
Cenderung membela diri
------------------------------------
Diri Bukan Kramadangsa

Berfokus kepada kebahagiaan bersama
Bersifat universal
Bercita-cita kasih tanpa syarat
Mencari jati diri

----------------------------------------------------
Olah pikir PERGUMULAN Olah rasa
BATIN
Kramadangsa dominan
Menuruti keakuan
Kramadangsa dimatikan
Kesadaran rasa aku sejati

KRAMADANGSA MENANG AKU BUKAN KRAMADANGSA MENANG





Kembali ke taraf-3
Menggunakan olah pikir dalam menyikapi
pengalaman
Kurang memiliki pengetahuan diri (rasa,
jiwa)


PENGAWIKAN PRIBADI (Pengetahuan Diri)


Naik ke taraf-4
Mampu memahami siapa diri, tujuan dan esensi hidup
Mengetahui nilai-nilai kebenaran universal
Memiliki kesadaran penuh akan diri dan kehidupan
-------------------------------------------------- -----------------------------------------------------------

Banyak menjumpai kesulitan karena
kurangnya pengetahuan diri
Berbeban berat ketika menghadapi
kesulitan hidup karena cara mengolah rasa
yang tidak tepat

Lebih mampu berdamai dan menerima utuh sisi
negatif dan positif dalam kehidupan
Memiliki kemerdekaan pribadi, tidak lekat,
Terlepas dari rasa suka-benci, senang-susah
Lebih dapat menentukan sikap
Bersikap otonom, tidak conform dengan tekanan
lingkungan
Lebih konsisten dalam sikap dan perbuatan
Terbuka dan akrab dengan sesama
Tergerak untuk selalu tumbuh dan berkembang
Universal



Pribadi sejahtera secara psikologis
Manungsa tanpa tenger


Gbr 1. Kerangka Pemikiran Penelitian




RUMUSAN PERTANYAAN PENELITIAN
Gambaran mengenai refleksi diri pada remaja terjabarkan dalam pertanyaan
berikut ini :
(1) Bagaimana gambaran karakteristik/sifat-sifat yang mengindikasikan keadaan
psikologis remaja yang tidak sejahtera ?
(2) Bagaimana gambaran hasil refleksi remaja terhadap pengalamannya ?
(3) Bagaimana rumusan aksi/tindakan para remaja ?
(4) Bagaimana tanggapan remaja terhadap refleksi diri yang dilakukan ?

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian. J enis penelitian ini adalah kualitatif.
Partisipan Penelitian. Subjek penelitian ini adalah remaja yang berstatus
sebagai mahasiswa Psikologi Semester V, dengan kisaran usia antara 19 hingga
21 tahun. Responden penelitian secara keseluruhan berjumlah 10 orang, terdiri
atas 8 wanita dan 2 pria. Subjek wawancara berjumlah 4 orang.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara
(1) Studi dokumen, yaitu berupa jurnal harian dan self-report para responden
(2) Wawancara
Data yang diteliti adalah bagian dari hasil tindakan kelas. Keabsahan data hasil
penelitian ini didukung dengan adanya kredibilitas hasil penelitian, yang dicapai
melalui lamanya pengamatan terhadap proses aktivitas refleksi, triangulasi dua
metode penelitian yakni wawancara dan studi terhadap jurnal para subjek serta
pelaksanaan member-check terhadap beberapa subjek yang ada.
Prosedur Aktivitas dan Penelitian
(1) Peneliti menentukan partisipan yang akan berpartisipasi dalam aktivitas ini.




(2) Pada bulan pertama (Februari 2010), peneliti memberikan instruksi kepada
partisipan untuk menuliskan pengalaman diri satu kali dalam satu minggu,
selama kurang lebih 4 bulan atau 16 kali penulisan.
Kisah mengenai pengalaman diakhiri dengan perenungan dan pengolahan
diri untuk menjawab pertanyaan sederhana seperti, apa yang kurasakan ?,
apa yang dapat kupelajari dari pengalaman ini?, apa yang sebaiknya
kulakukan?, apa yang kini akan kulakukan, untuk diriku dan sesamaku?
(3) Pada bulan ketiga, peneliti memberikan tugas untuk membuat self-report
berupa refleksi secara keseluruhan dan rumusan aksi.
(4) Peneliti membuat kesepakatan tentang penelitian (informent concent)
(5) Pada akhir bulan ke-4, peneliti melakukan wawancara dengan 4 partisipan.
Panduan wawancara bersifat semi terstruktur.
(6) Pada akhir bulan ke-5 (J uni 2010), seluruh dokumen berupa jurnal harian
dan self-repot dikumpulkan untuk dianalisis. J umlah masing-masing yang
terkumpul sebanyak 10 buah, sejumlah partisipan yang direncanakan.
(7) Pelaksanaan aktivitas dan pengumpulan data berjalan lancar, terlebih
karena suasana humanis yang sangat mendukung proses kegiatan.

HASIL PENELITIAN.
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis isi. Proses analisis data
dalam penelitian ini dimulai dengan menelaah seluruh data yang terkumpul dari
berbagai sumber yakni jurnal pribadi, lembar self-report dan hasil wawancara. Data
ditelaah kemudian mengadakan reduksi data dengan jalan membuat abstraksi,
menyusun dalam satuan-satuan dan kategorisasi dan menafsirkan atau
memberikan makna terhadap data.





Gambaran Temuan Penelitian
Karakterisitik yang mengindikasikan ketidaksejahteraan psikologis remaja.
Gambaran hasil penelitian dipetakan dengan menggunakan enam dimensi
kesejahteraan psikologis dari Ryff (1989).
Dimensi Penerimaan Diri. Subjek yang belum dapat menerima diri tampak
dalam beberapa hal berikut ini : belum dapat memaafkan, dalam hal ini terutama
adalah orangtua dan memaafkan diri sendiri, belum dapat menerima diri sendiri
secara psikis dan fisik, misalnya karena tidak menarik (gendut, hitam, berjerawat),
subjek tidak dapat menghargai diri dan cenderung mengeluh.
Dimensi Relasi Positif Dengan Sesama. Relasi yang belum optimal tampak
dalam kecenderungan para subjek yang menyatakan tidak merasakan kepuasan
dalam berelasi, masih sangat memikirkan diri sendiri, sulit percaya kepada orang
lain, cenderung berpikir negatif terhadap orang lain.
Dimensi Pertumbuhan Diri. Beberapa situasi yang muncul terkait dengan
pertumbuhan diri adalah adanya keraguan subjek untuk belajar hal baru, belum
dapat mengontrol emosi, cepat menyerah, kurang sabar, tidak percaya diri.
Dimensi Otonomi. Sifat partisipan yang muncul adalah keinginan untuk
tergantung kepada orang lain, tidak berani asertif sehingga tidak dapat menjadi diri
sendiri, memiliki sifat plin-plan, dan masih sering terbawa arus.
Dimensi Penguasaan Lingkungan. Sifat partisipan yang muncul adalah
kecenderungan menyepelekan masalah, sulit menyesuaikan dengan situasi baru,
belum dapat bertanggungjawab, kurang mampu mengatur waktu dan tidak kreatif
Dimensi Tujuan Hidup. Sifat yang muncul adalah kurang dapat
membedakan antara sarana dan tujuan.
Refleksi terhadap pengalaman. Refleksi yang muncul sangat beragam
sesuai dengan pemaknaan subyektif terhadap situasi diri yang dihadapi. Dari




keanekaragaman tersebut, muncul beberapa tema. Peneliti menuliskan beberapa
contoh ungkapan refleksi, dengan tujuan pembaca dapat menangkap ekspresi
murni para partisipan.
Mengenai konsep bahagia : Kebahagiaan ditentukan oleh pemikiran diri dan
sejauh mana dapat berkontribusi terhadap hidup.

Saya tidak bahagia karena terbatasi kesadaran yang sempit. Saya terpaku
kepada bagaimana buruknya orang memperlakukan saya dan bukan bagaimana
saya dapat memperlakukan orang lain dengan lebih baik (B,jurnal, 7 Maret 2010)

Kekurangan diri adalah bagian dari diri yang harus diperjuangkan.

Jangan mundur dan dikalahkan oleh kekurangan, akan tetapi maju dan menanglah
dengan kelebihan (S, jurnal, 10 April 2010)

Keyakinan adalah kunci untuk tetap bersemangat dan tidak putus asa.

Yang dapat membuat bangkit dari keputusasaan, dan hidup lebih sejahtera adalah
sikap mental diri sendiri (Rt, self-repot, 16 Mei 2010)

Mengenai hidup, subjek memaknai bahwa hidup adalah memberi, untuk menjadi'
dan harus dijalani secara mengalir.
Hidup adalah mengenai menjadi bukan sekedar puas karena mendapatkan;
Kabeh ono titi wancine, susah lan seneng (Y, jurnal, 16 Mei, 2010)

Mengenai Pencipta. Pencipta itu ada dan bekerja untuk manusia serta
memiliki rencana atas hidup manusia.
Jika kita tak lagi mampu melakukannya, rasakan ada tangan tak terlihat yang
bekerja untuk kita (A, wawancara, 18 Juni 2010)

Apapun yang terjadi, pasti tak lepas dari kehendakNya,dan itu adalah jalan
pembentukan diriku (Rt, jurnal, 10 April 2010)

Rumusan aksi/tindakan. Beberapa rumusan tindakan dari para partisipan
akan terjabarkan dalam enam dimensi Kesejahteraan Psikologis berikut ini :
Dimensi Penerimaan Diri. Beberapa niat yang muncul adalah kemauan
untuk mencoba rendah hati, menerima dan mensyukuri talenta yang dimiliki,
mencoba berdamai dengan diri sendiri, menjadi diri sendiri, belajar menerima




kenyataan dengan ikhlas, menggunakan humor yang sehat, menjalani hidup
dengan mengalir dan berpikir positif.
Dimensi Relasi Positif dengan sesama. Rumusan niat yang muncul adalah
kemauan subjek untuk lebih terbuka kepada orang lain, mencoba percaya kepada
orang lain, memberi sesuatu tanpa syarat kepada orang lain.
Dimensi Pertumbuhan Diri. Beberapa niat yang muncul adalah mengasah
ketrampilan, meningkatkan kelebihan, berani mengambil risiko untuk maju,
menghapus kata tidak bisa, tidak mampu, belajar mengelola emosi.
Dimensi Otonomi. Para subjek memunculkan niat untuk berani asertif ketika
harus menolak sesuatu yang tidak selaras dengan situasinya, mencoba untuk
mengerjakan sesuatu dengan usaha sendiri dan tidak terbawa arus.
Dimensi Penguasaan Lingkungan. Niat yang muncul antara lain
menghilangkan kebiasaan menunda, membuat jadwal kehidupan, lebih kreatif.
Dimensi Tujuan Hidup. Niat tampak dari keinginan subjek untuk membuat
visi dan misi dan setia terhadap komitmen hidup yang dibuat.
Refleksi diri di mata remaja. Para subjek memandang bahwa refleksi
merupakan media yang dipergunakan untuk melihat dan menilai diri sendiri.
Refleksi diri adalah salah satu cara untuk memahami diri dan dunia. Diri yang
dimaksud adalah diri fisik dan non fisik, dengan semua pengalaman dalam segala
ruang dan waktu.
Mekanisme refleksi menurut remaja. Refleksi dapat dilakukan melalui
permenungan atau dibantu melalui penuangan melalui tulisan. Mekanisme refleksi
dilakukan dengan cara meluangkan waktu, menyepi dari keramaian, mengingat
peristiwa yang terjadi, tindakan yang telah dilakukan, membuat penilaian terhadap
suatu peristiwa/hal, menginstropeksi, menimbang-nimbang, memilah hal baik dan
buruk, mencari hikmah dan pembelajaran darinya. Refleksi diakhiri dengan




merumuskan niat agar hal-hal yang telah positif dipertahankan, sementara sikap,
pemikiran dan tindakan yang belum tepat harus diperbaiki.
Beberapa manfaat dari refleksi diri menurut subjek adalah lebih dapat
mengenali dan memahami diri sendiri baik dari segi karakter maupun
kecenderungan perilaku, mendapatkan pemahaman baru tentang suatu
hal/peristiwa dari kacamata pandang negatif menjadi positif, mampu menemukan
hambatan-hambatan pribadi yang selama ini tidak disadari, dapat menarik hikmah
atau mendapatkan pembelajaran kehidupan, mendapatkan motivasi untuk
mencoba sesuatu yang lebih baik. Refleksi juga menjadi stimulus yang dapat
memunculkan ide atau insight, serta mengingatkan diri pada Pencipta.
Refleksi yang dilanjutkan dengan niat akan menghasilkan perubahan dalam
diri pelaku. Beberapa hal yang didapatkan adalah adanya pengembangan diri,
penerimaan diri dan hidup seutuhnya, tidak mudah mengulangi kesalahan yang
sama, lebih mampu menghargai hidup dalam suka dan dukanya, mengalami hidup
yang lebih bermakna.

DISKUSI
J awaban dari pertanyaan penelitian yang pertama mengenai gambaran
ketidaksejahteraan psikologis remaja tampak dalam keenam dimensi kesejahteraan
psikologis menurut Ryff (1989). Suryomentaram (J atman, 1997) menjelaskan
bahwa faktor penyebab gangguan kesehatan mental bersumber pada
ketidakmampuan dalam menangkap esensi suatu hal. Sebagai contoh,
ketidakpuasan diri akan fisik disebabkan karena individu meletakkan citra fisik
sebagai hal utama dalam hidup.
Hal ini yang dapat menyebabkan diri tidak sejahtera adalah ketika para
subjek kurang memahami bahwa hidup berisi pengalaman yang menyenangkan




dan tidak menyenangkan. Sehingga mereka tidak siap menerima suatu kesulitan
dalam hidup. Pribadi sehat akan terbentuk manakala seseorang dapat menerima
pengalaman susah dan senang sebagai suatu keutuhan dalam hidup.
Beberapa gejala mental yang tidak sehat seperti yang dikemukakan oleh
Suryomentaram dialami juga oleh beberapa subjek seperti adanya rasa penyesalan
(raos getun) ketika belum mendapatkan apa yang diharapkan, rasa khawatir (raos
sumelang) dalam menghadapi masa kini dan masa depan, iri hati (raos meri
pambegan) ketika membandingkan diri dengan keadaan orang lain (J atman, 1997;
Saadi, 2010)
Ketidakmampuan dalam menerima diri pada beberapa subjek terkait
dengan adanya peristiwa kekerasan dari orangtua sepanjang usianya. Perkataan
kasar, makian, hukuman fisik berupa tamparan, kurungan hingga diikat di pohon
menimbulkan luka batin pada subjek. Rantai kekerasan antargenerasi sering
terjadi. Orangtua yang tidak memiliki kesejahteraan psikologis cenderung
melakukan kekerasan (Anantasari, 2010). Pengalaman, apapun bentuknya,
sesungguhnya adalah suatu ujian kehidupan yang dapat menghasilkan kekayaan
batin yang tak ternilai. Suryomentaram menegaskan bahwa olah rasa terhadap
pengalaman menghasilkan pribadi yang tatag (tabah). Ketika manusia dapat
menanggung semua pengalaman, maka tumbuhlah rasa kaya. (Sunarto, 2004,
Naskah-naskah KAS, 2010).
Dimensi otonomi yang belum optimal tampak dalam karakteristik remaja
yang masih sering terbawa arus, belum mampu bersikap serta cenderung
tergantung kepada orang lain. Konsep Suryomentaram dalam hal ini dengan tegas
menyatakan bahwa untuk menjadi pribadi sehat seseorang harus dapat bebas,
mandiri dalam bersikap, tidak ditentukan oleh orang atau situasi dari luar dirinya.
Individu mencapai kemerdekaan diri dalam menyikapi berbagai tawaran dan situasi




kehidupan. Dalam hal ini, ada tidaknya penghargaan tidak mempengaruhi kinerja
seseorang. Penderitaan yang sangat melukai sekalipun tidak akan mampu
mengubah seseorang atau menurunkan kualitas pribadi dengan menjadi terpuruk
atau menjadi pribadi pendendam. Kebebasan dan ketidaklekatan terhadap apapun
didukung dengan pernyataan Suryomentaram yang menegaskan bahwa di dalam
hidup tidak ada yang perlu diperjuangkan secara mati-matian karena apa yang
dicari itu tidak akan memberikan rasa senang selamanya, atau pun susah
selamanya (Naskah-naskah KAS, 2010).
Pertanyaan penelitian mengenai hasil refleksi para remaja terjawab dalam
gambaran singkat yang menunjukkan adanya pemaknaan terhadap pengalaman
yang dialami. Penelitian difokuskan pada hasil dari olah rasa para subjek.
Olah rasa membuahkan kesadaran akan eksistensi manusia dalam dimensi
horizontal dan vertikal. Dimensi horizontal terwujud dalam perwujudan tindakan
terhadap sesama seperti hasil pemaknaan para subjek. Hasrat untuk hidup
harmonis dengan sesama terungkap dalam contoh pernyataan subjek berikut ini :
Saya percaya bahwa tiap individu adalah unik dan tak tergantikan, sehingga kita
dapat hidup bersama untuk saling melengkapi (Jp, jurnal, 19 Mei, 2010)

Dimensi vertikal dalam temuan ini tampak dari pemaknaan subjek bahwa
Tuhan itu ada, bekerja untuk manusia dan memiliki rencana atas kehidupan yang
berjalan. Dalam hal ini, peneliti menegaskan bahwa dalam pendampingan selama
melakukan refleksi ini, peneliti sekaligus pendamping tidak pernah dengan sengaja
mengarahkan para responden ke arah ke-Tuhanan. Pertama-tama karena
kesadaran bahwa tidak semua orang memiliki kepercayaan penuh akan
keberadaan Pencipta. Kedua, hal ini dimaksudkan lebih membiarkan olah rasa
berjalan secara natural. Hasilnya menunjukkan ketika seseorang telah mau
memasuki ruang batin dan mengalami pergumulan untuk mendapatkan




pengetahuan sejati, di sanalah terdapat celah bagi titik temu antara dimensi
horisontal dan vertikal. Kejelian, kemampuan dan kehendak diri yang memutuskan
apakah seseorang akan melanjutkan olah rasa dalam dimensi vertikal ini.
Kawruh jiwa dan olah rasa membuahkan hasil berupa rumusan niat
tindakan. Para subjek mampu merumuskan niat tindakan dalam berbagai dimensi
yang secara kongkrit dapat dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Niat yang
senantiasa ditumbuhkan dapat menjadi stimulasi bagi lahirnya suatu tindakan.
Refleksi diri dipandang para subjek sebagai media untuk memahami diri
fisik dan non fisik dengan semua pengalaman dalam segala ruang dan waktu.
Pemahaman diri dalam cara pandang Suryomentaram adalah pangawikan pribadi
yakni pengetahuan tentang rasa diri, jati diri yang sesungguhnya. J atman (1997)
menegaskan bahwa orang J awa memaknai rasa sebagai pengecapan, perasaan,
karakter manusia dan pernyataan dari kodrat Illahi, hati nurani.
Remaja, para subjek mengawali refleksi dengan cara meluangkan waktu,
menjauh dari keramaian. Dalam suatu blog Ignasian, yakni suatu spirit dalam
keyakinan Katolik, diungkapkan bahwa pada saat ini manusia terjebak dalam hiruk
pikuk dunia. Orang sibuk menjadi tanda kesuksesan, padahal kesibukan membuat
orang tidak dapat menghayati hidup dan melupakan esensi hidup. Berhenti sejenak
akan memberi ruang dan waktu bagi diri untuk memperbaharui hidup. Oleh
karenanya menumbuhkan kemampuan untuk berhenti dan perlu dilatihkan dan
dibiasakan (Finding God, 2007). Suryomentaram (J atman, 1997) juga menyatakan
bahwa perhatian yang terbagi membuat orang tidak dapat selesai memikirkan
salah satu persoalan.
Mekanisme refleksi diri dilakukan dengan cara mengingat peristiwa yang
dialami, membuat penilaian, menimbang-nimbang, memilah hal baik dan buruk,
serta mencari hikmah dan maknanya. Hal ini selaras dengan pernyataan




Suryomentaram bahwa manusia selayaknya mencari kawruh jiwa, yang dalam
pandangan fenomenologis menjadikan dirinya sendiri menjadi objek dan subjek
penelitian. Setelah seseorang mengalami suatu pengalaman, ia. melakukan
mawas diri, mengolah jiwa dengan metode menggalih, manah manekung ing
ngasepi, semusup ing telenging kalbu, mencapai pambukaking wahana; mencoba
merasakan kembali berdasar prinsip kebenaran, mengolah dengan hati yang
terdalam, berkonsentrasi dengan mata batin, dan memusatkan kehendak untuk
mencari makna yang terdalam dan mendapatkan pencerahan batin yang baru
(Saadi, 2010).
Menimbang-nimbang, memilah dan memilih merupakan tugas tidak mudah.
Seseorang harus cukup rendah hati untuk membuka defence dan mau membiarkan
hati nurani berbicara atas nama kebenaran. Suryomentaram (Sunarto, 2004;
J atman, 2008 dan Saadi, 2010) menyatakan bahwa dalam langkah ini terjadi
peperangan antara kramadangsa dengan segala keakuan diri dengan aku bukan
kramadangsa yakni diri otonom (aku sing madeg pribadi) yang memiliki kesadaran
untuk memilih yang paling hakiki. Mawas diri dalam hal ini tidak hanya melibatkan
laku pikir seperti yang ada dalam tahap kesadaran kramadangsa, akan tetapi
melibatkan laku rasa. Pergulatan nilai-nilai adalah bagian dari diri dan dimiliki oleh
setiap manusia, hanya diaktifkan atau tidak. Pergulatan selalu terjadi dalam ruang
rasa (jiwa) manusia, keduanya selalu kalah dan menang secara bergantian.
Apabila pergulatan sebagai suatu ujian kehidupan ini dapat dilalui,
seseorang akan mendapatkan hidup yang lebih bermakna. Pertanyaan mengapa
aku mengalami hal seperti ini? tidak akan muncul lagi karena individu telah mampu
mengubah pengalaman penderitaan menjadi pelajaran kehidupan yang menjadi
sarana pendewasaan diri secara pribadi dan iman. Dalam hal ini, seseorang harus
selalu memiliki semangat bahwa setelah mengalami suatu ujian hidup, dirinya




harus menjadi pribadi yang lebih baik dari pada sebelum menjumpai pengalaman
tersebut. Dengan demikian perjalanan hidup menjadi sungguh sangat bermakna.
Sebagai catatan tambahan, peneliti menemukan bahwa titik awal refleksi
berbeda-beda pada setiap manusia. Hal ini tergantung kepada konteks yang
melatarbelakanginya, di antaranya adalah nilai-nilai dan sikap hidup yang
melandasinya. Hal ini selaras dengan ungkapan Suryomentaram yang
menyatakan bahwa pencarian pengertian tentang diri, berurutan mulai dari yang
dangkal sampai yang terdalam (Naskah-naskah KAS, 2010). Perbedaan titik awal
tidak menjadi masalah karena pada dasarnya semua akan bergerak ke titik tuju
yang sama, yakni kepenuhan diri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa manfaat refleksi diri dalam pandangan
subjek adalah dapat lebih memahami diri sendiri, mendapatkan pemahaman baru
dari sudut yang berbeda, menemukan hambatan diri, mendapatkan wacana baru.
Berikut contoh terbukanya wacana baru sebagai hasil olah rasa :
Saya tidak akan lagi menguji janji-janji Tuhan untuk memenuhi obsesi
saya, tapi saya akan mengejar mimpi saya sesuai dengan talenta dan kapasitas
yang telah Ia berikan kepada saya (An, wawancara,25 Mei 2010)

Remaja yang menumbuhkan kebiasan untuk merefleksi diri seperti halnya
mengaktifkan suatu alat penelaah dan dan senjata jiwa yang akan menuntun
mereka memilih sikap yang tepat dalam menghadapi hidupnya. Dengan demikian
tidak perlu terjadi suatu keputusan yang salah, tindakan tidak adaptif atau
penyesalan yang terjadi karena terjatuh dalam kesalahan yang sama.
Suryomentaram juga menyatakan bahwa dari proses refleksi diri, seseorang
akan mendapatkan kawruh jiwa yakni pengetahuan mengenai diri. Refleksi yang
meliputi olah rasa ini akan menghasilkan pencerahan batin, pengertian sejati serta
makna kehidupan. Ketika individu membiarkan diri dituntun oleh hasil olah rasa,




individu akan dapat mencapai tataran kebijaksanaan, memiliki kemerdekaan batin,
berjiwa besar, mandiri, kritis, produktif, kaya hati dan pikiran, berguna bagi diri dan
sesamanya, di mana hal ini yang menjadi ciri pribadi sehat, begja (bahagia) dan
sejahtera (Saadi, 2004). Refleksi diri merupakan bagian penting dari transformasi
kesadaran jiwa dari juru catat hingga menjadi manusia tanpa ciri, suatu kondisi
kesehatan mental yang paling hakiki.
Tulisan ini masih jauh dari sempurna. Kerangka konseptual yang
disampaikan perlu disempurnakan, mengingat usaha untuk memahami teori dari
dua paradigma, terutama konsep J awa sangat tidak mudah. Secara metodologis,
tampaknya penelitian ini secara sederhana telah berjalan seperti rencana.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan. Subjek merefleksikan pengalaman sedemikian rupa sehingga
menumbuhkan rumusan niat/tindakan yang poisitif sesuai dengan situasi diri
masing-masing. Subjek memandang refleksi diri sebagai suatu media untuk
temukan diri, dalam konteksnya dengan sesama dan Pencipta. Refleksi diri dapat
membuka cakrawala mengenai ilmu kehidupan. Pengolahan melalui rasa yang
dilakukan membawa pada kedamaian, kekuatan dan semangat yang mengarah
pada suatu niat untuk menyikapi hidup secara bijaksana. Refleksi diri merupakan
sesuatu proses panjang yang harus senantiasa dibangkitkan, dilatih dan dilakukan
dalam segala ruang dan waktu, demi tercapainya kesejahteraan psikologis yang
lebih optimal.
Saran. Berdasarkan pemaknaan para subjek, refleksi diri penting untuk
dilakukan. Oleh karenanya disarankan kepada para guru, orangtua, pendamping
remaja dan setiap pribadi untuk menghidupkan kembali refleksi diri, senjata jiwa
yang terdapat dalam diri setiap insan.




DAFTAR PUSTAKA

Adi, K.(2009). Net Generation. Yogyakarta: Percetakan Kanisus

Anantasari, M.L. (2010). Psychological Well-Being of Parents: One Way on
Preventing Child Maltreatment. Proceedings of The International
Conference Early Childhood and Youth Development. (30-39). Surabaya:
Faculty of Psychology Widya Mandala University

J atman, D. (1997). Psikologi Jawa.Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Naskah-naskah Ki Ageng Suyomentaram. (tanpa tahun). Dipungut 20 J uli 2010,
dari http://ilmubahagia.wordpress.com/naskah-naskah-kas/

Morin, Alain. (2002). Do you self-reflect or self-ruminate ?. Science &
Consciousness Review. No. 1. Dipungut 15 J uli 2010, dari
http://cogprints.org/3788/1/Rumination.pdf

Ryff, C.D. (1989). Happiness is everything, or is it ? Explorations on the meaning of
psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 57,
1069-1081.

________. (2004). The construct validity of Ryffs Scales of psychological well-being
and its extension with spiritual well-being. Personality and Individual
Differences, 36, 629-643

Ryff,C.D. & Keyes, C.L. (1995). The structure of psychological well-being revisited.
Journal of Personality and Social Psychology,69, 719-727

Santrock, J .W. (2006). Adolescence. North America: Tata McGraw-Hill

Trapnell, P.D & Campbell, J .D. (1999). Private self-consciousness and the Five-
Factor Model of Personality: Distinguishing rumination from reflection.
Journal of Personality & Social Psychology, 76(2), 284-304

Sunarto. (2004). Aku Kramadangsa Dalam Eksistensialisme Ki Ageng
Suryomentaram. Dipungut 20 J uli 2010 dari
http://jurnal.dikti.go.id/jurnal/detil/id/0:16810/q/pengarang:%20Sunarto%20/
offset/0/limit/15

Finding God in All Things, A Bridge To Ignatian Spriritualiy: Spirituality. (2007).
Dipungut 15 J uli 2010, dari http://www.ignatiusloyola.net/2007/07/html

Saadi, H. (2010).Nilai Kesehatan Mental Islam Dalam Kawruh J iwa.Suryomentaram.
Disertasi doktor yang tidak diterbitkan. Dipungut 15 J uli 2010, dari
http://www.uin-suka.ac.id/a/kabar-140-.html

Anda mungkin juga menyukai