Masalah Ekonomi : Ekspor dan Impor Beras di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam masalah ini, sebenarnya kita sama-sama mengetahui bahwa negara kita ini merupakan negara yang sangat subur dan yang paling menguntungkan adalah negara kita merupakan negara dengan penghasil komoditi utama yaitu beras. Dalam hal Ekspor dan Impor, ternyata Indonesia dengan segala keunggulan dibidang pertanian khususnya dalam hal komoditi beras, masih membeli (Impor) beras dari negara lain. Pemerintah Indonesia berencana untuk mengimpor 2 juta ton beras tahun 2012 ini. Rencana impor beras oleh itu, untuk memastikan ketersediaan stok beras di dalam negeri. Sebelumnya, Indonesia berniat untuk tidak impor karena ada prediksi kenaikan produksi panen tahun ini. Namun ternyata, panen tahun ini belum mencukupi untuk kebutuhan nasional. Diantara negara yang menjalin kerjasama dengan Indonesia dalam hal impor beras antara lain : Thailand, Vietnam, Kamboja dan Myanmar. Dari negara-negara tersebut, contohnya Myanmar yang bisa mengekspor beras ke Indonesia karena mereka mendapatkan surplus sekitar dua juta ton beras disebabkan oleh konsumsi masyarakat mereka yang rendah. Dalam hal ini, ada beberapa faktor mengapa Indonesia melakukan impor beras dari luar negri sedangkan kita sama-sama mengetahui bahwa negara kita Indonesia ini termasuk negara yang sangat subur. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, kita dapat
mengidentifikasikan masalah sebagai berikut : 1. Mengapa Indonesia masih mengimpor beras dari luar negri sedangkan Indonesia termasuk salah satu negara dengan kontribusi terhadap produksi beras dunia mencapai 8,5%?
1 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
menyebabkan penurunan hasil produksi tanaman tebu, sehingga negara melalukan impor gula. Penyebab impor bahan pangan selanjutnya adalah luas lahan pertanian yang semakin sempit. Terdapat kecenderungan bahwa konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mengalami percepatan. Dari tahun 1981 sampai tahun 1999 terjadi konversi lahan sawah di Jawa seluas 1 Juta Ha di Jawa dan 0,62 juta Ha di luar Jawa. Walaupun dalam periode waktu yang sama dilakukan percetakan sawah seluas 0,52 juta ha di Jawa dan sekitar 2,7 juta Ha di luar pulau Jawa, namun kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa diikuti dengan pengontrolan konversi, tidak mampu membendung peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap beras impor. Ketergantungan impor bahan baku pangan juga disebabkan mahalnya biaya transportasi di Indonesia yang mencapai 34 sen dolar AS per kilometer. Bandingkan dengan negara lain seperti Thailand, China, dan Vietnam yang rata-rata sebesar 22 sen dolar AS per kilometer.
4 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
semakin menambah ketergantungan kita akan produksi pangan luar negeri. Seperti kebijakan dan praktek privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi. Privatisasi, akar dari masalah ini tidak hanya parsial pada aspek impor dan harga seperti yang sering didengungkan oleh pemerintah dan pers. Lebih besar dari itu, ternyata negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan, yakni kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Saat ini di sektor pangan, kita telah tergantung perusahaan oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir notabene panganyang
raksasa.
Privatisasi
sektor
merupakan kebutuhan pokok rakyattentunya tidak sesuai dengan mandat konstitusi RI, yang menyatakan bahwa Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Faktanya, Bulog dijadikan privat, dan industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia jika tidak bekerja menjadi kuli di sektor pangan, pasti menjadi konsumen atau end-user. Privatisasi ini pun berdampak serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya sektor pangan hanya oleh monopoli atau oligopoli (kartel), seperti yang sudah terjadi saat ini. Liberalisasi, disebabkan oleh kebijakan dan praktek yang
menyerahkan urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh
perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO). Akibatnya negara dikooptasi menjadi antek perdagangan bebas. Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat. Market access Indonesia dibuka lebar5 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara serius pembangunan koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Dengan sistem kebijakan dan praktek ini, Indonesia kini tergantung kepada pasar internasional (harga dan tren komoditas). Maka saat terjadi perubahan pola-pola produksi distribusi konsumsi secara
internasional, kita langsung terkena dampaknya. Kasus kedelai 2008 ini sebenarnya bukanlah yang pertama, karena ada kasus-kasus sebelumnya (beras pada tahun 1998, susu pada tahun 2007, dan minyak goreng pada tahun 2007). Hal ini akan sedikit banyak serupa pada beberapa komoditas pangan yang sangat vital bagi rakyat yang masih tergantung pada pasar internasional: beras, kedelai, jagung, gula, singkong dan minyak goreng. Pemecahan Masalah Untuk mengurangi dampak ketergantungan kita akan bahan pangan impor dan menciptakan ketahanan pangan, diperlukan beberapa usaha di antaranya yaitu: 1. Mematok harga dasar pangan yang menguntungkan petani dan konsumen. Harga tidak boleh tergantung kepada harga
berkesinambungan, dengan segera meredistribusikan tanah objek landreform yang bisa segera dipakai untuk pertanian pangan. 6. Menyediakan insentif bagi petani komoditas pangan, terutama bibit, pupuk, teknologi dan kepastian beli. 7. Memperlancar arus distribusi hasil pertanian dengan siklus yang pendek, sehingga dapat tersalurkan ke seluruh penjuru Nusantara dengan harga yang terjangkau sampai ke tangan rakyat. 8. Memberikan dukungan pelembagaan organisasi petani komoditas pangan, yakni kelompok tani, koperasi, dan ormas tani. 9. Menciptakan diversifikasi pangan yang memiliki nilai gizi yang setara dengan beras dan ekonomis terjangkau oleh rakyat. Sehingga rakyat tidak selalu bergantung pada ketersediaan beras. Hal ini dapat dijalankan bersamaan dengan menggali potensi tanaman tradisional (lokal) yang sudah terbiasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat.
tanaman semusim lainnya. Mengapa Impor ? Pertama, bulog mengklaim bahwa mereka mengimpor dengan tujuan mengamankan stok beras dalam negeri. Bulog berargumen bahwa data produksi oleh BPS tidak bisa dijadikan pijakan sepenuhnya. Perhitungan produksi beras yang merupakan kerjasama antara BPS dan Kementrian Pertanian ini masih diragukan keakuratannya, terutama metode perhitungan luas panen yang dilakukan oleh Dinas Pertanian yang megandalkan metode pandangan mata. Selanjutnya, data konsumsi beras juga diperkirakan kurang akurat. Data ini kemungkinan besar merupakan data yang underestimate atau overestimate. Angka konsumsi beras sebesar 139 kg/kapita/tahun sebenarnya bukan angka resmi dari BPS. Jika merujuk pada data BPS yang didasarkan pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), konsumsi beras pada tahun ini mencapai 102 kg/kapita/tahun. Angka ini underestimate, karena SUSENAS memang tidak dirancang untuk menghitung nilai konsumsi beras nasional. Sebenarnya kebijakan impor beras ini juga bisa menjadi tantangan tersendiri bagi petani untuk meningkatkan produksi dan kualitas beras. Para petani dituntut untuk berproduksi bukan hanya mengandalkan kuantitas tetapi juga kualitas. Tentunya hal ini sedikit sulit terjadi tanpa adanya dukungan dari pemerintah. Hal ini dikarenakan petani lokal relatif tertinggal dari petani luar negeri terutama dalam bidang teknologi. Pemerintah harus memberi kepastian jaminan pasar sebagai peluang
8 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
Selanjutnya, impor beras yang terjadi di tengah produksi berlebih menurut data BPS sekarang ini memiliki dampak negatif yang panjang, seperti berkurangnya devisa negara, disinsentif terhadap petani, serta hilangnya sumber daya yang telah terpakai dan beras yang tidak dikonsumsi dan terserap oleh bulog.
komprehensif dari hulu ke hilir agar tidak harus selalu bergantung pada impor. Akan tetapi, kebijakan untuk mengimpor beras dengan alasan pengamanan stok oleh Bulog ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan. Hal ini dikarenakan data produksi dan data konsumsi beras yang masih diragukan keakuratan dalam perhitungannya. Pada akhirnya, tugas bagi berbagai pihak yang terkait adalah memperbaiki kinerja masingmasing. BPS diharapkan dapat memberikan data yang lebih akurat lagi. Akan tetapi, diperlukan juga kebijaksanaan oleh Bulog agar setiap kebijakan yang diambil tidak merugikan petani lokal yang
kesejahteraannya masih rendah tanpa mengorbankan ketahanan pangan Indonesia. B. Saran Berdasarkan pemaparan masalah diatas, saya menyarakan
pemerintah khususnya BULOG untuk lebih memperhatikan dan merealisasikan manajemen stok yang lebih baik serta memaksimalkan
10 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
Kedelai: Kenapa baru ribut sekarang? Polemik mengenai irasionalitas harga kacang kedelai
menyebabkan efek tumpah pada sektor-sektor dunia usaha Indonesia sehingga pasar usaha yang menggunakan kedelai sebagai bahan baku utama terancam membatasi usahanya. Kedelai telah membuat para penjual tahu dan tempe patah semangat. Akibatnya, lagi-lagi pemerintah Indonesia harus mengimpor. Indonesia harus mengimpor kedelai lagi untuk menutupi pasokan konsumsi yang defisit, sehingga harga pasar kedelai dapat ditekan menjadi normal. Ada hal yang menarik sekaligus menggelikan dari Si Kedelai ini, kenapa baru diributkan sekarang ketersediaan pasokan kedelai? Mari melihat sejarah kedelai di Indonesia, komoditas kedelai merupakan komoditas pangan yang vital bagi Indonesia. Sekitar 94% pemanfaatan kedelai Indonesia digunakan hanya untuk pembuatan bahan pangan, baik yang difermentasi kembali seperti tempe, oncom, tauco, kecap ataupun yang tidak difermentasi kembali seperti tahu, susu kedelai, minyak kedelai atau makanan ringan (Swastika, 2005). Melihat pentingnya kedelai bagi Indonesia seharusnya pasokan konsumsi kedelai wajib dipenuhi. Namun alih-alih mencapai swasembada kedelai, harapan untuk meningkatkan produksi kedelai justru memberikan hasil sebaliknya. Pada kenyataannya Indonesia telah melakukan impor kedelai sejak tahun 1975 untuk memenuhi konsumsi dalam negeri (Tani, 2006). Meskipun pada periode 1970 hingga 1980 jumlah impor kedelai Indonesia masih terhitung sedikit yaitu hanya berkisar 150.000 ton 200.000 ton kedelai, namun ternyata impor kedelai pada periode berikutnya terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1980 hingga 1990, impor kedelai meningkat jumlahnya mencapai 500.000 800.000 ton per tahun. Pada tahun 19902000, impor kedelai meningkat kembali pada angka 900.000 ton
14 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
peningkatan produksi melalui peningkatan perluasan lahan pertanian kedelai dan peningkatan produktifitas lahan (Supadi, 2009). Dengan kata lain sebagai perbandingan, luas lahan pertanian kedelai pada tahun 1975 mencapai 768.000 hektar yang mampu memproduksi 589.000 ton kedelai,
pertumbuhan laju penduduk dan pada saat yang bersamaan juga terjadi berkurangnya luas lahan pertanian kedelai, maka tendensi yang terjadi adalah dalam jangka panjang Indonesia tidak akan bisa melepaskan diri dari defisit produksi kedelai untuk dapat secara mandiri menyediakan kedelai bagi konsumsi dalam negeri. Dengan kata lain, Indonesia akan terperangkap pada kebijakan impor kedelai.
Gambar 01. Grafik Komsumsi, Produksi dan Impor Kedelai Sumber : Badan Pusat Statistik 2012, Sumber Tani (Diolah)
Apa Indonesia Terperangkap Pada Kebijakan Impor Kedelai ? Wacana untuk memenuhi pasokan konsumsi kedelai dalam negeri memang menjadi bahan evaluasi pemerintahan presiden SBY sejak
16 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
(Pertanian, 2005). Berdasarkan dengan pemahaman definitif mengenai ketahanan pangan menurut Departemen Pertanian dimana kedelai juga termasuk dalam hal ini maka jelas terlihat bahwa memang sebenarnya ketahanan pangan Indonesia dalam komoditas kedelai berada dalam keadaan yang rapuh karena ketersediaan kedelai dari tahun ke tahun
17 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
ketergantungan yang dimensinya tidak hanya sebatas ekonomi dalam pada komoditas kedelai. Menurut studi yang dilakukan oleh Tim Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, dijelaskan bahwa Impor kedelai Indonesia terhadap Amerika Serikat telah dimulai sejak tahun 1981 dengan jumlah 360.000 ton kedelai dan mengambil volume impor dengan presentase sebesar 94% dari total keseluruhan impor kedelai (Pusat Palawija, 1983). Indonesia menjadi salah satu tujuan ekspor penting kedelai Amerika Serikat karena volume ekspor yang terus meningkat dan menempati posisi kedua terbesar pangsa ekspor Amerika Serikat setelah Uni Eropa (Agriculture, 2012). Oleh karena itu, Amerika Serikat adalah pemain penting bagi ketersediaan kedelai dalam negeri di Indonesia. Selain Amerika Serikat, Indonesia juga melakukan impor kedelai dengan negara lain seperti Argentina, Kanada, Afrika Selatan dan Malaysia (Mae, 2012). Pada tahun 1999, terjadi Peningkatan yang signifikan dalam sejarah impor kedelai Indonesia akibat peningkatan jumlah konsumsi dan juga penurunan area lahan pertanian kedelai bahkan setelahnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 1999 tingkat
18 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
liberalisasi seperti Agreement on Agricultural WTO tahun 1995 dan juga Letter of Intent IMF ketika Indonesia menghadapi krisis ekonomi tahun 1998. Presiden kita harus mengerti masalah pertanian yang lebih nyata, beliau adalah Doktor Pertanian lulusan IPB, malu kalau tidak mengerti pertanian. Permasalahan mengenai kecenderungan impor kedelai
sebetulnya bukan persoalan baru dan identifikasi masalah dan penyebab akan ketergantungan pun sudah diketahui. Persoalan utama terkait ketergantung impor kedelai terletak pada kemauan pemerintah untuk menyelesaikannya (Political Will). Terlihat sekali bahwa keinginan secara politik pemerintah itu tidak ada. Rektor IPB Prof. Herry Suhardiyanto bahkan sangat menyayangkan hal demikian. Kata beliau, IPB telah memberikan sumbangsih melalui inovasi teknologi untuk dunia pertanian. Tetapi pemerintah mengabaikan Pada 2015, diperkirakan penduduk dunia mencapai 9 Milyar populasi, maka perlu juga penyediaan pangan yang memadai, termasuk juga kedelai. Indonesia mau tetap terjebak impor atau memanfaatkan peluang ini untuk menjadi pemain dalam komoditas pangan dunia. Jawabannya mungkin ada di Presiden SBY dan juga hasil pemilu 2014 nanti.
Larang, atau Izinkan Impor Garam? Era globalisasi membawa gelombang perubahan dinamis dengan daya paksa tinggi. Mau tidak mau setiap negara dituntut untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan itu. Siapa yang tidak dapat beradaptasi, ia akan dihantam oleh gelombang perubahan itu sendiri. Dunia berubah seiring waktu yang berjalan, negara-negara saling bergantian memasuki fase yang berbeda dalam gelombang konjungtur ekonomi. Silih berganti dari masa ke masa, dari negara satu ke negara lain. Pada era sebelumnya, sebuah negara sangat dimungkinan dapat membatasi jumlah barang dan jasa impor dari luar negeri dengan cara pengenaan pajak, kuota impor, bea dan cukai, maupun dengan peraturan lain. Namun kini, ketika era pasar bebas dimulai, batasan antar negara yang dulunya ada kini seolah menjadi lenyap. Batas itu hanyalah sebagai batas teritori hukum, dimana pada realitanya batas itu tidak ada. Orang, barang, dan jasa dari suatu negara dapat dengan mudahnya berpindah dari satu negara ke negara lain. Beberapa waktu lalu, Presiden SBY selaku pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi menyetujui kebijakan legalisasi impor garam. Reaksi yang berlebihan muncul dikalangan DPR. Mereka menyatakan bahwa hal tersebut akan mematikan petani-petani garam lokal. Sebagai imbas dari orasi salah satu anggota DPR tersebut, para grassroot perekonomian Indonesia yang terdiri dari rakyat kecil dan petani garam terhantam gelombang ketakutan yang sebetulnya tidak perlu ditakutkan. Anggota DPR dengan argumennya yang meyakinkannamun tanpa dasar berusaha meyakinkan ribuan rakyat Indonesia bahwa seharusnya presiden tindak membiarkan garam produksi luar negeri masuk ke Indonesia. Salah satu stasiun televisi swasta tanpa mempedulikan
netralitasnya sebagai insan jurnalis, terpengaruh opini DPR dan turut serta
22 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
kebijakan kontroversial ini. Menyoal Kebijakan Impor Dalam arus perdagangan internasional, pemerintah sebagai pelaku ekonomi dan keuangan publik harus mengambil kebijakan-kebijakan tertentu. Adakalanya kebijakan-kebijakan publik tersebut begitu sukar diputuskan karena adanya trade-off: kesejahteraan rakyat atau
pertumbuhan ekonomi. Dan biasanya keputusan yang diambil adalah opsi yang mengandung eksternalitas negatif paling minimum. Era globalisasi dan pasar bebas memungkinkan suatu negara dengan mudah menjual produksi barang dan jasanya di negara lain (impor). Pada awalnya maksud dari ekspor-impor adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dikarenakan barang yang dibutuhkan tidak dapat diproduksi secara mandiri tidak di negara tersebut. Hingga saat ini, masih ada beberapa kebijakan pemerintah yang dapat dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekspor impor, misalnya saja kuota impor, kuota ekspor, subsidi ekspor, tarif impor, tarif ekspor, premi, diskriminasi harga, larangan impor, larangan ekspor, maupun politik dumping. Sayangnya, jika kondisi perekonomian dunia mencapai keadaan yang diidamkan kaum kapitaliskondisi dunia dimana pasar benar-benar bebas dan murni persaingan sempurnamaka kebijakan seperti larangan impor-ekspor tidak akan dapat dilakukan lagi. Kondisi itu tercermin dalam sebuah perjanjian internasional yakni GATT atau General Agreement on
23 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
Gambar 02. Petani Garam Manfaat dari ekspor impor ini adalah, negara kita dapat memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri, memperoleh keuntungan dari spesialisasi, memperluas pasar dan menambah keuntungan, serta sebagai sarana untuk transfer teknologi modern dari negara maju ke negara berkembang. Kegiatan ekspor-impor ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, yakni dengan cara biasa, barter, konsinyasi, package deal, maupun penyelundupan. Selain manfaat, kegiatan ekspor impor ini juga memiliki sisi negatif misalnya saja masalah pengangkutan dan pengiriman dari produsen-produsen di Indonesia yang tersebar, masalah pembiayaan rupiah dimana kurs sangat mempengaruhi daya beli negara, dan masalah keamanan saat sortasi dan up-grading di pelabuhan. Larangan impor garam, benarkah baik? Dalam ilmu ekonomi maupun hubungan internasional, sebuah negara memang tidak mungkin terlepas dari negara lain. Negara dapat diumpamakan layaknya manusia, ia berlaku sebagai homo social. Seorang individu tidak akan bisa bertahan hidu tanpa kehadiran dan bantuan individu yang lain. Bagitu juga dengan negara, sebuah negara tidak akan dapat bertahan jika ia bersikeras menolak interaksi dengan negara lain.
Pemerintah perlu menggenjot produksi garam dalam negeri dan meningkatkan kualitasnya sehingga dapat bersaing dengan garam impor.
b.
Impor pada waktu yang tepat dengan menghindari mengimpor garam saat musim panen.
c.
Pemerintah
juga
sebaiknya
melibatkan
petani
garam
dalam
pengambilan keputusan.
masyarakatnya maka mau tidak mau negara tersebut harus mengimpor garam dari negara lain. Hal inilah yang dialami oleh negara kita. Sangat memalukan jika dikatakan bahwa negara kita dapat menghasilkan garam tetapi tetap saja kita mengimpor garam dari luar negeri. Pemerintah sangat mudah mengatakan atau memutuskan untuk mengimpor garam tanpa melihat keadaan petani garam dinegara kita. Upaya pemerintah tidak maksimal dalam memimpin petaninya untuk memproduksi garam dengan kualitas yang maksimal. Pemerintah juga tidak dapat menghentikan impor garam karena akan menimbulkan pasar gelap yang dapat merugikan pemerintah sendiri. Seharusnya pemerintah membuat petani untuk semangat dalam memproduksi garam dengan kualitas yang baik sehingga walaupun dilakukan impor garam tetap garam dalam negeri yang dijual kepada masyarakat. Solusi yang ditawarkan diatas dapat dilakukan oleh pemerintah yaitu menghindari impor saat petani panen. Kiranya pemerintah dapat melihat kapan waktu yang tepat untuk mengimpor garam yang artinya saat garam mulai langka di Indonesia berulah pemerintah melakukan impor garam.
(101,69) pada September 2008. Pada Oktober 2008, NTP turun ke level 99,2 dan turun terus; NTP mencapai titik terendah pada level 98,99 pada Januari 2009. Meskipun sejak Januari 2009 NTP merambat naik, data bulan Juni menunjukkan bahwa NTP belum mencapai level 100. Data per komoditas (Gambar 2) memperlihatkan penurunan NTP yang cukup tajam untuk tanaman perkebunan rakyat dan hortikultura.
Gambar 03. Nilai Tukar Petani Dampak terhadap Subsektor Perkebunan Kelapa Sawit Kelapa sawit merupakan primadona komoditas ekspor subsektor perkebunan Indonesia. Sebagian besar areal perkebunan kelapa sawit berada di seluruh provinsi di Sumatra dan Kalimantan, dan sebagian berada di Papua. Total lahan perkebunan sawit Indonesia mencapai 7,1 juta ha. Sekitar 60% areal tersebut berada di Sumatra (4,8 juta ha) dan sisanya berada di Kalimantan dan Papua. Saat KKG 2008/09 melanda dunia, permintaan ekspor minyak sawit turun drastis dan harga minyak sawit mentah (CPO) dan tandan buah segar (TBS) sawit menurun tajam. Sebelum krisis, harga CPO dapat mencapai US$1.400 per metrik ton, namun pada saat krisis, harga CPO hanya berkisar antara US$400US$500 per metrik ton. Demikian pula halnya dengan harga TBS sawit. Sebelum krisis, harga di tingkat petani berkisar antara Rp1.500Rp2.000 per kg, tetapi selama krisis ini, harga TBS sawit hanya Rp350Rp500 per kg. Padahal, bila harga TBS Rp500 per kg, setelah dikurangi ongkos dan biaya-biaya lain, keuntungan petani hanya Rp150 per kg. Dari semua petani sawit, petani nonplasmalah yang paling merasakan dampak krisis karena buah sawit mereka dihargai lebih rendah dari buah sawit petani plasma dan tidak ada yang menjamin
30 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
Ekspor produk turunan sawit, seperti minyak oleochemical, juga turun 50%. Akibat KKG 2008/09, petani sawit dan pedagang pengumpul di Provinsi Riau tidak dapat mengembalikan kredit investasi dan modal kerja, serta kredit cicilan motor. Menurut data Bank Indonesia Riau, sebanyak 11.304 petani sawit dengan total kredit Rp335 miliar bermasalah dengan pengembalian kreditnya. Selain itu, 543 dari 4.500 sepeda motor kreditan ditarik karena kredit macet (86% pengkredit sepeda motor adalah petani sawit). Bank Indonesia Riau juga
mencatat bahwa 104.000 keluarga petani plasma dan 174.978 keluarga petani nonplasma menghadapi kesulitan membayar utangnya ke Sumatra Utara,
bank yang besarnya mencapai Rp1,2 triliun. Di turunnya harga sawit dan
tanamannya sehingga produksinya menurun. Untuk bertahan hidup selama krisis, banyak petani sawit menjadi buruh di kebun orang lain. Mereka berusaha mengangsur kredit dengan penghasilan dari hasil kebun lainnya, seperti padi, karet, kakao, atau kopi; atau dengan bergotong royong dengan saudara atau tetangganya. Di tingkat pengusaha, sebagian menunda perluasan kebun dan
berupaya membantu dengan mengurangi pajak ekspor CPO pada November menjadi 0%; menetapkan bea masuk 0% bagi bahan baku impor produksi hilir yang sebagian berbahan CPO; mewajibkan sektor transportasi, industri, dan pembangkit tenaga listrik untuk
menggunakan bahan baku nabati (CPO) sebesar 5%; dan mewajibkan peremajaan tanaman tua. Pada semester I 2009, harga TBS sawit dan minyak sawit mulai meningkat, antara lain, karena naiknya harga minyak dunia, kegagalan panen kedeleyang merupakan salah satu bahan baku biofueldi Amerika Serikat, meningkatnya pembelian cadangan CPO Cina, dan kebijakan wajib mencampur biofuel sebanyak 5% dengan BBM di Indonesia dan Malaysia. Pada Juni 2009, harga TBS sawit di Sumatra Selatan naik menjadi Rp1.484,58 per kg. Pada triwulan II 2009, harga CPO dunia sudah meningkat menjadi US$750 per metrik ton. Karet Karet termasuk komoditas utama perkebunan Indonesia setelah kelapa sawit. Turunnya tingkat penjualan mobil di AS sangat
berpengaruh terhadap permintaan karet dunia karena sebagian besar karet merupakan bahan mentah bagi produksi pendukung automotif. Pada Juni 2008, harga karet dunia masih 329,75 sen AS per kg. Pada September 2008, harga karet turun menjadi 280,5 sen AS per kg, kemudian turun lagi menjadi 152 sen AS per kg pada Oktober 2008, dan menyentuh level 120 sen AS per kg pada Desember 2008. Penurunan harga karet dunia mengakibatkan permintaan dan harga karet Indonesia turun secara tajam. Di Sumatra Barat, Sumatra Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan, harga lump (gumpalan) karet turun dari Rp9.000Rp13.000 per kg menjadi Rp2.000Rp4.000 per kg. Di Sukabumi, Jawa Barat, harga lump karet turun dari Rp7.000 per kg sebelum krisis menjadi Rp3.000 per kg.
32 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
beroperasi akibat kekurangan bahan baku. Petani karet juga tidak mampu membeli pupuk dan
pendapatannya berkurang 50%. Petani karet di Banyuasin, Sumatra Selatan, misalnya, mengatakan bahwa sejak Oktober 2008, pendapatan mereka dari empat hektare kebun karet hanya 23 juta rupiah per bulan, padahal sebelumnya bisa mencapai 56 juta rupiah per bulan. Bahkan sebagian petani karet di Banyuasin menjual murah kebun karet mereka seharga sekitar 30 juta rupiah per bidang atau hektare. Padahal harga normalnya berkisar antara 4560 juta rupiah. Selain itu, banyak petani karet menunggak pembayaran utang di koperasi dan cicilan sepeda motor, seperti yang terjadi pada 90 petani karet di Muaro Jambi. Setelah berhenti menyadap karet saat krisis, petani karet beralih mengurus tanaman lain yang lebih menguntungkan atau menjadi buruh di kebun orang lain. Pengepul karet mengurangi pembelian karet atau menjual karet bersih yang harganya lebih mahal dari lump karet. Saat krisis, peremajaan tanaman karet tertunda dan Pemerintah Pusat mengeluarkan aturan untuk tidak membuka kebun baru serta
mengoordinasi pemasaran karet dengan negara penghasil karet lainnya seperti Malaysia dan Thailand. Seiring makin stabilnya harga minyak dunia pada awal hingga pertengahan 2009, terjadi beberapa kali perubahan harga karet. Pada Januari 2009, harga karet naik dari Rp3.500 per kg menjadi Rp4.000 per kg dan naik lagi menjadi Rp5.000 per kg setelah itu sehingga pada Juni
33 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
permintaan dan harga kopi dunia menurun sehingga permintaan ekspor dan harga kopi di Indonesia pun menurun. Harga kopi di pasar internasional turun dari US$3.800 per metrik ton sebelum krisis menjadi US$3.200 per metrik ton. Selama krisis, permintaan ekspor kopi dari Jawa Timur menurun sampai 25%30% dan harga kopi turun dari Rp18.000 per kg menjadi Rp16.000 per kg. Demikian pula halnya di Bandar Lampung. Mulai
September 2008, harga kopi asalan di tingkat petani turun drastis dari Rp25.000 per kg menjadi Rp16.000 per kg. Di Sumatra Selatan, harga kopi turun dari harga normal Rp15.000 per kg menjadi Rp11.000 per kg. Sebanyak 90% produk kopi Sumatra Selatan diekspor melalui Lampung. Karena ekspor kopi sedang lesu, gudang-gudang kopi Lampung penuh dengan kopi dari Sumatra Selatan. Turunnya harga kopi juga
membuat sebagian besar dari sekitar 400 pengekspor kopi di Sumatra Utara (Sumut) yang terdaftar di Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia
(AEKI) gulung tikar. Oleh karenanya, pada pertengahan 2009, hanya ada 60 pengekspor kopi yang masih aktif. Kerugian pengekspor
kopi di Sumut terutama dipicu oleh pembelian kopi saat harga di tingkat petani masih cukup tinggi jauh hari sebelum KKG 2008/09. Pengekspor kopi arabika di Sumut menjadi kelompok yang paling terpukul karena turunnya permintaan ekspor kopi ke AS. Kakao Indonesia termasuk produsen utama kakao setelah Pantai Gading dan Ghana. Menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun), luas perkebunan kakao di Indonesia pada 2008 mencapai 1.592.932 ha, dengan produksi biji kakao sebanyak 849.875 ton. Harga rata-rata biji kakao yang tercatat di Ditjenbun pada 2008 adalah Rp15.136 per kg dan pada 2009
34 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
hanya tercatat 37.204,429 ton pada periode yang sama pada 2009. Sepanjang 2009, 12 dari 14 pabrik penggilingan biji kakao yang ada di Indonesia menghentikan produksinya; bahkan 4 di antaranya sudah tutup. Hanya tinggal dua pabrik penggilingan biji kakaoyang memproduksi cocoa powder dan cocoa butteryang masih beroperasi. Satu pabrik berlokasi di Tangerang dan satu lainnya di Bandung; total kapasitas produksi keduanya adalah 100.000 ton per tahun. Turunnya aktivitas pabrikpabrik tersebut disebabkan oleh permintaan ekspor produk kakao di pasar AS dan Eropa yang terus menurun, harga ekspor produk kakao yang juga turun, dan cash flow (aliran dana) pabrik yang terhambat akibat waktu pembayaran yang lebih panjang dari biasanya (dari 10 hari menjadi 11,5 bulan). Kopra Merosotnya harga minyak dunia pada triwulan IV 2008 juga berimbas pada harga kopra. Di Padang Pariaman, Sumatra Barat, harga kopra merosot dari Rp8.000 per kg menjadi Rp4.200 per kg. Karena harga kelapa yang menjadi bahan baku kopra tetap stabil, pengusaha kopra tidak mendapat untung. Di Jambi, dilaporkan bahwa penurunan harga kopra sudah terjadi sejak akhir 2008. Harga kopra yang semula Rp7.000 per kg turun menjadi Rp3.600 per kg. Tidak seperti di Padang Pariaman, harga kelapa butir di Jambi ikut turun dari Rp1.500 per butir menjadi Rp700 per butir. Untuk menambah penghasilan, petani kopra memanfaatkan batok kelapa untuk diolah menjadi arang batok yang bisa di jual kepada pedagang pengepul dengan harga Rp1.200 / kg. Arang batok ini sangat diminati oleh perusahaan-perusahaan di Malaysia. Selain itu, sebagian petani kopra mengalihkan usahanya ke kegiatan memanen pinang yang banyak ditanam di Jambi. Harga pinang di tingkat petani cukup baik dan stabil di tingkat
35 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
sebanyak 3.600 ton jagung pipil siap dikapalkan ke Filipina dengan nilai transaksi sebesar Rp4,4 miliar. Pada 2008, dari sekitar 500.000 ton produksi jagung Gorontalo, sebanyak 177.182 ton dipasarkan ke luar Gorontalo: 79.385 ton diekspor ke Malaysia, Filipina, dan Korea Selatan; dan sisanya dipasarkan ke Surabaya, Jakarta, dan Medan.
Gambar 04. Turunnya permintaan produk kakao dari AS dan Eropa berimbas pada subsektor perkebunan kakao di Indonesia Singkong Laporan mengenai dampak krisis terhadap komoditas singkong yang
36 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
bahan-bahan
makanan di pasar swalayan mulai dari margarin sampai pizza siap saji mengandung minyak kelapa sawit, yang dalam daftar kandungan biasanya disamarkan dengan nama minyak nabati. Bahkan saat membeli lipstik, sabun cuci atau lak, banyak
konsumen yang tidak sadar, bahwa semua itu mengandung minyak kelapa sawit. Di samping itu, minyak kelapa sawit juga
dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit tenaga listrik atau diolah menjadi biodiesel untuk kendaraan.
minyak nabati di seluruh dunia meningkat tiga kali lipat. Diantara komoditas utama minyak nabati, minyak kelapa sawit meraih tingkat pertumbuhan paling tinggi: jauh
produksinya
mencapai hingga sepuluh kali lipat, sehingga besarnya jumlah konsumsi minyak kelapa sawit diantara minyak nabati lainnya telah mencapai 34 persen yang tadinya hanya 11 persen. Bahkan kalau produksi minyak biji sawit ikut dihitung, maka Minyak kelapa
2010:7).
atas dari perasan biji sawitnya yang disebut dengan minyak biji sawit.
Gambar 05. Produksi Minyak Nabati Perlu Perawatan Khusus Aslinya tumbuhan kelapa sawit berasal dari Afrika.
Namun sekarang kelapa sawit juga sudah banyak ditanam di Amerika dan terutama di Asia Tenggara. Tumbuhan kelapa sawit membutuhkan iklim lembab tropis dan dapat menghasilkan
41 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
Investasi yang diperlukan untuk satu hektar lahan kelapa sawit hingga perolehan panen pertamanya berkisar antara 4000 8000 USD (USDA 2009; World Bank 2010: 28). Faktor-faktor seperti kualitas dan umur pohon kelapa sawit, perawatan perkebunan, ketersediaan pupuk dan obat semprot sangat menentukan jumlah panen. Hasil panen minyak dari dua negara penanam kelapa sawit terbesar yaitu Malaysia dan Indonesia masing-masing pertahun 4,1 ton / hektar dan 3,5 ton / hektar. Para ahli bahkan menaksir sampai 8 ton minyak per
hektar (Teoh 2010: 25; USDA 2009). Dengan demikian jumlah panennya jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil
panen tumbuhan lain yang juga menghasilkan minyak. Berdasarkan perkiraan, pohon kelapa sawit ditanam hanya pada areal seluas 5 penghasil persen dari minyak keseluruhan nabati areal untuk tumbuhan tetapi mampu
lainnya,
menghasilkan produksi sejumlah 38 persen dari total panen minyak nabati di seluruh dunia (Nestl 2010). Tabel 1: Produksi minyak (hasil panen dalam kilogram per hektar) Kelapa sawit 3.500 Lobak (rapa) 1.0 8.000 Kacang tanah 98 00 Bunya matahari 80 0 Kelapa 39 0 Kacang kedelai 37 5 Kapas 17 5 Wijen 15 3 Sumber: CIFOR 2009: 11 / USDA 2009 9
42 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
menanam kelapa sawit pada lahan seluas kira- kira hektar. Organisasi-organisasi non-pemerintah
perkebunan di Malaysia mencapai 4,7 juta hektar pada akhir tahun 2009 (Husain 2010). Indonesia melonjak naik menjadi
produsen ekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Pada musim panen 2009/10 negara kepulauan ini menghasilkan 21 juta ton minyak kelapa sawit, yaitu hampir separuh dari produksi minyak kelapa sawit Sebanyak 18 juta dunia yang ton lainnya berjumlah 45 juta ton.
buah kelapa sawit, pada tahun panen 2009/10 juga terhitung 5,3 juta ton minyak biji sawit yaitu minyak dari perasan biji sawit yang masuk ke pasar dunia. Indonesia mendominasi pasar ini dengan 2,3 juta ton produksi, disusul Malaysia dengan angka 2,1 juta ton (USDA 2010a; Toepfer 2009: 35). Lebih dari 90 persen ekspor dunia berasal dari Malaysia dan Indonesia. Patut diamati bahwa Indonesia mengalami luar biasa antara tahun 2003 dan
2010 yaitu berlipat ganda menjadi 16,2 juta ton (musim panen 2009 / 2010) dan berdasarkan perkiraan akan terus meningkat (Tabel 2). Tabel 2: Ekspor Minyak kelapa sawit (dalam 1000 ton) Dunia Indonesi Malaysia a 1982 4.536 84 435 2.981 1992 10.11 94 1.815 3 6.291 2003 / 21.610 04 7.856 11.602 1 37.44 2010 / 18.00 0 11 16.10 0 0
sebab meningkatnya
kelapa sawit
beragam. Mulai dari penggunaannya untuk kebutuhan rumah tangga seperti minyak goreng dan lemak, sampai
penggunaannya dalam produk-produk industri seperti margarin, kue-kue kering, gula-gula, produk sereal, delikates dan
mayones. Lebih lanjut, minyak kelapa sawit dipakai dalam industri-industri kimia untuk mem- produksi cat, sabun, sabun cuci, produk-produk farmasi, minyak pelumas hidrolis dan minyak
hingga peng- gunaannya sebagai bahan bakar. Pada digerakkan oleh bahan bakar minyak
minyak nabati, maka tergantung dari kelapa sawit melakukan kendaraan yang banyak yang
modelnya, ada
mengunakan
hanya dapat dipakai dalam jumlah kecil saja di dalam biodiesel. 71 persen dari dipergunakan minyak kelapa sawit dalam produksi dan minyak biji sawit makanan, 24
bahan-bahan
persen untuk memproduksi barang kebutuhan sehari- hari seperti sabun, kosmetik, lilin dan sebagainya, dan sisanya 5
persen digunakan untuk menghasilkan energi (Agentur fr Erneuerbare Energie 2010: 20). Di negara-negara Uni Eropa besarnya tingkat penggunaan minyak kelapa sawit untuk keperluan industri berjumlah sekitar 45 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah rata-rata
kelapa sawit dalam industri sebesar 35 persen. Sedangkan di India dan 24 28). Lebih dari separuh impor dunia masuk ke negara-negara seperti Cina, India, Uni Eropa dan Pakistan. Cina dan India di Timur Tengah, minyak kelapa sawit terutama
masing-masing mengimpor minyak kelapa sawit sebesar 6,3 juta ton dan 7,6 juta ton (2010 / 2011), melebihi angka impor untuk 27 negara-negara Uni Eropa yang hanya berjumlah 5,4 juta ton.
Sejak tahun 2003 angka impor ke negara-negara tersebut terus naik melampaui angka impor ke negara-negara Uni Eropa. Tabel 3: Impor minyak kelapa sawit dalam 1.000 ton 1982 1992 2003 2010 / 111 84 94 / 04 Dunia 4.3 9.4 21.7 36.7 India 62 23 3.4 7.6 36 89 33 70 Cina 3 1.2 3.7 6.2 8 7 86 00 Uni Eropa 840 1.66 3.3 5.4 2 96 10 50 Pakistan 38 1.0 1.2 2.3 71 00 2 83 Malaysia tidak ada tidak ada tidak ada 1.2 1 51 97 00 Amerika Serikat tidak ada tidak ada tidak ada 1.0 data data data 50 Bangladesh tidak ada tidak ada tidak ada 90 data data data 25 Mesir tidak ada tidak ada tidak ada 85 data data data 0 Iran tidak ada tidak ada tidak ada 62 data data data 0 Jepang tidak ada tidak ada tidak ada 58 data data data 0 Lain lain tidak ada tidak ada tidak ada 9.9 data data data 0 1 Perkiraan; 2 dulu 10 negara anggota Uni Eropa; 3 15 negara anggota Uni Eropa data data data 95 Masalah yang kompleks di Indonesia Pada tahun 2008 tercatat sekitar 1,5 juta menanam kelapa sawit petani kecil di
Indonesia yang
rata-rata hanya seluas 2 hektar. Sebagai bandingan, besarnya lahan yang dimiliki para pengusaha besar perkebunan dapat mencapai lebih dari 200.000 hektar (World Bank 2010: 14 23, USDA 2009). Sejumlah pemilik modal utama dari
45 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
perusahaan-
semakin meluasnya
lahan perkebunan di Indonesia (FoE / Walhi 2009; EIA / Telepak 2009; Greenpeace 2010). Hukum lemah Sebenarnya hutan Indonesia dilindungi. Tetapi pemerin- tah mengizinkan perkebunan. penebangan Hal ini hutan untuk dengan keperluan baik oleh hutan,
menebangi
perkebunan.
Diperkirakan hampir
2010:14). Selalu saja terjadi pelanggaran hukum di lokasi-lokasi perkebunan kelapa sawit. Dalam 25 tahun terakhir ini, propinsi Riau di Sumatra kehilangan areal persen untuk hutannya sebesar 65 atau
perkebunan akasia. Penebangan hutan bahkan juga terjadi di tempat-tempat yang sebenarnya termasuk dalam kawasan hutan lindung (WBGU 2008: 81). Di pulau Kalimantan, di bagian wilayahnya yang termasuk ke dalam negara Indonesia, juga sering ditandai dengan
pelanggaran hukum, korupsi dan kekerasan (FoE / Walhi 2009), demikian juga pelanggaran di Papua (EIA/Telepak 2009). hukum, maka Jika terjadi
Disinyalir adanya dugaan praktek korupsi dalam politik, dalam pemerintah daerah dan juga dalam aparat hukum (Marti 2008). Dalam indeks korupsi yang disusun oleh organisasi non-
pemerintah Trans- parency International, Indonesia memperoleh angka 2,8 dari total nilai 10 dan dengan demikian menduduki peringkat 111 dari 180 negara-negara yang disurvei tingkat korupsinya di dunia (TI 2010 262 267, TI 2010: 49).
46 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
dunia yang
membahayakan iklim.
hujan
banyak habitat tumbuh-tumbuhan dan hewan langka yang punah karena tidak dapat bertahan dalam
lingkungan
monokultur perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan perkiraan Bank Dunia, terdapat 70 persen
perkebunan kelapa sawit yang dibangun di atas areal hutan (4,2 juta hektar), 25 persen bahkan dibangun di atas lahan
gambut (World Bank 2010: 14). Hanya sepertiga dari perusahaanperusahaan yang menggunakan lahan tandus atau lahan yang sebelumnya ditanami dengan dengan tumbuhan lain 2009: 65). Pada tahun- tahun (UNEP
gambut yang dipakai untuk perkebunan baru meningkat paling tidak menjadi 33 persen, di Riau, Sumatra bahkan mencapai 80 persen (Edwards / Mulligan / Marelli 2010: 141). Walaupun demikian, pemerintah Indonesia masih
menganggap mungkin untuk memperluas perkebunan sampai 24 juta hektar (Tabel 4). Jaminan pangan terancam Menurut Bank Dunia, secara teori Indonesia mempunyai hampir 20 juta hektar tanah yang tidak digunakan atau tanah yang tidak produktif (World Bank 2010: 14 15). Walaupun raksasa
yang tetap memilih areal hutan untuk membuka perkebunan baru. Hal ini dikarenakan tanah hutan pupuk yang banyak tidak memerlukan
produktif tetap merupakan sumber kehidupan penting untuk menjamin kelangsungan hidup manusia di sekitarnya
(Colchester et al. 2006, FoE/I 2009, EIA/Telepak 2009). Tabel 4: Besar lahan potensial untuk perluasan perkebunan berdasarkan wilayah Kalimantan Sumatra Papua Sulawesi Java Pengabaian Hak Asasi Manusia Situasi di Papua menunjukkan bahwa hak asasi manusia merupakan masalah mendasar bagi kita semua. Bagian barat dari pulau Nugini ini termasuk ke dalam wilayah Indonesia. Luas Papua meliputi sekitar 422.248 km, lebih luas Jerman dan dari negara 10,3 juta ha 7,2 juta ha 6,3 juta ha 0,37 juta ha 0,29 juta ha
Pemerintah Indonesia memperkirakan 5 sampai 9,3 juta hektar lahan di Papua bisa 2008: ditanami dengan kelapa sawit (Klute
propinsi dan dalam reformasi pemerintah daerah, korupsi serta kebijakan politik tertentu dari menyebabkan pemerintah pusat di Jakarta pembentukan konsep
terhambatnya
penggunaan hutan yang berkelanjutan. Sementara ini sangat tidak memungkinkan untuk mendapatkan data yang
48 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
akurat
pemerintah. Oleh karena itu, hak-hak penduduk asli di banyak wilayah diabaikan begitu saja. Masyarakat Indonesia sendiri tidak mendapat keuntungan yang banyak dari sektor produksi baru ini. Harga-harga sewa
tanah jauh di bawah harga pasaran yang sebenarnya. Untuk mendapatkan izin penggunaan tanah, masyarakat dijanjikan dengan pendirian sekolah-sekolah, pengadaan listrik dan rumah baru sebuah janji yang jarang sekali ditepati. Banyak orang yang tidak mengerti dengan apa yang telah ditandatanganinya, bahkan tidak tahu, sejauh mana dan resiko apa saja yang
bisa terjadi dengan pemberian tanda tangan mereka tersebut. Perusahaan- perusahaan yang bekerja dengan cara seperti ini menjalin hubungan yang sangat erat dengan para
politikus, sehingga penduduk biasa tidak akan berdaya sama sekali melawan mereka (EIA/Telepak 2009: 1). Konflik berikutnya yang muncul adalah tingginya arus
pendatang. Penanaman kelapa sawit adalah suatu proses kerja yang sangat intensif. Untuk lahan seluas seribu hektar ini
propinsi Papua memiliki sekitar 2,9 juta penduduk. Seandainya perkebunan kelapa sawit seluas 5 juta benar- benar akan dikembangkan
1,75 juta tenaga kerja yang sebagian besar harus didatangkan dari daerah- daerah lain di Indonesia. Akibatnya akan
menambah ketegangan yang memang sudah ada diantara penduduk asli dan para pendatang (EIA/Telepak 2009: 7-8). Berdasarkan perkiraan, terdapat hampir 3 juta orang di
Indonesia yang bekerja di perkebunan kelapa sawit (Teoh 2010: 9). Di samping pekerja tetap, terdapat pekerja musiman atau
dan pestisida sangat beresiko terhadap kesehatan para pekerja yang biasanya bekerja tanpa memakai baju pelindung dan
tanpa pengarahan yang memadai (Mardi 2008: 76-84). Mendukung metode yang berkelanjutan Banyaknya kritik terhadap dampak pengembangan kebun kelapa sawit telah menyebabkan dibentuknya Roundtable on
Sustainable Palm Oil, RSPO pada tahun 2003, yaitu suatu forum untuk membahas produksi minyak kelapa sawit secara
berkelanjutan. Yang terlibat di dalamnya adalah sejumlah perusahaan dan perkumpulan sektor kelapa sawit, para
pengusaha industri minyak kelapa sawit organisasi non-pemerintah. Tujuannya adalah untuk
serta organisasi-
mewujudkan
metode
penanaman kelapa sawit yang berkelanjutan. Pada tahun 2009 terhitung 1,4 juta ton minyak kelapa sawit bersertifikat RSPO yang masuk ke pasar dunia. Angka tersebut mencakup 3,2
persen dari kesuluruhan panen dunia. Jumlah ini diharapkan akan berlipat ganda pada tahun 2010. Namun demikian banyak kritik tajam yang berulang kali dilontarkan pada RSPO.
disusun RSPO
tidak cukup ketat. Selain itu organisasi-organisasi lingkungan hidup berhasil membuktikan adanya kelompok perusahaan yang walaupun pada sebagian produksinya telah memiliki sertifikat lainnya RSPO, tetap namun perusahaan-perusahaan hutan-hutan tropis cabang untuk
menebangi
memperluas lahan perkebunannya. Oleh karena itu, sekumpulan perusahaan yang bergerak di sektor pangan seperti Nestl,
50 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
Rewe
dan
Edeka
berusaha
lebih lanjut yaitu untuk menghasilkan energi. Dalam hal ini menjadi perdebatan adalah dampak
terhadap iklim
memang tidak lebih besar dari jumlah karbon dioksida yang diikat sebelumnya oleh tumbuh-tumbuhan harus diingat bahwa pada saat tersebut. Namun
transportasi atau pada pengolahan lanjutan, banyak terbuang gas-gas rumah kaca yang dapat mempengaruhi iklim. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa pada pembakaran minyak kelapa sawit untuk energi, dihasilkan emisi gas rumah kaca yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah emisi yang 2010;64 66).
pada lahan yang sebelumnya tidak digunakan dan tidak pada lahan hutan. Yang lebih diperdebatkan lagi adalah jika melihat dampak tidak langsung yang disebabkan oleh penggunaan minyak
kelapa sawit untuk menghasilkan energi. Untuk setiap satu liter minyak nabati yang digunakan dalam campuran biodiesel
sebagai bahan bakunya, maka harus dibayar dengan lahan perkebunan yang cukup luas. Hal ini menyebabkan terdesaknya ekosistem yang kaya akan karbon seperti hutan dan tanah gambut yang sebenarnya bisa digunakan untuk menanam bahan pangan yang lain atau untuk menghasilkan produk-produk
pertanian lainnya. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa penggunaan minyak kelapa sawit
51 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
terhitung sebesar 59,3 kg per orang per tahun, sementara jumlah konsumsi rata-rata di seluruh dunia hanya 23,8 kg per orang. Negara-negara berkembang seperti India, Pakistan atau Nigeria mengkonsumsi jumlah yang jauh lebih sedikit: India (13,4 kg), Pakistan (19,9 kg) dan Nigeria (12,5 kg). Namun akibat
pertambahan penduduk yang sangat pesat di negara-negara tersebut telah menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan minyak kelapa sawit. Selain itu, seiring dengan membaiknya ekonomi seseorang, maka banyak konsumen yang beralih dari penggunaan minyak nabati bermutu rendah ke minyak kelapa sawit yang mutunya lebih baik. Diperkirakan sampai tahun 2020, kebutuhan dunia
terhadap minyak nabati akan bertambah hingga sebesar 27,7 juta ton. Untuk menutupi kebutuhan tersebut diperlukan
lahan untuk memproduksi minyak kelapa sawit sebesar 6,3 juta hektar atau lahan untuk minyak kedelai seluas 42 juta hektar (Teoh 2010: 9 10). Biodiesel memicu permintaan 15 persen dari produksi minyak nabati dunia digunakan
sebagai bahan bakar. Sejak tahun 2003, penggunaannya terus meningkat dari sekitar 2 juta ton menjadi 18 juta ton pada
tahun panen 2009 / 2010. Dari jumlah tersebut 1,8 juta ton adalah minyak kelapa sawit. Memang jumlah ini masih
terhitung relatif sedikit jika dibandingkan dengan hasil panen dunia dari minyak kelapa sawit dan minyak biji sawit yang
berjumlah sekitar 50 juta ton. Walaupun demikian, lima tahun sebelumnya belum ada minyak kelapa sawit yang diolah untuk bahan bakar (Nestl 2010).
52 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
drastis. Dan
mengambil minyak
kelapa sawit saja sebagai bahan campuran biodiesel, maka akan diperlukan perkebunan kelapa sawit seluas 4 juta
hektar, itupun hanya cukup untuk menutupi kebutuhan di Uni Eropa (Teoh 2010: 10; IFPRI 2010: 114). Terlepas daripada itu, permintaan minyak kelapa sawit
tetap akan terus bertambah. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya minyak nabati lain bakar dan tidak lagi yang diolah sebagai bahan
(IFPRI 2010: 26). Karena harga minyak kelapa sawit relatif rendah, maka
kebutuhan minyak nabati yang terus meningkat akan ditutup dengan minyak kelapa sawit. memasok minyak Penawaran terbesar datang untuk
kelapa sawit
dari Indonesia.
Berdasarkan kecendrungan selama ini, maka di Indonesia akan dibangun sampai 9 juta hektar perkebunan dalam itu
sepuluh tahun mendatang. Sebagian besar perkebunan dibangun dengan menebangi hutan-hutan
tropis
(Greenpeace 2010a: 43). Tuntutan-tuntutan Pada bulan Agustus 2010, sekumpulan organisasi nontuntutan-tuntutan untuk juga ditujukan pada
pemerintah diajukan
pada
perusahaan-perusahaan bisnis kelapa sawit. Tuntu- tan-tuntutan tersebut antara lain adalah: 1. Ganti rugi atas kerusakan-kerusakan terbesar dan adalah yang telah
perampasan lahan.
konflik-konflik
undang-undang nasional dan perjanjian internasional. Selain itu harus melampirkan surat rekomendasi yang mencakup dampak sosial dan lingkungan dari investasi tersebut serta uraian hasil pelaksanaannya. Pemin-
dahan paksa penduduk harus dihindari dan pelepasan tanah harus berdasarkan proses hukum dan persetujuan wilayah dan sudah ada sukarela. Menghindari mencari solusi atas terjadinya adanya konflik
konflik-konflik yang
mereka bisa dengan bebas dan sukarela menyatakan penolakan atau persetujuan atas program pemban-
gunan yang direncanakan dalam wilayah mereka (Free, Prior, Informed Consent, FPIC). Memperhatikan habitatspesies-spesies yang terancam
bernilai kon-
atas lahan hutan atau penanaman di atas tanah gambut karena akan mengakibatkan pelepasan gas-gas rumah kaca yang merusak iklim. Untuk menjamin hal ini, maka diperlukan politik nasional yang mengatur
kebutuhan pangan atau untuk keperluan industri, maka Uni Eropa harus bertekad untuk berpegang pada kriteria-kriteria
produksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan. Penggunaan minyak kelapa sawit untuk produksi
bahan bakar akan membahayakan kelangsungan jaminan bahan pangan lainnya, terutama bagi karena itu, penggunaannya orang miskin. Oleh bakar hanya
sebagai bahan
dibolehkan jika tidak mempunyai dampak sosial yang negatif. Uni Eropa harus menuntut badan-badan internasional agar secara global memajukan usaha-usaha untuk memperbaiki
standar ekologi dan sosial dalam produksi minyak kelapa sawit, serta mendukung adanya penyusunan standar yang
berkelanjutan yang berlaku diseluruh dunia. Uni Eropa seperti Bank harus menuntut institusi-institusi multilateral Dunia dana atau iklim organisasi-organisasi ditujukan untuk PBB agar
pengelolaan
menjadikan
Pendahuluan
Petani
tembakau
menghadapi
beberapa
kendala tersebut
dalam dapat
mengembangkan
agribisnisnya.
Kendala-kendala
digolongkan menjadi dua, yaitu masalah teknis dan nonteknis. Pada umumnya masalah teknis berkaitan dengan masalah lapang, seperti luas lahan sempit, menurunnya kesuburan dan degradasi lahan, akumulasi serangan hama dan penyakit, juga pemupukan yang kurang tepat. Masalah nonteknis dihubungkan dengan kondisi luar lapang (off farm) seperti meningkatnya kampanye antirokok, terbatasnya pinjaman modal ke bank, dan lemahnya kemitraan antara petani dan industri rokok.
Permasalahan
Tanaman tembakau dalam beberapa tahun terahir memang menjadi tanaman primadona dari sekian banyak usaha pertanian, karena termasuk tanaman dengan prospek bernilai ekonomi paling menjanjikan bagi masyarakat petani Lombok, khususnya daerah bagian selatan. Kondisi geograpis daerah selatan yang hampir sebagian besar merupakan daerah tadah hujan/lahan kering sangat mendukung bagi pengembangan budidaya tanaman tembakau sebagai jenis tanaman yang tidak terlalu membutuhkah banyak air. Minat petani mengembangkan budi daya tembakau dalam beberapa tahun terahir mengalami pertumbuhan cukup signipikan, kalau dibandingkan tahun sebelumnya. Pola tanam yang tergolong sederhana dengan penghasilan cukup menjanjikan, menjadikan
Beberapa
masalah
teknis
yang
dihadapi
petani
dalam
pengembangan agribisnis tembakaunya adalah sebagai berikut: Pada umumnya petani di Indonesia mempunyai lahan yang sempit dengan rata-rata penguasaan lahan <0,5 ha, sehingga pengusahaan lahan cenderung intensif dan kurang memelihara sumber daya alam dan konservasi lahan. Akibatnya kesuburan tanah cenderung menurun, terutama kandungan bahan organiknya; erosi pada lahan semakin meningkat dan penyediaan air berkurang Penanaman tembakau yang terus-menerus juga meningkatkan gangguan hama dan penyakit. Serangan hama dan penyakit ini seringkali menyebabkan kegagalan total. Serangan virus (TMV,CMV) dan penyakit tular tanah seperti lanas (Phytophthorani-cotianae varnicotianae) dan busuk batang berlubang (Erwinia carotovora) cenderung meningkat. Masalah ini tidak dapat diatasi dengan penanaman varietas yang tersedia Di lain pihak, tuntutan konsumen luar negeri terhadap kualitas semakin meningkat sehingga seringkali tidak dapat dipenuhi dengan varietas yang ada. Sampai saat ini usaha tani tembakau masih mengandalkan pestisida kimia sebagai pengendali hama maupun penyakit. Padahal penggunaan pestisida kimia yang tidak tepat dapat menimbulkan dampak residu yang berbahaya, disamping biayanya mahal. Penyimpangan/anomali cuaca, akibat fenomena alam seperti Elnino dan Lanina yang sering terjadi menyulitkan petani dalam penentuan waktu tanam sehingga seringkali usaha tani ini mengalami kerugian Sementara itu, penetapan prakiraan musim kering dan hujan oleh BMG di wilayah penanaman tembakau masih sering terjadi penyimpangan yang signifikan. Usaha tani tembakau, kebanyakan petani belum profesional karena belum melaksanakan secara sepenuhnya mempertimbangkan pasar, modal, dan teknologi Mereka belum sepenuhnya menguasai teknologi budidaya tembakau
Pada umumnya masalah nonteknis yang dihadapi petani adalah menyangkut masalah permodalan dan pemasaran. Petani umumnya kekurangan modal awal. Kebanyakan petani tembakau tidak memiliki sertifikat tanah sehingga sulit mendapatkan
permodalan. Kondisi ini menyebabkan agribisnis yang tadinya bisa menguntungkan menjadi tidak berkembang sehingga kemakmuran petani masih tetap di bawah rata-rata.
Tembakau merupakan tanaman primadona dari sekian banyak usaha dalam bidang pertanian karena tanaman ini memiliki prospek ekonomi yang bernilai tinggi bagi masyarakat petani tembakau. Meski demikian dibalik prospek ekonomi yang bernilai tinggi ini terdapat sejumlah masalah yang sering dihadapi oleh petani tembakau. Masalah ini timbul diakibatkan karena harga jual tembakau yang lemah dan tidak adanya perhatian lebih dari pemerintah dalam membuka ruang, tawaran permodalan dan bantuan perawatan dan obat-obatan. Hal yang menyebabkan masalah tersebut juga karena sedikitnya lahan yang disiapkan oleh pemerintah untuk para petani dalam menanam tembakaunya sehingga produksi tembakau dalam negri menjadi menurun. Oleh karena itu pemerintah baiknya memberikan perhatian yang lebih kepada para petani tembakau, baik dari segi harga penjualan maupun lahan tempat petani mengolah tembakaunya.
Pembahasan
Pupuk mempunyai peranan penting dalam upaya meningkatkan produktifitas, produksi dan mutu pertanian yang murah pada
peningkatan pendapatan kesejahteraan petani serta mewujudkan progam ketahanan pangan nasional. Untuk itu penyediaan pupuk di tingkat petani diusahakan memenuhi azas 6 tepat yaitu: tepat waktu, jenis, jumlah, tempat, mutu, dan harga layak, sehingga petani dapat menggunakan pupuk sesuai dengan teknologi pemupukan dalam rangka peningkatan produktifitas usaha petani. Kondisi di lapangan menujukkan bahwa kecenderungan kenaikan harga pupuk bersubsidi di atas HET (Harga Eceran Tertinggi) sangatlah tinggi. Di UD Selamet, (salah satu kios pengecer) pupuk yang terletak di Desa Karang Anyar Kecamatan Secanggang, harga eceran pupuk bersubsidi sangat tinggi sehingga petani sangat mengeluhkan
penjualan tersebut. Pelaksana kegiatan sosialisasi pupuk bersubsidi terhadap kioskios pengecer telah ditentukan harga eceran tertinggi pengecer untuk pupuk Urea 1.800/kg tetapi dijual kepada masyarakat Rp 2.500/kg, pupuk SP 2.000/kg dijual ke masyarakat Rp 2.500/kg, pupuk Za 1400/kg dijual ke masyarakat Rp 2 000/kg dan pupuk NPK 2300/kg dijual ke masyarakat Rp 3.000. Selain hal tersebut, diharapkan para petugas pengawasan di lapangan dapat memenuhi tugas, fungsi dan wewenang terutama menyampaikan visi maupun misi sehingga dalam pelaksanaan pengawasan dapat sesuai dengan yang diharapkan, dan bukan meminta bagian
diperlukan bukan N pada urea, melainkan N berupa ZA. Hingga kenaikan harga gas alam, selain berpengaruh pada kenaikan harga
63 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
Model subsidi pupuk yang diterapkan saat ini adalah subsidi tidak langsung, yaitu subsidi yang diberikan kepada produsen pupuk. Walaupun diberikan secara tidak langsung, petani memperoleh manfaat dari subsidi tersebut, berupa harga pupuk yang lebih murah. Meskipun saat ini sudah lebih baik, tetapi masih ada beberapa kelemahan. Paling tidak ada empat masalah penting dalam programsubsidi pupuk, yaitu: 1. Penyelewengan distribusi pupuk bersubsidi, Disparitas harga antara pupuk bersubsidi dengan pupuk non subsidi menyebabkan terjadi aliran pupuk darisektor yang mendapatkan subsidi ke sektor yang tidak disubsidi yangkemudian menimbulkan masalah langka-pasok di sektor yang mendapatkansubsidi. Pupuk bersubsidi tidak hanya diselewengkan ke tanaman perkebunan, tetapi juga ke industri termasuk industri kayu lapis, lem, peternakan, dan batik (Lakitan 2008). 2. Kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan, kesulitan dalam membuatdata yang akurat mengenai kebutuhan pupuk bersubsidi. Prakiraan kebutuhan pupuk sering dibuat secara agregat dengan memperhitungkan luas tanam dantakaran pupuk secara umum. Kenyataannya, takaran penggunaan pupuk bervariasi, baik karena perbedaan luas lahan maupun tingkat kesadaran petaniterhadap manfaat pupuk. Akibatnya, kebutuhan riil dengan ketersediaan pupuk sering berbeda nyata sehingga ada daerah yang kelebihan dan ada yangkekurangan (PSE-KP 2006)
yangmencapai 100 % sejak tahun 2006-2012 hanya pernah dialami jenis pupuk SPdan ZA. Realisasi penyaluran pupuk yang belum maksimal dapat disebabkanoleh masalah-masalah teknis di
lapangan, seperti ketidaksesuaian data RDKK sebagai basis data untuk pengambilan pupuk bersubsidi, ataupun permasalahan
Dalil kebijakan publik mengatakan bahwa instrumen yang paling efektif dan efisien adalah yang paling berkaitan langsung dengan tujuan kebijakan. Input langsung usahatani adalah pupuk, bukan gas bumi. Jika tujuan kebijakan menekan harga pupuk yang dibayar petani agar biaya produksi usahatani menurun dan intensitas penggunaan pupuk meningkat, yang selanjutnya akan meningkatkanlaba petani maupun produksi pertanian nasional, maka instrumen yang palingefektif dan efisien adalah pemberian subsidi harga beli pupuk bagi
petani.Mekanisme subsidi pupuk kepada produsen pupuk melalui subsidi gas untuk input produksi pupuk menimbulkan dampak negatif baik yang bersifat langsungmaupun tidak langsung.Dampak negatif
65 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
mengikutimekanisme pasar, dan disparitas harga antara harga di pasar domestik dan pasar internasional. Disparitas harga antara pupuk bersubsidi dan nonsubsidimenimbulkan kesenjangan yang cukup besar antara HET dan harga pasar. Padatahun 2006, harga HET pupuk urea adalah Rp1.200/kg, padahal harga pupuk nonsubsidi mencapai Rp5.500/kg. Hal ini mendorong terjadinya penyimpangan,yaitu pupuk bersubsidi di jual ke pasar nonsubsidi yang meliputi perusahaan perkebunan atau petani nonpangan. Sisi negatif yang kedua dari kebijakan subsidi pupuk adalah penggunaan pupuk yang berlebihan. Sebagian petani menggunakan pupuk urea dengan takaran400-600 kg/ha, padahal takaran anjuran berkisar antara 200-250 kg/ha. Hal inimenyebabkan munculnya gejala pelandaian produktivitas, di samping menurun-kan kualitas fisik, kimia, dan biologi tanah. Dampak negatif ketiga dari subsidi pupuk adalah subsidi yang diterapkankurang kondusif untuk pengembangan industri pupuk
nasional. Karena harga yangdipatok lebih rendah, beberapa produsen pupuk kesulitan memperoleh kontrak pasokan gas, baik untuk
perpanjangan kontrak maupun kontrak baru. Produsengas bumi lebih mengutamakan konsumen yang mampu membeli gas dengan
hargayang lebih tinggi. Akibatnya, kapasitas terpakai pabrik pupuk nasional menjaditidak optimal, yaitu hanya 71-83% dari kapasitas terpasang. Pemberian subsidimelalui harga gas kurang merangsang pabrik pupuk urea untuk meningkatkanefisiensi produksi melalui penghematan pemakaian gas. Dampak negatif keempat, hasil analisis manfaat dan biaya menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan pemerintah lebih besar daripada manfaat yang diterima petani (Syafaat et al.2006; Manaf
Pupuk memiliki peranan penting dalam meningkatkan produktifitas dan mutu bahan pangan yang dihasilkan. Petani sering menggunakan pupuk agar tanaman menjadi subur. Upaya pemerintah yang telah dirasakan oleh petani Indonesia yaitu pemberian pupuk bersubsidi kepada petani. Hal ini dilakukan agar produksi petani meningkat dan pemerintah tidak usah lagi mengimpor bahan pangan dari luar. Meskipun demikian, masih ada masalah yang terjadi ditengahtengah petani, diantaranya yaitu penggunaan pupuk yang berlebihan oleh petani sehingga melewati batas penggunaan pupuk yang optimal mengakibatkan bahan pangan yang dihasilkan akan melebihi kandungan cemaran yang tinggi. Hal lain yang ditimbulkan yaitu pengusaha pupuk yang digunakan oleh pemerintah dalam menyalurkan pupuk bersubsidi kepada para petani menggunakan kesemptan tersebut kearah yang salah. Mereka menggunakan kesempatan tersebut untuk mendapatkan
keuntungan yang lebih besar. Hal yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah yaitu melakukan pengawasan yang tinggi kepada para penyalur agar tidak menggunakan hal tersebut kearah yang salah sehingga petani betul-betul merasakan kebijakan pemerintah yang mendukung kehidupan para petani.
Latar Belakang
Negara-negara
berkembang
pada
umumnya
akan
membantu industri domestiknya melalui subsidi atau kebijakkan ekonomi berupa hambatan tarif atau non tarif untuk memasukkan industrinya ke persaingan internasional apalagi dalam era Globalisasi teknologi dan informasi seperti sekarang ini, Negara atau pemerintah akan berusaha mendorong industrinya untuk bersaing di pasar internasional dan untuk bersaing perlu berbagai perbaikkan kualitas baik tenaga kerja ataupun produk. Indonesia sebagai Negara berkembang pada umumnya akan memilih suatu perusahaan domestik untuk di subsidi khususnya industri yang benar-benar menjadi ekspor Indonesia. Dan selain itu, Indonesia juga mengambil kebijakkan ekonomi seperti penetapan batasan impor, hambatan tarif dan non tarif dan kebijakan lainnya. Sama seperti Negara lainnya, Korea juga menetapkan kebijakan ekonomi anti dumping untuk melindungi Industri domestiknya. Kali ini yang menjadi sasaran negara yang melakukkan dumping adalah Indonesia. Dumping merupakan suatu tindakan menjual produk-produk impor dengan harga yang lebih murah dari harga dan ini merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan WTO.
Kerangka Pemikiran
Untuk mengantisipasi terjadinya perselisihan dan kesalahan interpretasi, akibat tindakan proteksi yang dilakukkan suatu negara dalam mendorong perekonomiannya, maka WTO membuat aturan untuk penerapan subsidi mengingat masalah ini merupakan masalah yang sering terjadi terkait masalah dumping dan terdapat dua macam aturan subsidi atau dukungan : 1. Dukungan atau subsidi yang membuat distorsi (trade distorting subsidies) dimana negara anggota harus menetapkan level
membentuk Dispute Settlement Body (DSB) untuk mengantisipasi penyelesaian masalah yang terjadi diantara anggota-anggotanya. Masalah terkait dengan pemberian subsidi dan kebijakkan proteksi adalah Dumping. Dumping terjadi apabila produk-produk impor tersebut dijual dengan harga lebih rendah daripada harga yang berlaku di pasaran. Untuk menerapkan anti dumping, badan perdagangan suatu Negara harus membuktikan terlebih dahulu bahwa dumping tersebut menyebabkan kerugian
terhadap industri di negaranya. Mengingat relatif tingginya kasus dumping, hendaknya negara mencermati dan
mengantisipasi serta menghindari kemungkinan adanya tuduhan dumping tersebut. Masalah ini adalah masalah yang
sangat sering ditemui seperti di India terbukti melakukan tuduhan dan penyelidikan anti dumping atas 425 kasus,
70 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
terhadap 234 kasus. Sementara itu, China melakukan penyelidikan atas 125 kasus di mana 70 kasus di antaranya dikenai BMAD. Turki juga menyelidiki tuduhan praktek dumping 101 kasus bagi pengenaan 86 kasus BMAD. Sementara itu, Korea Selatan mengenakan BMAD terhadap 46 kasus dari 81 kasus dumping yang diselidikinya. Dumping dalam hal ini merupakan suatu tindakan melanggar kesepakatan yang telah disepakati dan diratifikasi oleh
subyek hukum Internasional. Yang dimaksud subyek hukum internasional di sini adalah semua subyek hukum yang mengatur aspek-aspek ekonomi baik yang sifatnya nasional maupun internasional (termasuk hukum internasional publik dan hukum perdata). Yang merupakan subyek hukum disini adalah negara yang harus memenuhi syarat sebagai negara yakni memiliki penduduk, wilayah, pemerintah yang berdaulat, dan kemampuan melakukan hubungan diplomatik dengan negara lain, Individu yang statusnya tergantung kepada isi ketentuan perjanjian yang memberikan kedudukan tersebut karena kemampuan individu untuk membuat kontrak atau perjanjian ekonomi (bisnis) dengan subyek hukum lainnya, selain itu Multi national Cooperation (MNCs) dan Organisasi Internasional (OI) yang memiliki definisi yang melekat pada dirinya untuk menjadi subyek hukum internasional selain memiliki legal personality yakni kemampuan untuk melakukan perjanjian atau kontrak dengan subyek hukum lainnya. Mengingat dumping terjadi antar anggota WTO yang terdiri dari Negara-negara berdaulat berarti terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah ditetapkan di WTO yang menjadi aturan bagi para anggota WTO untuk bertindak mengingat semua yang mengajukan diri untuk menjadi anggota WTO harus menaati
71 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
kebiasaan inetrnasional, prinsip hukum yang diakui oleh negara bangsa, keputusan para hakim dan ajaran ahli hukum.
Analisis Kasus
Salah satu kasus yang terjadi antar anggota WTO kasus antara Korea dan Indonesia, dimana Korea menuduh Indonesia melakukan dumping woodfree copy paper ke Korea Selatan sehingga Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar. Tuduhan tersebut menyebabkan Pemerintah Korsel mengenakan bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar 2,8 persen hingga 8,22 persen terhitung 7 November 2003. dan akibat adanya tuduhan dumping itu ekspor produk itu mengalami kerugian. Ekspor woodfree copy paper Indonesia ke Korsel yang tahun 2002 mencapai 102 juta dolar AS, turun tahun 2003 menjadi 67 juta dolar. Karenanya, Indonesia harus melakukan yang terbaik untuk menghadapi kasus dumping ini, kasus ini bermual ketika industri kertas Korea mengajukan petisi anti dumping terhadap 16 jenis produk kertas Indonesia antara lain yang tergolong dalam uncoated paper and paperboard used for writing dan printing or other grafic purpose produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commision (KTC) pada tanggal 30 september 2002 dan pada 9 mei 2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk PT pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat 0,52%, April Pine dan lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korea Selatan dengan ketentuan PT
72 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
(Dispute
Settlement
Body/DSB)
Perdagangan Dunia (WTO) membentuk Panel dan setelah melalui proses-proses pemeriksaan, maka DSB WTO mengabulkan dan menyetujui gugatan Indonesia terhadap pelanggaran terhadap penentuan agreement on antidumping WTO dalam mengenakan tindakan antidumping terhadap produk kertas Indonesia. Panel DSB menilai Korea telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktek dumping produk kertas dari Indonesia dan bahwa Korea telah melakukan kesalahan dalam menentukan bahwa industri domestik Korea mengalami kerugian akibat praktek dumping dari produk kertas Indonesia.
Penyelesaian Kasus
Dalam kasus ini, dengan melibatkan beberapa subyek hukum internasional secara jelas menggambarkan bahwa kasus ini berada dalam cakupan internasional yakni dua negara di Asia dan merupakan anggota badan internasional WTO mengingat keduanya merupakan negara yang berdaulat. Dan kasus dumping yang terjadi menjadi unsur ekonomi yang terbungkus dalam hubungan dagang internasional kedua Negara dengan
melibatkan unsur aktor-aktor non negara yang berasal dari dalam negeri masing-masing negara yaitu perusahaan-perusahaan yang disubsidi oleh pemerintah untuk memproduksi produk ekspor. Dumping merupakan suatu tindakan menjual produk-produk impor dengan harga yang lebih murah dari harga dan ini merupakan
73 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
kesepakatan
perdagangan
penentuan
yang tercakup dalam GATT dan dengan adanya keterlibatan DSB WTO yang merupakan suatu di badan bidang ini peradilan perdagangan. masalah bagi Ini yang
masalah
adalah
berada di cakupan Internasional, bersifat legal dan bergerak dalam bidang ekonomi. Sifat legal atau hukumnya terlihat juga dengan adanya tindakan dinilai Retaliasi telah oleh pemerintah curang Indonesia karena Korea bertindak
dengan tidak melaksanakan keputusan Panel Sementara DSB sebelumnya atas kasus dumping kertas tersebut yang
memenangkan Indonesia dimana retaliasi diijinkan dalam WTO. Sekretaris Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan dalam
Internasional
Departemen
Perdagangan
mengatakan
putusan Panel DSB pada November 2005 menyatakan Korea Selatan harus melakukan rekalkulasi atau menghitung ulang margin dumping untuk produk kertas asal Indonesia. Untuk itu, Korsel diberikan waktu untuk melaksanakan paling lama delapan bulan setelah keluarnya putusan atau berakhir pada
74 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
mengenakan bea masuk atas produk tertentu dari Korsel dengan nilai kerugian yang sama selama pengenaan Bea Masuk AntiDumping (BMAD). Korean Trade Commision yang merupakan otoritas
dumping Korsel mengenakan BMAD 2,8-8,22 persen terhadap empat perusahaan kertas, seperti yang telah disebutkan diatas yaitu PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia, PT Pindo Deli Pulp & Paper Mills, PT Indah Kiat Pulp & Paper, dan PT April Fine sejak 7 November 2003. Dalam membuat tuduhan dumping, KTC
menetapkan margin dumping kertas dari Indonesia mencapai 47,7 persen. Produk kertas yang dikenakan BMAD adalah plain paper copier dan undercoated wood free printing paper dengan nomor HS 4802.20.000; 4802.55; 4802.56; 4802.57; dan 4809.4816. Dalam kasus ini, Indonesia telah melakukan upaya
pendekatan sesuai prosedur terhadap Korsel. Pada 26 Oktober 2006 Indonesia juga mengirim surat pengajuan konsultasi. Selanjutnya, konsultasi dilakukan pada 15 November 2006 namun gagal. Korea masih belum melaksanakan rekalkulasi dan dalam pertemuan Korea mengulur-ulur waktu. Tindakan Korsel tersebut sangat merugikan industri kertas Indonesia. Ekspor kertas ke Korea Selatan anjlok hingga 50 persen dari US$ 120 juta.
75 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
dimenangkan oleh Indonesia. Namun untuk menghadapi kasuskasus dumping yang belum terselesaikan sekarang maka indonesia perlu melakukkan antisipasi dengan pembuatan
Undang-Undang (UU) Anti Dumping untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian akibat melonjaknya barang impor. Selain itu, diperlukan penetapkan Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) dalam rangka proses investigasi praktek dumping (ekspor dengan harga lebih murah dari harga di dalam negeri) negeri. Selama ini, Indonesia belum pernah menerapkan BMADS dalam proses penyelidikan dumping apapun padahal negara lain telah menerapkannya pada tuduhan dumping yang sedang diproses termasuk kepada Indonesia. Padahal hal ini sangat diperlukan seperti dalam rangka penyelidikan, Negara yang mengajukan petisi boleh mengenakan BMADS sesuai yang diajukan industri dalam
perhitungan injury (kerugian) sementara. Jika negara eksportir terbukti melakukan dumping, maka dapat dikenakan sanksi berupa BMAD sesuai hasil penyelidikan. Karenannya, pemerintah harus mengefektifkan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang merupakan institusi yang bertugas melaksanakan
penyelidikan, pengumpulan bukti, penelitian dan pengolahan bukti dan informasi mengenai barang impor dumping, barang impor bersubsidi dan lonjakan impor.
perdagangan
berbeda-beda.
akan dipasarkan haruslah memiliki standar mutu yang baik (export quality) sehingga dapat memuaskan konsumen serta pengiriman barang yang tepat waktu yang dapat berdampak terhadap pemesanan secara reguler. Korsel diberikan waktu untuk melaksanakan paling
lama delapan bulan setelah keluarnya putusan atau berakhir pada Juli 2006. Panel DSB menilai Korea Selatan telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktik dumping kertas dari Indonesia. Pengenaan tuduhan dumping kertas melanggar ketentuan antidumping WTO. Korea harus menghitung ulang margin dumping sesuai dengan hasil panel maka ekspor kertas Indonesia ke Korea Selatan kurang dari dua persen atau deminimis sehingga tidak bisa dikenakan bea masuk antidumping. Panel Permanen merupakan panel tertinggi di WTO jika putusan Panel Permanen juga tidak ditaati oleh Korea Selatan, Indonesia dapat melakukan retaliasi, yaitu upaya pembalasan atas kerugian yang diderita. Dalam retaliasi, Indonesia dapat
mengenakan bea masuk atas produk tertentu dari Korsel dengan nilai kerugian yang sama selama pengenaan Bea Masuk AntiDumping (BMAD). Korean Trade Commision yang merupakan otoritas
dumping Korsel mengenakan BMAD 2,8-8,22 persen terhadap empat perusahaan kertas, seperti yang telah disebutkan diatas yaitu PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia, PT Pindo Deli Pulp & Paper Mills, PT Indah Kiat Pulp & Paper, dan PT April Fine sejak 7 November 2003. Dalam membuat tuduhan dumping, KTC
77 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
pendekatan sesuai prosedur terhadap Korsel. Pada 26 Oktober 2006 Indonesia juga mengirim surat pengajuan konsultasi. Selanjutnya, konsultasi dilakukan pada 15 November 2006 namun gagal. Korea masih belum melaksanakan rekalkulasi dan dalam pertemuan Korea mengulur-ulur waktu. Tindakan Korsel tersebut sangat merugikan industri kertas Indonesia. Ekspor kertas ke Korea Selatan anjlok hingga 50 persen dari US$ 120 juta. Kerugian tersebut akan berkepanjangan sebab Panel juga menyita waktu cukup lama, paling cepat tiga bulan dan paling lama enam bulan. Disamping itu eksportir haruslah mengerti selera konsumen negara tujuan ekspor. Kegiatan ekspor yang lancar akan ikut menyumbang pendapatan negara dari sektor pajak ekspor disamping tentunya akan berdampak positif berupa keuntungan yang diperoleh eksportir tersebut. Sementara itu untuk kasus dumping Indonesia dan Korea Selatan pada akhirnya
dimenangkan oleh pihak Indonesia. Namun untuk menghadapi kasus-kasus dumping yang belum terselesaikan sekarang maka indonesia perlu melakukkan antisipasi dengan pembuatan
Undang-Undang (UU) Anti Dumping untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian akibat melonjaknya barang impor. Kasus dumping Korea-Indonesia pada akhirnya dimenangkan oleh Indonesia. Namun untuk menghadapi kasus-kasus dumping yang belum terselesaikan sekarang maka indonesia perlu melakukkan antisipasi dengan pembuatan Undang-Undang (UU) Anti Dumping untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian akibat
78 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)
penelitian dan pengolahan bukti dan informasi mengenai barang impor dumping, barang impor bersubsidi dan lonjakan impor.
(export quality) sehingga dapat memuaskan konsumen serta pengiriman barang yang tepat waktu yang dapat berdampak
terhadap pemesanan secara reguler. Dalam meningkatkan hal tersebut pemerintah harus mengetahui kondisi konsumen tempat barang tersebut akan diekspor agar tidak terjadi kasus seperti ini lagi. Dan pemerintah harus membuat suatu UU agar ekspor di Indonesia tetap aman dan terkendali sehingga Negara lain tetap menjadikan Indonesia sebagai sumber kertas bagi negaranya.