Anda di halaman 1dari 80

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin

Masalah Ekonomi : Ekspor dan Impor Beras di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam masalah ini, sebenarnya kita sama-sama mengetahui bahwa negara kita ini merupakan negara yang sangat subur dan yang paling menguntungkan adalah negara kita merupakan negara dengan penghasil komoditi utama yaitu beras. Dalam hal Ekspor dan Impor, ternyata Indonesia dengan segala keunggulan dibidang pertanian khususnya dalam hal komoditi beras, masih membeli (Impor) beras dari negara lain. Pemerintah Indonesia berencana untuk mengimpor 2 juta ton beras tahun 2012 ini. Rencana impor beras oleh itu, untuk memastikan ketersediaan stok beras di dalam negeri. Sebelumnya, Indonesia berniat untuk tidak impor karena ada prediksi kenaikan produksi panen tahun ini. Namun ternyata, panen tahun ini belum mencukupi untuk kebutuhan nasional. Diantara negara yang menjalin kerjasama dengan Indonesia dalam hal impor beras antara lain : Thailand, Vietnam, Kamboja dan Myanmar. Dari negara-negara tersebut, contohnya Myanmar yang bisa mengekspor beras ke Indonesia karena mereka mendapatkan surplus sekitar dua juta ton beras disebabkan oleh konsumsi masyarakat mereka yang rendah. Dalam hal ini, ada beberapa faktor mengapa Indonesia melakukan impor beras dari luar negri sedangkan kita sama-sama mengetahui bahwa negara kita Indonesia ini termasuk negara yang sangat subur. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, kita dapat

mengidentifikasikan masalah sebagai berikut : 1. Mengapa Indonesia masih mengimpor beras dari luar negri sedangkan Indonesia termasuk salah satu negara dengan kontribusi terhadap produksi beras dunia mencapai 8,5%?
1 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


2. Apa solusi untuk menciptakan ketahanan pangan di Indonesia? C. Landasan Teori Landasan teori yang digunakan dalam makalah ini menggunakan teori-teori dasar dalam ekonomi. Teori-teori dasar tersebut terbagi menjadi dua golongan yaitu : 1. Teori Mikroekonomi Dalam teori mikroekonomi ini menganalisis hal-hal seperti interaksi penjual dan pembeli di pasar barang, tingkah laku pembeli dan penjual dalam melakukan kegiatan ekonomi, dan interaksi penjual dan pembeli di pasaran faktor. 2. Teori Makroekonomi Sedangkan dalam teori makroekonomi menganalisis aspek berikut seperti penentuan kegiatan perekonomian dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, masalah inflasi dan pengangguran dan faktor yang menyebabkannya, dan bentuk-bentuk kebijakan

pemerintah dalam menghadapi masalah-masalah ekonomi yang timbul.

2 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


BAB II PEMBAHASAN Negara Indonesia merupakan negara yang mempunyai kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Hal ini terbukti dengan keadaan tanah Indonesia yang sangat subur. Negara Indonesia memiliki peran penting sebagai produsen bahan pangan di mata dunia. Indonesia adalah produsen beras terbesar ketiga dunia setelah China dan India. Kontribusi Indonesia terhadap produksi beras dunia sebesar 8,5% atau 51 juta ton. China dan India sebagai produsen utama beras berkontribusi 54%. Vietnam dan Thailand yang secara tradisional merupakan negara eksportir beras hanya berkontribusi 5,4% dan 3,9%. Dalam konteks pertanian umum, Indonesia memiliki potensi yang luar biasa. Kelapa sawit, karet, dan coklat produksi Indonesia mulai bergerak menguasai pasar dunia. Namun, dalam konteks produksi pangan memang ada suatu keunikan. Meski menduduki posisi ketiga sebagai negara penghasil pangan di dunia, hampir setiap tahun Indonesia selalu menghadapi persoalan berulang dengan produksi pangan terutama beras. Produksi beras Indonesia yang begitu tinggi belum bisa mencukupi kebutuhan penduduknya, akibatnya Indonesia masih harus mengimpor beras dari Negara penghasil pangan lain seperti Thailand. Salah satu penyebab utamanya adalah jumlah penduduk yang sangat besar. Data statistik menunjukkan pada kisaran 230-237 juta jiwa, makanan pokok semua penduduk adalah beras sehingga sudah jelas kebutuhan beras menjadi sangat besar. Penduduk Indonesia merupakan pemakan beras terbesar di dunia dengan konsumsi 154 kg per orang per tahun. Bandingkan dengan rerata konsumsi di China yang hanya 90 kg, India 74 kg, Thailand 100 kg, dan Philppine 100 kg. Hal ini mengakibatkan kebutuhan beras Indonesia menjadi tidak terpenuhi jika hanya mengandalkan produksi dalam negeri dan harus mengimpornya dari negara lain. Selain itu, Indonesia masih mengimpor komoditas pangan lainnya seperti 45% kebutuhan kedelai

3 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


dalam negeri, 50% kebutuhan garam dalam negeri, bahkan 70% kebutuhan susu dalam negeri dipenuhi melalui impor. Faktor lain yang mendorong adanya impor bahan pangan adalah iklim, khususnya cuaca yang tidak mendukung keberhasilan sektor pertanian pangan, seperti yang terjadi saat ini. Pergeseran musim hujan dan musim kemarau menyebabkan petani kesulitan dalam menetapkan waktu yang tepat untuk mengawali masa tanam, benih besarta pupuk yang digunakan, dan sistem pertanaman yang digunakan. Sehingga penyediaan benih dan pupuk yang semula terjadwal, permintaanya menjadi tidak menentu yang dapat menyebabkan kelangkaan karena keterlambatan pasokan benih dan pupuk. Akhirnya hasil produksi pangan pada waktu itu menurun. Bahkan terjadinya anomali iklim yang ekstrem dapat secara langsung menyebabkan penurunan produksi tanaman pangan tertentu, karena tidak mendukung lingkungan yang baik sebagai syarat tumbuh suatu tanaman. Contohnya saat terjadi anomali iklim El Nino

menyebabkan penurunan hasil produksi tanaman tebu, sehingga negara melalukan impor gula. Penyebab impor bahan pangan selanjutnya adalah luas lahan pertanian yang semakin sempit. Terdapat kecenderungan bahwa konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mengalami percepatan. Dari tahun 1981 sampai tahun 1999 terjadi konversi lahan sawah di Jawa seluas 1 Juta Ha di Jawa dan 0,62 juta Ha di luar Jawa. Walaupun dalam periode waktu yang sama dilakukan percetakan sawah seluas 0,52 juta ha di Jawa dan sekitar 2,7 juta Ha di luar pulau Jawa, namun kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa diikuti dengan pengontrolan konversi, tidak mampu membendung peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap beras impor. Ketergantungan impor bahan baku pangan juga disebabkan mahalnya biaya transportasi di Indonesia yang mencapai 34 sen dolar AS per kilometer. Bandingkan dengan negara lain seperti Thailand, China, dan Vietnam yang rata-rata sebesar 22 sen dolar AS per kilometer.
4 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Sepanjang kepastian pasokan tidak kontinyu dan biaya transportasi tetap tinggi, maka industri produk pangan akan selalu memiliki ketergantungan impor bahan baku. Faktor-faktor di atas yang mendorong dilakukannya impor masih diperparah dengan berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah yang

semakin menambah ketergantungan kita akan produksi pangan luar negeri. Seperti kebijakan dan praktek privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi. Privatisasi, akar dari masalah ini tidak hanya parsial pada aspek impor dan harga seperti yang sering didengungkan oleh pemerintah dan pers. Lebih besar dari itu, ternyata negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan, yakni kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Saat ini di sektor pangan, kita telah tergantung perusahaan oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir notabene panganyang

raksasa.

Privatisasi

sektor

merupakan kebutuhan pokok rakyattentunya tidak sesuai dengan mandat konstitusi RI, yang menyatakan bahwa Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Faktanya, Bulog dijadikan privat, dan industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia jika tidak bekerja menjadi kuli di sektor pangan, pasti menjadi konsumen atau end-user. Privatisasi ini pun berdampak serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya sektor pangan hanya oleh monopoli atau oligopoli (kartel), seperti yang sudah terjadi saat ini. Liberalisasi, disebabkan oleh kebijakan dan praktek yang

menyerahkan urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh

perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO). Akibatnya negara dikooptasi menjadi antek perdagangan bebas. Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat. Market access Indonesia dibuka lebar5 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


lebar, bahkan hingga 0% seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). Sementara domestic subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, export subsidy dari negara-negara overproduksi pangan seperti AS dan Uni Eropa beserta perusahaan-perusahaannya malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik kita hancur. Hal ini jelas membunuh petani kita. Deregulasi, beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk

perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara serius pembangunan koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Dengan sistem kebijakan dan praktek ini, Indonesia kini tergantung kepada pasar internasional (harga dan tren komoditas). Maka saat terjadi perubahan pola-pola produksi distribusi konsumsi secara

internasional, kita langsung terkena dampaknya. Kasus kedelai 2008 ini sebenarnya bukanlah yang pertama, karena ada kasus-kasus sebelumnya (beras pada tahun 1998, susu pada tahun 2007, dan minyak goreng pada tahun 2007). Hal ini akan sedikit banyak serupa pada beberapa komoditas pangan yang sangat vital bagi rakyat yang masih tergantung pada pasar internasional: beras, kedelai, jagung, gula, singkong dan minyak goreng. Pemecahan Masalah Untuk mengurangi dampak ketergantungan kita akan bahan pangan impor dan menciptakan ketahanan pangan, diperlukan beberapa usaha di antaranya yaitu: 1. Mematok harga dasar pangan yang menguntungkan petani dan konsumen. Harga tidak boleh tergantung kepada harga

internasional karena tidak berkorelasi langsung dengan ongkos


6 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


produksi dan keuntungan. Harga harus sesuai dengan ongkos produksi dan keuntungan petani dan kemampuan konsumen. 2. Memberikan insentif harga kepada petani komoditas pangan (terutama beras, kedelai, jagung, singkong, gula dan minyak goreng) jika terjadi fluktuasi harga. Hal ini sebagai jaminan untuk tetap menggairahkan produksi pangan dalam negeri. 3. Mengatur kembali tata niaga pangan. Pangan harus dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bulog bisa diberikan peran ini, tapi harus dengan intervensi yang kuat dari Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan. 4. Mengoptimalkan penelitian dan pengembangan benih varietas unggul yang tahan terhadap anomali iklim dan berumur sedang. Ini dapat dilakukan dengan melibatkan lembaga-lembaga penelitian, studi perguruan tinggi, maupun kerjasama bilateral. 5. Menambah produksi pangan secara terproyeksi dan

berkesinambungan, dengan segera meredistribusikan tanah objek landreform yang bisa segera dipakai untuk pertanian pangan. 6. Menyediakan insentif bagi petani komoditas pangan, terutama bibit, pupuk, teknologi dan kepastian beli. 7. Memperlancar arus distribusi hasil pertanian dengan siklus yang pendek, sehingga dapat tersalurkan ke seluruh penjuru Nusantara dengan harga yang terjangkau sampai ke tangan rakyat. 8. Memberikan dukungan pelembagaan organisasi petani komoditas pangan, yakni kelompok tani, koperasi, dan ormas tani. 9. Menciptakan diversifikasi pangan yang memiliki nilai gizi yang setara dengan beras dan ekonomis terjangkau oleh rakyat. Sehingga rakyat tidak selalu bergantung pada ketersediaan beras. Hal ini dapat dijalankan bersamaan dengan menggali potensi tanaman tradisional (lokal) yang sudah terbiasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat.

7 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


10. Untuk menunjang budidaya tanaman pangan yang lebih cermat dan akurat perlu didukung dengan ketersediaan data iklim khususnya curah hujan yang secara kontinyu dapat di-update secara otomatis dari stasiun-stasiun iklim yang telah dipasang. Selain itu, Balitklimat telah dan sedang menyusun kalender tanam yang diharapkan dapat membantu Dinas Pertanian, petani dan pelaku agribisnis serta pengguna lainnya dalam budidaya dan pengembangan tanaman pangan khususnya dan tanaman-

tanaman semusim lainnya. Mengapa Impor ? Pertama, bulog mengklaim bahwa mereka mengimpor dengan tujuan mengamankan stok beras dalam negeri. Bulog berargumen bahwa data produksi oleh BPS tidak bisa dijadikan pijakan sepenuhnya. Perhitungan produksi beras yang merupakan kerjasama antara BPS dan Kementrian Pertanian ini masih diragukan keakuratannya, terutama metode perhitungan luas panen yang dilakukan oleh Dinas Pertanian yang megandalkan metode pandangan mata. Selanjutnya, data konsumsi beras juga diperkirakan kurang akurat. Data ini kemungkinan besar merupakan data yang underestimate atau overestimate. Angka konsumsi beras sebesar 139 kg/kapita/tahun sebenarnya bukan angka resmi dari BPS. Jika merujuk pada data BPS yang didasarkan pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), konsumsi beras pada tahun ini mencapai 102 kg/kapita/tahun. Angka ini underestimate, karena SUSENAS memang tidak dirancang untuk menghitung nilai konsumsi beras nasional. Sebenarnya kebijakan impor beras ini juga bisa menjadi tantangan tersendiri bagi petani untuk meningkatkan produksi dan kualitas beras. Para petani dituntut untuk berproduksi bukan hanya mengandalkan kuantitas tetapi juga kualitas. Tentunya hal ini sedikit sulit terjadi tanpa adanya dukungan dari pemerintah. Hal ini dikarenakan petani lokal relatif tertinggal dari petani luar negeri terutama dalam bidang teknologi. Pemerintah harus memberi kepastian jaminan pasar sebagai peluang
8 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


mengajak petani bergiat menanam komoditas tanaman pangan. Mengapa Tidak Impor ? Kebijakan yang dipilih pemerintah untuk membuka kran Impor juga mendatangkan kontra. Pada satu sisi, keputusan importasi beras tersebut berlangsung ketika terjadi kenaikan harga beras saat ini. Selain itu, produksi padi dalam negeri dinyatakan cukup, dan masa panen masih berlangsung di banyak tempat. Bahkan berdasarkan Angka Ramalan (ARAM) II yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi nasional tahun ini diperkirakan mencapai 68,06 juta ton gabah kering giling, meningkat 1,59 juta ton (2,40%) dibandingkan tahun 2010 lalu. Kenaikan produksi diperkirakan terjadi karena peningkatan luas panen seluas 313,15 ribu hektar (2,36%), dan produktivitas sebesar 0,02 kuintal per hektar (0,04%). Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Pertanian, terdapat tiga provinsi yang mencatat surplus padi, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Surplus yang tejadi pada beberapa daerah ini tentunya dapat dijadikan cadangan oleh Bulog dan untuk didistribusikan ke daerah lain yang mengalami defisit.

Selanjutnya, impor beras yang terjadi di tengah produksi berlebih menurut data BPS sekarang ini memiliki dampak negatif yang panjang, seperti berkurangnya devisa negara, disinsentif terhadap petani, serta hilangnya sumber daya yang telah terpakai dan beras yang tidak dikonsumsi dan terserap oleh bulog.

9 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dalam masalah ini, adanya proses impor beras dari luar negri disaat nilai produksi beras di Indonesia mengalami surplus memang banyak menimbilkan tanda tanya. Seharusnya, pemerintah dalam hal ini khususnya Bulog melakukan manajemen stok yang lebih baik, bulog harus memaksimalkan penyerapan beras dari para petani lokal. Hal ini selain dapat mengamankan stok beras juga dapat menghasilkan pendapatan bagi petani sehingga kesejahteraan petani dapat naik. Bulog harus lebih agresif menyerap gabah dari petani agar mereka tidak dirugikan. Selanjutnya, pemerintah diharapkan dapat menggelar operasi pasar untuk menstabilkan harga. Hal ini tentunya harus diimbangi dengan manajemen stok yang baik. Pemerintah harus berkomitmen kuat mengatasi segala persoalan perberasan nasional secara

komprehensif dari hulu ke hilir agar tidak harus selalu bergantung pada impor. Akan tetapi, kebijakan untuk mengimpor beras dengan alasan pengamanan stok oleh Bulog ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan. Hal ini dikarenakan data produksi dan data konsumsi beras yang masih diragukan keakuratan dalam perhitungannya. Pada akhirnya, tugas bagi berbagai pihak yang terkait adalah memperbaiki kinerja masingmasing. BPS diharapkan dapat memberikan data yang lebih akurat lagi. Akan tetapi, diperlukan juga kebijaksanaan oleh Bulog agar setiap kebijakan yang diambil tidak merugikan petani lokal yang

kesejahteraannya masih rendah tanpa mengorbankan ketahanan pangan Indonesia. B. Saran Berdasarkan pemaparan masalah diatas, saya menyarakan

pemerintah khususnya BULOG untuk lebih memperhatikan dan merealisasikan manajemen stok yang lebih baik serta memaksimalkan
10 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


penyerapan beras lokal dari petani-petani lokal, sehingga stok beras dapat diatur dengan baik dan petani Indonesia pun dapat meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.

11 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Komentar : Seperti yang diketahuia bersama bahwa Negara kita Indonesia merupaka Negara yang sangat menguntungkan dibidang sumber daya alam. Banyak tanaman yang dapat tumbuh serta dapat dimanfaatkan untuk memenuhi segala kebutuhan hidup kita. Kita juga mengetahui bahwa negara kita ini merupakan negara pertanian yang memungkinkan kita menjadi negara penghasil bahan pangan untuk dunia. Tapi yang terjadi ialah sebaliknya. Meskipun kita dikenal sebagai negara pertanian tetapi kita tetap saja mengimpor bahan pangan dari negara lain. Kasus yang paling menyita perhatian masyarakat ialah pemerintah mengimpor beras yang seharusnya hal itu tidak seharusnya dilakukan. Dengan melihat keadaan negara kita, maka kita tidak seharusnya mengimpor beras tetapi kita seharusnya mengadakan swasembada beras yang dapat menguntungkan para petani. Banyak hal yang membuat negara kita melakukan hal tersebut, salah satunya yaitu kebijakan pemerintah yang tidak tersosialisasikan dengan baik kepada para petani. Dengan keadaan yang seperti itu maka petani di Indonesia tetap saja akan hidup dengan penghasilan yang dibawah rata-rata. Hal tersebut sangat miris jika dilihat karena jika dibandingkan dengan keadaan negara kita maka semestinya petani kita dapat hidup makmur dengan kondisi alam kita yang seperti ini. Faktor lain yang membuat pemerintah mengimpor beras yaitu karena lahan untuk pertanian dinegara kita semakin sempit. Hal tersebut karena pemerintah tidak dapat menyiapkan lahan tertentu disuatu daerah sebagai lahan pertanian. Kita lihat bahwa petani hanya memiliki lahan dibawah satu h.a untuk diolah demi memenuhi kebutuhannya. Faktor selanjutnya yaitu harga yang relative lebih murah sehingga banyak petani yang merasa biaya penanaman lebih mahal dibandingkan dengan biaya penjualan sehingga banyak petani yang hanya menanam untuk memenuhi kebutuhannya sehingga tidak ada yang akan dijual kepada masyarakat dan swasembada beras tidak akan pernah terlaksana.

12 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Hal yang dapat dilakukan demi menunjang kebijakan untuk melakukan swasembada beras yaitu : 1. Pemerintah harus bekerja sama dengan petani di Indonesia untuk menentukan daerah mana yang akan menanam beras sebagai sumber beras di Indonesia. 2. Pemerintah harus menyiapkan lahan tertentu sebagai tempat petani menanam beras dan menentukan kapan akan mulai menanam benih sehingga kebutuhan beras di Indonesia dapat tercukupi. 3. Pemeerintah harus menentapkan harga dasar untuk beras sehingga petani dapat mendapatkan hasil penjualan yang lebih dibandingkan dengan biaya penanaman sehingga penghasilan petani bertambah dan hidup petani di Indonesia akan makmur

13 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Masalah Ekonomi : Ekspor dan Impor Kedelai di Indonesia

Kedelai: Kenapa baru ribut sekarang? Polemik mengenai irasionalitas harga kacang kedelai

menyebabkan efek tumpah pada sektor-sektor dunia usaha Indonesia sehingga pasar usaha yang menggunakan kedelai sebagai bahan baku utama terancam membatasi usahanya. Kedelai telah membuat para penjual tahu dan tempe patah semangat. Akibatnya, lagi-lagi pemerintah Indonesia harus mengimpor. Indonesia harus mengimpor kedelai lagi untuk menutupi pasokan konsumsi yang defisit, sehingga harga pasar kedelai dapat ditekan menjadi normal. Ada hal yang menarik sekaligus menggelikan dari Si Kedelai ini, kenapa baru diributkan sekarang ketersediaan pasokan kedelai? Mari melihat sejarah kedelai di Indonesia, komoditas kedelai merupakan komoditas pangan yang vital bagi Indonesia. Sekitar 94% pemanfaatan kedelai Indonesia digunakan hanya untuk pembuatan bahan pangan, baik yang difermentasi kembali seperti tempe, oncom, tauco, kecap ataupun yang tidak difermentasi kembali seperti tahu, susu kedelai, minyak kedelai atau makanan ringan (Swastika, 2005). Melihat pentingnya kedelai bagi Indonesia seharusnya pasokan konsumsi kedelai wajib dipenuhi. Namun alih-alih mencapai swasembada kedelai, harapan untuk meningkatkan produksi kedelai justru memberikan hasil sebaliknya. Pada kenyataannya Indonesia telah melakukan impor kedelai sejak tahun 1975 untuk memenuhi konsumsi dalam negeri (Tani, 2006). Meskipun pada periode 1970 hingga 1980 jumlah impor kedelai Indonesia masih terhitung sedikit yaitu hanya berkisar 150.000 ton 200.000 ton kedelai, namun ternyata impor kedelai pada periode berikutnya terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1980 hingga 1990, impor kedelai meningkat jumlahnya mencapai 500.000 800.000 ton per tahun. Pada tahun 19902000, impor kedelai meningkat kembali pada angka 900.000 ton
14 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


1.500.000 ton per tahun. Bahkan pasca tahun 2000 hingga tahun 2010, impor kedelai semakin meningkat dengan angka rata-rata impor kedelai hampir mencapai 2.000.000 ton per tahun (Lihat Grafik 1.1). Meskipun pada saat ini Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kedelai terbesar dunia, namun juga pada saat yang bersamaan Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor terbesar di dunia (Pangan, 2005). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sampai pada tahun 2012, jumlah produksi kedelai Indonesia adalah sebesar 783.158 ton (Indonesia B. P., Tanaman Pangan, 2012). Dengan jumlah produksi seperti itu, produksi kedelai Indonesia menempati urutan ke-10 terbesar dunia dan Indonesia menyumbang 0,3% total produksi kedelai secara global. Apabila meninjau produksi kedelai Indonesia sejak tahun 1975 yang hanya berjumlah 526.000 ton, ternyata Indonesia telah berhasil mendorong peningkatan produksi sampai tahun 1995 hingga mencapai puncaknya dengan jumlah produksi 1.680.000 ton. Meskipun demikian, angka tersebut tidak berhasil mengurangi impor kedelai Indonesia. Jumlah produksi kedelai pada kenyataannya berjalan pararel dengan jumlah luas area pertanian kedelai. Apabila jumlah area pertanian kedelai semakin luas, maka hasil produksi kedelai juga semakin meningkat, sebaliknya apabila jumlah area pertanian kedelai semakin menyempit, maka produksi kedelai juga akan menurun. Data dari tahun 1975 hingga 1995 menunjukan bahwa peningkatan produksi kedelai didukung dengan peningkatan jumlah luas lahan pertanian kedelai. Dari sini sebenarnya dapat terlihat bahwa telah ada upaya dari pemerintah Indonesia untuk mengurangi impor kedelai yang terus meningkat sejak tahun 1975. Pada periode 1983-1995 sebagai contoh, Pemerintah Indonesia telah berhasil untuk mendorong

peningkatan produksi melalui peningkatan perluasan lahan pertanian kedelai dan peningkatan produktifitas lahan (Supadi, 2009). Dengan kata lain sebagai perbandingan, luas lahan pertanian kedelai pada tahun 1975 mencapai 768.000 hektar yang mampu memproduksi 589.000 ton kedelai,

15 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


dan pada tahun 1995 luas area pertanian kedelai mencapai 1.477.000 hektar dan mampu memproduksi 1.680.000 ton kedelai. Hal ini menunjukan bahwa keterkaitan antara luas area pertanian mempengaruhi jumlah produksi kedelai yang dihasilkan. Namun sangat disayangkan, peningkatan produksi kedelai Indonesia pada periode 19831995 ternyata tidak diikuti tahun-tahun berikutnya. Pada kenyataannya, semenjak tahun 1995 produksi kedelai terus mengalami penurunan hingga saat ini sejalan dengan penurunan area pertanian kedelai dan produktifitas lahan pertanian kedelai (Harsono, 2008). Dengan melihat pada tingkat impor kedelai yang terus meningkat sejalan dengan tingkat konsumsi yang juga meningkat karena

pertumbuhan laju penduduk dan pada saat yang bersamaan juga terjadi berkurangnya luas lahan pertanian kedelai, maka tendensi yang terjadi adalah dalam jangka panjang Indonesia tidak akan bisa melepaskan diri dari defisit produksi kedelai untuk dapat secara mandiri menyediakan kedelai bagi konsumsi dalam negeri. Dengan kata lain, Indonesia akan terperangkap pada kebijakan impor kedelai.

Gambar 01. Grafik Komsumsi, Produksi dan Impor Kedelai Sumber : Badan Pusat Statistik 2012, Sumber Tani (Diolah)

Apa Indonesia Terperangkap Pada Kebijakan Impor Kedelai ? Wacana untuk memenuhi pasokan konsumsi kedelai dalam negeri memang menjadi bahan evaluasi pemerintahan presiden SBY sejak
16 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


beberapa tahun terakhir. Bahkan, era pemerintahan presiden SBY dengan KIB I dan KIB II sudah mencanangkan untuk mencapai swasembada kedelai pada tahun 2014 nanti. Namun idealisme pemerintahan presiden SBY ternyata tidak menemukan jodoh dalam realitasnya. Hal demikian juga dapat diartikan secara sederhana, yaitu bahwa sudah 38 tahun dan 5 presiden kedelai menjadi komoditas pangan yang merepotkan bangsa Indonesia. Meskipun upaya terus dilakukan untuk mendorong peningkatan produksi, namun justru konsumsi semakin cepat yang tidak dapat dikejar lagi. Perbaikan dalam produksi kedelai Indonesia tentunya sangat perlu dilakukan. Pasalnya komoditas ini diindikasikan akan menciptakan tingkat konsumsi yang terus menerus dari tahun ke tahun. Mengutip pendapat Robert Malthus pada tahun 1709 bahwa pertumbuhan jumlah populasi akan menyebabkan kenaikan konsumsi pangan . Maka Indonesia harus dapat memanfaatkan isu pangan sebagai komoditas kemajuan bangsa, bukan justru berharap mengimpor yang secara filosofis jalannya bisa dikatakan diberikan makan orang lain. Kalau begitu pertanyaan yang muncul sangat sederhana, Apa kita terperangkap kebijakan impor? Mari mulai dengan kerangka berpikir bahwa Indonesia sedang bergantung dan mungkin akan terus bergantung pada impor kedelai. Ketergantungan Indonesia dalam menyediakan pasokan kedelai untuk konsumsi dalam negeri melalui kebijakan impor kedelai merupakan sebuah gambaran betapa rapuhnya ketahanan pangan Indonesia. Ketahanan pangan yang dipahami oleh Indonesia, merujuk menurut Departemen Pertanian, adalah didefinisikan sebagai terpenuhinya pangan dengan ketersediaan yang cukup, tersedia setiap saat di semua daerah, mudah diperoleh, aman dikonsumsi dan harga yang terjangkau

(Pertanian, 2005). Berdasarkan dengan pemahaman definitif mengenai ketahanan pangan menurut Departemen Pertanian dimana kedelai juga termasuk dalam hal ini maka jelas terlihat bahwa memang sebenarnya ketahanan pangan Indonesia dalam komoditas kedelai berada dalam keadaan yang rapuh karena ketersediaan kedelai dari tahun ke tahun
17 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


tidak dapat diusahakan dengan upaya mandiri, tidak mudah diperoleh dan harga yang fluktuatif. Ketergantungan Indonesia pada impor kedelai dalam hal ini telah melibatkan negara lain yang berperan sebagai pemasok utama impor kedelai Indonesia. Indonesia melakukan impor kedelai utama pada Amerika Serikat. Dimana dalam hal ini Amerika Serikat tidak hanya menjadi pengekspor kedelai terbesar bagi Indonesia, namun ternyata Amerika Serikat dalam hal ini juga merupakan produsen kedelai terbesar dunia dengan mengambil bagian lebih dari 50% jumlah produksi dunia (Agency, 2012). Oleh karena itu, kebutuhan pasokan kedelai Indonesia melalui impor sangat bergantung pada Amerika Serikat. Ketergantungan pasokan kedelai Indonesia melalui impor yang jumlah keseluruhannya didapatkan dari Amerika Serikat akan menyebabkan dampak

ketergantungan yang dimensinya tidak hanya sebatas ekonomi dalam pada komoditas kedelai. Menurut studi yang dilakukan oleh Tim Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, dijelaskan bahwa Impor kedelai Indonesia terhadap Amerika Serikat telah dimulai sejak tahun 1981 dengan jumlah 360.000 ton kedelai dan mengambil volume impor dengan presentase sebesar 94% dari total keseluruhan impor kedelai (Pusat Palawija, 1983). Indonesia menjadi salah satu tujuan ekspor penting kedelai Amerika Serikat karena volume ekspor yang terus meningkat dan menempati posisi kedua terbesar pangsa ekspor Amerika Serikat setelah Uni Eropa (Agriculture, 2012). Oleh karena itu, Amerika Serikat adalah pemain penting bagi ketersediaan kedelai dalam negeri di Indonesia. Selain Amerika Serikat, Indonesia juga melakukan impor kedelai dengan negara lain seperti Argentina, Kanada, Afrika Selatan dan Malaysia (Mae, 2012). Pada tahun 1999, terjadi Peningkatan yang signifikan dalam sejarah impor kedelai Indonesia akibat peningkatan jumlah konsumsi dan juga penurunan area lahan pertanian kedelai bahkan setelahnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 1999 tingkat
18 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


konsumsi kedelai Indonesia berada dalam jumlah tertinggi semenjak Indonesia melakukan impor kedelai pada tahun 1975 yang mencapai 2.684.000 ton kedelai. Pasca tahun 1999, penurunan jumlah produksi kedelai Indonesia dan penurunan luas area pertanian kedelai terus menurun hingga saat ini. Penurunan yang terjadi pasca tahun 1999 menunjukan adanya sebuah jarak yang besar dalam luas lahan pertanian kedelai, yaitu pada tahun 1999 jumlah luas area pertanian kedelai mencapai 1.152.079 hektar, namun pada tahun 2000 terjadi penurunan hingga lebih dari 30% jumlah tahun 1999, yaitu hanya mencapai 824.484 hektar area pertanian kedelai. Begitu juga dengan tahun berikutnya, penurunan area luas pertanian kedelai terus terjadi bahkan mencapai titik terendah. Terdapat beberapa studi yang dilakukan mengenai persoalan impor kedelai di Indonesia. Purwanto (Purwanto, 2009) dalam studinya menyatakan bahwa ada faktor-faktor yang mempengaruhi impor kacang kedelai nasional, antara lain adalah produksi kacang kedelai, konsumsi kacang kedelai, harga kacang kedelai lokal, harga kacang kedelai impor, harga kacang kedelai dunia dan nilai tukar rupiah. Kebijakan impor kedelai mempengaruhi ketahanan pangan Indonesia. Swastika (Swastika, The Frontier of Soybean Development policy, 2005) menjelaskan bahwa kebijakan kedelai nasional dalam waktu jangka pendek dan jangka menengah tidak dapat mencapai kemandirian karena kecenderungan impor. Hal tersebut akan berdampak langsung terhadap ketahanan pangan nasional. Swastika memberikan beberapa rekomendasi kebijakan kedelai untuk mendukung pengembangan kedelai nasional antara lain; menyediakan akses, memberikan pelatihan pada petani kedelai, transfer teknologi, memberikan insentif bagi petani kedelai melalui kebijakan ekonomi makro. Begitu juga dengan studi yang dilakukan Siswono Yudo Husodo (Husodo, 2004), beliau berpendapat kebijakan berorientasi impor yang menyebabkan impor kedelai terus dilakukan. Menurut Siswono impor komoditas pangan terjadi akibat kebijakan liberalisasi bahan pangan setelah krisis ekonomi tahun 1998. Selain itu, masalah pada pertanian itu
19 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


sendiri sepert sulitnya akses kredit bagi petani, dan praktek bisnis yang tidak berbasis hukum serta peran ketidakberpihakan pemerintah melalui regulasi menjadi pendorong impor bahan pangan. Dalam kacamata yang lebih general, hal ini dianggap sebagai era liberalisasi pangan. Liberalisasi pangan yang menyebabkan kecenderungan impor komoditas pangan, Syamsul Hadi (Hadi, 2012) memberikan pandangan hal ini terjadi karena Indonesia terikat pada perjanjian internasional yang mendukung

liberalisasi seperti Agreement on Agricultural WTO tahun 1995 dan juga Letter of Intent IMF ketika Indonesia menghadapi krisis ekonomi tahun 1998. Presiden kita harus mengerti masalah pertanian yang lebih nyata, beliau adalah Doktor Pertanian lulusan IPB, malu kalau tidak mengerti pertanian. Permasalahan mengenai kecenderungan impor kedelai

sebetulnya bukan persoalan baru dan identifikasi masalah dan penyebab akan ketergantungan pun sudah diketahui. Persoalan utama terkait ketergantung impor kedelai terletak pada kemauan pemerintah untuk menyelesaikannya (Political Will). Terlihat sekali bahwa keinginan secara politik pemerintah itu tidak ada. Rektor IPB Prof. Herry Suhardiyanto bahkan sangat menyayangkan hal demikian. Kata beliau, IPB telah memberikan sumbangsih melalui inovasi teknologi untuk dunia pertanian. Tetapi pemerintah mengabaikan Pada 2015, diperkirakan penduduk dunia mencapai 9 Milyar populasi, maka perlu juga penyediaan pangan yang memadai, termasuk juga kedelai. Indonesia mau tetap terjebak impor atau memanfaatkan peluang ini untuk menjadi pemain dalam komoditas pangan dunia. Jawabannya mungkin ada di Presiden SBY dan juga hasil pemilu 2014 nanti.

20 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Komentar : Kedelai merupakan suatu komoditi yang mengndung protein sangat tinggi yang dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan dan minuman. Contoh olahan makanan kedelai yaitu tempe dan tahu sedangkan olahan untuk minuman yaitu susu kedelai. Kebutuhan akan kedelai di Indonesia sangat tinggi sehingga pemerintah harus melakukan impor kedelai. Dari data yang diperoleh dapat dilihat bahwa produksi kedelai di Indonesia sangat rendah sedangkan kebutuhan kedelai di Indonesia sangat tinggi. Walaupun pemerintah melakukan impor tetapi tetap saja kebutuhan kedelai di Indonesia tidak dapat terpenuhi. Tiap tahunnya pemerintah harus mengimpor kedelai untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Banyak petani yang tidak menanam kedelai karena harga kedelai yang tidak tetap sehingga tidak banyak petani yang tertarik untuk menanam kedelai. Seharusnya pemerintah membuat petani untuk menanam kedelai sehingga pemerintah tidak perlu melakukan impor terhadap kedelai. Upaya pemerintah yang pernah dilakukan yaitu memberikan benih gratis kepada para petani untuk ditanam. Tetapi setelah petani memanen hasilnya harga akan kedelai anjlok sehingga petani merugi dan tidak ingin lagi untuk menanam kedelai. Hal ini seharusnya ditangani oleh pemerintah, baiknya jika harga dasar kedelai ditetapkan sehingga petani tertarik untuk menanam kedelai. Tetapi pemerintah cuek saja melihat keadaan. Pemerintah hanya tergantung pada impor tanpa melihat bahwa Indonesia memiliki potensi untuk mengekspor kedelai bukan mengimpor kedelai. Pemerintah baiknya membuat kebijakan yang menguntungkan para petani sehingga kehidupan petani Indonesia lebih layak dan makmur. Pemerintah baiknya mensosialisasikan dengan baik kepada para petani bagaimana cara menanam kedelai sehingga pemerintah tidak perlu lagi untuk mengimpor kedelai dan kebutuhan kedelai dapat tepenuhi.

21 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Masalah Ekonomi : Ekspor dan Impor Beras di Indonesia

Larang, atau Izinkan Impor Garam? Era globalisasi membawa gelombang perubahan dinamis dengan daya paksa tinggi. Mau tidak mau setiap negara dituntut untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan itu. Siapa yang tidak dapat beradaptasi, ia akan dihantam oleh gelombang perubahan itu sendiri. Dunia berubah seiring waktu yang berjalan, negara-negara saling bergantian memasuki fase yang berbeda dalam gelombang konjungtur ekonomi. Silih berganti dari masa ke masa, dari negara satu ke negara lain. Pada era sebelumnya, sebuah negara sangat dimungkinan dapat membatasi jumlah barang dan jasa impor dari luar negeri dengan cara pengenaan pajak, kuota impor, bea dan cukai, maupun dengan peraturan lain. Namun kini, ketika era pasar bebas dimulai, batasan antar negara yang dulunya ada kini seolah menjadi lenyap. Batas itu hanyalah sebagai batas teritori hukum, dimana pada realitanya batas itu tidak ada. Orang, barang, dan jasa dari suatu negara dapat dengan mudahnya berpindah dari satu negara ke negara lain. Beberapa waktu lalu, Presiden SBY selaku pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi menyetujui kebijakan legalisasi impor garam. Reaksi yang berlebihan muncul dikalangan DPR. Mereka menyatakan bahwa hal tersebut akan mematikan petani-petani garam lokal. Sebagai imbas dari orasi salah satu anggota DPR tersebut, para grassroot perekonomian Indonesia yang terdiri dari rakyat kecil dan petani garam terhantam gelombang ketakutan yang sebetulnya tidak perlu ditakutkan. Anggota DPR dengan argumennya yang meyakinkannamun tanpa dasar berusaha meyakinkan ribuan rakyat Indonesia bahwa seharusnya presiden tindak membiarkan garam produksi luar negeri masuk ke Indonesia. Salah satu stasiun televisi swasta tanpa mempedulikan

netralitasnya sebagai insan jurnalis, terpengaruh opini DPR dan turut serta
22 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


memojokkan pemerintah. Sebagai dampaknya, ribuan rakyat indonesia tanpa didasari bekal pengetahuan yang cukup ikut menyudutkan pemerintah. Pemerintah adalah wakil rakyat tetpi tidak pro rakyat, kalimat iulah yang menjadi senjata utama. Di berbagai harian rakyat, baik media cetak maupun online, puluhan artikel bertajuk kebijakanimpor garam ini silih berganti menghiasi halaman utama. Baik artikel yang beraroma mendukung maupun yang mencerca kebijakan impor garam ini. Kedua belah pihak memiliki argumen masing-masing dalam mempertahankan pendapatnya mengenai

kebijakan kontroversial ini. Menyoal Kebijakan Impor Dalam arus perdagangan internasional, pemerintah sebagai pelaku ekonomi dan keuangan publik harus mengambil kebijakan-kebijakan tertentu. Adakalanya kebijakan-kebijakan publik tersebut begitu sukar diputuskan karena adanya trade-off: kesejahteraan rakyat atau

pertumbuhan ekonomi. Dan biasanya keputusan yang diambil adalah opsi yang mengandung eksternalitas negatif paling minimum. Era globalisasi dan pasar bebas memungkinkan suatu negara dengan mudah menjual produksi barang dan jasanya di negara lain (impor). Pada awalnya maksud dari ekspor-impor adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dikarenakan barang yang dibutuhkan tidak dapat diproduksi secara mandiri tidak di negara tersebut. Hingga saat ini, masih ada beberapa kebijakan pemerintah yang dapat dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekspor impor, misalnya saja kuota impor, kuota ekspor, subsidi ekspor, tarif impor, tarif ekspor, premi, diskriminasi harga, larangan impor, larangan ekspor, maupun politik dumping. Sayangnya, jika kondisi perekonomian dunia mencapai keadaan yang diidamkan kaum kapitaliskondisi dunia dimana pasar benar-benar bebas dan murni persaingan sempurnamaka kebijakan seperti larangan impor-ekspor tidak akan dapat dilakukan lagi. Kondisi itu tercermin dalam sebuah perjanjian internasional yakni GATT atau General Agreement on
23 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Tariff and Trade. Sedang untuk kawasan ASEAN terdapat AFTA atau Asean Free Trade Area.

Gambar 02. Petani Garam Manfaat dari ekspor impor ini adalah, negara kita dapat memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri, memperoleh keuntungan dari spesialisasi, memperluas pasar dan menambah keuntungan, serta sebagai sarana untuk transfer teknologi modern dari negara maju ke negara berkembang. Kegiatan ekspor-impor ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, yakni dengan cara biasa, barter, konsinyasi, package deal, maupun penyelundupan. Selain manfaat, kegiatan ekspor impor ini juga memiliki sisi negatif misalnya saja masalah pengangkutan dan pengiriman dari produsen-produsen di Indonesia yang tersebar, masalah pembiayaan rupiah dimana kurs sangat mempengaruhi daya beli negara, dan masalah keamanan saat sortasi dan up-grading di pelabuhan. Larangan impor garam, benarkah baik? Dalam ilmu ekonomi maupun hubungan internasional, sebuah negara memang tidak mungkin terlepas dari negara lain. Negara dapat diumpamakan layaknya manusia, ia berlaku sebagai homo social. Seorang individu tidak akan bisa bertahan hidu tanpa kehadiran dan bantuan individu yang lain. Bagitu juga dengan negara, sebuah negara tidak akan dapat bertahan jika ia bersikeras menolak interaksi dengan negara lain.

24 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Seperti yang telah kita pelajari dalam Pengantar Keuangan Publik, bahwasannya tujuan pemerintah adalah untuk kesejahteraan rakyat. Jadi alasan utama pemerintah melarang atau mengizinkan impor garam adalah sepenuhnya untuk rakyat. Secara sepintas, tampaknya larangan impor garam adalah suatu keputusan yang bijakdibandingkan dengan mengizinkan impor garamkarena produksi garam dalam negeri (dianggap) akan terlindungi dan petani garam akan makmur. Namun studi ekonomi berkata lain. Yang terjadi, kekuatan pasar bebas lebih besar dibanding regulasi larangan impor garam. Sebagai akibat dari larangan impor tersebut, berton-ton garam produksi luar negeri dapat dipastikan akan tetap menerobos palang larangan impor melalui mekanisme pasar gelap atau black market. Yang selama ini lolos dari perhatian publik adalah fakta bahwa black market mempunyai lebih banyak efek negatif bagi perekonomian Indonesia, diantaranya adalah berkurangnya penerimaan pajak dan bea masuk dari garam. Hal tersebut tentu saja merugikan negara dan pada akhirnya rakyat jugalah yang akan merugi. Dalam studi ekonomi publik, kebijakan larangan impor garam ini akan menimbulkan dampak negatif yang lebih besar jika dibandingkan dengan diizikannya impor garam. Dampak lgalisasi impor garam terhadap petani lokal Dengan adanya garam-garam impor, supply garam yang ada di dalam negeri akan meningkat. Sementara itu jumlah permintaan akan garam cenderung tetap, hal ini menimbulkan kelebihan permintaan sehingga harga garam dipastikan akan turun. Ini tentu saja kurang menguntungkan bagi petani garam karena tingkat penghasilan mereka menurun dibanding sebelumnya. Sebagai dampaknya, garis anggaran (budget line) para petani garam tersebut bergeser ke arah kiri sehingga daya beli menurun. Pada awalnya, kebijakanimpor garam ini akan tampak merugikan petani garam. Hal tersebut dikarenakan petani garam sendiri belum siap menghadapi serbuan garam dari luar negeri yang notabenya lebih
25 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


berkualitas dan diolah dengan teknologi yang lebih canggih. Sebagai reaksi awal pasar tentu saja produksi garam lokal kurang diminati karena kualitasnya yang lebih rendah. Namun sebenarnya permasalahan ini bukan permasalahan buntu tanpa jalan keluar. Setiap permasalahan ekonomi pasti adal jalan keluarnya, yang menjadi pertanyaannya adalah apakah kita mau atau tidak. Solusi Solusi dari permasalahan kebijakan impor garam ini terletak pada upaya dalam negeri. Membendung garam produksi luar negeri dengan larangan impor tidaklah tepat karena akan menimbulkan pasar gelap. Yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah menggenjot produksi garam dalam negeridan meningkatkan kualitasnya sehingga dapat bersaing dengan garam impor. Dalam upaya ini, pemerintah perlu mengadakan sosialisasi tentang langkah yang harus ditempuh agar produksi garam berkualitas tinggi. Selain itu pemerintah perlu memberi suntikan dana untuk pengadaan perkakas produksi garam. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah impor pada waktu yang tepat. Artinya impor seharusnya dilakukan saat-saat produksi garam dalam negeri mengalami paceklik. Mengimpor garam saat musim panen garam sebaiknya dihindari karena akan mematikan petani lokal. Pemerintah juag sebaiknya melibatkan petani garam dalam pengambilan keputusan. Saat ini yang kurang tepat di Indonesia adalah dalam pengambilan keputusan biasanya pemerintah tidak melibatkan perwakilan dari grassroot. Pemerintah perlu melibatkan para petani supaya para petani garam tersebut tahu landasan dan dasar pengambilan keputusan. Simpulan: Dorong dari Dalam, Bukan Melarang yang dari Luar Sebuah negara tidak mungkin terlepas dari peranan negara lain. Sebuah negara tidak akan dapat bertahan jika ia bersikeras menolak interaksi dengan negara lain. Pemerintah sebagai pelaku ekonomi dan keuangan publik harus mengambil kebijakan-kebijakan tertentu.

Adakalanya kebijakan-kebijakan publik tersebut begitu sukar diputuskan


26 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


karena adanya trade-off, antara kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan ekonomi. Alasan utama pemerintah melarang atau mengizinkan impor garam adalah sepenuhnya untuk rakyat. Membendung garam produksi luar negeri dengan larangan impor tidaklah tepat karena akan menimbulkan pasar gelap. Yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah menggenjot produksi garam dalam negeri dan meningkatkan kualitasnya sehingga dapat bersaing dengan garam impor.Hal-hal yang sebaiknya diperhatikan antara lain:
a.

Pemerintah perlu menggenjot produksi garam dalam negeri dan meningkatkan kualitasnya sehingga dapat bersaing dengan garam impor.

b.

Impor pada waktu yang tepat dengan menghindari mengimpor garam saat musim panen.

c.

Pemerintah

juga

sebaiknya

melibatkan

petani

garam

dalam

pengambilan keputusan.

27 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Komentar : Garam merupakan bahan dapur yang dibutuhkan oleh seluruh orang didunia ini untuk menciptakan rasa yang enak untuk makanan. Jika suatu negara tidak dapat memenuhi kebutuhan garam untuk

masyarakatnya maka mau tidak mau negara tersebut harus mengimpor garam dari negara lain. Hal inilah yang dialami oleh negara kita. Sangat memalukan jika dikatakan bahwa negara kita dapat menghasilkan garam tetapi tetap saja kita mengimpor garam dari luar negeri. Pemerintah sangat mudah mengatakan atau memutuskan untuk mengimpor garam tanpa melihat keadaan petani garam dinegara kita. Upaya pemerintah tidak maksimal dalam memimpin petaninya untuk memproduksi garam dengan kualitas yang maksimal. Pemerintah juga tidak dapat menghentikan impor garam karena akan menimbulkan pasar gelap yang dapat merugikan pemerintah sendiri. Seharusnya pemerintah membuat petani untuk semangat dalam memproduksi garam dengan kualitas yang baik sehingga walaupun dilakukan impor garam tetap garam dalam negeri yang dijual kepada masyarakat. Solusi yang ditawarkan diatas dapat dilakukan oleh pemerintah yaitu menghindari impor saat petani panen. Kiranya pemerintah dapat melihat kapan waktu yang tepat untuk mengimpor garam yang artinya saat garam mulai langka di Indonesia berulah pemerintah melakukan impor garam.

28 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Gambaran Umum Dampak terhadap Sektor Pertanian Sebagian besar perekonomian dunia terkena imbas KKG 2008/09 melalui jalur perdagangan dan jalur finansial. Tertekannya kinerja ekspor akibat anjloknya harga berbagai komoditas ekspor berdampak cukup kuat, khususnya terhadap negara-negara pengekspor komoditas berbasis sumber daya alam. Selain itu, dampak KKG 2008/09 terhadap seluruh dunia, termasuk kawasan Asia, juga terlihat dari turunnya indeks bursa saham ke tingkat yang berada di luar perkiraan. Di Indonesia, imbas krisis mulai terasa menjelang akhir 2008. Hal ini tercermin dari melambatnya pertumbuhan ekonomi secara signifikan, terutama karena anjloknya kinerja ekspor seiring dengan turunnya harga berbagai komoditas unggulan, seperti kelapa sawit dan karet. Secara langsung, penurunan tersebut memukul sebagian petani di Indonesia. Petani juga telah kehilangan sebagian pasar produk pertanian mereka di Amerika Serikat (AS) dan negara- negara yang menjadi mitra AS seperti Singapura, Jepang, Cina, India, dan negara-negara Eropa. Dampak krisis terhadap petani dapat dilihat, antara lain, dari perubahan nilai tukar yang diterima petani (NTP)1. Secara nasional, sejak April 2008, NTP meningkat terus dan mencapai titik tertinggi

(101,69) pada September 2008. Pada Oktober 2008, NTP turun ke level 99,2 dan turun terus; NTP mencapai titik terendah pada level 98,99 pada Januari 2009. Meskipun sejak Januari 2009 NTP merambat naik, data bulan Juni menunjukkan bahwa NTP belum mencapai level 100. Data per komoditas (Gambar 2) memperlihatkan penurunan NTP yang cukup tajam untuk tanaman perkebunan rakyat dan hortikultura.

29 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin

Gambar 03. Nilai Tukar Petani Dampak terhadap Subsektor Perkebunan Kelapa Sawit Kelapa sawit merupakan primadona komoditas ekspor subsektor perkebunan Indonesia. Sebagian besar areal perkebunan kelapa sawit berada di seluruh provinsi di Sumatra dan Kalimantan, dan sebagian berada di Papua. Total lahan perkebunan sawit Indonesia mencapai 7,1 juta ha. Sekitar 60% areal tersebut berada di Sumatra (4,8 juta ha) dan sisanya berada di Kalimantan dan Papua. Saat KKG 2008/09 melanda dunia, permintaan ekspor minyak sawit turun drastis dan harga minyak sawit mentah (CPO) dan tandan buah segar (TBS) sawit menurun tajam. Sebelum krisis, harga CPO dapat mencapai US$1.400 per metrik ton, namun pada saat krisis, harga CPO hanya berkisar antara US$400US$500 per metrik ton. Demikian pula halnya dengan harga TBS sawit. Sebelum krisis, harga di tingkat petani berkisar antara Rp1.500Rp2.000 per kg, tetapi selama krisis ini, harga TBS sawit hanya Rp350Rp500 per kg. Padahal, bila harga TBS Rp500 per kg, setelah dikurangi ongkos dan biaya-biaya lain, keuntungan petani hanya Rp150 per kg. Dari semua petani sawit, petani nonplasmalah yang paling merasakan dampak krisis karena buah sawit mereka dihargai lebih rendah dari buah sawit petani plasma dan tidak ada yang menjamin
30 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


bahwa pabrik akan membeli sawit mereka. Namun, produsen minyak sawit dan petani sawit plasma juga dirugikan. Diberitakan bahwa pembatalan kontrak CPO dari 21 perusahaan di India mengakibatkan ekspor CPO Sumatra Selatan turun 30% dan 95 perusahaan minyak sawit merumahkan 30 ribu dari 100 ribu buruh harian lepasnya. Di Kotawaringin, Kalimantan Tengah, sebuah perusahaan minyak sawit juga meliburkan 900 buruh harian lepas. Di Kalimantan Barat, 2 dari 14 investor asing yang telah mempunyai izin membuka perkebunan sawit menunda realisasinya. Sebanyak 22 pabrik minyak sawit di Kalimantan Barat juga menurunkan produksi CPO-nya sebesar 10%12% dari ratarata produksi per bulan 58.300 ton menjadi 46.67052.500 ton.

Ekspor produk turunan sawit, seperti minyak oleochemical, juga turun 50%. Akibat KKG 2008/09, petani sawit dan pedagang pengumpul di Provinsi Riau tidak dapat mengembalikan kredit investasi dan modal kerja, serta kredit cicilan motor. Menurut data Bank Indonesia Riau, sebanyak 11.304 petani sawit dengan total kredit Rp335 miliar bermasalah dengan pengembalian kreditnya. Selain itu, 543 dari 4.500 sepeda motor kreditan ditarik karena kredit macet (86% pengkredit sepeda motor adalah petani sawit). Bank Indonesia Riau juga

mencatat bahwa 104.000 keluarga petani plasma dan 174.978 keluarga petani nonplasma menghadapi kesulitan membayar utangnya ke Sumatra Utara,

bank yang besarnya mencapai Rp1,2 triliun. Di turunnya harga sawit dan

naiknya harga pupuk (sampai 500%) membeli pupuk dan merawat

membuat petani tidak mampu

tanamannya sehingga produksinya menurun. Untuk bertahan hidup selama krisis, banyak petani sawit menjadi buruh di kebun orang lain. Mereka berusaha mengangsur kredit dengan penghasilan dari hasil kebun lainnya, seperti padi, karet, kakao, atau kopi; atau dengan bergotong royong dengan saudara atau tetangganya. Di tingkat pengusaha, sebagian menunda perluasan kebun dan

peremajaan tanaman, memotong biaya produksi hingga 50%, dan


31 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


merumahkan buruh lepas. Bank-bank menjadwal ulang pinjaman nasabah yang berhubungan dengan sawit, menurunkan suku bunga pinjaman, dan menganjurkan penambahan investasi. Pemerintah

berupaya membantu dengan mengurangi pajak ekspor CPO pada November menjadi 0%; menetapkan bea masuk 0% bagi bahan baku impor produksi hilir yang sebagian berbahan CPO; mewajibkan sektor transportasi, industri, dan pembangkit tenaga listrik untuk

menggunakan bahan baku nabati (CPO) sebesar 5%; dan mewajibkan peremajaan tanaman tua. Pada semester I 2009, harga TBS sawit dan minyak sawit mulai meningkat, antara lain, karena naiknya harga minyak dunia, kegagalan panen kedeleyang merupakan salah satu bahan baku biofueldi Amerika Serikat, meningkatnya pembelian cadangan CPO Cina, dan kebijakan wajib mencampur biofuel sebanyak 5% dengan BBM di Indonesia dan Malaysia. Pada Juni 2009, harga TBS sawit di Sumatra Selatan naik menjadi Rp1.484,58 per kg. Pada triwulan II 2009, harga CPO dunia sudah meningkat menjadi US$750 per metrik ton. Karet Karet termasuk komoditas utama perkebunan Indonesia setelah kelapa sawit. Turunnya tingkat penjualan mobil di AS sangat

berpengaruh terhadap permintaan karet dunia karena sebagian besar karet merupakan bahan mentah bagi produksi pendukung automotif. Pada Juni 2008, harga karet dunia masih 329,75 sen AS per kg. Pada September 2008, harga karet turun menjadi 280,5 sen AS per kg, kemudian turun lagi menjadi 152 sen AS per kg pada Oktober 2008, dan menyentuh level 120 sen AS per kg pada Desember 2008. Penurunan harga karet dunia mengakibatkan permintaan dan harga karet Indonesia turun secara tajam. Di Sumatra Barat, Sumatra Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan, harga lump (gumpalan) karet turun dari Rp9.000Rp13.000 per kg menjadi Rp2.000Rp4.000 per kg. Di Sukabumi, Jawa Barat, harga lump karet turun dari Rp7.000 per kg sebelum krisis menjadi Rp3.000 per kg.
32 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Harga karet lembaran (RSSribbed smoked sheet) di Sukabumi yang sebelum krisis mencapai Rp24.000 per kg turun menjadi Rp19.000 per kg pada saat krisis. Turunnya harga karet menyebabkan banyak petani karet tidak mau menyadap dan memelihara pohon karetnya, dan pasokan ke pabrik berkurang drastis. Di Jambi, produksi karet turun 30% dari 60.000 ton per bulan menjadi 42.00045.000 ton. Oleh karena itu, pabrik karet menurunkan produksinya dan mengurangi jumlah hari kerja buruh dari dua minggu menjadi tiga hari. Di Sumatra Barat, 3.000 buruh dari 6 pabrik karet menganggur karena pabrik-pabrik tersebut berhenti

beroperasi akibat kekurangan bahan baku. Petani karet juga tidak mampu membeli pupuk dan

pendapatannya berkurang 50%. Petani karet di Banyuasin, Sumatra Selatan, misalnya, mengatakan bahwa sejak Oktober 2008, pendapatan mereka dari empat hektare kebun karet hanya 23 juta rupiah per bulan, padahal sebelumnya bisa mencapai 56 juta rupiah per bulan. Bahkan sebagian petani karet di Banyuasin menjual murah kebun karet mereka seharga sekitar 30 juta rupiah per bidang atau hektare. Padahal harga normalnya berkisar antara 4560 juta rupiah. Selain itu, banyak petani karet menunggak pembayaran utang di koperasi dan cicilan sepeda motor, seperti yang terjadi pada 90 petani karet di Muaro Jambi. Setelah berhenti menyadap karet saat krisis, petani karet beralih mengurus tanaman lain yang lebih menguntungkan atau menjadi buruh di kebun orang lain. Pengepul karet mengurangi pembelian karet atau menjual karet bersih yang harganya lebih mahal dari lump karet. Saat krisis, peremajaan tanaman karet tertunda dan Pemerintah Pusat mengeluarkan aturan untuk tidak membuka kebun baru serta

mengoordinasi pemasaran karet dengan negara penghasil karet lainnya seperti Malaysia dan Thailand. Seiring makin stabilnya harga minyak dunia pada awal hingga pertengahan 2009, terjadi beberapa kali perubahan harga karet. Pada Januari 2009, harga karet naik dari Rp3.500 per kg menjadi Rp4.000 per kg dan naik lagi menjadi Rp5.000 per kg setelah itu sehingga pada Juni
33 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


2009 harga karet bertahan di level Rp5.500Rp6.000 per kg. Kopi Indonesia merupakan salah satu produsen kopi utama di dunia di samping Brasil, Vietnam, dan Kolombia. Sebagian produksi kopi Indonesia diekspor ke AS, Jepang, Eropa, dan Cina. Akibat KKG 2008/09,

permintaan dan harga kopi dunia menurun sehingga permintaan ekspor dan harga kopi di Indonesia pun menurun. Harga kopi di pasar internasional turun dari US$3.800 per metrik ton sebelum krisis menjadi US$3.200 per metrik ton. Selama krisis, permintaan ekspor kopi dari Jawa Timur menurun sampai 25%30% dan harga kopi turun dari Rp18.000 per kg menjadi Rp16.000 per kg. Demikian pula halnya di Bandar Lampung. Mulai

September 2008, harga kopi asalan di tingkat petani turun drastis dari Rp25.000 per kg menjadi Rp16.000 per kg. Di Sumatra Selatan, harga kopi turun dari harga normal Rp15.000 per kg menjadi Rp11.000 per kg. Sebanyak 90% produk kopi Sumatra Selatan diekspor melalui Lampung. Karena ekspor kopi sedang lesu, gudang-gudang kopi Lampung penuh dengan kopi dari Sumatra Selatan. Turunnya harga kopi juga

membuat sebagian besar dari sekitar 400 pengekspor kopi di Sumatra Utara (Sumut) yang terdaftar di Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia

(AEKI) gulung tikar. Oleh karenanya, pada pertengahan 2009, hanya ada 60 pengekspor kopi yang masih aktif. Kerugian pengekspor

kopi di Sumut terutama dipicu oleh pembelian kopi saat harga di tingkat petani masih cukup tinggi jauh hari sebelum KKG 2008/09. Pengekspor kopi arabika di Sumut menjadi kelompok yang paling terpukul karena turunnya permintaan ekspor kopi ke AS. Kakao Indonesia termasuk produsen utama kakao setelah Pantai Gading dan Ghana. Menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun), luas perkebunan kakao di Indonesia pada 2008 mencapai 1.592.932 ha, dengan produksi biji kakao sebanyak 849.875 ton. Harga rata-rata biji kakao yang tercatat di Ditjenbun pada 2008 adalah Rp15.136 per kg dan pada 2009
34 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


naik menjadi Rp24.819 per kg. Saat krisis, diberitakan bahwa harga kakao di Bali turun dari Rp31.000 per kg menjadi Rp17.000 per kg, sedangkan di Deli Serdang, Sumut, harganya turun dari Rp20.000 per kg menjadi Rp16.000 per kg. Di Sulawesi Selatan, ekspor kakao yang saat sebelum krisis, selama periode Januari Mei 2008, mencapai 47.240,395 ton

hanya tercatat 37.204,429 ton pada periode yang sama pada 2009. Sepanjang 2009, 12 dari 14 pabrik penggilingan biji kakao yang ada di Indonesia menghentikan produksinya; bahkan 4 di antaranya sudah tutup. Hanya tinggal dua pabrik penggilingan biji kakaoyang memproduksi cocoa powder dan cocoa butteryang masih beroperasi. Satu pabrik berlokasi di Tangerang dan satu lainnya di Bandung; total kapasitas produksi keduanya adalah 100.000 ton per tahun. Turunnya aktivitas pabrikpabrik tersebut disebabkan oleh permintaan ekspor produk kakao di pasar AS dan Eropa yang terus menurun, harga ekspor produk kakao yang juga turun, dan cash flow (aliran dana) pabrik yang terhambat akibat waktu pembayaran yang lebih panjang dari biasanya (dari 10 hari menjadi 11,5 bulan). Kopra Merosotnya harga minyak dunia pada triwulan IV 2008 juga berimbas pada harga kopra. Di Padang Pariaman, Sumatra Barat, harga kopra merosot dari Rp8.000 per kg menjadi Rp4.200 per kg. Karena harga kelapa yang menjadi bahan baku kopra tetap stabil, pengusaha kopra tidak mendapat untung. Di Jambi, dilaporkan bahwa penurunan harga kopra sudah terjadi sejak akhir 2008. Harga kopra yang semula Rp7.000 per kg turun menjadi Rp3.600 per kg. Tidak seperti di Padang Pariaman, harga kelapa butir di Jambi ikut turun dari Rp1.500 per butir menjadi Rp700 per butir. Untuk menambah penghasilan, petani kopra memanfaatkan batok kelapa untuk diolah menjadi arang batok yang bisa di jual kepada pedagang pengepul dengan harga Rp1.200 / kg. Arang batok ini sangat diminati oleh perusahaan-perusahaan di Malaysia. Selain itu, sebagian petani kopra mengalihkan usahanya ke kegiatan memanen pinang yang banyak ditanam di Jambi. Harga pinang di tingkat petani cukup baik dan stabil di tingkat
35 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Rp4.000/ kg, meski pada 2006 harganya pernah jatuh hingga Rp2.000 / kg. Dampak terhadap Subsektor Tanaman Pangan Jagung Pemberitaan mengenai perkembangan harga komoditas jagung memperlihatkan adanya perbedaan pengaruh KKG 2008/09 di Provinsi Lampung dan Provinsi Gorontalo. Sejak awal November 2008, petani jagung di Provinsi Lampung mengeluhkan turunnya harga jagung basah dari Rp1.800Rp2.000 per kg menjadi Rp1.000 Rp1.100 per kg. Petani Lampung tidak biasa mengeringkan jagung; mereka langsung menjual jagung siap panen ke pedagang pengumpul yang akan mengeringkan dan memipil jagung untuk kemudian dijual ke pabrik pakan ternak. Sebaliknya, di tengah lesunya ekspor berbagai komoditas pertanian, ekspor jagung asal Gorontalo meningkat. Pada Januari 2009,

sebanyak 3.600 ton jagung pipil siap dikapalkan ke Filipina dengan nilai transaksi sebesar Rp4,4 miliar. Pada 2008, dari sekitar 500.000 ton produksi jagung Gorontalo, sebanyak 177.182 ton dipasarkan ke luar Gorontalo: 79.385 ton diekspor ke Malaysia, Filipina, dan Korea Selatan; dan sisanya dipasarkan ke Surabaya, Jakarta, dan Medan.

Gambar 04. Turunnya permintaan produk kakao dari AS dan Eropa berimbas pada subsektor perkebunan kakao di Indonesia Singkong Laporan mengenai dampak krisis terhadap komoditas singkong yang
36 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


terpantau hanyalah laporan dari Provinsi Lampung. Saat krisis, harga singkong di tingkat petani turun hingga 50% dari sekitar Rp580 per kg menjadi sekitar Rp280Rp300 per kg. Hal ini merugikan petani karena hasil panen tidak dapat menutupi biaya produksi, termasuk biaya pupuk dan angkutan. Akibatnya, banyak petani tidak dapat mengembalikan modal yang diperoleh melalui pinjaman. Tidak ada informasi mengenai sebab turunnya harga singkong secara signifikan, namun diketahui bahwa singkong merupakan bahan baku dalam pembuatan tepung tapioka yang merupakan salah satu komoditas ekspor andalan dari Provinsi Lampung. Dampak terhadap Subsektor Perikanan Ekspor perikanan Indonesia langsung melemah ketika permintaan dari AS turun 30%40% saat terjadi KKG 2008/09. AS merupakan pasar utama ekspor perikanan Indonesia dan menyerap rata-rata 40% dari total ekspor nasional. Melemahnya ekspor perikanan Indonesia dimulai ketika beberapa pengimpor udang AS meminta negosiasi ulang kontrak guna menurunkan harga dan volume ekspor produk perikanan Indonesia. Selain itu, terjadi keterlambatan pembayaran dari pengimpor hingga dua minggu sejak kiriman diterima. Biasanya, permintaan ekspor produk perikanan Indonesia mencapai puncaknya pada OktoberDesember, namun hingga akhir 2008, belum terlihat adanya peningkatan permintaan. Di Sulawesi Utara, dilaporkan bahwa ekspor ikan ke AS, Jepang, Korea Selatan, Hong Kong, dan sejumlah negara Eropa selama krisis pada 2008 menurun drastis hingga 40%. Pada Oktober 2008, pesanan udang ekspor di Jawa Timur turun 10%15% dan nilai ekspornya menurun akibat penurunan volume ekspor tersebut. Pada Maret 2009, permintaan naik 7%, namun kemudian turun 10,91% pada Juli 2009. Di Bandar Lampung, saat memasuki masa tebar benur pada Oktober 2008, petambak udang mengurangi kepadatan benur dari 150 ekor per meter persegi menjadi 8090 ekor per meter persegi karena harga udang turun dari Rp42.000Rp47.000 per kg (isi 50 ekor per Rp38.000 per kg. Padahal, kg) menjadi

biaya produksi satu kilogram udang

biasanya mencapai Rp35.000. Meski pengurangan jumlah benur akan


37 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


menurunkan biaya produksi, produksi udang juga akan turun. Diperkirakan bahwa produksi udang Lampung akan turun 40% dari total produksi 8.000 metrik ton per tahun sebelum krisis. Biaya produksi juga makin berat karena harga pakan udang naik dari Rp8.500Rp9.000 per kg menjadi Rp10.000 per kg. Selain itu, petambak juga dibebani biaya pembelian solar yang tinggi dan penundaan pembayaran dari pengusaha cold storage (tempat penyimpanan udang bersuhu dingin) yang mulai tidak lancar karena pengusaha tersebut pun belum mendapatkan pembayaran dari kliennya. Di DKI Jakarta, ikan cakalang ekspor yang biasanya di jual Rp12.500Rp14.000 per kg saat krisis turun menjadi Rp8.000 per kg. Akibatnya, nelayan mengurangi pembelian solar dari 1520 metrik ton untuk keperluan satu bulan menjadi 1015 metrik ton yang hanya digunakan untuk melaut selama 20 hari saja. Secara keseluruhan, ekspor hasil perikanan pada 2009 yang ditargetkan mencapai US$2,8 miliar dikhawatirkan tidak dapat tercapai akibat kekurangan pasokan. Dampak terhadap Subsektor Peternakan Unggas Secara tidak langsung, dampak KKG 2008/09 juga menyentuh subsektor peternakan unggas karena penurunan daya beli konsumen, khususnya akibat turunnya harga berbagai komoditas pertanian di luar Jawa, menyebabkan turunnya permintaan terhadap produk unggas. Selama krisis, permintaan harian terhadap ayam pedaging turun 10% 15%. Di Sumatra Selatan, kesulitan peternak bertambah karena harga ayam petelur usia satu hari (day old chick/DOC) yang biasanya hanya Rp4.000Rp4.500 per ekor naik menjadi Rp10.000 per ekor. Turunnya daya beli konsumen juga mendorong terjadinya substitusi sumber protein dari daging dan ikan ke telur. Pada 2009, diperkirakan bahwa produksi telur akan meningkat 5% dari total produksi telur tahun sebelumnya dan mencapai 860.000 ton.

38 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Komentar : Perekonomian di Indonesia pernah mengalami krisis tepatnya pada tahun 2008. Hal itu diakibatkan anjloknya komoditas unggulan Indonesia yaitu kelapa sawit dan karet. Terjadinya keanjlokan ini mengakibatkan daya ekspor Indonesia melemah sehingga mengurangi pendapatan petani. Pemerintah baiknya melihat sejarah pertanian di Indonesia, mengapa tahun-tahun yang lalu kita mampu mengadakan ekspor tetapi mengapa sekarang ini hamper semua komoditi yang ada di Indonesia juga di impor kedalam negeri. Impor memiliki dampak pada berbagai sektor seperti sektor tanaman pangan, sektor perkebunan, sektor peternakan dan lain-lain. Hal yang diakibatkan dari impor tersebut yaitu turunnya harga dari komoditi yang dipanen oleh petani sehingga petani mengalami kerugian. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah guna mencegah hal tersebut, salah satunya yaitu dengan mengamati secara langsung ke lapangan apa permasalahan petani sehingga tidak dapat memenuhi standard panen untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pemerintah juga harus bekerja sama dengan pemerintah daerah agar semua dapat terlaksana dengan baik sehingga peristiwa tahun sebelumnya dimana Indonesia bias mengekspor bahan pangan dengan kualitas baik dapat terulang dan Indonesia tidak perlu lagi mengimpor kedalam negeri.

39 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Minyak Kelapa Sawit Menguasai Pasar Dunia Sejak beberapa tahun ini sejumlah organisasi mitra Brot fr die Welt dan Vereinte Evangelische Mission di Indonesia menunjukkan perhatian khusus terhadap masalah yang saat ini sangat mendesak yakni: semakin meluasnya perkebunan-perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Hal ini berarti terjadinya penggundulan hutan hujan tropis seluas jutaan hektar serta penggusuran penduduk setempat. Pada tahun-tahun belakangan ini, Indonesia menjadi penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia dan bersama dengan Malaysia memasok 90 % dari jumlah total yang diperdagangkan di pasar internasional. Demikian juga negara Jerman terus mencatat kenaikan impor minyak kelapa sawit yang hingga kini hampir mencapai satu juta ton per tahun ( 2008 ). Oleh karena itu, untuk menghindari dampak-dampak negatif dari produksi minyak kelapa sawit, diperlukan adanya kriteria-kriteria yang menjamin produksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan. Kriteria-kriteria tersebut harus berlaku secara global, memperhatikan aspek sosial dan ramah lingkungan, sehingga dapat menjadi acuan dalam penggunaan minyak kelapa sawit sebagai bahan makanan, sebagai bahan bakar atau dalam industri-industri kimia. Penggunaan terbanyak minyak kelapa sawit dalam industri pangan. Sebagian besar terdapat

bahan-bahan

makanan di pasar swalayan mulai dari margarin sampai pizza siap saji mengandung minyak kelapa sawit, yang dalam daftar kandungan biasanya disamarkan dengan nama minyak nabati. Bahkan saat membeli lipstik, sabun cuci atau lak, banyak

konsumen yang tidak sadar, bahwa semua itu mengandung minyak kelapa sawit. Di samping itu, minyak kelapa sawit juga

dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit tenaga listrik atau diolah menjadi biodiesel untuk kendaraan.

40 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Diminati Seluruh Dunia Dalam tigapuluh tahun terakhir, jumlah konsumsi

minyak nabati di seluruh dunia meningkat tiga kali lipat. Diantara komoditas utama minyak nabati, minyak kelapa sawit meraih tingkat pertumbuhan paling tinggi: jauh

produksinya

mencapai hingga sepuluh kali lipat, sehingga besarnya jumlah konsumsi minyak kelapa sawit diantara minyak nabati lainnya telah mencapai 34 persen yang tadinya hanya 11 persen. Bahkan kalau produksi minyak biji sawit ikut dihitung, maka Minyak kelapa

besarnya mencapai 38 persen (Teoh sawit

2010:7).

dapat diperoleh dari daging buah kelapa sawit itu sendiri

atas dari perasan biji sawitnya yang disebut dengan minyak biji sawit.

Gambar 05. Produksi Minyak Nabati Perlu Perawatan Khusus Aslinya tumbuhan kelapa sawit berasal dari Afrika.

Namun sekarang kelapa sawit juga sudah banyak ditanam di Amerika dan terutama di Asia Tenggara. Tumbuhan kelapa sawit membutuhkan iklim lembab tropis dan dapat menghasilkan
41 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


hingga ribuan buah hanya pada satu pohon, sehingga beratnya dapat mencapai 50 kg. Karena lemak yang terdapat dalam buah kelapa sawit cepat sekali rusak akibat suatu enzym, maka setelah panen, buah kelapa sawit tersebut harus diolah dalam waktu 24 jam. Biasanya pohon kelapa sawit pertama kali berbuah sesudah berumur 3 4 tahun dan 18 tahun kelapa sawit pada umur 10 maksimal.

menghasilkan panen yang

Investasi yang diperlukan untuk satu hektar lahan kelapa sawit hingga perolehan panen pertamanya berkisar antara 4000 8000 USD (USDA 2009; World Bank 2010: 28). Faktor-faktor seperti kualitas dan umur pohon kelapa sawit, perawatan perkebunan, ketersediaan pupuk dan obat semprot sangat menentukan jumlah panen. Hasil panen minyak dari dua negara penanam kelapa sawit terbesar yaitu Malaysia dan Indonesia masing-masing pertahun 4,1 ton / hektar dan 3,5 ton / hektar. Para ahli bahkan menaksir sampai 8 ton minyak per

hektar (Teoh 2010: 25; USDA 2009). Dengan demikian jumlah panennya jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil

panen tumbuhan lain yang juga menghasilkan minyak. Berdasarkan perkiraan, pohon kelapa sawit ditanam hanya pada areal seluas 5 penghasil persen dari minyak keseluruhan nabati areal untuk tumbuhan tetapi mampu

lainnya,

menghasilkan produksi sejumlah 38 persen dari total panen minyak nabati di seluruh dunia (Nestl 2010). Tabel 1: Produksi minyak (hasil panen dalam kilogram per hektar) Kelapa sawit 3.500 Lobak (rapa) 1.0 8.000 Kacang tanah 98 00 Bunya matahari 80 0 Kelapa 39 0 Kacang kedelai 37 5 Kapas 17 5 Wijen 15 3 Sumber: CIFOR 2009: 11 / USDA 2009 9
42 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Lahan Tanam, Produksi dan Ekspor Data mengenai luas lahan kelapa sawit sangat bervariasi, tergantung sumbernya. Departemen Pertanian Amerika Serikat memperkirakan bahwa Indonesia pada tahun 2009 telah 7,3 juta bahkan

menanam kelapa sawit pada lahan seluas kira- kira hektar. Organisasi-organisasi non-pemerintah

memperhitungkan sampai 9,2 juta 2010). Dinas pemerintah di

hektar (USDA 2009; SPKS Malaysia menaksir lahan

perkebunan di Malaysia mencapai 4,7 juta hektar pada akhir tahun 2009 (Husain 2010). Indonesia melonjak naik menjadi

produsen ekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Pada musim panen 2009/10 negara kepulauan ini menghasilkan 21 juta ton minyak kelapa sawit, yaitu hampir separuh dari produksi minyak kelapa sawit Sebanyak 18 juta dunia yang ton lainnya berjumlah 45 juta ton.

berasal dari Malaysia. Di perasan

samping minyak kelapa sawit

yang dihasilkan dari

buah kelapa sawit, pada tahun panen 2009/10 juga terhitung 5,3 juta ton minyak biji sawit yaitu minyak dari perasan biji sawit yang masuk ke pasar dunia. Indonesia mendominasi pasar ini dengan 2,3 juta ton produksi, disusul Malaysia dengan angka 2,1 juta ton (USDA 2010a; Toepfer 2009: 35). Lebih dari 90 persen ekspor dunia berasal dari Malaysia dan Indonesia. Patut diamati bahwa Indonesia mengalami luar biasa antara tahun 2003 dan

pertumbuhan ekspor yang

2010 yaitu berlipat ganda menjadi 16,2 juta ton (musim panen 2009 / 2010) dan berdasarkan perkiraan akan terus meningkat (Tabel 2). Tabel 2: Ekspor Minyak kelapa sawit (dalam 1000 ton) Dunia Indonesi Malaysia a 1982 4.536 84 435 2.981 1992 10.11 94 1.815 3 6.291 2003 / 21.610 04 7.856 11.602 1 37.44 2010 / 18.00 0 11 16.10 0 0

43 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Benin Papua tidak tidak ada tidak data ada tidak data ada data tidak ada tidak data ada tidak data ada data pemakaian yang minyak sangat 480 426 312 ada tidak data Nugini Thailand ada tidak data ada 1 Perkiraan data satu

Multi Guna Salah

sebab meningkatnya

kelapa sawit

adalah karena kegunaannya

beragam. Mulai dari penggunaannya untuk kebutuhan rumah tangga seperti minyak goreng dan lemak, sampai

penggunaannya dalam produk-produk industri seperti margarin, kue-kue kering, gula-gula, produk sereal, delikates dan

mayones. Lebih lanjut, minyak kelapa sawit dipakai dalam industri-industri kimia untuk mem- produksi cat, sabun, sabun cuci, produk-produk farmasi, minyak pelumas hidrolis dan minyak

hingga peng- gunaannya sebagai bahan bakar. Pada digerakkan oleh bahan bakar minyak

pembangkit tenaga listrik yang

minyak nabati, maka tergantung dari kelapa sawit melakukan kendaraan yang banyak yang

modelnya, ada

dapat digunakan langsung tanpa perlu perubahan teknis. Namun untuk

mengunakan

biodiesel, sebagai bahan -karena sifat kimianya-

bakarnya, maka minyak kelapa sawit

hanya dapat dipakai dalam jumlah kecil saja di dalam biodiesel. 71 persen dari dipergunakan minyak kelapa sawit dalam produksi dan minyak biji sawit makanan, 24

bahan-bahan

persen untuk memproduksi barang kebutuhan sehari- hari seperti sabun, kosmetik, lilin dan sebagainya, dan sisanya 5

persen digunakan untuk menghasilkan energi (Agentur fr Erneuerbare Energie 2010: 20). Di negara-negara Uni Eropa besarnya tingkat penggunaan minyak kelapa sawit untuk keperluan industri berjumlah sekitar 45 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah rata-rata

44 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


penggunaan minyak kelapa sawit untuk keperluan industri dari negara-negara di luar negara-negara Asia Uni Eropa. Demikian juga Cina dan

Tenggara mencatat penggunaan minyak

kelapa sawit dalam industri sebesar 35 persen. Sedangkan di India dan 24 28). Lebih dari separuh impor dunia masuk ke negara-negara seperti Cina, India, Uni Eropa dan Pakistan. Cina dan India di Timur Tengah, minyak kelapa sawit terutama

hanya digunakan sebagai bahan pangan (USDA 2010a: Tabelle

masing-masing mengimpor minyak kelapa sawit sebesar 6,3 juta ton dan 7,6 juta ton (2010 / 2011), melebihi angka impor untuk 27 negara-negara Uni Eropa yang hanya berjumlah 5,4 juta ton.

Sejak tahun 2003 angka impor ke negara-negara tersebut terus naik melampaui angka impor ke negara-negara Uni Eropa. Tabel 3: Impor minyak kelapa sawit dalam 1.000 ton 1982 1992 2003 2010 / 111 84 94 / 04 Dunia 4.3 9.4 21.7 36.7 India 62 23 3.4 7.6 36 89 33 70 Cina 3 1.2 3.7 6.2 8 7 86 00 Uni Eropa 840 1.66 3.3 5.4 2 96 10 50 Pakistan 38 1.0 1.2 2.3 71 00 2 83 Malaysia tidak ada tidak ada tidak ada 1.2 1 51 97 00 Amerika Serikat tidak ada tidak ada tidak ada 1.0 data data data 50 Bangladesh tidak ada tidak ada tidak ada 90 data data data 25 Mesir tidak ada tidak ada tidak ada 85 data data data 0 Iran tidak ada tidak ada tidak ada 62 data data data 0 Jepang tidak ada tidak ada tidak ada 58 data data data 0 Lain lain tidak ada tidak ada tidak ada 9.9 data data data 0 1 Perkiraan; 2 dulu 10 negara anggota Uni Eropa; 3 15 negara anggota Uni Eropa data data data 95 Masalah yang kompleks di Indonesia Pada tahun 2008 tercatat sekitar 1,5 juta menanam kelapa sawit petani kecil di

Indonesia yang

dalam lahannya yang

rata-rata hanya seluas 2 hektar. Sebagai bandingan, besarnya lahan yang dimiliki para pengusaha besar perkebunan dapat mencapai lebih dari 200.000 hektar (World Bank 2010: 14 23, USDA 2009). Sejumlah pemilik modal utama dari
45 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

perusahaan-

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


perusahaan kelapa sawit tersebut terhitung sebagai orangorang terkaya di Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebutlah yang merupakan motor dari raksasa

semakin meluasnya

lahan perkebunan di Indonesia (FoE / Walhi 2009; EIA / Telepak 2009; Greenpeace 2010). Hukum lemah Sebenarnya hutan Indonesia dilindungi. Tetapi pemerin- tah mengizinkan perkebunan. penebangan Hal ini hutan untuk dengan keperluan baik oleh hutan,

dimanfaatkan besar dengan

perusahaan-perusahaan namun 12 juta tidak membuka

menebangi

perkebunan.

Diperkirakan hampir

hektar telah ditebang tanpa ditanami (World Bank

2010:14). Selalu saja terjadi pelanggaran hukum di lokasi-lokasi perkebunan kelapa sawit. Dalam 25 tahun terakhir ini, propinsi Riau di Sumatra kehilangan areal persen untuk hutannya sebesar 65 atau

dijadikan perkebunan kelapa sawit

perkebunan akasia. Penebangan hutan bahkan juga terjadi di tempat-tempat yang sebenarnya termasuk dalam kawasan hutan lindung (WBGU 2008: 81). Di pulau Kalimantan, di bagian wilayahnya yang termasuk ke dalam negara Indonesia, juga sering ditandai dengan

pelanggaran hukum, korupsi dan kekerasan (FoE / Walhi 2009), demikian juga pelanggaran di Papua (EIA/Telepak 2009). hukum, maka Jika terjadi

perusahaan- perusahaan keamanan.

tersebut kerap mendapat dukungan dari aparat

Disinyalir adanya dugaan praktek korupsi dalam politik, dalam pemerintah daerah dan juga dalam aparat hukum (Marti 2008). Dalam indeks korupsi yang disusun oleh organisasi non-

pemerintah Trans- parency International, Indonesia memperoleh angka 2,8 dari total nilai 10 dan dengan demikian menduduki peringkat 111 dari 180 negara-negara yang disurvei tingkat korupsinya di dunia (TI 2010 262 267, TI 2010: 49).
46 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Penebangan Hutan Hujan Tropis Saat ini Indonesia merupakan negara ketiga terbesar di mengeluarkan emisi gas-gas rumah 85 persen dari kaca yang

dunia yang

membahayakan iklim.

gas-gas tersebut sebagian besar tropis dan

dihasilkan akibat penggarapan lahan yang dilakukan dengan penebangan hutan

hujan

perusakan tanah gambut (Greenpeace 2010a:

1). Selain itu ikut

banyak habitat tumbuh-tumbuhan dan hewan langka yang punah karena tidak dapat bertahan dalam

lingkungan

monokultur perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan perkiraan Bank Dunia, terdapat 70 persen

perkebunan kelapa sawit yang dibangun di atas areal hutan (4,2 juta hektar), 25 persen bahkan dibangun di atas lahan

gambut (World Bank 2010: 14). Hanya sepertiga dari perusahaanperusahaan yang menggunakan lahan tandus atau lahan yang sebelumnya ditanami dengan dengan tumbuhan lain 2009: 65). Pada tahun- tahun (UNEP

terakhir, besarnya lahan

gambut yang dipakai untuk perkebunan baru meningkat paling tidak menjadi 33 persen, di Riau, Sumatra bahkan mencapai 80 persen (Edwards / Mulligan / Marelli 2010: 141). Walaupun demikian, pemerintah Indonesia masih

menganggap mungkin untuk memperluas perkebunan sampai 24 juta hektar (Tabel 4). Jaminan pangan terancam Menurut Bank Dunia, secara teori Indonesia mempunyai hampir 20 juta hektar tanah yang tidak digunakan atau tanah yang tidak produktif (World Bank 2010: 14 15). Walaupun raksasa

demikian, banyak perusahaan-perusahaan sawit

yang tetap memilih areal hutan untuk membuka perkebunan baru. Hal ini dikarenakan tanah hutan pupuk yang banyak tidak memerlukan

jika dibandingkan dengan tanah

tandus, sehingga mereka bisa memetik keuntungan yang lebih


47 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


besar (UNEP 2009: 64). Selain itu, hasil penjualan dari penebangan kayu dapat dijadikan modal awal untuk membuka perkebunan. Perambahan hutan untuk perkebunan-perkebunan baru di Indonesia telah menyebabkan timbulnya perlawanan keras dari penduduk. Hal ini dikarenakan hutan masih berfungsi sebagai pemberi kehidupan bagi penduduk sekitarnya. Bahkan pada tidak

tanah kosong yang sepintas lalu berkesan tandus dan

produktif tetap merupakan sumber kehidupan penting untuk menjamin kelangsungan hidup manusia di sekitarnya

(Colchester et al. 2006, FoE/I 2009, EIA/Telepak 2009). Tabel 4: Besar lahan potensial untuk perluasan perkebunan berdasarkan wilayah Kalimantan Sumatra Papua Sulawesi Java Pengabaian Hak Asasi Manusia Situasi di Papua menunjukkan bahwa hak asasi manusia merupakan masalah mendasar bagi kita semua. Bagian barat dari pulau Nugini ini termasuk ke dalam wilayah Indonesia. Luas Papua meliputi sekitar 422.248 km, lebih luas Jerman dan dari negara 10,3 juta ha 7,2 juta ha 6,3 juta ha 0,37 juta ha 0,29 juta ha

sebagian besar masih tertutupi dengan hutan.

Pemerintah Indonesia memperkirakan 5 sampai 9,3 juta hektar lahan di Papua bisa 2008: ditanami dengan kelapa sawit (Klute

7). Banyaknya kesimpangsiuran dalam pemerintahan

propinsi dan dalam reformasi pemerintah daerah, korupsi serta kebijakan politik tertentu dari menyebabkan pemerintah pusat di Jakarta pembentukan konsep

terhambatnya

penggunaan hutan yang berkelanjutan. Sementara ini sangat tidak memungkinkan untuk mendapatkan data yang
48 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

akurat

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


tentang lokasi penebangan hutan atau lokasi yang mendapat izin resmi atau tanpa izin perkebunan resmi dari

pemerintah. Oleh karena itu, hak-hak penduduk asli di banyak wilayah diabaikan begitu saja. Masyarakat Indonesia sendiri tidak mendapat keuntungan yang banyak dari sektor produksi baru ini. Harga-harga sewa

tanah jauh di bawah harga pasaran yang sebenarnya. Untuk mendapatkan izin penggunaan tanah, masyarakat dijanjikan dengan pendirian sekolah-sekolah, pengadaan listrik dan rumah baru sebuah janji yang jarang sekali ditepati. Banyak orang yang tidak mengerti dengan apa yang telah ditandatanganinya, bahkan tidak tahu, sejauh mana dan resiko apa saja yang

bisa terjadi dengan pemberian tanda tangan mereka tersebut. Perusahaan- perusahaan yang bekerja dengan cara seperti ini menjalin hubungan yang sangat erat dengan para

politikus, sehingga penduduk biasa tidak akan berdaya sama sekali melawan mereka (EIA/Telepak 2009: 1). Konflik berikutnya yang muncul adalah tingginya arus

pendatang. Penanaman kelapa sawit adalah suatu proses kerja yang sangat intensif. Untuk lahan seluas seribu hektar ini

dibutuhkan sekitar 350 pekerja (World Bank 2010: 28). Saat

propinsi Papua memiliki sekitar 2,9 juta penduduk. Seandainya perkebunan kelapa sawit seluas 5 juta benar- benar akan dikembangkan

hektar, maka untuk itu akan dibutuhkan sekitar

1,75 juta tenaga kerja yang sebagian besar harus didatangkan dari daerah- daerah lain di Indonesia. Akibatnya akan

menambah ketegangan yang memang sudah ada diantara penduduk asli dan para pendatang (EIA/Telepak 2009: 7-8). Berdasarkan perkiraan, terdapat hampir 3 juta orang di

Indonesia yang bekerja di perkebunan kelapa sawit (Teoh 2010: 9). Di samping pekerja tetap, terdapat pekerja musiman atau

pekerja harian yang

direkrut untuk perkebunan-perkebunan


49 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


tersebut. Banyak diantara mereka yang bekerja dalam kondisi kerja yang sangat buruk, terutama para pekerja perempuan. dibayarkan di bawah rata-rata upah

Seringkali upah yang minimum yang

telah ditetapkan. Selain itu, pemakaian pupuk

dan pestisida sangat beresiko terhadap kesehatan para pekerja yang biasanya bekerja tanpa memakai baju pelindung dan

tanpa pengarahan yang memadai (Mardi 2008: 76-84). Mendukung metode yang berkelanjutan Banyaknya kritik terhadap dampak pengembangan kebun kelapa sawit telah menyebabkan dibentuknya Roundtable on

Sustainable Palm Oil, RSPO pada tahun 2003, yaitu suatu forum untuk membahas produksi minyak kelapa sawit secara

berkelanjutan. Yang terlibat di dalamnya adalah sejumlah perusahaan dan perkumpulan sektor kelapa sawit, para

pengusaha industri minyak kelapa sawit organisasi non-pemerintah. Tujuannya adalah untuk

serta organisasi-

mewujudkan

metode

penanaman kelapa sawit yang berkelanjutan. Pada tahun 2009 terhitung 1,4 juta ton minyak kelapa sawit bersertifikat RSPO yang masuk ke pasar dunia. Angka tersebut mencakup 3,2

persen dari kesuluruhan panen dunia. Jumlah ini diharapkan akan berlipat ganda pada tahun 2010. Namun demikian banyak kritik tajam yang berulang kali dilontarkan pada RSPO.

Greenpeace mengkritik kriteria- kriteria yang

disusun RSPO

tidak cukup ketat. Selain itu organisasi-organisasi lingkungan hidup berhasil membuktikan adanya kelompok perusahaan yang walaupun pada sebagian produksinya telah memiliki sertifikat lainnya RSPO, tetap namun perusahaan-perusahaan hutan-hutan tropis cabang untuk

menebangi

memperluas lahan perkebunannya. Oleh karena itu, sekumpulan perusahaan yang bergerak di sektor pangan seperti Nestl,
50 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Rewe

dan

Edeka

berusaha

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


menyusun sebuah standar yang jauh melampaui ketentuanketentuan yang telah ditetapkan RSPO (Burger 2010). Dampak Biodiesel terhadap Iklim Penggunaan minyak kelapa sawit dapat dikembangkan yang

lebih lanjut yaitu untuk menghasilkan energi. Dalam hal ini menjadi perdebatan adalah dampak

peng- gunaannya dari

terhadap iklim

dunia. Pada saat pembakaran biodiesel

minyak kelapa sawit,

jumlah karbon dioksida yang dilepaskan

memang tidak lebih besar dari jumlah karbon dioksida yang diikat sebelumnya oleh tumbuh-tumbuhan harus diingat bahwa pada saat tersebut. Namun

tanam, panen, peras,

transportasi atau pada pengolahan lanjutan, banyak terbuang gas-gas rumah kaca yang dapat mempengaruhi iklim. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa pada pembakaran minyak kelapa sawit untuk energi, dihasilkan emisi gas rumah kaca yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah emisi yang 2010;64 66).

dikeluarkan dari Analisa lainnya

bahan bakar fosil (IFPRI

menyebutkan bahwa neraca iklim yang positif kelapa sawit dilakukan

hanya dapat dicapai, jika penanaman

pada lahan yang sebelumnya tidak digunakan dan tidak pada lahan hutan. Yang lebih diperdebatkan lagi adalah jika melihat dampak tidak langsung yang disebabkan oleh penggunaan minyak

kelapa sawit untuk menghasilkan energi. Untuk setiap satu liter minyak nabati yang digunakan dalam campuran biodiesel

sebagai bahan bakunya, maka harus dibayar dengan lahan perkebunan yang cukup luas. Hal ini menyebabkan terdesaknya ekosistem yang kaya akan karbon seperti hutan dan tanah gambut yang sebenarnya bisa digunakan untuk menanam bahan pangan yang lain atau untuk menghasilkan produk-produk

pertanian lainnya. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa penggunaan minyak kelapa sawit
51 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

untuk menghasilkan energi

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


mempunyai dampak yang 2010: 17; Bowyer 2010). Permintaan meningkat Di Eropa, tingkat konsumsi minyak dan lemak nabati negatif terhadap iklim (ko-Institut

terhitung sebesar 59,3 kg per orang per tahun, sementara jumlah konsumsi rata-rata di seluruh dunia hanya 23,8 kg per orang. Negara-negara berkembang seperti India, Pakistan atau Nigeria mengkonsumsi jumlah yang jauh lebih sedikit: India (13,4 kg), Pakistan (19,9 kg) dan Nigeria (12,5 kg). Namun akibat

pertambahan penduduk yang sangat pesat di negara-negara tersebut telah menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan minyak kelapa sawit. Selain itu, seiring dengan membaiknya ekonomi seseorang, maka banyak konsumen yang beralih dari penggunaan minyak nabati bermutu rendah ke minyak kelapa sawit yang mutunya lebih baik. Diperkirakan sampai tahun 2020, kebutuhan dunia

terhadap minyak nabati akan bertambah hingga sebesar 27,7 juta ton. Untuk menutupi kebutuhan tersebut diperlukan

lahan untuk memproduksi minyak kelapa sawit sebesar 6,3 juta hektar atau lahan untuk minyak kedelai seluas 42 juta hektar (Teoh 2010: 9 10). Biodiesel memicu permintaan 15 persen dari produksi minyak nabati dunia digunakan

sebagai bahan bakar. Sejak tahun 2003, penggunaannya terus meningkat dari sekitar 2 juta ton menjadi 18 juta ton pada

tahun panen 2009 / 2010. Dari jumlah tersebut 1,8 juta ton adalah minyak kelapa sawit. Memang jumlah ini masih

terhitung relatif sedikit jika dibandingkan dengan hasil panen dunia dari minyak kelapa sawit dan minyak biji sawit yang

berjumlah sekitar 50 juta ton. Walaupun demikian, lima tahun sebelumnya belum ada minyak kelapa sawit yang diolah untuk bahan bakar (Nestl 2010).
52 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Kalau seandainya semua rencana yang bertujuan untuk menggunakan minyak nabati sebagai bahan campuran dalam biodiesel melonjak terlaksana, maka jika tingkat hanya kebutuhannya akan

drastis. Dan

mengambil minyak

kelapa sawit saja sebagai bahan campuran biodiesel, maka akan diperlukan perkebunan kelapa sawit seluas 4 juta

hektar, itupun hanya cukup untuk menutupi kebutuhan di Uni Eropa (Teoh 2010: 10; IFPRI 2010: 114). Terlepas daripada itu, permintaan minyak kelapa sawit

tetap akan terus bertambah. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya minyak nabati lain bakar dan tidak lagi yang diolah sebagai bahan

digunakan sebagai bahan makanan

(IFPRI 2010: 26). Karena harga minyak kelapa sawit relatif rendah, maka

kebutuhan minyak nabati yang terus meningkat akan ditutup dengan minyak kelapa sawit. memasok minyak Penawaran terbesar datang untuk

kelapa sawit

dari Indonesia.

Berdasarkan kecendrungan selama ini, maka di Indonesia akan dibangun sampai 9 juta hektar perkebunan dalam itu

sepuluh tahun mendatang. Sebagian besar perkebunan dibangun dengan menebangi hutan-hutan

tropis

(Greenpeace 2010a: 43). Tuntutan-tuntutan Pada bulan Agustus 2010, sekumpulan organisasi nontuntutan-tuntutan untuk juga ditujukan pada

pemerintah diajukan

Indonesia menyusun pemerintah dan

pada

perusahaan-perusahaan bisnis kelapa sawit. Tuntu- tan-tuntutan tersebut antara lain adalah: 1. Ganti rugi atas kerusakan-kerusakan terbesar dan adalah yang telah

ditimbulkan: masalah tanah penduduk asli

perampasan lahan.

konflik-konflik

Pemerintah seharusnya menanggapi dengan serius


53 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


persoalan-persoalan yang terjadi tersebut dan harus bekerja keras agar hal itu tidak terulang lagi di masa yang akan datang. 2. Memperketat aturan-aturan setiap investasi di dan penegakan hukum: harus sesuai patuh pada

sektor kelapa sawit

dengan standar internasional, antara lain

undang-undang nasional dan perjanjian internasional. Selain itu harus melampirkan surat rekomendasi yang mencakup dampak sosial dan lingkungan dari investasi tersebut serta uraian hasil pelaksanaannya. Pemin-

dahan paksa penduduk harus dihindari dan pelepasan tanah harus berdasarkan proses hukum dan persetujuan wilayah dan sudah ada sukarela. Menghindari mencari solusi atas terjadinya adanya konflik

konflik-konflik yang

dengan menghormati hak-hak penduduk bersangkutan, sebelumnya menyeluruh sehingga

asli. Bagi masyarakat yang

harus diberikan informasi yang

mereka bisa dengan bebas dan sukarela menyatakan penolakan atau persetujuan atas program pemban-

gunan yang direncanakan dalam wilayah mereka (Free, Prior, Informed Consent, FPIC). Memperhatikan habitatspesies-spesies yang terancam

habitat, ekosistem dan dan

mempertahankan hutan-hutan yang

bernilai kon-

servasi tinggi. 3. Bertanggung jawab terhadap iklim: pemerintah harus di

melarang pengembangan perkebunan kelapa sawit

atas lahan hutan atau penanaman di atas tanah gambut karena akan mengakibatkan pelepasan gas-gas rumah kaca yang merusak iklim. Untuk menjamin hal ini, maka diperlukan politik nasional yang mengatur

penggunaan tanah dengan memperhatikan dampak lingkungan.


54 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Berdasarkan butir-butir tuntutan di atas, maka Uni Eropa mempunyai kewajiban sebagai berikut: Pada pengimporan minyak kelapa sawit, baik untuk

kebutuhan pangan atau untuk keperluan industri, maka Uni Eropa harus bertekad untuk berpegang pada kriteria-kriteria

produksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan. Penggunaan minyak kelapa sawit untuk produksi

bahan bakar akan membahayakan kelangsungan jaminan bahan pangan lainnya, terutama bagi karena itu, penggunaannya orang miskin. Oleh bakar hanya

sebagai bahan

dibolehkan jika tidak mempunyai dampak sosial yang negatif. Uni Eropa harus menuntut badan-badan internasional agar secara global memajukan usaha-usaha untuk memperbaiki

standar ekologi dan sosial dalam produksi minyak kelapa sawit, serta mendukung adanya penyusunan standar yang

berkelanjutan yang berlaku diseluruh dunia. Uni Eropa seperti Bank harus menuntut institusi-institusi multilateral Dunia dana atau iklim organisasi-organisasi ditujukan untuk PBB agar

pengelolaan

menjadikan

pelestarian hutan hujan tropis sebagai sebuah investasi yang menguntungkan.

55 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Komentar : Kelapa sawit adalah komoditas unggulan Indonesia yang banyak dibutuhkan oleh negara luar sebagai olahan untuk membuat minyak nabati. Saat ini penggunaan minyak nabati semakin meningkat dan Indonesia tidak dapat memanfaatkan hal tersebut untuk menambah penghasilan negara. Jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia masih dibawah negara Cina dalam jumlah ekspor kelapa sawit ke dunia. Hal ini terjadi akibat pemerintah tidak dapat memanfaatkan lahan yang sangat luas untuk menanam kelapa sawit. Kelapa sawit juga memiliki banyak kegunaan. Oleh karena itu pemerintah harus bekerja keras dalam membuat kelapa sawit sebagai bahan yang dapat diekspor kedunia secara berkelanjutan. Tetapi pemerintah juga harus memperhatikan kondisi alam, memberikan hukuman bagi pengusaha liar yang akan menebang pohon dihutan demi untuk membuka lahan bagi kelapa sawit. Agar alam di Indonesia tetap terjaga kelestariannya.

56 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


PERMASALAHAN AGRIBISNIS TEMBAKAU DI TINGKAT PETANI

Pendahuluan

Petani

tembakau

menghadapi

beberapa

kendala tersebut

dalam dapat

mengembangkan

agribisnisnya.

Kendala-kendala

digolongkan menjadi dua, yaitu masalah teknis dan nonteknis. Pada umumnya masalah teknis berkaitan dengan masalah lapang, seperti luas lahan sempit, menurunnya kesuburan dan degradasi lahan, akumulasi serangan hama dan penyakit, juga pemupukan yang kurang tepat. Masalah nonteknis dihubungkan dengan kondisi luar lapang (off farm) seperti meningkatnya kampanye antirokok, terbatasnya pinjaman modal ke bank, dan lemahnya kemitraan antara petani dan industri rokok.

Permasalahan

Tanaman tembakau dalam beberapa tahun terahir memang menjadi tanaman primadona dari sekian banyak usaha pertanian, karena termasuk tanaman dengan prospek bernilai ekonomi paling menjanjikan bagi masyarakat petani Lombok, khususnya daerah bagian selatan. Kondisi geograpis daerah selatan yang hampir sebagian besar merupakan daerah tadah hujan/lahan kering sangat mendukung bagi pengembangan budidaya tanaman tembakau sebagai jenis tanaman yang tidak terlalu membutuhkah banyak air. Minat petani mengembangkan budi daya tembakau dalam beberapa tahun terahir mengalami pertumbuhan cukup signipikan, kalau dibandingkan tahun sebelumnya. Pola tanam yang tergolong sederhana dengan penghasilan cukup menjanjikan, menjadikan

tembakau sebagai tanaman paling banyak diminati masyrakat petani

57 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Lombok bagian selatan, ketimbang jenis tanaman lain seperti palawija dan beberapa jenis tanaman lain. Sebagai perbandingan. Sebelum tanaman tembakau banyak dikenal petani, seperti sekarang, tanaman pengganti yang banyak ditanam petani, ketika musim kemarau tiba, sehabis memanen tanaman padi musim penghujan adalah jenis tanaman palawija berupa jagung dan kedelai, dengan tingkat penghasilan tidak seberapa. Selebihnya sebagian besar petani lebih banyak menghabiskan waktu di rumah menunggu musim hujan tiba. Meski demikian di balik berkah dan kesuksesan hasil tembakau tersebut tersimpan sejumlah persoalan yang kerap melanda sebagian petani tembakau, yang anehnya justru karena ktidak tauan atau memang kepura puraan pemerintah. masalah permodalan, biaya perawatan, berupa pupuk dan obat-obatan. Kemampuan memasarkan, bagi petani penjual tembakau basah dengan harga menjanjikan juga tergolong lemah, di tambah tidak adanya regulasi jelas dari pemerintah. Ketidak berdayaan petani, lemahnya perhatian pemerintah setidaknya membuka ruang bagi sejumlah rentenir dan pemodal liar mempermainkan petani, dengan tawaran permodalan dan bantuan perawatan dan obat-obatan dengan sistim perjanjian mengikat, menjebak petani, tanpa mengenal kata kompromi yang terkadang sangat merugikan. karena tidak ada alternative pilihan, tidak sedikit sebagian mereka terpaksa melakukan pinjaman, terjebak mengikuti aturan main rentenir. Petani tembakau dalam mengembangkan agribisnisnya masih banyak mengalami masalah. Hambatan-hambatan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu teknis dan nonteknis. Dalam makalah ini, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia berusaha untuk menguraikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh petani tersebut.

58 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Masalah Teknis

Beberapa

masalah

teknis

yang

dihadapi

petani

dalam

pengembangan agribisnis tembakaunya adalah sebagai berikut: Pada umumnya petani di Indonesia mempunyai lahan yang sempit dengan rata-rata penguasaan lahan <0,5 ha, sehingga pengusahaan lahan cenderung intensif dan kurang memelihara sumber daya alam dan konservasi lahan. Akibatnya kesuburan tanah cenderung menurun, terutama kandungan bahan organiknya; erosi pada lahan semakin meningkat dan penyediaan air berkurang Penanaman tembakau yang terus-menerus juga meningkatkan gangguan hama dan penyakit. Serangan hama dan penyakit ini seringkali menyebabkan kegagalan total. Serangan virus (TMV,CMV) dan penyakit tular tanah seperti lanas (Phytophthorani-cotianae varnicotianae) dan busuk batang berlubang (Erwinia carotovora) cenderung meningkat. Masalah ini tidak dapat diatasi dengan penanaman varietas yang tersedia Di lain pihak, tuntutan konsumen luar negeri terhadap kualitas semakin meningkat sehingga seringkali tidak dapat dipenuhi dengan varietas yang ada. Sampai saat ini usaha tani tembakau masih mengandalkan pestisida kimia sebagai pengendali hama maupun penyakit. Padahal penggunaan pestisida kimia yang tidak tepat dapat menimbulkan dampak residu yang berbahaya, disamping biayanya mahal. Penyimpangan/anomali cuaca, akibat fenomena alam seperti Elnino dan Lanina yang sering terjadi menyulitkan petani dalam penentuan waktu tanam sehingga seringkali usaha tani ini mengalami kerugian Sementara itu, penetapan prakiraan musim kering dan hujan oleh BMG di wilayah penanaman tembakau masih sering terjadi penyimpangan yang signifikan. Usaha tani tembakau, kebanyakan petani belum profesional karena belum melaksanakan secara sepenuhnya mempertimbangkan pasar, modal, dan teknologi Mereka belum sepenuhnya menguasai teknologi budidaya tembakau

59 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


dengan analisa usaha taninya, sehingga motivasi menanam tembakau lebih cenderung kepada untung-untungan. Kondisi ini menyebabkan peminat yang berasal dari generasi muda untuk mengusahakan tembakau terlihat mempunyai tingkat kesulitan dan resiko tinggi, sehingga minat generasi muda yang melakukan agribisnis tembakau makin lama makin berkurang.
Masalah Nonteknis

Pada umumnya masalah nonteknis yang dihadapi petani adalah menyangkut masalah permodalan dan pemasaran. Petani umumnya kekurangan modal awal. Kebanyakan petani tembakau tidak memiliki sertifikat tanah sehingga sulit mendapatkan

permodalan. Kondisi ini menyebabkan agribisnis yang tadinya bisa menguntungkan menjadi tidak berkembang sehingga kemakmuran petani masih tetap di bawah rata-rata.

60 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Komentar :

Tembakau merupakan tanaman primadona dari sekian banyak usaha dalam bidang pertanian karena tanaman ini memiliki prospek ekonomi yang bernilai tinggi bagi masyarakat petani tembakau. Meski demikian dibalik prospek ekonomi yang bernilai tinggi ini terdapat sejumlah masalah yang sering dihadapi oleh petani tembakau. Masalah ini timbul diakibatkan karena harga jual tembakau yang lemah dan tidak adanya perhatian lebih dari pemerintah dalam membuka ruang, tawaran permodalan dan bantuan perawatan dan obat-obatan. Hal yang menyebabkan masalah tersebut juga karena sedikitnya lahan yang disiapkan oleh pemerintah untuk para petani dalam menanam tembakaunya sehingga produksi tembakau dalam negri menjadi menurun. Oleh karena itu pemerintah baiknya memberikan perhatian yang lebih kepada para petani tembakau, baik dari segi harga penjualan maupun lahan tempat petani mengolah tembakaunya.

61 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


TINGGINYA HARGA PUPUK DI INDONESIA

Pembahasan

Pupuk mempunyai peranan penting dalam upaya meningkatkan produktifitas, produksi dan mutu pertanian yang murah pada

peningkatan pendapatan kesejahteraan petani serta mewujudkan progam ketahanan pangan nasional. Untuk itu penyediaan pupuk di tingkat petani diusahakan memenuhi azas 6 tepat yaitu: tepat waktu, jenis, jumlah, tempat, mutu, dan harga layak, sehingga petani dapat menggunakan pupuk sesuai dengan teknologi pemupukan dalam rangka peningkatan produktifitas usaha petani. Kondisi di lapangan menujukkan bahwa kecenderungan kenaikan harga pupuk bersubsidi di atas HET (Harga Eceran Tertinggi) sangatlah tinggi. Di UD Selamet, (salah satu kios pengecer) pupuk yang terletak di Desa Karang Anyar Kecamatan Secanggang, harga eceran pupuk bersubsidi sangat tinggi sehingga petani sangat mengeluhkan

penjualan tersebut. Pelaksana kegiatan sosialisasi pupuk bersubsidi terhadap kioskios pengecer telah ditentukan harga eceran tertinggi pengecer untuk pupuk Urea 1.800/kg tetapi dijual kepada masyarakat Rp 2.500/kg, pupuk SP 2.000/kg dijual ke masyarakat Rp 2.500/kg, pupuk Za 1400/kg dijual ke masyarakat Rp 2 000/kg dan pupuk NPK 2300/kg dijual ke masyarakat Rp 3.000. Selain hal tersebut, diharapkan para petugas pengawasan di lapangan dapat memenuhi tugas, fungsi dan wewenang terutama menyampaikan visi maupun misi sehingga dalam pelaksanaan pengawasan dapat sesuai dengan yang diharapkan, dan bukan meminta bagian

62 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Tingginya harga pupuk urea di pasar dunia yang menembus angka USD400 per metrik ton diduga menjadi pemicu kelangkaan pupuk di dalam negeri. Kondisi ini membuat spekulan menjual ke pasar ekspor sehingga harga pupuk urea di dalam negeri merambat naik. permintaan pupuk urea dunia memang mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Kondisi ini dipicu program biofuel yang banyak dilakukan oleh negara-negara di dunia seperti Brasil yang sedang mengembangkan bioethanol dari tanaman tebu. suplai pupuk urea di pasar dunia juga terbatas. Hal ini disebabkan China yang merupakan penyuplai urea terbesar dunia, mulai mengurangi pasokan ekspornya. Pasalnya, kebijakan pemerintah China menerapkan pungutan ekspor (PE) yang cukup tinggi yakni sebesar 30 persen. Naiknya harga minyak bumi dan gas alam di pasar dunia, telah berdampak pada naiknya harga pupuk. Terutama pupuk urea, dan ZA (Zwavelzuur Amoniak), yang merupakan pupuk nitrogen (N). Bahan baku nitrogen untuk urea dan ZA adalah gas alam. Kalau harga gas alam naik, harga urea dan ZA juga akan ikut naik. Yang juga pasti naik tetapi kenaikannya tidak terlalu besar adalah pupuk NPK (Nitrogen, Phospat, Kalium). Bahan baku nitrogen pada NPK tetap menggunakan gas alam. Pupuk phospat, bahan bakunya berupa rock phospat (batuan phospat), dan pupuk K (Kalium) berbahan baku logam kalium (potasium). Untuk memproduksi padi, jagung, gandum dan bahan pangan lainnya, pupuk urea sangat diperlukan. Kebutuhan budidaya padi, jagung dan gandum per hektar per musim tanam antara 1 kuintal sampai 3 kuintal urea, tergantung tingkat kesuburan tanahnya. Urea paling banyak diperlukan tanaman untuk fase pertumbuhan, dan membentuk karbohidrat (CnH2nOn)). Pada budidaya tebu, N yang

diperlukan bukan N pada urea, melainkan N berupa ZA. Hingga kenaikan harga gas alam, selain berpengaruh pada kenaikan harga
63 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


urea, juga pada ZA. Jadi selain petani komoditas serealia (biji-bijian) petani tebu pun akan terkena imbas kenaikan harga gas alam.
Permasalahan Subsidi Pupuk

Model subsidi pupuk yang diterapkan saat ini adalah subsidi tidak langsung, yaitu subsidi yang diberikan kepada produsen pupuk. Walaupun diberikan secara tidak langsung, petani memperoleh manfaat dari subsidi tersebut, berupa harga pupuk yang lebih murah. Meskipun saat ini sudah lebih baik, tetapi masih ada beberapa kelemahan. Paling tidak ada empat masalah penting dalam programsubsidi pupuk, yaitu: 1. Penyelewengan distribusi pupuk bersubsidi, Disparitas harga antara pupuk bersubsidi dengan pupuk non subsidi menyebabkan terjadi aliran pupuk darisektor yang mendapatkan subsidi ke sektor yang tidak disubsidi yangkemudian menimbulkan masalah langka-pasok di sektor yang mendapatkansubsidi. Pupuk bersubsidi tidak hanya diselewengkan ke tanaman perkebunan, tetapi juga ke industri termasuk industri kayu lapis, lem, peternakan, dan batik (Lakitan 2008). 2. Kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan, kesulitan dalam membuatdata yang akurat mengenai kebutuhan pupuk bersubsidi. Prakiraan kebutuhan pupuk sering dibuat secara agregat dengan memperhitungkan luas tanam dantakaran pupuk secara umum. Kenyataannya, takaran penggunaan pupuk bervariasi, baik karena perbedaan luas lahan maupun tingkat kesadaran petaniterhadap manfaat pupuk. Akibatnya, kebutuhan riil dengan ketersediaan pupuk sering berbeda nyata sehingga ada daerah yang kelebihan dan ada yangkekurangan (PSE-KP 2006)

64 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


3. Bias sasaran atau target, masalah ini berkaitan dengan azas keadilan. Petanikaya atau yang lahannya luas memperoleh pupuk bersubsidi lebih banyak dibanding petani miskin atau berlahan sempit. Hal ini disebabkan petani yangmemiliki lahan luas atau lebih kaya cenderung menggunakan pupuk lebih banyak. Tahun 2007, untuk subsidi urea, 20% petani yang termasuk kategorikaya menikmati 45% dari total subsidi (World Bank 2009a). 4. Realisasi penyaluran.Secara umum realisasi penyaluran pupuk bersubsidi dari tahun 2006-2009mengalami fluktuasi untuk semua jenis pupuk (Tabel 4). Presentase jumlahrealisasi terhadap jumlah rencana penyaluran pada Tabel 4 menunjukkan trenmenurun dalam realisasinya. Perlu digarisbawahi, realisasi penyerapan

yangmencapai 100 % sejak tahun 2006-2012 hanya pernah dialami jenis pupuk SPdan ZA. Realisasi penyaluran pupuk yang belum maksimal dapat disebabkanoleh masalah-masalah teknis di

lapangan, seperti ketidaksesuaian data RDKK sebagai basis data untuk pengambilan pupuk bersubsidi, ataupun permasalahan

keterlambatan distribusi untuk daerah-daerah terpencil.


Dampak Negatif Subsidi Pupuk

Dalil kebijakan publik mengatakan bahwa instrumen yang paling efektif dan efisien adalah yang paling berkaitan langsung dengan tujuan kebijakan. Input langsung usahatani adalah pupuk, bukan gas bumi. Jika tujuan kebijakan menekan harga pupuk yang dibayar petani agar biaya produksi usahatani menurun dan intensitas penggunaan pupuk meningkat, yang selanjutnya akan meningkatkanlaba petani maupun produksi pertanian nasional, maka instrumen yang palingefektif dan efisien adalah pemberian subsidi harga beli pupuk bagi

petani.Mekanisme subsidi pupuk kepada produsen pupuk melalui subsidi gas untuk input produksi pupuk menimbulkan dampak negatif baik yang bersifat langsungmaupun tidak langsung.Dampak negatif
65 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


pertama yang cukup menonjol adalah disparitas harga pupuk bersubsidi dengan HET dan harga pupuk nonsubsidi yang

mengikutimekanisme pasar, dan disparitas harga antara harga di pasar domestik dan pasar internasional. Disparitas harga antara pupuk bersubsidi dan nonsubsidimenimbulkan kesenjangan yang cukup besar antara HET dan harga pasar. Padatahun 2006, harga HET pupuk urea adalah Rp1.200/kg, padahal harga pupuk nonsubsidi mencapai Rp5.500/kg. Hal ini mendorong terjadinya penyimpangan,yaitu pupuk bersubsidi di jual ke pasar nonsubsidi yang meliputi perusahaan perkebunan atau petani nonpangan. Sisi negatif yang kedua dari kebijakan subsidi pupuk adalah penggunaan pupuk yang berlebihan. Sebagian petani menggunakan pupuk urea dengan takaran400-600 kg/ha, padahal takaran anjuran berkisar antara 200-250 kg/ha. Hal inimenyebabkan munculnya gejala pelandaian produktivitas, di samping menurun-kan kualitas fisik, kimia, dan biologi tanah. Dampak negatif ketiga dari subsidi pupuk adalah subsidi yang diterapkankurang kondusif untuk pengembangan industri pupuk

nasional. Karena harga yangdipatok lebih rendah, beberapa produsen pupuk kesulitan memperoleh kontrak pasokan gas, baik untuk

perpanjangan kontrak maupun kontrak baru. Produsengas bumi lebih mengutamakan konsumen yang mampu membeli gas dengan

hargayang lebih tinggi. Akibatnya, kapasitas terpakai pabrik pupuk nasional menjaditidak optimal, yaitu hanya 71-83% dari kapasitas terpasang. Pemberian subsidimelalui harga gas kurang merangsang pabrik pupuk urea untuk meningkatkanefisiensi produksi melalui penghematan pemakaian gas. Dampak negatif keempat, hasil analisis manfaat dan biaya menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan pemerintah lebih besar daripada manfaat yang diterima petani (Syafaat et al.2006; Manaf

66 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


2007). Menurut Santosa (2010),subsidi pupuk yang dilakukan selama ini lebih menguntungkan pihak pabrik karena subsidi diberikan langsung kepada pihak pabrik. Permasalahan tersebut juga disebabkan struktur pasar pupuk yang bersifat oligopoli, permainan dalamdistribusi pupuk, dan lemahnya penegakan hukum.Dampak negatif kelima, menurut World Bank (2009a), subsidi seringmenjadi tekanan politik sehingga subsidi menjadi permanen. Hal ini terbuktidengan kebijakan subsidi pupuk yang telah berlangsung dari tahun 1969 hinggasekarang. Akibat dari kebijakan subsidi yang permanen ini menyebabkan petanimenjadi sangat tergantung terhadap pemerintah, sehingga kemandirian petanitidak tercapai. Petani hanya menjadi faktor produksi saja, bukan sebagai subjek dari pembangunan.

67 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Komentar :

Pupuk memiliki peranan penting dalam meningkatkan produktifitas dan mutu bahan pangan yang dihasilkan. Petani sering menggunakan pupuk agar tanaman menjadi subur. Upaya pemerintah yang telah dirasakan oleh petani Indonesia yaitu pemberian pupuk bersubsidi kepada petani. Hal ini dilakukan agar produksi petani meningkat dan pemerintah tidak usah lagi mengimpor bahan pangan dari luar. Meskipun demikian, masih ada masalah yang terjadi ditengahtengah petani, diantaranya yaitu penggunaan pupuk yang berlebihan oleh petani sehingga melewati batas penggunaan pupuk yang optimal mengakibatkan bahan pangan yang dihasilkan akan melebihi kandungan cemaran yang tinggi. Hal lain yang ditimbulkan yaitu pengusaha pupuk yang digunakan oleh pemerintah dalam menyalurkan pupuk bersubsidi kepada para petani menggunakan kesemptan tersebut kearah yang salah. Mereka menggunakan kesempatan tersebut untuk mendapatkan

keuntungan yang lebih besar. Hal yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah yaitu melakukan pengawasan yang tinggi kepada para penyalur agar tidak menggunakan hal tersebut kearah yang salah sehingga petani betul-betul merasakan kebijakan pemerintah yang mendukung kehidupan para petani.

68 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Kasus Dugaan Dumping Terhadap Ekspor Produk Kertas Indonesia ke Korea

Latar Belakang

Negara-negara

berkembang

pada

umumnya

akan

membantu industri domestiknya melalui subsidi atau kebijakkan ekonomi berupa hambatan tarif atau non tarif untuk memasukkan industrinya ke persaingan internasional apalagi dalam era Globalisasi teknologi dan informasi seperti sekarang ini, Negara atau pemerintah akan berusaha mendorong industrinya untuk bersaing di pasar internasional dan untuk bersaing perlu berbagai perbaikkan kualitas baik tenaga kerja ataupun produk. Indonesia sebagai Negara berkembang pada umumnya akan memilih suatu perusahaan domestik untuk di subsidi khususnya industri yang benar-benar menjadi ekspor Indonesia. Dan selain itu, Indonesia juga mengambil kebijakkan ekonomi seperti penetapan batasan impor, hambatan tarif dan non tarif dan kebijakan lainnya. Sama seperti Negara lainnya, Korea juga menetapkan kebijakan ekonomi anti dumping untuk melindungi Industri domestiknya. Kali ini yang menjadi sasaran negara yang melakukkan dumping adalah Indonesia. Dumping merupakan suatu tindakan menjual produk-produk impor dengan harga yang lebih murah dari harga dan ini merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan WTO.
Kerangka Pemikiran

Untuk mengantisipasi terjadinya perselisihan dan kesalahan interpretasi, akibat tindakan proteksi yang dilakukkan suatu negara dalam mendorong perekonomiannya, maka WTO membuat aturan untuk penerapan subsidi mengingat masalah ini merupakan masalah yang sering terjadi terkait masalah dumping dan terdapat dua macam aturan subsidi atau dukungan : 1. Dukungan atau subsidi yang membuat distorsi (trade distorting subsidies) dimana negara anggota harus menetapkan level

69 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


maksimum dan kemudian menguranginya pada tingkat yang diperbolehkan; 2. Subsidi yang dianggap tidak mendistorsi atau non trade distorting sering disebut sebagai Green Box, tidak ada jumlah maksimum yang ditentukan, sehingga Negara anggota boleh menambah tanpa batas. Green Box merupakan pembayaran untuk misalnya perlindungan lingkungan dan penelitian. Dalam subsidi yang mendistorsi atau Trade Distorting Subsidies (TDS) terdapat tiga kategori: 1. AMS aggregate measurement support atau sering disebut Amber Box, ini berkaitan dengan intervensi harga dan dimasukkan sebagai yang paling mendistorsi. 2. De minimis, ini diperbolehkan sampai tingkat tertentu yang dihitung dari persentase dari nilai produksi. 3. Blue Box, subsidi jenis ini dianggap mendistorsi tapi tidak sebesar Amber Box. Selain aturan-aturan tersebut, WTO sendiri juga telah

membentuk Dispute Settlement Body (DSB) untuk mengantisipasi penyelesaian masalah yang terjadi diantara anggota-anggotanya. Masalah terkait dengan pemberian subsidi dan kebijakkan proteksi adalah Dumping. Dumping terjadi apabila produk-produk impor tersebut dijual dengan harga lebih rendah daripada harga yang berlaku di pasaran. Untuk menerapkan anti dumping, badan perdagangan suatu Negara harus membuktikan terlebih dahulu bahwa dumping tersebut menyebabkan kerugian

terhadap industri di negaranya. Mengingat relatif tingginya kasus dumping, hendaknya negara mencermati dan

mengantisipasi serta menghindari kemungkinan adanya tuduhan dumping tersebut. Masalah ini adalah masalah yang

sangat sering ditemui seperti di India terbukti melakukan tuduhan dan penyelidikan anti dumping atas 425 kasus,
70 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


di mana 316 kasus 366 dikenakan kasus BMAD, AS melakukan BMAD penyelidikan atas dan mengenakan

terhadap 234 kasus. Sementara itu, China melakukan penyelidikan atas 125 kasus di mana 70 kasus di antaranya dikenai BMAD. Turki juga menyelidiki tuduhan praktek dumping 101 kasus bagi pengenaan 86 kasus BMAD. Sementara itu, Korea Selatan mengenakan BMAD terhadap 46 kasus dari 81 kasus dumping yang diselidikinya. Dumping dalam hal ini merupakan suatu tindakan melanggar kesepakatan yang telah disepakati dan diratifikasi oleh

subyek hukum Internasional. Yang dimaksud subyek hukum internasional di sini adalah semua subyek hukum yang mengatur aspek-aspek ekonomi baik yang sifatnya nasional maupun internasional (termasuk hukum internasional publik dan hukum perdata). Yang merupakan subyek hukum disini adalah negara yang harus memenuhi syarat sebagai negara yakni memiliki penduduk, wilayah, pemerintah yang berdaulat, dan kemampuan melakukan hubungan diplomatik dengan negara lain, Individu yang statusnya tergantung kepada isi ketentuan perjanjian yang memberikan kedudukan tersebut karena kemampuan individu untuk membuat kontrak atau perjanjian ekonomi (bisnis) dengan subyek hukum lainnya, selain itu Multi national Cooperation (MNCs) dan Organisasi Internasional (OI) yang memiliki definisi yang melekat pada dirinya untuk menjadi subyek hukum internasional selain memiliki legal personality yakni kemampuan untuk melakukan perjanjian atau kontrak dengan subyek hukum lainnya. Mengingat dumping terjadi antar anggota WTO yang terdiri dari Negara-negara berdaulat berarti terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah ditetapkan di WTO yang menjadi aturan bagi para anggota WTO untuk bertindak mengingat semua yang mengajukan diri untuk menjadi anggota WTO harus menaati
71 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


kesepakatan tersebut. Kesepakatan yang terbentuk antar dua pihak atau lebih merupakan sumber hukum internasional yang dapat menjadi sumber Hukum Ekonomi Internasional menurut Pasal 38 Ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional selain

kebiasaan inetrnasional, prinsip hukum yang diakui oleh negara bangsa, keputusan para hakim dan ajaran ahli hukum.
Analisis Kasus

Salah satu kasus yang terjadi antar anggota WTO kasus antara Korea dan Indonesia, dimana Korea menuduh Indonesia melakukan dumping woodfree copy paper ke Korea Selatan sehingga Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar. Tuduhan tersebut menyebabkan Pemerintah Korsel mengenakan bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar 2,8 persen hingga 8,22 persen terhitung 7 November 2003. dan akibat adanya tuduhan dumping itu ekspor produk itu mengalami kerugian. Ekspor woodfree copy paper Indonesia ke Korsel yang tahun 2002 mencapai 102 juta dolar AS, turun tahun 2003 menjadi 67 juta dolar. Karenanya, Indonesia harus melakukan yang terbaik untuk menghadapi kasus dumping ini, kasus ini bermual ketika industri kertas Korea mengajukan petisi anti dumping terhadap 16 jenis produk kertas Indonesia antara lain yang tergolong dalam uncoated paper and paperboard used for writing dan printing or other grafic purpose produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commision (KTC) pada tanggal 30 september 2002 dan pada 9 mei 2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk PT pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat 0,52%, April Pine dan lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korea Selatan dengan ketentuan PT
72 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat diturunkan sebesar 8,22% dana untuk April Pine dan lainnya 2,80%. Dan Indonesia mengadukan masalah ini ke WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan konsultasi bilateral, namun konsultasi yang dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal mencapai kesepakatan. Karenanya, Sengketa Indonesia meminta Badan Penyelesaian Organisasi

(Dispute

Settlement

Body/DSB)

Perdagangan Dunia (WTO) membentuk Panel dan setelah melalui proses-proses pemeriksaan, maka DSB WTO mengabulkan dan menyetujui gugatan Indonesia terhadap pelanggaran terhadap penentuan agreement on antidumping WTO dalam mengenakan tindakan antidumping terhadap produk kertas Indonesia. Panel DSB menilai Korea telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktek dumping produk kertas dari Indonesia dan bahwa Korea telah melakukan kesalahan dalam menentukan bahwa industri domestik Korea mengalami kerugian akibat praktek dumping dari produk kertas Indonesia.
Penyelesaian Kasus

Dalam kasus ini, dengan melibatkan beberapa subyek hukum internasional secara jelas menggambarkan bahwa kasus ini berada dalam cakupan internasional yakni dua negara di Asia dan merupakan anggota badan internasional WTO mengingat keduanya merupakan negara yang berdaulat. Dan kasus dumping yang terjadi menjadi unsur ekonomi yang terbungkus dalam hubungan dagang internasional kedua Negara dengan

melibatkan unsur aktor-aktor non negara yang berasal dari dalam negeri masing-masing negara yaitu perusahaan-perusahaan yang disubsidi oleh pemerintah untuk memproduksi produk ekspor. Dumping merupakan suatu tindakan menjual produk-produk impor dengan harga yang lebih murah dari harga dan ini merupakan
73 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


pelanggaran terhadap kesepakatan WTO. Indonesia meminta bantuan DSB WTO dan melalui panel meminta agar kebijakan anti dumping yang dilakukan korea ditinjau kembali karena tidak konsisten dengan beberapa point artikel kesepakatan seperti artikel 6.8 yang paling banyak diabaikandan artikel lainnya dan Indonesia juga meminta Panel terkait dengan artikel 19.1 dari Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU) untuk meminta Korea bertindak sesuai dengan kesepakatan GATT dan membatalkan kebijakan anti dumping impor kertas yang dikeluarkan oleh mentri keuangan dan ekonominya pada tanggal 7 november 2003. Yang menjadi aspek legal disini adalah adanya pelanggaran terhadap artikel kesepakatan dan WTO khususnya tariff dalam seperti

kesepakatan

perdagangan

penentuan

yang tercakup dalam GATT dan dengan adanya keterlibatan DSB WTO yang merupakan suatu di badan bidang ini peradilan perdagangan. masalah bagi Ini yang

permasalahan-permasalahan menegaskan bahwa

masalah

adalah

berada di cakupan Internasional, bersifat legal dan bergerak dalam bidang ekonomi. Sifat legal atau hukumnya terlihat juga dengan adanya tindakan dinilai Retaliasi telah oleh pemerintah curang Indonesia karena Korea bertindak

dengan tidak melaksanakan keputusan Panel Sementara DSB sebelumnya atas kasus dumping kertas tersebut yang

memenangkan Indonesia dimana retaliasi diijinkan dalam WTO. Sekretaris Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan dalam

Internasional

Departemen

Perdagangan

mengatakan

putusan Panel DSB pada November 2005 menyatakan Korea Selatan harus melakukan rekalkulasi atau menghitung ulang margin dumping untuk produk kertas asal Indonesia. Untuk itu, Korsel diberikan waktu untuk melaksanakan paling lama delapan bulan setelah keluarnya putusan atau berakhir pada
74 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Juli 2006. Panel DSB menilai Korea Selatan telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktik dumping kertas dari Indonesia. Pengenaan tuduhan dumping kertas melanggar ketentuan antidumping WTO. Korea harus menghitung ulang margin dumping sesuai dengan hasil panel maka ekspor kertas Indonesia ke Korea Selatan kurang dari dua persen atau deminimis sehingga tidak bisa dikenakan bea masuk antidumping. Panel Permanen merupakan panel tertinggi di WTO jika putusan Panel Permanen juga tidak ditaati oleh Korea Selatan, Indonesia dapat melakukan retaliasi, yaitu upaya pembalasan atas kerugian yang diderita. Dalam retaliasi, Indonesia dapat

mengenakan bea masuk atas produk tertentu dari Korsel dengan nilai kerugian yang sama selama pengenaan Bea Masuk AntiDumping (BMAD). Korean Trade Commision yang merupakan otoritas

dumping Korsel mengenakan BMAD 2,8-8,22 persen terhadap empat perusahaan kertas, seperti yang telah disebutkan diatas yaitu PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia, PT Pindo Deli Pulp & Paper Mills, PT Indah Kiat Pulp & Paper, dan PT April Fine sejak 7 November 2003. Dalam membuat tuduhan dumping, KTC

menetapkan margin dumping kertas dari Indonesia mencapai 47,7 persen. Produk kertas yang dikenakan BMAD adalah plain paper copier dan undercoated wood free printing paper dengan nomor HS 4802.20.000; 4802.55; 4802.56; 4802.57; dan 4809.4816. Dalam kasus ini, Indonesia telah melakukan upaya

pendekatan sesuai prosedur terhadap Korsel. Pada 26 Oktober 2006 Indonesia juga mengirim surat pengajuan konsultasi. Selanjutnya, konsultasi dilakukan pada 15 November 2006 namun gagal. Korea masih belum melaksanakan rekalkulasi dan dalam pertemuan Korea mengulur-ulur waktu. Tindakan Korsel tersebut sangat merugikan industri kertas Indonesia. Ekspor kertas ke Korea Selatan anjlok hingga 50 persen dari US$ 120 juta.
75 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Kerugian tersebut akan berkepanjangan sebab Panel juga menyita waktu cukup lama, paling cepat tiga bulan dan paling lama enam bulan. Kasus dumping Korea-Indonesia pada akhirnya

dimenangkan oleh Indonesia. Namun untuk menghadapi kasuskasus dumping yang belum terselesaikan sekarang maka indonesia perlu melakukkan antisipasi dengan pembuatan

Undang-Undang (UU) Anti Dumping untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian akibat melonjaknya barang impor. Selain itu, diperlukan penetapkan Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) dalam rangka proses investigasi praktek dumping (ekspor dengan harga lebih murah dari harga di dalam negeri) negeri. Selama ini, Indonesia belum pernah menerapkan BMADS dalam proses penyelidikan dumping apapun padahal negara lain telah menerapkannya pada tuduhan dumping yang sedang diproses termasuk kepada Indonesia. Padahal hal ini sangat diperlukan seperti dalam rangka penyelidikan, Negara yang mengajukan petisi boleh mengenakan BMADS sesuai yang diajukan industri dalam

perhitungan injury (kerugian) sementara. Jika negara eksportir terbukti melakukan dumping, maka dapat dikenakan sanksi berupa BMAD sesuai hasil penyelidikan. Karenannya, pemerintah harus mengefektifkan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang merupakan institusi yang bertugas melaksanakan

penyelidikan, pengumpulan bukti, penelitian dan pengolahan bukti dan informasi mengenai barang impor dumping, barang impor bersubsidi dan lonjakan impor.

76 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


KESIMPULAN Penjualan barang oleh eksportir keluar negeri dikenai berbagai ketentuan dan pembatasan serta syarat-syarat khusus pada jenis komoditas tertentu termasuk cara penanganan dan pengamanannya. ketentuan Setiap negara yang memiliki peraturan Produk dan yang

perdagangan

berbeda-beda.

akan dipasarkan haruslah memiliki standar mutu yang baik (export quality) sehingga dapat memuaskan konsumen serta pengiriman barang yang tepat waktu yang dapat berdampak terhadap pemesanan secara reguler. Korsel diberikan waktu untuk melaksanakan paling

lama delapan bulan setelah keluarnya putusan atau berakhir pada Juli 2006. Panel DSB menilai Korea Selatan telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktik dumping kertas dari Indonesia. Pengenaan tuduhan dumping kertas melanggar ketentuan antidumping WTO. Korea harus menghitung ulang margin dumping sesuai dengan hasil panel maka ekspor kertas Indonesia ke Korea Selatan kurang dari dua persen atau deminimis sehingga tidak bisa dikenakan bea masuk antidumping. Panel Permanen merupakan panel tertinggi di WTO jika putusan Panel Permanen juga tidak ditaati oleh Korea Selatan, Indonesia dapat melakukan retaliasi, yaitu upaya pembalasan atas kerugian yang diderita. Dalam retaliasi, Indonesia dapat

mengenakan bea masuk atas produk tertentu dari Korsel dengan nilai kerugian yang sama selama pengenaan Bea Masuk AntiDumping (BMAD). Korean Trade Commision yang merupakan otoritas

dumping Korsel mengenakan BMAD 2,8-8,22 persen terhadap empat perusahaan kertas, seperti yang telah disebutkan diatas yaitu PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia, PT Pindo Deli Pulp & Paper Mills, PT Indah Kiat Pulp & Paper, dan PT April Fine sejak 7 November 2003. Dalam membuat tuduhan dumping, KTC
77 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


menetapkan margin dumping kertas dari Indonesia mencapai 47,7 persen. Produk kertas yang dikenakan BMAD adalah plain paper copier dan undercoated wood free printing paper dengan nomor HS 4802.20.000; 4802.55; 4802.56; 4802.57; dan 4809.4816. Dalam kasus ini, Indonesia telah melakukan upaya

pendekatan sesuai prosedur terhadap Korsel. Pada 26 Oktober 2006 Indonesia juga mengirim surat pengajuan konsultasi. Selanjutnya, konsultasi dilakukan pada 15 November 2006 namun gagal. Korea masih belum melaksanakan rekalkulasi dan dalam pertemuan Korea mengulur-ulur waktu. Tindakan Korsel tersebut sangat merugikan industri kertas Indonesia. Ekspor kertas ke Korea Selatan anjlok hingga 50 persen dari US$ 120 juta. Kerugian tersebut akan berkepanjangan sebab Panel juga menyita waktu cukup lama, paling cepat tiga bulan dan paling lama enam bulan. Disamping itu eksportir haruslah mengerti selera konsumen negara tujuan ekspor. Kegiatan ekspor yang lancar akan ikut menyumbang pendapatan negara dari sektor pajak ekspor disamping tentunya akan berdampak positif berupa keuntungan yang diperoleh eksportir tersebut. Sementara itu untuk kasus dumping Indonesia dan Korea Selatan pada akhirnya

dimenangkan oleh pihak Indonesia. Namun untuk menghadapi kasus-kasus dumping yang belum terselesaikan sekarang maka indonesia perlu melakukkan antisipasi dengan pembuatan

Undang-Undang (UU) Anti Dumping untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian akibat melonjaknya barang impor. Kasus dumping Korea-Indonesia pada akhirnya dimenangkan oleh Indonesia. Namun untuk menghadapi kasus-kasus dumping yang belum terselesaikan sekarang maka indonesia perlu melakukkan antisipasi dengan pembuatan Undang-Undang (UU) Anti Dumping untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian akibat
78 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


melonjaknya barang impor. Selain itu, diperlukan penetapkan Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) dalam rangka proses investigasi praktek dumping (ekspor dengan harga lebih murah dari harga di dalam negeri) yang diajukan industri dalam negeri. Karenannya, pemerintah harus mengefektifkan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang merupakan institusi yang bertugas melaksanakan penyelidikan, pengumpulan bukti,

penelitian dan pengolahan bukti dan informasi mengenai barang impor dumping, barang impor bersubsidi dan lonjakan impor.

79 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Mata Kuliah Ilmu Ekonomi Kelas C Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin


Komentar : Ekspor oleh Negara akan memberikan keuntungan yang lebih kepada Negara tersebut dalam bidang industrinya. Setiap negara memiliki peraturan dan ketentuan perdagangan yang berbeda-beda. Produk yang akan dipasarkan haruslah memiliki standar mutu yang baik

(export quality) sehingga dapat memuaskan konsumen serta pengiriman barang yang tepat waktu yang dapat berdampak

terhadap pemesanan secara reguler. Dalam meningkatkan hal tersebut pemerintah harus mengetahui kondisi konsumen tempat barang tersebut akan diekspor agar tidak terjadi kasus seperti ini lagi. Dan pemerintah harus membuat suatu UU agar ekspor di Indonesia tetap aman dan terkendali sehingga Negara lain tetap menjadikan Indonesia sebagai sumber kertas bagi negaranya.

80 Marsena (G311 12 258) Angga Samudra (G311 12 263)

Anda mungkin juga menyukai