Anda di halaman 1dari 9

Gagal Jantung Kongestif

Gregory L. Clementz, MD

I. Definisi. Gagal jantung kongestif (GJK) ditandai oleh bendungan paru atau sistemik abnormal yang berasal dari jantung. II. Epidemiologi A. Prevalensi. Terdapat lebih dari dua juta kasus GJK di AS, dan setiap tahun-nya 400.000 kasus baru didiagnosis. Dari suatu studi, GJK merupakan diagnosis tersering K9sembilan belas yang ditemukan pada praktik rawat jalan dokter keluarga. GJK merupakan diagnosis tersering keempat pada pasien-pasien lawat inap dari dokter keluarga yang tergabung dalam National Study of the Content of Family Practice. B. Kesimpulan dari studi Framingham sehubungan dengan etiologi GJK 1. Sekitar 75% pasien dengan GJK kronik menderita hipertensi. Baik hiper-tensi sistolik maupun diastolik ditemukan sama pentingnya. 2. Penyakit arteri koroner dijumpai pada 46% pria dan 27% wanita dengan GJK. Faktor-faktor risiko penyakit arteri koroner seperti merokok, hiper-kolesterolemia, dan diabetes melitus, juga

merupakan faktor-faktor risiko yang penting untuk GJK. 3. Diabetes melitus ditemukan pada 16% pasien GJK. Kardiomiopati diabetik dapat menjadi penyebab penting dari GJK, terutama pasien-pasien diabetes melitus tergantung insulin tanpa penyakit koroner. 4. Sekitar 15% kasus GJK berkaitan dengan kardiomiopati, dan tiga persen kasus berhubungan dengan penyakit jantung rematik. C. Faktor-faktor risiko lain pada GJK

1.

Jenis kelamin. Terdapat sedikit dominansi pria pada penderita GJK di bawah usia 65 tahun, dan sedikit dominansi wanita pada penderita GJK di atas 75 tahun.

2.

Usia merupakan suatu faktor risiko yang bermakna pada GJK karena insidens GJK lebih dari dua kalinya per dasawarsa mulai usia 45 hingga 75 tahun.

III. Patofisiologi. A. Sebab-sebab GJK 1.Gangguan fungsi sistolik ventrikel a. Afterload dan preload yang berlebihan, kontraktilitas menurun, dan bradi dan takiaritmia dapat menyebabkan gangguan fungsi sistolik. Penyebab gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri kronik diberikan pada Tabel 73-1. Gagal ventrikel kanan biasanya disebabkan oleh gagal ventrikel kiri atau penyakit paru-paru. b. Fraksi ejeksi (rasio curah sekuncup terhadap volume akhir diastotik) merupakan suatu parameter klinis yang penting dalam menentu-kan fungsi sistolik dan biasanya kurang dari 45% pada waktu isti-rahat pada pasien-pasien GJK yang disebabkan gagal fungsi sistolik. 2.Peningkatan tekanan atrium dengan fungsi sistolik normal a.Penyakit katup seperti stenosis trikuspidalis atau mitralis ataupun regurgitasi trikuspidalis atau mitralis dapat menyebabkan peninggian tekanan atrium dengan fungsi sistolik tetap normai. b.Pasien dengan gangguan fungsi diastolik ventrikel memiliki tekanan akhir diastolik yang lebih tihggi tanpa memandang besarnya volume akhir diastolik ventrikel, akibatnya tekanan atrium menjadi tinggi dan timbul bendungan paru atau sistemik dengan fungsi sistolik normal. (1) Gangguan fungsi diastolik ventrikel ki.i terjadi pada fungsi sistolik ventri-kel kiri yang normal pada 35-40% pasien dengan GJK klinis.

(1)

Gangguan

fungsi

diastolik

seringkali

terjadi

bersama-sama

gangguan fungsi sistolik, tetapi dapat pula mendahului gangguan fungsi sistolik pada pasien-pasien penyakit koroner dan hipertensi.

Tabel 1 73-1 penyebab gangguan fungsi sistolik

'Kardiomiopati dapat dibatasi sebagai suatu penyakit miokardium yang tidak berkaitan dengan hipertensi, anomali kongenital, ataupun kelainan vaskular. Seorang pasien dengan kardiomiopati dapat atau tidak menderita GJK.
(2)

Pengisian diastolik yang abnormal dianggap sekunder dari gangguan relaksasi v/entrikel ataupun berkurangnya daya regang ventrikel atau bilik (berkurangnya kelenturan). Penyebab gangguan fungsi diastolik ventrikel kiri saja diberikan dalam Tabel 73-2.

(3)

Gagal jantung curah tinggi diberi batasan sebagai gagal jantung kongestif yang terjadi akibat kondisi-kondisi yang me-ningkatkan tuntutan hemodinamik atau metabolik (lihat Tabel 73-3).

B. Mekanisme kompensasi pada GJK terjadi akibat berkurangnya curah jantung ataupun meningkatnya tekanan atrium. GJK terkompensasi adalah kondisi dengan fraksi ejeksi rnenurun tetapi curah janfjng dapat dipertahankan oleh mekanisme-mekanisme berikut ini dengan atau tanpa terapi obat.
1.

Mekanisme kompensasi sentral termasuk hubungan FrankStarling dan hipertrofi ventrikel akibat peningkatan preload atau after-load.

Tabel 2 73-2 penyebab fungsi gangguan diastosik

2.

Mekanisme kompensasi perifer mengakibatkan (1) aktivasi sistem renin-angiotensin, (2) peningkatan kadar hormonhormon endogen lokal dan sirkulasi yang bersifat kontraregulasi terhadap renin-angiotensin, (3) aktivasi dari sistem saraf simpatis dengan peningkatan kadar nor-epinefrin serum, (4) redistribusi curah jantung untuk mompertahankah aiiran darah ke jantung dan otak, dan (5) peninggian kadar 2,3-difos-fogliserat (DPG).

IV. Diagnosis.
A.

Tanda dan gejala. Pasien-pasien dengan gangguan fungsi sistolik atau dengan peninggian tekanan atrium dengan fungsi sitolik normal dapat mem-perlihatkan sejumlah gejala dan temuan yang

memungkinkan diagnosis klinis GJK. Secara umum, gejala-gejala pasien merupakan petunjuk yang lebih peka dari GJK dibandingkan temuar.-temuan pada pemeriksaan fisik. (Lihat Tabel 73-4 dan 73-5.)
B. 1.

Pemeriksaan laboratdrium Elektrokardiografi. Suatu elektrokardiogram (EKG) pertu dibuat pada semua pasien yang baru didiagnosis sebagai GJK atau yang mengalami eksaserbasi GJK. Tabel 73-6 memberikan temuantemuan EKG yang berguna dalam menentukan penyebab GJK.

2.

2.

Sinar-X dada. Sinar-X dada sangat penting pada pasien-

pasien yang baru didiagnosis GJK dan pada kebanyakan pasien dengan eksaserbasi GJK. Sinar-X memungkinkan Kita untuk melakukan penilaian terhadap ukuran jantung baik secara

keseluruhan maupun pembesaran ruang tertentu, dan bersifat lebih peka dibandingkan pemeriksaan fisik da|arn mendeteksi peninggian tekanan vena paru-paru.

Vena-vena paru-paru yang teregang dan menonjol pada dada atas berkorelasi dengan tekanan vena paru-paru di atas 13 mmHg. Edema paru-paru terjadi bila tekanan vena paru melampaui 25 mmHg. Edema interstisial paru ditandai oleh gambaran vaskular paru dan hilus yang tidak jelas. Garis-garis Kerley B pada kedua dasar paru, cairan pleura ya'ng menumpulkan sudut kostofrenik, ataupun cairan edema yang menumpuk dalam ruang-ruang interlobaris. Edema alveolar paru menghasilkan gambaran "kupu-kupu" pada sinar-X dada.

TABEL 73-4. GEJALA-GEJALA GAGAL. JANTUMG KONGESTIF KRONIK

3.

3.

Ekokardiografi dan angiografi radionuklid. Ekokardiografi

Doppler, M-mode, dan dua-dimensi, atau jika ini secara teknis sulit, maka di-perlukan angiokardiografi radionuklidfvenlrikulografi nuklir atau gated pool study untuk menggolongkan pasien-pasien GJK ber: dasarkan fungsi sistolik normal dan abnormal untuk

menentukan tera, yang tepat. Diagnosis gangguan fungsi diastolik saja dapat dibuat pad banyak pasien GJK dengan salah satu metode di atas, tetapi hasiln bergantung pada keahlian individu dalam menginterpretasikan stud studi ini. Selain itu, kedua pemeriksaan dapa* mendeteksi kelainanko traksi dinding regio- nal yang mengisyaratkan suatu penyakit arte koronaria yang mendasari. Kedua studi ini juga berguna until mengevaluasi ventrikel kanan. Ekokardiografi berguna dalam menggolongkan pasien-pasi dengan kardiomiopati berdasarkan ukuran ventrikel dan fungsi f tipe dilatasi, hipertrolik, atau tipe restriktif-konstriktif. Ekokardiografi d~ menilai penyakit katup jantung dan memperkirakan keparahann Selain itu, ekokardiografi

juga dapat mendeteksi penyakit perikafdiu hipertensi paru, dan trombi intrakardiak.
4.

4.

Pemeriksaan laboratorium lainnya. Elektrolit serum, nitrogen ur

darah (BUN) dan kreatinin, uji fungsi hati, profil tiroid, dan hitung da lengkap merupakan indikasi pada kebanyakan pasien GJK yang atau pasien GJK dengan eksaserbasi.

TABEL 73-5. TANDA-TANDA GAGAL JANTUNG KONGESTIF a. Hiponatremia sering dijumpai pada pasien-pasien GJK dan ber-kaitan

baik dengan keparahan GJK maupun dengan kadar renin serum yang tinggi. b. Tes fungsi hati yang meninggi dengan sedikit peninggian bilirubin

serum dan enzim-enzim hati sering ditemukan pada pasien GJK dan dikaitkan dengan bendungan pasif pada hati. c. Azotemia prarenal sering ditemukan pade pasien-pasien GJK akibat

penurunan curah jantung dan perfusi ginjal.


5.

d.

Anemia dan hipo- atau hipertiroidisme dapat menyebabkan

kekam-buhan GJK atau mencetuskan GJK pada pasien-pasien dengan cadangan jantung terbatas (misal, pasien dengan

penurunan fraksi ejeksi hanya saat berlatih fisik). 5. Pemantauan Holter (EKG-24 jam). Enam puluh hingga 90% pasien

dengan GJK memiliki ektopi yang kompleks atau sering, dan hampir 80% pasien GJK mengalami takikardia ventrikular yang tidak menetap. Oleh sebab itu, setiap pasien GJK yang memperlihatkan gejala-gejala yang cocok dengan suatu aritmia, misalnya palpitasi, pusing, prasinkop atau sinkop, perlu dipertimbangkan untuk pemantauan Holter. Demikian pula tiap pasien GJK dengan fraksi ejeksi kurang dari 40%, dengan penyakit arteri koronaria, atau kardiomiopati hipertrofik perlu dipertimbangkan untuk pemantauan Holter.

6.

Studi-studi elektrofisiologis, Pasien-pasien GJK dengan takikardia yang menetap spontan (takikardia ventrikular yang

ventrikular

TAB EL 73-6. ELEKTROKARDIOGRAH PADA GAGAL JANTUNG ICONGESTIF

beriangsung lebih dari 30 detik) telah diidentifikasi, dan beberapa pasien dengan takikardia ventrikular yang tidak menetap, terutama mereka yang mendeiita penyakit arteri koronaria, perlu dipertimbangkan untuk studistudi elektrofisiologis dan diberi terapi anti-aritmik yang dipandu secara elektrofisiologis. Pengobatan. Gejala-gejala GJK dapat dikontrol dengan kombinasi pengobatan farmakologis dan non-farmakologis. A. Pengobatan non-farmakologis 1. Pasien biasanya dinasehati untuk membatasi aktivitas fisik sestiai

dengan tingkat keparahan GJK. Akan tetapi, latihan isotonik seperti berjalan atau naik sepeda statis telah dibuktikan dapat memprarbaiki toleransi latihan dan gejala-gejala GJK pada sebagian pasien GJK terkompensasi. Sebaliknya, latihan isometrik perlu dihindarkan. 2. Pasien-pasien perlu membatasi asupan natrium sainpai dua

hingga empat gram sehari bergantung pada keparahan GJK, guna mengurangi preload. B. Pengobatan farmakologis (lihat Tabel 73-7) 1. Diuretik

mengurangi preload dan bendungan paru serta sistemik pad pasien-pasien GJK. Efek samping yang mengkhawatirkan dari diureti pada pasien GJK adalah hipokatemia, hiponatremia, hipomagnesemia azotemia prarenal, hipotensi ortoatatik, dan penurunan curah janturig,

a.

Dosis diuretik perlu dititraai berdasarkan gejala-gejala pasien, be

badan, serta hasil pengukuran elektrolit serum dan BUN. Gunakai lah selalu dosis diuretik terendah yang masih efektif. b. Tiazid biasanya memadai pada pasien-pasien dengan GJK ring-bila

bersihan kreatinin di atas 30. mUmenit. Diuretik simpati sepe

c. Pada pasien-pasien GJK, bila perlu suplemen kalium atau obatobat homat kalium seperti triamteren, amitorid, atau spironolakton dapat ditambahkan pada diuretik-diuretik di atas. hyperkalemia dapat terjadi dengan obat-obat ini jika ada gangguan ginjal atau jika pasien mendapat suatu penghambat enzim konversi angiotensin (ACE). 2. Vasodilator mengurangi preload dan after'oad pada pasien-pasien dengan gangguan fungsi sistolik. Obat-obat ini juga dapat menyebabkan hipotensi pada pasien-pasien GJK dengan gangguan fungsi diastolik taja, kondisi curah tinggi, atau dengan stenosis mitralis atau aorta. a. Nitrat kerja panjang terutama menyebabkan venodilatasi, penurunan

preload, dan berakibat dengan penurunan tekanan akhir diastolik ventrikel. Isosorbid dmitrat atau nitrogliserin transdermal dapat diberikan dengan interval bebas nitrat untuk mencegah toleransi. Nitrat saja dapat momperbaiki gejala-gejala pasien dan kemampuan toleransi latihan fisik. b. Hidralazirt adalah suatu vasodilator arteriolar yang mengurangi

alterload dan meningkatkan curah jantung tanpa banyak mem-pengaruhi tekanan akhir diastolik ventrikel. Hidialazin harus diberikan bersama nitrat kerja panjang karena hidralazin saja mungkin tidak dapat memperbaiki gejala-gejala penderita. c. Penghambat ACE seperti kaptopril atau enalapril memperbaiki gejala

pada hampir 80% pasien GJK dalam enam minggu sejak terapi dimulai. Kemunduran fungsi ginjal sering diamati pada pasien GJK fungsionsl kelas III dan IV dengan hiponatremia dan dengan tekanan darah sistolik di bawah 100 mmHg saat manggunakan penghambat ACE. Pasien-pasien yang telah mendapat diuretik biasanya memerlukan penurunan dosis

diuretik setelah pemberian penghambat ACE dimulai. Efek samping penghambat ACE antara lain neutropenia; proteinuria, disgeusia, dan mam (kaptopril); dan angioedema dan batuk (enalapril). Namun, pada umumnya dapat dikatakan pasien-pasien dengan gagal jantung sistolik dapat men-toleransi penghambat ACE lebih baik daripada terapi kombinasi hidralazin dan nitrat kerja panjang. (1) Penghambat ACE mengurangi preload dan tekanan akhir diastolik ventrikel dengan meningkatkan ekskresi natrium dan air dan melalui venodilatasi langsung. Obat-obat ini menyebabkan vasodilatasi arteriolar dan mengurangi afterload dengan meng-hambat angiotensin II,

menurunkan tonus simpatis, dan mengaktifkan hormon-hormon lokal endogen. (2) Penghambat ACE mengurangi kadai norepinefrin serum dengan

akibat lebih sedikitnya disritmia ventrikel; memperbaiki hiponatremia, dan dapat mencegah dilatasi ventrikel kiri pada pasien-pasien dengan gangguan fungsi ventrikel kiri setelah infark miokardium anterior akut. 3. Obat-obat inotropik meningkatkan kontraktilitas miokardium dan dapat bermanfaat pada pasien-pasien GJK dengan gangguan fungsi sistolik. Digoksin seringkali diresepkan pada pasien-pasien GJK. Meskipun beberapa penghambat fosfodiesterase dan agonis beta seperti dobutamin dapat memberikan perbaikan nemodinamik jangka pendek dan perbaikan gejala pada pasien-pasieh GJK yang berat, namuri ada

Anda mungkin juga menyukai