Anda di halaman 1dari 7

Ecase THT Judul : Penatalaksanaan Abses Peritonsil dengan Riwayat Tonsilitis Berulang Abstrak : Abses peritonsil (quinsy) adalah

termasuk salah satu abses leher dalam. Selain abses peritonsil termasuk juga abses parafaring, abses retrofaring dan angina Ludavici (Ludwigs angina), atau abses submandibula. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fascia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorokan, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik setempat berupa nyeri dan pembengkakan akan menunjukan lokasi infeksi. Nyeri tenggorok dan demam yang disertai gangguan berupa terbatasnya gerak mandibula dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses peritonsil ialah abses di luar kapsul/selubung tonsil, antara kedua lapisan palatum molle. Penyakit ini merupakan komplikasi dari tonsilofaringitis akut yang membentuk abses pada jaringan longgar sekitar tonsil. Bila letak abses pada supratonsilar yaitu pada fossa laterosuperior dari tonsil, maka dapat menjalar ke spatium parafaringeum dan ke pembuluh darah yang akan menyebabkan sepsis. Isi : Penderita datang ke Poliklinik THT RSPS dengan keluhan nyeri saat menelan sejak 3 minggu yg lalu dan demam tinggi sejak 3 hari yang lalu. Leher kanan bengkak dan terasa nyeri. Penderita merasa sulit membuka mulut karena terasa nyeri, serta suara menjadi sengau. Batuk dan pilek disangkal. Penderita merasa mual, namun tidak muntah. Nyeri telinga disangkal. Penderita sudah memeriksakan diri ke dokter umum dan diberi penurun panas, namun keluhan tidak membaik dan dirasakan semakin memburuk. Penderita merasa nyeri telan semakin hebat, nyeri kepala dan badan terasa lemas disertai adanya penurunan nafsu makan. Pemeriksaan fisik
dilakukan, dan didapatkan hasil : Tekanan darah 140/90 mmHg, Nadi 88x/menit, Laju Respirasi 22x/menit, Suhu 36.5 Status Lokalis tenggorokan

Dinding faring : Hiperemis (+), granular (-) Arcus faring : Simetris, hiperemis (-), edema (-) Tonsil : T3-T4, hiperemis (+), permukaan mukosa tidak rata, granular (-), kripta melebar (-), detritus (-), perlengketan (-), tonsila palatina dextra tampak menonjol dari fossa tonsilaris dextra, pembesaran (+), Peritonsiler : hiperemis (+), tampak lunak berisi pus (+) Uvula : Letak terdorong kearah sinistra, hiperemis (+) Radang ginggiva (-), mukosa faring tenang, post nasal drip (-), pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan (+).

Diagnosis : Abses Peritonsil dengan Riwayat Tonsilitis Berulang Terapi : 1. Non farmakologi Pasien di edukasi untuk tidak makan gorengan, makanan berlemak, minuman dingin. Pasien dianjurkan untuk dilakukan Tonsilektomi 2-3 minggu setelah luka insisi sembuh

2. Farmakologi Pasien Mondok Inf RL 20 tpm Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam Metronidazole 1 btl/8 jam Tramadol 1 amp/8 jam Ranitidine 1 amp/8 jam Dilakukan insisi di Poli THT

Diskusi : Definisi Abses peritonsil sering disebut sebagai PTA atau Quinsy adalah suatu rongga yang berisi nanah didalam jaringan peritonsil yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis. Etiologi Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda. Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik. Patofisiologi Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis eksudatif pertama menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang sebenarnya (frank abscess formation). Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan.

Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru. Selain itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis kronis atau berulang (recurrent) sebelumnya. PTA dapat juga merupakan suatu gambaran (presentation) dari infeksi virus Epstein-Barr (yaitu: mononucleosis). Gejala Klinis dan Diagnosis Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeri menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia), dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. Bila ada nyeri di leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher (limitation in neck mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy dan peradangan otot tengkuk (cervical muscle inflammation).3 Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration). Tempat aspiration dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan jarum besar (berukuran 16 18) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibiakkan. Pemeriksaan Penunjang Pada penderita PTA perlu dilakukan pemeriksaan: 1. Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit (electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures). 2. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly. 3. Throat culture atau throat swab and culture: diperlukan untuk identifikasi organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik. 4. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views) dari nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal. 5. Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan peripheral rim enhancement. 6. Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography. Diagnosis Banding Infiltrat peritonsil, tumor, abses retrofaring, abses parafaring, aneurisma arteri karotis interna, infeksi mastoid, mononucleosis, infeksi kelenjar liur, infeksi gigi, dan adenitis tonsil.

Terapi
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, obat simtomatik. Juga perlu kumurkumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher.

Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit.

Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi rasa nyeri, diberikan analgesia (lokal), dengan menyuntikan xylokain atau novocain 1% di ganglion sfenopalatinum. Ganglion ini terletak di bagian belakang atas lateral dan konka media. Ganglion sfenopalatinum mempunyai cabang nervus palatina anterior, media dan posterior yang mengirimkan cabang aferenya ke tonsil dan palatum molle di atas tonsil. Daerah yang paling tepat untuk insisi mendapat inervasi dari cabang palatinum nervus trigeminus yang melewati gangglion sfenopalatinum. 1,2,3,4

1. Drainase
Jika terbentuk abses, memerlukan pembedahan drainase, baik dengan teknik aspirasi jarum atau dengan teknik insisi dan drainase. Kesulitan dapat timbul dalam memastikan apakah hubungan dengan selulitis akut atau pembentukan abses yang sebenarnya telah terjadi. Jika ragu-ragu, jarum ukuran 17 dapat dimasukan (setelah aplikasi dengan anestesi semprot) ke dalam tiga lokasi yang tampaknya paling mungkin untuk menghasilkan aspirasi pus. Jika pus ditemukan secara kebetulan, metode ini mungkin cukup untuk drainase dengan diikuti antibiotik. Jika jumlah pus banyak ditemukan dan tidak cukup didrainase dengan metode ini, insisi yang lebih jauh dan drainase dapat dilakukan. Jika tidak ditemukan pus, tampaknya ini masih berhubungan dengan selulitis dibandingkan abses. Mereka yang menolak teknik ini berpatokan pada kenyataan bahwa 30% dari abses terdapat pada sisi inferior dari fossa tonsilaris dan tidak dapat dicapai dengan menggunakan teknik jarum. Teknik insisi dan drainase membutuhkan anestesi lokal. Pertama faring disemprot dengan anestesi lokal, kemudian 2 cc xilokain dengan adrenalin 1/100.000 disuntikan. Pisau tonsil nomor 12 atau nomor 11 dengan plester untuk mencegah penetrasi yang dalam yang digunakan untuk membuat insisi melalui mukosa dan submukosa dekat kutub atas fossa tonsilaris. Hemostat tumpul dimasukan melalui insisi ini dengan lembut direntangkan. Pengisapan tonsila sebaiknya segera disediakan untuk mengumpulkan pus yang dikeluarkan. Pada anak yang lebih tua atau dewasa muda dengan trismus yang berat pembedahan drainase untuk abses peritonsilis munkin dilakukan setelah aplikasi cairan kokain 4% pada daerah insisi dan daerah ganglion sfenopalatina pada fossa nasalis. Hal ini kadang-kadang mengurangi nyeri dan trismus. Anak-anak yang lebih muda membutuhkan anestesi umum. Menganjurkan tonsilektomi segera (tonsilektomi quinsy) merasa bahwa ini merupakan prosedur yang aman yang membantu drainase sempurna dari abses jika tonsila diangkat. Hal ini mengurangi kebutuhan tonsilektomi terencana yang dilakukan enam minggu kemudian, dimana saat itu sering terdapat jaringan parut dan fibrosis dan kapsul tonsilaris kurang mudah dikenali. 1,3,4,5

2. Medikamentosa
Antibiotika penisilin 600.000 1.200.000 unit, atau ampisilin/amoksisilin 3 4 x 250 500 mg/hari, atau sefalosforin 3 4 x 250 500 mg/hari. Metronidazol 3 4 x 250 500 mg/hari. Analgetik-antipiretik parasetamol 3 4 x 250 500 mg/hati. Dan obat kumur antiseptik. 2

3. Tonsilektomi
a. Indikasi Tonsilektomi. Tonsilektomi baru dilakukan bila ada penyulit Cor Pulmonale akibat obstruksi kronik jalan napas yang jarang terjadi, abses faringeal atau peritonsil, pembesaran tonsil mengakibatkan disfagia dengan penurunan berat badan. 5,6 Indikasi untuk anak adalah tonsilitis rekuren yang kambuh lebih dari 3 kali, tonsil hipertrofi yang menyebabkan obstruksi misalnya gangguan menelan, dan riwayat demam rematik dengan gangguan jantung yang berhubungan dengan tonsilitis kronis yang sukar diatasi dengan antibiotik. 5 b. Keadaan-keadaan yang Menangguhkan Tindakan Tonsilektomi.

1. Peradang-an akut saluran nafas bagian atas. Tonsilektomi tidak boleh dilakukan selama atau 3 minggu sesudah serangan akut tonsilitis, dikhawatirkan timbulnya bahaya perdarahan sekunder. 2. Adanya gangguan pembekuan darah. Apabila masa pembekuan darah memanjang seperti pada hemofilia atau purpura, operasi jangan dilakukan. 3. Lagit-langit bercelah Keadaan ini menyebabkan inkompetensi pada sfingter nasofaring, bahkan sesudah rekonstuksipun mungkin belum memadai dan belum mencapai dinding posterior, sehingga terdapat gangguan bicara pada anak. Tonsil baru boleh diangkat bila menyebabkan gejala yang berat, dan harus oleh seorang ahli karena setiap parut pada palatum molle akan menambah inkopetensi sfingter tersebut. 4. Demam rematik dan nefritis Dahulu tonsilektomi dianjurkan pada keadaan ini untuk mencegah berulangnya penyakit. Banyak dokter ahli anak dan THT pada saat ini yang merasa bahwa kambuhnya penyakit ini dapat dicegah dengan pemberian penisilin dalam jangka waktu yang lama, jadi tidaklah perlu cepat-cepat melakukan tonsilektomi. Tetapi meskipun diberikan antibiotik untuk pencegahan, sering seorang anak terus menerus mendapat serangan tosilitis streptokokus, dan untuk mencegah berulangnya demam rematik serta nefritis maka tonsilektomi patut dilakukan pada keadaan ini. 5. Poliomielitis Tosil dan adenoid sebaiknya tidak diambil pada waktu terjadinya epidemi penyakit ini karena akan menambah tingginya resiko ketularan. Pada anak-anak yang baru saja diambil tonsilnya resiko terjadi poliomielitis bulber bertambah besar. 6. Hipertrofi tonsil Hipertrofi tonsil bukanlah indikasi mutlak tonsilektomi karena hal itu merupakan sesuatu yang normal terjadi pada masa pertumbuhan anak, dan lumrah bahwa tonsil akan membesar apabila mengalami peradangan. Mengangkat tonsil karena membesar bukan saja tidak masuk akan tetapi mungkin juga tidak berguna. 7. Indikasi lain-lain Di masa lalu tonsilektomi dikerjakan pada keadaan-keadaan yang tidak ada hubungannya sama sekali seperti misalnya enuresis, retardasi mental, sepsis vokal, kurang napsu makan, pilek-pilek, pembesaran kelenjar getah bening leher dan asma. Tidak ada alasan yang tepat untuk melakukan operasi pada keadaan tersebut. 1,4 c. Teknik Tonsilektomi Biasanya kedua tonsil diangkat secara diseksi dengan anestesi umum endotrakeal. Tonsil juga dapat diangkat dengan Guelotin dengan anestesi umum singkat, tetapi cara ini tidak dapat mengatasi pendarahan dengan baik sehingga sekarang tidak dilakukan lagi. Biasanya adenoid diangkat bersamaan. 1,4 d. Perawatan Penderita anak pasca tonsilektomi, dalam 12 jam pertama harus dirawat dalam posisi berbaring miring, dengan kepala direndahkan, sehingga darah akan mengalir ke luar melalui mulut dan tidak masuk ke dalam trakea. Dengan demikian perdarahan akan lebih mudah diketahui oleh staf perawat.

Anak harus diamati terhadap kemungkinan perdarahan dan setiap setengah jam sekali denyut nadi diperiksa selama 12 jam pertama. Peningkatan denyut nadi atau perdarahan harus segera dilaporkan kepada dokter. 1 PERAWATAN UMUM
Demam. Banyak penderita mengalami demam sehari setelah pembedahan. Hal ini merupakan reaksi yang wajar akibat trauma bedah. Ini tidak berarti anak harus mendapat antibiotik karena biasanya demam dapat hilang secara spontan. Nyeri tenggorok. Umumnya timbul rasa nyeri di tenggorok dan anak mungkin tidak mau makan karenanya. Karena itu penting untuk memaksa anak untuk mendapat gizi yang cukup, terutama dalam bentuk cairan. Gejala-gejala ini kadang-kadang bertambah beberapa hari setelah penderita dipulangkan ke rumah. Nyeri telinga. Banyak penderita mengeluh nyeri di telinga setelah tonsilektomi. Hal ini biasanya diakibatkan oleh rasa sakit yang menjalar melalui saraf glosofaringeus yang berasal dari fossa tonsil yang mengalami trauma dan jarang merupakan infeksi dari telinga tengah. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian analgetik.

Kesimpulan Abses peritonsil adalah termasuk salah satu abses leher dalam. Abses peritonsil merupakan abses di luar kapsul/selubung tonsil, antara kedua lapisan palatum molle. Penyakit ini merupakan komplikasi dari tonsilofaringitis akut yang membentuk abses pada jaringan longgar sekitar tonsil. Pada sebagian kasus abses peritonsil, nanah ditemukan mengisi fossa supra tonsil (70%) yang ditandai dengan pembengkakan dengan edema palatum molle, mengakibatkan tonsil terdorong ke bawah, depan dan ke tengah. Gejala-gejala abses peritonsil yaitu odinofagia, otalgia, regurgitasi, foetor ex ore, hipersalivasi, rinolalia, trismus, serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. Terapi untuk abses peritonsil pada stadium infiltrasi diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher. Jika terbentuk abses yang lanjut dapat dilakukan pembedahan drainase. Teknik pembedahan dilakukan dengan cara teknik aspirasi jarum atau dengan teknik insisi dan drainase. Teknik insisi dan drainase membutuhkan anestesi lokal, anak-anak yang lebih muda membutuhkan anestesi umum. Referensi : 1. Adams GL, Boies LR, Hilger PA. Alih bahasa Wijaya, Caroline. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke-6. Jakarta. EGC. 1994; 333-335. 2. Cody DTR, Kern EB, Pearson BW. Alih Bahasa Andrianto P, Samsudin S. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. Jakarta. EGC. 1993; 309. 3. Soepardi AE, Iskandar R. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke5, Cetakan I. Jakarta. FK UI. 2001; 115-124. 4. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi XIII, Jilid I, Cetakan I. Jakarta. 1994; 350-351.

5. Pracy R, dkk. Pelajaran Ringkas Telinga, Hidung dan Tenggorok. Jakarta. Gramedia. 1983; 124-26. Penulis Rizka Nurul Firdaus, Bagian Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan , RSUD Panembahan Senopati, Kab. Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai