Anda di halaman 1dari 6

Jurnal Veteriner Maret 2011 ISSN : 1411 - 8327

Vol. 12 No. 1: 13-18

Analisis Gas Darah pada Kucing yang Mengalami Laparohisterotomi dengan Anestesi Xylazin-Ketamin dan Xylazin-Propofol
(BLOOD GAS ANALYSIS OF XYLAZIN- KETAMIN AND XYLAZIN-PROPOFOL FOR ANESTHESIA TO LAPARO-HISTEROTOMY SURGERY IN CAT) Ira Sari Yudaniayanti, Nusdianto Triakoso, Djoko Galijono Departemen Klinik Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga. Jl. Mulyorejo Kampus C Unair Surabaya, Telepon 031-5927832; Email : irasari.vet@gmail.com. ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kadar gas dalam darah pada penggunaan kombinasi xylazinketamin dan xlazin-propofol dengan dosis berulang sebagai anestesi pada bedah laparo-histerotomi kucing sehinggga dapat ditentukan batas keamanannya. Penelitian ini menggunakan 10 ekor kucing betina umur 12-18 bulan, selanjutnya kucing dibagi acak menjadi 2 kelompok, yaitu P1 : atropin 0,04mg/kg BB/ subkutan + xylazin 2 mg/kg BB/intramuskuler + ketamin 20 mg/kg BB/intramuskuler; dan P2 : atropin 0,04mg/kg BB/subkutan + xylazin 2 mg/kg BB/intramuskuler + propofol 20 mg/kg BB/intravena. Masingmasing kelompok diambil darahnya pada vena femoralis pada menit ke-0 (sebelum perlakuan), 15, 30 , 45, dan 60 untuk pengukuran gas darah yaitu pH, pCO2 dan HCO3. Selanjutnya setelah kucing teranestesi, maka dilakukan operasi laparo-histerotomi. Hasil analisis gas darah dianalisis dengan menggunakan rancangan acak kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua kombinasi xylazin-ketamin dan xylazin-propofol menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) terhadap hasil analisis gas darah yaitu pH, pCO2, dan HCO3, selain itu kedua kombinasi obat anestetik menyebabkan asidosis metabolik dengan kompensasi alkalosis respiratorik yang cukup sempurna, sehingga cukup aman digunakan sebagai anestetik untuk jenis operasi yang membutuhkan waktu yang cukup lama seperti laparo-histerotomi. Kata kunci : Xylazin, ketamin, propofol, asidosis metabolik, alkalosis respiratorik

ABSTRACT The aim of this research was to study the safety application of xylazine-ketamine and xylazinepropofol recurrent dosage combination as anesthesia for laparo-histerotomy surgery in cat. This research used 10 female cats, 12-18 months of age, followed randomly divided into two groups, P1: atropine 0,04 mg/kgBW/SC + xylazine 2 mg/kg BW/IM + ketamine 20 mg/kg BW/IM; P2 : atropine 0,04mg/kg BW/SC + xylazine 2 mg/kg BW/IM + Propofol 20 mg/kg BW/IV. The blood of the all groups was taken from vena femuralis at 0 minute (before treatment), 15, 30, 45 and 60 minutes during anesthesia for measurement of blood gas value pH, pCO2 and HCO3. After all animals were anesthetized, the animals were treated laparo-histerotomy surgery. The data were analyzed by using Randomized Complete Block Design (RCBD). The result showed both of groups were not significantly difference (p>0,05) to blood gas values for pH, pCO2 dan HCO3. Besides, both groups anaesthetic agent perfectly caused metabolic acidosis with respiratory alkalosis compensation perfectly, therefore it is relatively safe to use as anaesthetic agent for surgery that needs long time procedure, as laparo-histerotomy. Key word : Xylazine, ketamine, propofol, metabolic acidosis, respiratory alkalosis

13

Yudaniayanti e ta l

Jurnal Veteriner

PENDAHULUAN Beberapa tindakan bedah seperti operasi orthopedi, Caesar, cystotomi, enterektomi, membutuhkan waktu yang relatif lama, sehingga dibutuhkan penambahan dosis anestesi. Berkaitan dengan hal tersebut, maka sangat penting untuk dilakukan pemantauan terus menerus tentang keadaan pasien, terutama pada reaksi terhadap pemberian obat anestetik, khususnya terhadap fungsi pernafasan dan jantung. Hal ini penting untuk diperhatikan karena anestesi umum akan menimbulkan reaksi yang berbeda pada organ dan sistem tubuh masing-masing individu (Afshar et al, 2005). Tujuan utama pemantauan anestesi adalah untuk diagnosis adanya permasalahan, perkiraan kemungkinan terjadinya kegawatan dan evaluasi hasil suatu tindakan, termasuk efektivitas serta adanya efek tambahan. Halhal yang perlu diamati selama anestesi adalah tingkat kedalam anestesi, efektivitas kardiovaskuler, dan efisiensi perfusi jaringan, serta perubahan respirasi (Badrinath et al, 2000). Salah satu pemeriksaan vital dalam mengukur kedalaman anestesi adalah kadar gas darah. Pengukuran gas darah ini sangat penting dilakukan untuk evaluasi pasien, karena pada kondisi-kondisi kritis selalu berkaitan dengan gangguan sistem respirasi dan keseimbangan asam-basa (Pfeiffer, 2006). Ada dua jenis gas darah yaitu gas darah arteri dan vena, namun keduanya tidak menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap tekanan oksigen (Richey et al, 2004). Sherman et al (2006) melaporkan bahwa analisis gas darah vena lebih nyaman untuk pasien, murah, dengan risiko sangat kecil karena tidak menimbulkan nyeri. Selain itu, dengan darah vena selain dapat untuk mengukur gas darah juga dapat dilakukan pemeriksaan komponen darah lain, seperti pemeriksaan haemoglobin, kadar potasium, sodium, kalsium, gukosa, serta kadar laktat. Wingfield et al., (1994), melaporkan hasil analisis gas darah menggunakan darah vena dapat dikonversikan ke darah arteri pada anjing dengan rumus sebagai berikut: 1. Arterial pH = 0,039 + (0,961X Venous pH) 2. Arterial pCO2 = 7,735 + (0,572 X Venous pCO2) 3. Arterial HCO3- = 0,538 + (0,845 X Venous HCO3-) Berdasarkan hal tersebut maka dalam 14

penelitian ini digunakan darah vena untuk analisis gas darah, mengingat pembuluh darah pada kucing sangat kecil dan tipis sehingga bila menggunakan darah arteri akan sulit. Nilai normal gas darah arteri pada kucing menurut Battaglia (2001) adalah pH: 7,36-7,44, pCO2: 3345 mmHg, HCO3: 17-22 mmol/L. Salah satu obat anestetik yang sering digunakan pada kucing adalah ketamin. Dalam penggunaannya ketamin mempunyai beberapa keuntungan, di antaranya yaitu mempunyai mula kerja (onset of action ) yang cepat dan efek analgesik yang kuat serta aplikasinya cukup mudah, yaitu dapat diinjeksikan secara intramuskular. Namun, ketamin juga mempunyai kerugian yaitu tidak terjadi relaksasi otot sehingga dapat menimbulkan kekejangan dan depresi ringan pada saluran respirasi. Oleh karena itu, untuk mengurangi efek samping ketamin, penggunaannya sering dikombinasikan dengan obat premedikasi, seperti diazepam, midazolam, medetomidine, atau xylazin (Kilic et al., 2004). Obat anestetik lain yang juga sering digunakan pada kucing adalah propofol. Obat ini masuk dalam golongan fenol. Dibandingkan dengan ketamin, waktu induksi dan masa pulih (recovery) lebih lembut pada propofol, selain itu redistribusi propofol ke jaringan juga lebih cepat dibanding ketamin. Namun, seperti halnya ketamin propofol juga mempunyai kekurangan, yaitu dapat menyebabkan depresi pernapasan dan penggunaannya pada kucing harus hati-hati karena akan menyebabkan penundaan masa pulih. Untuk metabolisme propofol dibutuhkan enzim glukoronidase dan pada kucing relatif sangat kecil kandungan glukuronil transferase hepatik sehingga dibutuhkan waktu lebih lama untuk eliminasi obat dari tubuh sebagai akibatnya terjadi penundaan waktu masa pulih (Pascoe et al, 2006). Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk mengevaluasi indikator gas darah pada penggunaan kombinasi xylazin-ketamin dan xylazin-propofol sebagai anestetik pada kasus-kasus bedah yang membutuhkan waktu yang relatif lama seperti laparo-histerotomi pada kucing, sehingga diperlukan penambahan anestetik setengah dari dosis awal pemberian. Dari hasil analisis gas darah tersebut diharapkan dapat diketahui tingkat keamanan anestetik yang digunakan sehingga dapat menghindari terjadinya kematian pasien akibat kesalahan anestesi.

Jurnal Veteriner Maret 2011

Vol. 12 No. 1: 13-18

METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya, yang secara keseluruhan memerlukan waktu 14 hari. Obat-obat yang digunakan dalam penelitian ini adalah atropin sulfas 0.25 mg/ml (Atropine, PT Ethica. Indonesia), xylazin hidrochlorid 20 mg/ml (Xylazin-20 injection, Kepro Holland), propofol 10 mg/ml (Safol, Dongkok Pharm Ltd, Amerika Serikat), dan ketamine hydrochloride 100 mg/ml (Ketamil, Ilium, Australia). Heparin 1000 U/ml. Alkohol 70% dan kapas steril untuk desinfeksi sebelum dan sesudah injeksi obat premedikasi dan obat anestetik. Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan 10 ekor kucing betina, yang secara acak dibagi menjadi dua perlakuan dengan masing-masing perlakuan terdiri dari 5 ekor kucing. Umur kucing berkisar antara 12-18 bulan dengan berat badan antara 2-3 kg. Sepuluh ekor kucing yang telah diadaptasikan selama 1 minggu, dibagi secara acak menjadi 2 kelompok penelitian, yaitu : Kelompok I (P I) : Kucing diberi atropin 0,04 mg/kg berat badan/sub-kutan + xylazin 2 mg/kg berat badan/intramus-kular + ketamin 20 mg kg berat badan/intramus-kular Kelompok II (P II) : Kucing diberi atropin 0,04 mg/kg berat badan/subku-tan + xylazin 2 mg/kg berat badan /intramus-kular + propofol 6 mg/kg berat badan/intravena Sebelum pelaksanaan anestesi, semua kucing pada masing-masing kelompok perlakuan diambil darahnya pada vena femoralis untuk pengukuran gas darah vena sebelum anestesi. Setelah semua kucing telah teranestesi, maka selanjutnya dilakukan bedah laparotomi sesuai dengan prosedur standar dan diteruskan dengan prosedur bedah histeromi yaitu melakukan insisi sepanjang kurang lebih 2 cm di daerah corpus uteri, dan selanjutnya dilakukan penjahitan sebagaimana mestinya. Sementara prosedur operasi tetap berlangsung, pada menit ke-20 dari pemberian anestetik pertama, pada masing-masing kucing diinjeksikan lagi anestetik sesuai dengan kelompok perlakuan, sebesar setengah dari dosis awal pemberian. Sampel darah untuk pengukuran gas darah vena ( pH, pCO2, dan bikarbonat) diambil dari 15

vena femoralis. Darah yang diambil ditampung dalam spuit 3 ml yang sebelumnya telah diisi dengan sedikit heparin1000 U/ml, selanjutnya sumbat spuit dengan gabus atau karet. Putarputar spuit sehingga darah bercampur dengan heparin, diberi label pada spesimen dan tempatkan spuit dalam termos yang berisi es dan segera kirim ke laboratorium. Pengukuran dilakukan pada saat hewan belum teranestesi, kemudian pada menit ke-15, 30, 45, dan 60 selama anestesi berlangsung. Analisis Data Rancangan yang digunakan untuk mengetahui adanya perubahan atau tidak kadar gas darah vena pada masing-masing perlakuan dan pada masing-masing waktu pengamatan, serta ada tidaknya interaksi antara waktu pengamatan dengan perlakuan adalah rancangan acak kelompok dengan uji General Linear Model Univariate (Pramesti, 2006) HASIL DAN PEMBAHASAN Bedah laparo-histerotomi adalah salah satu jenis operasi yang membutuhkan waktu relatif lama sehingga diperlukan penambahan dosis anestetik, hal ini akan berpengaruh terhadap tingkat kedalaman anestesi. Berkaitan dengan hal tersebut maka penting untuk dilakukan pemantauan kondisi pasien selama proses anestesi berlangsung untuk mengetahui keadaan dan reaksi fisiologis tubuh terhadap tindakan anestesi dan pembedahan. Salah satu pemeriksaan vital dalam mengukur kedalaman anestesi adalah kadar gas darah. Pascoe et al (2006), melaporkan bahwa pemantauan sistem kardiorespirasi merupakan salah satu hal yang sangat penting pada kondisi kritis. Pada keadaan distres akan mempengaruhi sistem kardiorespirasi, dengan adanya kelainan proses oksigenasi serta gangguan pengeluaran karbondioksida, sehingga membutuhkan pemantauan yang teliti yaitu salah satunya dengan analisis gas darah. Pengukuran gas darah sangat penting untuk menentukan pH, kadar oksigen dan karbondioksida, juga kadar bikarbonat dalam darah. Parameter-parameter tersebut sangat membantu mengevaluasi hewan dalam kondisi kritis (Ismail et al., 2010) Pada Tabel 1. disajikan rataan pH darah pada kelompok PI (xylazin-ketamin) dan P2 (xylazin-propofol). Berdasarkan analisis dengan

Yudaniayanti e ta l

Jurnal Veteriner

menggunakan rancangan acak kelompok general linear model univariate menunjukkan bahwa di antara kedua perlakuan (P1 dan P2) tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) pada nilai pH. Pada uji interaksi antara perlakuan dengan waktu pengamatan tidak ada interaksi, hal ini berarti bahwa baik perlakuan yaitu anestetik maupun waktu pengamatan mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap perubahan pH . Hasil analisis gas darah pada kedua perlakuan menunjukkan bahwa nilai pH di bawah nilai normal (< 7,36), mulai dari menit ke-0 sampai 60, meskipun terlihat adanya peningkatan tapi tidak signifikan (p>0,05). Hal ini mungkin disebabkan adanya stres pada waktu penanganan pengambilan darah. Woodrow (2004), melaporkan bahwa pada

kondisi panik atau stres akan terjadi depresi respirasi ringan dengan manifestasi penurunanan pH dan pCO2, sehingga terjadi hipokapnia dan hiperventilasi, yang ditandai dengan adanya peningkatan rataan respirasi. Pendapat tersebut diatas ternyata sesuai dengan hasil analisis pCO2 (Tabel 2.) yang menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0,05) pada kedua kelompok perlakuan yaitu bahwa selama periode anestesi mulai dari menit ke-15 sampai 60, nilai pCO2 mengalami penurunan meskipun masih dalam batas nilai normal (33-45 mmHg). Penurunan yang cukup signikan (p<0,05) mulai terjadi pada menit ke 45 sampai 60, terutama pada kelompok perlakuan xylazin-propofol dengan nilai pCO2 sampai di bawah nilai normal. Hal ini karena propofol mempunyai potensi mendepresi

Tabel 1. RataanpH hasil analisis gas darah dengan menggunakan darah dari vena femoralis Perlakuan
Xylazin-ketamin Xylazin-propofol

Waktu Pengamatan (menit ke) 0 6,83a + 0,17 6,89a + 0,16 15 6,87a + 0,12 6,9a + 0,13 30 6,9a + 0,07 6,94a +0,07 45 6,92a + 0,03 6,93a + 0,06 60 6,92a + 0,13 6,97a + 0,05

a superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). Tabel. 2. Rataan pCO2 hasil analisis gas darah dengan menggunakan darah dari vena femoralis (mmHg) Perlakuan
Xylazin-ketamin Xylazin-propofol

Waktu Pengamatan (menit ke) 0 36,34a+ 4,8 34,85a+ 3,2 15 35,88a + 3,3 34,74a + 2,9 30 35,31ab +2,5 33,7ab + 3,01 45 33,93ab+ 1,9 32,56ab+ 1,96 60 33,25b + 2,2 31,07b + 1,9

a,b, superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). Tabel 3. Rataan HCO3 hasil analisis gas darah dengan menggunakan darah dari vena femoralis (mmol/L) Perlakuan
Xylazin-ketamin Xylazin-propofol

Waktu Pengamatan (menit ke) 0 14,77a +1,9 15,38a +1,4 15 14,52 a+ 2,1 15,41 a + 1,3 30 14,73a+ 1,9 15,29a +1,4 45 14,92a + 1,9 15,38 a + 1,4 60 15,56a + 0,9 15,39 a + 1,6

a superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). 16

Jurnal Veteriner Maret 2011

Vol. 12 No. 1 : 13-18

respirasi, selain itu propofol juga dapat menyebabkan penurunan metabolik serebral dan tekanan perfusi serebral yang secara bersamaan akan menurunkan tekanan intracranial dan intraokuler. Dalam usaha untuk mempertahankan fungsi cerebral ini, maka selama proses anestesi menggunakan propofol berlangsung, terjadi perubahan pCO2 (Seymour dan Novakovski, 2007). Penurunan pH dan pCO2 pada kedua kelompok perlakuan disebabkan karena pengaruh anestetik. Ismail et al (2010), melaporkan bahwa obat-obat anestetik akan menyebabkan baik langsung maupun tidak langsung relaksasi otot bronkhial dan penurunan tingkat oksigen darah. Baniadam et al (2007) juga melaporkan hasil yang sama yaitu pemberian ketamin pada domba dan xylazinketamin pada kambing menye-babkan penurunan pH dan penghambatan pO2. Pada penelitian ini menggunakan darah vena untuk menganalisis gas darah, sehingga nilai pO2 tidak dapat diukur. Seymour dan Novakovski (2007), melaporkan bahwa meskipun darah vena tidak dapat memberikan informasi tentang pO2, tetapi masih dapat memberikan informasi yang memuaskan tentang efisiensi paru-paru dalam menge-luarkan CO2, dan standar yang terbaik dalam mengevaluasi efisiensi paru-paru adalah nilai pCO2. Respon tubuh dengan adanya penurunan pH dan pO2 adalah berusaha mempertahankan homeostasis supaya pH darah tetap normal dengan cara metabolisme anaerob sehingga status tubuh menjadi asidosis metabolik, dengan kompensasi terjadi alkalosis respiratorik yang ditandai dengan penurunan pCO 2 darah (Woodrow, 2004). Pendapat tersebut didukung oleh kadar HCO3 pada penelitian ini yang menunjukkan bahwa pada kedua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05) yaitu nilai HCO3 di bawah nilai normal (<17 mmol/L)(Tabel 3.). Berdasarkan hasil penga-matan mulai menit ke-15 sampai 60 tejadi kenaikan yang tidak signifikan (p>0,05) pada kedua kelompok perlakuan tetapi nilainya masih tetap di bawah normal. Berdasarkan data tersebut, pada awal pemeriksaan (menit ke-0) sebelum diberi perlakuan, hasil gas darah pada P1 menunjukkan pH=6,83; pCO2= 36,34; HCO3 = 14,77, sedangkan P2 menunjukkan pH= 6,89; pCO2 =

34,85; HCO 3 = 15,38, sehingga dapat disimpulkan bahwa baik pada P1 maupuhn P2 terjadi asidosis metabolik dengan kompensasi alkalosis respiratorik dengan tujuan untuk memper-tahankan homeostasis supaya pH darah tetap normal. Hal ini ditunjukkan dengan semakin meningkatnya waktu pengamatan, pH darah juga mengalami kenaikan meskipun tidak signifikan (p>0,05) yaitu pada menit ke-60 pH darah P1 = 6,9 dan P2 =6,97 dan masih di bawah nilah normalnya, sebaliknya pada hasil pCO2 mengalami penurunan yang cukup signifikan(p<0,05) yaitu pada menit ke 60 nilai pCO2 darah P1 = 33,25 dan P2 = 31,07, sedangkan untuk HCO3 pada kedua kelompok perlakuan menunjukkan kenaikan yang tidak signifikan (p>0,05) yaitu pada menit ke 60 nilai HCO3 darah pada P1 = 15,56 dan P2 = 15,39, meskipun nilainya masih di bawah normal. Aditama (1987) yang melaporkan bahwa kompensasi tubuh terhadap perubahan pH akan dilakukan melalui sistem pernapasan dan ginjal bergantung pada bentuk gangguan asam basa yang terjadi. Pada kondisi asidosis metabolik akan terjadi perangsangan untuk stimulasi pernapasan (hiperventilasi), dan sebagai akibatnya pCO2 darah akan menurun dan ini berakibat pada kenaikan pH (pH, pCO2), jadi penurunan pH pada asidosis metabolik akan dikompensasi oleh suatu reaksi alkalosis respiratorik (persamaan Handerson). Hal lain yang perlu diperhatikan dari kondisi tersebut adalah kedua kombinasi obat anestesi yaitu xylazine-ketamine dan xylazinepropofol tidak terlalu mendepresi pernafasan yang dibuktikan dengan adanya kemampuan yang cukup baik dari paru-paru dalam mengkompensasi perubahan pH, sehingga kedua kombinasi obat anestesi tersebut cukup aman digunakan untuk operasi yang mebutuhkan waktu yang cukup lama. SIMPULAN Kombinasi xylazin-ketamin dan xylazinpropofol menyebabkan asidosis meta-bolik dengan kompensasi alkalosis respiratorik yang cukup sempurna, sehingga cukup aman digunakan sebagai obat anestesi untuk jenis operasi yang membutuhkan waktu yang cukup lama

17

Yudaniayanti e ta l

Jurnal Veteriner

SARAN Dilakukan penelitian lebih lanjut tentang analisis gas darah pada operasi yang membutuhkan waktu lebih dari satu jam sehingga diperlukan penambahan dosis anestesi yang berulang-ulang Kombinasi ketamin-xylazin lebih tepat digunakan untuk operasi yang membu-tuhkan waktu lama, karena durasi anestesinya lebih lama dan mudah aplikasinya. UCAPAN TERIMA KASIH Dalam kesempatan ini dengan penuh rasa hormat, penulis mengahaturkan ucapan banyak terima kasih kepada Prof. Hj. Romziah Sidik, Ph.D., drh., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga atas dana dan kesempatan yang telah diberikan, dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Aditama TY.1987. Interpretasi analisis gas darah. Cermin Dunia Kedokteran 43: 5154. Afshar SF, Baniadam A, Marashipour SP. 2005. Effect of xylazine-ketamine on arterial blood pressure, arterial blood pH, blood gasses, rectal temperature, heart, and respiratory ratesin sheep. Bull Vet Inst Pulawy 49: 481-484. Badrinath S, Avramov MN, Shadrick M, Witt TR, Ivankovich AD. 2000. The use of a ketamin-propofol combination during monitored anesthesia care. Anesthesi Analgesic 90:856-862. Baniadam A, Afshar SF, Balani MRB. 2007. Cardiopulmonary effects of acepromazineketamine administration in the sheep. Bull Vet Inst Pulawy 51: 93-96.

Battaglia AM. 2001. Small Animal Emergency and Critical Care : A Manual For The Veterinary Technician. USA. WB Saunders Co. Pp 8-9. Ismail ZB, Jawasreh K, Al-Majali A. 2010. Effect of xylazine-ketamine-diazepam on certain clinical and arterial blood gas parameters in sheep and goats. Comp Clin Pathol 19: 11-14. Kilic N, Henke J. 2004. Comparative studies on the effect of S(+)-ketamin-medetomidine and racemic-ketamin-medetomidine in Mouse. YYU Vet Fak Derg, 15(1-2): 15-17. Pascoe PJ, Ilkiw JE and Frischmeyer KJ. 2006. The Effect of the duration of propofol administration on recovery from anesthesia in Cat. Veterinary Anaesthesia and Analgesia 33: 2-7. Pfeiffer B, Syring RS, Markstaller K, Otto CM and Baumgardner JE. 2006. The implications of arterial PO2 oscillations for conventional arterial blood gas analysis. Veterinary Anaesthesia and Analgesia. 102: 1758-1764. Pramesti G. 2006. Panduan Lengkap SPSS 13 dalam Mengolah Data Statistic. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Pp. 186-200. Richey MT, Mcgrath CJ, Portillo E, Scott M and Claypool L. 2004. Effect of sample handling on venous PCO2, pH, bicarbonate, and base excess measured with a Point-of-care analyzer. Journal of Veterinary Emergency and Critical Care, Vol. 14. 253-258. Seymour C, Novakovski TD. 2007. Manual of Canine and Feline Anaesthesia ang Analgesia. 2nd Ed. BSAVA. British Small Animal veterinary association. Pp 71. Sherman SC, Schindlbeck M. 2006. When is Venous Blood Gas Analysis Enough?. Emergency Medicine 38 (12) : 44-48. Wingfield WE, Pelt V, Hackett TB. 1994. Usefulness of venous blood gases in estimating acid-base status of the seriously ill dog. Journal of Veterinary Emergency and Critical Care 4:23-27 Woodrow p. 2004. Blood gas analysis. Nursing Standard 18(21): 45-52.

18

Anda mungkin juga menyukai