Anda di halaman 1dari 6

BAB I PENDAHULUAN 1.1.

LATAR BELAKANG Terminologi kebutaan didefenisikan berbeda beda di setiap negara seperti kebutaan total, kebutaan ekonomi, kebutaan hukum dan kebutaan Sosial. Publikasi WHO pada tahun 1966 memberikan 65 defenisi kebutaan. Di bidang oftalmologi, kebutaan adalah orang yang oleh karena penglihatannya menyebabkan ia tidak mampu melakukan aktifitas sehari-hari.1,2 Pada tahun 1972 WHO mendefenisikan kebutaan adalah tajam penglihatan <3/60. Kemudian pada tahun 1979, WHO menambahkannya dengan

ketidaksanggupan menghitung jari pada jarak 3 meter. 1,2 Pada tahun 1977, International Classification of Disease ( ICD ) membagi berkurangnya penglihatan menjadi 5 kategori dengan maksimum tajam penglihatan kurang dari 6/18 Snellen, kategori 1 dan 2 termasuk pada low vision sedangkan kategori 3, 4 dan 5 disebut blindness. Pasien dengan lapang pandangan 5 10 ditempatkan pada kategori 3 dan lapang pandangan kurang dari 5 ditempatkan pada kategori 4 ( lihat table 1.1 ). 1,2

Tabel 1.1 Klasifikasi ICD terhadap penurunan penglihatan


Category of Visual Impairment Low VIsion Level of Visual Acuity (Snellen) 1. Less than 6/18 to 6/60 2. Less than 6/60 to 3/60 3. Less than 3/60 (finger counting at 3 m) to 1/60 (finger counting at 1 m) or visual field between 5-10 4. Lessthan 1/60 (finger counting at 1 m) to light perception or visual field less than 5 5. No light perception

Blindness

Universitas Sumatera Utara

Undang undang no. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Kesehatan indra penglihatan merupakan syarat penting untuk meningkatkan kwalitas sumber daya manusia dalam meningkatkan kwalitas kehidupan masyarakat dalam rangka mewujudkan manusia yang cerdas, produktif, maju, mandiri dan sejahtera lahir batin.5 Di negara berkembang di seluruh dunia selain masalah sosial dan ekonomi, maka kebutaan masih merupakan masalah yang besar. Pada tahun 1990, WHO memperkirakan prevalensi kebutaan berkisar antara 0,3%-0,7%, dan angka ini diperkirakan akan meningkat setiap tahunnya. Beberapa Penelitian epidemiologi melaporkan prevalensi angka kebutaan bilateral di negara berkembang di Asia berkisar 0, 4 % dan kebutaan unilateral berkisar 2,6 %.6 Berdasarkan Survey Kesehatan Indera tahun 1993-1996, sebesar 1,5% penduduk Indonesia mengalami kebutaan dengan penyebab utama adalah katarak (0,78%), Glaukoma (0,20%), Kelainan Refraksi (0,14%), Gangguan Retina (0,13%), dan Kelainan Kornea (0,10%). Kebutaan karena katarak kejadiannya diperkirakan 0,1% (sekitar 210.000 orang) per tahun.7,8,9,10 Di Sumatera Utara, menurut penelitian yang dilakukan oleh Departemen Mata tahun 2004 didapat angka kebutaan sebagai berikut : kebutaan akibat Katarak ( Tanjung Balai 0,37%; Karo 0,41% ), Glaukoma (Karo 0,094%) , Kelainan Refraksi ( Tanjung Balai 0,09%; Karo 0,12% ), Gangguan Retina ( Tanjung Balai 0,06%; Karo 0,11% ), dan Kelainan Kornea ( Tanjung Balai 0,11%; Karo 0,08% ). Angka-angka yang diteliti ini lebih rendah dari prevalensi kebutaan nasional akibat katarak, glaukoma, kelainan refraksi, gangguan retina dan kelainan kornea. 22

Universitas Sumatera Utara

Pemeriksaan tajam penglihatan pada seseorang terutama pada anak selama ini banyak menemui kendala, padahal di sisi lain, informasi tentang tajam penglihatan ini sangat penting dalam membantu penegakan diagnosis dan memegang peranan penting dalam analisis fungsi penglihatan.12 Dalam memeriksa tajam penglihatan pada anak selalu didapat kesulitan akibat kurangnya komunikasi antara pemeriksa dengan anak tersebut oleh karena anakanak belum mampu melakukan kontak dengan baik. Untuk itu diperlukan ketrampilan pemeriksa sehingga pemeriksa mendapat hasil yang baik, walaupun kadang kala selain gangguan indera penglihatan terdapat gangguan indera lain pada anak tersebut. Salah satu penyebab utama kebutaan adalah kelainan retina. Hal ini didapatkan berdasarkan National Programme for Control of Blindness (NPCB) 1992, kebutaan akibat kelainan retina menempati urutan ke 4 setelah katarak, kelainan kornea, optik atropi dengan jumlah presentase 6,35%. Berdasarkan Andra Pradesh Eye Disease Study (APEDS) kebutaan akibat kelainan retina menempati urutan ke 2 setelah katarak dengan jumlah persentase 22,4%.
4

Berdasarkan

Retinopathy

Diabetic

Study,

prevalensi

kebutaan

akibat

Retinopati Diabetik merupakan penyebab utama kebutaan pada usia 20-79 di Amerika dan Inggris. Sedangkan di Denmark, angka kebutaan pada umur 50-80 tahun lebih banyak ditemukan pada penderita diabetes mellitus tipe I yang diterapi dengan insulin, dibandingkan dengan usia yang sama tanpa diabetes mellitus.
5

Berdasarkan Statistic on Blindness and Blinding Disease in United States, telah dilaporkan, dalam 16 juta penderita diabetes mellitus, tujuh juta diantaranya

Universitas Sumatera Utara

menyebabkan retinopati diabetik, yang merupakan penyebab utama terjadinya kebutaan.


6

Berdasarkan Studi Rotterdam, Studi Oulu, Visual Impairment Project, Salisbury Evaluation, Studi Beaver Dam dan Studi Baltimore melaporkan, age macular degeneration (AMD) atau degenerasi makula terkait usia merupakan penyebab gangguan penglihatan yang berat pada populasi kulit putih pada usia tua di negara berkembang.
4

Berdasarkan Statistic on Blindness and Blinding Disease in the United States melaporkan, 13 juta orang yang mempunyai tanda-tanda degenerasi makula, 230.000 orang diantaranya menjadi buta akibat degenerasi makula.
6

Berdasarkan Visual Impairment and Blindness in Europe, age related makular degeneration merupakan penyebab kebutaan yang paling sering pada usia 65 tahun ke atas.
7

Survei indra penglihatan dan pendengaran tahun 1993-1996, menunjukkan prevalensi kebutaan di Indonesia sebesar 1,5%. Penyebab utama kebutaan adalah katarak (0,78%), glaukoma (0,20%), kelainan refraksi (0,14%), kelainan retina (0,13%), kelainan kornea (0,10%), dan penyebab lainnya (0,15).
8

Dibandingkan dengan angka kebutaan negara-negara di regional Asia Tenggara, angka kebutaan di Indonesia adalah yang tertinggi. Hal ini diduga berkaitan dengan faktor degeneratif yang berhubungan dengan masalah gizi. Kebutaan bukan hanya mengganggu produktifitas dan mobilitas penderitanya, tetapi juga menimbulkan dampak sosio-ekonomi bagi lingkungan, keluarga, masyarakat dan negara, lebih-lebih lagi dalam menghadapi pasar bebas.
1

Meskipun prevalensi kebutaan akibat kelainan retina secara nasional telah diketahui, namun angka prevalensi di tiap-tiap daerah propinsi, khususnya propinsi

Universitas Sumatera Utara

Sumatera Utara yang terdiri dari 13 kabupaten dan 6 Kota / Kota Madya dengan jumlah penduduk 11.476.272 belum diketahui, oleh karana itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tersebut.

1.2.

RUMUSAN MASALAH Jumlah kebutaan akibat kelainan retina di kabupaten Langkat dan faktor-faktor

apa saja yang mempengaruhi angka kebutaan tersebut.

1.3.

TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan umum Untuk mendapatkan angka kebutaan akibat kelainan retina di kabupaten Langkat dan faktor-faktor yang mempengaruhi kebutaan tesebut. 2. Tujuan khusus a. Untuk mengetahui karakteristik geografi kabupaten Langkat. b. Untuk mengetahui gambaran karakteristik sosio-demografi responden atau penderita kebutaan akibat kelainan retina di wilayah kabupaten Langkat. c. Untuk mengetahui gambaran kesehatan mata responden di wilayah kabupaten Langkat. d. Untuk mengetahui gambaran budaya di wilayah kabupaten Langkat. e. Untuk mengetahui gambaran sarana dan pra-sarana kesehatan mata di kabupaten Langkat. f. Untuk mengetahui gambaran kebutaan akibat kelainan retina di wilayah kabupaten Langkat.

Universitas Sumatera Utara

1.4.

MANFAAT PENELITIAN

1. Dengan penelitian ini, dapat dibuat pemetaan tentang buta akibat kelainan retina di wilayah kabupaten Langkat. 2. Dapat dibuat kebijakan yang berkaitan dengan penatalaksanaan kebutaan akibat kelainan retina serta estimasi proyek kegiatan yang dapat menurunkan angka kebutaan tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai