Korupsi Di Kemenag - M. Arief Fakhruddin

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 4

Ironi Sebuah Kementerian Agama Oleh: M.

Arief Fakhruddin

Ironis adalah di kementerian yang mempunyai tugas melakukan pelayanan dan pembinaan terhadap kehidupan beragama, justru di dalam kementerian tersebut adalah sarang terhadap pelanggaran norma agama. Agama manakah yang mengajarkan korupsi? Norma Agama Dalam terminologi Islam dikenal istilah yang hampir sama dengan korupsi yaitu Risywah (suap), hanya saja risywah ini hanya menyangkut sebagian dari definisi korupsi. Secara teoritis kedudukan korupsi dalam hukum Islam adalah merupakan tindakan kriminal yang dalam istilah Islam disebut dengan Jinayah atau Jarimah. Asas legalitas hukum Islam tentang korupsi sangatlah jelas dan tegas. Ia merupakan suatu tindakan pencurian dan karenanya pelaku korupsi haruslah dihukum. Islam juga mengkategorikan perbuatan korupsi sebagai perbuatan zhalim (aniaya). Selain itu, dalam agama Kristen salah satu perintah Tuhan dalam 10 Perintah Tuhan adalah jangan mencuri. Agama Hindu juga mengajarkan bahwa Korupsi melanggar empat dari sepuluh larangan Hyang Widhi (Tuhan), yaitu: Tan Mamandung (tidak mencuri), Tan Ujar Ahala (tidak berkata-kata bohong/membual), Satya Wacana (berkata jujur, apa adanya, menepati janji/sumpah), dan Mamituhwa ri hananing karma-phala (percaya pada hukum Tuhan: Karma-Phala, yaitu menerima buah/ hasil dari perbuatan). Dalam agama Buddha dijelaskan dalam Majjhima Nikaya 117, bahwa mata pencaharian akan menjadi tidak benar ketika mata pencahariannya dimanfaatkan untuk menipu (kuhana), membual (lapana), memeras (nemittakata), menggelapkan (nippesikata), dan ,erampok agar mendapat hasil yang banyak (labha). Definisi korupsi menurut norma agama diatas memang tidak secara tertulis menyebutkan korupsi akan tetapi secara implisit dapat dikorelasikan dengan pemahaman korupsi berdasarkan pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Korupsi merupakan tindakan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau sebuah korporasi), yang secara langsung maupun tidak langsung merugikan

keuangan atau perekonomian negara, yang dari segi materiil perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan masyarakat. Kementerian Agama Anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI non aktif Zulkarnaen Djabar divonis pidana penjara 15 tahun, dan denda Rp300 juta subsider 1 bulan kurungan. Sedangkan putranya, Dendy Prasetya divonis 8 tahun penjara, dan denda Rp300 juta subsider 1 bulan kurungan dalam kasus korupsi pengadaan Alquran tahun 2011-2012 dan pengadaan computer madrasah tsanawiyah tahun 2011. Jaksa penuntut umum juga menuntut keduanya membayar uang pengganti Rp14,390 miliar. Hakim memberikan putusan yang lebih berat dari tuntutan jaksa karena Zulkarnaen Djabar dianggap tidak mendukung program pemerintah yang sedang giat memberantas tindak pidana korupsi akan tetapi justru memanfaatkan jabatannya selaku anggota DPR RI untuk melakukan tindak pidana korupsi, serta tidak mau mengakui terus terang perbuatannya. Hal lain yang memberatkan untuk Dendy adalah memanfaatkan kekuasaan ayahnya selaku Anggota DPR untuk mencari keuntungan pribadi. Perbuatan kedua terdakwa tersebut telah merenggut hak sosial dan hak ekonomi masyarakat karena anggaran yang telah ditetapkan tidak sepenuhnya digunakan untuk kepentingan masyarakat. Perbuatan Zulkarnaen dan Dendy juga telah melukai perasaan umat Islam mengingat perbuatan keduanya berkait dengan pengadaan penggandaan kitab suci Al Quran. Selain itu, kasus tersebut juga memaksa 15 pejabat/pegawai di lingkungan Kemenag untuk mengundurkan diri dari jabatannya serta harus siap dijatuhi sanksi karena keterlibatan mereka dalam kasus korupsi tersebut. Sebelum mencuat kasus tersebut, pada Tahun 2011, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan hasil survey Indeks Integritas Nasional dengan menempatkan 3 Kementerian pada posisi terendah, Kementerian Agama menempati peringkat terendah dengan indeks integritas 5,37. Berikutnya disusul Kemenakertrans dengan indeks integritas 5,44 dan Kementerian Koperasi dan UKM dengan nilai 5,52. Kasus dan hasil survey diatas menunjukkan kondisi Kementerian Agama saat ini, dimana korupsi sudah merajalela dan mendarah daging dalam kementerian tersebut. Kementerian

Agama merupakan suatu institusi yang didalamnya berhimpun para karyawan dan pimpinan yang seharusnya berjiwa agamis, karena mengurusi hal-hal agamis. Namun dalam kenyataannya

jiwa agamis itu tidak sepenuhnya termanifestasi dalam system dan etos kerjanya. Ironis, di kementerian yang bernaung di bawah panji-panji agama itu terjangkit penyakit yang bernama korupsi. Bahkan yang menjadi obyek tindak pidana korupsi adalah pengadaan mushaf Alquran, yang di dalamnya terkandung ayat-ayat suci. Ajaran Korupsi Tidak ada satupun ajaran agama di dunia ini yang melegalkan perbuatan korupsi, bahkan yang ada adalah larangan-larangan terhadap perbuatan yang merugikan masyarakat tersebut, sekaligus konsekuensi atau akibat apabila melakukan perbuatan korupsi. Ketika suatu lembaga yang seharusnya mengurusi masalah agama menjadi obyek sekaligus subyek korupsi, banyak hal yang harus dilakukan untuk melakukan pemberantasan korupsi di Kementerian Agama. Salah satunya adalah penguatan moralitas dan norma agama. Agama memegang peran yang sangat penting dalam hal pemberantasan korupsi. Masyarakat biasanya mengharapkan contoh dan teladan hidup dari orang-orang beragama yang sudah diyakini kesalehannya daripada yang tidak beragama. Praktek-praktek keagamaan yang dicontohkan oleh para pemuka agama, diharapkan dapat meredam dan mengontrol keinginan orang untuk melakukan hal-hal yang semata-mata bersifat duniawi, termasuk mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya. Meningkatkan pengetahuan, pengamalan dan penghayatan ajaran agama kepada para pemeluknya, sehingga umat beragama dapat menangkap intisari daripada ajaran agama itu dan dampak positif dari ajaran agama itu dapat diresapi hingga melekat pada tindak tanduk serta perilaku masyarakat. Dalam beragama, terdapat kepercayaan atas hukum sebab akibat, apa yang dilakukan di dunia, akan mendapatkan balasan nanti di akhirat, sepadan dengan perbuatan yang mereka lakukan entah itu baik/buruk di dunia. Hal ini juga dapat meredam korupsi apabila dihayati dan dipraktekkan oleh setiap orang. Mentalitas juga harus dirubah dan ditingkatkan. Peningkatan mentalitas ini dapat dilakukan melalui peningkatan pengetahuan dan pengamalan agama, sebab apabila pengetahuan dan pengamalan agama seseorang baik, maka dapat dipastikan bahwa sikap mental orang tersebut akan baik. Selain mentalitas, penerapan nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam hal birokrasi dapat mengontrol dan sekaligus mengawasi banyak hal, karena semua perilaku dan perbuatan akan dikembalikan lagi kepada agama sebagai dasar hidup, nilai moral dan etika yang dianut. Sikap-sikap seperti inilah yang belum dimiliki oleh pelaku-pelaku korupsi

di lingkungan Kementerian Agama, karena apa yang mereka lihat masih dari sudut pandang duniawi, belum sadar akan adanya konsekuensi agama selain konsekuensi hukum yang akan mereka terima. Sebenarnya penerapan konsekuensi atas hukum agama memang dijelaskan dalam kitab suci, seperti misalnya, dalam agama Islam hukuman untuk orang mencuri, dalam hal ini bisa dianalogikan ke perbuatan korupsi adalah dihukum potong tangan atau karena korupsi itu secara tidak langsung membunuh masyarakat kecil, dengan konsekuensi hukuman mati. Akan tetapi, hukuman-hukuman tersebut tidak dapat diterapkan sepenuhnya dalam negara Indonesia yang majemuk dan plural. Oleh karena itu, selain agama, faktor penegakan hukum yang jelas dan tegas, serta integritas dari para penegak hukumnya juga dibutuhkan jika ingin Indonesia terbebas dari korupsi. (M. Arief Fakhruddin, VIIIA/17/DIV Kurikulum Khusus BPKP)

Anda mungkin juga menyukai