Anda di halaman 1dari 12

Kelas Gerakan Politik Timur Tengah Kelompok 1: 1. Ryan Muhammad Fahd 2. Guntur R Muhammad 3. Erwin Handono 4.

Rezha Bayu O A 5. Dwi Ayu Silawati 6. Chrispina Maria Gracia (10/298410/SP/23990) (10/296939/SP/23897) (11/311853/SP/24444) (11/311863/SP/24446) (11/311508/SP/24396) (11/311454/SP/24388)

Gerakan Politik Islam di Mesir: Ikhwanul Muslimin

Sejarah Berdirinya Ikhwanul Muslimin Ikhwanul Muslimin (IM) adalah Gerakan Politik Islam yang berdiri di Mesir pada tahun 1928 di Negara Mesir, tepatnya di kota Ismailiyah. Pendirinya adalah Hasan Al-Bana, seorang guru sekolah dasar dan ulama yang lahir pada 14 Oktober 1906. Hasan Al-Bana tidak sendirian dalam mendirikan Ikhwanul Muslimin, beliau dibantu oleh 6 orang kawannya yaitu Hafiz Abdul Hamid, Ahmad al- Khusairi, Fuad Ibhrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail Izz dan Zaki alMaghribi. Gerakan politik Islam Ikhwanul Muslimin memiliki tujuan memurnikan kembali ajaran Islam di Mesir agar sesuai dengan Al-Quran dan Hadist sebab pada masa itu banyak yang meninggalkan ajaran Islam karena pengaruh imperialisme Inggris. Gaya hidup dan pemikiran masyarakat Mesir terpengaruh barat, menjauh dan menyimpang dari nilai-nilai Islam. Pada awal berdirinya, Ikhwanul Muslimin hanya berupa organisasi yang bergerak di bidang agama, sosial dengan pusat kegiatan awalnya bertempat di masjid di kota Ismailiyah. Mesjid ini dibangun dengan bantuan sumbangan para pekerja Terusan Suez dan hingga kini, Ikhwanul Muslimin sering memanfaatkan masjid sebagai pusat kegiatannya yaitu berdakwah dan berpolitik. Kegiatan awal Ikhwanul Muslimin merupakan kegiatan sosial seperti

menyelenggarakan edukasi agama Islam kepada masyarakat dan kegiatan bantuan sosial lainnya. Melalui edukasi tersebut, Ikhwanul Muslimin mengajarkan prinsip Islam sebagai ideologi dengan panduan Al-Quran dan Hadist sehingga semua umat Islam terikat dalam ikatan Ukhuah
1

Islamiyah.

Ajaran Ikhwanul Muslimin mulai menyebar dan mendirikan cabang-cabang

organisasi baru di Mahmudiyah, Abu Suir, Syibrakhit, Bahrus Sagir, Suez Port Said,dan Balah. Pergerakan politik mulai masuk dan menjadi agenda Ikhwanul Muslimin sejak pindahnya Hasan Al-Bana ke Kairo pada 1932 karena tugas mengajar. Hasan Al Bana melihat bahwa banyak terjadi penindasan kepada masyarakat mesir berkat imperialisme Inggris dan merasa bahwa Ikhwanul Muslimin harus ikut serta dalam perpolitikan. Hal ini bertepatan dengan tempat tinggal baru Hasan Al-Bana yaitu Kairo yang merupakan pusat negara dengan akses lebih mudah untuk masuk dalam perpolitikan negara. Gerakan politiknya dimulai secara diam-diam dan dirahasiakan dari pihak pemerintah, mereka memakai sarana masjid untuk menyebarkan paham politiknya dan mencari pendukungya. Ikhwanul Muslimin tidak hanya menyebarkan pandangan politiknya, namun juga tetap pada pendiriannya dengan membangun masyarakat yang sejahtera dan mandiri. Hal ini dicapai melalui pembangunan berbagai fasilitas umum seperti masjid, sekolah, pusat kajian agama, industri rumah tangga, klinik, rumah sakit dan lain-lain. Pembangunan eknomi juga di dukung melalui pembentukan serikat dagang, pabrik dan industri kecil. Fisik yang kuat juga menjadi perhatian sehingga dibangun juga Rover yang mengajarkan gerakan pandu moderen. Ikhwanul Muslimin termasuk gerakan politik Islam yang lengkap karena termasuk di dalamnya agama, moral, edukasi, ekonomi, fisik dan politik dan memberi manfaat besar bagi kesejahteraan rakyat Mesir. Pada Muktamar ke-3 Ikhwanul Muslimin tahun 1939, pertama kalinya ditunjukkan secara publik organisasinya sebagai gerakan politik di depan umum dan menghasilkan dua program politik yang menjadi dasar politiknya hingga sekarang. Pertama adalah internasionalisasi yaitu bahwa perjuangan untuk bebas dari cengkeraman imperialis bukan hanya di Mesir tapi seluruh tanah air Islam. Kedua adalah mendirikan negara Islam ditanah air Islam yang merdeka dan menjalankan prinsip-prinsip berlandaskan Islam dalam menjalankan pemerintahannya sekaligus menyampaikan dakwah. Jika kita perhatikan dengan baik, Ikhwanul Muslimin ingin menghidupkan kembali sistem kekhalifahan Islam yang terkahir runtuh pada masa Turki Ottoman. Ikhwanul Muslimin tidak hanya melihat Islam sebagai cara hidup saja, namun Islam juga sebagai solusi permaslahan yang melanda tanah air Islam dari pengaruh Imperialisme.

Hassan al-Banna tetap memegang teguh cita-citanya untuk mewujudkan konstitusi Mesir yang berdasarkan pada hukum Islam. Ia pun terus-menerus menyuarakan larangan terhadap perjudian, prostitusi, monopoli, persebaran buku-buku, lagu, bahkan ide atau pemikiran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dalam Diary of Dawa and Daiiah, ia menuliskan I prefer to gather men than gather information from books. Ini menunjukkan keteguhannya dalam mengutamakan pembentukan Ikhwanul Muslimin sebagai suatu organisasi dan di dalamnya memuat aturan-aturan yang dapat ia terapkan seumur hidupnya.1

Tokoh dan Tradisi Intelektual Ikhwanul Muslimin (IM) Aktivitas politik IM tidak dapat dilepaskan dari tradisi intelektual yang

melatarbelakanginya. Tradisi intelektual menjadi signifikan mengingat fungsinya sebagai justifikasi filosofis pandangan dan tindakan dari Ikhwanul Muslimin. Pada bagian ini kami akan membahas pemikiran dua tokoh IM, yakni Hasan Al Banna dan Sayyid Qutb, Hasan Al Banna Hasan Al Banna, lahir pada tanggal 14 Oktober di Mahmudiyah, Mesir. Ia dibesarkan dikeluarga kelas menengah yang taat beragama. Ayahnya merupakan seorang pedagang dan tokoh agama setempat. Pandangan Hasan Al Banna mengenai dunia, mulai terbentuk pada saat dirinya berpindah ke Kairo untuk menempuh pendidikan tinggi di Universitas Al-Azhar. Di Kairo, Al Banna melihat bahwa gaya hidup masyarakat Kairo telah menjauhi gaya hidup ideal Islam. Perjudian, prostitusi, materialisme konsumsi alkohol menjadi hal yang lumrah dan di kalangan masyarakat Kairo2, Al Banna menilai, hal ini disebabkan oleh pemikiran liberal dan sekular yang pada saat itu sedang popular di kalangan masyarakat Mesir. Selain melalui observasi sosial, pandangan Hasan Al Banna juga terbentuk melalui pembacaan karya-karya Rasyid Rida, Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al Afghani yang ketiganya sama-sama

Military Review, Al-Ikhwan Al-Muslimeen: The Muslim Brotherhood, July-August 2003, diakses dari http://www.au.af.mil/au/awc/awcgate/milreview/abo.pdf, hal. 27-28 2 Mohammed Zahid, The Muslim Brotherhood and Egypt Succession Crisis : The Politics of Liberisation and Reform in Middle East, I.B/Tauris Publisher, London, 2010, p.70

mengadvokasi pemurnian ajaran Islam3 . Pengalaman Kairo, memberikan Al Banna kesimpulan bahwa dibutuhkan revitalisasi moral dan spiritual di kalangan masyrakat Mesir. Setelah lulus dari Universitas Al Azhar, Al Banna diberikan mandat oleh Kementrian Pendidikan Mesir untuk menjadi guru sekolah dasar di Ismailiya. Di Ismailiya ia melihat isu kemiskinan dan kolonialisme sama pentingnya dengan isu degradasi moral dan spiritual. Ia mengamati bahwa orang Eropa yang kebanyakan bekerja di Perusahaan Kanal Suez , tinggal di tempat tinggal yang mewah sedangkan kebanyakan orang Mesir hanya tinggal di pemukiman kumuh, menurutnya semua ini terjadi oleh karena eksploitasi asing4. Al Banna yakin, bahwa solusi dari semua masalah ini adalah gerakan politik berbasiskan Islam yang mampu menyentuh level akar-rumput masyarakat Mesir. Al Banna mulai menyebarkan ide-idenya dengan sekedar berdiskusi santai di kedai kopi, lama kelamaan semakin banyak orang yang berdatangan untuk turut serta berdiskusi. Pada Maret 1928, Hasan Al Banna memutuskan untuk mendirikan Ikhwanul Muslim bersama dengan enam orang buruh. Konsepsi mengenai Jihad Pada tahun 1939 IM mulai terlibat aktif dalam politik praktis di Mesir, hal ini tentunya dilandasi pemikiran bahwa dibutuhkan penegakan Syariah secara menyeluruh di Mesir. Selain itu, IM juga mulai mengadopsi isu Palestina sebagai salah satu perhatian utamanya. Pada tahun 1946, Hasan Al Banna yang sedang popular di kalangan Kerajaan Mesir, ditunjuk sebagai seorang penasehat bidang keagamaan oleh Raja Farouq. Hubungan baik Al Banna dengan Kerajaan tidak berlangsung lama, setelah peristiwa pembunuhan PM Mesir, Ahmad Maher, dan beberapa orang tentara Inggris oleh anggota IM, IM resmi dilarang oleh pemerintah Mesir pada tahun 1948 dan Hasan Al Banna dicap sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas instabilitas politik Mesir. Puncaknya, pada Tahun 1949, Hasan Al Banna dibunuh oleh polisi rahasia Mesir. Sayyid Qutb Pemikiran Sayyid Qutb memiliki pengaruh yang besar terkait dengan radikalisasi strategi politik IM. Pada masa Hasan Al Banna, IM dapat digolongkan sebagai organisasi yang moderat, political violence bukanlah menjadi strategi utama agregasi kepentingan IM, peristiwa pembunuhan PM Ahmad Maher ataupun tentara Inggris yang dilakukan oleh anggota IM adalah
3

Steve Emerson, Report on the Roots of Violent Islamist Extremism and How to Counter it : Muslim Brotherhood, Investigative Project on Terrorism, July 10, 2008, p.5 4 Mohammed Zahid, p. 71

dengan motivasi perseorangan, Hasan Al Banna sendiri tidak menyetujui tindakan ini. Tidak absah jika dikatakan tindakan political violence di masa Hasan Al Banna mewakili IM secara keseluruhan, namun hal ini tentunya menunjukan bahwa setidaknya terdapat dua faksi dalam IM, faksi moderat dan faksi radikal yang berpaling pada strategi political violence. Sayyid Qutb dilahirkan pada 9 Oktober 1906, pada masa kecilnya ia telah mengenyam pendidikan Barat dan Islam, pada tahun 1930 ia mendapatkan mandat dari Kementrian Pendidikan Mesir untuk menjadi guru. Sebelum terlibat aktif dalam IM, Qutb aktif dalam bidang sastra dan kritik sastra. Ia menulis novel yang berjudul Ashwak atau Thorn dan bersahabat erat dengan Naguib Mahfouz5. Pandangan Qutb mengenai Islam, sedikit banyak terpupuk oleh pengalaman studinya di Amerika Serikat. Ia melihat Amerika Serikat sebagai representasi dunia Barat dan oposisi biner dari dunia Islam. Pada tahun 1948-1950 di Amerika Serikat , Qutb sangat mengagumi kemajuan sains dan teknologi, namun di sisi lain, ia sangat mengutuk budaya hedonistik dan materialisme Barat. Ia menilai sistem kebudayaan maupun sosial yang eksis di Barat tidak kompatibel dengan negara yang berpenduduk mayoritas Muslim. Selain itu, fakta bahwa AS merupakan sekutu terdekat Inggris (yang mengkolonisasi Mesir) dan Israel juga menambah sentimen buruk Qutb atas AS6. Kudeta yang dipimpin oleh Gamal Abdel Nasser, membuka babak baru dalam pemerintahan Mesir. Monarki Mesir yang pro Barat telah jatuh, namun muncul suatu gerakan baru yang pada nantinya bertentangan dengan pemikiran Qutb, yakni gerakan nasionalis Pan Arabis Tahrir yang dimpimpin oleh Nasser sendiri. Oposisi Qutb, terhadap presiden Nasser mengantarkanya ke penjara pada Tahun 1964. Namun justru di penjara Sayyid Qutb menciptakan magnum opusnya yakni, Ma alim fi Al Tariq atau Milestones Dalam karyanya Ma alim fi Al Tariq atau Milestones, yang ia tulis dipenjara pada tahun 1966, Sayyid Qutb memberikan demarkasi secara tegas antara dunia Islam (Hakimmiyah) dan non-Islam (Jahiliyyah)7, atau dengan kata lain Sayyid Qutb memperkenalkan konsep nasionalisme Islam yang berbasiskan pada agama, berbeda dengan konsep nasionalisme pada
5 6

Mohammed Zahid, p.86 Omar Sacirbey, The Muslim Brotherhoods Intellectual Godfather, The Washington Post (Online), February 12, 2011, < http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2011/02/11/AR2011021106019.html>, diakses pada 21 Maret 2014 7 Sayed Khatab, The Power of Sovereignty and Ideological Philosophy of Sayyid Qutb , Routledge, New York, 2006, p.7

umumnya yang memfokuskan pada keterikatan ras dan bahasa. Ia menegaskan bahwasanya komunitas ideal Islam yang termaktub dalam Al Quran sudah tidak dapat ditemukan lagi, yang ada pada saat ini adalah komunitas Islam yang tidak dibimbing oleh Syariah, yang menurut Qutb, dapat pula diklasifikasikan sebagai jahiliyyah8, dalam kondisi seperti ini, penegakan islam dengan political violence diperbolehkan910 .Mesir pada periode Nasser tentunya cocok dengan analisis Qutb mengenai negara jahiliyya, inilah yang menjadi justifikasi strategi political violence IM pada pasca era Al Banna11.. Pada tahun 1966, pemerintah Mesir memutuskan bahwa Qutb bersalah dengan tuduhan konspirasi pembunuhan terhadap Nasser, ia dihukum gantung. Hasan Al Banna menjadi peletak dasar tradisi intelektual IM, selain mengadvokasi revitalisasi moral dan spiritual, Ia juga menjadi kritikus sosial yang jeli dengan juga mengangkat isu-isu ketimpangan ekonomi serta kolonialisme, Islam menurut Al Banna, bukan hanya merupakan agama, tetapi suatu prinsip totalitas dalam menjalankan hidup, dengan demikian unsur-unsur Islam haruslah eksis di segala lini kehidupan. Dalam level politik praktis, Al Banna, cenderung bersikap moderat, ia mengutamakan kooperasi dibandingkan konfrontasi, hal ini yang mendorong terjadinya friksi di tubuh IM, pembunuhan PM Ahmad Maher dan tentara Inggris oleh anggota IM tentunya merupakan ekspresi ketidakpuasan dari anggota IM terhadap sikap Al Banna sebagai pemimpin. Sayyid Qutb, muncul sebagai jawaban.melalui teori negara

(Hakimiyyah-Jahiliyyah) yang dikembangkanya, Qutb mampu memenuhi kebutuhan akan justifikasi filosofis penggunaan political violence dalam perjuangan IM. Kegagalan Ikhwanul Muslimin dalam Merebut Dominasi dalam Pemerintahan Mesir The Egyptian Muslim Brotherhood, a group that has lacked formal legal existence for six decades, remains one of the most successful social and political movements in modern Arab history.12 Sebagaimana telah dibahas sebelumya, Ikhwanul Muslimin (Muslim Brotherhood) merupakan suatu gerakan politik Islam asal Mesir yang berkembang pesat di negara-negara
8 9

Steve Emerson, p.9 Sayed Khatab, 176-178 10 Steve Emerson, p.8

12

A. Hamzawy dan N.J. Brown, The Egyptian Muslim Brotherhood: Islamist Participation in a Closing Political Environment, Carnegie Papers, No. 19, 2010, hal. 3

mayoritas Islam lain, seperti Suriah, Sudan, dan Jordania. Namun, yang menarik untuk dikaji dari gerakan ini adalah fakta bahwa selama delapan dekade sejak terbentuk dan berkembang, mereka belum mampu menguasai tampuk kekuasaan di negara asal mereka, Mesir. Perjalanan mereka untuk mencapai cita-cita mendirikan negara berbasis syariah di Mesir nampaknya selalu menemui kegagalan. Setelah sebelumnya membangun rivalitas dan mengalami tekanan pada masa kepemimpinan Nasser, Ikhwanul Muslimin mulai menemukan angin segar. Tepatnya di masa kepemimpinan Anwar Sadat, Ikhwanul Muslimin mendapat tempat dalam sistem politik Mesir, termasuk dilibatkan dalam pembuatan konstitusi baru. Anggota mereka yang dipenjara dibebaskan. Hal ini dilakukan Sadat untuk membentengi kekuasaanya dari para simpatisan Nasser. Namun, sekali lagi keharmonisan hubungan Ikhwanul Muslimin dengan pemerintah yang berkuasa tidak bertahan lama. Keputusan Sadat untuk menandatangani perjanjian damai dengan Israel menyulut kemarahan kelompok-kelompok Islamist di Mesir. Sadat pun mengeluarkan perintah pembatasan bahkan pelarangan kegiatan kelompok keagamaan. Kebijakan ini justru menjadi bumerang bagi Sadat yang akhirnya tewas di tangan kelompok Islamist, Al Jihad Group. Hal ini secara tidak langsung memunculkan stereotip baru tentang kelompok gerakan Islam di Mesir, termasuk Ikhwanul Muslimin yang sebenarnya tidak mengecam atau menentang Sadat secara frontal.13 Setidaknya ada dua faktor utama mengapa Ikhwanul Muslimin selalu gagal untuk berkuasa di Mesir, yakni faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal, tentu saja intervensi dari pihak asing memberikan dampak yang sangat besar bagi eksistensi Ikhwanul Muslimin ketika mereka sedang berusaha untuk berkuasa di Mesir. Politik adu domba (divide et impera) merupakan cara klasik oleh barat untuk menggulingkan suatu pemerintahan yang bertentangan dan atau mengancam kepentingan barat di suatu negara. Divide et impera adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam konteks lain, politik adu domba juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. Sehingga, ketika kekuatankekuatan tersebut melemah, pengaruh barat lebih mudah untuk masuk.

13

Ibid., hal. 18-19

Sedangkan faktor internal, seperti apa yang terjadi pada pemerintahan Mursi, konsep yang belum matang tentang sistem negara Islam juga menyebabkan Ikhwanul Muslimin tidak mampu berbuat banyak untuk memperbaiki ekonomi dan menyejahterakan rakyat. Tingkat kesejahteraan yang rendah dan tidak meningkat ini menyebabkan pemerintah mengalami krisis legitimasi. Ditambah lagi Setahun kepemimpinan Mursi diwarnai banyak aksi pelanggaran Hak Asasi Manusia, demokrasi dan toleransi beragama. Dia dinilai gagal melakukan reformasi sektor keamanan terutama di kepolisian, paramiliter dan dinas intelijen Mesir.14 Ketika polisi Mesir terlibat pembantaian di Port Said, Januari 2013 lalu dan 30 orang meninggal, Mursi dinilai tidak berusaha menindak pelakunya dengan tegas. Serangan terhadap gereja Kristen Koptik dan kaum minoritas pun meningkat. Selain itu, parlemen Mesir yang didominasi Ikhwanul Muslimin dinilai berusaha terus menerbitkan undang-undang baru yang membatasi masyarakat sipil. Sebuah Rancangan UU tentang keberadaan NGO sedang dibahas dan disebut-sebut bakal mengontrol organisasi masyarakat sipil.15 Dari beberapa periode kepresidenan yang telah dijelaskan di atas, terlihat bahwa kendala yang ditemui Ikhwanul Muslimin dalam mewujudkan cita-citanya adalah faktor eksternal dan internal. Intervensi dari luar dan lemahnya konsep yang mereka tawarkan menyebabkan lemahnya dukungan kepada pemimpin yang sedang berkuasa saat itu. Di sisi lain, terlihat bahwa lama kelamaan gerakan Ikhwanul Muslimin dianggap bergerak ke arah Islam moderat, mendukung demokrasi parlemen yang tak lain merupakan konsep Barat. Hal ini menyiratkan tanda bahwa Ikhwanul Muslimin ternyata belum menemukan sistem politik yang tepat bagi Mesir yang sesuai dengan syariah Islam. Hingga pada akhirnya, mereka memilih untuk menerima demokrasi parlementer ala Barat. Tantangan Ikhwanul Muslimin sebagai Gerakan Politik Islam di Mesir Pada paragraf sebelumnya dijelaskan secara padat perkembangan Ikhwanul Muslimin sebagai Gerakan Politik Islam yang terbentuk di Mesir dan memiliki cita-cita dasar yang perlu diperjuangkan untuk dicapai. Melihat pada perkembangan tersebut, pada kenyataannya Ikhwanul Muslimin mengalami kesulitan dalam menjalankan misinya menerapkan Syariah Islam yaitu
14

Tempo.co, Empat Alasan Presiden Mursi Digulingkan, http://www.tempo.co/read/news/2013/07/04/115493383/Empat-Alasan-Presiden-Mesir-Digulingkan diakses pada 21 Maret 2014. 15 ibid

Quran dan Hadits sebagai hukum negara. Sulitnya mendirikan negara Islam, tidak menghentikan Ikhwanul Muslimin tetap bergerak dan berjuang selama lebih dari delapan dekade ini. Tentunya, terdapat banyak tantangan-tantangan yang dapat dianalisis melihat perkembangan perjuangan Ikhwanul Muslimin dalam kancah social dan politik Mesir sejak berdirinya gerakan ini pada 1928 hingga saat ini. Pertama, tantangan yang akan dihadapi oleh Ikhwanul Muslimin dimasa depan adalah variasi atau perbedaan pandangan dan ideologi pemimpin negara khususnya Mesir di masa depan. Selama lebih dari 80 tahun, Ikhwanul Muslimin selalu menghadapi kesulitan terhadap perbedaan karakter Presiden Mesir dari masa ke masa. Kesulitan inilah yang menjadi kendala pada waktu itu dalam proses menerapkan ideologi dan paham Islam sesungguhnya. Kendala ini yang akan menjadi tantangan bagi Ikhwanul Muslimin dimasa depan. Pasalnya, tidak ada yang bisa memprediksi karakter Presiden Mesir dimasa yang akan datang dan bagaimana kebijakankebijakan yang akan dikeluarkan terkait dengan Gerakan Politik Islam seperti halnya Ikhwanul Muslimin. Pada dasarnya, terdapat dua kemungkinan yang perlu dipersiapkan oleh Ikhwanul Muslimin terkait karakter atau pandangan pemimpin negara Mesir, pro atau kontra atau bahkan keduanya yang menyebabkan adanya pengkhianatan dan tidak bisa diprediksi. Hal ini pernah terjadi saat kepemimpinan Anwar Sadat yang terpilih pada tahun 197016. Pada awalnya, Sadat menunjukkan dukungannya terhadap Ikhwanul Muslimin dengan melibatkan mereka dalam perumusan konstitusi baru. Dalam konstitusi tersebut terjadi amandemen yang menjadikan Mesir sebagai negara Islam dan Sharia atau hukum Islam sebagai sumber hukum utama dalam legislasi atau pembuatan hukum dan undang-undang17 . Pandangan anggota Ikhwanul Muslimin pada saat itu sangat positif terhadap kebijakan Sadat ini. Mereka menganggap Sadat sebagai seorang Muslim sejati yang memiliki keyakinan yang kuat. Ikhwanul Muslimin pun diperbolehkan untuk mempublikasi jurnal al Dawah. Namun, semuanya berubah ketika Sadat diketahui membuat sebuah perjanjian damai dengan Israel. Hal ini menimbulkan kemarahan bagi Ikhwanul Muslimin yang merasa dikhianati oleh Sadat. Secara mendadak, Sadat menolak untuk mempercayai atau mendukung nilai-nilai Islam yang dibawa oleh Ikhwanul Muslimin.
16

N. Sattar, Al Ikhwan Al Muslimin (Society of Muslim Brotherhood) Aims and Ideology, Role and Impact, Pakistan Horizon, Vol. 48, No. 2 (April 1995), p.18. 17 N. Sattar, Al Ikhwan Al Muslimin (Society of Muslim Brotherhood) Aims and Ideology, Role and Impact , Pakistan Horizon, Vol. 48, No. 2 (April 1995), p.18.

Permasalahan semakin memuncak ketika Ikhawanul Muslimin melakukan protes dan dibalas Sadat dengan melakukan pemboikotan terhadap jurnal al Dawah, melarang adanya aktivitas politik apapun dan menuduh General Guide Talmasani melakukan usaha untuk menurukan rezim Sadat18. Konfrontasi kedua pihak ini tidak terhindarkan dan akhirnya Sadat meninggal dunia setelah ditembak oleh salah satu anggota grup militant al Jihad pada 1981. Konfrontasi ini menjadi titik balik yang sangat momentum bagi keadaan politik dan keberadaan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Pasalnya, pasca konfrontasi ini terjadi perubahan besar-besaran secara internal dalam pola srategi Ikhwanul Muslimin, khususnya organisasi ini mulai terbuka dan toleran terhadap keadaan sosial dan politik masyarakat dan pemerintah Mesir. Kedua, melihat perkembangan Ikhwanul Muslimin ini juga terlihat adanya sedikit perpecahan prinsip dasar dalam mengejar cita-cita untuk mendirikan negara muslim. Sayyid Qutub merupakan salah seorang pendiri sekaligus pemikir Ikhwanul Muslimin percaya bahwa kekerasan adalah salah satu cara yang sah untuk berjuang dijalan Allah atau yang biasa disebut Jihad19. Namun, salah satu pemimpin Ikhanul Muslimin, Hudaybi, menentang pendapat tersebut dan meyakini bahwa perlu adanya toleransi dan rasa untuk saling menghargai satu sama lain, sehingga Jihad tidak perlu dilakukan dengan cara kekerasan tetapi bagaimana cara untuk mempengaruhi dan memberitahukan tentang kebenaran Islam kepada masyarakat dan pemerintah. Pasca konfrontasi Ikhwanul Muslimin dengan Presiden Sadar, Ikhwanul Muslimin khususnya melalui General Guide Talmasani melakukan perubahan besar-besaran terutama pada prinsip dasar Gerakan Politik Islam di Mesir ini20. Talmasani mulai menyerukan kembali hakikat perjuangan Banna dan Hudaybi dan berupaya pula menyerukan untuk meninggalkan cara-cara perjuangan Qutub yang terkenal terlalu militan. Sebab, pada awalnya, Ikhwanul Muslimin berupaya menanamkan nilai-nilai Islam ditengah masyarakat melalui tarbiyya atau media pendidikan dan dilakukan secara bertahap melalui individu, keluarga, dan masyarakat21. Hal inilah yang menjadi benteng ideologi Ikhwanul Muslimin saat itu.

18

N. Sattar, Al Ikhwan Al Muslimin (Society of Muslim Brotherhood) Aims and Ideology, Role and Impact , Pakistan Horizon, Vol. 48, No. 2 (April 1995), p.18. 19 S. Brooke, The Moderate Muslim Brotherhood, Foreign Affairs, Vol. 86, No. 2 (Mar. - Apr., 2007), p.110. 20 N. Sattar, Al Ikhwan Al Muslimin (Society of Muslim Brotherhood) Aims and Ideology, Role and Impact , Pakistan Horizon, Vol. 48, No. 2 (April 1995), p.20. 21 S. Brooke, The Moderate Muslim Brotherhood, Foreign Affairs, Vol. 86, No. 2 (Mar. - Apr., 2007), p.108.

10

Walaupun pada akhirnya pendukung Qutub dan Hudaybi terpecah, namun hal ini dianggap sebagai sebuah momentum bagi Ikhwanul Muslimin untuk semakin terbuka dan meninggalkan sedikit demi sedikit semangat revolusioner melalui kekerasan22. Hal ini kemudian menyebabkan Ikhwanul Muslimin mulai melakukan toleransi dan menghargai sebuah konsep pluralism. Walaupun begitu mereka tidak mampu menjadi sebuah partai politik yang legal. Pada kenyatannya, terlihat jelas bahwa Ikhwanul Muslimin tidak menyediakan sebuah kerangka pikir dan konsep Negara Islam yang jelas. Pasalnya, tidak adanya persatuan Gerakan Politik Islam ini secara internal. Sebab, banyak pula yang menilai bahwa upaya untuk semakin terbuka dan toleran ini tidak sesuai dengan nilai Islam. Pada dasarnya, Ikhwanul Muslimin seakan-akan menyetujui konsep-konsep Barat yang notabene merupakan konsep yang bertentangan dengan konsep Islam. Sejauh ini, Ikhwanul Muslimin belum mampu menunjukkan kepada masyarakat luas dan pemerintah bahwa Negara Muslim adalah sebuah ide dan masa depan yang cerah bagi Mesir. Konsep pembangunan Barat lebih terkenal, banyak digunakan, dan terbukti membawa kesejahteraan bagi Mesir dan negara-negara dengan dominasi Muslim lainnya di dunia, dibandingkann dengan konsep pembangunan dalam sebuah konsep Negara Muslim. Ketiga, Ikhwanul Muslimin harus mampu meningkatkan legitimasi mereka dalam elemen masyarakat dan pemerintah. Pasalnya, bentuk Gerakan Politik masih dianggap kurang efektif untuk mampu menjalankan cita-cita Islam. Dalam perkembangannya untuk mengejar popularitas, Ikhwanul Muslimin melakukan strategi aliansi dengan partai politik lainnya. Sayangnya, aliansi ini dianggap tidak relevan dan tidak konsisten. Pasalnya, Ikhwanul Muslimin bergabung dengan partai-parti sosialis, nasionalis, dan liberalis yang notabene adalah prodkukproduk Barat yang bertentangan dengan Islam23. Hal inilah yang menjadi tantangan ketiga dari Ikhwanul Muslimin yaitu melakukan persuasi terhadap pemerintah untuk berhasil menjadi sebuah partai politik Islam sah dan mampu turut andil secara langsung dalam proses pengambilan keputusan dalam pemerintahan. Pada akhirnya, Ikhwanul Muslimin akan mampu mencapai cita-citanya mendirikan negara Islam di Mesir.

22

N. Sattar, Al Ikhwan Al Muslimin (Society of Muslim Brotherhood) Aims and Ideology, Role and Impact , Pakistan Horizon, Vol. 48, No. 2 (April 1995), p.20. 23 S. Brooke, The Moderate Muslim Brotherhood, Foreign Affairs, Vol. 86, No. 2 (Mar. - Apr., 2007), p.110.

11

Referensi: Hamzawy, Amr dan Nathan J. Brown. 2010. The Egyptian Muslim Brotherhood: Islamist Participation in a Closing Political Environment, Carnegie Papers, No. 19. Diakses dari http://carnegieendowment.org/files/muslim_bros_participation.pdf , pada 20 Maret 2014 Laub, Zachary. Egypts Muslim Brotherhood, CFR (daring), January 15, 2014, diakses dari http://www.cfr.org/egypt/egypts-muslim-brotherhood/p23991, 20 Maret 2014. Sattar, Noman. 1995. Al Ikhwan Al Muslimin (Society of Muslim Brotherhood) Aims and Ideology, Role and Impact, Pakistan Horizon, Vol. 48, No. 2 (April 1995), pp. 7-30. Diakses dari http://jstor.org, pada 20 Maret 2014 Canadians for Justice and Peace in the Middle East (CJPME), Factsheet: Egyptian Muslim Brotherhood, Investigative Project CJPME on (online), Terrorism, The 22 Februari 2011. Diakses diakses dari dari

http://www.cjpmo.org/DisplayDocument.aspx?DocumentID=1486 Muslim Brotherhood,

http://www.discoverthenetworks.org/articles/muslim%20brotherhood.pdf, 20 Maret 2014. Military Review, Al-Ikhwan Al-Muslimeen: The Muslim Brotherhood, July-August 2003, diakses dari http://www.au.af.mil/au/awc/awcgate/milreview/abo.pdf, 20 Maret 2014. Mohammed Zahid, The Muslim Brotherhood and Egypt Succession Crisis : The Politics of Liberisation and Reform in Middle East, I.B/Tauris Publisher, London, 2010, p.70 Steve Emerson, Report on the Roots of Violent Islamist Extremism and How to Counter it : Muslim Brotherhood, Investigative Project on Terrorism, July 10, 2008, p.5 Omar Sacirbey, The Muslim Brotherhoods Intellectual Godfather, The Washington Post (Online), February 12, 2011, < http://www.washingtonpost.com/wp-

dyn/content/article/2011/02/11/AR2011021106019.html>, Sayed Khatab, The Power of Sovereignty and Ideological Philosophy of Sayyid Qutb, Routledge, New York, 2006, p.7

12

Anda mungkin juga menyukai