Anda di halaman 1dari 66

LOGIKA, ETIKA, DAN ESTETIKA

LOGIKA, ESTETIKA, DAN ETIKA

1.Logika Pemikiran dan ketertarikan Bertrand Russell untuk menjadikan bahasa filosofis sejelas dan seakurat mungkin adalah semata karena keinginannya untuk memastikan bahwa bahasa yang dipergunakan berfilsafat sesuai dengan fakta yang dialami manusia. Karena kepastian (exactness) merupakan bagian inti dari cara berfikir matematis di dalam kajian matematika yang merupakan cabang dari filsafat logika, maka berfikir secara ketat dengan pengungkapan bahasa yang sesuai dengan fakta yang dialami manusia disebut sebagai berpikir logis (Stumpf, 1987:273). Komunikasi yang logis akan berpeluang menjadikan pemaknaan pesan yang efektif. Logika di dalam ekspresi komunikatif, namun demikian, lebih berkenaan dengan isi pesan komunikasi. Komunikasi itu sendiri, mencakup dimensi isi dan relasi sekaligus. Dimenasi relasi di dalam komunikasi lebih berhubungan dengan segi-segi etis dan estetis, bagaimana cara pesan dikemas dan disampaikan. Etika dalam konteks komunikasi dimaksudkan sebagai usaha manusia mempergunakan kapasitas kognitifnya untuk memperoleh pertimbangan tentang kepatutan situasional (Habermas,editedbyCooke,1998:429).

Memahami pengalaman kritik realitas sosial manusia haruslah mencakup dan menjangkau latar belakang alam kehidupan tersebut sambil pada saat bersamaan melalui refleksi transgresif masuk ke latar depannya. Pengalaman suatu kehidupan dan konteks pragmatik dari penjelasan tentangnya (yang dialami manusia:penulis) terbentuk atau kita peroleh melalui keterlibatan kita dengan sesuatu itu dan kejadian-kejadian (terkait:penulis); kehidupan kesetiakawanan dan makna dalam konteks historisnya kita peroleh melalui keterlibatan interaktif dengan orang-orang yang kita pergauli, Secara ontogenetik , dunia empirik yang kita berurusan dengan keadaan luarnya secara teknis-praktis hanya berjarak sangat tipis dari kehidupan di mana kita berurusan

dengan orang lain di dalam masyarakat secara moral. Akhirnya, pengalamanpengalaman dengan keadaan bathin kita, dengan badan kita, dengan kebutuhan kita, dan dengan perasaan kita, merupakan sesuatu yang tidak secara langsung (kita alami:penulis); Kesemua itu memantul pada pengalaman kehidupan eksternal kita. Manakala pengalaman-pengalaman batin kita kemudian memperoleh kebebasan semacam pengalaman estetik, maka karya seni otonom yang tercipta melibatkan peranan objek (benda-benda) yang telah membuka mata kita, yang mendorong atau menimbulkan cara baru melihat sesuatu, sikap baru terhadap sesuatu, dan moda perilaku baru terhadap sesuatu (Habermas, edited by Cooke, 1998:245-246). Habermas dengan paparannya tersebut hendak menyatakan bahwa pengalaman estetik bukanlah hasil dari bentuk-bentuk tindakan kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada kecakapan kognitif-instrumental dan gagasan-gagasan moral. Hal ini dikarenakan kita tumbuh dan berkembang di dalam proses pembelajaran kehidupan bathin, namun pada saat bersamaan kita terikat dengan fungsi-fungsi bahasa sebagai pembentuk dan penguak dunia kehidupan. Manakala pengalaman itu dapat diberualngkan untuk menghasilkan kesan menyenangkan, memuaskan, aman, nyaman, dan bahagia yang mampu menimbulkan efek terharu dan terpesona, maka ia telah menjadi sebuah pengalaman estetika (AAM Djelantik, 1999:2). Kesan mengharukan dan mempesona ini merupakan aspek pentig dari kemasan pesan di dalam sebuah transaksi komunikatif. Semakin mempesona kemasan pesan, semakin menarik lawan komunikasi kita. 1.1. Logika Konstruktif Logika di dalam konteks konstruksi realitas dalam bagian ini dimaksudkan untuk menunjuk segala langkah prosesual konstruksional yang melibatkan penalaran logis untuk tujuan tercapainya kesesuaian, ketepatan dan keakuratan pengkonstruksian realitas. Konstruksi realitas yang logis akan tercermin pada tidak adanya kesenjangan apalagi perbedaan antara konstruksi realitas dengan realitas yang diwakilinya (Sumarsono, 2004:9). Oleh karena penggunaan logika dimaksudkan untuk mencapai kepastian (exactness) dari setiap simpulan pemikiran dan penalarannya, maka konstruksi yang diawali dengan penalaran seperti ini akan dapat dikategorikan sebagai konstruksi yang logis. Permasalahannya kemudian adalah bahwa setiap moda berpikir mempunyai rumusan logikanya masing-masing. Sebagian filosof misalnya lebih menyukai cara-cara berpikir kontingensial, sebagian lainnya mungkin memilih mempergunakan model penalaran sentensial, elementer, dan bahakan silogistis. Kesemua moda penalaran di dalam pemikiran mereka itu pun dengan demikian akan memiliki model dan kerangka logikanya masing-masing. Hal ini sesuai dengan pandangan kritis tentang realitas bahwa,

manusia hanya mampu mengkonstruksi realitas dari sudut pandangnya masing-masing. Hal ini misalnya dikemukakan Lyotard bahwa mata manusia tidak sanggup menguasai dunia, dan pandangan mata manusia selalu bersifat parsial (Cavallaro, terjemahan Laily Rahmawati, 2001:76). 1.2. Logika kontingensial Makna yang logis dari suatu konstruksi realitas sosial harus secara internal menyatu di dalam realitas terkonstruksi itu sendiri. Integrasi logika ini diakui (kebenarannya:penulis) bukan saja pada interrelasi elemenelemen kultural yang tertentu saja yang kita temui di dalam bentuk proposisi verbal, seperti pernyataan tertulis, akan tetapi berlaku untuk elemen-elemen kultural nonverbal seperti halnya acara-acara dan musik, dan juga bahkan berlaku untuk relasi antar elemen kultural dari kelas-kelas yang berbeda-beda seperti sebuah organisasi keluarga spesifik, sebuah gaya budaya/kebudayaan, type kepribadian spesifik, dan aturan dan ketentuan hukum legal tertentu (Barnes, 1948:896-897). Pitirim Alexandrovitch Sorokin dengan pernyataan ini hendak menunjukkan bahwa, meski tidak seperti integrasi-kausal-fungsional di dalam mana seluruh bagian fungsional dari setiap elemen konstruksi realitas sosiokultural saling berpautan dan saling bergantung satu sama lain, tetapi logika dan makna yang logis sebagai elemen konstruksi suatu realitas sosiokultural harus melekat secara internal di dalam realitas yang secara konstruktif diwakilinya itu. Pernyataan ini megandung dan mengarah pada pengertian bahwa, logika yang kokoh adalah prasyarat kontingensial untuk tercapainya penciptaan makna yang tepat dan akurat. Logika yang kokoh tidak terpisahkan oleh kesenjangan antaranya dengan realitas yang ditunjuk untuk dimaknai dan dengan penanda pemaknaan realitas yang dimaksud. Saling ketergantungan adanya antara logika, kemasan logika (bahasa sebagai sistem tanda), dan realitas yang sesungguhnya ada menjadi bersifat kontingensial. Keberfungian elemen kontingensial yang satu mensyaratkan keberadaan dan kehadiran elemen kontingensial yang lain. Contoh paling sederhana, di dalam budaya Indonesia dikenal pernyataan tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Pernyataan ini menunjukkan bahwa realitas bernama asap itu hanya akan muncul jika kondisi kontingensial (yang dipersyaratkan) yaitu api terlebih dahulu ada. 1.3. Logika sentensial Logika sentensial membatasi dirinya untuk membahas kalimat-kalimat sederhana yang tertentu, yang tidak terurai secara keselurhan, menggabungkannya dengan kalimat penghubung yang menjadikannya kalimat-kalmat gabungan. Kalimat gabungan itu hanya dipergunakan sebagai alasan, yang validitas dan invaliditasnya sepenuhnya bergantung pada bentuk atau cara bagaimana kalimat-kalimat sederhana itu digabungkan.

Contoh logika sentensial paling sederhana adalah, jika kalmatnya adalah : Bapak pergi ke Jakarta atau ke Surabaya Bapak tidak pergi ke Jakarta Simpulan yang benar adalah : Bapak pergi ke Surabaya. Kalimat-kalimat penghubung pada penggabungan dua kalimat di dalam logika sentensial adalah: dan, atau, bukan, jika-maka, jika dan hanya jika(Edwards, editor, 1972:14). 1.4. Logika silogisme Silogisme kategoris merupakan sebuah penafsiran atas satu proposisi kategoris sebagai simpulan atas dua proposisi yang lainnya yang merupakan premis-premis. Pada masingmasing premis memiliki satu istilah yang juga ada pada proposisi kesimpulan dan ada pada proposisi premis lainnya. Contoh paling sederhana: Setiap binatang akan mati (Premis major) Semua manusia adalah binatang (Premis minor) Oleh karenanya, semua manusia akan mati (Simpulan) 2. Estetika Pengendalian aspek-aspek estetika komoditas, termasuk di dalamnya komoditas informasi berbasis media massa cetak, telah menjadi bagian inti dari kreatifitas seni populer, terutama seni komoditas yang merupakan bagian penting dari industri yang dikelola dan dikendalikan oleh para kapitalis. Missinya (pengendalian segi-segi estetika tersebut ) adalah untuk menjual (barangbarang) kebutuhan, missi jangka panjangnya adalah untuk mempertahankan sistem kelas. Wolfgang Fritz Haug, seorang Marxis Jerman telah mengembangkan sebuah konsep yang relevan dengan diskusi masalah ini. Haug mengemukakan bahwa mereka yang megendalikan industri di dalam masyarakat kapitalis, telah mempelajari untuk melarutkan seksualitas ke dalam (segala:penulis) komoditas dan kemudian (dengan cara itu) memperoleh (peluang) pegendalian yang lebih besar dan lebih besar lagi terhadap segi-segi kehidupan manusia yang merupakan kepentingan utama untuk mengatur kelas (sosial, mencakup agar ) orang-orang membeli barang-barang dan jasa (Berger, 1998:51). Peranan permainan pemanfaatan estetika bahkan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap propaganda politik. Konstruksi realitas politik Umat Islam misalnya, dibuat melalui film-film tentang Islam buatan bangsa dan orang-orang non-Muslim yang dengan sendirinya tidak mengetahui tentang Islam dari perspektif Islam. Ali Khameney mensinyalir hal ini dalam pernyataannya bahwa, Mereka (orang-orang yang memusuhi Islam) sekarang mampu memproduksi film-film

bernuansa anti Islam dan menyebarluaskannya lewat jaringan internasional. Akibatnya siapa saja menonton film berisikan propaganda anti-Islam itu, padahal dirinya tak mengetahui sedikit pun soal Islam, niscaya akan mengambil kesan dan gambaran negatif tentang Islam (Khameney, terjemahan Thalib Anis, 2005: 128). Estetisme yang merupakan cara berpikir filosofis Immanuel Kant untuk menghindarkan pemikiran dan tindakan politik dari orientasi material dan duniawi, telah bergeser dan digeser untuk tujuan-tujuan yang sebaliknya (Williams, terjemahan Muhammad Hardani, 2003:302) . Goldmann, meski memandang pemikiran Kant sebagai sebatas pandangan atas penampilan luar masyarakat manusia, menilai bahwa ada hal positif dari dalam pandangan estetisme Kant yang menganjurkan agar memperlakukan manusia sebagai tujuan dan bukan sebagai alat atau faktor produksi . Pandangan Kant dan dukungan dari Gldmann tersebut di muka menunjukkan bahwa konstruksi realitas sosial, termasuk realitas sosial politik, terlebih untuk konsumsi pasar media massa berupa informasi tekstual, hendaknya mempertimbangkan segi-segi estetika meski tidak berarti harus menjadikannya bagian dari estetisme. Segi-segi estetika bahasa -sebagai kemasan pesan tekstual- sekurang-kurangnya mencakup: estetika denotatif dan estetika konotatif (Yasraf Amir Piliang, 2003:223). Denotasi dan konotasi merupakan dua proses terpenting dari penggunaan bahasa verbal (tertulis dan lisan). Denotasi, penampakan, atau penunjukan merupakan tindakan penggunaan bahasa yang mencerminkan kebiasaan seluruh manusia di dalam upayanya menciptakan dan menemukan tanda-tanda yang menjadikannya mewakili sesuatu yang lain . Tanda di dalam kehidupan berbahasa dikemukakan dalam bentuk ikon, indeks, dan sibol-simbol. Proses menciptakan dan menafsirkan simbol-simbol yang lazim disebut dengan signifikasi, merupakan hal yang jauh lebih luas dari pada sekedar bahasa. Sarjana seperti Ferdinand de Saussure menekankan bahwa, kajian makna linguistik hanya merupakan bagian dari kajian yang lebih umum terhadap penggunaan sistem simbol ini, dan kajian umum ini disebut dengan semiotika. Para ahli semiotika meneliti jenis-jenis/ bentukbentuk relasi antara tanda dan objek yang diwakilinya; yang dalam istilah Saussure antara signifier (penanda) dengan signified (yang ditandai) (Saeed, 1997:5). Penanda bahasa bersifat struktural dan mengacu pada sifat-sifat keinderaan dalam bentuk-bentuk denotasi dan penampakan objek. Aspek konotatif dari bentuk denotatif tersebut berupa konsep objek bersifat kultural fungsional dan melekat di dalamnya sebagai suatu yang mengacu pada gagasan, citraan, pengalaman, dan nilai-nilai objek itu (Yasraf Amir Pliang, 2003:223) . Di dalam pandangan strukturalis, kata dianggap memperoleh signifikansinya dari sebuah kombinasi antara denotasinya (rujukannya) dan pengertian (di dalamnya). Contoh paling sederhana adalah ketika seseorang

berkata:Saya melihat ibu saya beberapa saat lalu, maka pendengar akan memperoleh pengertian bahwa si pembicara melihat seorang perempuan. Ibu dalam kalimat si pembicara merupakan salah satu jenis denotasi yang objektif. Adapun konotasi yang dibangun dengan kata ibu saya adalah seorang perempuan yang melahirkan si pembicara dari kandungannya (Saeed, 1997:292). Penanda denotatif tersebut akan memiliki konotasi yang berbeda jika diucapkan dalam konteks yang berbeda, misalnya kata ibu tidak lagi digabung dengan kata saya tetapi digabung dengan kata pertiwi, atau kata guru. Makna konotatif yang dituju oleh dua kalimat terakhir adalah tanah tumpah darah (homeland) dan seorang perempuan yang bekerja sebagai pengajar si pembicara di sebuah lembaga pendidikan atau sekolah. Persoalan penting yang mengemuka dari dalam suatu proses denotasi adalah bahwa denotasi merupakan proses penggunaan bahasa sebagai pengkemas makna. Keefektifan maksud dan tujuan pengkemasan sangat bergantung padaseberapa efektif kita menampilkan segi-segi estetik ke dalam kemasan itu. Yasraf misalnya mengemukakan bahwa, Dalam upaya pemuatan makna tertentu pada objek seni, setidak-tidaknya ada tiga aspek yang harus diperhatikan, yaitu 1) kode, yaitu cara tertentu memilih, menyusun, dan mengkombinasikan tanda-tanda (apakah menurut relasi penanda/petanda, penanda/penanda, atau penanda par-excellence), 2) makna yang diharapkan (bisa konvensional, kontradiktif, atau ironis), dan 3) ekspresi atau idiom, yakni cara elemenelemen bentuk dan tanda dikombinasikan sehingga menghasilkan totalitas bentuk, baik yang berupa elemen linguistik maupun non linguistik (Yasraf Amir Piliang, 2003:224). Yasraf menggambarkan proses pemuatan estetika ke dalam kode dan makna bahasa secara skematik sebagai berikut: Model proses estetik-semiotik Yasraf tersebut di atas dapat dijadikan sebagai peta abrogasi dan apropriasi dalam konteks dekolonisasi konstruktif. Abrograsi dan apropriasi merujuk pada pengertian: penolakan terhadap kategori-kategori kebudayaan imperial, estetiknya, standard normatifnya yang dibuat-buat atau standard penggunaan kebenarannya dan asumsinya tentang makna tradisional dan fixed yang terdapat dalam kata. Apropriasi merupakan proses penyerapan dan pembentukan ulang bahasa agar dapat menanggung beban pengalaman kultural seseorang (Ashcroft, Griffiths, &Tiffin, terjemahan Fati Soewandi dan Agus Mokamat, 2003:42) Peta yang sama, dengan demikian juga dapat dipergunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan sebaliknya untuk mengkonstruksi realitas dengan motif-motif denaturalistik-kolonialistik. Kesadaran estetik di dalam mempergunakan bahasa untuk keperluan mengkonstruksi realitas menjadi sangat penting dan menentukan bentuk relasi

sosiotekstual yang menggambarkan siapa mendustai siapa, siapa menguasai siapa, atau siapa dijajah oleh siapa. Konsep kolonisasi versus dekolonisasi dalam pada ini memperoleh relevansinya dalam konteks perang teks antara masyarakat teks modernis dengan masyarakat teks lainnya yang menganggap bahwa modernisme terlahir dengan cacat dan ekses bawaannya yang telah mengakibatkan sakit sosiokultural dunia yang hiperakut (hyperacute) . Yudhi Haryono dengan mengutip pandangan Nasir Hamid Abu Zaid melukiskan bahwa masyarakat teks , Lahir, hidup, berjuang, dan mati untuk teks. Masyarakat teks ini mendesain dirinya dalam dua tipe. Pertama, sebagai paradigma pemikiran dan penghayatan. Kedua, sebagai metode analisa-kritik-solusi kehidupan. Keduanya adalah epistem yang dihadirkan sebagai langkah-langkah terorganisir demi penyelamatan dari modernitas (M. Yudhie Haryono, 1005:27). Intertekstualitas dalam arti sebenarnya maupun dalam arti yang lebih spesifik dalam hal ini memperoleh pembenaran teoretiknya. Pembenaran yang sama juga diperoleh untuk Teori Habitus and Field Pierre Bourdieu, dan konsepsi Agency-Structure dari dalam Teori Strukturasi Anthony Giddens. 3. Etika Manusia merupakan makhluk yang bersifat impulsif, refleksif, pengguna simbol, dan menyalurkan rasa puas dan rasa kecewanya melalui agen. Manusia dalam penyaluran perasaannya itu cenderung menyesuaikan dan mengakomodasikan dirinya dengan polapola kehidupan, nilai, dan kebiasaan manusia lain di dalam masyarakat (Solatun, 2004:50). Penyesuaian terhadap kebiasaan orang lain dalam konteks politik, acapkali dikonotasikan sebagai diwarnai dengan pertarungan antar kekuatan kepentingan dan praktik menghalalkan segala cara. Praksis di bidang politik yang demikian itu, namun demikian masih menyisakan adanya kerinduan akan keteraturan dan kedamaian hidup sehingga manusia tersadar akan pentingnyan legitimasi dan persetujuan masyarakat atas tindakan sosial yang melambangkan pembenaran normatif -secara moral, agama, dan kebiasaan(Haryatmoko, 2003:1). Proposal Rene Descartes tentang ilmu tingkah laku, prinsipprinsip etika John Locke, dan juga penegasan David Hume menunjuk pada bahwa: Ada kepatutan dan ketidakpatutan eternal sesuatu, yang disadarai (dirasakan dan dipikirkan) oleh setiap makhluk rasional, bahwa ukuran (tuntunan:penulis) yang kekal abadi tentang benar dan salah menjadi kewajiban bagi semua ummat manusia, bahwa moralitas, seperti halnya kebenaran, tampak jelas oleh ide-ide (pikiran manusia: penulis), dan dengan pemaparan dan pembandingan oleh ide-ide itu. Pikiran menilai salah satu persoalan apakah fakta atau relasi. Perhatikanlah, misalnya,

sebuah penilaian moral yang mengutuk perilaku tidak tahu berterima kasih sebagai sebuah kejahatan. Mana faktanya yang kita sebut sebagai kejahatan di dalam hal ini? Faktanya adalah bahwa kebaikan yang dilakukan di satu pihak dan dibalas dengan keburukan di pihak lain (Jones, 1969:337) . Descartes, Locke, dan Hume dengan pernyataannya tersebut di atas hendak mengemukakan bahwa etika atau budi pekerti yang baik yang berkenaan dengan pentingnya mempertimbangkan kepatutan di dalam setiap tingkah laku, adalah bahkan wajib di dalam hal-hal yang sangat abstrak. Pengkonstruksian realitas sosial melalui dan menggunakan bahasa merupakan praksis sosiokultural yang bukan saja tidak abstrak tetapi sangat nyata. Etika dengan demikian menjadi melekat pada setiap praksis pengkonstruksian realitas baik melalui atau tanpa media massa. Permasalahannya adalah bahwa setiap sudut pandang yang dipergunakan orang terhadap segala sesuatu memiliki sudut pandang etikanya sendiri-sendiri. Etika pengkonstruksian oleh karenanya sekurang-kurangnya mencakup etika dari sudut pandang alamiah, universal, sosiokultural, dan ilmiah atau kritis. 3.1. Etika Alamiah Menunjukkan fakta tentang sesuatu dan mengevaluasinya telah dikenal secara luas sebagai dua hal berbeda yang saling berhadapan. Telah terbukti bahwa agar seseorang dapat melakukan sutau pekerjaan yang berikutnya (katakanlah tahap kedua:penulis) dengan baik, maka seseorang itu harus terlebih dahulu mengerjakan pekerjaan yang mendahuluinya (katakanlah pekerjaan tahap pertama: penulis). Jika seseorang melakukan evaluasi tidak berdasarkan pengetahuan yang kokoh tentang fakta-fakta yang ada, maka ia akan melakukannya dengan tidak benar atau salah. Seseorang harus megetahui seluruh fakta yang relevan sebelum ia melakukan penilaian moral (yang berkenaan dengan fakta-fakta itu: penulis). Dari sini tampak jelas bahwa membangun serta menunjukkan fakta-fakta dan membuat penilaian moral terhadap faktafakta itu merupakan dua pekerjaan yang berbeda sama sekali (Edwards, 1972:69). Para filosof utilitarian seperti Jeremy Bentham, John Stuart Mill, Herbert Spencer dan bahkan juga John Dewey dalam hal ini memandang bahwa suatu tindakan itu dapat dinilai etis atau tidak etis berdasarkan seberapa besar tindakan itu mendatangkan suatu kemanfaatan alamiah seperti kesenangan, kepuasan, dan kebaikan masyarakat. Media massa Amerika Serikat misalnya, memandang bahwa salah asuh terhadap anak sebagai akibat dari anak-anak dibesarkan di dalam keluarga yang kedua atau salah satu orangtuanya pecandu alkohol adalah tidak etis. Terence Oliver namun demikian, memandang bahwa tidak perlu (baca:tidak etis) jika kemudian wartawan menghabiskan berbulan-bulan untuk mempublikasikannya, karena yang menjadi persoalan prioritas adalah seberapa besar kekuatan kita untuk mengentaskannya. Beda pendapat antara para

wartawan dengan Oliver semata-mata merupakan implikasi dari cara pandang etika naturalistik masing-masing . Paparan di dalam journal tersebut mengingatkan kita tentang perdebatan etika berkenaan dengan peliputan kasus kecelakaan Diana Spencer (Putri Inggeris) oleh wartawan foto yang mengejar dan merekam kejadian itu. Perdebatan terfokus pada isu menolong orang yang kecelakaan dahulu atau merekamnya untuk keperluan tugas jurnalistiknya? 3.2. Etika Objektif Pengertian kata atau istilah objektif, sebagaimana istilah subjektif itu samar dan jauh dari kejelasan. Istilah etika objektif, namun demikian kita gunakan dengan maksud untuk menunjuk setiap kalimat etika yang dikemukakan secara bebas tidak dimuati suatu kepentingan apapun dari orang yang mengemukakannya (Edwards, 1972:70). Objektifisme-subjektifisme. Kedua istilah tersebut telah diperguanakan secara samarsamar, membingunkan, dan dalam pengertian yang jauh berbeda dari apa yang kita pikirkan. Kita mengemukakan penggunaan yang pas, dikarenakan menurut suatu teori yang disebut subjektifis jika dan hanya jika, beberapa pernyataan etik menyatakan atau menunjukkan bahwa seseorang dalam suatu kondisi tertentu hendak bersikap khusus yang tertentu terhadap sesuatu itu. Sebuah teori dapat dikatakan sebagai objektifis jika tidak mengikutsertakan hal ini (Brandt, 1959:153). Rentang antara subjektifisme dan ojektifisme, misalnya dapat kita lihat melalui contoh berikut ini: Katakanlah kita secara sukarela menolong mengantar nenek kita dengan mengendarai mobil ke rumah yang berada di pojok lain kota yang sama dengan tempat kita tinggal. Di tengah jalan kita mengendarai mobil dengan sangat baik, namun tiba-tiba seorang yang mengendarai mobil lain dalam keadaan mabuk menabrak mobil yang kita kendarai. Hasilnya, nenek kita terjepit dan kakinya patah serta harus dioperasi di rumah sakit. Patutkah jika kita mengatakan bahwa itu semua karena salah kita, atau orang lain mengatakan demikian?(Hospers, 1982:142). Siapapun yang menyatakan bahwa kita yang bersalah berarti menyatakan sesuatu secara subjektif; sebaliknya pernyataan yang paling patut tetapi objektif adalah jika berbunyi: kecelakaan itu terjadi sebagai akibat dari pengemudi mabuk yang menabrak mobil kita. Sekiranya kita hendak menunjukkan rasa dan kebesaran jiwa kita sehingga kita menyatakan bahwa itu semua salah kita, maka kita telah menunjukkan sikap yang patut menurut budaya kita (Indonesia) tetapi bersifat subjektif. 3.3. Etika Universal Dua gejala umum kita kenali di dalam masyarakat yaitu pertama, bentuk-bentuk pranata sosiokultural tertentu terdapat di dalam setiap masyarakat manusia seperti : keluarga

berkewajiban mendidik dan membesarkan anak-anak mereka. Kedua, adanya kesamaan prinsip-prinsip dasar dari sistem nilai kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda ( Brandt, 1959:286). Profesor Kluckhohn, misalnya mengemukakan bahwa: Setiap budaya memiliki konsep tentang pembunuhan, membedakannya dari hukuman mati, pembunuhan di dalam peperangan, dan berbeda dari jenis pembunuhan lainnya. Pandangan tentang perzinaan dan pengaturan hubungan seksual lainnya, dan larangan dusta di dalam situasi yang tertentu, tentang gantirugi dan imbal balik, dan hak dan kewajiban antara anak dan orangtua, kesemua konsep-konsep moral tersebut bersifat universal . Brandt dengan pernyataan dan kutipannya Dari Kluckhohn tersebut hendak mengemukakan bahwa konsep-konsep moral yang bersifat universal itu menunjukkan adanya etika yang juga bersifat universal. Hal ini dimungkinkan oleh karena manusia merupakan homo ethicus dalam arti makhluk yang cenderung bertatakrama (Solatun, 2004:52). Richard B. Brandt secara lebih rinci memaparkan tentang gejala universal tersebut bahwa, 1. Semua manusia, setidaknya ketika mereka tidak dihadapkan pada tekanan-tekanan yang tidak biasa (luaar biasa), adalah dalam kesepakatan mengenai prinsip-prinsip dasar etika. Pengertiannya adalah bahwa, peesoalan-peersoalan etika dapat diatur secara rasional ; dalam hal ini ketidak sepakatan mengenai etika tidak bersumber dari ketidak sepakatan mengenai prinsip-prisip dasar etika itu sendiri, kita harus beranjak dari kesalahpahaman tentang fakta-fakta non-etika. Dengan demikian, jika kita dapat sampai pada kesepakatan mengenai fakta-faktanon etika melalui pemabahasan dengan metoda ilmiah, maka kita aka memeproleh kesepakatan bulat tentang etika. 2. Premis antropologis yang mengemukakan bahwa ada banyak variasi (ragam-macam) keyakinan tentang tingkah laku yang benar dan salah, dalam masyarkat yang berbeda, telah difahamkan bahwa tingkah laku benar atau salah tidak akan menjadi pengetahuan intuitif. 3. Banyak anggapan sebagai premis yang dirumuskan dari antropologi bahwa, lebih banyak perbedaan pendapat mengenai etika jika dibandingkan dengan perbedaan pendapat mengenai fakta-fakta non-etika. Berdasarkan pandangan ini, dikemukakan sebgai dasar pikiran bahwa pandangan-pandangan mengenai etika pada hakikatnya lebih menyangkut persoalan-persoalan tingkah laku emosional.. 4. Orang-orang, paling tidak ketika mereka dalam keadaan serius, mengemukakan pertanyaan-pertanyaan mengenai etika dengan suatu cara yang umum (seragam) dan menyampaikan hanya satu macam alasan (atau pandang baku) di dalam mempertahankan pranata atau standard etika. Mereka kemudian menganggap bahwa cara mengemukkan pertanyaan pertanyaan mengenai etika ini adalah satu-satunya yang dapat diterima dan

benar, atau sesekali dikemukakan bahwa dengan demikian, istilah-istilah etika harus dipandang sebagai suatu yang dapat didefinisikan secara tepat dengan suatu cara, dengan mana jenis standard mengenai alasan yang disampaikan benar-benar merupakan suatu alasan yang konklusif bagi pernyataan mengenai etika yang dikemukakan. 5. Terkadang diyakini bahwa ilmu sosial dapat memberitahu kita bahwasanya kegunaan sisitem moral, nurani dan pembahasan mengenai etika semata-mata sebagai sebuah cara informal kontrol sosial atau untuk menyediakan aturan guna menengahi konflik-konflik kepentingan. Dengan demikian diperoleh tafsiran bahwa norma etika itu benar jika dan hanya jika kesemuannya itu sesuai atau cocok untuk keperluan mencapai tujuan trsebut (Brandt, 1959:86-87). Terciptanya perdamaian, kesenangan, kenyamanan, dan kebahagiaan merupakan tujuan manusia yang bersifat universal. Oleh karenanya pada setiap komunitas manusia juga dengan sendirinya terdapat standard tentang baik-buruk, patut tidak patut yang berlaku universal yang dapat menjadi kerangka standard etika universal. 3.4. Etika Sosiokultural Setiap komunikasi insani, hampir dapat dipastikan merupakan komunikasi antar budaya. Hal ini dikarenakan setiap ada dua orang manusia atau lebih selalu memiliki perbedaan budayanya masing-masing meski hanya dalam derajat yang sangat kecil (Deddy Mulayan & Jalaluddin Rakhmatc editor-,1996:vi). Pendekatan nilai dalam komunikasi beranggapan bahwa pola-pola komunikasi akan berbeda antara satu penganut nilai budaya dengan lainnya, sebagaimana anggota masingmasing entitas budaya juga berorientasi nilai-nilai dasar kultural yang berbeda . Konstruksi realitas sosial tertentu dan makna yang direpresentasikan dengannya akan sangat bergantung pada konteks kultural, tata makna kultural, dan sistem nilai kultural dasar dari entitas budaya mana pengkonstruksi berasal (Gudykunst, 1983:54). Muatan etika yang melekat di dalam konstruksi tersebut oleh karenanya juga akan sangat bergantung pada sistem budaya pengkonstruksinya. Standard kepatutan di dalam setiap transaksi komunikatif, oleh karenanya akan berragam menurut ragam budaya yang melatarbelakangi komunikator yang terlibat, termasuk pengkonstruksi realitas sosial politik melalui wacana tertulis di dalam opini media massa cetak. 3.5. Etika Ilmiah atau Etika Kritis Kritikisme etik dan etika kritkisme merupakan subjek perhatian yang sangat penting di dalam kajian kritis terhadap setiap fenomena komunikatif. Kritikisme etika dalam konteks ini ditujukan pada segi-segi moral dari segala sesuatu yang terjadi dan terdapat di dalam teks dan dampak yang mungkin timbul dari teks itu. (Dalam hal ini:penulis) telah terjadi perdebatan seru tentang bagaimana etika

memproduksi teks dan peranan yang hendaknya dimainkan oleh etika di dalam kehidupan dunia seni dan media (Berger, 1998:195). Standard validitas (keabsahan) etika dari suatu pernyataan kritis tentang produksi teks dan dampak yang ditimbulkan daripadanya didasarkan pada prinsip-prinsip metodologi keilmuan. Rumusan metodologis hasil dari proses ini oleh karenanya juga disebut sebagai rumusan etika kritis atau etika ilmiah yang termasuk ke dalam wilayah pembahasan metaetika atau metaethics (Solatun, 2004:62) . Pengujian (dapat dibaca:penilaian) dengan mempergunakan kerangka metodologis ini lebih ditujukan pada kerangka penilaiannya dan bukan pada objek yang dinilainya. Langkah seperti ini menjadi penting sehubungan dengan kita memerlukan penjelasan tentang derajat kepatutan kerangka pemikiran dibalik produksi pernyataan tekstual. Dua segi yang paling penting untuk diuji dengan menggunakan kerangka metodologis seperti ini adalah konsistensi dan generalitas dari struktur (kerangka) pikir yang melatarbelakangi diproduksinya suatu pernyataan tekstual dan juga yang non-tekstual(Solatun, 2004:63) .

dan Estetika KODE KEHORMATAN PRAJA 1. KETAQWAAN KEPADA TUHAN YANG MAHA ESA; 2. KOMITMEN WAWASAN KENEGARAWANAN, SETIA KEPADA PANCASILA, UNDANG UNDANG DASAR NEGERA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945, NEGARA DAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA; 3. KESIAPAN MENGABDI DAN RELA BERKORBAN, BEKERJA KERAS UNTUK KEPENTINGAN RAKYAT BANGSA DAN NEGARA; 4. KESIAPAN MELAKSANAKAN PENGABDIAN BERDASARKAN KAIDAH KEILMUAN, ETIKA DAN ESTETIKA SERTA PENGEMBANGAN KEILMUAN YANG DAPAT DIAMALKAN;

5. KEJUJURAN, KEARIFAN, KEADILAN, KETERBUKAAN TAAT ASAS, PROFESSIONAL DAN PERTANGGUNG JAWABAN PRAJA, SERTA BERORIENTASI PADA PELAYANAN KEPADA MASYARAKAT SESUAI DENGAN STRUKTUR, KULTUR, DAN PROSEDUR DALAM BOUNDRY SYSTEM. ( Pasal 3 ayat (2) Permendagri No. 46 tahun 2009 tentang Peraturan Tata Kehidupan Praja )

Upacara bendera setiap hari Senin merupakan kegiatan rutin dan wajib untuk dilakukan oleh segenap sivitas akademika Institut Pemerintahan Dalam Negeri ( IPDN ), baik yang berada di Kampus Pusat maupun Kampus Daerah. Apabila pada biasanya, menurut protap ( prosedur tetap ) Upacara Bendera yang lama, yang berlaku di IPDN, pada saat pengucapan hanya diucapkan Pembukaan UUD 1945, Pancasila dan Panca Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia ( KORPRI ). Maka terhitung dari awal bulan November ( mulai diterapkan di IPDN Kampus Kalimantan Barat ), ada sedikit perubahan atau lebih tepatnya ada penambahan pengucapan yang harus dilakukan pada saat Upacara Bendera. Penambahan itu yaitu dengan adanya pengucapan Kode Kehormatan Praja.

Kode kehormatan praja yang kini diucapkan setiap hari Senin pada Upacara Bendera merupakan tata nilai yang tersusun sebagai akumulasi semangat kepamongprajaan (Pasal 3 ayat (1) Permendagri No. 46 tahun 2009 tentang Peraturan Tata Kehidupan Praja ). Secara pribadi saya tidak mengetahui alasan dengan ditambahkannya pengucapan Kode Kehormatan Praja. Tapi secara singkat dan sedikit berseloroh, saya melihat dengan adanya pengucapan Kode Kehormatan Praja ini merupakan sebuah bentuk penyesuaian terhadap realita yang ada sekaligus perubahan yang terjadi di Institusi Pendidikan Kepamongprajaan ini. Karena dimulai dari angkatan XIX, peserta didik ( praja ) IPDN tidak lagi menyandang status sebagai Pegawai negeri Sipil ( PNS ) atau CPNS yang secara otomatis langsung terikat dengan Panca Prasetya Korpri, tapi kini, praja baru akan diangkat menjadi pegawai atau calon pegawai pada saat memasuki semester V atau VI ( tingkat Nindya Praja ) sehingga secara logika sederhana praja dewasa ini belum wajib untuk mengucapkan Panca Prasetya Korpri karena baik secara lahir maupun bathin belum terikat oleh tata nilai atau janji seorang PNS yang masuk ke dalam Korps Pegawai Republik Indonesia.

Jadi, secara kasarnya, praja tidak mempunyai kewajiban untuk melaksanakan segala ketentuan yang ada terdapat dalam Panca Prasetya Korpri. Oleh Karena itu, mungkin, sekali saya katakan mungkin, lembaga akhirnya memutuskan untuk memasukan pengucapan Kode Kehormatan Praja di setiap Upcara Bendera yang diselenggarakan pada hari Senin. Sehingga praja bisa lebih akrab dengan aturan, serta norma yang memang mengikat mereka secara nyata baik lahir maupun batin. Tapi, sungguh, itu bukan merupakan substansi utama yang akan saya bahas dalam tulisan ini.

Saya justru menjadi sangat tertarik dengan kata-kata etika dan estetika yang terdapat dalam kalimat KESIAPAN MELAKSANAKAN PENGABDIAN BERDASARKAN KAIDAH KEILMUAN, ETIKA DAN ESTETIKA SERTA PENGEMBANGAN KEILMUAN YANG DAPAT DIAMALKAN, butir ketiga kode kehormatan praja. Apa itu Etika? Apa itu estetika? Kenapa menjadi begitu menarik untuk dibahas? Mari kita coba kenali dan pahami satu per satu.

Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah sebuah sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. St. John of Damascus (abad ke-7 Masehi) menempatkan etika di dalam kajian filsafat praktis (practical philosophy).

Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.

Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia. Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika) ( http://id.wikipedia.org/wiki/Etika )

Sedangkan Estetika adalah salah satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa.

Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni. Estetika berasal dari bahasa Yunani,aisthetike. Kali pertama digunakan oleh filsuf Alexander Gottlieb Baumgarten pada 1735 untuk pengertian ilmu tentang hal yang bisa dirasakan lewat perasaan. Meskipun awalnya sesuatu yang indah dinilai dari aspek teknis dalam membentuk suatu karya, namun perubahan pola pikir dalam masyarakat akan turut memengaruhi penilaian terhadap keindahan. Misalnya pada masa romantisme di Perancis, keindahan berarti kemampuan menyajikan sebuah keagungan. Pada masa realisme, keindahan berarti kemampuan menyajikan sesuatu dalam keadaan apa adanya. Pada masa maraknya de Stijl di Belanda, keindahan berarti kemampuan mengkomposisikan warna dan ruang dan kemampuan mengabstraksi benda.

Perkembangan lebih lanjut menyadarkan bahwa keindahan tidak selalu memiliki rumusan tertentu. Ia berkembang sesuai penerimaan masyarakat terhadap ide yang dimunculkan oleh pembuat karya. Karena itulah selalu dikenal dua hal dalam penilaian keindahan, yaitu the beauty, suatu karya yang memang diakui banyak pihak memenuhi standar keindahan dan the ugly, suatu karya yang sama sekali tidak memenuhi standar keindahan dan oleh masyarakat

banyak biasanya dinilai buruk, namun jika dipandang dari banyak hal ternyata memperlihatkan keindahan.

Keindahan seharusnya sudah dinilai begitu karya seni pertama kali dibuat. Namun rumusan keindahan pertama kali yang terdokumentasi adalah oleh filsuf Plato yang menentukan keindahan dari proporsi, keharmonisan, dan kesatuan. Sementara Aristoteles menilai keindahan datang dari aturan-aturan, kesimetrisan, dan keberadaan. keindahan seharusnya memenuhi banyak aspek. aspek jasmani dan aspak rohani. ( http://id.wikipedia.org/wiki/Estetika )

Secara sederhananya, Etika berkaitan dengan baik dan buruk atau berkenaan dengan sebaiknya, seharusnya dan sepatutnya sedangkan estetika adalah tentang indah dan jelek. Kedua hal ini sangat erat dengan rasa atau perasaan masing-masing individu sehingga sangat bersifat nisbi. Tapi walau, ukuran etika dan estetika itu nisbi atau hampir tidak mempunyai standar yang pasti/tetap atau bahkan universal tapi sungguh etika dan estetika merupakan hal yang tak bisa serta merta kita sepelekan apalagi acuhkan begitu saja. Terlebih apabila kemudian kita hubungkan permasalahan etika dan estetika ini dengan upaya dan usaha kita dalam bersikap benar atau menegakan kebenaran.

Kebenaran adalah sesuatu yang lahir dari kalkulasi rasio dan dijernihkan oleh nurani. Plus kerendahan hati untuk tidak membenar-benarkan diri di hadapan sesama. Kalau sudah demikian, kita layak meyakini sebuah kebenaran meski tetap harus disisakan sedikit ruang akan relativitasnya. (http://filsafat.kompasiana.com/2011/03/28/kebenaran-adalah/ ).

Kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan dan obyek. Kebenaran adalah lawan dari kekeliruan yang merupakan obyek dan pengetahuan tidak sesuai. Contohnya adalah roda sebuah mobil berbentuk segitiga. Kenyataannya bentuk roda adalah bundar, karena pengetahuan tidak sesuai dengan obyek maka dianggap keliru. Namun saat dinyatakan bentuk roda adalah bundar dan terjadi kesesuaian, maka pernyataan dianggap benar. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kebenaran )

Menentukan suatu hal benar atau salah relatif lebih mudah dibandingkan dengan menentukan apakah sesuatu hal itu beretika atau tidak, berestetika atau tidak. Mudah di sini karena kebenaran itu tidak bersifat relatif atau nisbi, tapi mutlak karena kebenaran itu tidak berdasarkan rasa, selera tapi berdasarkan hukum yang berlaku kini dan disini.

Ketika kita akan menentukan orang itu benar, atau sesuatu hal itu salah, maka kita hanya perlu mengembalikan itu semua pada hukum yang ada, tidak lebih dan tidak kurang. Tapi disini-lah letak ketidaksederhanaan hidup di dunia ini, hidup pada kenyataannya tidak semudah dengan hanya menentukan salah atau benar sesuai dengan hukum yang ada. Manusia tidak sekaku itu, manusia tidak sesederhana itu, Manusia terlalu kompleks untuk bisa menerima sekedar hanya benar dan salah, terlalu banyak faktor yang ada di dunia ini sehingga segala perkara kemudian tidak bisa berhenti atau disikapi dengan hanya benar atau salah. Bila hanya begitu, lantas untuk apa manusia memilki hati, nurani dan hati? Apakah hanya rasio otak dengan logika rasionalnya saja yang menjalankan tubuh manusia? Tentu tidak, bukan?

Sehingga kemudian selain juga harus brtindak benar sesuai dengan hukum yang ada, kita pun harus juga memperhatikan etika dan estetika yang berlaku. Sialnya bagi kita, etika dan estetika itu tidak selalu tertulis, tapi hanya merupakan sebuah tradisi, ada hanya lisan dan berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya tapi sungguh memberikan sebuah dampak yang luas juga besar ketika kita tidak mampu untuk menujukan etika dan estetika dalam bertindak.

Ketika misalnya kita akan melaksanakan sholat ( Muslim ), aturan yang ada dan berlaku hanya menyebutkan bahwa sholat itu harus menutup aurat dan aurat untuk kaum lelaki itu adalah dari pusar sampai ke lutut maka ketika kaum lelaki sholat mengenakan sarung dan pakaian oblong, secara aturan itu benar. Tapi apakah layak? Apakah indah?

Atau ketika kita bekerja dalam sebuah perusahaan atau instansi pemerintahan. Posisi kita adalah sebagai seorang staf atau bawahan. Sesuai dengan aturan, jam masuk kerja itu pukul 07.30, dan setiap harinya kita masuk kerja, masuk ke kantor tepat pukul 07.30 akan tetapi pada saat yang bersamaan ternyata atasan kita selalu tiba di kantor pada pukul 07.20. Sekali

lagi, secara aturan sungguh kita tidak melanggar tapi kemudian apakah pantas seorang bawahan datang lebih lambat dariapada atasannya sendiri? Apakah elok terlihat atasan telah lebih dulu duduk manis di tempat kerja ketika justru stafnya belum terlihat satupun?

Dua contoh tadi saya sungguh tidak mengada-ngada, tapi merupakan dua contoh kecil tapi seringkali kita temui di lapangan. Sekali lagi, apa yang saya sebutkan di atas hanya merupakan contoh kecil nan sederhana belum mengena pada contoh nyata yang kompleks. Pada intinya, saya hanya mencoba untuk membuktikan bahwa kebenaran, etika dan estetika itu tidak bisa untuk kemudian berdiri sendiri. Tapi juga tidak serta merta kebenaran, etika dan estetika itu saling berkaitan. Pada akhirnya kita harus tetap mengutamakan kebenaran daripada etika dan estetika. Karena tidak sedikit kebenaran yang berbenturan dengan etika dan estetika tapi ketika hal itu terjadi, kebenaran harus tetap kita tegakan. Seperti misalnya, ketika kita mencuri untuk kemudian kita bagikan kepada fakir miskin, itu sungguh sangat mulia juga indah, tapi mencuri tetap merupakan suatu hal yang salah.

Memiliki sikap yang paripurna, yaitu mampu untuk menselaraskan antara kebenaran, etika dan estetika sesuai dengan tempat dan waktu yang ada, maka sungguh kita akan menjadi manusia yang bertindak dan bersikap secara menyeluruh dan bahkan kita akan memiliki suatu kebijaksanaan karenanya. Siapa yang tidak mau?

Sulit? Ya! Tidak mungkin? Nope! Ketika kita akan bertindak benar maka kita hanya perlu untuk melihat dan menjabarkan aturan atau hukum yang ada dan berlaku, lalu selanjutnya untuk mampu bertindak sesuai dengan etika dan estetika yang ada, kita harus terus memupuk sikap empati dan simpati. Kita harus memiliki kepekaan hati juga rasa yang tinggi, selalu mencoba untuk berpikir dan memposisikan diri di posisi orang lain, melihat kepada mereka yang tidak seberuntung kita, banyak bersosialisasi dan bertukar cerita dengan semua orang dari semua golongan, ya kita harus menumbuhkan sikap sosial terhadap sesama untuk akhirnya kita akan mampu memiliki

kepekaan hati yang tinggi yang akan menjadi bekal bagi kita dalam berempati dan bersimpati. Setelah itu maka sikap beretika dan berestetika hanya akan tinggal menungguh waktu.

Terus berusaha mengukir segala sikap postif tanpa pernah mengotorinya dengan sikap pamrih yang picik, yakini bahwa pada akhirnya orang yang baik, mereka yang benar, beretika dan berestetika, akan selalu menang, akan selalu dinaungi keberuntungan. Lets be a good guy a

MASJID
MASJID

Kata masjid terulang sebanyak dua puluh delapan kali di dalam Al-Quran. Dari segi bahasa, kata tersebut terambil dari akar kata sajada-sujud, yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat dan takzim.

Meletakkan dahi, kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi, yang kemudian dinamai sujud oleh syariat, adalah bentuk lahiriah yang paling nyata dari makna-makna di atas. itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan untuk melaksanakan shalat dinamakan masjid, yang artinya "tempat bersujud."

Dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan tempat shalat kaum Muslim. Tetapi, karena akar katanya mengandung makna tunduk dan patuh, hakikat masjid adalah tempat melakukan segala aktivitas yang mengandung kepatuhan kepada Allah semata. Karena itu Al-Quran sural Al-Jin (72): 18, misalnya, menegaskan bahwa,

Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, karena janganlah menyembah selain Allah sesuatu pun.

Rasul Saw. bersabda,

Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid dan sarana penyucian diri (HR Bukhari dan Muslim melalui Jabir bin Abdullah).

Jika dikaitkan dengan bumi ini, masjid bukan hanya sekadar tempat sujud dan sarana penyucian. Di sini kata masjid juga tidak lagi hanya berarti bangunan tempat shalat, atau bahkan bertayamum sebagai cara bersuci pengganti wudu tetapi kata masjid di sini berarti juga tempat melaksanakan segala aktivitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah Swt.

Dengan demikian, masjid menjadi pangkal tempat Muslim bertolak, sekaligus pelabuhan tempatnya bersauh.

SUJUD DAN FUNGSI MASJID

Al-Quran menggunakan kata sujud untuk berbagai arti. Sekali diartikan sebagai penghormatan dan pengakuan akan kelebihan pihak lain, seperti sujudnya malaikat kepada Adam pada Al-Quran surat Al-Baqarah (2): 34.

Di waktu lain sujud berarti kesadaran terhadap kekhilafan serta pengakuan kebenaran yang disampaikan pihak lain, itulah arti sujud di dalam firman-Nya,

Lalu para penyihir itu tersungkur dengan bersujud (QS Thaha [20]: 70).

Yang ketiga sujud berarti mengikuti maupun menyesuaikan diri dengan ketetapan Allah yang berkaitan dengan alam raya ini, yang secara salah kaprah dan populer sering dinama hukum-hukum alam.

Bintang dan pohon keduanya bersujud (QS Al-Rahman

[55]: 6).

Dari sunnatullah diketahui bahwa kemenangan hanya tercapai dengan kesungguhan dan perjuangan. Kekalahan diderita karena kelengahan dan pengabaian disiplin, dan sukses diraih dengan perencanaan dan kerja keras, dan sebagainya, sehingga seseorang tidak disebut bersujud, apabila tidak mengindahkan hal-hal tersebut.

Al-Quran menyebutkan fungsi masjid antara lain di dalam firman-Nya:

Bertasbihlah kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya pada waktu pagi dan petang, orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan, dan tidak (pula) oleh jual-beli, atau aktivitas apa pun dan mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, membayarkan zakat, mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang (QS An-Nur [24]: 36-37).

Tasbih bukan hanya berarti mengucapkan Subhanallah, melainkan lebih luas lagi, sesuai dengan makna yang dicakup oleh kata tersebut beserta konteksnya. Sedangkan arti dan konteks-konteks tersebut dapat disimpulkan dengan kata taqwa.

MASJID PADA MASA RASULULLAH SAW.

Ketika Rasulullah Saw. berhijrah ke Madinah, langkah pertama yang beliau lakukan adalah membangun masjid kecil yang berlantaikan tanah, dan beratapkan pelepah kurma. Dari sana beliau membangun masjid yang besar, membangun dunia ini, sehingga kota tempat beliau membangun itu benar-benar menjadi Madinah, (seperti namanya) yang arti harfiahnya adalah 'tempat peradaban', atau paling tidak, dari tempat tersebut lahir

benih peradaban baru umat manusia.

Masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah Saw. adalah Masjid Quba', kemudian disusul dengan Masjid Nabawi di Madinah. Terlepas dari perbedaan pendapat ulama tentang masjid yang dijuluki Allah sebagai masjid yang dibangun atas dasar takwa (QS Al-Tawbah [9]: 108), yang jelas bahwa keduanya --Masjid Quba dan Masjid Nabawi-- dibangun atas dasar ketakwaan, dan setiap masjid seharusnya memiliki landasan dan fungsi seperti itu. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah Saw meruntuhkan bangunan kaum munafik yang juga mereka sebut masjid, dan menjadikan lokasi itu tempat pembuangan samph dan bangkai binatang, karena di bangunan tersebut tidak dijalankan fungsi masjid yang sebenarnya, yakni ketakwaan. Al-Quran melukiskan bangunan kaum munafik itu sebagai berikut,

Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang Mukmin) dan karena kekafiran-(nya), dan untuk memecah belah antara orang-orang Mukmin, serta menunggu/mengamat-amati kedatangan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu (QS Al-Tawbah [9]: 107).

Masjid Nabawi di Madinah telah menjabarkan fungsinya sehingga lahir peranan masjid yang beraneka ragam. Sejarah mencatat tidak kurang dari sepuluh peranan yang telah diemban oleh Masjid Nabawi, yaitu sebagai:

1. Tempat ibadah (shalat, zikir). 2. Tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi-sosial budaya). 3. Tempat pendidikan. 4. Tempat santunan sosial. 5. Tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya. 6. Tempat pengobatan para korban perang.

7. Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa. 8. Aula dan tempat menerima tamu. 9. Tempat menawan tahanan, dan 10. Pusat penerangan atau pembelaan agama.

Agaknya masjid pada masa silam mampu berperan sedemikian luas, disebabkan antara lain oleh:

1. Keadaan masyarakat yang masih sangat berpegang teguh kepada nilai, norma, dan jiwa agama.

2. Kemampuan pembina-pembina masjid menghubungkan kondisi sosial dan kebutuhan masyarakat dengan uraian dan kegiatan masjid.

Manifestasi pemerintahan terlaksana di dalam masjid, baik pada pribadi-pribadi pemimpin pemerintahan yang menjadi imam/khatib maupun di dalam ruangan-ruangan masjid yang dijadikan tempat-tempat kegiatan pemerintahan dan syura (musyawarah).

Keadaan itu kini telah berubah, sehingga timbullah lembaga-lembaga baru yang mengambil-alih sebagian peranan masjid di masa lalu, yaitu organisasi-organisasi keagamaan swasta dan lembaga-lembaga pemerintah, sebagai pengarah kehidupan duniawi dan ukhrawi umat beragama. Lembaga-lembaga itu memiliki kemampuan material dan teknis melebihi masjid.

Fungsi dan peranan masjid besar seperti yang disebutkan pada masa keemasan Islam itu tentunya sulit diwujudkan pada masa kini. Namun, ini tidak berarti bahwa masjid tidak dapat berperan di dalam hal-hal tersebut.

Masjid, khususnya masjid besar, harus mampu melakukan kesepuluh peran tadi. Paling tidak melalui uraian para pembinanya guna mengarahkan umat pada kehidupan duniawi dan ukhrawi yang lebih berkualitas.

Apabila masjid dituntut berfungsi membina umat, tentu sarana yang dimilikinya harus tepat, menyenangkan dan menarik semua umat, baik dewasa, kanak-kanak, tua, muda, pria, wanita, yang terpelajar maupun tidak, sehat atau sakit, serta kaya dan miskin.

Di dalam Muktamar Risalatul Masjid di Makkah pada 1975, hal ini telah didiskusikan dan disepakati, bahwa suatu masjid baru dapat dikatakan berperan secara baik apabila memiliki ruangan, dan peralatan yang memadai untuk:

a. Ruang shalat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.

b. Ruang-ruang khusus wanita yang memungkinkan mereka keluar masuk tanpa bercampur dengan pria baik digunakan untuk shalat, maupun untuk Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

c. Ruang pertemuan dan perpustakaan.

d. Ruang poliklinik, dan ruang untuk memandikan dan mengkafankan mayat.

e. Ruang bermain, berolahraga, dan berlatih bagi remaja.

Semua hal di atas harus diwarnai oleh kesederhanaan fisik bangunan, namun harus tetap menunjang peranan masjid ideal termaktub.

Hal terakhir ini perlu mendapat perhatian, karena menurut pengamatan sementara pakar, sejarah kaum Muslim menunjukkan bahwa perhatian yang berlebihan terhadap nilai-nilai arsitektur dan estetika suatu masjid sering ditandai dengan kedangkalan, kekurangan, bahkan kelumpuhannya dalam pemenuhan fungsi-fungsinya. Seakan-akan nilai arsitektur dan estetika dijadikan kompensasi untuk menutup-nutupi kekurangan atau

kelumpuhan tersebut.

YANG BOLEH DILAKUKAN DAN YANG TIDAK DIPERBOLEHKAN DI DALAM MASJID

Masjid adalah milik Allah, karena itu kesuciannya harus dipelihara. Segala sesuatu yang diduga mengurangi kesucian masjid atau dapat mengesankan hal tersebut, tidak boleh dilakukan di dalam masjid maupun diperlakukan terhadap masjid.

Salah satu yang ditekankan oleh sebagian ulama sebagai sesuatu yang tidak wajar terlihat pada masjid (dan sekitarnya) adalah kehadiran para pengemis,

Untuk memelihara kesucian masjid, Allah Swt. berfirman agar para pengunjungnya memakai hiasan ketika mengunjungi masjid sebagaimana firman-Nya dalam QS Al-A'raf (7): 31:

Hai anak-anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid.

Rasulullah Saw. menganjurkan agar memakai wangi-wangian saat berkunjung ke masjid, dan melarang mereka yang baru saja memakan bawang memasukinya.

Siapa yang makan bawang putih atau merah hendaklah menghindar dan masjid kita.

Masjid harus mampu memberikan ketenangan dan ketenteraman pada pengunjung dan lingkungannya, karena itu Rasulullah Saw. melarang adanya benih-benih pertengkaran di dalamnya, sampai-sampai beliau bersabda,

Jika engkau mendapati seseorang menjual atau membell di dalam masjid, katakanlah kepadanya, "Semoga Allah tidak memberi keuntungan bagi perdaganganmu," dan bila

engkau mendapati seseorang mencari barangnya yang hilang di da1am masjid, maka katakanlah, "Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu (semoga engkau tidak menemukannya)."

Kedua teks yang disebutkan di atas tidak berarti larangan berbicara tentang perniagaan yang sifatnya mendidik umat, atau melarang para pembina dan pengelola masjid berniaga, melainkan yang dimaksud adalah larangan melakukan transaksi perniagaan di dalam masjid.

Fungsi masjid paling tidak dinyatakan oleh hadis Rasulullah Saw. ketika menegur seseorang yang membuang air kecil (di samping) masjid:

Masjid-masjid tidak wajar untuk tempat kencing atau (membuang sampah). Ia hanya untuk (dijadikan tempat) berzikir kepada Allah Ta'ala, dan membaca (belajar) Al-Quran (HR Muslim).

Dengan kata lain, masjid adalah tempat ibadah dan pendidikan dalam pengertiannya yang luas. Bukankah Al-Quran berbicara tentang segala aspek kehidupan manusia? []

---------------WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net post

ESTETIKA DAN SENI SEBAGAI UNGKAPAN RELIGIUSITAS


Posted by Ahmad Yanuana Samantho on Mei 18, 2010 in Budaya & Sastra, Falsafah, Hikmah, Irfan

Oleh Abdul Hadi W. M.

Estetika sering diartikan sebagai filsafat keindahan atau seni. Tujuannya sebagaimana tujuan filsafat, dapat dirumuskan mengikuti perumusan Harold Titus (1964:6-9) , namun dengan mengaitkannya dengan masalah-masalah keindahan, yaitu: (1) Menentukan sikap terhadap keindahan yang terdapat dalam alam, kehidupan manusia dan karya seni; (2) Mencari pendekatan-pendekatan yang memadai dalam menjawab masalah obyek pengamatan indra, khususnya karya seni, yang menimbulkan pengaruh terhadap jiwa manusia, khususnya perenungan dan pemikiran, serta perilaku dan perbuatan manusia; (3) Mencari pandangan yang menyeluruh tentang keindahan dan obyek-obyek yang memperlihatkan rasa keindahan; (4) Mengkaji masalah-masalah yang berhubungan dengan bahasa dan penuturannya yang baik, sesuai keperluan, misalnya dalam karya sastra, serta mengkaji penjelasan tentang istilah-istilah dan konsep-konsep keindahan; (5) Mencari teori untuk menentukan dan menjawab persoalan di sekitar karya seni dan obyek-obyek yang menerbitkan pengalaman indah.

Sebagai cabang filsafat atau ilmu yang berdiri sendiri, terlepas dari metafisika, logika dan etika, serta teologi, terjadi sejak abad ke-18 dan pandangan sebagai ilmu yang berdiri sendiri sebagian masih dipertahankan sampai masa kini. Buku paling awal yang memandang estetika sebagai ilmu tersendiri ialah Baumgarten, seorang filosof rasionalis Jerman. Karya Baumgarten yang terkenal ialah Aesthetica (1750). Kata aesthetica diambil dari kata Yunani aesthesis artinya pengamatan indra atau sesuatu yang merangsang indra. Dari arti perkataan tersebut Baumgarten mengartikan estetika sebagai Scientia cognitio sensitiva atau pengetahuan yang berkaitan dengan apa yang dapat diamati dan merangsang indra, terutama karya

seni. Di dalam perkataan aisthesis juga tercakup pengertian sensasi atau reaksi organisme tubuh manusia terhadap rangsangan luar. Di dalamnya juga tercakup perasaan, kecendrungan dan kegandrungan jiwa manusia terhadap sesuatu hal. Pengertian semacam itu dikritik oleh banyak ahli filsafat, misalnya Comaraswamy dan Gadamer. Menurut Comaraswamy pengertian semacam itu meredusir karya seni dan obyek-obyek indah hanya sebagai fenomena psikologi dan selera subyektif. Padahal seni bukan semata-mata sebagai masalah perasaan dan selera pribadi, atau semata-mata bertalian dengan pengalaman sensual. Masalah keindahan dan karya seni bertalian dengan hasrat manusia yang lebih tinggi, yaitu pengalaman kerohanian dan kepuasan intelektual. Seni juga berkaitan dengan masalah moral dan agama. Dalam bukunya Kimiya-i Sa`adah (Kimia Kebahagiaan) Imam al-Ghazali menyatakan bahwa efek yang ditimbulkan karya seni terhadap jiwa manusia sangat besar, dan karena menentukan moral dan penghayatan keagamannya. Apabila masalah estetika hanya dikaitkan dengan selera dan kesenangan sensual, serta kesenangan indrawi, maka nilai seni itu akan merosot. Karena itu dalam tradisi Timur seni dipandang sebagai bagian dari kebajikan intelektual dan spiritual. Di Barat pandangan sempit terhadap estetika yang memisahkannya dari etika, metafisika dan spiritualitas mendapat kritik dari Gadamer. Khususnya dalam bukunya The Relevance of the Beautiful and other Essays. Gagasan Baumgarten, yang memandang estetika sebagai pengetahuan mengenai pengamatan indra, bertentangan dengan tujuan ilmu yang sebenarnya. Menurur Gadamer tujuan pengetahuan yang sebenarnya ialah menyerap kebenaran universal dan mengatasi subyektivitas. Karena itu pengetahuan, termasuk estetika, tidak boleh ditentukan hanya oleh kesenangan dan hasil pengamatan indra. Karena kritik-kritik tersebut kajian estetika diperluas kembali di masa modern. Ia dikaitkan juga dengan masalah-masalah sosial, politik, ideologi, kebudayaan dan agama. Ini dapat dilihat umpamanya dalam karya seorang filosof Amerika Monroe C. Beardsley Aesthetic From Classical Greece to the Present: A Short History (1968). Secara umum kajian estetika mengandung tiga unsur utama, yaitu: (1) Pembicaraan tentang hakekat karya seni dan obyek-obyek indah buatan manusia; (2) Pembicaraan tentang maksud dan tujuan penciptaan karya seni serta cara bagaimana memahami dan menafsirkannya; (3) Mencari tolok ukur penilaian karya seni dengan kaedah-kaedah tertentu yang memadai. Tolok ukur bobot dan keindahan karya seni juga harus dikaitkan dengan besar kecilnya kesempurnaan

yang

ditampilkan

karya

seni.

Bagaimana melihat besar kecilnya kesempurnaan dalam karya seni? Para ahli estetika secara umum memberi patokan sebagai berikut: (1) Sempurna dilihat dari sudut bobot gagasan, konsep dan wawasannya; (2) Sempurna dilihat dari besarnya fungsi sebuah karya seni dalam kehidupan manusia; (3) Sempurna dilihat dari sudut nilai-nilai yang ditawaran karya seni dan relevansinya bagi perkembangan kebudayaan; (4) Sempurna dilihat dari sudut kesesuaian karya seni dengan cita-cita kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan/kerohanian yang hendak ditegakkan manusia; (5) Sempurna dilihat darei sudut kegunaan. Pada zaman modern bobot dan keindahan karya seni juga sering diukut dari nilai pembaharuannya dan peyimpannya dari konvensi seni yang ada,. Pembaharuan dan penyimpangan dipandang sebagai satu cara seniman menyampaikan suara tentang perubahan yang berlangsung dalam masyarakat dan kebudayaan pada zamannya.
Estetika Dalam Tradisi Islam

Dalam tradisi Islam pemikiran estetika bermula pada abad ke-9 dan 10, bersamaan waktunya dengan munculnya terjemahan buku-buku filsafat Yunani. Karya filosof Yunani yang paling menarik perhatian pemikir Muslim untuk dibahas dan dikritik, sehingga kemudian melahirkan teori estetika tersendiri, ialah Poetics karangan Aristoteles. Sebagaimana filosof Yunani klasik pada mulanya para pemikir Muslim mengkaitkan estetika dengan retorika, logika, psikologi dan mentafisika. Puisi dan musik menjadi perhatian utama, sejalan dengan perkembangan sastra Arab dan kegemaran mereka kepada seni musik.

Karya seni, khususnya puisi, dipandang oleh para filosof Muslim, terutama Ibn Sina dan al-Jurjani, sebagai persembahan mimesis (mutabaqah), yaitu ekspresi perasaan dan pikiran seorang penyair yang mencoba mengungkapkan perasaan dengan menggunakan pikiran dan imaginasi. Karena besarnya peranan pikiran dan imaginasi serta campur tangan perasaan, tiruan yang dibuat seorang seniman terhadap kenyataan bukan tiruan sebagaimana dibuat tukang potret ketika merekam obyek. Istilah-istilah yang berkenaan dengan hubungan karya seni dan kenyataan dijelaskan melalui perkataan seperti deformasi, stilisasi dan simbolisasi. Pada tahapan perkembangan berikutnya, dari abad ke-12 s/d 17, masalah estetika lebih banyak mendapat tumpuan dari para sufi dan ahli-ahli filsafat `ishraqiyah, atau para cendekiawan dan ulama yang mempunyai hubungan dengan tasawuf. Hal ini disebabkan karena para sufi mulai memainkan peranan menonjol dalam kehidupan kebudayaan. Lagi pula dalam kenyataan pengalaman mistik yang mereka peroleh

mirip dengan pengalaman estetik yang dicapai seniman, serta memiliki kualitas puitik. Pada masa ini estetika tidak hanya dikaitkan dengan sastra, tetapi juga dengan musik dan seni rupa, termasuk arsitektur, seni lukis dan desain. Kegiatan penciptaan karya seni digolongkan sebagai kegiatan inntelektual yang berhubungan dengan hikmah dan makrifat. Seorang arsitek dan pelukis yang ingin mencapai puncak karirnya mestilah mempelajari cabang-cabang ilmu pengetahuan lain seperti metafisika, logika, ilmu fiqih, Hadis, tafsir Qur`an, filologi, matematika, optik, ilmu hayat, kimia, seni khat, adab dan lain-lain. Begitu pula seorang sastrawan. Di antara tokoh yang banyak membicarakan estetika dalam risalah tasawuf dan filsafat ialah Imam al-Ghazali, Ahmad al-Ghazali, Ibn `Arabi, Nizami, `Attar, Ruzbihan Baqli, Suhrawardi, Jalaluddin Rumi, Sa`di, `Iraqi, Qunyawi, Haydar Amuli, Mahmud Shabistari, Jami dan lain-lain. Dalam kaitannya khusus dengan seni lukis, seni khat dan geometri, pembicaraan estetika dilakukan antara lain oleh Dust Muhammad, Arudi, Siyawush, Riza Abbasi, Siddiqi dan lain-lain. Yang disbut terakhir ini hidup dalam zaman Bani Timurid, Mughal dan Safawi. Pemikiran tokoh-tokoh di atas berpengaruh pada tokoh-tokoh sastra Melayu dan Jawa, seperti Hamzah Fansuri, Sunan Bonang, Syamsudin Sumatrani, Raja Ali Haji, Yasadipura I dan II, Ranggawarsita dan banyak lagi. Estetika Islam yang dikembangkan para sufi itu tidak hanya mempengaruhi karya sastra, tetapi juga arsitektur, seni musik gamelan, batik dan seni ukir. Gema estetika Islam pada abad ke-20 dapat dirasakan dalam karya-karya Amir Hamzah, Danarto, Kuntowijoyo dan pelukis-pelukis seperti Ahmad Sadali, A. D. Pirous, Amang Rahman dan Oesman Effendy. Dalam tradisi sufi estetika lebih jauh dikaitkan dengan metafisika dan jalan kerohanian yang mereka tempuh di jalan ilmu tasawuf. Yang dibicarakan dalam estetika sufi ialah termasuk hakekat dan fungsi seni, pengaruhnya terhadap psikplogi dan kehidupan kerohanian manusia, penggunaan karya seni dalam menumbuhkan semangat religius dan solidaritas sosial, serta cara-cara memahami karya seni melalui metode hermeneutika (tawil). Para sufi berpendapat bahwa semua karya yang baik mestilah dapat dirujuk kepada ayat-ayat al-Qur`an, dan tak jarang puisipuisi mereka sebenarnya merupakan tafsir spiritual terhadap ayat-ayat al-Qur`an yang ditransformasikan ke dalam bahasa figuratif puisi. Keindahan dan Peringkat-peringkatnya

Dalam tradisi Islam istilah yang digunakan untuk keindahan estetis diambil dari alQur`an dan Hadis, yaitu jamal dan husn. Di antara Hadis yang mengandung dua istilah tersebut ialah Hadis yang menyatakan bahwa keindahan batin (jamal) bersifat universal dan memperkaya rohani, karena di dalamnya terdapat hikmah dan jalan menuju Tauhid. Sedangkan keindahan zahir (husn) tidak jarang hanya memukau (sihr). Orang yang tak berpengetahuan dan memiliki penglihatan batin sering teperdaya oleh yang tampak indah dalam pandangan mata, tetapi orang arif dapat menembus ke sebalik keindahan zahir sehingga dapat melihat yang hakiki. Hadis di atas dirujuk pada Hadis lain yang menyatakan bahwa Tuhan itu Maha Indah dan mencintai keindahan. Kata yang digunakan dalam Hadis ini ialah jamal, dan kata tersebut dikaitkan dengan Cinta. Tetapi tidak semya keindahan yang tergolong husn itu memiliki arti negatif, karena untuk nama-nama Tuhan yang indah disebut asma al-husna. Dengan demikian di samping ada keindahan zahir yang buruk, ada keindahan zahir yang baik, bahkan dapat dijadikan laluan menuju keindahan tertinggi. Karena keindahan ada kaitan dengan cinta, dan cinta memiliki peringkat, maka demikian pula keindahan itu memiliki peringkat-peringkat. Kalau Tuhan mencintai keindahan, tentulah keindahan yang dimaksud ialah keindahan yang berkaitan dengan tujuan-tujuan ilahiah penciptaan. Para sufi mengaitkan tujuan ilahiah penciptaan pada manusia dengan kesempurnaan pengetahuan, akhlaq, amal ibadah dan perbuatan. Dalam Hadis lain, yang sering disitir para sufi, yakni Aku harta tersembunyi, aku cinta untuk dikenal, maka aku mencipta dan dengan demikian dikenal, cinta dikaitkan dengan harta tersembunyi (kanz makhfiy), yaitu pengetahuan (`ilm) Tuhan yang tak terhingga. Karena itu keindahan juga dihubungkan dengan pengetahuan dan sebagaimana pengetahuan keindahan memiliki peringkat-peringkat. Pembicaraan tentang peringkat-peringkat keindahan ini dapat kita temui dalam Kimiya-i Sa`adah karangan Imam al-Ghazali, al-Futuhat al-Makkiyah karangan Ibn `Arabi dan Mathnawi-i-ma`nawi karangan Jalaluddin Rumi. Di sini saya hanya akan membicarakan karanan Imam al-Ghazali, karena teks bukunya yang agak lengkap telah diterjemahan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Kimia Kebahagiaan.. Sesuai judulnya penulisnya menghubungkan manifestasi keindahan, dalam karya seni atau obyek estetis lain, dengan peringkat-peringkat kebahagiaan yang didapat jiwa manusia. Kebahagiaan yang dimaksud Imam al-Ghazali berkaitan dengan

pencapaian kesempurnaan dalam satu atau dua hal, yang secara potensial mesti dimiliki oleh sesuatu atau seseorang. Kesempurnaan juga dikaitkan oleh Imam alGhazali dengan peringkat akhlaq dan kepribadian, yang dalam diri seseorang terlihat dalam amal ibadah, amal perbuatan dan tingkat makrifat yang dicapainya. Di antara kebahagian puncak yang dapat diperoleh dari karya seni dan intelektual yang tinggi, ialah kebahagiaan yang dapat membawa kita mengenal Tuhan dengan haqq alyaqin, dan mengenal hakikat diri kita sebagai mahluk kerohanian, yang dengan itu tidak terguncang oleh godaan material. Karena itu tidak mengherankan apabila tema-tema yang berkenaan kerinduan dan cinta mistikal (`ishq), begitu pula tema yang berkenaan makrifat dan pengenalan diri hakiki, sangat digemari oleh para penulis sufi dalam rasail (discourses) mereka. Ini terlihat misalnya dalam puisi Syekh Hamzah Fansuri, sufi abad ke-16 17 M dari Barus, Sumatra:
Hamzah Fansuri orang `uryani Seperti Ismail jadi qurbani Bukan `Ajami lagi Arabi Sentiasa wasil dengan Yang Baqi Hamzah Fansuri di dalam Mekkah Mencari Tuhan di Bait al-Kabah Di Barus ke Quds terlalu payah Akhirnya dijumpa dalam rumah (Nya) Penjelasan di atas menunjukkan bahwa keindahan yang didamba sufi tidak hanya keindahan yang memberi kepuasan pada perasaan dan menimbulkan ekstase, dan bukan juga keindahan zahir yang tidak tetap dan bersifat nisbi, melainkan keindahan yang mengandung dimensi religius dan moral. Lebih jauh keindahan oleh para sufi, khususnya Imam al-Ghazali, dikaitkan dengan sifat mutlak dan nisbi yang dimiliki suatu keberadaan atau wujud.

Di sini keindahan dapat dibedakan menjadi keindahan yang bersifat sementara, yaitu keindahan zawahir (fenomenal) dan keindahan yang langgeng. Keindahan yang dimiliki oleh seorang wanita cantik bersifat fenomenal, dan apabila seseorang hanya ingin berpuas dengan kecantikan lahirnya, kelak akan kecewa apabila kecantikannya itu sudah pudar. Cinta yang terbit disebabkan daya tarik keindahan fenomenal ini tingkatnya di bawah. Berlainan dengan keindahan pribadi Nabi Muhammad s. a. w. yang langgeng, yang mmancar dari ahlaq, pengetahuan, kearifan dan solidaritasnya kepada kaum yang teraniaya. Keindahan pribadi Nabi langgeng dan menyejarah,

mengatasi waktu dan universal. Karena itu syair-syair yang memuat pujian kepada Nabi seperti Qasidah Burdah karangan al-Busiri dan Qasidah Barzanji karangan Syekh Barzanji memiliki kedudukan yang tinggi dalam kesusastraan Islam dan memainkan peranan penting dalam penyebaran agama Islam di Timur dan Afrika Utara. Dalam bukunya Kimia Kebahagiaan Imam al-Ghazali mengatakan bahwa peringkatperingkat keindahan estetis sejajar dengan peringkat pengalaman kesufian. Ia berjalan dari peringkat syariat (formal), melalui peringkat tarekat, menuju hakekat (makna) dan akhirnya mencapai makrifat. Pencapaian keindahan tertinggi dengan demikian melibatkan latihan spiritual. Sesuai peringkatnya keindahan dapat dibagi menjadi: (1) Keindahan sensual dan duniawi, yaitu keindahan yang berkaitan dengan hedonisme dan materialisme; (2) Keindahan alam; (3) Keindahan akliah, yaitu keindahan yang ditampilkan karya seni atau sastra yang dapat merangsang pikiran dan renungan; (4) Keindahan rohaniah, berkaitan dengan akhlaq dan adanya pengetahuan tentang hakekat segala sesuatu pada diri seseorang atau karya sastra serta keilmuan; (5) Keindahan Ilahi. Keindahan sensual (nafsani) dan duniawi tidak dapat disebut keindahan sejati. Sebabnya ialah karena pengaruhnya yang lebih banyak negatif dibanding positif, seperti mendatangkan kemungkaran dan kesombongan diri, serta kelobaan yang dapat merugikan masyarakat. Keindahan sejati dicintai, walaupun tidak mendatangkan keuntungan material atau kesenangan badani. Menikmati keindahan yang ditimbulkan pemandangan danau yang menyenangkan, tidak mendatangkan keuntungan material, namun dicintai karena menyehatkan jiwa. Kesenangan, kelezatan dan kepuasan yang ditimbulkan oleh keindahan sejati menyebabkan jiwa sehat, akhlaq bertambah, pengetahuan dan kearifan meningkat, dan pengalaman rohani dan religius kita semakin kaya. Dalam keindahan sejati, yaitu keindahan alam, akliah, rohaniah dan ilahiah, manusia dapat menyaksikan asal-usulnya di alam kerohanian yang diliputi oleh kebaikan, kebenaran dan kesempurnaan sesuai ukurannya. Di sini nyata bahwa keindahan dikaitkan dengan hasrat manusia akan kesempurnaan, kebahagiaan dan kebaikan diri.

Telah disebutkan bahwa walaupun keindahan alam termasuk keindahan zahir dan peringkatnya rendah disebabkan mudah dicerap secara inderawi, akan tetapi ia tetap dipandang sebagai keindahan sejati sebab membuat iwa subur dan mendatangkan kedamaian bagi penikmatnya. Bahkan jiwa orang yang arif dan dewasa dapat

terangsang sehingga menyebabkan pikirannya sadar akan kebesaran Tuhan. Imam al-Ghazali melihat keindahan berdasarkan penampakan kesempurnaan dari suatu obyek sesuai dengan kualitas kesempurnaan ideal yang sepatutnya ada pada sebuah obyek. Hal itu berlaku pada sebuah karya seni, yang dicipta dengan maksud dan tujuan berbeda, dan karenanya untuk fungsi yang berbeda pula dan dengan takaran bobot dan mutu yang berbeda pula. Seekor kuda disebut indah sesuai sifat dan proporsi tubuhnya yang ideal bagi seekor kuda yang baik dan tangkas. Manusia menjadi tidak indah apabila memiliki sifat dan bentuk tubuh seperti kuda, atau binatang lainnya seperti kerbau, singa ataupun badak. Mengenai keindahan tertinggi, Imam al-Ghazali, menghubungkannya dengan peringkat kebenaran atau pengetahuan yang ada pada karya atau pribadi yang kita nilai indah. Pengetahuan dan kebenaran tertinggi hanya dapat ditangkap dengan indra keenam, yaitu penglihatan hati dan jiwa universal (al-nafs al-kulliy). Seluruh kehidupan dan pribadi Nabi Muhammad s. a. w. hanya dapat dilihat nilai dan mutu keindahannya melalui indra keenam ini. Dilihat secara lahir Nabi adalah manusia karena beliau juga makan, tidur, berumah tangga dan mengendarai kendaraan seperti manusia lain. Tetapi dilihat dari kehidupan spiritual dan moralnya beliau adalah lebih dari sekadar manusia biasa. Melalui penjelasannya tersebut Imam al-Ghazali berpendapat bahwa penglihatan batin sangat penting dalam kehidupan manusia, serta menumbuhkan semangat religius. Penglihatan batin lebih kuat dari penglihatan zahir ataupun akal, demikian juga pengaruh ang ditimbulkannya terhadap keimanan dan cinta seseorang. Jami. seorang sufi abad ke-15 dari Herat, mengatakan bahwa setiap keindahan dan kesempurnaan menyatakan diri dalam pelbagai peringkat wujud sebagai berkasberkas daripada sinar keindahan-Nya. Sebagaimana Imam al-Ghazali, Jami menyatakan bahwa apabila keindahan manusia terletak pada nilai moral, pencapaian intelektual dan spiritualnya, maka keindahan puisi terletak pada hikmah yang dikandungnya. Hikmah dalam dirinya mengandung aspek moral, intelektual dan spiritual.
(Bersambung dalam karangan Estetika Sebagai Suluk atau Jalan Kerohanian). Masjid di kompleks bekas ibukota Mughal pada zaman Sultan Akbarm Fatehpur Sikri.
Abo

ESTETIKA SEBAGAI SULUK ATAU JALAN KEROHANIAN


Posted by Ahmad Yanuana Samantho on Mei 18, 2010 in Budaya & Sastra, Falsafah, Irfan

Oleh: Abdul Hadi W. M. (Tulisan ini adalah sambungan dari tulisan sebelumnya Estetika dan Seni Sebagai Ungkapan Religiusitas)
http://www.facebook.com/notes/abdul-hadi-wm/estetika-sebagai-suluk-atau-jalankerohanian/40497163887

2
Interior masjid Selimiye Konya, Turki. KARENA segala bentuk keindahan dapat dijadikan sarana menuju pengalaman religius, sesuai dengan cara seseorang menanggapi keindahan, maka estetika dalam tradisi Islam dapat dikatakan sebagai jalan kerohanian. Namun demikian sebagai jalan kerohanian, tidak mesti karya sastra atau seni mesti merupakan ekspresi religiusitas dan spiritualitas dalam pengertian yang sempit. Dalam tradisi Islam estetika juga menjelma menjadi ekspresi solidaritas sosial dan sejarah, sebagaimana dimanifestasikan dalam karya-karya yang tergolong sastra adab, sejarah, epik, hikayat orang suci, kisah rakyat jelata, kisah didaktik dan cerita binatang seperti Khalilah wa Dimnah., atau karya-karya yang tergolong pelipur lara.

Namun demikian dalam pembicaraan ini saya akan membatasi diri pada bentuk-bentuk ekspresi yang berhubungan dengan religiusitas dan spiritualitas. Bentuk-bentuk ekspresi yang berhubungan dengan spiritualitas dan religiusitas, sebagaimana puisi-puisi pujian kepada Nabi Muhammad s. a. w. yang disebut na`tiyah., memiliki kedudukan istimewa dalam peradaban Islam, sebab yang diungkap ialah hakekat perjalanan rohani manusia menuju kebenaran tertinggi, yaitu Tauhid.

Karena berkaitan dengan pencapaian Tauhid estetika Islam bersifat konsentrik, memusat kepada Yang Satu atau kesaksian akan Yang Satu, Kekasih dan Pencinta. Karena itu secara garis besar renungan ahli estetika Islam tentang keindahan berkisar di sekitar keindahan Yang Maha Esa, kehadiran spiritual-Nya (dalam bentuk rahmat, sifat Maha Pengasih dan Penyayang-Nya sebagaimana terkandung dalam kalimat Basmalah.) dalam obyek yang berbagai-bagai di alam semesta dan diri manusia. Keyakinan bahwa Yang Satu hadir secara rahsia dalam keberadaan ciptaan-Nya, tersimpul dalam ayat al-Qur`an bahwa Dia adalah yang zahir dan yang batin (Q 57:3), maksudnya Tuhanlah kenyataan paling hakiki, Ayat-ayat-Nya terbentang dalam alam semesta dan diri manusia (Q 41:53) dan karena itu, Kemana pun Kau memandang akan tampak wajah Allah (Q 2:115), yakni keindahan-Nya yang terwujud dalam rahmat dan sifat Maha Pengasih dan Penyayang-Nya (rahman dan rahim). Renungan estetikus Muslim tentang keindahan estetis (zahir) juga dapat disingkap melalui tamsiltamsil yang mereka gunakan dalam menggambarkan tahap-tahap perjalanan rohani (suluk) yang mereka tempuh menuju Yang Satu. Karena perjalanan itu merupakan perjalanan naik dari alam kewujudan rendah ke alam kewujudan yang lebih tinggi, maka digunakan tamsil perjalanan mendaki puncak gunung. Sering pula digunakan tamsil penerbangan burung menuju puncak gunung yang tinggi seperti dalam Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) karya `Attar. Burung di situ tamsil bagi roh yang senantiasa diusik kerinduan kepada asal-usul kerohaniannya di alam ketuhanan. Pandangan estetikus Muslim dapat pula dikesan melalui penggunaan tamsil yang

menggambarkan hubungan Yang Satu dengan yang banyak, yaitu Tuhan dan ciptaan-ciptaanya. Misalnya dalam penggunaan tamsil laut dan ombak. Cara lain untuk mengenal sistem estetika mereka ialah dengan menyimak penjelasan mereka tentang peranan dan fungsi seni dalam kehidupan, khususnya dalam meningkatkan pengalaman dan semangat religius. Ini misalnya dikatakan oleh Imam al-Ghazali dalam bukunya Kimiya-I Sa`adah. Atau melalui keterangan mereka tentang tujuan penciptaan karya seni dan kaitan seni dengan realitas dalam keseluruhanan tatananannya di alam kewujudan. Apabila mereka berbicara tentang realitas, yang dimaksudkan bukan hanya realitas empiris dan sosial, yaitu kenyataan-kenyataan di alam syahadah. Tetapi juga kenyataan-kenyataan di alam kejiwaan (alam misal) dan alam kerohanian. Nasr (1981:271) mengatakan bahwa para sufi memandang bahwa keindahan dari sebuah puisi yang maknanya dalam memiliki kekuatan yang mampu membawa pembaca ke alam hakekat ketuhanan dan merangsang hasratnya untuk mencapai persatuan mistis. Pernyataan Nasr dapat dirujuk pada pandangan penyair sufi Persia abad ke-15 Abdul Rahman al-Jami, yang mengatakan bahwa Puisi merupakan kias tentang alam keabadian dan isinya merupakan hikmah yang dipetik dari Taman Mawar Ilahi {alam Lahut}(Abdul Hadi W. M. 2001:68). Sedangkan Rumi menyatakan bahwa karyanya Matsnawi adalah kedai tauhid dan kefakiran,

serta tangga naik menuju kebenaran hakiki. Menurut Rumi, Matsnawi adalah sorga bagi kalbu, yang di dalam beranekaragam mata air dan pohon-pohon yang rimbun serta lebat buahnmya. Salah satu di antaranya di sebut Telaga Salsabil oleh para pejalan rohani dan dalam pandangan mereka yang telah mencapai peringkat rohani yang tinggi, Matsnawi (karya seni agung) merupakan maqam terbaik dan tempat perhentian jiwa paling utama (Nicholson 1977:3) Estetika sebagai ekspresi religiusitas juga tampak dalam penjelasan Rumi tentang lukisan yang indah dan berbobot. Rumi mengaitkan karya seni yang indah sebagai hasil proses penyucian diri dan tercapainya pencerahan batin. Dikatakan bahwa gambar yang indah dalam lukisan, dapat diumpamakan sebagai bayang-bayang yang terpantul dalam cermin hati seorang seniman yang telah mencapai penglihatan batin terang, Penglihatan batinnya terang setelah melakukan penyucian 17 dalam Syair Perahu seperti berikut: La Medan Wujud Siang malam jangan bercerai (Doorenbos 1933:35) Mengenai kaitan keindahan ilahi dan hikmah yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui makrifat, penyair sufi Persia abad ke-14 Makhmud Shabistari menulis lebih kurang sebagai berikut: Turun Keindahan yang asing dan bersembunyi dalam anasir alam Dan yang insyaf akan keriangan tersembunyi ini hingga ia Dan Lahirlah bahasa dan Keindahan, si anak molek terpikat melalui nyanyian kalbu, perkawinan penyair, kehidupan segera dan rahasia pengetahuan saja terpesona ini rohani, luhur jiwa mencapai manusia kedamaian ke alam serta bumi gaib memabokkan ilaha yang illa qadim Allah Allah (abadi) terlalu tempat tempat menginai berdamai bitai diri. Bahwa puisi merupakan kias alam keabadian dinyatakan oleh seorang penyair Melayu abad ke-

Kemudian

roh

agung

memberi

hadiah

mas

kawin

berupa keagungan alam gaib (Lederer 1969:23) Selain mengaitkan seni dengan pengetahuan rohani, Shabistari juga mengaitkannya dengan kehidupan luhur dan mulia. Para sufi tidak pernah menyatakan bahwa karya seni atau sastra merupakan mimesis atau tiruan dari alam nyata, dan juga bukan creatio atau ciptaan dalam arti sebenarnya. Mereka tidak dapat disamakan dengan kaum realis dan naturalis atau lawannya. Karya seni lahir dari proses pengilhaman setelah seorang seniman menyucikan dirinya serta membuka pikiran dan hati seluas-luasnya bagi kebenaran. Jelas proses pengilhaman yang diperoleh para penulis sufi tidak sama dengan yang dimaksud Plato atau pengikut NeoPlatonisme, yang mencukupkan diri pada kontemplasi dan meditasi untuk memperoleh ilham. Penulis-penulis sufi menempuh setidak-tidaknya tiga jalan: (1) Melalui latihan-latihan kerohanian dan ibadah yang intens; (2) Melalui perenungan mendalam terhadap ayat-ayat al-Quran menggunakan metode tawil atau hermeneutika kerohanian sufi; (3) Pemahamannya terhadap ayat-ayat al-Quran digunakan untuk membaca persoalan-persoalan kehidupan dalam semua aspeknya. Karya agung Rumi Matsnawi, begitu pula karya `Attar Mantiq al-Tayr dan karya Iqbal Asrar-I Khudi adalah hasil dari proses pengilhaman yang dicapai setelah melalui tiga jalan tersebut. Kalau puisi bukan mimesis dan bukan pula creatio, lalu sebagai apa? Bagi sufi dan penulis Muslim yang berkarya dalam wawasan estetik seperti itu, puisi tidak lain adalah penamsilan atau pemisalan, yaitu pengungkapan secara simbolik gagasan-gagasan dan pengalaman-pengalaman kerohanian yang diperoleh setelah menempuh ilmu suluk. Jami, seperti telah dikemukakan, menyebut puisi sebagai kias tentang alam keadabadian (Abdul Hadi W. M. 2001:77). Atau seperti dikatakan Braginsky (1994:3): Sastra agama atau tasawuf mengukuhkan iman ahli suluk sambil menjelaskan kepadanya hukum formal agama (syariat), teologi dan metafisika Islam; menggambarkan tahap-tahap perjalanan rohani, pengenalan hakekat diri, memberi peringatan tentang bahaya yang mengancam jiwa seseorang serta penjelasan tentang cara-cara mengatasi bahaya tersebut. Semua itu membentuk dan menyucikan hati nurani serta menyiapkannya untuk menyambut turunnnya ilham ilahi. Puisi modern Tradisi estetika Islam yang dasar-dasarnya yang telah diletakkan para filosof , penyair dan sufi di masa lalu terus dikembangan pada masa modern di dalam ekspressi yang berbeda-beda, sesuai dengan perkembangan zaman dan kebudayaan. Estetika sebagai ekspresi religiusitas manusia modern tampak misalnya dalam karya Muhammad Iqbal, Amir Hamzah dan sastrawan Muslim masa kini di berbagai negeri Islam. Di Indonesia dapat dilihat manifestasinya dalam karya-karya sufistik Danarto, Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri dan lain-lain.

Namun untuk menyingkat pembicaraan saya hanya mengemukakan sedikit tentang Amir Hamzah. Gema estetika sufi Melayu abad ke-16 dan 17 yang asas-asasnya telah diletakkan oleh Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani dan lain-lain tampak dalam sajak-sajak Amir Hamzah dalam antologi Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi. Dalam sajak Padamu Jua Amir Hamzah menyatakan: Habis Segala Pulang Seperti dahulu Kaulah Pelita Melambai Sabar setia selalu Satu Aku Rindu Rindu rupa Di Rupa Suara Hanya kata merangkai hati Dilihat dalam konteks sastra Islam larik 3-4 bait 1 memperlihatkan bahwa kehilangan kekasih dunia yang dialami penyair, menerbitkan kembali kerinduannya ke Hari Alastu, kepada pengalaman primordial ketika manusia menyaksikan cinta Kekasihnya Yang Satu. Perumpamaan penampakan cinta ilahi dalam sajak tersebut diumpamakan sebagai kandil kemerlap di jendela, dapat dirujuk kepada Surah al-Nur dalam al-Qur`an. Sedangkan ungkapan, Rindu rasa/rindu rupa akan mengingatkan pembaca kepada pengalaman Nabi Musa a. s. di Thursina, ketika mendengar suara Tuhan tampa melihat-Nya. Pengalaman religius Nabi Musa a. s. digemakan kembali oleh penyair dengan nada sufistik dalam sajak Hanya Satu ya ng kaya dengan muatan kesadaran historis, di samping kesadaran religius. Setelah kecewa melihat pertikaian teologis yang tak habis-habis antara umat Kristen dan Islam, Amir Hamzah mengadu kepada Tuhannya: Aduh Semua itu tiada kekasihku berguna mana engkau tiada sayup kekasihku manusia rasa jendela kandil di pulang malam kemerlap gelap perlahan cintaku kembali hilang aku kikis terbang padamu

Hanya Merasa

satu dikau

kutunggu dekat

hasrat rapat

Seperti Musa di puncak Thursina Walau sajak tersebut bernada sufistik namun tidak kehilangan dimensi sosial. Di situ tersirat keprihatinan penyair terhadap pertentangan agama yang menimbulkan banyak peperangan di dinua ini, sedangkan alasan dasar peperangan yang muncul lebih banyak merupakan masalah politik dan ekonomi. Sajak Amir Hamzah di atas mengemakan kembali suara Hamzah Fansuri pada abad ke-16 sebagaimana telah dikutip, dan juga menggemakan kembali suara Jalaluddin Rumi yang menulis dalam sebuah sajaknya, maksudnya: Apa Aku Aku Aku Aku dari Aku Tidak atau Tidak dari Adam atau Hawa, tidak dari taman Firdaus atau kediaman Asalku bukan tubuh dan jiwa, sebab aku sepenuhnya milik jiwa Kekasih Rumi berbicara tentang hakikat universal umat manusia, dan kesaksian tersebut merupakan bentuk pengalaman religius yang tinggi dalam tradisi sufi. Mengenai Cinta cukuplah saya kutip pernyataan Abu Nua`aym al-Isfahani dalam bukunya Hilyat al-`Awlya: Hati orang arif ialah sarang Cinta, hati seorang pencinta ialah sarang rindu, hati seorang yang rindu ialah sarang kehampiran. Untuk kehampiran atau kedekatan para sufi secara bergantian menggunakan perkataan uns dan qurb. Dari perkataan qurb inilah perkataan qurban (kurban, korban) berasal. Dirujuk kepada hari raya Idul Qurban yang diselenggarakan setiap tahun oleh umat Islam pada musim haji dan dimaksudkan sebagai peringatan terhadap bukti ketaatan Nabi Ismail a. s. kepada Allah s. w. t. yang bersedia disembelih oleh ayahandanya Nabi Ibrahim a. s. mengikuti perintah Tuhan, maka perkataan qurban lantas dapat diartikan, ikhtiar mendekatkan diri kepada Tuhan melalui ketaatan kepada perintah-Nya. Ketaatan merupakan bukti cinta dan memerlukan pengurbanan, harta maupun nyawa. Dalam perkataan qurb terkandung pengertian dekat disebabkan cinta dan taat. Sebagaimana terlihat dalam sajak Hamzah Fansuri yang dikutip, para sufi memahami cinta dengan merujuk kepada ketaatan dan pengurbanan Nabi Ismail a. s. dalam menjelaskan apa tidak dari berasal yang bukan tidak tidak tidak harus dari berasal kulakukan bukan tidak putaran kebaradaan dari kerajaan India, Iraq, China, Qum dari Timur, dari O Muslim, dari Barat, tidak tidak sebab tidak dari dari daku dari air, dan Bulgar ataupun atau tak bukan darat udara debu, kenal pula atau atau tidak diriku? Muslim. lautan api pula wujud Saqsin Khurasan neraka Ridwan

Nasrani, dicipta

Yahudi, tanah,

bukan

Majusi,

cakrawala,

pusaran

Aku tidak berasal dari dunia ini atau dunia yang akan datang, tidak dari sorga

yang dimaksud cinta sejati. Di sini para sufi juga berusaha memberi makna kerohanian terhadap upacara keagamaan Idul Qurban dan haji. Ketaatan merupakan manifestasi daripada penyerahan atau pengikatan diri sepenuhnya kepada Yang Satu . Perkataan religi sendiri, darimana kata religious berasal, bermakna mengikat diri. Dalam kata tersebut terkandung makna kedekatan, kehampiran, penyerahan dan ketaatan.. Dalam konteks dajak Hamzah Fansuri, dan juga dalam konteks sajak sufi pada umumnya, cinta sejati merupakan jalan yang dapat membawa seseorang melakukan transendensi, yaitu penembusan terhadap yang zahir (formal) menuju yang spiritual (hakikat), termasuk hakikat diri kita yang memang bersifat spiritual. Hakekat diri manusia secara spiritual dan universal, dalam konsep Islam, bukan Arab, Melayu, Parsi atau Jawa. Seseorang yang mencintai dan dekat dengan yang dicintai, artinya menyaksikan dari dekat secara penglihatan batin, akan mengenal betul-betul siapa dia yang dicintai, dan tahu pula siapa dirinya dan kedudukannya di hadapan yang dicintai. Manusia hanya dapat mengenal dirinya apabila telah mencintai, apakah itu Tuhan, sesama dan lingkungan sekitarnya. Dalam kata-kata Rumi, dalam cinta yang sejati pemisahan kita menjadi aku dan kau, artinya subyek yang terpisah dinding tebal, akan lenyap. Semua dalam cinta menjadi aku, yakni subyek ang memperoleh pembebasan daripada yang selain Dia dan arenanya mendapat pencerahan, yaitu menyaksikan secara terang Yang satu yang dia cintai. Inilah yang dinamakan fana atau unio-mystica (persatuan mistik). Sebagaimana dikatakan oleh Hamzah Fansuri, seseorang yang telah fana (hapus) akan merasakan bahwa dia berada di rumah Tuhan (Kabah) yang sebenarnya apabila menunaikan ibadah haji dan sekaligus menjumpai-Nya rumahnya sendiri. Dalam pandangan para sufi rumah Tuhan di alam metafisik (alam lahut) ialah Arasy, sedangkan di alam dunia ialah Kabah dan di alam syagir (yaitu dalam diri manusia) ialah Hati atau Kalbu. Dalam kalbu inilah bermukim rahasia Tuhan (sirr Allah) dan di dalamnya itulah jiwa manusia dapat merasakan kedamaian (mutmainah). Perjalanan jiwa manusia menuju jiwa mutmainah pada dasarnya merupakan perjalanan mendaki. Jiwa manusia melakukan perjalanan naik digambarkan sebagai burung yang melakukan penerbangan menuju puncak bukit Qaf, untuk menjumpai Simurgh, raja di raja burung, yang merupakan lambing dari hakikat ketuhanan yang tunggal dan juga lambing hakikat diri manusia (baca karangan penulis tentang karya `Attar Mantiq al-Tayr dalam buku ini). Tamsil perjalanan mendaki ke atas gunung untuk mencari kebenaran tertinggi juga dijumpai dalam novel Khotbah Di Atas Bukit karya Kuntowijoyo. Tokoh utama novel tersebut yaitu Barman baru dapat menjumpai hakekat kebenaran tertinggi setelah melakukan perjalanan di gunung, di mana dia berjumpa dengan Humam, kembaran dirinya yang tidak lain adalah simbol dari diri rohani nya yang selama ini tersembunyi dari penglihatannya. Barman dapat diartikan sebagai barbar man,

orang yang hidup dalam gelimang hedonisme material dan itu menghalangi dirinya untuk menyaksikan kebenaran tertinggi. Humam dapat diartikan sebagai human , manusia sebenarnya yang menyadari bahwa dirinya bukan semata-mata makhluq jasmani, tetapi juga mahkluq rohani (Abdul Hadi W. M. 1999). Tema pendakian juga dilukiskan Sutardji Calzoum Bachri dalam beberapa sajaknya. Misalnya dalam Para Peminum sebagai berikut: di para mendaki kadang jatuh dan memetik di puncak mereka tapi dalam mereka jatuh dan mendaki lagi di mereka mereka dan bulan menyimpan mereka di semuanya diam dan tersimpan (O, Amuk, Kapak 123) Tamsil pendakian ke puncak gunung banyak dijumpai dalam alegori sufi Melayyu seperti Hikayat Inderaputra, Hikayat Syekh Mardan dan lain-lain. Dalam syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri kerap digambarkan bagaimana seorang pencinta harus melakukan pendakian sukar menuju puncak bukit tempat tinggal Mahbubnya.Annemmarie Schimmel (1981:421) mengatakan bahwa puncak puncak berhasil menyimpan gunung memetik mabuk bulan bulan kami laut nyanyi mereka takkan bulan oleng bilang karam nyanyi mendaki lagi bulan gunung mereka lereng lereng peminum mabuk terpeleset

dalam sastra sufi merupakan lambing dari pencapaian (maqam) tertinggi di jalan tasawuf, yaitu qurb, kekariban dan kedekatan dengan Sang Hakekat Wujud. Akhir Kalam Melalui pembicaraan yang telah disajikan dapatlah disimpulkan bahwa dalam tradisi Islam, atau lebih tepatnya dalam tradisi sufi, pengucapan estetik dalam bentuk karya sastra mempunyai makna sejauh suatu pengucapan dapat dijadikan suluk atau jalan kerohanian menuju hakekat kehidupan yang lebih tinggi. Ungkapan-ungkapan estetik dalam sastra atau pun seni dengan demikian dapat dijadikan tangga naik atau sarana pendakian, bahkan penerbangan menuju alam transendental (alam lahut). Dalam narasi simbolik sufi pendakian itu dilambangkan misalnya dengan perjalanan naik menuju puncak bukit atau gunung, atau melalui penerbangan burung ke puncak gunung yang tinggi. Melalui estetika sufi inilah simbol gunungan di Jawa dan dalam tradisi Melayu, yang telah ada pada zaman Hindu Buddha, mengalami transformasi makna sehingga symbol tersebut tetap hidup, terutama dalam masyarakat Jawa. Sebagai suluk atau perjalanan mendaki dari alam rendah (alam nasut) ke alam tinggi (alam lahut) ungkapan estetik dalam sastra dan seni mempunyai fungsi sebagai berikut: (1) Tawajjud, yaitu membawa penikmat mencapai keadaan jiwa yang damai (mutmainah) dan menyatu dengan keabadian dari Yang Abadi. Ini dikemukakan antara lain oleh Imam al-Ghazali. Kata tawajjud dibentuk dari kata wajd, arti harfiahnya mencapai maksud atau berjumpa dengan yang dikehendaki. Namun makna konseptualnya ialah keadaan jiwa seseorang yang mengalami kegairahan mistik (ekstase). Iqbal menyebutnya junon, yang artinya juga kegairahan mistik yang dicapai seseorang yang intens mencari kebenaran yang hakiki. (2) Fungsi ungkapan estetik yang lain, sebagaimana dikemukakan Ruzbihan al-Baqli, seorang sufi Persia awal abad ke-13 M, ialah tajarrud, yaitu pembebasan jiwa dari alam benda melalui sesuatu yang berasal dari alam benda itu sendiri. Misalnya suara, bunyi-bunyian, gambar, lukisan dan kata-kata. Jika ungkapan estetik dalam karya sastra atau seni tetap membelenggu kita dalam kehidupan jasmani dan sensual, maka ia tidak memenuhi fungsinya sebagai ungkapan religiusitas atau spiritualitas. Kemudian (3) Fungsi ungkapan yang lain lagi ialah tadzkiya al-nafs, yaitu penyucian diri dari pemberhalaan terhadap bentuk-bentuk. Ini dinyatakan antara lain oleh Jalaluddin Rumi. (4) Seni sebagai sarana transendensi, menerobos dunia bentuk melalui bentuk-bentuk formal itu sendiri. Karena itu dalam memandang ungkapan estetik sufi, yang dalam puisi terjelma dalam majaz (bahasa figuratif) merangkum metafora, tamsil atau tasybih (image simbolik), tidak melihatnya hanya sebagai ungkapan lahir, tetapi sebagai kias (perumpamaan) dan mitsal (simbol). Yang harus dijelajahi ialah ialah apa yang dikiaskan dan disimbolkan, yaitu makna batin, bukan kias atau simbolnya itu sendiri

(5) Fungsi ungkapan estetik yang lain pula ialah untuk menyampaikan hikmah, yaitu kearifan yang dapat membantu kita bersikap adil dan benar terhadap Tuhan, sesama manusia, lingkungan sosial, alam tempat kita hidup dan diri kita sendiri. Banyak dikemukakan para filosof dan sastrawan seperti Ibn al-Muqaffa, al-Jahiz, Ibn Sina, Abu `Ala al-Ma`arri, Abu al-`Atahiyah dan Mulla Saadi; (6) Ungkapan estetik juga berfungsi sebagai sarana efektif menyebarkan gagasan, pengetahuan, informasi yang berguna bagi kehidupan seperti pengetahuan dan informasi berkenaan sejarah, geografi, hukum, undang-undang, adab, pemerintahan, politik, ekonomi dan gagasan keagamaan. Para ilmuwan, ahli adab, ulama fiqih dan usuluddin, serta ahli tasawuf berpegang pada pendapat ini; (6) Ungkapan estetik juga dicipta untuk menyampaikan puji-pujian kepada Yang Satu. Atau sebagai sarana pemusatan pikiran dan hati kepada Yang Satu (tafakkur), atau sarana perenungan terhadap keberadaan-Nya dan kehadiran rahasia-Nya dalam kalbu manusia. Daftar Pustaka Abdul Hadi W. M. (1985). Sastra Sufi Sebuah Antologi. Jakarta: Pustaka Firdaus. Bandung: Mizan. Kepengarangan (1999). di Sastra Transendental Kembali ke dan Akar Kecenderungan Kembali ke Sufistik Sumber. (1995). Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya.

Indonesia.

Dalam

Jakarta: Pustaka Firdaus. H. 21-61. Amir Hamzah (1969). Buah Rindu. Jakarta: Dian Rakyat. (1978). Nyanyi Sunyi. Jakarta: Dian Rakyat. Beardsly, Monroe C. (1968) . Literature and Aesthetics. New York: The Bobbs-Merill Company Inc. Bosanquet, B. (1956). A History of Aesthetics. London: George Allen & Unwin Ltd. Braginsky V. I. (1993) . The System of Classical Malay Literature. Leiden: KITLV. (1994). Erti Keindahan dan Keindahan Erti Dalam Kesusasteraan Melayu Klasik. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Gadamer, Hans Georg (1976). The Relevance of the Beautiful and Other Essays. Cambridge: Cambridge University Press.

al-Ghazali (1993). Kimia Kebahagiaan. Terj. Tim Mizan. Bandung: Mizan. (1990). Mutiara al-Qur`an. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Lederer, Florence (1969). The Secret Rose Garden of Sa`d Ud Din Mahmud Shabistari. Lahore: S. H. Muhammad Ashraf. Nicholson, R. A. . (1977) Selected Poems from the Divani Shamsi Tabriz Rumi. Cambridge: Cambridge University Press. Pabitrakumar Roy (1990). Beauty, Art and Man: Studies in Recent Indian Theorises of Art. Shimla: Indian Institute of Advanced Study.. Tentang A. K. Comaraswamy Lihat hal. 43-59. Md. Salleh Yaapar (1995). Mysticism and Poetry: A Hermeneutical Readings of the Poems of Amir Hamzah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Schimmel, Annemarie (1981). Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: The

University of North Carolina Press. Sutardji Calzoum Bachri (1981). O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan. Titus, Harold (1968). Living Issues in Philosophy. New York: American Book Company. Interior masjid Selimiye Konya, Turki.

Seni itu Kendaraan Naik


Posted by Ahmad Yanuana Samantho on September 12, 2007 in Irfan

Ruang Bac a Koran Tempo Edisi 27 Agustus 2007

Cerita Sampul

Seni Itu Kendaraan Naik


Abdul Hadi WM

Kesenian, bagi kaum sufi, adalah representasi simbolik dari pengalaman kerohaniannya. Demikian pandangan Abdul Hadi W. M. (Wiji Muthari), sastrawan kelahiran Sumenep, Madura pada 24 Juni 1946. Dia mulai menekuni sastra sufi sejak kuliah di Fakultas Sastra dan Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada. Bahkan, saat meraih gelar Ph.D di Universiti Sains Malaysia dia menulis disertasi yang diterbitkan sebagai Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri Sebagai sastrawan, dia menulis sajak-sajak ketuhanan. Salah satu yang terkenal seperti Tuhan, Kita Begitu Dekat: Tuhan,/Kita begitu dekat/Sebagai api dengan panas/Aku panas dalam apimu/ Tuhan,/Kita begitu dekat/Seperti kain dengan kapas/aku kapas dalam kainmu. Dia juga menulis banyak buku tentang sastra sufi dan kebudayaan Islam, di antaranyaRumi, Sufi dan Penyair, Sastra Sufi, Sebuah Antologi, Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisipuisinya, dan Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya. Untuk mengetahui seberapa jauh Rumi mempengaruhi sastra dan kebudayaan Indonesia, wartawan Tempo Kurniawan dan fotografer Dimas Adityo menemui Abdul Hadi di ruang kerjanya di Universitas Paramadina, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, pada Senin, 13 Agustus lalu. Berikut ini petikannya. Pak Abdul Hadi, sejak kapan dunia kesastraan Indonesia dipengaruhi oleh karya sastra Jalaluddin Rumi? Dalam sejarah kesasatraan Melayu, pengaruh sastra sufi Rumi telah muncul sejak abad ke-15. Salah seorang tokoh yang banyak mendapatkan pengaruh, artinya berinteraksi dengan pemikiran Rumi, itu adalah Sunan Bonang, satu dari para wali yang menyebarkan agama Islam di Nusantara. Apakah wali-wali lain tidak? Masalahnya warisan teks yang tersedia sejauh ini baru dari Sunan Bonang. Sedangkan teks dari para wali lain tak ada atau sukar mencarinya. Dalam buku saya, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber, saya telah menguraikan tentang Sunan Bonang, hubungannya dengan Rumi, gagasan cinta Rumi dan lainnya. Bagaimana awal perjumpaannya dengan Rumi? Pada akhir abad ke-15 Sunan Bonang pergi ke Samudera Pasai melalui Malaka bersama Sunan Giri. Dia belajar pada guru yang namanya Syekh Bari. Ini dia abadikan dalam bukunya Pitutur Seh Bari, yang kemudian diterjemahkan dan disunting oleh GWJ Drewes sebagai The Admonition of Seh Bari pada 1967. Secara umum ajaran tasawuf yang dikemukakan di situ dekat dengan ajaran dua tokoh tasawuf besar dari Persia, Imam al-Ghazali dan Rumi. Salah satu pengaruh Rumi yang paling jelas terahdap Sunan Bonang adalah, pertama, ajaran cinta. Kemudian, menerjemahkan asketisme itu dengan kesalehan sosial, di mana aktivitas sosial sangat diutamakan sebagai padanan dari

zikir. Lalu, estetika. Pemikiran Rumi tentang seni sangat berpengaruh terhadap Sunan Bonang. Bisa Anda uraikan konsep seni bagi Rumi? Rumi berpikir bahwa karya sastra atau seni itu simbolisasi, representasi simbolik dari ide dan pengalaman kerohanian. Pengalaman kerohanian yang paling tinggi adalah tafakur, semacam kontemplasi untuk mencapai kesatuan mistik dengan Tuhan. Karena sebagai simbol, karya seni itu seakan sebagai jalan naik atau kendaraan naik dari pengalaman empiris ke pengalaman kerohanian. Konsep ini, contohnya, terlihat dalam komposisi gamelan yang dibuat Sunan Bonang, Gending Dharma, yang berpengaruh terhadap gamelan Jawa kini. Konsepnya konsentrik. Nada-nada, semua bunyi gamelan itu, membawa suasana terpusat ke alam transenden. Apa bedanya dengan gamelan lain? Gamelan Sunan Bonang agak berbeda, misalnya, dengan gamelan Hindu. Gamelan jaman Hindu itu digunakan untuk drama, pemujaan kepada dewa-dewa, sehingga eksotik sifatnya, seperti pada gamelan Bali. Gamelan Sunan Bonang bersifat konsentrik. Kedua jenis gamelan ini membawa perubahan pada gamelan Jawa, yang merupakan campuran dari estetika sufi dan estetika tantriisme Hindu. Adakah bentuk modern dari gamelan Sunan Bonang ini? Itu gending Kebo Giro (yang biasa mengiringi prosesi perkawinan adat Jawa). Gending itu sangat kontemplatif sekali. Juga tembang Lir-ilir, lir-ilir(yang konon ciptaan Sunan Kalijaga). [Abdul Hadi sejenak menembangkannya: Lir-ilir, lirilir/tandure wus sumilir/Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar....] Nah, itu kan jaman Sunan Bonang dan Kalijaga. Bagaimana dengan sastranya? Pengaruh Rumi dan ajaran tasawuf paling banyak ditemukan dalam teks-teks suluk karya Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati. Keduanya adalah yang paling terpelajar dalam hal sastra sufi di antara para wali. Di Jawa suluk adalah karangan bercorak tasawuf yang disampaikan dalam bentuk tembang. Di antara suluk karya Sunan Bonang yang paling dikenal adalahSuluk Wujil. Dari mana saja sumber ajaran tasawuf mereka? Setidak-tidaknya ada lima tokoh tasawuf yang populer di Nusantara pada abadabad itu. Yang pertama, Imam Ghazali, lewat ajaran etikanya. Kedua, falsafah metafisik tentang wujud dari Ibn Arabi. Kemudian, Abdul Karim al-Jili tentang ajaran insan kamil. Tapi, dari segi seni atau sastra, yang banyak memberikan pengaruh adalah Fariduddin Attar dan Jalaluddin Rumi. Ini terbukti dari banyaknya terjemahan dari karya-karya penyair Persia seperti Attar dan Rumi.

Jejak mereka juga tampak dari pemakaian simbol burung, yang banyak dipakai dalam motif seni ukir. Itu kan bermula dari karya Attar yang disadur ke dalam bahasa Melayu menjadi, Hikayat Burung Pingai, yang kemudian dipopulerkan lagi oleh Hamzah Fansuri dengan sajak-sajaknya tentang burung. Di situ burung menjadi simbol jiwa manusia yang merindukan Tuhan. Burung sebagai simbol itu terutama burung simughatau pingai atau phoenix. Kalau jejak Rumi? Bagian pertama dari Matsnawi karya Rumi, Muqadimah, itu berisi lagu seruling bambu yang terpisah dari asal-usulnya. Nah, hikayat-hikayat Pasai kemudian mengambilnya, bahwa asal-usul atau nenek moyang mereka berasal dari pokok bambu. Ini muncul juga dalam cerita dongeng di tanah Batak. Dari lagu serulingnya Rumi ini pula lahir istilah buluh perindu. Di situ seruling, serunai, atau saluang menjadi peralatan paling penting dalam kesenian dan kebudayaan. Sebelumnya, alat musik semacam ini tak dipakai, misalkan dalam gamelan Hindu. Bagi Hamzah Fansuri, apakah dia mendapat pengaruh juga dari Rumi? Ya, tapi tidak langsung karena abadnya sudah berbeda. Tetapi jelas bahwa dari segi estetik karya-karya Fansuri banyak dipengaruhi, terutama, oleh Fariduddin Attar. Paling jelas dari Attar, tapi itu dekat sekali dengan Rumi, karena Attar itu sambungannya dengan Rumi. Sedangkan dari pemikiran filsafatnya, baru Fansuri dipengaruhi Ibnu Arabi. Apa hubungan Attar dan Rumi? Attar itu guru spiritualnya Rumi, pendahulunya Rumi. Rumi melanjutkannya. Ini merupakan tradisi para sufi, karena mereka tak berpretensi sebagai pembaharu seperti penyair modern sekarang. Yang penting bagi dia (sufi), karyanya merupakan pengalaman pribadi, yang dialaminya dan dihayatinya. Cukup itu saja sudah orisinal bagi mereka. Apakah hal itu sudah dikatakan sebelumnya atau tidak, itu bukan soal bagi mereka. Sekarang saja kita orang rewel tentang orisinalitas semacam ini, kan? Seperti cerita rakyat, misalnya. Mereka (para sufi) lontarkan kembali dalam bentuk yang sesuai dengan sifat karya sastra sebagai bentuk simbolik. Sehingga mereka memakai cerita rakyat yang sudah berkembang, seperti kisah Laila Majnun dan sebagainya. Juga kisah-kisah binatang, sejarah, dan ada juga yang diambil dari Al-Quran. Cuma dia olah dengan cara dia sendiri. Jadi, bukan soal temanya yang penting. Tema itu bisa sama saja. Justru dengan mengolahnya menjadi baru, dia memberi dimensi-dimensi baru, dimensi estetik, pengalaman, dan sosial pada cerita lama itu.

Bagaimana dengan karya sastra Indonesia modern, seperti Amir Hamzah dan sesudahnya? Ya, jelas sekali pengaruhnya. Namun, sebelum Amir Hamzah, yang ada pengaruh Ruminya adalah pada Sanusi Pane. Sedangkan Amir jelas sekali terpengaruh secara langsung maupun tidak. Amir kan pernah menerjemahkan Rumi dalam Setanggi Timur. Dan, Rumi sangat dikenal pada masa itu oleh penyairpenyair romantik Indonesia. Sedangkan puisi Rumi itu memang sesuai dengan jiwa romantik. Kalau dalam sastra kontermporer tinggal lihat saja pengaruhnya pada, misalnya, Danarto dan Sutardji Calzoum Bachri. Bagaimana Anda menilai keterpengaruhan itu? Saya melihat dari dua hal saja. Pertama, estetik, bahwa karya sastra itu simbol, idealisasi dari realitas yang dialami penyair, jadi bukan langsung diambil dari realitas. Pengalaman diolah oleh imajinasi, lalu dijadikan simbol untuk menceritakan sesuatu yang lain, baik pengalaman kehidupan maupun kritik sosial. Hal ini lain dengan karya sastra yang coraknya imitasi, peniruan terhadap realitas, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Di sini pengalaman diidealisasi dengan kerangka historis, pertentangan kelas, dan sebagainya. Nah, sastra sufi itu betul-betul simbol. Di dalam tradisi Timur, termasuk dalam tradisi Islam, seni murni itu demikian, bersifat simbolik. Dia disebut seni murni karena karya itu tidak punya kepentingan politik, tidak ada kepentingan duniawi. Dia semata-mata kerohanian, spiritualitas. Ini lain dengan corak yang kedua, seni dinamik. Seni ini mempersoalkan masalah sosial, keduniaan. Hanya saja, tradisi Barat tak mengenal seni murni, karena sudah sekuler. Sedangkan dalam tradisi Timur, mulai dari jaman Jawa Hindu, seni murni sudah digarap, tapi seni sosial juga digarap. Kala itu pengarang bisa kedua-duanya. Tapi, kalau dia mengarang seni murni, pasti simbolik. Karena, yang abstrak, yakni pengalaman spiritual, itu tak bisa ditiru. Jadi dia harus disimbolkan dengan hal-hal yang kongkret. Misalkan pada pepatah tak ada rotan akar pun jadi. Nah, yang dibicarakan kan bukan rotan, bukan pula akar yang kongkret, kan? Dari segi bentuk, apakah sastra sufi lebih cenderung memilih puisi ketimbang prosa? Puisi atau prosa-puisi. Karena prosa itu kan baru berkembang kemudian setelah orang lebih banyak dekat pada pemikiran diskursif. Bahasa diskursif itu tidak dapat mewadahi hal ini, kecuali distilisasikan, gayanya jadi puitik. La Divina Comedia karya Dante itu kan simbolik.

Hal ini berbeda dengan novel modern. Novel modern itu setelah realisme. Baik realisme maupun romantisme di dunia modern itu merupakan reaksi terhadap saintisme, pemikiran yang selalu mengandalkan akal. Romantisme mengedepankan kebebasan individual dengan imajinasi, sedangkan realisme dengan menceritakan yang buruk-buruk dalam masyarakat. Apakah realisme itu mempengaruhi sastra Indonesia? Setelah Sanusi Pane, kita didominasi oleh aliran-aliran dari Barat itu, seolah-olah aliran dari Timur itu sudah kuno. Nah, yang Timur ini baru diangkat kembali pada 1970-an oleh Kuntowijoyo, Danarto, Fudoli Zaini. Yang diangkat itu estetikanya, jadi tidak mesti sama karyanya dengan mereka (aliran dari Timur). Kebaruan mereka jutru karena mereka bisa mengelola sesuatu yang berbeda dengan sastra klasik dan dengan sastra pada zamannya. Dalam novel-novel sebelum Danarto kan nggak mungkin awan, bekicot, kodok, jadi tokoh novel. Tapi, dalam Mahabharata, dongeng-dongeng, hal itu ada. Danarto justru mengangkatnya lagi, tapi dengan cara yang baru, konteks baru, relevansi baru. Bahkan ayat-ayat Al-Quran dijadikan tokohnya. [Di salah satu artikelnya Abdul Hadi menyebut sejumlah karya bercorak sufistik dan sosial-keagamaan seperti karya Kuntowijoyo (novel Khotbah di atas Bukit, antologi puisi Suluk Awang Uwung dan kumpulan cerpenDilarang Mencintai Bunga-bunga), Danarto (kumpulan cerpen Adam Makrifat dan Berhala serta novel Asmaraloka), dan M. Fudoli Zaini (kumpulan cerpen Arafah dan Batu-batu Setan)] Apakah generasi berikutnya Anda masih melihat pengaruhnya? Dalam prosa memang jarang sekali, tapi dalam puisi banyak sekali pengaruh gerakan sufistik ini. Tapi, suatu gerakan itu kan tidak selalu harus berkembang terus. Dia kadang harus mengendap dulu, lalu suatu ketika muncul lagi. Kalau Sutardji? Ya, dia memang terpukau (pada sastra sufi) setelah kebuntuan pengalaman nihilismenya itu. Misalnya lewat sajak Orangnya Tuhan karya Rumi. Sajak itu jelas berpengaruh pada Sutardji sejak awal masa kepenyairannya. Jadi, pengaruhnya sudah ada waktu itu tapi dia belum bisa mencernanya, kecuali pada masa akhir kepenyairannya. Dalam acara di Taman Ismail Marzuki beberapa waktu lalu saya telah menyampaikan bahwa Sutardji itu melalui tiga fase. Pertama, sajak mantera. Saya analisa di situ dia dipengaruhi samanisme, tapi samanisme itu juga sebetulnya mistik. Kedua, nihilis, gayanya kok seperti Nietszche. Kemudian, ke sufi. Selanjutnya, bagaimana perkembangan sastra sufi?

Memang sejak munculnya Angkatan 45 sampai awal 1960-an, pengaruh sufi itu surut karena hingar bingar realisme, realisme sosial, eksistensialisme, dan segala macam. Tapi kok berbenih lagi pada karya pasca-1966, pada 1970-an pada karya Danarto dan lainnya. Jadi ini tampak sebagai reaksi terhadap realisme, entah realisme formal atau sosial, dalam penulisan sastra dari segi estetik, ditambah lagi kecintaan mereka (para sastrawan) yang mendapat ilham dari tradisi. Tapi kan pada Chairil punya sajak Doa, Tuhanku/di pintuMu aku mengetuk/aku tidak bisa berpaling? Ya, itu kan remang-remang. Nafas keagamaan memang muncul pada karya-karya tahun 1950-an itu, seperti pada Taufik Ismail, AA Navis, dan lainnya. Tapi, di situ agama pada level legalistik-formal, dalam pengertian dengan adat, dengan pergaulan, tingkah laku masyarakat, ahlak. Sedangkan agama sebagai penghayatan spiritual baru muncul pasca-1966. Apakah ada konteks sosial tertentu yang mendorong mereka demikian? Saya tidak tahu mereka. Tapi, dari segi saya, pada waktu itu mulai populer lagi kecenderungan untuk melihat dan membaca karya-karya Asia. Salah satunya buku yang dibaca adalah The Treasure of Asian Litterature(1956). [Abdul Hadi mengambil buku itu dari rak di belakangnya dan memperlihatkan isinya]. Isinya nukilan-nukilan karya berbagai pengaran Asia, tapi penting bagi orang yang belajar sastra. Saya membelinya tahun 1970-an. Buku ini populer setelah tahun 1966, dibaca oleh penyair-penyair Yogyakarta waktu itu. Di buku itu ada karya Rumi, ada Rubaiyat Omar Khayam. Jadi, mereka bersentuhan dengan ini. Kami yang masih muda-muda waktu, itu, masih 20-an tahun usianya, melihat bahwa ternyata sastra Timur itu kaya, bukan hanya karya sastra Barat. Banyak lagi buku-buku semacam ini yang populer. Sutardji kan membaca Orangnya Tuhan (The Man of God) karya Rumi kan di situ. Bahkan mereka menerjemahkannya. Sapardi, misalnya, menerjemahkan Shakuntala. Khayam. Bagaimana dengan latar belakang para sastrawan itu? Ini memang kebetulan. Kuntowijoyo ini kan mahasiswa jurusan sejarah, yang pasti mempelajari kebudayaan dan kesusasteraan Indonesia. Danarto juga memang lahir dari keluarga kebatinan dan menyukai tasawuf. Fudoli Zaini juga begitu, lahir dari keluarga pesantren, orang Nahdlatul Ulama tulen yang banyak mempelajari tasawufnya Al-Gazali dan lainnya, apalagi ditambah dengan mempelajari sastra Arab di Kairo, Mesir. Kemudian Sutardji sendiri dari tradisi sastra Melayunya pasti membawa itu. Kalau saya kan memang dari studi sastra Melayu. Saya sendiri menerjemahkan Rubaiyat Omar

Seberapa besar peluang sastra sufi untuk muncul saat ini? Sulit juga bicara soal peluang, karena peluang itu kini ditentukan oleh publikasi dan pasar. Pasar memilih yang mana? Tapi, sebagai aktivitas dia tetap ada. Dipublikasikan atau tidak ia tetap berlangsung dalam kajian-kajian tasawuf yang banyak terdapat di Jakarta.

Banyak sekali kelompok kajian tasawuf di Jakarta, sukar dihitung dan bermacammacam jenisnya. Ada yang sifatnya cuma majelis zikir saja, ada yang juga mengkaji masalah-masalah sastra sufi ini, bahkan ada yang khusus mengkaji Rumi, seperti kelompok Pusaka Hati yang akan mementaskan Semalam Rumi di Gedung Kesenian Jakarta pada 30 Agustus nanti.
About these ad

Syiah Adalah Pembawa Masuk Islam Pertama Kali ke Asia Tenggara


Posted by Ahmad Yanuana Samantho on Februari 20, 2014 in Ibrah Sejarah, Politik, Sejarah Wali Songo dan Waliyullah lainnya di Nusantara

Syiah Adalah Pembawa Masuk Islam Pertama Kali ke Asia Tenggara jadi bagaimana mungkin kami sesat ??? Iran, Syiah, dan Pengaruhnya di Indonesia.

Syiah bukanlah idiom yang asing dan berbahaya, melainkan menunjukkan tradisi keilmuan yang tinggi sebagaimana yang dikembangkan di Iran. Kesemua fakta ini menunjukkan kenyataan terjadinya proses sinkretisasi antara Syiah dengan kebudayaan setempat di Indonesia yang sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke nusantara. Iran, Syiah, dan Pengaruhnya di Indonesia Keberhasilan Revolusi Islam Iran yang terinspirasi dari doktrin-doktrin Islam Syiah, dalam banyak hal menghembuskan angin perubahan (the wind of changes). Tidak hanya di dalam negeri Iran, peta politik di Timur Tengah namun juga memberikan pengaruh yang tidak sedikit pada pergulatan pemikiran di Indonesia. Tentang pengaruh revolusi tersebut, Dr Richard N Frye, ahli masalah Iran di Universitas Harvard, berkomentar: Revolusi Islam di Iran bukan hanya titik-balik dalam sejarah Iran saja. Revolusi itu juga merupakan satu titik-balik bagi rakyat di seluruh negara- negara Islam, bahkan bagi massa rakyat di dunia ketiga. Pemikiran tokoh-tokoh di balik Revolusi Islam Iran, seperti Ayatullah Khomenei, Syahid Muthahari, Dr Ali Syariati, dan Allamah Thabathabai serta merta menjadi kiblat politik alternatif bagi cendekiawan dan para pemikir Islam di Indonesia.

Karenanya, tidak mengherankan jika kita dengan mudah menemukan intelektual Indonesia dengan begitu fasih mengutip transkrip-transkrip pemikiran Ali Syariati, Muthahhari atau pemikir-pemikir Syiah lainnya. Bukan hanya Jalaluddin Rahmat yang mendapat gelar Syiah hanya karena menamakan yayasan yang didirikannya: Yayasan Muthahhari. Amien Rais pernah menerima gelar Syiah juga, karena dalam banyak kesempatan, ia sering mengutip Ali Syariati bahkan juga menyempatkan diri menerjemahkan karya tulis Ali Syariati. Masuknya karya-karya para pemikir Iran di Indonesia menjadi oase bagi banyak intelektual Indonesia. Kajian filsafat, misalnya, yang dalam diskursus pemikiran Syiah tidak pernah terputus. Sehingga, ketika pemikiran mereka bersentuhan dengan kalangan intelektual Indonesia, banyak yang tercengang. Tentang karya Murthada Muthahhari Sejarah dan Masyarakat misalnya, Damam Rahardjo berkomentar: Sulit membayangkan, seorang dengan pakaian jubah, seperti para kyai dan ulama di Indonesia, menulis buku seperti itu, penuh dengan ulasan-ulasan yang spekulatif, menunjukkan olah pikir yang intens. Tentang khazanah keilmuan Syiah, Prof DR H Umar Shihab (Ketua MUI Pusat) dalam kunjungannya ke Iran beberapa hari lalu bersama Prof Dr HM Galib MA (sekretaris MUI Sulsel) berkomentar: Dalam kunjungan ini, kami tercengang melihat khazanah kepustakaan Islam yang begitu lengkap di Teheran, Masyhad dan Qom, dan sangat menyesal baru mengunjunginya di usia saya yang 70 tahun ini. Tradisi Syiah. Kajian tentang Syiah di Indonesia, telah dilakukan oleh sejumlah ahli dan pengamat sejarah, sebagian besar diantaranya berkesimpulan bahwa orang-orang Persia -yang pernah tinggal di Gujarat- yang berpaham Syiahlah yang pertama kali menyebarkan Islam di Indonesia. Bahkan dikatakan Syiah pernah menjadi kekuatan politik yang tangguh di nusantara. M Yunus Jamil dalam bukunya Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh (1968) menulis kerajaan Islam yang pertama berdiri di Nusantara adalah Kerajaan Peureulak (Perlak) yang didirikan pada 225H/845M. Pendiri kerajaan ini adalah para pelaut-pedagang Muslim asal Persia, Arab dan Gujarat dan mengangkat seorang Sayyid Maulana Abd al-Aziz Syah, keturunan Arab-Quraisy, yang menganut paham politik Syiah, sebagai sultan Perlak. Agus Sunyoto, staf Lembaga Penerangan dan Laboratorium Islam (LPII) Surabaya yang dipimpin Dr Saleh Jufri, seperti dilaporkan Majalah Prospek (10 Nopember 1991), melalui penelitiannya menyimpulkan, bahwa Syaikh Abd al-Rauf Al-Sinkli, salah seorang ulama besar nusantara asal Aceh pada abad ke-17, adalah pengikut dan penggubah sastra Syiah. Ia pun setelah melakukan penelitian terhadap kuburankuburan di Jawa Timur, berkesimpulan bahwa dari segi fisik dan arsitekturnya itu adalah kuburan-kuburan orang Syiah. Bahkan Agus Sunyoto lewat bukti-bukti sejarah, berspekulasi, sebagian besar dari Walisongo adalah ulama Syiah. Dengan tegas ia menulis, Syekh Maulana Malik Ibrahim, guru dari semua sunan wali songo adalah Syiah Mazhab Syafii. Dalam masyarakat NU, pengaruh Syiah pun cukup kuat di dalammya, Dr Said Agil Siraj, Wakil Katib Syuriah PBNU secara terang mengatakan, Harus diakui, pengaruh Syiah di NU sangat besar dan mendalam. Kebiasaan membaca Barzanji atau Dibai yang menjadi ciri khas masyarakat NU misalnya, jelas berasal dari tradisi Syiah. KH Abdurrahman Wahid bahkan pernah mengatakan bahwa Nahdatul Ulama secara kultural adalah Syiah. Ada beberapa shalawat khas Syiah yang sampai sekarang masih dijalankan di pesantren-pesantren. Ada wirid-wirid tertentu yang jelas menyebutkan lima keturunan Ahlul Bait. Kemudian juga tradisi ziarah kubur, lalu membuat kubah pada kuburan. Itu semua tradisi Syiah.

Tradisi itu lahir di Indonesia dalam bentuk mazhab Syafii padahal sangat berbeda dengan mazhab Syafii yang dijalankan di negara-negara lain. Berkembangnya ajaran pantheisme (kesatuan wujud, union mistik, Manunggal ing Kawula Gusti), di Jawa dan Sumatera merupakan pandangan teologi dan mistisisme (tasawuf falsafi) yang sinkron dengan aqidah Syiah dan sangat bertentangan dengan paham Islam wahabi yang literal. Ritus-ritus Tabut di Bengkulu dan Sumatera dan Gerebek Sura di Jogjakarta dan Ponorogo adalah ritus teologi Syiah yang datang dari Gujarat-Persia. Doktor Muhammad Zafar Iqbal dalam bukunya, Kafilah Budaya meruntut berbagai fakta tentang adanya pengaruh-pengaruh tradisi Syiah dan Iran di tanah air terutama bagi masyarakat Minangkabau yang masih terjaga sampai kini. Perguruan Tinggi pertama di Aceh bernama Universitas Syiah Kuala, menunjukkan fakta lainnya. Universitas yang disingkat Unsyiah yang diresmikan berdirinya oleh Presiden Soekarno tahun 1959 menunjukkan bahwa idiom Syiah telah sangat dikenal masyarakat. Syiah bukanlah idiom yang asing dan berbahaya, melainkan menunjukkan tradisi keilmuan yang tinggi sebagaimana yang dikembangkan di Iran. Kesemua fakta ini menunjukkan kenyataan terjadinya proses sinkretisasi antara Syiah dengan kebudayaan setempat di Indonesia yang sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke nusantara. Karenanya, lewat tulisan ini saya menggugat, jika dikatakan tradisi Iran dan Syiah baru datang ke Indonesia belakangan ini dan dikatakan tidak sesuai dengan tradisi masyarakat Muslim Indonesia yang bermazhab Sunni. Justru yang bertentangan dengan tradisi masyarakat Muslim Indonesia adalah yang menganggap bidah dan sesat hal-hal yang selama ini ditradisikan masyarakat kita, terutama Muslim Bugis-Makassar, seperti shalawatan, barazanji, maulid dan menyimpan gambar-gambar wajah wali yang dianggap mendatangkan keberkahan . Tentunya, kajian tentang Syiah memang dibutuhkan. Tidak saja untuk kepentingan akademisi dan mengenal lebih dekat pemikiran Syiah, namun ia juga mempunyai kepentingan ganda: Untuk menentukan sikap! Sebab, sebagaimana pesan Imam Ali as, Seseorang cenderung memusuhi yang tidak diketahuinya. Teori Persia. Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia seperti: a. Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro. b. Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al Hallaj. c. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tandatanda bunyi Harakat. d. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik. e. Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat. Akan tetapi, hampir setiap pendapat itu memiliki konsekwensi. Jika seseorang memercayainya suatu pendapat dari pendapat-pendapat itu, maka, bagaimana pun, ia mesti menerima konsekwensi-konsekwensi yang ada. Seperti jika percaya pendapat bahwa Islam dibawa masuk dari Persia, sedikit-banyaknya, akan membuat kita berpikir, para penyebar Islam pertama kali di Nusantara adalah orang-orang Syiah. Dan karena itu, Syiah adalah bentuk akidah pertama yang diterima di Indonesia. Baru setelah itu Islam ahlu Sunnah wal Jamaah yang berkembang.

Hoesein Djajadiningrat mengemukakan pendapat tentang masuknya Islam di Indonesia. Djajadiningrat dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang mempertahankan disertasi di Universitas Leiden, Belanda, pada 1913. Disertasinya itu berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten(Pandangan Kritis Mengenai Sejarah Banten). Menurut Hoesein Djajadiningrat , Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Persia. Djajadiningrat beralasan, peringatan 10 Muharram atau hari Asyura sebagai hari kematian Husein bin Ali bin Abi Thalib yang ada di Indonesia berasal dari perayaan kaum Syiah di Persia. Peringatan 10 Muharram itu lebih dikenal sebagai perayaan Hari Karbala. Djajadiningrat juga yakin dengan pendapat ini, karena keberadaan pengaruh bahasa Persia di beberapa tempat di Indonesia. Selain itu, keberadaan Syeikh Siti Jenar dan Hamzah Fansuri dalam sejarah Indonesia menandakan adanya pengaruh ajaran wihdatul wujud Al-Hallaj, seorang Sufi ekstrem yang berasal dari tanah Persia. Unlike Share Yesterday

You, Bin Alwi Idrus Shahab and 29 others like this. 18 shares

Akhi Abdi Ali Syukran3x. Semoga posting ini bs menambah kekayaan khazanah keilmuan bagi masyarakat kita di asia tenggara khususnya di nusantara sehingga bs mengembalikan kesadaran serta semangat kita agar mengkaji lg lebih dalam secara jujur Sejarah Kita khususnya oleh pemerintah sbg pembuat kebijakan dalam penyusunan kurikulum sejarah khususnya Sejarah masuknya Islam di Nusantara bagi sekolah2 hingga perguruan tinggi di negeri kita utk membangun Masyarakat Ilmiyah atau Masyarakat Pecinta Kebenaran demi melaksanakan Amanat UUD45 yaitu Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Semoga bangsa kita khususnya Ummat Islam kembali kpd jati dirinya sbg Makhluq Tuhan yg diwajibkan utk Menghamba kepada-NYA serta Mencintai Ahlulbait as (QS.ASY-SYURA: 23) dan Mentaati Ahlulbait as (QS.AN-NISA: 59) sbg Ulil-Amri atau Imam bagi manusia (QS.AL-BAQARAH: 124) yg telah disucikan Allah sesucisucinya sbg AL-MUTHOHHARUN (QS.AL-AHZAB: 33) yg sdh ALLAH tetapkan bhw hanya merekalah yg mampu menyentuh KITABULLAH yg ada di LAUHUL-MAHFUZ (QS.AL-WAQI`AH: 78-79), merekalah AHLI-QUR`AN (MANUSIA-QUR`AN) yg ALLAH wajibkan kpd kita utk bertanya kpd mereka (QS.AN-NAHL: 43) yg ALLAH TAALA & Malaikat2-NYA ber-SHOLAWAT yg kita pun diperntahkan-NYA ber-SHOLAWAT (QS.AL-AHZAB: 56) : ALLAHUMMA SHOLLI ALA MUHAMMAD WA AALI MUHAMMAD, Ilahi amien YRA
About these ads

Ternyata Syiah Adalah Madzab Tertua di Indonesia


Posted by Ahmad Yanuana Samantho on Agustus 30, 2013 in Ibrah Sejarah

http://deleteisrael.pun.bz/ternyata-syiah-adalah-madzab-tertua-di-i-2.xhtml Foto: Sejarah Syiah nusantara dalam International Conference on Historical and Cultural Presence of Shias in Southeast Asia, di Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada 21 Februari 2013 Jogjakarta- Mazhab Syiah ternyata memberikan pengaruh yang tidak sedikit pada perkembangan Islam dan kebudayaan di Tanah Air. Doktor Muhammad Zafar Iqbal dalam buku Kafilah Budaya meruntut fakta tentang pengaruh- pengaruh itu. Persisnya, pengaruh Syiah di Ranah Minang, dari perayaan tabut hingga berbagai istilah di bidang pelayaran. Dalam buku Kafilah Budaya, di samping ulama, para pedagang dan mubaligh Iran juga memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan Islam di Tanah Melayu. Lewat merekalah agama yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW ini dikenal di Indonesia. Untuk diketahui, Kerajaan Islam Perlak di Sumatra adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia dan Asia Tenggara. Kerajaan ini didirikan oleh Sultan Alauddin Said Maulana Abdul Aziz Syah pada 225 Hijriah atau 840 Masehi. Syahdan, Raja Malaka Sultan Alauddin Syah mengangkat putranya sebagai penguasa di wilayah Pelabuhan Pariaman. Sang putra kemudian mengembangkan ajaran Syiah di daerah tersebut. Dalam buku itu disebutkan juga, bahwa pasukan Dinasti Fatimiyah Mesir adalah yang membawa ajaran Syiah ke Minangkabau. Di daerah tersebut, mereka berkuasa lebih dari 200 tahun. Pada masa itu, Minangkabau merupakan Kerajaan Islam Syiah yang sangat kaya. Menurut Arkeolog Islam Uka Tjandrasasmita, Islam yang dibawa oleh orang-orang Persia atau Iran ke Indonesia sudah berlangsung sejak abad ke-7 Masehi. Namun, masuknya pedagangpedagang muslim dari Arab Saudi dan Iran ke daerah bagian Barat Indonesia melalui Selat Malaka baru terjadi abad ke-7. Para pedagang Iran juga memperkenalkan Islam ke Jawa Tengah. Raden Fatah, raja Islam di Jawa saat itu, dikenal dengan Syah Alam Akbar. Kenyataan tersebut menjelaskan, bahwa pengaruh Iran melebihi daripada sebelumnya. Sementara itu, para sultan di Maluku juga berasal dari keturunan Ahlulbayt Rasulullah SAW. Pengaruh Iran terhadap Indonesia kebanyakan dalam bidang kebudayaan, kesusastraan, pemikiran, dan tasawuf. Melalui tasawuf dan kebudayaan Islam, kecintaan tersebut menyebar ke negeri- negeri Islam lainnya dan karena itulah kebudayaan Iran pun dikenal. Mengenai Ahlulbait,

orang-orang Iran memiliki cara khusus untuk mengenang peristiwa pembantaian Imam Husain AS pada bulan Muharram. Peristiwa yang dikenal sebagai Tragedi Karbala ini merupakan sebuah pentas kepahlawanan dunia yang telah mempengaruhi kebudayaan bangsa- bangsa nonmuslim. Meski mayoritas muslim di Tanah Air bermazhab Syafii, hasil penelitian menunjukkan bahwa kecintaan muslim Indonesia kepada Ahlulbayt karena pengaruh orang- orang Iran. Ongan Parlindungan dalam bukunya Tuanku Rao menulis bahwa orang-orang Syiah dari aliran Qaramitah telah memerintah di Minangkabau selama 300 tahun. Namun, pemerintahan ini tumbang akibat adanya gerakan Wahabi. Kelompok ini melakukan perlawanan yang dikenal Perang Padri pada awal abad ke-19 Masehi. Dilaporkan, bahwa Kesultanan Pagaruyung di Minangkabau dikuasai para penganut Syiah Qaramitah. Adapun Kerajaan yang menguasai seluruh daerah Minangkabau berlangsung antara 1513 sampai 1804 Masehi. Di Kota Ulakan, orang-orang Syiah mendirikan sebuah perguruan tinggi di bawah binaan Tuanku Laksamana Syah Bandar Burhanuddin Awal yang datang dari Aceh. Di perguruan tinggi ini, sekitar 1.800 orang pintar Syiah Qaramitah melangsungkan kegiatan belajar-mengajar. Masih menurut Parlindungan, keberadaan mazhab Syiah semakin kuat di Minangkabau. Ini karena pengaruh pelaksanaan kegiatan ritual Tabut pada setiap bulan Muharram guna mengenang Imam Husain AS. Selain itu ada ritual Basafar, yakni ziarah ke makam Syekh Burhanuddin Ulakan di setiap Rabu terakhir Bulan Shafar. Ini sebagaimana orang- orang Syiah yang berziarah ke Imam Maula Ali AS di Najaf dan ke Karbala guna berziarah ke Imam Husaian AS dan para Imam dari kalangan Ahlulbayt lainnya. Berkat usaha Syekh Burhanuddin Awal Tuanku Ulakan dan masuknya Sultan Minangkabau ke dalam Islam pada akhir abad ke-16 masehi, ajaran Islam dari mazhab Syiah telah tersebar di seluruh Minangkabau. Menurut Budayawan MinangWisran Hadi, mudahnya tersebarnya mazhab Syiah di Minangkabau karena tidak berbenturan dengan ajaran lainnya, Sunni misalnya. Meski berbeda kata Wisran, perbedaan tersebut dijadikan bagian dari kehidupan. Apalagi konsep perbedaan itu dikekalkan hingga kini. Semuanya jalan sampai sekarang, kata Wisran. Pengaruh Syiah juga terlihat pada ritual pembacaan doa untuk terhindar dari musibah atau tolak bala yang disebut dengan jampi Mantra dan pada tradisi pembacaan doa ratib. Masyarakat Melayu, misalnya, agar terhindar dari wabah penyakit membaca doa: li khamsatun uthfi biha harral waba-i al-khatimah al- musthafa, wa al- murthada, wa ibnahuma, wa al- fatimah. Artinya: Aku mempunyai Lima pegangan, yang dengannya kupadamkan penyakit-penyakit, yaitu Nabi (al- musthafa) yang terpilih, Ali (al- murtadha) yang diridhoi dan kedua anak mereka, alHasan, al-Husain dan Fatimah.

Syiah hadir di Nusantara sejak ribuan tahun lampau. Jejak sejarahnya bisa digunakan untuk meredam konflik Sunni-Syiah. KETIDAKTAHUAN masyarakat terhadap sejarah dan ajaran Syiah dinilai berperan dalam menyulut bara konflik Sunni-Syiah di Indonesia hingga sekarang. Karena itu, bangsa ini mudah labil dalam menyikapi perbedaan dua aliran besar dalam Islam itu. Demikian dikatakan Husain Heriyanto,staf pengajar Universitas Indonesia, dalam International Conference on Historical and Cultural Presence of Shias in Southeast Asia, di Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada 21 Februari 2013. Ketidaktahuan itu tak hanya menimpa khalayak awam, tetapi juga pemuka agama. Kala budayawan Agus Sunyoto duduk di bangku pesantren, gurunya berpesan agar menjauhi ajaran Syiah. Menurutnya Syiah itu anti-maulid, anti-wiridan, dan anti-ziarah. Padahal itu Wahabi, kata Agus, penulis buku Atlas Wali Songo. Keberadaan dan pengaruh Syiah telah mengakar di beberapa wilayah Nusantara sejak 1400 tahun lampau. Di Maluku Tengah, pengaruh ini terejawantah dalam bentuk tarian Maatenu. Tarian ini diperkenalkan masyarakat Hatuhaha. Mereka komunitas muslim tertua di Maluku yang terbentuk sejak abad ke-8. Pemimpin mereka beroleh nasab dari Ali bin Abi Thalib. Karena itu, tarian ini ditujukan sebagai bentuk pujian untuk Nabi Muhammad, Ali, dan keturunannya.[deleteisrael] Sumber: Ensiklopedi Indonesia

Syiah di Indonesia yang Dilupakan


Posted by Ahmad Yanuana Samantho on April 25, 2013 in Ibrah Sejarah, Sejarah Wali Songo dan Waliyullah lainnya di Nusantara, Tolenransi Bhineka Tunggal Ika, UKhuwah

Syiah yang Dilupakan

Syiah hadir di Nusantara sejak ribuan tahun lampau. Jejak sejarahnya bisa digunakan untuk meredam konflik Sunni-Syiah. OLEH: HENDARU TRI HANGGORO Dibaca: 1630 | Dimuat: 28 Februari 2013 KETIDAKTAHUAN masyarakat terhadap sejarah dan ajaran Syiah dinilai berperan dalam menyulut bara konflik Sunni-Syiah di Indonesia hingga sekarang. Karena itu, bangsa ini mudah labil dalam menyikapi perbedaan dua aliran besar dalam Islam itu. Demikian dikatakan Husain Heriyanto, staf pengajar Universitas Indonesia, dalam International Conference on Historical and Cultural Presence of Shias in Southeast Asia, di Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada 21 Februari 2013. Ketidaktahuan itu tak hanya menimpa khalayak awam, tetapi juga pemuka agama. Kala budayawan Agus Sunyoto duduk di bangku pesantren, gurunya berpesan agar menjauhi ajaran Syiah. Menurutnya Syiah itu anti-maulid, anti-wiridan, dan anti-ziarah. Padahal itu Wahabi, kata Agus, penulis buku Atlas Wali Songo. Keberadaan dan pengaruh Syiah telah mengakar di beberapa wilayah Nusantara sejak 1400 tahun lampau. Di Maluku Tengah, pengaruh ini terejawantah dalam bentuk tarian Maatenu. Tarian ini diperkenalkan masyarakat Hatuhaha. Mereka komunitas muslim tertua di Maluku yang terbentuk sejak abad ke-8. Pemimpin mereka beroleh nasab dari Ali bin Abi Thalib. Karena itu, tarian ini ditujukan sebagai bentuk pujian untuk Nabi Muhammad, Ali, dan keturunannya. Mencabik-cabik tubuh dengan benda tajam menjadi ciri tarian ini. Persis dengan tarian dalam tradisi Syiah untuk memperingati peristiwa Karbala. Hingga kini tarian ini masih lestari. Ajaran Syiah sudah menyatu dengan kebudayaan leluhur Islam Maluku, kata Yance Zadrak Rumahuru, pengajar Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri (STAKPN) Ambon. Sayangnya, kontribusi ini kerap diabaikan. Pengaruh Syiah juga ditemukan di Sumatra. Mohammad Ali Rabbani, atase Kedutaan Besar Iran, menyatakan jejak peninggalan dari orang-orang India di Sumatra kental dengan pengaruh Syiah, misalnya Tabuk dan makam-makam bertarikh abad ke-17. Ini karena orang India yang datang ke Sumatra dipengaruhi Persia. Orang-orang itu menganut mazhab Syiah, kata Rabbani. Sebaliknya, orang Persia dan India juga mengambil tradisi orang Sumatra. Interaksi ini menguntungkan umat Islam. Satu bangsa saling mengambil manfaat dari bangsa lainnya. Di Aceh keadaannya agak berbeda. Penduduk di sana lebih dulu akrab dengan tradisi Persia. Sebelum Syiah menjadi mazhab resmi di Persia, orang-orang Aceh telah bersentuhan dengan

kebudayaan Persia, kata Kamaruzzaman Bustaman Ahmad, pengajar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry, Aceh. Karena itu, sulit membedah tradisi Syiah, Persia, dan Aceh. Semua ini sudah diblender di dalam dayah(pesantren). Hasilnya dituangkan di luar dayah, ujar Kamaruzzaman. Meski begitu, konflik berdarah Syiah-Sunni pernah terjadi di Aceh pada abad ke-17. Ini karena kelompok ekstrem dalam Sunni atau Syiah mendominasi Aceh kala itu. Jejak sejarah Syiah yang panjang di Nusantara, menurut Azyumardi Azra, guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, bisa dimanfaatkan untuk meredam konflik Sunni-Syiah. Sudah jelas bahwa Sunni-Syiah tak lagi bisa dilihat secara hitam-putih. Keduanya saling mempengaruhi. Laporan utama Syiah, Pendiri Kerajaan Islam Pertama di Nusantara, Historia nomor 6 tahun 1, 2012

Syeikh Hamzah al-Fansuri Sasterawan sufi agung


Oleh WAN MOHD. SHAGHIR ABDULLAH Hampir semua pengkaji yang mem bicarakan tokoh ulama ini pada zaman moden, selalu merujuk kepada karya-karya Prof. Dr. Syed M. Naquib al-Attas. Barangkali dunia memang mengakui bahawa beliaulah orang yang paling banyak memperkenalkan Syeikh Hamzah alFansuri ke peringkat antarabangsa. Walau bagaimanapun apabila kita membaca keseluruhan karya Prof. Dr. Syed M. Naquib al-Attas yang membicarakan Syeikh Hamzah al-Fansuri, bukanlah bererti kita tidak perlu mentelaah karya-karya lain lagi, kerana apabila kita mentelaah karya-karya selainnya, terutama sekali yang masih berupa manuskrip, tentu sedikit sebanyak kita akan menemukan perkara-perkara baru yang belum dibicarakan. Karya terkini tentang Syeikh Hamzah al-Fansuri ialah buku yang diberi judul Tasawuf Yang Tertindas Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri. Buku setebal 444 halaman itu dikarang oleh Dr. Abdul Hadi W.M. dan terbitan pertama oleh Penerbit Paramadina, Jakarta, 2001. Sama ada karya-karya Prof. Dr. Syed M. Naquib al-Attas mahupun karya Dr. Abdul Hadi W.M., sedikit pun tiada menyentuh gambar Syeikh Hamzah al-Fansuri seperti yang tersebut di atas. Asal-usul dan pendidikan Prof. A. Hasymi pada penyelidikannya yang lebih awal bertentangan dengan hasil penyelidikannya yang terakhir. Penyelidikan awal, ayah Syeikh Hamzah al-Fansuri nampaknya tidak ada hubungan adik beradik dengan ayah Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri. Penyelidikan terakhir beliau mengatakan bahawa Syeikh Hamzah al-Fansuri itu adalah adik beradik dengan Syeikh Ali al-Fansuri. Syeikh Ali al-Fansuri adalah ayah kepada Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri. Penyelidikan awal yang saya maksudkan ialah yang ditulis oleh Prof. A. Hasymi dalam Rubai Hamzah Fansuri yang dapat diambil pengertian daripada kalimatnya, Ayah Hamzah pindah dari Fansur (Singkel) ke Barus untuk mengajar, kerana

beliau juga seorang ulama besar, seperti halnya ayah Syeikh Abdur Rauf Fansuri yang juga ulama, sama-sama berasal dari Fansur (Singkel) (terbitan DBP, 1976, hlm. 11). Mengenai penyelidikan Prof. A. Hasymi yang menyebut Syeikh Hamzah al-Fansuri saudara Syeikh Ali al-Fansuri atau Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri adalah anak saudara kepada Syeikh Hamzah al-Fansuri, dapat dirujuk kepada kata pengantar buku Hamzah Fansuri Penyair Sufi Aceh karya Abdul Hadi W.M. Dan L. K. Ara, diterbitkan oleh Penerbit Lotkala, tanpa menyebut tempat dan tarikh. Walaupun Prof. A. Hasymi belum memberikan suatu pernyataan tegas bahawa beliau memansukhkan tulisannya yang disebut dalam Rubai Hamzah Fansuri, namun kita terpaksa memakai penyelidikan terakhir seperti yang telah dijelaskan di atas. Dr. Azyumardi Azra dalam bukunya, Jaringan Ulama mengatakan bahawa beliau tidak yakin bahawa Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri itu benar-benar keponakan (anak saudara) Syeikh Hamzah alFansuri. Sebab, menurutnya, tidak ada sumber lain yang mendukung hal itu. Bagi saya ia masih boleh dibicarakan dan perlu penelitian yang lebih sempurna dan berkesinambungan. Sebab yang dinamakan sumber pendukung sesuatu pendapat, bukan hanya berdasarkan tulisan tetapi termasuklah cerita yang mutawatir. Kemungkinan Prof. A. Hasymi yang berasal dari Aceh itu lebih banyak mendapatkan cerita yang mutawatir berbanding penelitian barat yang banyak disebut oleh Azra. Diterima atau tidak oleh pengkaji selain beliau, terpulanglah ijtihad masing-masing orang yang berkenaan. Dalam buku Hamzah Fansuri Penyair Aceh, Prof. A. Hasymi menyebut bahawa Syeikh Hamzah Fansuri hidup sampai akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda ternyata juga ada perubahan daripada tulisan beliau yang termaktub dalam Rubai Hamzah Fansuri selengkapnya, Hanya yang sudah pasti, bahawa beliau hidup dalam masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1011 H-1589-1604 M) sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H-1607-1636 M). Yang dimaksudkan dengan ternyata juga ada perubahan, ialah pada kalimat, sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda, menjadi kalimat akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Tarikh lahir Syeikh Hamzah al-Fansuri secara tepat belum dapat dipastikan, adapun tempat kelahirannya ada yang menyebut Barus atau Fansur. Disebut lebih terperinci oleh Prof. A. Hasymi bahawa Fansur itu satu kampung yang terletak antara Kota Singkel dengan Gosong Telaga (Aceh Selatan). Dalam zaman Kerajaan Aceh Darussalam, kampung Fansur itu terkenal sebagai pusat pendidikan Islam di bahagian Aceh Selatan. Pendapat lain menyebut bahawa beliau dilahirkan di Syahrun Nawi atau Ayuthia di Siam dan berhijrah serta menetap di Barus. Drs. Abdur Rahman al-Ahmadi dalam kertas kerjanya menyebut bahawa ayah Syeikh Hamzah al-Fansuri bernama Syeikh Ismail Aceh bersama Wan Ismail dan Po Rome atau Po Ibrahim (1637- 1687 M) meninggal dunia dalam pertempuran melawan orang Yuwun (Annam) di Phanrang. Bahawa Syeikh Ismail Aceh itu pernah menjadi gabenor di Kota Sri Banoi menggantikan Gabenor Wan Ismail asal Patani yang melepaskan jabatan itu kerana usianya yang lanjut. Drs. Abdur Rahman Al-Ahmadi berpendapat baru, dengan menambah Syahrun Nawi itu di Sri Banoi Sri Vini, selain yang telah disebutkan oleh ramai penulis bahawa Syahrun Nawi adalah di Siam atau Aceh. Dalam Patani, iaitu antara perjalanan dari Patani ke Senggora memang terdapat satu kampung yang dinamakan Nawi, berkemungkinan dari kampung itulah yang dimaksudkan seperti yang termaktub dalam syair Syeikh Hamzah al-Fansuri yang menyebut nama Syahrun Nawi itu. Kampung Nawi di Patani itu barangkali

nama asalnya memang Syahrun Nawi, lalu telah diubah oleh Siam hingga bernama Nawi saja. Syahrun Nawi adalah di Patani masih boleh diambil kira, kerana pada zaman dulu Patani dan sekitarnya adalah suatu kawasan yang memang ramai ulamanya. Saya telah sampai ke kampung tersebut (1992), berkali-kali kerana mencari manuskrip lama. Beberapa buah manuskrip memang saya peroleh di kampung itu. Lagi pula antara Aceh dan Patani sejak lama memang ada hubungan yang erat sekali. Walau bagaimanapun Prof. A. Hasymi menyebut bahawa Syahrun Nawi itu adalah nama dari Aceh sebagai peringatan bagi seorang Pangeran dari Siam yang datang ke Aceh pada masa silam yang bernama Syahir Nuwi, yang membangun Aceh pada zaman sebelum Islam. Daripada berbagai-bagai sumber disebutkan bahawa Syeikh Hamzah al-Fansuri telah belajar berbagai-bagai ilmu yang memakan masa lama. Selain belajar di Aceh sendiri beliau telah mengembara ke pelbagai tempat, di antaranya ke Banten (Jawa Barat), bahkan sumber yang lain menyebut bahawa beliau pernah mengembara keseluruh tanah Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi dan Arab. Dikatakan bahawa Syeikh Hamzah al-Fansuri sangat mahir dalam ilmu-ilmu fikah, tasawuf, falsafah, mantiq, ilmu kalam, sejarah, sastera dan lain-lain. Dalam bidang bahasa pula beliau menguasai dengan kemas seluruh sektor ilmu Arabiyah, fasih dalam ucapan bahasa itu, berkebolehan berbahasa Urdu, Parsi, Melayu dan Jawa. Karya-keryanya Syeikh Hamzah al-Fansuri dapat digolongkan kepada peringkat awal dalam menghasilkan karya puisi/sastera dalam bahasa Melayu, sangat menonjol terutama sekali dalam sektor sufi. Lebih terserlah lagi kemasyhurannya kerana terjadi kontroversi yang dilemparkan oleh orangorang yang tidak sependapat dengannya yang dimulai dengan karya-karya Syeikh Nuruddin ar-Raniri, berlanjutan terus hingga sampai ke hari ini karya-karya Syeikh Hamzah al-Fansuri selalu dibicarakan dalam forum-forum ilmiah. Di bawah ini saya cuba menyenaraikan karya beliau yang telah diketahui, iaitu: 1). Syarb al- Asyiqin atau Zinatul Muwahhidin. 2). Asrar al-Arifin fi Bayan Ilm as-Suluk wa at-Tauhid. 3). Al-Muntahi. 4). Rubai Hamzah Fansuri. 5). Kasyf Sirri Tajalli ash-Shibyan. 6). Kitab fi Bayani Marifah. 7). Syair Si Burung Pingai. 8). Syair Si Burung Pungguk. 9). Syair Sidang Faqir. 10). Syair Dagang. 11). Syair Perahu. 12). Syair Ikan Tongkol. Keterangan lengkap mengenai data karya Syeikh Hamzah al-Fansuri dapat dirujuk dalam buku yang saya susun berjudul Al-Marifah Pelbagai Aspek Tasawuf Nusantara, jilid 1. Senarai yang tersebut di atas merupakan maklumat yang terlengkap buat sementara dan akan ditambah lagi jika terdapat maklumat baru yang belum termuat dalam senarai di atas. Mengakhiri artikel ini di sini perlu dijelaskan bahawa makam Syeikh Hamzah al-Fansuri telah ditemui sebagaimana ditulis oleh Dada Meuraxa: Di satu kampung yang bernama Obor terletak di hulu Sungai Singkil, terdapat makam ulama dan pujangga Hamzah Fansuri. Makam itu bertulis: Inilah makam Hamzah Fansuri mursit Syeikh Abdurrauf = Hamzah Fansuri guru Syeikh Abdur Rauf. Mengenai tahun wafat Syeikh Hamzah al-Fansuri secara tepat selama ini tidak pernah disebut. Tetapi Azra dalam Jaringan Ulama menyebut bahawa ulama sufi itu wafat pada tahun 1016 H/1607 M. Disebutkan tahunnya itu disekalikannya membantah bahawa Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri (Al-Sinkili, menurut istilahnya) tidak mungkin bertemu dengan ulama sufi itu, menurutnya Al-Sinkili bahkan belum lahir.

Seolah-olah Azra menolak mentah-mentah tahun kelahiran Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri yang disebut oleh A. Hasymi tahun 1001 H/1592 M itu, kemungkinan dia berpegang pada tahun kelahiran 1024 H/1615 M, atau pendapat lain 1620 M, sedangkan tahun kewafatan Syeikh Hamzah al-Fansuri yang disebutnya 1016 H/1607 M itu belum juga tentu betul. Wallahu alam

HAMZAH FANSHURI
Posted on Agustus 22, 2008 by SufiMuda

Dalam beberapa email yang dikirim ke sufimuda@gmail.com, pengunjung sufimuda sangat berminat terhadap sejarah ulama di tanah air. Salah satu yang saya tampil disini adalah Riwayat Hamzah Fanshuri. Artikel ini di tulis oleh WAN MOHD. SHAGHIR ABDULLAH dari Malaysia yang saya ambil dari sini, mudah-mudahan dapat bermanfaat hendaknya. Hampir semua pengkaji yang mem bicarakan tokoh ulama ini pada zaman moden, selalu merujuk kepada karya-karya Prof. Dr. Syed M. Naquib al-Attas. Barangkali dunia memang mengakui bahawa beliaulah orang yang paling banyak memperkenalkan Syeikh Hamzah alFansuri ke peringkat antarabangsa. Walau bagaimanapun apabila kita membaca keseluruhan karya Prof. Dr. Syed M. Naquib al-Attas yang membicarakan Syeikh Hamzah al-Fansuri, bukanlah bererti kita tidak perlu mentelaah karya-karya lain lagi, kerana apabila kita mentelaah karya-karya selainnya, terutama sekali yang masih berupa manuskrip, tentu sedikit sebanyak kita akan menemukan perkara-perkara baru yang belum dibicarakan. Karya terkini tentang Syeikh Hamzah al-Fansuri ialah buku yang diberi judul Tasawuf Yang Tertindas Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri. Buku setebal 444 halaman itu dikarang oleh Dr. Abdul Hadi W.M. dan terbitan pertama oleh Penerbit Paramadina, Jakarta, 2001. Sama ada karya-karya Prof. Dr. Syed M. Naquib al-Attas mahupun karya Dr. Abdul Hadi W.M., sedikit pun tiada menyentuh gambar Syeikh Hamzah al-Fansuri seperti yang tersebut di atas. Asal-usul dan pendidikan Prof. A. Hasymi pada penyelidikannya yang lebih awal bertentangan dengan hasil penyelidikannya yang terakhir. Penyelidikan awal, ayah Syeikh Hamzah al-Fansuri nampaknya tidak ada hubungan adik beradik dengan ayah Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri. Penyelidikan terakhir beliau mengatakan bahawa Syeikh Hamzah al-Fansuri itu adalah adik beradik dengan Syeikh Ali al-Fansuri. Syeikh Ali al-Fansuri adalah ayah kepada Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri. Penyelidikan awal yang saya maksudkan ialah yang ditulis oleh Prof. A. Hasymi dalam Rubai Hamzah Fansuri yang dapat diambil pengertian daripada kalimatnya, Ayah Hamzah pindah dari Fansur (Singkel) ke Barus untuk mengajar, kerana beliau juga seorang ulama besar, seperti halnya ayah Syeikh Abdur Rauf Fansuri yang juga ulama, sama-sama berasal dari Fansur (Singkel) (terbitan DBP, 1976, hlm. 11). Mengenai penyelidikan Prof. A. Hasymi yang menyebut Syeikh Hamzah al-Fansuri saudara Syeikh Ali al-Fansuri atau Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri adalah anak saudara kepada Syeikh Hamzah al-Fansuri, dapat dirujuk kepada kata pengantar buku Hamzah Fansuri Penyair Sufi Aceh karya Abdul Hadi W.M. Dan L. K. Ara, diterbitkan oleh Penerbit Lotkala, tanpa menyebut tempat dan tarikh. Walaupun Prof. A. Hasymi belum memberikan suatu pernyataan tegas bahawa beliau memansukhkan tulisannya yang disebut dalam Rubai Hamzah Fansuri, namun kita terpaksa

memakai penyelidikan terakhir seperti yang telah dijelaskan di atas. Dr. Azyumardi Azra dalam bukunya, Jaringan Ulama mengatakan bahawa beliau tidak yakin bahawa Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri itu benar-benar keponakan (anak saudara) Syeikh Hamzah alFansuri. Sebab, menurutnya, tidak ada sumber lain yang mendukung hal itu. Bagi saya ia masih boleh dibicarakan dan perlu penelitian yang lebih sempurna dan berkesinambungan. Sebab yang dinamakan sumber pendukung sesuatu pendapat, bukan hanya berdasarkan tulisan tetapi termasuklah cerita yang mutawatir. Kemungkinan Prof. A. Hasymi yang berasal dari Aceh itu lebih banyak mendapatkan cerita yang mutawatir berbanding penelitian barat yang banyak disebut oleh Azra. Diterima atau tidak oleh pengkaji selain beliau, terpulanglah ijtihad masing-masing orang yang berkenaan. Dalam buku Hamzah Fansuri Penyair Aceh, Prof. A. Hasymi menyebut bahawa Syeikh Hamzah Fansuri hidup sampai akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda ternyata juga ada perubahan daripada tulisan beliau yang termaktub dalam Rubai Hamzah Fansuri selengkapnya, Hanya yang sudah pasti, bahawa beliau hidup dalam masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1011 H-1589-1604 M) sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H-1607-1636 M). Yang dimaksudkan dengan ternyata juga ada perubahan, ialah pada kalimat, sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda, menjadi kalimat akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Tarikh lahir Syeikh Hamzah al-Fansuri secara tepat belum dapat dipastikan, adapun tempat kelahirannya ada yang menyebut Barus atau Fansur. Disebut lebih terperinci oleh Prof. A. Hasymi bahawa Fansur itu satu kampung yang terletak antara Kota Singkel dengan Gosong Telaga (Aceh Selatan). Dalam zaman Kerajaan Aceh Darussalam, kampung Fansur itu terkenal sebagai pusat pendidikan Islam di bahagian Aceh Selatan. Pendapat lain menyebut bahawa beliau dilahirkan di Syahrun Nawi atau Ayuthia di Siam dan berhijrah serta menetap di Barus. Drs. Abdur Rahman al-Ahmadi dalam kertas kerjanya menyebut bahawa ayah Syeikh Hamzah al-Fansuri bernama Syeikh Ismail Aceh bersama Wan Ismail dan Po Rome atau Po Ibrahim (1637- 1687 M) meninggal dunia dalam pertempuran melawan orang Yuwun (Annam) di Phanrang. Bahawa Syeikh Ismail Aceh itu pernah menjadi gabenor di Kota Sri Banoi menggantikan Gabenor Wan Ismail asal Patani yang melepaskan jabatan itu kerana usianya yang lanjut. Drs. Abdur Rahman Al-Ahmadi berpendapat baru, dengan menambah Syahrun Nawi itu di Sri Banoi Sri Vini, selain yang telah disebutkan oleh ramai penulis bahawa Syahrun Nawi adalah di Siam atau Aceh. Dalam Patani, iaitu antara perjalanan dari Patani ke Senggora memang terdapat satu kampung yang dinamakan Nawi, berkemungkinan dari kampung itulah yang dimaksudkan seperti yang termaktub dalam syair Syeikh Hamzah al-Fansuri yang menyebut nama Syahrun Nawi itu. Kampung Nawi di Patani itu barangkali nama asalnya memang Syahrun Nawi, lalu telah diubah oleh Siam hingga bernama Nawi saja. Syahrun Nawi adalah di Patani masih boleh diambil kira, kerana pada zaman dulu Patani dan sekitarnya adalah suatu kawasan yang memang ramai ulamanya. Saya telah sampai ke kampung tersebut (1992), berkali-kali kerana mencari manuskrip lama. Beberapa buah manuskrip memang saya peroleh di kampung itu. Lagi pula antara Aceh dan Patani sejak lama memang ada hubungan yang erat sekali. Walau bagaimanapun Prof. A. Hasymi menyebut bahawa Syahrun Nawi itu adalah nama dari Aceh sebagai peringatan bagi seorang Pangeran dari Siam yang datang ke Aceh pada masa silam yang bernama Syahir Nuwi, yang membangun Aceh pada zaman sebelum Islam.

Daripada berbagai-bagai sumber disebutkan bahawa Syeikh Hamzah al-Fansuri telah belajar berbagai-bagai ilmu yang memakan masa lama. Selain belajar di Aceh sendiri beliau telah mengembara ke pelbagai tempat, di antaranya ke Banten (Jawa Barat), bahkan sumber yang lain menyebut bahawa beliau pernah mengembara keseluruh tanah Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi dan Arab. Dikatakan bahawa Syeikh Hamzah al-Fansuri sangat mahir dalam ilmu-ilmu fikah, tasawuf, falsafah, mantiq, ilmu kalam, sejarah, sastera dan lain-lain. Dalam bidang bahasa pula beliau menguasai dengan kemas seluruh sektor ilmu Arabiyah, fasih dalam ucapan bahasa itu, berkebolehan berbahasa Urdu, Parsi, Melayu dan Jawa. Karya-karyanya Syeikh Hamzah al-Fansuri dapat digolongkan kepada peringkat awal dalam menghasilkan karya puisi/sastera dalam bahasa Melayu, sangat menonjol terutama sekali dalam sektor sufi. Lebih terserlah lagi kemasyhurannya kerana terjadi kontroversi yang dilemparkan oleh orangorang yang tidak sependapat dengannya yang dimulai dengan karya-karya Syeikh Nuruddin ar-Raniri, berlanjutan terus hingga sampai ke hari ini karya-karya Syeikh Hamzah al-Fansuri selalu dibicarakan dalam forum-forum ilmiah. Di bawah ini saya cuba menyenaraikan karya beliau yang telah diketahui, iaitu: <!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Syarb al- Asyiqin atau Zinatul Muwahhidin <!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Asrar al-Arifin fi Bayan Ilm as-Suluk wa at-Tauhid. <!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Al-Muntahi. <!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Rubai Hamzah Fansuri. <!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Kasyf Sirri Tajalli ash-Shibyan. <!--[if !supportLists]-->6. <!--[endif]-->Kitab fi Bayani Marifah. <!--[if !supportLists]-->7. <!--[endif]-->Syair Si Burung Pingai. <!--[if !supportLists]-->8. <!--[endif]-->Syair Si Burung Pungguk. <!--[if !supportLists]-->9. <!--[endif]-->Syair Sidang Faqir. <!--[if !supportLists]-->10. <!--[endif]-->Syair Dagang. <!--[if !supportLists]-->11. <!--[endif]-->Syair Perahu. <!--[if !supportLists]-->12. <!--[endif]-->Syair Ikan Tongkol.
Keterangan lengkap mengenai data karya Syeikh Hamzah al-Fansuri dapat dirujuk dalam buku yang saya susun berjudul Al-Marifah Pelbagai Aspek Tasawuf Nusantara, jilid 1. Senarai yang tersebut di atas merupakan maklumat yang terlengkap buat sementara dan akan ditambah lagi jika terdapat maklumat baru yang belum termuat dalam senarai di atas.

Mengakhiri artikel ini di sini perlu dijelaskan bahawa makam Syeikh Hamzah al-Fansuri telah ditemui sebagaimana ditulis oleh Dada Meuraxa: Di satu kampung yang bernama Obor

terletak di hulu Sungai Singkil, terdapat makam ulama dan pujangga Hamzah Fansuri. Makam itu bertulis: Inilah makam Hamzah Fansuri mursit Syeikh Abdurrauf = Hamzah Fansuri guru Syeikh Abdur Rauf. Mengenai tahun wafat Syeikh Hamzah al-Fansuri secara tepat selama ini tidak pernah disebut. Tetapi Azra dalam Jaringan Ulama menyebut bahawa ulama sufi itu wafat pada tahun 1016 H/1607 M. Disebutkan tahunnya itu disekalikannya membantah bahawa Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri (Al-Sinkili, menurut istilahnya) tidak mungkin bertemu dengan ulama sufi itu, menurutnya Al-Sinkili bahkan belum lahir. Seolah-olah Azra menolak mentah-mentah tahun kelahiran Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri yang disebut oleh A. Hasymi tahun 1001 H/1592 M itu, kemungkinan dia berpegang pada tahun kelahiran 1024 H/1615 M, atau pendapat lain 1620 M, sedangkan tahun kewafatan Syeikh Hamzah al-Fansuri yang disebutnya 1016 H/1607 M itu belum juga tentu betul. Wallahu alam

Anda mungkin juga menyukai