Anda di halaman 1dari 31

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

[Type text]

[Type text]

2.1 Latar Belakang Menurut Seyhan (1977), presipitasi, bagaimanapun terjadinya, biasanya dinyatakan sebagai kedalaman (jeluk) cairan yang berakumulasi sdiatas permukaan bumi seandainya tidak terjadi kehilangan. Presipitasi dapat terjadi dalam berbagai bentuk baik hujan, salju, embun, kabut dan sebagainya. Di Indonesia, hampir tidak pernah dijumpai kabut, salju, es maupun bentuk presipitasi selain hujan sehingga presipitasi sering kali diartikan sebagai curah hujan. Dalam hidrologi, pengumpulan data hidrologi (curah hujan) merupakan hal yang sangat penting. Hampir semua kegiatan pengembangan sumberdaya air memerlukan informasi hidrologi untuk dasar perencanaan dan perancangan. Akibatnya apabila informasi hidrologi yang dihasilkan tidak akurat, akan menghasilkan rancangan yang tidak akurat bahkan bisa berakibat fatal. Interpretasi terhadap fenomena hidrologi dapat dilakukan dengan cermat apabila didukung ketersediaan data yang cukup. Namun, pada kenyataannya seringkali dijumpai data stasiun pada derah tertentu dan pada tahun tertentu hilang. Hal ini bisa disebabkan faktor manusia maupun faktor alat. Jika hal itu terjadi, maka data hujan tidak bisa langsung digunakan. Untuk itu, perlu dilakukan estimasi terhadap data yang hilang dengan

membandingkan dengan stasiun disekitar stasiun yang datanya hilang tersebut. Setelah melakukan estimasi, data hujan yang sudah lengkap perlu di uji konsistensinya terhadap kumulatif data stasiun disekitarnya. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah terjadi perubahan lingkungan atau perubahan cara menakar. Uji konsistensi dilakukan dengan lengkung massa ganda. Jika hasil uji menyatakan data hujan di suatu stasiun konsisten, berarti pada daerah pengaruh stasiun tersebut tidak terjadi perubahan lingkungan dan tidak terjadi perubahan cara menakar selama pencatatan data tersebut dan sebaliknya.f

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

[Type text]

[Type text]

2.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang diatas dapat diidentifikasikan

permasalahan- permasalahan sebagai berikut: 1. Data hujan yang tidak lengkap atau hilang perlu di estimasi dengan cara membandingkan dengan stasiun hujan disekitar stasiun yang datanya hilang pada tahun yang sama 2. Perlu dilakukan uji konsistensi data untuk mengetahui apakah terjadi perubahan lingkungan atau perubahan cara menakar selama pencatatan data

2.3 Rumusan Masalah 1. Berapakah estimasi data yang hilang pada stasiun A, C dan D? 2. Bagaimana uji konsistensi data pada stasiun A,B, C, dan D?

2.4 Batasan Masalah Terdapat banyak metode yang dapat digunakan untuk mengestimasi data yang hilang. Disini, penyusun hanya membatasi estimasi pada Rational Method. Sedangkan uji konsistesi dilakukan dengan lengkung massa ganda.

2.5 Maksud dan Tujuan 1. Mengetahui estimasi data yang hilang di stasiun A, C, dan D 2. Mengetahui uji konsistensi terhadap data pada stasiun A, B, C dan D

2.6 Manfaat Dari pembahasan tentang estimasi data hujan yang hilang dan uji konsistensi data ini, diharapkan kita dapat memahami cara mengestimasi data hujan yang hilang serta dapat memahami dan melakukan uji konsistensi data.

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

[Type text]

[Type text]

2.7 Kajian Pustaka 2.7.1 Presipitasi A. Definisi Menurut Seyhan (1977), presipitasi, bagaimanapun terjadinya, biasanya dinyatakan sebagai kedalaman (jeluk) cairan yang berakumulasi diatas permukaan bumi bila seandainya tidak terdapat kehilangan. Semua air yang bergerak didalam bagian lahan dari daur hidrologi secara langsung maupun tidak langsung berasal dari presipitasi. Sebaliknya, sebagaimana dijelaskan dalam daur hidrologi, sumber dari hampir semua presipitasi adalah laut. Udara yang diserap oleh air membawa air yang diuapkan dari samudera dan bergerak hingga air tersebut mendingin sampai dibawah titik embun dan mempresipitasikan uap air sebagai hujan maupun bentuk presipitasi yang lain.

B. Tipe-Tipe Presipitasi Menurut Seyhan (1977), Tipe presipitasi dapat ditentukan atas dasar dua sudut pandangan yang berlainan. Suatu klasifikasi dapat dilakukan baik atas dasar genesis (asal mulanya) maupun atas dasar bentuk presipitasi. Klasifikasi genetik Klasifikasi ini didasarkan atas timbulnya presipitasi. Agar terjadi presipitasi, terdapat tiga faktor utama yang penting, yaitu suatu tubuh udara yang lembab, inti kondensasi (partikel debu, Kristal garam, dan lain-lain) dan suatu sarana untuk menaikkan udara yang lembab ini, sehingga kondensasi dapat berlangsung dengan cara-cara pendinginan siklonik, orografik maupun konvektif. Pendinginan siklonik terjadi dalam dua bentuk. Pendinginan siklonik non frontal terjadi bila udara bergerak dari kawasan disekitarnya ke kawasan suatu tekanan rendah yang ada. Dalam pekerjaan itu, udara tersebut memindahkan udara bertekanan rendah ke atas, mendingin dan

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

[Type text]

[Type text]

menghasilkan presipitasi berintensitas sedang ( 5 hinga 15 cm) tetapi berlangsung cukup lama (24 sampai 72 jam). Pendinginan siklonik frontal terjadi bila massa udara yang panas naik diatas suatu tepi frontal yang dingin. Laju presipitasi yang terjadi adalah sedang dan seringkali berlangsung lama. Pendinginan orografik terjadi oleh aliran udara samudera yang lewat di atas tanah dan dibelokkan ke atas oleh gunung-gunung di pantai. Sebagian besar presipitasi jatuh pada sisi lereng arah datangnya angin.Jumlah presipitasi yang lebih sedikit disebut bayangan hujan, terjadi pada sisi kemiringan lereng karena hilangnya sebagian besar lengas oleh gunung-gunung yang tinggi. Pendinginan konvektif terjadi apabila udara panas oleh pemanasan permukaan, naik dan mendingin untuk membentuk awan dan setelah itu presipitasi. Presipitasi konvektif merupakan presipitasi yang yang berlangsung sangat singkat (jarang melebihi 1 jam) namun berintensitas sangat tinggi. Presipitasi total dapat berjumlah hingga 8 atau 10 cm.

Gambar 2.1 Tipe Presipitasi berdasarkan klasifikasi genetik Sumber: http://dc402.4shared.com

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA Klasifikasi Bentuk

[Type text]

[Type text]

Suatu perbedaab sederhana tetapi mendasar dapat diadakan antara presipitasi vertikal dan horizontal. Presipitasi vertikal jatuh diatas permukaan bumi dan diukur oleh penakar hujan. Presipitasi horizontal dibentuk diatas permukaan bumi dan tidak diukur oleh penakar hujan. Presipitasi vertikal : a. Hujan : Air yang jatuh dalam bentuk tetesan yang

dikondensasikan dari uap air di atmosfer.Ini merupakan bentuk yang paling penting b. c. Hujan gerimis Salju : Hujan dengan tetesan yang sangat kecil : Kristal-kristal kecil air yang membeku yang

secara langsung dibentuk dari uap air di udara bila suhunya pada saat kondensasi kurang dari 0C d. Hujan batu es : Gumpalan es yang kecil, kebulat-bulatan

yang dipresipitasikan selama hujan badai e. Sleet : Campuran hujan dan salju. Hujan ini disebut

juga glaze (salju basah) Presipitasi Horizontal : a. Es b. Kabut : Salju yang sangat dipadatkan : Uap air yang dikondensasikan menjadi partikel-

partikel air halus di dekat permukaan tanah c. Embun beku : Bentuk kabut yang membeku diatas permukaan tubuh yang dingin (permukaan tanah dan vegetasi) terutama pada malam hari. Embun ini menguap pada pagi hari. d. Kondensasi pada es dan dalam tanah : Kondensasi juga

menghasilkan presipitasi dari udara basah hangat yang mengalir diatas lembaran es dan pada iklim sedang di dalam beberapa sentimeter bagian atas tanah.

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

[Type text]

[Type text]

Di Indonesia hampir tidak pernah dijumpai kabut, salju dan es, maka presipitasi seringkali diartikan sebagai curah hujan (Montarcih : 2010).

2.7.2 Hujan Menurut Soemarto (1986), salah satu bentuk presipitasi yang terpenting di Indonesia adalah hujan. Jika kita membicarakan data hujan ada 5 buah unsur yang harus ditinjau, yaitu : a. Intensitas (i), adalah laju hujan atau tinggi air per satuan waktu. Misalnya: mm/menit, mm/jam, mm/hari b. Lama waktu / duration (t), adalah lamanya curah hujan (durasi) dalam menit atau jam c. Tinggi hujan (d), adalah jumlah atau banyaknya hujan yang dinyatakan dalam ketebalan air diatas permukaan datar, dalam mm d. Frekuensi, adalah frekuensi kejadian, biasanya dinyatakan dengan waktu ulang (return period) T, misalnya sekali dalam T tahun. e. Luas, adalah luas geografis curah hujan

2.7.3 Pengukuran Curah Hujan 2.7.3.1 Persyaratan Penakar Hujan Menurut Seyhan (1977), Tujuan utama setiap metode pengukuran presipitasi adalah untuk mendapatkan contoh yang benar-benar mewakil curah hujan di seluruh kawasan tempat pengukuran dilakukan . Karena itu, dalam memasang suatu penakar presipitasi haruslah dijamin bahwa : 1. Percikan tetesan hujan kedalam dan keluar penampung harus dicegah 2. Kehilangan air dari reservoir oleh penguapan haruslah seminimal mungkin 3. Jika ada, salju haruslah melebur

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

[Type text]

[Type text]

Tentunya, pemasangan penakar hujan adalah sangat penting untuk pengukuran yang benar-benar mewakili. Beberapa persyaraan disajikan dibawah ini. 1. Untuk memperkecil pengaruh turbulensi angin, tinggi penakar hujan harus dipertahankan seminimal mungkin. Sebaliknya, penakar hujan harus ditetapkan cukup tinggi agar tertutup oleh salju. Penakar hujan setinggi tanah harus dilindungi dari gangguan hewan. 2. Bilamana mungkin, mulut penakar haruslah paralel dengan permukaan tanah. Pada daerah yang berbukit, dimana penakar kerap kali harus ditempatkan diatas bukit, ketelitian tangkapan penakar yang baku dapat ditingkatkan dengan memiringkannya tegak lurus permukaan tanah. 3. Suatu lokasi yang terlindung dari kekuatan penuh angin harus dipilih. Akan tetapi, objek disekitarnya tidak boleh lebih dekat dengan penakar yang melebihi suatu jarak yang sama dengan n kali tinggi penakar hujan. Suatu cara aternatif adalah dengan membangun perisai angin disekitar penakar. Pemilihan suatu tipe penakar hujan tertentu dan lokasinya di suatu tempat bergantung pada beberapa faktor. Diantaranya disebutkan dibawah ini (Seyhan, 1977): 1. Daat dipercaya (ketelitian pengukuran) 2. Tipe data yang diperlukan (menit, harian, dan lain-lain) 3. Tipe presipitasi yang akan diukur 4. Dapat diperbandingkan dengan hujan lain yang ada 5. Biaya instalasi dan perawatannya 6. Intensitas perawatan 7. Mudahnya perawatan (deteksi kebocoran) 8. Mudahnya pengamatan

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA 9. Ganguan oleh hewan dan manusia

[Type text]

[Type text]

2.7.3.2 Alat Pengukur Curah Hujan Dalam praktek kita kenal 2 macam alat untu mengukur curah hujan, yaitu penakar hujan manual (Manual raingauge) dan otomatis (Automatic raingauge). Penakar Hujan Manual (Manual raingauge)). a. Penakar hujan biasa Terdiri atas corong dan penampung yang diletakkan pada ketinggian tertentu seperti tertera pada gambar 2.2 Menurut Soemarto (1986), Masing-masing negara mempunyai standard dalam menentukan luas permukaan corong A. Ada yang 2 dm, dan ada pula yang 4 dm; di Amerika Serikat 8.

A corong penampung h keran gela ukur

(a) Gambar 2.2 Penakar hujan biasa (a) Sumber : http://dc313.4shared.com (b) Sumber : Soemarto (1986)

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA Banyaknya penangkapan akan berkurang

[Type text]

[Type text]

dengan

bertambahnya tinggi h, ini disebabkan karena pengaruh turbulensi angin. h = 1,5 0 m, penangkapan 84-96 % h = 0,4 0 m, penangkapan 93-97 % h = 0,0 0 m, penangkapan 100 % Air hujan yang terkumpul di dalam penampung diukur dengan gelas pengukur. Misalnya volume air hujan yang terkumpul di dalam gelas penampung selama 24 jam sebesar V liter, maka tinggi hujan d dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut;

(d dijadikan mm)

b. Penakar hujan rata tanah Dari (a) didapat kenyataan bahwa makin kecil h, makin kecil pula pengaruh turbulensi angin terhadap penangkapan hujan oleh alat penakar hujan. Atas kenyataan ini maka diciptakanlah alat penakar hujan rata tanah (Soemarto, 1986).

grill

brush

brush grill corong penampung

Gambar 2.3 Penakar hujan rata tanah Sumber : Soemarto (1986)

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

[Type text]

[Type text]

Disekitar alat penakar hujan diberi grill dan brush. Grill adalah semacam sarangan yang terbuat dari logam yang gunanya untuk mencegah tumbuhnya rumput atau tanaman pengganggu, sedangkan brush yang merupakan lapisan lunak terbuat dari pasir atau sintel (bubukan sisa pembakaran batu bara), gunanya untuk mencegah adanya percikan (cipratan) air agar tidak masuk kedalam penakar. Luas permukaan corong A dibuat dengan luas yang sama dengan luas

permukaan corong penakar biasa. Jenis ini baik digunakan sebagai pembanding terhadap penakar biasa.

c. Penakar hujan Inggris Bentuknya merupakan kombinasi antara penakar hujan biasa dan penakar hujan tanah. Penangkapannya lebih baik dibandingkan dengan penakar hujan biasa, meskipun pengaruh turbulensi angin tidak dapat dihilangkan.

3.0

tembok

h= 0,4

Gambar 2.4 Penakar hujan Inggris Sumber : Soemarto, 1986

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA d. Interim Reference Precipitation Gauge

[Type text]

[Type text]

Perisai nipher

Gambar 2.5 Interim Reference Precipitation Gauge Sumber : Soemarto, 1986 Penakar ini dilengkapi dengan perisai Nipher yang terbuat dari logam yang digantung mengelilingi penakar. Penakar tersebut mempunyai ukuran tinggi h = 1,00 m dan luas A = 128 cm. Penakar ini disulkan oleh WMO utuk digunakan bagi keperluan eksperimen. Sebegitu jauh diketahui bahwa penangkapannya menunjukkan 6,4 % lebih kecil daripada kalau dipakai penakar rata tanah. Perisai Nipher dimaksudkan untuk mengurangi pengaruh turbulensi angin (Soemarto, 1986).

Penakar Hujan Otomatis (Automatic raingauge) Penakar hujan otomatis atau biasa disebut pecatat hujan (recording gauge) dapat berkerja secara otomatis. Dengan alat ini, dimungkinkan pencatatan tinggi hujan setiap saat sehingga intensitas hujan pada saat tertentu dapat diketahui pula. Terdapat beberapa tipe penakar hujan otomatis, diantaranya:

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA a. Pencatat Jungkit (Tipping Bucket)

[Type text]

[Type text]

Gambar 2.6 Pencatat Jungkit Sumber : http://dc313.4shared.com/doc/EsBE3blm/preview.html Bucket, seperti terlihat pada gambar 2.6 dibagi dalam dua ruang yang diatur sedemikian rupa. Jika satu terisi kemudian menjungkit menadi kosong, lalu menyebabkan ruang lain berada di posisi akan di isi oleh corong. Setiap jungkit menunjukkan suatu tinggi hujan.

Pencatatannya dilakukan secara otomatis dan bertahap.

b. Pencatat Pelampung (Float Gauge)

2 5

Gambar 2.7 Pencatat Pelampung Sumber : Soemarto, 1986

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA Keterangan : 1. Corong 2. Penampung 3. Pelampung 4. Drum pencatat 5. Sifon

[Type text]

[Type text]

Hujan yang tertangkap oleh corong 1 tercurah kedalam penampung 2. Dengan terisinya penampung 2, maka pelampung 3 akan terangkat. Pelampung 3 dihubungkan dengan alat penulis yang dapat membuat grafik pada drum pencatat 4 yang diputar dengan pertolongan pegas jam. Jika pencatatannya mencapai d = 10 mm, air dalam penampung akan tersedot keluar oleh sifon 5, sehingga penampung menjadi kosong yang sekaligus membawa alat penulis turun ke posisi nol. Dengan cara ini kertas pencatat yang dililitkan pada drum pencatat dapat diganti setiap minggu atau setiap bulan, tergantung kepada tipe pencatat itu, tipe mingguan atau tipe bulanan. Dari hasil pencatatan tersebut,dapat dibuat lengkung massa.

2.7.3.3 Frekuensi Penakaran Menurut Soemarto (1986), frekuensi penakaran atau pengamatan curah hujan dapat dilakukan sebanyak; a. Sekali dalam sehari, misalnya pada setiap jam 7 atau 8 pagi hari. Banyaknya penangkapan air hujan diukur dengan gelas pengukur. b. Sekali dalam seminggu atau sebulan, dilakukannya dengan alat pencatat otomatis dengan setiap kali mengganti kertasnya. Meskipun hanya dilakukan sekali dalam seminggu atau sebulan, dari hasil pencatatannya dapat dibaca tinggi hujan setiap saat. Jika alat pencatatnya berupa punched tape yang dihubungkan dengan

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

[Type text]

[Type text]

komputer di suatu pusat komputer, maka dalam setiap selang waktu pendek data hujan dapat disimpan dalam memori komputer.

2.3.4 Interprestasi Data Hujan Untuk menghindari kesimpulan-kesimpulan yang keliru, kiranya penting untuk memberikan interprestasi yang tepat terhadap data hujan yang sering tak dapat diterima begitu saja. Mengestimasi Data Hujan yang Hilang Menurut Martha, data yang ideal adalah data yang untuk dan sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Tetapi dalam praktek sangat sering dijumpai data yang tidak lengkap. Hal ini dapat disebabkan beberapa hal, antaralain: 1. Kerusakan alat 2. Kelalaian petugas 3. Penggantian alat 4. Bencana (Pengrusakan) dan lain sebagainya Untuk melengkapi data tahunan yang hilang dapat digunakan beberapa cara; Normal Ratio Method Syarat untuk dapat menggunakan cara ini adalah tinggi hujan ratarata tahunan pos penakar yang datanya hilang harus diketahui, disamping dibantu dengan tinggi hujan rata-rata tahunan dan data pada saat data hilang pada pos-pos penakar disekitarnya.

= 3( . A + . B +

. C

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

[Type text]

[Type text]

Jika jumlah pos penakar untuk membantu menetukan data X yang hilang adalah sebanyak n, maka

. A

Dengan: PX NX

: hujan yang diperkirakan pada stasin X : Hujan tahunan normal/ yang diketahui pada stasiun X

NA,NB,Nc : Hujan tahunan normal yang relevan dengan NX pada stasiun A,B,C

Cara Inversed Square Distance


1 1 1 .+ .+ . ( 2 ( 2 ( 2 1 1 + +1/( ( 2 ( 2

PX = (

Dengan PX : tingi hujan yang dipertanyakan PA<PB PC : tinggi hujan pada stasiun disekitarnya dxA,dxB,dXC: Jarak stasiun X terhadap masing-masing stasiun A,B,C Trend Menurut Soemarto (1986), trend adalah perubahan gradual (perubahan naik atau turun) faktor iklim dan hidrologi terhadap waktu. Trend dapat digambarkan jika kita telah mempunyai hasil pengamatan (Penakaran/pencatatan) dalam jangka panjang (long term observation). Adanya oksilasi, siklis atau bentuk lain dalam trend dapat dihaluskan

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

[Type text]

[Type text]

dengan pertolongan harga rata-rata progresip atau harga rata-rata bergerak yang ditentukan.

Lengkung Massa Ganda Jika data hujan tidak konsisten yang diakibatkan oleh berubahnya atau terganggunya lingkungan disekitar tempat dimana penakar Hujan dipasang, misalnya terlindung oleh pohon, terletak berdekatan dengan gedung tinggi, perubahan cara penakaran dan sebagainya, maka seolaholah terjadi penyimangan trend semula (Soemarto, 1986) Hal tersebut dapat diselidiki dengan menggunakan lengkung massa ganda seperti terlihat pada gambar 2.8

Gambar 2.8 Kurva massa ganda Sumber : http://insinyurpengairan.wordpress.com

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

[Type text]

[Type text]

Jika tidak terdapat perubahan lingkungan, maka akan didapat garis lurus. Tetapi, karena pada suatu tahun terjadi perubahan lingkungan maka akan didapat garis patah. Penyimpangan tiba-tiba dari garis semula menunjukan adanya perubahan tiba-tiba dalam pengamatan. Jadi, perubahan tersebut bukan disebabkan oleh perubahan iklim atau keadaan hidrologis yang dapat menyebabkan adanya perubahan trend. Menurut Montarcih (2010), cara melakukan uji konsistensi adalah sebagai berikut: Misalkan yang akan diuji data hujan di pos Y, maka data hujan tahunan komulatif di pos Y dibandingkan secara grafis dengan harga komulatif dari rerata hujan tahunan dari pos A,B, C dan D dan seterusnya yang lokasinya ada disekitar X. Data hujan tahunan di X dan sekitarnya minimal 10 tahun. Kemudian data digambarkan pada kertas grafik (millimeter) dengan data hujan komulatif pos Y sebagai sumbu tegak dan komulatif dari rerata hujan tahunan dari pos sekitarnya sebagai sumbu mendatar. Dari perubahan pola (trend) pasangan data itu dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Jia pola yang terjadi berupa garis lurus dan tidak terjadi patahan arah garis itu, maka data hujan pos Y adalah konsisen,dan sebaliknya 2. Jia pola yang terjadi berupa garis lurus dan terjadi patahan arah garis itu, maka data hujan pos Y adalah tidak koreksi. Pengujian dengan metode ini memberikan hasil yang baik, jika dalam suatu DAS terdapat banya stasiun hujan, karena dengan jumlah stasiun hujan yang banyak akan memberikan nilai rata-rata hujan tahunan sebagai pembanding terhadap stasiun yang di uji lebih dapat mewakili secara baik. Oleh karena itu, jumlah minimal stasiun hujan untuk pengujian ini adalah 3 stasiun dan jika hanya terdapat 2 stasiun hujan konsisten,dan harus dilakukan

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA atau bahkan

[Type text]

[Type text]

stasiun hujan maka tidak dapat dilakukan pengujan

konsistensi data hujan dan oleh karenanya kita asumsikan bahwa data yang ada adalah konsisten (http://insinyurpengairan.wordpress.com, diakses pada 18 Mei 2013)

2.8 Analisa Data 2.8.1 Data Hujan Tabel 2.1 Data Hujan Harian Maksimum Stasiun A, B, C, dan D
Tahun A (mm) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 232.0 326.0 285.0 251.0 219.0 303.0 265.0 192.0 256.0 343.0 313.0 Stasiun Hujan B (mm) 287.9 220.4 309.7 270.8 238.5 208.1 287.9 251.8 182.4 243.2 325.9 2974 C (mm) 272.7 208.80 293.4 256.5 225.9 197.1 272.7 238.5 172.8 230.4 281.7 D (mm) 257.6 197.2 277.1 242.3 213.4 257.6 225.3 163.20 217.6 291.6 266.1

Sumber : Data Iklim, 2013 Keterangan : Data yang hilang pada stasiun A

Data yang hilang pada stasiun B

Data yang hilan pada stasiun C

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

[Type text]

[Type text]

2.8.2

Perhitungan Esimasi Data Hujan yang Hilang Dari data hujan diatas, dihitung data hujan yang hilang pada

setiap stasiun menggunakan metode perbandingan normal (Normal Ratio).

2.8.2.1

Data yang hilang di Stasiun A

Data yang hilang pada stasiun A adalah data pada tahun 2000 Tabel 2.2 Perhitungan Data Hujan yang Hilang di Stasiun A Stasiun Hujan Tahun A B C (mm) (mm) (mm) 2000 287.9 272.7 2001 232.0 220.4 208.80 2002 326.0 309.7 293.4 2003 285.0 270.8 256.5 2004 251.0 238.5 225.9 Jumlah 1094.0 1039.4 984.6 Sumber : Hasil Perhitungan, 2013 = (( )+(

D (mm) 257.6 197.2 277.1 242.3 213.4 930.0

)+(

))

= 303 mm Jadi, data yang hilang di stasiun A pada tahun 2000 adalah 303 mm 2.8.2.2 Data yang hilang di Stasiun D

Data yang hilang pada stasiun D adalah data pada tahun 2005 Tabel 2.3 Perhitungan Data Hujan yang Hilang di Stasiun D Tahun A (mm) 303.0 Stasiun Hujan B C (mm) (mm) 287.9 272.7

2000

D (mm) 257.6

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

[Type text]

[Type text]

Lanjutan tabel 2.3 2001 232.0 220.4 208.80 2002 326.0 309.7 293.4 2003 285.0 270.8 256.5 2004 251.0 238.5 225.9 2005 219.0 208.1 197.1 Jumlah 1397.0 1327.3 1257.3 Sumber : Hasil Perhitungan, 2013 = (( )+( 197.2 277.1 242.3 213.4 1187.6

)+(

))

= 186,18 mm Jadi, data yang hilang di stasiun D pada tahun 2005 adalah 186,18 mm 2.8.2.3 Data yang hilang di Stasiun D Data yang hilang pada stasiun D adalah data pada tahun 2010 Tabel 2.4 Perhitungan Data Hujan yang Hilang di Stasiun C Stasiun Hujan A B C (mm) (mm) (mm) 2000 303.0 287.9 272.7 2001 232.0 220.4 208.80 2002 326.0 309.7 293.4 2003 285.0 270.8 256.5 2004 251.0 238.5 225.9 2005 219.0 208.1 197.1 2006 303.0 287.9 272.7 2007 265.0 251.8 238.5 2008 192.0 182.4 172.8 2009 256.0 243.2 230.4 2010 343.0 325.9 Jumlah 2632.0 2500.7 2368.8 Sumber : Hasil Perhitungan, 2013 Tahun

D (mm) 257.6 197.2 277.1 242.3 213.4 186.18 257.6 225.3 163.20 217.6 291.6 2237.5

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA = (( )+( )+(

[Type text]

[Type text]

))

= 308,7 mm Jadi, data yang hilang di stasiun C pada tahun 2010 adalah 308,7 mm 2.8.2.4 Kesimpulan Dengan menggunakan metode perbandingan normal (Normal Ratio), diperoleh: data yang hilang di stasiun A pada tahun 2000 adalah 303 mm data yang hilang di stasiun D pada tahun 2005 adalah 186,18 mm data yang hilang di stasiun C pada tahun 2010 adalah 308,7 mm Tabel 2.5 Data Hujan Stasiun A, B, C, dan D (2000-2011) Tahun A (mm) Stasiun Hujan B (mm) C (mm) 272.7 208.80 293.4 256.5 225.9 197.1 272.7 238.5 172.8 230.4 308.7 281.7 D (mm) 257.6 197.2 277.1 242.3 213.4 186.2 257.6 225.3 163.20 217.6 291.6 266.1

2000 303.0 287.9 2001 232.0 220.4 2002 326.0 309.7 2003 285.0 270.8 2004 251.0 238.5 2005 219.0 208.1 2006 303.0 287.9 2007 265.0 251.8 2008 192.0 182.4 2009 256.0 243.2 2010 343.0 325.9 2011 313.0 297.4 Sumber : Hasil Perhitungan, 2013

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

[Type text]

[Type text]

2.8.3

Perhitungan Uji Konsistensi Data hujan di stasiun A, B, C, dan D yang sudah lengkap,perlu di uji

kekonsistensinya terlebih dahulu sebelum digunakan lebih lanjut. Berikut disajikan uji konsistensi data hujan di stasiun A, B, C, dan D .

2.8.3.1 Perhitungan Uji Konsistensi data di stasiun A

Tabel 2.6 Uji Konsistensi Data di Stasiun A terhadap data B, C, dan D Stasiun Hujan Tahun A (mm) 2011 2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004 2003 2002 2001 2000 313.0 343.0 256.0 192.0 265.0 303.0 251.0 251.0 285.0 326.0 232.0 303.0 (mm) 313.0 656.0 912.0 1104.0 1369.0 1672.0 1923.0 2174.0 2459.0 2785.0 3017.0 3320.0 B, C, D (mm) 281.73 308.74 230.40 172.80 308.71 272.73 197.13 225.93 256.53 293.40 208.80 272.73 B, C, D (mm) 281.73 590.47 820.87 993.67 1302.38 1575.11 1772.24 1998.17 2254.70 2548.10 2756.90 3029.64 Komulatif A Rerata Komulatif

Sumber : Hasil Perhitungan, 2013

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA


3500 3000 Komulatif stasiun A 2500 2000 1500 1000

[Type text]

[Type text]

500
0 0

46

500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 Komulatif rerata stasiun B, C, D

Gambar 2.9 Grafik Uji Konsistensi Stasiun A terhadap B, C, dan D Berdasarkan uji konsistensi data di stasiun A terhadap stasiun B, C, D yang telah dilakukan, diperoleh garis lurus yang mendekati titik warna hijau. Garis lurus tersebut mempunyai besar sudut yang mendekati nilai sudut 45,yaitu 46. Sudut 45 merupakan parameter dalam uji konsistensi. Hal tersebut menunjukkan bahwa data pada stasiun A konsisten terhadap data pada stasiun B, C, dan D.

2.8.3.2 Perhitungan Uji Konsistensi data di stasiun B Tabel 2.7 Uji Konsistensi Data di Stasiun B terhadap data A, C, dan D Stasiun Hujan Tahun 2011 2010 2009 2008 B (mm) 297.4 325.9 243.2 182.4 Komulatif B (mm) 297.4 623.3 866.5 1048.9 Rerata A, C, D (mm) 286.93 314.43 234.67 176.00 Komulatif A, C, D (mm) 286.9 601.4 836.0 1012.0

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

[Type text]

[Type text]

Lanjutan tabel2.7 2007 251.8 1300.7 2006 287.9 1588.6 2005 208.1 1796.7 2004 238.5 2035.2 2003 270.8 2306.0 2002 309.7 2615.7 2001 220.4 2836.1 2000 287.9 3124.0 Sumber : Hasil Perhitungan, 2013 242.93 277.77 200.77 230.10 261.27 298.83 212.67 277.77 1255.0 1532.7 1733.5 1963.6 2224.9 2523.7 2736.4 3014.1

3500 3000 Komulatif stasiun B 2500 2000 1500

1000
500 0 0 500 1000 15002000 250030003500 Komulatif rerata stasiun A, C, D

43

Gambar 2.10 Grafik Uji Konsistensi Stasiun B terhadap A, C, dan D Berdasarkan uji konsistensi data di stasiun B terhadap stasiun A, C, D yang telah dilakukan, diperoleh garis lurus yang mendekati titik warna biru. Garis lurus tersebut mempunyai besar sudut yang mendekati nilai sudut 45, yaitu 43. Sudut 45 merupakan parameter dalam uji konsistensi. Hal tersebut menunjukkan bahwa data pada stasiun B konsisten terhadap data pada stasiun A, C, dan D.

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

[Type text]

[Type text]

2.8.3.3 Perhitungan Uji Konsistensi data di stasiun C Tabel 2.8 Uji Konsistensi Data di Stasiun C terhadap data A, B, dan D Tahun Stasiun Hujan C (mm) Komulatif C (mm) Rerata A, B, D (mm) 292.17 320.17 238.93 179.20 247.37 282.83 204.43 234.30 266.03 304.27 216.53 282.83 Komulatif A, B, D (mm) 292.2 612.3 851.3 1030.5 1277.8 1560.7 1765.1 1999.4 2265.4 2569.7 2786.2 3069.1

2011 281.7 281.7 2010 308.7 590.4 2009 230.4 820.8 2008 172.8 993.6 2007 238.5 1232.1 2006 272.7 1504.8 2005 197.1 1701.9 2004 225.9 1927.8 2003 256.5 2184.3 2002 293.4 2477.7 2001 208.8 2686.5 2000 272.7 2959.2 Sumber : Hasil Perhitungan, 2013

3500 3000 Komulatif stasiun 2500 2000 1500 1000 500 0 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 Komulatif rerata stasiun A, B, D

43

Gambar 2.11 Grafik Uji Konsistensi Stasiun C terhadap A, B, dan D

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

[Type text]

[Type text]

Berdasarkan uji konsistensi data di stasiun C terhadap stasiun A, B, D yang telah dilakukan, diperoleh garis lurus yang mendekati titik warna oranye. Garis lurus tersebut mempunyai besar sudut yang mendekati nilai sudut 45, yaitu 43. Sudut 45 merupakan parameter dalam uji konsistensi. Hal tersebut menunjukkan bahwa data pada stasiun C konsisten terhadap data pada stasiun A, B dan D.

2.8.3.4 Perhitungan Uji Konsistensi data di stasiun D Tabel 2.8 Uji Konsistensi Data di Stasiun C terhadap data A, B, dan D Tahun Stasiun Hujan D (mm) Komulatif D (mm) Rerata A, B, C (mm) 297.37 325.87 243.20 182.40 251.77 287.87 208.07 238.47 270.77 309.70 220.40 287.87 Komulatif A, B, C (mm) 297.4 623.2 866.4 1048.8 1300.6 1588.5 1796.5 2035.0 2305.8 2615.5 2835.9 3123.7

2011 266.1 266.1 2010 291.6 557.7 2009 217.6 775.3 2008 163.2 938.5 2007 225.3 1163.8 2006 257.6 1421.4 2005 186.2 1607.6 2004 213.4 1821.0 2003 242.3 2063.3 2002 277.1 2340.4 2001 197.2 2537.6 2000 257.6 2795.2 Sumber : Hasil Perhitungan, 2013
3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 0 500 1000

Komulatif stasiun

42
Komulatif rerata stasiun A, B, D
1500

2000

2500

3000

3500

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

[Type text]

[Type text]

Berdasarkan uji konsistensi data di stasiun D terhadap stasiun A, B, C yang telah dilakukan, diperoleh garis lurus yang mendekati titik warna ungu. Garis lurus tersebut mempunyai besar sudut yang mendekati nilai sudut 45, yaitu 43. Sudut 45 merupakan parameter dalam uji konsistensi. Hal tersebut menunjukkan bahwa data pada stasiun D konsisten terhadap data pada stasiun A, B dan C.

2.8.3.5 Kesimpulan Berdasarkan uji konsistensi data di stasiun A, B, C dan D yang telah dilakukan, diperoleh garis lurus yang mendekati titik pertemuan komulatif data stasiun yang di uji dengan komulatif rerata data stasiun disekitarnya. Garis lurus tersebut mempunyai besar sudut yang mendekati nilai sudut 45, dimana sudut 45 merupakan parameter dalam uji konsistensi. Hal tersebut menunjukkan bahwa data stasiun A, B, C dan D merupakan data yang konsisten.

Daftar Bacaan Anonim. 2011. Analisis Kurva Massa Ganda (Double Mass

Curve Analysis).(online).

(http://insinyurpengairan.wordpress.com,

diakses tanggal 18 Mei 2013) Limantara, Montarcih L. 2010. Hidrologi Praktis. Lubuk Agung : Bandung Matha, Joyce dan Adidarma, Wanny. Mengenal Dasar-Dasar Hidrologi.Nova Seyhan, Ersin.1977. Dasar-Dasar Hidrologi. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta Soemarto.1986. Hidroloi Teknik. Usaha Nasional : Surabaya

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

[Type text]

[Type text]

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

[Type text]

[Type text]

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

[Type text]

[Type text]

[Type text]

TEKNIK PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

[Type text]

[Type text]

Anda mungkin juga menyukai