Anda di halaman 1dari 18

Panduan Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik

PANDUAN DIAGNOSIS DAN PENGELOLAAN LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

Pendahuluan Lupus eritematosus sistemik atau lebih dikenal dengan nama systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit kronik inflamatif otoimun yang belum diketahui etiologinya dengan manifestasi klinis beragam serta berbagai perjalanan klinis dan prognosisnya.1-9 Penyakit ini ditandai oleh adanya periode remisi dan episode serangan akut dengan gambaran klinis yang beragam berkaitan dengan berbagai organ yang terlibat. SLE merupakan penyakit yang kompleks dan terutama menyerang wanita pada usia reproduksi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan berperan dalam proses patofisiologi penyakit SLE.1-5,8 Prevalensi SLE di Amerika adalah 1:1.000 dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1.10 Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi. Belum terdapat data epidemiologi yang mencakup semua wilayah Indonesia, namun insidensi SLE dilaporkan cukup tinggi di Palembang. Kesintasannya (survival) SLE berkisar antara 85% dalam kurun waktu 10 tahun pertama dan 65% setelah 20 tahun menderita SLE.1-6,11-13 Mortalitas akibat penyakit SLE ini 3 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum.11 Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktifitas penyakit dan infeksi, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular ateroslerotik. Mengingat perjalanan penyakit SLE sangat beragam dan kematian yang tinggi serta prevalensi penyakit infeksi di Indonesia masih merupakan penyebab kematian utama, maka diperlukan pengenalan dini SLE serta penatalaksanaan yang tepat. Konsensus ini bertujuan agar penyakit SLE lebih mudah didiagnosis di perifer oleh sejawat dokter umum dan sebagai panduan penatalaksanaan oleh semua dokter atau profesi lain (misalnya, pekerja sosial) yang terlibat dengan pengobatan SLE dan dikenal dengan sebutan bala bantuan SLE. Profesional lain yang mungkin terlibat dengan penyakit SLE ini adalah pekerja sosial, psikolog atau psikiater, ahli oftalmologi, ahli dermatologi, ahli nefrologi, ahli rehabilitasi medik, ahli penyakit jantung, ahli bedah ortopedi dan tentunya ahli penyakit reumatik. Diagnosis Diagnosis mengacu pada kriteria yang dibuat oleh the American College of Rheumatology revisi tahun 1997.7,9 Diagnosis dini tidaklah mudah mengingat dinamisnya perjalan penyakit SLE ini sehingga seringkali bermanifestasi sebagai penyakit lain misalnya Artritis reumatoid, gelomerulonefritis dan sebagainya. Oleh karenanya ketepatan diagnosis dan pengenalan dini akan penyakit SLE menjadi penting. Di bawah ini dicantumkan kewaspadaan akan penyakit SLE terutama bagi dokter umum. Kewaspadaan Akan Penyakit SLE Kecurigaan akan penyakit SLE bila dijumpai 2 (dua) atau lebih keterlibatan organ sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:10

Panduan Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

jender wanita pada rentang usia reproduksi. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat badan. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, SLEi membrana mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis. Ginjal: hematuria, proteinuria, cetakan, sindroma nefrotik Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, SLEi parenkhim paru. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali) Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversa, neuropati kranial dan perifer.

Bagi dokter umum yang menemukan gejala-gejala di atas dimintakan untuk mewaspadai kemungkinan penyakit SLE (lihat sistim rujukan) Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemika
Kriteria Ruam malar Ruam diskoid Batasan Eritema menetap, datar atau menonjol, pada malar eminence dan lipat nasolabial. Bercak eritema menonjol dengan gambaran SLEi keratotik dan sumbatan folikular. Pada SLEi lanjut dapat ditemukan parut atrofik. Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa. Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa. Melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh rasa nyeri, bengkak dan efusi a. Pleuritis - riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi pleura. atau b. Perikarditis - bukti rekaman EKG atau pericardial friction rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi perikardial. a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ atau b. Cetakan selular-dapat eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau gabungan. Gangguan neurologi a. Kejang - tanpa disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik, misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit. atau b. Psikosis - tanpa disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik, misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit. Gangguan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulosis atau b. Leukopenia - <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau c. Limfopenia - <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau d. Trombositopenia - <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan. Gangguan imunologikb a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal atau b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm atau c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas: 1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM, 2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan

Fotosensitifitas

Ulkus mulut Artritis non-erosif Pleuritis atau perikarditis

Gangguan renal

Panduan Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik

metoda standard, atau 3) hasil tes positif palsu paling tidak selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponemal. Antibodi antinuklear positif (ANA) Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat.

Keterangan: a. Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu. b. Modifikasi kriteria ini dilakukan pada tahun 1997. Diagnosis SLE ( sensitifitas 85% dan spesifisitas 95% ) bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan gejala lain tidak ada, maka bukan SLE. Diagnosis Banding Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan diagnosis akibat gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang serupa, yaitu:10, 14 a. b. c. d. e. f. g. h. Undifferentiated connective tissue disease Sindroma Sjgren Sindroma antibodi antifosfolipid (APS) Fibromialgia (ANA positif) Purpura trombositopenik idiopatik Lupus imbas obat Artritis reumatoid dini Vaskulitis

Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE Penyakit SLE dapat ringan atau berat sampai mengancam nyawa. Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:10 1. 2. 3. 4. Diagnosis SLE telah ditegakkan atau sangat dicurigai Secara klinis tenang Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit. 5. Tidak ditemukan tanda efek samping atau toksisitas pengobatan Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:10 a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna. b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru, fibrosis interstisial, shrinking lung. c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika. d. Ginjal: nefritis persisten, RPGN (rapidly progressive glomerulo nephritis), sindroma nefrotik.

Panduan Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik

e. Kulit: vaskulitis, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister). f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi. g. Otot: miositis. h. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3), trombositopenia < 50.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri. i. Konstitusional: demam tinggi yang persisten tanpa bukti infeksi. Penilaian Aktifitas Penyakit SLE Perjalanan penyakit SLE yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi, memerlukan pemantauan yang ketat akan aktifitas penyakitnya. Untuk itu dapat digunakan berbagai indeks aktifitas penyakit seperti SLEDAI, MEX-SLEDAI, SLAM, BILAG Score, LAM-6 dsb. Dianjurkan untuk menggunakan MEX-SLEDAI atau SLEDAI. MEX-SLEDAI lebih mudah diterapkan pada pusat kesehatan primer yang jauh dari tersedianya fasilitas laboratorium canggih. Lihat lampiran 1.15 Pengelolaan Tujuan Meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien SLE melalui pengenalan dini dan pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus pengobatan SLE adalah a). mendapatkan masa remisi yang panjang, b) menurunkan aktifitas penyakit seringan mungkin, c).mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktifitas hidup keseharian tetap baik. Pilar Pengobatan Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Perlu dilakukan upaya pemantauan penyakit mulai dari dokter umum di perifer sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama ahli reumatologi. Juga diperlukan mekanisme rujukan yang dimulai dari fasilitas kesehatan paling perifer. Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik I. Edukasi dan konseling II. Latihan / program rehabilitasi III. Pengobatan medikamentosa a. OAINS b. Antimalaria c. Steroid d. Imunosupresan / Sitotoksik I. Edukasi / Konseling Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan asupan akan masalah aktifitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktifitas

Panduan Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik

penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan. Edukasi memiliki tingkat kepercayaan tinggi yaitu pada evidence based level 1A. Butir-butir edukasi pada pasien SLE terlihat pada tabel 1.

Tabel 1. Butir-butir edukasi terhadap pasien SLE


1. 2. 3. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE, mengatasi rasa lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlukah suplementasi mineral dan vitamin? Obat-obatan yang dipakai jangka panjang contohnya obat anti tuberkulosis dan beberapa jenis lainnya termasuk antibiotikum. Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE ini, adakah kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan sebagainya.

4.

5.

6.

II. Latihan / Program rehabilitasi Tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan program rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu: a. Istirahat b. Terapi fisik c. Terapi dengan modalitas d. Ortotik e. dsb III. Pengobatan SLE Ringan Pilar pengobatan tetap dijalankan secara bersamaan dan berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di atas tercapai, yaitu:10 a. Edukasi Pasien diberikan harapan yang realistik sesuai keadaannya, hindari paparan ultra violet berlebihan, hindari kelelahan, berikan pengetahuan akan gejala dan tanda kekambuhan, anjurkan agar pasien mematuhi jenis pengobatan dan melakukan konsultasi teratur. b. Obat-obatan - Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan. Lihat tabel 2 di bawah ini. - bat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan nyeri dan inflamasi. - Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi ringan) - Khlorokuin basa 4 mg/kg BB/hari dengan catatan periksa mata tiap tahun bila pemakaian lebih dari 6 bulan. - Kortikosteroid dosis rendah < 10 mg / hari prednison atau yang setara. c. Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan minimun sun protection factor 15 (SPF 15) d. Istirahat: Terutama bila pasien mulai merasakan gejala kekambuhan.

Panduan Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik

Tabel 2. Obat Penghilang Nyeri yang Dapat Digunakan pada SLE


Jenis obat Acetaminophen Nama Dagang Dosis 325-1.000 mg, 4-6 kali, tidak lebih dari 4.000 mg/hari. Instruksi khusus Jangan dipakai dengan obat mengandung acetaminophen, > 10 hari kecuali atas intsruksi dokter. Minum bersama susu atau makanan. Jangan melebihi 60 mg codeine per kali pakai. Jangan mengemudikan kendaraan. Kemungkinan Efek samping Biasanya tidak muncul apabila sesuai anjuran. Dapat terjadi gangguan fungsi hati dsb. Konstipasi, pusing, rasa melayang, mual, muntah, sempoyongan, rasa lelah dan lemah berlebihan. Kewaspadaan Terutama bila dosis berlebihan atau mengkonsumsi alkohol lebih dari 3 gelas per hari. Dalam jangka panjang pemakaian narkotik dapat mengakibatkan toleransi sehingga dosis perlu dinaikkan yang berakibat dengan munculnya gejala putus obat bila pemakaian dihentikan. Perhatian Peminumk alkohol.

Acetaminophene + codein*

15-60 mg codein setiap 4 jam, bila diperlukan.

Riwayat pemakaian narkoba atau alkohol, trauma kepala, sensitif terhadap acetaminophene, codeine atau sulfite.

Oxycodone

5-20 mg setiap 12 jam.

Pasien jangan menaikkan dosis sendiri karena bisa terjadi toleransi dan menghentikan seketika. Hati-hati menjalankan kendaraan.

Sempoyongan, rasa melayang, rasa mau jatuh, mual, muntah, rasa lelah atau lemah yang tidak biasanya.

Dalam jangka panjang pemakaian narkotik dapat mengakibatkan toleransi sehingga dosis perlu dinaikkan yang berakibat dengan munculnya gejala putus obat bila pemakaian dihentikan.

Anti depresan sentral, peminum alkohol lebih dari 3 gelas sehari.

Propoxyphene hydrochloride*

65 mg setiap 4 jam, tidak lebih dari 390 mg per hari.

Pasien jangan menaikkan dosis sendiri karena dapat terjadi toleransi. Pasien jangan menaikkan dosis sendiri karena dapat terjadi toleransi.

Sempoyongan , pening, mual, muntah dan rasa mau jatuh. Pening, mual, konstipasi, sakit kepala, mengantuk.

Depresi serius saat ini atau riwayat, pemakai antidepresan dan penenang. Penyakit hati, asma, penyakit ginjal, riwayat penyalahgunaan alkohol dan obat, pemakaian obat anti depresan sentral.

Tramadol

50 100 mg setiap 6 jam, bila diperlukan.

* Belum tersedia di Indonesia

IV. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa Pilar pengobatan selain obat-obatan sama seperti pada SLE ringan. Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan sebagaimana tercantum di bawah ini. a. Glukokortikoid dosis tinggi 1-6,16,17 Serosistis yang refrakter: 20 mg / hari prednison. Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia: 40 60 mg / hari (1 mg/kgBB) prednison atau pemberian metilprednisolon intra vena sampai 1 g / hari selama 3 hari bertutut-turut. Selanjutnya diberikan secara oral.17,18 b. Obat imunosupresan atau sitotoksik Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang biasa digunakan pada SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, khlorambusil, siklosporin dan nitrogen mustard. Pilihan obat ini tergantung dari berat ringannya penyakit serta organ yang terlibat, misalnya pada lupus nefritis diberikan siklofosfamid (oral / intra vena), azatioprin, atau mycophenolate mofetyl; artritis berat dapat diberikan metotreksat (MTX).

Panduan Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik

Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara glukokortikoid dan imunosupresan / sitotoksik karena memberikan hasil pengobatan yang lebih baik.15,19,20 Dosis obat imunosupresan / sitotoksik dan pemantauan keberhasilan serta efek samping terlihat pada tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Jenis dan Dosis Obat Imunosupresan dan Sitotoksik yang Dapat Diapakai pada SLE
Jenis Obat Azatioprin Dosis 50-150 mg per hari, dosis terbagi 1-3, tergantung berat badan. Per oral: 50150 mg per hari. IV: 500 mg/M2 dalam Dextrose 250 ml, infus selama 1 jam. Metotreksat 7.5 20 mg / minggu, dosis tunggal atau terbagi 3. Dapat diberikan pula melalui injeksi. 2.55 mg/kg BB, atau sekitar 100 400 mg per hari dalam 2 dosis, tergantung berat badan. 500 1.000 mg dalam 2 dosis. Jenis toksisitas Mielosupresif, hepatotoksik, gangguan limfoproliferatif Evaluasi Awal Darah tepi lengkap, kreatinin, AST / ALT Pemantauan Klinis Gejala mielosupresif Laboratorik Darah tepi lengkap tiap 1-2 minggu dan selanjutnya 1-3 bulan interval. AST tiap tahun dan pap smear secara teratur. Darah tepi lengkap dan urin lengkap tiap bulan, sitologi urin dan pap smear tiap tahun seumur hidup.

Siklofosfamid

Mielosupresif, gangguan limfoproliferatif, keganasan, imunosupresi, sistitis hemoragik, infertilitas sekunder

Darah tepi lengkap, hitung jenis leukosit, urin lengkap.

Gejala mielosupresif, hematuria dan infertilitas.

Mielosupresif, fibrosis hepatik, sirosis, infiltrat pulmonal dan fibrosis.

Darah tepi lengkap, foto toraks, serologi hepatitis B dan C pada pasien risiko tinggi, AST, fungsi hati, kreatinin. Darah tepi lengkap, kreatinin, urin lengkap, LFT.

Gejala mielosupresif, sesak nafas, mual dan muntah, ulkus mulut.

Darah tepi lengkap terutama hitung trombosit tiap 4-8 minggu, AST / ALT dan albumin tiap 4-8 minggu, urin lengkap dan kreatinin. Kreatinin, LFT, Darah tepi lengkap.

Siklosporin A

Pembengkakan, nyeri gusi, peningkatan tekanan darah, peningkatan pertumbuhan rambut, gangguan fungsi ginjal, nafsu makan menurun, tremor. Mual, diare, leukopenia.

Gejala hipersensitifitas terhadap castor oil (bila obat diberikan injeksi), tekanan darah, fungsi hati dan ginjal.

Mycophenylate mofetil

Darah tepi lengkap, fese lengkap.

Gejala gastrointestinal seperti mual, muntah.

Darah tepi lengkap terutama leukosit dan hitung jenisnya.

d.Lain-lain Beberapa obat lain yang pernah digunakan mencakup: - Intra vena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari, terutama pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia otoimun, nefritis, manifestasi mukokutaneus, dan demam. - Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopeni, krioglobulinemia dan lupus serberitis. - Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid. - Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang refrakter dengan obat lainnya. - Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40 (CD40LmAb). - Transplantasi autologus stem-cell.

Panduan Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik

DHEA dikatakan memiliki steroid-sparring effect pada SLE ringan.21

V. Pemantauan Pengobatan Perjalanan penyakit dan efek pengobatan memerlukan pemantauan yang tepat dan dilakukan seumur hidup pasien dengan SLE. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah: a. Anamnesis: Demam, penurunan berat badan, kelelahan, rambut rontok meningkat, nyeri dada peluritik, nyeri dan bengkak sendi. b. Fisik: Pembengkakan sendi, ruam, SLEi diskoid, alopesia, ulkus membran mukosa, SLE vaskulitis, fundus, edema c. Penunjang: Hematologi, analisis urin, serologi, radiologi dan kimia darah. Catatan: pada pusat-pusat dengan fasillitas laboratorium maupun penunjang lain yang tersedia diperlukan pemeriksaan kadar komplemen C3 dan C4 maupun titer anti-ds-DNA. VI. Sistim Rujukan dan Fungsi Konsultatif Penatalaksanaan SLE dilakukan baik oleh dokter umum di perifer sampai dokter ahli dalam kelompok bala bantuan. Namun terdapat berbagai hal yang memerlukan rujukan. Umumnya rujukan ditujukan pada ahli penyakit reumatik. Terdapat 4 (empat) tugas utama sebagai dokter umum di perifer atau pusat pelayanan kesehatan primer, yaitu: 1. waspada terhadap kemungkinan penyakit SLE ini diantara pasien yang dirawatnya dan melakukan rujukan diagnosis; 2. melakukan tatalaksana serta pemantauan penyakit SLE ringan dan kondisinya stabil (pasien SLE tanpa keterlibatan organ vital dan atau terdapat komorbiditas); 3. mengetahui saat tepat untuk melakukan rujukan ke ahli reumatik pada kasus SLE; 4. melakukan kerjasama dalam pengobatan dan pemantauan aktifitas penyakit pasien SLE derajat berat .10 Bagan di bawah ini memperlihatkan alur fungsi rujukan dari dokter umum di pusat pelayanan kesehatan primer sampai ke bala bantuan SLE. Maksud rujukan dikelompokkan dalam: a. b. c. d. e. f. g. Konfirmasi diagnosis Kajian akan berat ringannya penyakit dan aktifitasnya. Panduan pengobatan secara umum. Bila aktifitas penyakit tidak dapat dikendalikan. Semua kasus SLE dengan keterlibatan organ atau membahayakan nyawa. Pencegahan / pengobatan efek samping obat. Pada SLE dengan kedaan tertentu seperti kehamilan.

Panduan Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik

DOKTER UMUM PUSAT PELAYANAN KESEHATAN PRIMER

KECURIGAAN SLE

RUJUK
BALA BANTUAN LUPUS SLE dengan komplikasi / aktifitas meningkat Penegakkan diagnosis Kajian aktifitas dan derajat penyakit. Perencanaan pengobatan. Pemanatauan aktifitas penyakit secara teratur / terprogram.

SLE derajat ringan

RUJUK
SLE derajat sedang dan berat SLE refrakter / mengancam nyawa

Bagan 1. Sistim rujukan dan Fungsi Konsultatif pada Bala Bantuan SLE

SLE pada Keadaan Khusus dan Pengobatannya I. SLE dan Kehamilan

Kesuburan penderita SLE sama dengan populasi wanita bukan SLE. Namun selama kehamilan atau sesudah persalinan seringkali terjadi kekambuhan sebesar 60% 22 ataupun komplikasi lainnya seperti keguguran atau intra uterine foetal death (IUFD). Oleh karenanya diperlukan penanganan penyakit SLE sebelum, selama kehamilan dan pasca partus. Butir-butir pengelolaan: 1 Penderita SLE dianjurkan hamil setelah minimal 6 bulan aktifitas penyakit SLEnya terkendali atau dalam keadaan remisi total. Pada lupus nefritis jangka waktu lebih lama sampai 12 bulan remisi total. Butir-butir pengelolaan lainnya seperti edukasi, latihan tetap dijalankan. Medikamentosa: a) Glukokortikoid, diusahakan dosis sekecil mungkin dibawah 20 mg/hari. b) DMARDs atau obat-obatan lain seyogyanya diberikan dengan penuh kehati-hatian. Perhatikan kategori FDA (Food and Drugs Administration) sebelum memberikan obatobat tersebut seperti tertera pada lampiran 2.

2 3

Catatan: Perlu dilakukan pemeriksaan pemantauan efek samping obat dan aktifitas penyakitnya lebih sering. Juga deteksi adanya antibodi antifosfolipid (ACA IgG dan IgM, LA) II. SLE dengan APS Antibody anti-phospholipid (APS) merupakan suatu kelainan trombosis, abortus berulang atau keduanya disertai peningkatan kadar antibodi antifosfolipid yang menetap yaitu antibodi

Panduan Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik

antikardiolipin (ACA) atau lupus antikoagulan (LA).23-28 Diagnosis APS ditegakkan apabila terdapat 1 gejala klinis dan 1 kelainan laboratorium sebagaimana tertera di bawah ini:29 A. Kriteria klinis: 1. Trombosis vaskuler (1 atau lebih episod pada pembuluh darah arteri atau vena) 2. Morbiditas kehamilan, yaitu: a. Tiga kali atau lebih abortus berurutan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya dengan sangkaan kelainan anatomis, genetik atau hormonal. b. Satu atau lebih kematian fetus dengan morfologi normal yang tidak dapat diterangkan penyebabnya atau kematian fetus sesudah 10 bulan kehamilan. c. Satu atau lebih kelahiran prematur neonatus morfologi normal atau sebelum 34 minggu kehamilan disertai preeklamsia atau insufisiensi plasenta. B. Kriteria laboratorium: 1. ACA IgG titer sedang atau tinggi (dua atau lebih pemeriksaan dengan selang waktu 6 minggu atau lebih) 2. ACA IGM titer sedang atau tinggi (dua atau lebih pemeriksaan dengan selang waktu 6 minggu atau lebih) 3. LA positif (dua atau lebih pemeriksaan dengan selang waktu 6 minggu atau lebih) Butir-butir pengelolaan SLE sesuai dengan penjelasan di atas, namun diperlukan tambahan pengobatan yang ditujukan untuk mengatasi dampak dari APS berupa trombosis. Pengelolaan APS pada dasarnya ditujukan terhadap kejadian trombosis sebagaimana tertera di bawah ini: 1. Eliminasi antibodi antifosfolipid menggunakan obat imunosupresan bila penyakit yang mendasarinya adalah SLE. 2. Memperbaiki faktor risiko antara lain menghentikan kebiasaan merokok. 3. Medikamentosa: a) Aspirin dosis kecil 80 mg/hari. b) Heparinisasi dengan target aPTT pada hari 1 10 sebesar 1,5 2,5 kali normal. Selanjutnya dilakukan pemberian warfarin tumpang tindih dengan heparin mulai hari ke tujuh sampai kesepuluh. Target INR adalah 2,5 3 kali. Hentikan heparin pada hari kesepuluh.

III. Lupus Nefritis Lupus nefritis memerlukan perhatian khusus agar tidak terjadi perburukan dari fungsi ginjal yang akan berakhir dengan transplantasi atau cuci darah. Bila tidak terdapat indikasi kontra dan tersedia fasilitas biopsi, maka seyogyanya biopsi ginjal dilakukan untuk mendapatkan gambaran klasifikasi kelainan histopatologik ginjal. Klasifikasi sesuai dengan kriteria yang dikeluarkan oleh badan kesehatan dunia. Lihat lampiran 2. Butir-butir pengelolaan:18 1. Gambaran histopatologik ginjal diperlukan untuk penetapan awal pengobatan, apakah diperlukan hanya pemberian steroid saja atau dimulainya obat lain seperti siklofosfamid. Pengulangan biopsi tidak mutlak namun diperlukan dalam evaluasi pengobatan.

10

Panduan Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik

2. Batasi asupan garam bila pasien menderita hipertensi. Demikian pula modifikasi makanan yang kurang berlemak bila ditemukan dislipidemia atau terdapat sindroma nefrotik. Pembatasan protein dilakukan bila fungsi ginjal telah terganggu sampai 40%. Berikan suplementasi kalsium bila memakai kortikosteroid dalam dosis lebih dari 7,5 mg/hari dan diberikan dalam jangka panjang. 3. Pemakaian diuretik diperlukan untuk mengurangi edema dan diberikan bila diperlukan saja. 4. Pemantauan fungsi ginjal melalui pemeriksaan urin rutin terutama sedimen, kadar kreatinin, tekanan darah, albumin serum, C3 komplemen, anti-ds DNA, proteinuria dan bersihan kreatinin. Pemantauan ini dilakukan dengan selang waktu 1-2 minggu sekali. 5. Hindari pemakaian OAINS atau berikan dalam jangka sependek mungkin. 6. Obati hipertensi seagresif mungkin. 7. pemakaian obat sesuai dengan klasifikasi histopatologik ginjal: Klas I: tidak diperlukan terapi spesifik. Klas II: Tipe mesangial tidak diperlukan pengobatan khusus, namun pada tipe Iib dengan proteinuria menetap > 1 g /hari, komplemen C3 rendah atau anti-ds DNA tinggi, berikan kortikosteroid 20 mg/hari selama 6 minggu sampai 12 inggu. Lakukan tappering sampai dosis sekecil mungkin yang masih efektif mengontrol aktifitas penyakitnya. Klas III dan IV: prognosis yang buruk dimana 50% dalam 10 tahun akan mengalami perburukan. a. Prednison atau ekivalensinya dengan dosis 1 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi minimal selama 6 minggu. Pantau klinis pasien dan bila terjadi remisi lakukan tappering dosis prednisonnya. Pada saat dosis prednison mencapai 40 mg / hari, maka penurunan dosis dilakukan sebesar 10% perminggu sampai tercapai dosis sekitar 1015 mg / hari atau 20-30 mg selang sehari. Dosis ini dipertahankan paling tidak selama 2 tahun. b. Bila respons tidak baik, maka diberikan obat sitotoksik. Obat paling banyak dipakai adalah siklofosfamid yang diberikan secara IV dengan dosis 750 mg/m2 setiap bulan selama 6 bulan. Kemudian diberikan dengan dosis yang sama setiap 2 3 bulan sekali sesuai dengan respons klinis. Umumnya diberikan tidak lebih dari 3 tahun atau dosis kumulasi telah mencapai 10.000 mg. Untuk mengurangi toksisitas pada kandung kemih, dapat diberikan bersamaan dengan Mesna (2-mercaptoethane sulfonate sodium). c. Bila tidak responsif dengan kortikosteroid dan siklofosfamid, maka diberikan protokol sebagai berikut: i. Siklofosfamid IV tiap bulan selama 6 bulan diberikan kembali. ii. Pulse dose metilprednisolon setiap bulan ditambahkan atau menggantikan siklofosfamid. iii. Ganti dengan azathioprine oral atau siklofosfamid oral atau kombinasi keduanya. Dapat pula diberikan mycophenolat mofetil dengan dosis antara 500 mg 3.000 mg/hari dalam dosis terbagi sebagai lanjutan pengobatan setelah pemberian siklofosfamid.30 iv. Pertimbangkan apheresis. v. Tingkatkan dosis steroid. d. Perburukan fungsi ginjal atau kekambuhan akut dapat diatasi dengan apheresis atau pulse dose steroid. Klas V: Pada klas ini diberikan beberapa pengobatan sebagaimana di bawah ini: a. Prednison atau ekivalensinya dengan dosis 1 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi selama 6-12 minggu, lakukan tappering dosis bila responsif sampai dosis sekitar 10 mg/hari atau bila respons tidak adekuat. Bila responsif berikan selama 1-2 tahun.

11

Panduan Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik

Obat sitotoksik tidak dianjurkan kecuali didapatkan terdapat komponen proliferatif. Salah satu obat yang dapat diberikan adalah siklosporin A.

IV. Lupus Serebral Lupus serebral memiliki dampak morbiditas dan mortalitas yang besar.31 Manifestasi ini (neuropsikiatrik / NPSLE) ditemukan pada sekitar 18-61% kasus.32,33 Manifestasi lupus serebral diklasifikasikan berdasarkan nomenklatur dari the American College of Rheumatology dan dibagi menjadi gejala ringan dan berat.34 Gejala ringan mencakup nyeri kepala (termasuk migrain), gangguan psikiatrik reaktif, disfungsi kognitif (gangguan perhatian, konsentrai, daya ingat atau menemukan kata), gangguan cemas. Gejala berat bila dijumpai meningitis aseptik, defisit neurologik fokal (akibat penyakit cerberovaskular atau sindroma demyelinasi), gangguan pergerakan (khorea), mielopati, kejang, acute confusional state, gangguan alam perasaan (depresi) dan psikosis. Diagnosis lupus serebral sulit dilakukan karena tidak ada satu pemeriksaan laboratorium yang spesifik. Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menyingkirkan penyakit lain yang dapat memberikan manifestasi neurologik. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang pada lupus serebral dapat dilihat pada lampiran 3.33,34 Butir-butir pengelolaan: Pengobatan pada dasarnya bersifat empirik karena belum banyak ditunjang dengan bukti uji klinis.35 1. Pada keadaan yang berat atau terjadi perburukan cepat dapat diberikan pulse steroid therapy menggunakan metil prednisolon 1 g/hari selama 3 hari berturut-turut. Alternatif lain adalah pemberian deksametason 12 20 mg. Bila tidak memberikan respon baik dapat diberikan siklofosfamid intra vena dengan dosis 0,75 1.00 g/m2 setiap 3-6 minggu. 2. Pada kondisi pasien tidak terlalu buruk berikan prednison 1 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi. 3. Bila terdapat bukti vaskulitis yang berat maka pemberian kortikosteroid dosis tinggi harus diberikan segera. Demikian pula pemberian obat sitotoksik. 4. Atasi trombosis terutama bila terkait dengan adanya antibodi antifosfolipid. Hati-hati pemberian heparin berlebihan justru dapat memperburuk keadaan. 5. Pasien dengan gejala kejang dapat diatasi dengan pemberian anti konvulsan seperti fenitoin. Kecuali bila terjadi status epileptikus atau kejang berulang, berikan kortikosteroid dosis tinggi. 6. Pengobatan lain yang dapat diberikan adalah plasmaferesis, imunoglobulin intravena (IVIG), terapi oksigen hiperbarik, intratecal CSF-feresis, transplantasi stem cells,

12

Panduan Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik

Lampiran 1. Penilaian aktifitas penyakit SLE menggunakan MEX-SLEDAI.


MEX SLEDAI Nama numor tanggal

Masukkan bobot MEX SLEDAI bila terdapat gambaran deskripsi pada saat pemeriksaan atau dalam 10 hari ini. BOBOT DESKRIPSI

DEFINISI
Psikosa.Gangguan kemampuan melaksanakan aktifitas fungsi normal dikarenakan gangguan persepsi realitas. Termasuk : halusinasi, inkoheren, kehilangan berasosiasi, isi pikiran yang dangkal, berfikir yang tidak logis, bizzare,disorganisasi atau bertingkah laku kataton. Eksklusi :uremia dan pemakaian obat. CVA (Cerebrovascular accident ) : Sindrom baru. Eksklusi arteriosklerosis. Kejang: Onset baru, eksklusi metabolik, infeksi, atau pemakaian obat. Sindrom otak organik : Keadaan berubahnya fungsi mental yang ditandai dengan gangguan orientasi, memori atau fungsi intelektual lainnya dengan onset yang cepat, gambaran klinis yang berfluktuasi. Seperti : a) kesadaran yang berkabut dengan berkurangnya kapasitas untuk memusatkan pikiran dan ketidak mampuan memberikan perhatian terhadap lingkungan, disertai dengan sedikitnya 2 dari b) gangguan persepsi; berbicara melantur; insomnia atau perasaan mengantuk sepanjang hari; meningkat atau menurunnya aktifitas psikomotor. Eksklusi penyebab metabolik, infeksi atau penggunaan obat. Mononeuritis: Defisit sensorik atau motorik yang baru disatu atau lebih saraf kranial atau perifer. Myelitis: Paraplegia dan/atau gangguan mengontrol BAK/BAB dengan onset yang baru. Eksklusi penyebab lainnya
Castc, Heme granular atau sel darah merah. Haematuria. >5 /lpb. Eksklusi penyebab lainnya (batu/infeksi) Proteinuria. Onset baru, >0.5g/l pada random spesimen. Peningkatan kreatinine (> 5 mg/dl) Ulserasi, gangren, nodul pada jari yang lunak, infark periungual, splinter haemorrhages. Data biopsi atau angiogram dari vaskulitis.

Gangguan neurologis

6 4 3 3 2 2

Gangguan ginjal Vasculitis Hemolisis Trombositopeni Miositis Artritis Gangguan Mucokutaneous

Hb<12.0 g/dl dan koreksi retikulosit > 3%.


Trombositopeni : < 100.000. Bukan disebabkan oleh obat

Nyeri dan lemahnya otot-otot proksimal, yang dihubungkan dengan peningkatan CPK Pembengkakan atau efusi lebih dari 2 sendi. Ruam malar. Onset baru atau malar erithema yang menonjol. Mucous ulcers. Oral atau nasopharyngeal ulserasi dengan onset baru atau berulang. Abnormal Alopenia. Kehilangan sebagaian atau seluruh rambut atau mudahnya rambut rontok.
Pleuritis. Terdapatnya nyeri pleura atau pleural rub atau efusi pleura pada pemeriksaan fisik. Pericarditis. Terdapatnya nyeri pericardial atau terdengarnya rub. Peritonitis. Terdapatnya nyeri abdominal difus dengan rebound tenderness (Eksklusi penyakit intra-abdominal).

Serositis

1 1

Demam Fatigue Leukopenia Limfopeni

Demam > 38o C sesudah eksklusi infeksi. Fatigue yang tidak dapat dijelaskan Sel darah putih < 4000/mm3, bukan akibat obat Limfosit < 1200.mm3, bukan akibat obat. TOTAL SKOR MEX-SLEDAI

13

Panduan Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik

Lampiran 2. Kategori risiko pemberian obat pada wanita hamil dan laktasi berdasarkan kriteria dari Food and Drugs Adiministration. Kategori A: Penelitian dengan kontrol pada wanita hamil gagal menunjukkan adanya risiko pada fetus dalam trimester pertama atau lebih lanjut. Kemungkinan adanya kerusakan fetus nampaknya jauh. Kategori B: Tidak terdapat penelitian dengan kontrol pada wanita hamil dan tidak terdapat penelitian risiko fetus pada binatang, atau penelitian binatang menunjukkan efek samping, tidak dikonfirmasikan dengan penelitian terkontrol pada wanita hamil baik pada trimester pertama atau lanjut. Kategori C: penelitian binatang menunjukkan efek teratogenik, embriosidal, atau efek terhadap fetus lainnya dan tidak terdapat penelitian dengan kontrol pada wanita hamil, atau tidak terdapat penelitian pada wanita hamil dan binatang. Pada kategori C ini diberikan bila manfaat jauh lebih besar dibvandingkan risiko potensial pada fetus. Kategori D: Terdapat bukti risiko terdapat fetus manusia, namun manfaat pada wanita hamil dapat diterima dibandingkan risiko yang terjadi. (contoh: pada kasus yang mengancam nyawa atau penyakit yang serius fatal) Kategori X: pada penelitian binatang dan manusia menunjukkan abnormalitas fetus atau terdapat bukti risiko terhadap fetus manusia atau keduanya, dan risiko yang terjadi melampau manfaat yang didapat. Obat-obatan yang digunakan pada Wanita SLE dengna Kehamilan atau Laktasi
Jenis obat Kortikosteroid Azatioprin Siklofosfamid Metotrekast Siklosporin Mikofenolat mofetil Klorambusil Antimalaria Aspirin dosis rendah Heparin, enoksaparin Warfarin IV imunoglobulin OAINS COX-2 inhibitors Misoprostol Antihipertensi MethylDOPA Labetalol Nifedropin Kategori FDA B D D D C C D C C B D, C B,D C X C C C Diperbolehkan pada laktasi dan besarnya dosis Ya, maksimal 20 mg/hari Tidak, tidak ada data Tidak, sitopenia pada bayi Tidak Tidak Tidak ada data Tidak Ya (AAP) Ya Ya Ya Ya Ya OAINS (short acting) Tidak ada data Tidak Ya Ya Ya

Keterangan: AAP (American Academy of Pediatrics

14

Panduan Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik

Lampiran 3. Klasifikasi Kelainan Histopatologik Ginjal pada SLE Pola Imunofluoresensi Mesangial Periferal 0 0 0 + 0 + + ++ ++ Mikroskop elektron Mesangial Subendotelial Subepitel 0 0 0 0 0 + 0 0 + ++ ++ + + ++ + + + ++

I Normal IIa Mesangial deposit IIb Mesangial hiperselular III Fokal segmental GN (<50%) ++ ++ IV Difus GN (>50%) + V Membranosa GN Keterangan: GN=glomerulonefritis

15

Panduan Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik

Lampiran 4. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang pada lupus serebral. A. Darah: a. Darah tepi lengkap dan sediaan hapus darah tepi. b. Kreatinin dan bersihan kreatinin c. Urin lengkap d. Fungsi hati e. Elektrolit f. C3, C4, atau CH50 g. Anti-ds DNA antibodi h. CRP i. Antibodi antifosfolipid (ACA dan LA) juga terhadap anti-B 2-glycoprotein antibodies j. Profil lipid k. Gula darahAnti-dsDNA antibodies l. Koagulasi m. Antineuronal antibodies, antiribosomal P, antilymphocyte, antiglycolipid, antineurofilament, antiglial, antiganglioside, antisphingomyelin, antigalactocerebroside. Antiribosomal P, memiliki spesifisitas tinggi untuk kejadian lupus serebral. B. CSF a. Hitung sel, protein, glukosa, kultur, pewarnaan gram atau lainnya, VDRL, IgG index , oligoclonal bands, antineuronal bodies, antiribosomal P, myelin basic protein, soluble cytokines. C. Pencitraan a. CT scans, MRI, Diffusion and perfusion MRI, MRI spectroscopy, SPECT, PET, digital subtraction angiography dan MRA. D. EEG a. EEG Standar. E. Lain-lain a. Echocardiography dan carotid artery duplex ultrasound. Transesophageal echocardiography.

16

Panduan Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik

Daftar Pustaka 1. Wallace DJ, Hahn BH, editors. Dubois lupus erythematosus. 5th ed. Baltimore: William & Wilkins. 1997: 2. Lahita RG, ed. Systemic Lupus erythematosus, 3rd ed. San Diego: Academic Press. 1998: 3. Schur P, ed. The clinical management of systemic lupus erythematosus, 2nd ed. Philadelphia: Lippincott. 1996: 4. Koopman WJ,. Arthritis and Allied conditions. 13th ed. Baltimore: William & Wilkins. 1997: 5. Klippel JH, Dieppe PA, editors. Rheumatology. London: Mosby. 1998: 6. Klippel JH, ed. Primer on the rheumatic diseases. 12th ed. Atlanta: Arthritis Foundation. 2001:329-334 7. Tan EM, Cohen AS, Fries JF, Masi AT, McShane DJ, Rothfield NF, et al. The 1982 revised criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 1982;25:1271-7 8. Kelley WN, Harris ED, Ruddy S, Sledge CB, editors. Textbook of rheumatology. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders. 1997 9. Hochberg Mc. Updating the American College of Rheumatology revised criteria for the classification of systemic lupus erythematosus [letter]. Arthrituis Rheum 1997;40:1725 10. Ammerican College of Rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus erythematosus guidelines. Arthritis Rheum 1999;42(9):1785-96 11. Abu-Shakra M, Urowitz MB, Gladman DD, Gough J. Mortality studies in systemic lupus erythematosus: results from a single centre.I. Causes of detah. J Rheumatol 1995;22:1259-64 12. Urowitz MB, Bookman AAM, Koehler BE, Gordon DA, Smythe HA, Ogryzlo MA. The bimodal mortality pattern of systemic lupus erythematosus. Am J Med 1976;60:221-5 13. Gladman DD. Prognosis and treatment of systemic lupus erythematosus. Curr Opin Rheumatol 1996;8:430-7. 14. Calvo-Alen J, Bastian HM, Straaton KV, Burgard SL, Mikhail IS, Alarcon GS. Identification of patients subsets among those presumptively diagnosed with, referred, and/or followed up for systemic lupus erythematosus at a large tertiary care centre. Arthritis Rheum 1995;38:1475-84 15. Guzman J, Cardiel MH, Arce-salinas, et al. Measurement of disease activity in systemic lupus erythematosus. Prospective validation of 3 clinical indices. J Rheumatol 1992;19:1551-1558 16. Steinberg AD, Steinberg SC. Long term preservation of renal function in patients with lupus nephritis receiving treatment that includes cyclophosphamide versus those treated with prednisone only. Arthritis Rheum 1991;34:945-50 17. Gourley MF, Austin HA III, Scott D, Yarboro CH, Vaughan EM, Muir J, et al. Methylprednisolone and cyclophosphamide, alone or in combination, in patients with lupus nephritis: a randomized, controlled trial. Ann Intern Med 1996;125:549-57. 18. Wallace DJ, Hahn BH, Klippel JH. Lupus nephritis In.:Wallace DJ, hahn BH. Editors. Dubois lupus erythematosus, 5th ed. Philadelphia: Williams & Wilkins. 1997:1053-1065. 19. Boumpas DT, Fessler BJ, Austin HA III, Balow JE, Klippel JH, Lockshin MD. Systemic lupus erythematosus: emerging concepts. Part 2. Dermatologic and joint disease, the antiphospholipid antibody syndrome, pregnancy and hormonal therapy, morbidity and mortality, and pathogenesis. Ann Intern Med 1995;123:42-53. 20. Hahn BH, Kantor OS, Osterland CK. Azathiprine plus prednisone versus prednisone alone in the treatment of systemic lupus erythematosus: a report of a prospective, controlled trial in 24 patients. Ann Intern Med 1975;85:597-605. 21. Van Vollenhoven RF, Engleman EG, McGuire JL. Dehydroepiandrosterone in systemic lupus erythematosus: results of a double blind, placebo-controlled, randomized clinical trial. Arthritis Rheum 1995;38:1826-31.

17

Panduan Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik

22. Huong D Le T, Wechsler B, Vauthier-Brouzes D, Beaufils H, Lefebvre G, Piette JC. Pregnancy in past or present lupus nephritis: a study of 32 pregnancies from a single centre. Ann Rheum Dis 2001;60:599-604. 23. Graves M. Antiphospholipid antibodies and thrombosis. Lancet 1999;353:1348-43. 24. Harris N. Antiphospholipid antibodies. In Klippel JH, Dieppe PA, eds. Rheumatology. London:Mosby 1994:6, 321-6 25. Klippel JH, Weyard CM, Wartman RL. Antiphospholipid syndrome. In: Klippel JH, ed. Primer Primer on the rheumatic diseases. 12th ed. Atlanta: Arthritis Foundation. 2001:423-6 26. Sammaritano LR. Uptodate: Antiphospholipid antibodies. J Clin Rheum 1997;3:270-78. 27. Devine, Bridgen LM. The antiphospholipid syndrome: When does the presence of antiphospholipid antibody required therapy. Postgrad Med 1996;99:105-122 28. Asherson RA, Cervera R. Anticardiolipin antibodies, , chronic biologic false positive for test for syphilis and other Antiphospholipid antibody. In: Wallace DJ, Hahn BH, Quismorio FP, Klinenberg JB, editors.: Dubois Lupus Erythematosus Systemic, 2nd ed. Philadelphia: Lea % Febiger 1993:233-53 29. Tambunan KS. Antifosfolipid sindrom. Dalam: Setiyohadi B, Kasjmir YI, editor. Naskah lengkap upaya penanggulangan penyakit muskuloskeletal menjelang milennium III. 1999:4043. 30. Conteras G, Pardo V, Leclerc B, Lenz O, Tozman E, ONan P et al. Sequential therapies for proliferative lupus nephritis. N Eng J Med 2004;350:971-80 31. Neuwelt CM, Lacks S, Kaye BR, Ellman JB, Borenstein DG. Role of intravenous cyclophosphamide in the treatment of severe neuropsychiatric systemic lupus erythematosus. Am J Med. 1995 Jan;98(1):32-41. 32. Sibley JT, Olszynski WP, Decoteau WE, Sundaram MB. The incidence and prognosis of central nervous system disease in systemic lupus erythematosus. J Rheumatol. 1992 Jan;19(1):47-52. 33. ACR Ad Hoc Committee on Neuropsychiatric Lupus nomenclature. The American College of Rheumatology nomenclature and case definitions for neuropsychiatric syndrome. Arthritis Rheum 1999;42:599-608. 34. Weiner SM, Otte A, Schumacher M, Klein R, Gutfleisch J, Brink I et al. Diagnosis and monitoring of central nervous system involvement in systemic lupus erythematosus: value of F-18 fluorodeoxyglucose PET. Ann Rheum Dis 2000;59:377-385. 35. West SG. Systemic lupus erythematosus and the nervous system. In: Wallace DJ, Hahn BH, editors. Dubois lupus erythematosus. 5th ed. Baltimore: William & Wilkins. 1997:693-738.

18

Anda mungkin juga menyukai