Anda di halaman 1dari 5

Editorial

Komunikasi dengan Empati, Informasi dan Edukasi: Citra Profesionalisme Kedokteran*

Siti Aisah Boediardja


Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan Guru adalah seseorang yang pantas dan patut digugu dan ditiru (role model). Menurut Undang-undang Guru dan Dosen, 2005 seorang guru harus mempunyai kompetensi sedikitnya satu tingkat di atas pesera didik. 1 Kompetensi guru/dosen meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, keprofesian, dan sosial. Oleh karena itu seorang guru besar (GB) FKUI, senantiasa wajib menjaga dan melakukan pembinaan kehidupan akademik dan integritas moral serta etika akademik fakultas.2,3 Pada November 2008 Dewan Guru Besar FKUI kembali memperjelas tentang peran dan fungsi, serta pedoman pelaksanaan Kode Etik Guru Besar FKUI yang dituangkan dalam bentuk surat keputusan dewan GB. Selain tugas tridarma perguruan tinggi yang diembannya, GB juga bertugas melakukan pembinaan kehidupan akademik, integritas moral dan etika akademik, serta mengembangkan potensi dan kompetensi termasuk meningkatkan karir sivitas akademika hingga mencapai jenjang dan jabatan akademik tertinggi.4,5

Dipresentasikan pada Pidato Purna Bakti Guru Besar FKUI, Jakarta, 29 Januari 2009

Pembelajaran Keterampilan Komunikasi dengan Empati dalam Pendidikan Dokter FKUI Komunikasi adalah kegiatan keseharian kita sebagai makhluk Tuhan yang paling bermartabat (mulia) dan berakal, mampu memadukan rasio dan rasa, akal dan kalbu, serta pikir dan zikir. Komunikasi berasal dari kata commune artinya sama, saling berhubungan (interaksi) dalam posisi kesetaraan, dilakukan simultan antara visual (pandangan mata), verbal/ voice (suara, intonasi), dan perilaku nonverbal (bahasa tubuh). Komunikasi dua arah (penyampai dan penerima informasi) telah hadir sejak janin berada dalam kandungan ibunya. Bayi baru lahir berkomunikasi kali pertama dengan menangis, anak-anak-remaja-dewasa-tua, tak ada yang tidak berkomunikasi. Tuna wicara sekali pun berkomunikasi, sehingga komunikasi sebenarnya bukan barang baru. Mari kita perhatikan bagaimana kita berkomunikasi dengan anak kecil, saat kita merendahkan diri agar sama tinggi sehingga dapat mempertahankan kontak mata, wajah ramah dan lembut, suara pun dibuat menirukan suara anak kecil agar dapat saling memahami. Dengan siapapun kita berkomunikasi dengan maksud-tujuan tertentu, interpersonal atau dalam kelompok, baik dengan ibu, ayah, suami/isteri, anak, nenek, guru /dosen, sahabat, teman, atasan, maupun bawahan, perlu penyesuaian bersikap agar komunikasi menjadi lebih efektif.6
147

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 4, April 2009

Komunikasi Dengan Empati, Informasi dan Edukasi: Citra Profesionalisme Kedokteran Demikian pula keterampilan berkomunikasi dokterpasien dalam praktik sehari-hari menjadi satu kompetensi yang wajib dimiliki dokter. Komunikasi dokter-pasien merupakan komunikasi dua arah dengan tujuan kesembuhan, dilandasi kesetaraan dan empati, ada kesepakatan tak tertulis bahwa pasien mempercayakan dirinya kepada dokter yang mengobatinya dan dokter wajib simpan rahasia jabatan. Dokter adalah profesi mulia yang mendapat kepercayaan dan kehormatan dari pasien; Oleh karena itu harus menjunjung tinggi perilaku mulia, yaitu jujur, empati, kasih sayang, peka nilai, mau mendengar aktif, memberi tanggapan positif, tidak menghakimi, sabar, ikhlas, tidak emosional, terbuka, kompeten, berpengetahuan luas tentang kedokteran dan kesehatan, namun tetap sadar bahwa setiap orang mempunyai keterbatasan.7 Empati sebagaimana dikemukakan kali pertama pada 1909 berasal dari bahasa latin em dan pathos yang artinya feeling into. Limapuluh tahun kemudian hal tersebut dibahas pada ilmu psikososial dan psikoanalitik, bagaimana seseorang dapat meraba-rasakan dirinya sebagai orang lain dengan tetap obyektif tanpa menyertakan emosi diri. Sebagai dokter kita wajib berempati, mau dan mampu merabarasakan perasaan, pikiran, sikap dan perilaku pasien, tanpa melibatkan emosi diri. Bayangkan apabila kita yang menjadi pasien, merasakan fisik, pikiran, dan emosi tidak sehat, keinginan diperlakukan dengan kasih sayang dan empati, pandangan, dan harapan terhadap kesembuhan. Dengan demikian komunikasi dokter-pasien bukanlah hal yang mudah, terutama saat berhadapan dengan pasien yang bermasalah mulai dari yang sederhana hingga yang rumit dan kompleks. Keterampilan berkomunikasi dengan kesetaraan, dilandasi empati disebut komunikasi efektif. Komunikasi tersebut lebih menjamin pesan (isi komunikasi) tersampaikan dan dimengerti sehingga tujuan menggali informasi, menetapkan diagnosis dan pengobatan lebih tepat, efektif dan efisien.6,11,12 Kontrol diri merupakan kunci keberhasilan guna meningkatkan taraf kepuasan pasien, mengurangi keluhan dan tuntutan, serta mengurangi risiko kesalahan praktik klinik. Komunikasi efektif merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam profesionalisme kedokteran. 6-11 Dalam profesionalisme kedokteran terkandung kompetensi, akuntabilitas, tanggungjawab, disiplin, kewenangan, kesejawatan, etis, dan altruism. Terdapat tujuh kompetensi dokter yang dinyatakan oleh World Federation of Medical Education (WFME) 2003, yaitu effective communication, clinical ability, scientifically basis on medical science, health management, information management, self reflect and self improvement, ethics, morality, profesionalism, and medicolegal.13 Modul Empathy in Communication Related to Patient Care WHO menyatakan profil doctor for the future adalah The 5 Star Doctor (care provider, decision maker, communicator, community leader, manager) yang oleh FKUI
148

ditambahkan dengan researcher, serta iman dan takwa. Prof dr. Ali Sulaiman, PhD, Sp.PD, Dekan FKUI periode 20002004, sangat menekankan agar dokter lulusan FKUI memiliki profil tersebut, dengan menerapkan pendekatan pembelajaran student centered, problem based learning, integrated teaching, community based, early exposure to clinical practice, systematization (SPICES) pada kurikulum kedokteran terintegrasi di FKUI. Khususnya agar early exposure to clinical practice dan kompetensi communicator tercapai, FKUI melakukan strategi pendidikan dengan memperkenalkan mahasiswa sejak dini berbagai masalah pasien serta belajar berkomunikasi dengan empati.13-15 Modul empathy in communication related to patient care (EPC) merupakan alat pembelajaran, agar mahasiswa tidak hanya memahami teori saja, melainkan dilatihkan agar terampil berkomunikasi dengan empati. Awal tahun ajar 2000/ 2001, modul tersebut diujicobakan pada mahasiswa baru FKUI dan berlangsung selama dua minggu. FKUI berpendapat bahwa inilah kesempatan yang paling baik, memperkenalkan dan membudayakan lebih dini sikap dan perilaku dasar profesionalisme kedokteran kepada calon dokter. Kita sangat menyadari bahwa dalam pendidikan di sekolah dasar dan menengah saat itu tidak lagi mendapat mata ajar budi pekerti (yang sebenarnya sangat penting selain Agama). Budi pekerti luhur yang kontekstual dengan perilaku kecendekiawanan seorang dokter, antara lain kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab, disiplin, integritas, empati, kasih sayang, ikhlas, adil, mawas diri, rendah hati, santun, memelihara kesejawatan, sabar, sadar memiliki keterbatasan, dan sebagainya agar senantiasa dicontohkan dan diterapkan.7,16,17 Demikian pula seorang guru/guru besar atau dosen wajib memelihara ahlak mulia tersebut dan mencontohkannya kepada para peserta didik.4,5 Tentu saja materi afektif serupa itu tidak mudah untuk diajarkan, namun bagaimanapun harus dibudayakan agar terjadi perubahan dalam perasaan, pemikiran dan perilaku, apalagi mengingat profesi dokter adalah profesi yang humanis. Calon dokter harus memiliki empati dan kasih sayang, serta peka terhadap nilai-nillai kemanusiaan. Ranah afektif perlu dibelajarkan dan diasuh tutor, yaitu dosen pembimbing yang memberikan contoh (role model) yang baik.14 Modul EPC diimplementasikan dalam kurikulum kedokteran pada dua minggu pertama di awal semester 1. Mahasiswa dilatih mengenal dan mempertajam empati, mendengar aktif, berkomunikasi efektif, dan peka nilai. Guna mencapai kompetensi tersebut, disusun tahapan pembelajaran modul EPC sebagai berikut: 1. a. Komunikasi efektif: Orientasi: secara bertahap mahasiswa diberi pembekalan komunikasi dan dilatih bagaimana menciptakan suasana komunikasi (conditioning) yang nyaman, membangun kesetaraan dengan lawan bicara, membina rapport
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 4, April 2009

Komunikasi Dengan Empati, Informasi dan Edukasi: Citra Profesionalisme Kedokteran (mempertahankan kontak mata), mendengar aktif (mendengarkan dan merespons dengan bahasa tubuh), menghargai pasien sebagai manusia seutuhnya, memberi tanggapan yang positif serta bersikap empati. Mempelajari contoh film atau role model sebagai pemicu. b. Latihan komunikasi dengan empati: berlatih menjadi pendengar aktif, bermain peran (role play) bagaimana mahasiswa mengalami sendiri ( self experience ) berkomunikasi empati dan non-empati secara bergantian. Merabarasakan bagaimana bila diperlakukan dengan empati dan nonempati c. Umpan balik: melihat kembali serta mengkoreksi sendiri sikap dan perilaku saat bermain peran (yang direkam dengan video) serta mendapatkan masukan dari sejawat dan tutor. d. De-roling: setelah selesai bermain peran dilakukan deroling, yaitu membasuh peran agar kepribadian saat bermain peran hilang dan kembali kepada kepribadian aslinya. 2. Berpikir kritis: mahasiswa dilatih bagaimana berpikir kritis dengan membaca artikel yang berkaitan dengan isu etikamoral dan profesionalisme dalam praktik, melihat model atau film tentang perilaku komunikasi dengan empati (misalnya film Patch Adam), dan etika kedokteran (misalnya clonning), kemudian membahasnya dalam diskusi kelompok dengan tutor. Dalam diskusi kelompok mahasiswa juga belajar berdiskusi dengan benar. Praktik lapangan: mahasiswa melakukan kunjungan rumah atau bangsal perawatan didampingi tutor dan dilatih keterampilan berkomunikasi dengan empati secara langsung dengan pasien, keluarga pasien, atau orangorang yang berada di sekitar mereka. Pengalaman praktik lapangan tersebut membantu mempertajam empati, mengendalikan emosi, dan meningkatkan kemampuan komunikasi. Kegiatan mandiri: mahasiswa belajar dan mencari informasi dari berbagai sumber belajar antara lain di perpustakaan, termasuk searching internet di laboratorium komputer FKUI. nilai para tutor. Ucapan terima kasih yang tak terhingga dihaturkan kepada para para staf yang telah berkontribusi, meluangkan waktu, mencurahkan tenaga dan pikiran, melaksanakan dan mensukseskan modul EPC, yang kini menjadi ciri FKUI. Selanjutnya tahun ajar 2001/2002 modul EPC secara resmi dimasukkan dalam kurikulum FKUI (lama), baik untuk mahasiswa kelas regular maupun kelas berbahasa Inggris (international class). Modul tersebut mendapat tanggapan positif. Di UI komunikasi diajarkan dalam program Pendidikan Dasar Perguruan Tinggi (PDPT), sebagai salah satu soft skill. Sedangkan di FKUI tetap diajarkan sebagai modul EPC yang utuh bagi calon dokter di semester 1 dan dilanjutkan berkesinambungan pada tahap clinical sciences dan clinical practice Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2005.18 Setelah tahun 2004, para pengelola modul EPC senantiasa memperbaharui dan mengembangkan modul dengan menambahkan materi bioetik dan hukum kedokteran. Agar sesuai dengan isi maka dinamakan modul Empati dan Bioetik untuk Pengembangan Pribadi dan Profesi Kedokteran dalam konteks Humaniora (EBP3KH).19 Selanjutnya implementasi modul tersebut dilanjutkan secara terintegrasi horizontal dan vertikal di setiap modul di klinik. Saat ini mahasiswa kedokteran FKUI angkatan pertama KBK 2005 telah berada di modul praktik klinik, mengimplementasikan clinical sciences termasuk EPC. Mereka, sebagai dokter muda, mulai menghadapi kasus nyata, sehingga perlu mendapat contoh dan bimbingan tutor bagaimana berinteraksi dan berkomunikasi efektif dengan benar, santun dan ramah. Bagaimana memberikan informasi medis yang benar dan lengkap, memberi edukasi atau nasihat kesehatan, menyampaikan berita buruk dan berita gembira, dengan bahasa yang mudah dimengerti pasien.20 Dengan demikian, selain cara berkomunikasi yang benar, juga dibutuhkan kompetensi ilmu pengetahuan medis sebagai isi komunikasi. Cara berkomunikasi dengan empati adalah alat atau kegiatan untuk terlaksananya komunikasi efektif. Komunikasi efektif tersebut dapat meningkatkan kepatuhan pasien dan taraf kepuasan pasien.11,21 Dosen klinik di RS Pendidikan perlu memberikan contoh dan bimbingan, serta memberi pelatihan berulang-ulang dan berkesinambungan, agar keterampilan komunikasi efektif tidak hanya menjadi citra profesionalisme kedokteran semata, tetapi melekat erat menjadi budaya diri seorang dokter. Materi penting yang tak dapat diabaikan dalam pendidikan kedokteran adalah humanity in medicine , terutama 5 qualities of mind yang terdiri atas berpikir kritis, nondogmatis, peka terhadap nilai, empati dan sadar diri. Materi tersebut senantiasa diterapkan dalam melakukan pendekatan diagnosis dan pengobatan secara komprehensif-holistik pada pasien.22,23 Prof. DR. Dr. Agus Purwadianto, SH, melihat kepentingan di lapangan, yaitu kurangnya jumlah dosen yang menguasai masalah bioetik, hukum kedokteran, dan hak azasi
149

3.

4.

Itulah modul FKUI yang paling banyak melibatkan para sejawat, baik sebagai tutor maupun narasumber dari hampir semua departemen dan paling sering melakukan pelatihan staf menjadi tutor. Tentunya pelatihan tersebut memerlukan biaya yang tidak sedikit, namun manfaatnya besar guna membangun karakter mahasiswa kedokteran.15 Perlu diingat bahwa dalam pembelajaran afektif peran seorang tutor sangat penting, baik sebagai pembimbing maupun sebagai role model. Modul EPC dituangkan dalam buku rancangan pembelajaran (BRP), dilengkapi buku pegangan tutor, dan buku panduan peserta. Saat itu evaluasi dilakukan dengan ujian esai, laporan tugas komunikasi, serta pemantauan dan
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 4, April 2009

Komunikasi Dengan Empati, Informasi dan Edukasi: Citra Profesionalisme Kedokteran manusia (HAM). Tidak hanya di FKUI, tetapi juga di fakultas kedokteran lain di Indonesia. Kemudian beliau menyusun proposal program pendidikan nongelar bioetik bagi dosen fakultas kedokteran di Indonesia, lengkap dengan modul pelatihannya. Program itu terdiri atas Trilogi Modul Pelatihan, yaitu Modul Bioetik, Modul Mediko-legal dan Hukum Kedokteran, serta Modul Humaniora dan Hak Azasi Manusia. Untuk pelatihan tersebut FKUI ditunjuk sebagai pelaksana dan pelaksanaannya mendapat dukungan penuh dari HWSDIKTI.24 Bioetik merupakan keilmuan interdisiplin. Berbeda dengan etika klinis, bioetik lebih menekankan tentang hubungan langsung dokter-pasien, sedangkan etika klinis lebih merupakan pedoman yang harus ditaati para dokter saat mempraktikkan keprofesiannya.17 Terdapat perbedaan sudut pandang pasien dan dokter terhadap sakit sehingga terkadang terjadi friksi persepsi: 1. Pasien lebih memprioritaskan perasaan dan masalah dirinya yang sakit, mengharapkan lebih mendapat perhatian, empati, perlakuan yang ramah dan santun dalam upaya penyembuhan yang cepat. Pasien mempunyai hak mendapatkan informasi guna memahami penyakitnya, sehingga dapat mengambil keputusan menerima atau menolak pengobatan (hak autonomy). 2. Dokter lebih menekankan pada penyakit (disease) dan selalu mengacu pada profesionalisme (kaidah dasar moral) yang harus dianutnya. Mempunyai niat untuk berbuat baik (beneficence), memberikan pelayanan medis dengan standar kedokteran tertinggi, menghormati hak autonomi pasien, berlaku adil ( justice) tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, dan agama. Prinsip etika kedokteran yang harus dijunjung tinggi, do no harm (non-maleficence), yaitu tidak boleh merugikan pasien. Citra profesionalisme kedokteran dalam etika klinis didasari dengan setiap tindakan baik untuk diagnostik maupun terapi harus sesuai indikasi, seizin pasien (informed consent), dan bukti klinis (evidence based medicine), mempertimbangkan preferensi pasien, quality of life pasien, dan berbagai faktor humaniora (sosial, budaya, ekonomi, agama) yang dapat mempengaruhi kesembuhan. 6,17 Karena itulah dalam kurikulum kedokteran sebaiknya ditambahkan aspek bagaimana menangani (management) orang sakit secara profesional dan tips bagaimana menghadapi pasien yang sulit. Pengetahuan menangani orang sakit adalah bekal seorang dokter dalam praktik kesehatan individu dan kesehatan masyarakat sehingga terhindar dari pelanggaran etika dan disiplin. Komunikasi dengan empati merupakan jiwa dalam profesionalisme kedokteran.6,7,17 Kompetensi Dosen: 12 roles of medical teacher Pada program pendidikan dokter yang menggunakan KBK diperlukan dosen yang kompeten dalam metode
150

pembelajaran modern yang mampu memotivasi peserta belajar aktif mandiri.14,16,18 Dosen adalah scholar, sehingga dosen pun dituntut senantiasa harus belajar sepanjang hayat.7,14 Selain selalu meningkatkan diri dalam ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, juga ilmu pendidikan kedokteran. Pendidikan profesi dokter dilakukan oleh dokter berstatus dosen. Seorang dokter (asal kata docere artinya dosen, guru) adalah dosen yang selain ekspertis juga memiliki kemampuan membimbing, mendidik, dan menilai peserta didik. Sejak tahun 2007 FKUI telah mulai melakukan program pelatihan 12 roles of medical teacher , yaitu kompetensi sebagai mentor, fasilitator, on the job of role model, teaching role model, lecturer, clinical or practical teacher, resource material creator, study guide production, course organizer, curriculum planner, curriculum evaluator, dan student assessor.28 Semula pelatihan dilaksanakan oleh Unit Pendidikan Kedokteran (UPK), sekarang dilaksanakan secara terprogram oleh Departemen Pendidikan Kedokteran (DPK). Para dosen FKUI dan dosen klinis RS pendidikan FKUI secara bergiliran berkesempatan mengikuti program pelatihan tersebut.29 Kompetensi sebagai mentor (tutor) dan role model sangat dibutuhkan pada implementasi modul EBP3KH Penutup Komunikasi dengan empati (komunikasi efektif) merupakan salah satu dari tujuh area kompetensi utama bidang kedokteran yang harus dikuasai oleh semua dokter, dokter spesialis dan dokter gigi, termasuk juga paramedis. Komunikasi dengan empati penting guna menyelesaikan masalah pasien, diagnosis dan terapi, memberikan informasi dan edukasi, menetapkan keputusan, serta berbagi (to share) pikir dan rasa, membina hubungan dokter-pasien yang lebih baik. Kompetensi komunikasi dengan empati, tidak dapat dipisahkan dari kompetensi lainnya yaitu etika, moral, dan profesionalisme dalam praktik; mawas diri, serta pengembangan diri dan belajar sepanjang hayat. Communication is not add on. It is at the heart of patient care.8 Daftar Pustaka
1. 2. 3. 4. 5. 6. Undang-undang Guru dan Dosen, 2005. Peraturan Pemerintah.152 tahun 2000, Penetapan UI sebagai BHMN. Keputusan Wali Amanah UI No. 01/SK/MWA-UI/2003 tentang anggaran Rumah Tangga Universitas Indonesia. Keputusan DGB-FKUI No:03/SK/DGB-FKUI/2008 tentang Tatatertib Guru Besar FKUI. Keputusan DGB-FKUI No:04/SK/DGB/FKUI/VII/2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Guru Besar FKUI. Rafdinal. Hospital development program training: excellent customer service. Disampaikan sebagai ceramah di Departemen IK Kulit dan Kelamin, RSCM, Jakarta, November 2008. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Majelis Kedokteran Etik Indonesia (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia, 2002. Lloyd M, Bord R. Communication skill for medicine. 2 nd ed. Edinburgh: Churchill Livingstone; 2004. Kurtz S, Silverman J, Draper J. Teaching and learning communi-

7.

8. 9.

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 4, April 2009

Komunikasi Dengan Empati, Informasi dan Edukasi: Citra Profesionalisme Kedokteran


cation skills in medicine. 2nd ed. Oxon UK: Radcliffe Ltd.; 2005. 10. Ali M, Sidi, IPS (editor). Manual komunikasi dokter pasien. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia; 2006. 11. Bensing J. Doctor-patient communication and the quality of care. Sos Sci Med. 1991;32(1):1301-10. 12. Laine Ch. Let me see if I have this right Words that help built empathy. Annals of Int Medicine 2001;135:221-7. 13. Trilogi WFME. Basic medical education WFME global standards for quality improvement. Global standards in post graduate medical education, global standards in CPD. WFME Office. Denmark: University of Copenhagen; 2003. 14. Creating the future of the Faculty of Medicine University of Indonesia, Strategic plan 2000-2010. 15. Modul empathy and communication related to patient care. Jakarta: QUE project FKUI; 2000-2004. 16. Asy-Syalhub F. Al-Muallimul awwal shallallahu alaihi wa aallam. Guruku Muhammad (terjemahan Nashirul Haq). Depok: Gema Insani; 2006. 17. Martaadisoebrata D. Pengantar ke dunia profesi kedokteran. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2004. 18. Kurikulum Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2005: kurikulum berbasis kompetensi. Program Pendidikan Dokter. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. 19. Rancangan pengajaran modul empati dan bioetik untuk pengembangan pribadi dan profesi kedokteran dalam konteks humaniora (EBP3KH). Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 20062007. 20. Sujudi A, Sulaiman A, Ismael S. 150 tahun pendidikan dokter di Indonesia, menuju persaingan global. Jakarta: Temu Ilmiah Akbar, KPPIK, FKUI 2002. Daldiyono. Menuju seni ilmu kedokteran. Bagaimana dokter berpikir, bekerja, dan menampilkan diri. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; 2006.p. 238-63. Clauser KD. Humanities in medical education: some contributions. J Med and Phylosophy 1990;15:289-301. Sjamsuhidayat. Humanity in medicine. Bahan kuliah Modul EBP3KH semester 1. Jakarta: FKUI; 2006. Purwadianto A. Rancangan pengajaran bioetik untuk dosen fakultas kedokteran. Jakarta: FKUI; 2007. Rancangan pengajaran modul klinik ilmu kesehatan kulit dan kelamin, Jakarta: FKUI; 2008. Ferguson WJ, Candib LM. Modern culture and physician-patient communication: culture, language and doctor patient relationship. Fam Med 2002;34(5):353-61. Standar Kompetensi Dokter, Konsil Kedokteran Indonesia. Jakarta: 2005. Harden RM. AMFE Guide No.20. The Good teacher is more than a lecturer: the 12 roles of teacher. The Medical Teacher. 2000;22:334-47. Departemen Pendidikan Kedokteran FKUI. Program Pelatihan 12 roles of medical teacher. Jakarta: FKUI, 2008.

21.

22. 23. 24. 25. 26.

27. 28.

29.

SS

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 4, April 2009

151

Anda mungkin juga menyukai