Anda di halaman 1dari 14

Personaliti Brand Halal dan Pengaruhnya terhadap Intensi Membeli Mahdi Borzooei and Maryam Asgari Business Management

Faculty, Universiti Teknologi MARA, Shah Alam, Malaysia Abstrak. Halal bukan hanya merupakan sebuah isu agama, Halal juga merupakan isu pada kajian bisnis dan penjualan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengusulkan sebuah model dalam menentukan personaliti brand Halal dan menguji dampaknya pada kepercayaan dan intensi membeli. Secara khusus, komitmen beragama dengan dimensi intra-personal dan inter-personal disajikan sebagai variabel moderator. Sebuah kajian literatur dilakukan untuk memilih model teori yang sesuai berdasarkan variable-variabel yang sudah diketahui. Sebagai tambahan, makalah ini menyediakan wawasan mengenai masing-masing variable yang diusulkan dalam model. Implikasi praktis dari penelitian ini adalah untuk memperluas jendela baru untuk tim pemasaran dan bisnis di Negara-negara berbeda yang terlibat dalam bisnis Halal. Pembangunan brand Halal yang kuat dapat membantu perusahaan untuk mendapatkan pengakuan, kredibilitas dan menjadi pemain utama di pasar yang menguntungkan di dunia. Menjadikan Halal sebagai lensa dari brand ing pada lingkungan bisnis meningkatkan citra dari Halal dan menjadikannya lebih dikenal dikalangan non-muslim. Pada akhirnya, ini merupakan penelitian perintis yang bertujuan untuk mengimplementasikan personaliti brand dan kepercayaan brand pada keHalalan. Kata kunci : Halal, personaliti Komitmen Agama 1. Introduction The word Halal has many connotations and it is difficult if not impossible to use it to adequately convey the true quality of a product in the religious context brand , kepercayaan brand , Intensi Membeli,

intended by the certifying authorities (Wilson & Liu, 2010; Hanzaee & Ramezani, 2011). 1. Pengantar Kata Halal memiliki banyak konotasai dan sulit untuk menggunakannya untuk menyampaikan kualitas sebenarnya dalam konteks agama seperti yang dimaksudkan oleh pihak otoritas sertifikasi. (Wilson & Liu, 2010; Hanzaee & Ramezani, 2011). Kata Halal berasal dari kata kerja halla, dimana memiliki arti berhukum, legal, sah, dan diizinkan untuk umat muslim (Jallad, 2008). Pada kenyataannya, Halal merupakan kebutuhan spiritual dari konsumen muslim (Alserhan, 2010) yang memainkan peran penting dalam kehidupan mereka dengan mengirimi mereka sinyal untuk membeli dan mengkonsumsi produk yang diperbolehkan (Rajagopal et al. 2011; Shafie & Othman, 2006). Populasi muslim saat ini mendekati seperempat dari populasi dunia, dan di diproyeksi terus meningkat setiap tahunnya rata-rata 26-28% sejak tahun 2010 (Muhammad et al., 2009; Hanzaee & Ramezani, 2011) hal ini akan mendorong pada permintaan yang akan semakin terukur pada produk Halal secara global (Temporal, 2011; Cheng, 2008). Tingkat permintaan yang signifikan ini memotivasi bisnis (Muslim dan nonMuslim) untuk berupaya mendapat dan menjaga pangsa pasar maksimum. (Lada et al.,2009). Misalnya, McDonalds dan Nestle melakukan investasi secara substansial untuk mendapat pangsa yang besar pada pasar ini. Pada pasar yang penuh persaingan, setiap produk menawarkan banyak brand yang berbeda, dan setiap brand mencoba untuk memenangkan tempat khusus dan menarik banyak konsumen (Aziz & Vui, 2012).

Halal sebagai asset sentral pada pemasaran secara islam (Rajagopal et al., 2011) memiliki syarat dan kualifikasi dari sebuah entitas brand yang sah (Nawai et al., 2007; Salman & Siddiqui, 2011; Isfahani et al., 2013). Pada kenyataannya, brand Halal merupakam tempat yang aman untuk mengurangi rasa ketidakyakinan dalam pembelian produk. Hal ini juga dapat menjadi sumber dalam membangun hubungan baik yang kuat dengan konsumen. Sementara itu penelitian-penelitian terdahulu yang sudah dikerjakan, juga mengeksplorasi aspek berbeda dari brand Halal seperti kondisi pasar Halal (Alserhan, 2010), management suplai pemasok produk Halal (Tieman, 2011), konsep dari Halal (Jallad, 2008) dan Sertifikasi Hallal (Shafie & Othman, 2006; Noordin et al., 2009). Persepsi Non-muslim mengenai Halal (Golnaz et al., 2010). Terdapat kelangkaan penelitian pada implementasi teori brand pada brand Halal. Untu mengisi kesenjangan ini, penelitian ini menggunakan lima dimensi dari personaliti brand yang diidentifikassi oleh Aaker (1997) seperti juga kepercayaan brand sebagai hubungan kuat yang besar antara brand dan konsumen (Serrat, 2009). Terdapat beberapa alasan agar tetap fokus pada Halal itu sendiri sebagai sebuah aspek branding. Pertama Halal dapat menjadi lebih dari sekedar indikator dari produk yang sehat dan alami, dan Halal saat ini hanya memiliki sebuah hubungan citra yang tidak sesuai dalam pikiran konsumen barat (Temporal 2011). Kedua, penelitian ini membantu perusahaan-perusahaan untuk memasuki pasar baru dengan menambah nilai pada produknya dalam lingkungan yang kompetitif ini. Terakhir, konsumen muslim tidak dapat mengakses produk Halal dimana saja di pasar, tetapi hanya di beberapa outlet saja (Dali et al, 2009). Misalnya, di Amerika, terdapat 90000 khoser (Istilah Halal Yahudi) produk bernilai mendekati

USD 100 Miliar. Perbandingannya hanya terdapat 1000 produk Halal yang tersedia di pasar yang sama (Alserhan, 2010). Kondisi ini dapat diperbaiki dengan meningkat kesadaran dan mengenalkan dimensi brand Halal diantara produsen non-muslim, untuk mencapai pijakan pasar yang kuat di lebih dari 1,5 miliar orang yang berdasarkan pada nilai, prinsip dan praktik islam. Akhirnya penelitian ini fokus pada implementasi model personaliti brand untuk mengidentifikasi personaliti brand Halal, dan dampaknya pada intensi membeli melalui mediasi kepercayaan pada brand dan di moderasi dampak dari komitmen beragama. Dengan demikian penelitian ini menyediakan sebuah landasan yang sangat baik yang akan digunakan untuk mengaplikasikan teori brand yang berbeda pada brand Halal. Selanjutnya model teoritikal (Gambar 1) menunjukan konstruk dan hubungan-hubungan dalam model. Untuk lebih memahami arti penting dari implementasi teori-teori branding pada intensi pembelian, berikut adalah tujuan dilakukannya penelitian ini: 1) Untuk menginvestigasi pengaruh dari personaliti brand terhadap intensi pembelian 2) Untuk meninvestigasi dampak dari personaliti brand pembelian dengan perantara kepercayaan terhadap brand 3) Untuk menginvestigasi dampak moderasi dari komitmen beragama antara personality brand dengan kepercayaan terhadap brand , dan juga terhadap intensi

personaliti brand dengan intensi pembelian

Gambar 1 : Kerangka teori yang diajukan Model yang diajukan didesain dengan personaliti brand sebagai variable independen dengan lima dimensi, yaitu: ketulusan, keunggulan, gairah/ semangat, kemewahan, dan kekuatan. Kepercayaan pada brand dan komitmen beragama memainkan peran masing-masing yaitu sebagai variable perantara dan variable moderasi, dimana intensi pembelian adalah satu-satunya variable dependen. Diskusi selanjutnya menyajikan gambaran dari variabel dan juga kesimpulan. 2. Personaliti Brand Personaliti brand diambil dari teori kebiasaan konsumen dan psikologi manusia (Heding et al., 2009). Aaker (1997) mengembangkan sebuah model brand personality yang terdiri dari lima dimensi dasar yaitu ketulusan (sincerity),

keunggulan (competence) , gairah (excitement), kemewahan (sophistication), dan kekuatan (ruggedness) untuk menghitung nilai personaliti brand . Meskipun sebagian model personaliti brand sudah dikembangkan oleh banyak peneliti yang berbeda, model dari Aakers (Gambar 2) masih lebih popular dan valid untuk menghitung nilai dari personaliti brand (Freling et al., 2011). Pada kenyataannya, personaliti brand sama dengan karakter manusia yang menggambarkan sebuah brand yang memiliki karakteristik yang melekat dan berbeda (Tuan et al., 2012).

Selain itu personaliti dapat menciptakan kesempatan untuk sebuah brand mendapat tempat yang khusus di dalam pikiran konsumennya (Upshaw, 1995). Dalam konteks halal, konsumen memiliki definisi dan persepsi yang berbeda-beda tentang Halal (Golnaz et al., 2010). Demikian, secara garis besar Personaliti brand Halal membantu menyatukan kelompok-kelompok dengan perbedaan yang ada (muslim dan non-muslim). Pesonaliti juga merupakan sebuah cara sehingga brand Halal dapat berbicara dan mencerminkan prilaku. Sebagai contoh Marlboro memiliki konotasi jantan/ maskulin sedangkan Apple dikenal dengan karakter keren, bersahabat dan pilihan para professional yang kreatif. Oleh karena itu, penemuan Halal sebagai personaliti brand menolong konsumen untuk merasa dekat dengan produk dan kemudian mengambilnya tanpa ragu-ragu. Apalagi, personaliti brand seperti personaliti pada manusia yang tidak berubah dengan mudah dan kombinasi karakter dengan brand membuat sebuah hubungan yang kuat (Temporal, 2001). Oleh karena itu, personaliti brand dekat hubungannya dengan karakter konsumen (costumers personality), maka konsumen mungkin akan memilih brand dengan personaliti yang cocok dengan personaliti mereka (Tuan et al., 2012). Dalam hal ini, menspesifikasikan personaliti brand halal membantu konsumen (muslim dan non-muslim) untuk menciptakan hubungan yang kuat dengan brand halal, dan dapat mengekspresikan personaliti ataupun idealisme mereka melalui brand yang mereka beli dan gunakan.

Souche : aaker (1997)

Gamber 2 : Dimensi Personaliti Brand Lebih lanjutnya lagi, personality brand merupakan salah satu elemen utama dari strategi brand (Temporal, 2011), yang perusahaan perlu untuk dikembangkan dengan tujuan untuk menjadi bagian dari kehidupan konsumen (Choi et al., 2010). Dan lagi memang, personaliti brand merupakan bagian yang penting bagi manajer pemasaran untuk menciptakan perbedaan di pasar (Sung & Kim, 2010). Untuk memudahkan, Aaker (1997) mendeskripsikan beberapa contoh dari brand yang berbeda dengan personaliti yang berbeda seperti Mild Seven yang dikesankan feminism, sedangkan IBM terkesan tua. Demikian pula, penemuan personaliti brand halal menggambarkan cara brand halal mengekspresikan dan mewakili dirinya percaya (beliefs), nilai (values), tampilan (features), ketertarikan (interests), dan warisan budaya (heritage) yang brand halal ini miliki (dalam pasar dan tujuan penggunaannya)-

diantara pesaingnya. Selanjutnya, persepsi konsumen mengenai lima dimensi personaliti brand akan berbeda-beda tergantung pada keuntungan yang mereka dapat dari brand (Maehle et al., 2011). Keuntungan-keuntungan ini terdiri dari tiga komponen, yaitu keuntungan fungsional, keuntungan berdasar pengalaman (experiental), dan keuntungan

secara simbolik (symbolic) (Park et al.,1986). Keuntungan fungsional mengindikasikan bahwa sebuah brand dapat menyelesaikan masalah konsumsi saat ini atau mencegah masalah lainnya yang berpotensi muncul. Selanjutnya, sebuah brand dengan konsep eksperiental yang didesain untuk melengkapi kebutuhan stimulasi dan variasi yang dihasilkan secara internal, sedangkan konsep simbolik didesain untuk menghubungkan produk dengan citra pribadi yang diinginkan. Misalnya, mengutip Maehle et al (2011), personaliti kompetensi memiliki hubungan dengan keuntungan fungsional, sedangkan kekuatan dan kecanggihan secara ekslusif juga memiliki hubungan dengan keuntungan simbolik. Dengan demikian, pengenalan dari personaliti Halal dapat menunjukan keuntungankeuntungan spesifik dari brand halal. Personaliti brand mempengaruhi hubungan antara konsumen dan brand (Louis & Lombart, 2010). Di pasar, konsumen membangun hubungan dengan banyak brand setiap harinya, sehingga personaliti brand adalah sebuah elemen penting pada pembuatan keputusan yang dilakukan oleh konsumen, intensi pembelian dan upaya menjaga hubungan yang kuat dengan sebuah brand (Louis & Lombart, 2010; Bouhlel et al., 2009). Begitu pula, personaliti brand sebagai sebuah konsep yang menarik (Rajagopal, 2005), berdampak pada tingkat kepercayaan terhadap brand sebagai sebuah hal yang fundamental bagi konsumen (Sung & Kim, 2010; Freling et al., 2011). Sebagai contoh, berdasarkan pada penelitian dari Maehle et al. (2011), merek yang memiliki personaliti jujur menunjukan nilai moral yang tinggi, sedangkan merek memiliki personaliti menarik menawarkan kesempatan untuk mengalami perasaan yang menyenangkan. Pada hal ini, sebuah brand dengan personaliti yang jujur dapat membangun sebuah hubungan yang lebih kuat dari pada sebuah brand

dengan personaliti yang menarik (Heding et al., 2009). Menemukan personaliti yang benar dari produk halal dapat membantu tim pemasaran untuk lebih memahami persepsi konsumen mengenai brand halal dan apa yang mereka rasakan mengenai itu. Sebagai ilustrasi, jika Halal mencerminkan sebuah kepribadian yang jujur, itu akan mencerminkan kebenaran dari kepribadian manusia. Oleh karena itu, karakteristik Halal ini dapat menciptakan hubungan yang tahan lama dan memberi ketenangan pikiran kepada konsumen. Akhirnya, ketika tim pemasaran mengelola dan mengembangkan personaliti brand, secara otomatis akan menyuntikkan karisma kepada produk mereka (Temporal, 2001). 3. Kepercayaan pada Brand (Brand Trust) Kepercayaan, yang merupakan bagian yang penting dari setiap manajemen strategi (Temporal, 2011), adalah faktor penting dalam lingkungan bisnis hari ini (Liza, 2011) untuk meningkatkan sebuah hubungan yang kuat antara brand dan konsumennya (Matzler et al., 2006; Bouhlel et al., 2009). Kepercayaan dapat dikategorikan menjadi aspek emosional dan rasional (Serrat, 2009; Temporal, 2011). Bagian emosional dihubungkan dengan kepercayaan diri (confidence), keamanan (security), ketertarikan (interetest), kepedulian (respect), kesukaan (liking), rasa terimakasih (gratitude), dan kekaguman (admiration) (Serrat, 2009), sedangkan aspek rasional menunjukkan kredibilitas yang berkaitan dengan kemampuan sebuah brand untuk memenuhi kebutuhan konsumen, dan kinerja brand (Belaid & behi, 2011). Dalam konteks Halal, menurut sebuah studi oleh Wilson dan Liu (2010), Halal memainkan beberapa peran pada kehidupan muslim (bagian dari kepercayaan, kepentingan kehidupan sehari-hari, sistem etika, dan kedamaian emosional). Dengan demikian, membangun sebuah brand halal yang terpercaya memungkinkan perusahaan untuk menarik konsumen secara

emosional. Sebagai tambahan, dalam tujuan mencapai kepuasan dari sisi rasional, bisnis harus memberikan perhatian yang besar pada kebutuhan konsumen melalui mematuhi dengan benar peraturan syariah pada produk mereka. Dengan demikian, kepercayaaan akan meningkatkan komitmen konsumen terhadap brand (Mohamed & Daud, 2012) Berdasarkan pada teori pemasaran, kepercayaan adalah bagian yang penting dari sebuah hubungan, dimana sudah dipelajari dan diuji oleh para psikolog, sosiolog, dan ekonom pada perpektif dari prinsip-prinsip manajemen dan pemasaran. Sudah merupakan sebuah kesepakatan mereka bahwa ketika konsumen memiliki kepercayaan pada sebuah brand diiringi dengan kepercayaan bahwa brand tersebut akan secara konsisten memenuhi janjinya terkait nilai pada konsumen (Delgado-Ballester & Munuera-Alemn, 2005). Melalui analisa pada kepercayaan konsumen sebagai strategi pemasaran, sebuah perusahaan dapat menjaga konsumennya yang sekarang dan memenangkan yang lainnya juga (Sichtmann, 2007). Misalnya, mengenai peningkatan kesadaran terhadap brand halal dikalangan konsumen kristiani dan yahudi (Alserhan, 2010), menanamkan kepercayaan pada brand halal dapat meningkatkan permintaan di pasar Halal karena konsumen akan memiliki keyakinan terhadap brand ketika mereka mengenal brand tersebut dengan kagum dan menyenanginya. Selanjutnya, pada pasar dengan tingkat persaingan tinggi, kepercayaan terhadap brand merupakan keuntungan persaingan yang signifikan dimana memiliki dampak yang hebat pada intensi kebiasaan konsumen. Terbukti bahwa kepercayaan meningkatkan intensi konsumen melakukan pembelian (Liza, 2011; Bouhlel et al., 2011) dan ini berdampak pada kebiasaan pembelian konsumen yang berulang-ulang (Belaid & Behi, 2011).

Pada akhirnya, kepercayaan adalah elemen penting yang fokus pada hubungan akan datang antara brand dan konsumen karena ini menjadi sebuah jaminan bagi konsumen bahwa mereka akan mendapat nilai lebih dari brand, sedangkan kurangnya kepercayaan akan berdampak negatif pada hubungan tersebut (Gurviez & Korchia, 2002). Oleh karena itu, sangat diperlukan bagi sebuah brand untuk bisa dipercaya dan dapat diandalkan oleh konsumen (Wang, 2002). 4. Komitmen Beragama Agama adalah nilai inti dari budaya yang mengilhami kehidupan sehari-hari anggota kelompok budaya (Mokhlis & Spartks, 2007). Faktanya agama membentuk sitem moral individu dan struktur etik masyarakat. Komitmen beragama, sering diistilahkan religiosity, dapat mempengaruhi individu secara kognitif maupun secara kebiasaan (Mokhlis & Spartks, 2007). Selanjutnya, ini merupakan sistem nilai yang membedakan masyarakat yang shaleh, kurang beragama, dan tidak beragama. Orang yang shaleh akan mengikuti prinsip agama mereka seperti setiap minggu menghadiri peribadatan, ketat berkomitmen pada doktrin-doktin agama dan keanggotaan dalam kelompok, akan tetapi orang yang memiliki kepercayaan pada ajaran agama merasa lemah untuk melakukan hal lain dengan bebas. Sistem nilai dari orang shaleh ini akan berpengaruh pada langsung pada kebiasaan pilihan mereka di pasar, komitmen dan tingkat kepercayaan pada brand tertentu (Khraim, 2010; Rindfleisch et al., 2005). Komitmen beragama terdiri dari dua dimensi yaitu intra personal dan inter personal yang memainkan peran penting dan sama pada kehidupan orang beragama (shaleh) (Mokhlis & Spartks, 2007). Dimensi internal menunjukan identitas agama, sikap beragama, nilai, dan kepercayaan, sedangkan dimensi

external mengekspresikan afiliasi beragama, praktik-praktik beribadah, atau keanggotaan pada komunitas beragama. Sebagai sebuah pemahaman mengenai kebiasaan konsumen, tim pemasaran sebaiknya mengupayakan dan menentukan sebagaimana kuat konsumen berkomitmen dan berafiliasi dengan agama mereka, karena komitmen beragama menunjukan sistem kepercayaan mereka dan ketaatan mereka pada kepercayaan mereka sebagaimana gaya mengkonsumsi dan proses mengambil keputusan (Mokhlis & Spartks, 2007; Khraim, 2010). Pada akhirnya, komitmen beragama bervariasi dari satu orang dengan orang lainnya; oleh karena itu konsumsi dipengaruhi tidak hanya oleh agamanya saja, tapi juga oleh intensitas seseorang berafiliasi dengan agamanya ataupun komitmen beragamanya (Mukhtar & Butt, 2012) 5. Intensi Pembelian Isu yang paling signifikan di masing-masing industri berkonsentrasi pada meningkatkan intensi pembelian. Konsep penting dalam pendekatan pemasaran ini membantu manajer-manajer dalam mengadakan strategi yang sesuai di pasar yang berhubungan dengan permintaan pasar, segmentasi pasar, dan program promosi (Tsiotsou, 2006). Intensi pembelian adalah sebuah proses mengalisa dan memprediksi kebiasaan konsumen (Lin & Lin, 2007) berkaitan dengan keinginan untuk membeli, menggunakan dan perhatian mereka yang lebih pada sebuah brand (Changa & Liub, 2009; Shah et al., 2012). Intensi pembelian yang unggul mempromosikan pembelian (Chen et al., 2012) sejak pengalaman pertama konsumen setelah melakukan pembelian dan mendapat

perasaan yang secara bersamaan mengakibatkan konsumen membeli lagi brand tersebut (Lin et al., 2011). Terkait hal ini, penilaian mengenai intensi pembelian produk halal akan membantu memahami lebih baik lagi kebutuhan, ekspektasi dan persepsi dari konsumen (Shaari & Arifin, 2010). Bersandar pada penelitian yang dilakukan oleh OCass and Lim (2001), terdapat hubungan yang kuat antara personaliti brand dan Intensi pembelian. Dengan demikian, melalui indentifikasi personaliti brand halal, bisnis akan dapat meningkatkan intensi pembelian konsumen dan merubah sikap dari konsumen yang memandang halal hanya merupakan isu spiritual (bebas alcohol dan kandungan babi). 6. Conclusion Pada penelitian ini, sebuah upaya dilakukan untuk mengklarifikasi secara konseptual implementasi dari teori brand pada materi Halal. Pada penelitian ini, kami mengajukan sebuah model yang menggambarkan hubungan antara personaliti brand, kepercayaan pada brand, dan intensi pembelian. Personaliti brand sebagai praktik modern dan menarik dalam teori pemasaran telah digunakan dalam penelitian ini. Titik sorotnya penerapan model ini adalah untuk menggambarkan nilai personaliti brand Halal. Dampak dari personaliti brand halal pada kepercayaan dan intensi pembelian melalui efek moderasi dari komitmen beragama merupakan bagian lain dari penelitian. Kepercayaan pada brand sebagai bagian vital dari hubungan brand konsumen membantu membangun sebuah hubungan yang kuat antara brand dan konsumen juga menuai keuntungan-keuntungan yang signifikan. Hopefully, the findings from this research will be useful for scholars, Halal manufacturers and marketers. The theoretical importance of this study lies in the

insight it provides into how consumers are becoming more conscious about the Halal brand. Finally, it is recommended to deploy this proposed model empirically. Harapannya, penemuan dari penelitian ini akan berguna untuk para akademisi, pabrik-pabrik produk Halal, dan tim pemasaran. Pentingnya teori pada penelitian ini terletak pada pengetahuan yang menyediakan pemahaman mengenai bagaimana konsumen menjadi lebih sadar tentang brand halal. Terakhir, direkomendasikan untuk menggunakan model yang diajukan ini secara empirik.

Anda mungkin juga menyukai