Anda di halaman 1dari 12

Studi Penggunaan Fabrikasi Fondasi Tiang Dari Bambu Sebagai Soil Reinforcement Pada Konstruksi Timbunan Di atas Tanah

Lunak
Ir. Helmy Darjanto MT Ir. Djoko Soepriyono MT, SH, M.Hum Dr.Ir. Akhmad Basuki Widodo MSc

1.

PENDAHULUAN Konstruksi timbunan di atas tanah lunak umumnya disebut reklamasi.

Reklamasi adalah suatu pekerjaan penimbunan tanah (pasir berlanau) dengan skala volume dan luasan yang sangat besar pada suatu kawasan atau lahan yang relatif masih kosong dan berair, misalnya kawasan pantai, daerah rawa, suatu lokasi di laut, di tengah sungai yang lebar ataupun di danau. Oleh karena dilaksanakan pada kawasan tersebut di atas maka problem utama tersebut umumnya berkisar pada permasalahan rekayasa geoteknik, yaitu perlunya perbaikan tanah asli (misal dengan vertical drain), pre loading, permasalahan penurunan dan sliding. Pada paper ini Penulis membahas tentang sliding/ kelongsoran dengan penggunaan tiang bambu sebagai soil reiforcement. Perbaikan tanah itu sendiri sesungguhnya adalah merupakan bagian dari proses pelaksanaan suatu proyek (misal : reklamasi pantai) yang perlu direalisir apabila tanah tersebut tidak memenuhi syarat ditinjau dari aspek kuat dukung, stabilitas maupun perilakunya. Untuk memilih metoda perbaikan tanah yang tepat dan juga ekonomis harus mempertimbangkan juga unsur-unsur lainnya seperti : [Rahardjo (1998)] 1. Kualifikasi Pelaksana/Kontraktor 2. Waktu pelaksanaan 3. Pengaruh terhadap lingkungan sekitarnya 4. Biaya Melihat faktor pertimbangan di atas, maka akan dicoba bambu laminasi sebagai bahan perbaikan tanah. Bambu memiliki sifat yang baik digunakan untuk

konstruksi, karena bambu kuat, ulet, lurus, ringan dan mudah pengerjaannya. Selain itu bambu mudah untuk didapat dengan harga yang relatif murah. Bambu dalam bentuk bulat biasa dipakai untuk konstruksi sebagai rumah, gudang, jembatan, tangga dan konstruksi lainnya sebagai perancah (scafollding) [ASTM (1989), Ananda et al (1996) dan CNBRC (2001)]. Selain keunggulan-keunggulan bambu seperti dipaparkan tersebut di atas, maka bambu dalam penggunaannya menemui beberapa keterbatasan. Dalam pemakaian sebagai bahan bangunan (konstruksi), faktor yang sangat mempengaruhi adalah sifat fisik bambu yang membuat sukar dikerjakan secara mekanis, variasi dimensi dan ketidakseragaman panjang ruas [Bodiq et al (1982), Fangchun (2000)]. Untuk mengatasi atau mengeliminasi keterbatasan bambu adalah dengan cara laminasi. Dengan membuat bambu menjadi bambu laminasi (laminated bamboo), maka keterbatasan bambu dapat diatasi. Seperti kita ketahui, bahwa sistem laminasi akan memperbaiki (reinforced) sifat bahan aslinya. Sistem laminasi ini akan meningkatkan sifat/kekuatan hingga 150 %. Selain itu, dengan sistem ini, bambu dapat dibuat dengan ukuran, baik panjang maupun diameter yang tidak terbatas (unlimited) [Bodiq et al (1982), Fangchun (2000)].

1.1. Model Mohr-Coulomb

[Plaxis (1998)]

Model Mohr-Coulomb adalah salah satu diantara model perilaku mekanis tanah yang sering digunakan. Model ini direkomendasikan untuk digunakan pada analisis awal dari suatu masalah karena dalam satu lapis tanah model ini menggunakan perkiraan kekakuan rata-rata dari tanah. Prinsip dasar model di atas adalah elastoplastis seperti pada Gambar 1. Plastisitas itu selalu berhubungan dengan regangan permanen (deformasi tetap). Untuk mengevaluasi apakah terjadi plastis atau tidak pada perhitungan, yield function (f), digunakan sebagai fungsi tegangan regangan. Fungsi

leleh/deformasi leleh sering disajikan sebagai suatu permukaan pada ruang tegangan utama (principal stress space).

Gambar 1. Model Elastoplastis

1.2. Model Beam

[Plaxis (1998)]

Bambu dapat dimodelkan sebagai beam. Adapun ketebalan masif dan kekakuan geser beam dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
d eq = 12 EI EA

(1) (2)

shear stifness =

5 * EA 12 * (1 + )

dimana : deq EI EA = tebal masif beam = flexural rigidity = axial stiffness = angka poisson Parameter tegangan plastis dari model tersebut menggunakan momen lentur maksimum, sehingga gaya aksial maksimum yang bekerja pada beam dapat dihitung.

1.3. Diskretisasi Elemen Hingga

[Desai et al (1984)]

Dalam bentuk incremental, pendekatan terhadap hubungan non linier ini dapat dinyatakan sebagai :

[k t ] {dq} = {dQ}
dimana : kt dq dQ = matrix kekakuan sistem = vektor perpindahan = vektor pembebanan

(3)

Didalam prosedur numerik matrix kekakuan [kt] biasanya dinyatakan sebagai :

[k t ] = v [B T ] [C t ][B ]dV
dimana : [B]T [B] [Ct] dV = matrix transformasi regangan = matrix interpolasi regangan = matrix konstitutif = pertambahan volume elemen Perilaku material tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk :

(4)

{d} = [C t ] {d}
dimana : {d} = vektor pertambahan tegangan {d} = vektor pertambahan regangan
dij = C ijkl kl

(5)

atau dalam bentuk tensor persamaan (5) menjadi : (6)

dimana : Cijkl = tangen tensor konstitutif

1.4. Kestabilan Lereng

[Rahardjo (1998)]

Material yang membentuk lereng memiliki kecenderungan tergelincir di bawah beratnya sendiri dan gaya luar yang ditahan oleh kuat geser tanah dari material tersebut. Gangguan terhadap kestabilan terjadi bila tahanan geser tanah tidak dapat mengimbangi gaya-gaya yang menyebabkan gelincir pada bidang longsor. Kelongsoran dapat terjadi akibat hal-hal berikut : 1. Gangguan luar akibat pemotongan atau timbunan baru, 2. Gempa, 3. Kenaikan tekanan air pori akibat adanya pertambahan pembebanan, naiknya muka air tanah dan lain-lain, 4. Proses pelapukan. Pada daerah reklamasi poin ke 3 di atas adalah penyebab utama terjadinya kelongsoran.

Prosedur dari perencanaan lereng dapat dipisahkan atas 3 kategori yaitu : 1. Mengeliminasi masalah (misal : relokasi lereng, penggantian material, dll), 2. Mereduksi gaya-gaya yang menyebabkan longsor (misal : mengubah kemiringan lereng, mengurangi berat, memberikan sub-drain, dll), 3. Meningkatkan gaya-gaya yang menahan gerakan atau memberikan kestabilan (misal : penggunaan beban kontra, turap, bambu, geotextile, dll). Dari poin 3 di atas bahwa untuk meningkatkan kuat dukung tanah dasar di bawah timbunan, terutama pada awal-awal umur timbunan penggunaan bambu sebagai perkuatan tanah lebih baik dibandingkan geotextike karena kekakuan material bambu lebih baik dari geotextile. Geser pada permukaan geotextile efektif mulai bekerja pada saat geotextile mengalami deformasi yang cukup besar terlebih dahulu.

1.5. Bambu Bambu merupakan jenis tanaman yang cepat tumbuh (fast growing) dan pada umur 3 hingga 6 tahun bambu sudah dapat dimanfaatkan. Bambu mampu berkembang kearah vertikal sepanjang 5 cm untuk setiap jamnya [Fangchun (2000)]. Dibandingkan dengan siklus pertumbuhan kayu jati dimana untuk dapat memanfaatkan memerlukan waktu minimal 50 tahun, maka siklus pertumbuhan bambu hanya seper-sepuluh dari siklus pertumbuhan jati. Dibidang konstruksi, bambu biasanya digunakan sebagai tiang, balok atau perancah [Keith et al (1999)]. Di Indonesia terdapat beberapa jenis spesies bambu dan yang paling banyak digunakan dibidang konstruksi adalah bambu betung (Dendrocalamus Asper). Diameter bambu betung dapat mencapai antara 12 15 cm, sedangkan ketebalan daging-nya dapat mencapai 2 cm dan panjang antar ruas dapat mencapai 60 cm. Bambu jenis ini mudah dijumpai hampir diseluruh daerah tropis. Menurut Morisco (1999) dan Ananda (1996), bambu mempunyai kekuatan tarik dua kali lebih besar dibandingkan dengan kayu, sedangkan kuat tekannya 10 % lebih tinggi dibandingkan dengan kuat tekan kayu. Apabila dibandingkan dengan baja yang mempunyai berat jenis antara 6.0 8.0 (sementara BJ bambu = 0.6 0.8), kuat tarik (tensile strength) baja hanya sebesar 2.3 - 3.0 lebih besar

dibandingkan dengan kekuatan tarik bambu. Dengan demikian bambu mempunyai kekuatan tarik per unit berat jenisnya sebesar 3 4 kali lebih besar dibandingkan dengan baja, (Gambar 2).

Gambar 2. Diagram Tegangan dan Regangan Bambu dan Baja Selain itu, bambu mempunyai kekuatan mekanis lebih baik dibandingkan dengan baja tulangan beton. Pada Gambar 2 ditunjukkan bahwa kekuatan tarik bambu ori hampir mencapai 5000 kg/cm2 atau hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kekuatan tarik baja tulangan beton yang hanya 3000 kg/cm2. Sedangkan jenis bambu lainnya, yaitu bambu betung (Dendrocalmus Asper) mempunyai kekuatan tarik antara 3000 3500 kg/cm2, dimana kekuatan tersebut masih lebih baik dibandingkan dengan kekuatan beton tulangan baja [Fangchun (2000)]. Rosyid (2000-2001) telah melakukan upaya pengembangan material baru melalui penggabungan kayu jati dan bambu dengan perekatan (laminasi) untuk aplikasi kelautan melalui kegiatan Riset Unggulan Kemitraan (RUK). Pada kegiatan tersebut telah dikembangkan perekat (lem) untuk proses cold-press oleh industri dalam negeri (PT. P A I), dan dikembangkan aplikasi material untuk tiang layer (mast) yang dibutuhkan oleh pasar yacht di Eropa, Jepang, dan USA. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Widjaja, S dkk (2004) mengenai bambu laminasi, menunjukkan bahwa beberapa keunggulan yang dimiliki oleh bambu laminasi, diantaranya : (1). Mempunyai kembang susut yang lebih kecil dibandingkan dengan bambu biasa atau dengan kayu laminasi, (2). Mempunyai sifat kelenturan dan kekuatan tarik yang lebih baik dan (3) mempunyai kekuatan pukul (impact) yang lebih tinggi dibandingkan dengan kayu maupun bambu biasa.

2.

DATA dan METODE Dalam paper ini jenis data terbagi atas sifat fisis dan mekanis dari bambu

alami juga hasil laminasi/fabrikasi di laboratorium kemudian sifat fisis dan mekanis dari tanah. 2.1. DATA 2.1.1. Bambu. Bambu mempunyai sifat fisis dan sifat mekanis persatuan berat yang lebih baik dibandingkan dengan baja, aluminium maupun kayu. Pada Tabel 1 di bawah ini diperlihatkan sifat fisis dan sifat mekanis dari bambu. Tabel 1. Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Sifat 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Kuat Tarik Kuat Lentur Kuat Tekan E Tarik E Tekan Batas Regangan Tarik Berat Jenis Kadar Lengas Kisaran 1180-2750 kg/cm2 785-1960 kg/cm2 499-588 kg/cm2 87280-313810 kg/cm2 55900-211820 kg/cm2 0.0037-0.244 0.67-0.72 10.04-10.81 %

Sedangkan Tabel 2 berikut ini adalah sifat fisis dan sifat mekanis dari laminasi bambu (bamboo laminated). Tabel 2. Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Laminasi Sifat 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kerapatan Kembang Susut (%) MOE (x1000kg/cm2) MOR (kg/cm2) Kuat Tarik (kg/cm2) Kuat Tekan (kg/cm2) Besaran 0.812 (0.724-0.939) 2.994 (2.204-4.341) 102.865 (100.244-106.145) 1147.358 (1011.859-1235.943) 2546.226 550.811

Oleh karena bambu mempunyai sifat fisis dan sifat mekanis yang baik, maka ditunjang dengan teknologi laminasi diharapkan bambu laminasi yang berbentuk seperti pipa (hole) akan mampu memperbaiki sifat tanah lunak. Gambar 3 di bawah ini adalah sampel laminasi bambu dapat dibuat dengan ukuran diameter dan ketebalan serta panjang yang tidak terbatas.

Gambar 3. Potongan Bamboo Pile 2.1.2. Data Penampang Timbunan dan Tanah Gambar 4 di bawah ini adalah potongan melintang dari suatu timbunan [Plaxis (1998)] dengan lebar 16 m, tinggi 4 m dan kemiringan timbunan 1V:3H.
12 16 Embankment Peat Clay 12 4 3 3

Gambar 4. Penampang Timbunan Untuk data tanah dan timbunan diambil dari Referensi [Plaxis, (1998)] seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Data Tanah Jenis Tanah Timbunan Peat Clay sat kN/m3 20.0 11.0 18.0 sat kN/m3 16.0 8.0 15.0 CU kN/m2 1.0 5.0 2.0 30 20 24 E kN/m2 3000 350 1000 0.30 0.35 0.33

Sedangkan data bamboo pile dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Data Bamboo Pile Diameter W MCrack kN.m (cm) kg/6m 11 25 10.0 2.1.3. Geometri Model Timbunan EA kN 28000 EI kN.m2 35.7 0.30

Geometri dari penampang timbunan dengan perkuatan tanah seperti pada Gambar 5.

Gambar 5. Geometri Penampang Timbunan Dengan Soil Reinforcement

2.1.4. Elemen Hingga (Generated Mesh) Gambar 6 adalah model diskretisasi elemen hingga dari penampang timbunan.

Gambar 6. Mesh Generated 2.2. METODE Data hasil uji material bambu di Laboratorium Konstruksi jurusan Teknik Kelautan ITS Surabaya dan PT PAL Surabaya digunakan untuk menyelesaikan permasalahan timbunan di tanah lunak dalam skala kajian literatur. Hal ini dikarenakan pengujian model interaksi tanah struktur belum dilaksanakan.

3.

HASIL dan PEMBAHASAN

3.1. HASIL Berdasarkan geometri model seperti pada Gambar 5 serta parameter tanah dan bambu sebagai soil reinforcement, maka dilakukan perhitungan konstruksi perkuatan tanah pada timbunan di tanah lunak tersebut. Langkah-langkah konstruksi dilakukan dalam menyelesaikan perhitungan tersebut sesuai dengan langkah-langkah contoh pada manual Plaxis (1998). Perbandingan hasil keluaran (deformasi/total displacement dan angka keamanan) dengan dan tanpa bamboo piles dari program PLAXIS untuk solusi di atas dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8.

Tanpa Bamboo Piles = 34.83 m

Dengan Bamboo Piles = 26.07 m

Gambar 7. Perbandingan Deformasi Yang Terjadi

Tanpa Bamboo Piles

Dengan Bamboo Piles

Gambar 8. Perbandingan Angka Keamanan Yang Terjadi 3.2. PEMBAHASAN Dari Gambar 7 dan 8 terlihat bahwa pengaruh pemberian perkuatan tanah bamboo piles akan meningkatkan angka keamanan dari timbunan dan mengurangi total displacements yang terjadi. Peningkatan angka keamanan terhadap kelongsoran untuk memperjelas Gambar 8 dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Perbandingan Angka Keamanan Stage Construction 1. 2. 3. 4. Instalasi Bamboo Piles Timbunan 1 Timbunan 2 Setelah Konsolidasi Angka Keamanan Tanpa Bamboo Dengan Bamboo 1.17 1.53 1.07 1.251 1.42 1.62

Peningkatan yang terjadi dengan menggunakan bamboo piles sebagai soil reinforcement untuk mengatasi kelongsoran mencapai 20 30 %. 4. KESIMPULAN Dari hasil perhitungan di atas, maka bamboo piles sebagai soil reinforcement memberikan hasil yang baik untuk mengatasi kelongsoran pada tanah timbunan di

atas tanah lunak. Penelitian lanjut untuk mengetahui interaksi tanah struktur perlu dilakukan agar memberikan hasil yang lebih baik.

UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada PT PAL Surabaya yang mendukung dan memperkenankan penggunaan laboratorium pengujian material. Begitu juga kepada Panitia Seminar Pile 2005 yang memberikan peluang kepada kami untuk tampil dalam Seminar Nasional.

PENULIS Ir. Helmy Darjanto MT Sekretaris HATTI Jawa Timur SKA G1 HATTI, Praktisi dan Dosen Universitas Narotama Surabaya Program Doktor Ilmu Teknik Sipil UNDIP Semarang, Wakil Ketua Umum DPN INKINDO SKA G1 HATTI, Praktisi dan Dosen Universitas Sunan Giri Surabaya Program Doktor Ilmu Hukum UNTAG Surabaya, PT PAL Surabaya.

Ir.Djoko Soepriyono MT,SH,MHum

Dr.Ir. Akhmad Basuki Widodo MSc

DAFTAR PUSTAKA American Standard for Testing and Materials (ASTM), 1989, Annual Book of ASTM Standards, Eastons MD-USA. Ananda S, Ichikawa Y, Munelata, Nagase Y and Shimizu H., 1996, Fiber Texture and Mechanical Graded Structure of Bamboo, Dep. of Mechaniccal Engineering, Gumme University Japan. Bodiq, J and Benyamin AJ., 1982, Mechanics of Wood and Wood Composites, Nostrand Reinhold Company. China National Bamboo Research Centre, 2001, Cultivation and Integrated Utilization on Bamboo in China, Hangzhou, China. Desai, CS., Siriwardane, HJ., 1984, Constitutive Laws for Engineering Material, Prentice Hall, Inc. Eaglewood Cliffs, New Jersey. Fangchun, Z. 2000, Selected Works of Bamboo Research, The Bamboo Research Editorial Committee, Nanjing Forestry University, Nanjing, China. Idrid AA, Firmanti A dan Purwito, 1998, Penelitian Bambu untuk Bahan Bangunan, Pusat Penelitian dan Pengembangan PU Bandung.

Keitth, F and Thomas GW. 1999, Wood Engineering and Construction Handbook, 3rd Edition, Mc-Graw Hill Inc., New York. Krisdianto, Sumarni G dan Ismanto A. 2000, Sari Hasil Penelitian Bambu, Pusat Penelitian Hasil Hutan, Bogor. Morisco, 1999, Rekayasa Bambu, Pusat Antar Universitas untuk Teknik Sipil UGM, Yogyakarta. Penelitian Hibah Bersaing XII (2004), Karakterisasi Struktur Kapal Kayu Dengan Material Alternatif Komposit Bambu, Kerjasama antara PT. PAL - ITS dan PT. P A I. Plaxis, 1998, Finite Element Code for Soil and Rock Analyses, Soft ware Manual. Rahardjo, PP., 1998 Manual Kestabilan Lereng, Program Pascasarjana Magister Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan. Riset Unggulan Kemitraan (RUK) VI tahun 2000 - 2001, Pengembangan Material Konstruksi Laminasi untuk Aplikasi Kelautan, Kerjasama antara ITS - PT. PAL dan PT. P A I.

Anda mungkin juga menyukai